Status Lapkas Kejang

44
BAB I LAPORAN KASUS A. Identitas pasien Nama : An. W Jenis kelamin : Laki-laki Usia : 2 Tahun Alamat : Panyaweuyan, Ciherang Tanggal Masuk RS : 21 Juni 2012 Bangsal : Samolo 3 B. Anamnesis Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa dengan ibu pasien di bangsal Samolo 3 pada tanggal 21 Juni 2012. - Keluhan Utama : Kejang - Keluhan Tambahan : Demam (+), batuk (+), muntah (+) - Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke RSUD Cianjur dengan keluhan kejang 1 hari sebelum masuk RS. Kejang terjadi sebanyak 1 kali, kejang berlangsung selama ± 30 menit, kejang pada seluruh tubuh, mata mendelik ke atas, disertai dengan lengan dan kedua tungkai kaku. Selama kejang pasien tidak sadar. Setelah kejang pasien lalu tertidur. Keluhan kejang didahului oleh panas badan sejak 1 hari sebelum masuk RS, panas dirasakan mendadak tinggi dan terus menerus. 1

Transcript of Status Lapkas Kejang

Page 1: Status Lapkas Kejang

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas pasien

Nama : An. W

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 2 Tahun

Alamat : Panyaweuyan, Ciherang

Tanggal Masuk RS : 21 Juni 2012

Bangsal : Samolo 3

B. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa dengan ibu pasien di bangsal Samolo 3

pada tanggal 21 Juni 2012.

- Keluhan Utama : Kejang

- Keluhan Tambahan : Demam (+), batuk (+), muntah (+)

- Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke RSUD Cianjur dengan keluhan kejang 1 hari sebelum masuk RS.

Kejang terjadi sebanyak 1 kali, kejang berlangsung selama ± 30 menit, kejang pada

seluruh tubuh, mata mendelik ke atas, disertai dengan lengan dan kedua tungkai kaku.

Selama kejang pasien tidak sadar. Setelah kejang pasien lalu tertidur. Keluhan kejang

didahului oleh panas badan sejak 1 hari sebelum masuk RS, panas dirasakan

mendadak tinggi dan terus menerus. Keluhan disertai dengan muntah 1 hari sebelum

masuk rumah sakit sebanyak 1 kali, ± ¼ gelas belimbing berisi makanan. Pasien juga

mengeluh batuk sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk mendahului demam..

Batuk tidak disertai dahak. Keluhan tidak disertai dengan mencret, sesak, maupun

penurunan kesadaran. Gejala mimisan atau gusi berdarah disangkal. Dirumah tidak

ada yang menderita demam berdarah dan tidak ada penyemprotan pada hari – hari

terakhir. Buang air kecil tidak ada kelainan

- Riwayat penyakit dahulu :

Sebelumnya pasien belum pernah kejang baik dengan atau tanpa demam.

1

Page 2: Status Lapkas Kejang

Riwayat asma disangkal.

Riwayat batuk lama disangkal.

Riwayat trauma disangkal

- Riwayat penyakit keluarga :

Riwayat epilepsi atau kejang di keluarga disangkal

Riwayat alergi di keluarga disangkal

Riwayat asma di keluarga disangkal

Riwayat TBC di keluarga disangkal.

- Riwayat pengobatan

Pasien belum pernah menkonsumsi obat selama menderita gejala ini

- Riwayat Alergi

Alergi obat disangkal.

Alergi makanan disangkal

Alergi udara disangkal

- Riwayat kehamilan :

Pasien merupakan anak kedua, selama hamil ibu pasien sering memeriksakan

kehamilan ke bidan. Selama hamil ibu tidak menderita hipertensi, diabetes melitus,

eklamsia, atau penyakit berat lainnya.

- Riwayat Kelahiran :

An. W lahir cukup bulan ( 9 bulan) ditolong oleh bidan. Pasien merupakan anak

kedua. Pasien lahir spontan dan langsung menangis. Berat lahir 3500 gr, panjang

badan ibu lupa dan lingkar kepala ibu tidak tahu. Warna air ketuban ibu juga tidak

tahu. Diakui ibu tidak terdapat penyulit saat persalinan.

- Riwayat pemberian makanan :

Pasien diberikan ASI dari lahir sampai usia 1.5 tahun, lalu pasien diberikan susu

formula sampai sekarang. Cara pembuatan susu formula dengan cara memasukkan

susu dulu baru kemudian dituangkan air panas. Sebelum membuat susu, botol susu

direbus terlebih dahulu. Setiap selesai menggunakan botol susu, botol susu dicuci.

2

Page 3: Status Lapkas Kejang

Pada umur 6 bulan, pasien diberi makan bubur nestle. Sekarang pasien menkonsumsi

bubur nasi dan susu formula. Cara pembuatan makanan dengan cara dimasak sendri

oleh ibu pasien. Sumber air dirumah dari air sumur

Kesan : pemberian makanan sesuai dengan usia.

- Riwayat perkembangan

Motorik kasar :

Usia 3 bulan sudah bisa mengangkat kepala

Usia 7 bulan sudah bisa merangkak

Usia 10 bulan sudah bisa duduk bangun sendiri

Usia 18 bulan sudah bisa berjalan sendiri

Usia 24 bulan sudah bisa berlari

Motorik halus :

Usia 6 bulan sudah bisa menggapai benda

Bahasa :

Usia 9 bulan sudah bisa mengucapkan suara konsonan yang berulang

(ma-ma, pa-pa)

Usia 24 bulan sudah bisa berbicara beberapa kata

Sosial :

Usia 12 bulan berespon terhadap suara ma-ma dan memainkan

permainan cilukba.

Usia 24 bulan sudah bisa diajak ngobrol

Kesan : perkembangan sesuai usia

- Riwayat imunisasi :

BCG 1x, hepatitis 3x, polio 4x, DPT 4x, campak 1x.

Kesan : Sesuai usia imunisasi lengkap sesuai usia.

PEMERIKSAAN FISIK

3

Page 4: Status Lapkas Kejang

• Keadaan Umum : Tampak rewel, kejang (-)

• Kesadaran : Composmentis

Status Antropometri

• Panjang Badan : 88 cm

• Berat Badan : 12 kg

• BB/U = ± 2 SD (normal)

• TB/U = ± 2 SD (normal)

• BB/TB = ± 2 SD (normal)

Kesan: Status gizi baik

(status gizi menurut WHO Child Growth Standards)

Tanda Vital

• Suhu : 36.7 oC

• Nadi : 90 x/menit

• Pernapasan : 24x/menit

Status Generalis

Kepala

• Bentuk : Normocephal.

• Mata : Kelopak mata cekung (-), konjungtiva tidak anemis, sklera tidak

ikterik, strabismus (-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor ± 3 mm

• Hidung : Bentuk normal, simetris, sekret (-), epistaksis (-) , pernapasan cuping

hidung (-)

• Telinga : Sekret (-)

• Mulut : Peri Oral Cyanotic (-)

Leher

• Pembesaran KGB (-)

• Retraksi suprasternal (-)

• Tonsil T1 T1 tenang

• Faring hiperemis (-)

Thoraks

4

Page 5: Status Lapkas Kejang

• Pulmo

• Inspeksi : Pergerakan dinding thorax kiri-kanan simetris, tidak ada bekas

luka, retraksi intercosta (-)

• Palpasi : vocal fremitus simetris kanan dan kiri

• Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan

• Auskultasi : Suara nafas vesikuler diseluruh lapang paru kiri-kanan.

Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

• Cor

• Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

• Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 4 linea midklavikula sinistra.

• Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

• Inspeksi : Supel, datar, retraksi epigastrium (-)

• Auskultasi : Bising usus (+) normal

• Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba

• Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen

Ekstremitas :

• Ekstremitas atas : akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik

• Ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Pemeriksaan Rangsang Meningeal

Kaku kuduk : (-)

Brudzinky I : (-)

Brudzinky II : (-)

Kernig : (-)

Saraf Cranial

N III, IV, VI : pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+), gerakan bola mata

simetris.

N VII : wajah meringis saat diberi rangsang nyeri

Fungsi motorik : 5 5

5

Page 6: Status Lapkas Kejang

5 5

Fungsi sensorik

Rangsang nyeri (+)

Pemeriksaan Reflex Fisiologis

Reflex Babinsky : (-)

Reflex Chadok : (-)

Reflex Oppenheim : (-)

Reflex Hoffman Trommer : (-)

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Leukosit 12.8 103 µ/L 6.0 – 15.0

Hemoglobin 11.1 gr/dl 10.5 – 13.5

Hematokrit 34.3 gr% 30.0 – 40.0

Trombosit 193 ribu/ µL 150 - 450

Elektrolit :

- Na : 141.2 mEq/L

- K : 3.96 mEq/L

- Ca : 1.06 mEq/L

GDS : 102 mg%

Follow Up

22 juni 2012 S = kejang (-), batuk (+), IVFD D 1:4 (12x80)/96 = 10

6

Page 7: Status Lapkas Kejang

dahak (-), muntah (+) 3x,

susah makan

O = KU : CM

HR : 89x/menit

RR : 23x/menit

Suhu : 36.6

A = kejang demam

kompleks

Tetes/menit

Diazepam 6 mg iv (jika

kejang)

Fenitoin loading dose 200mg

iv

Rumatan 2x30 mg iv

Cefotaxime 2 x 600 mg iv

Propyretic supp 160 mg

Puyer batuk 3 x 1 bungkus

23 juni 2012 S = kejang (-), batuk (+),

dahak (-), muntah (-), susah

makan

O = KU : CM

HR : 90x/menit

RR : 24x/menit

Suhu : 37.1

A = kejang demam

kompleks

IVFD D 1:4 (12x80)/96 = 10

Tetes/menit

Diazepam 6 mg iv (jika

kejang)

Rumatan 2x30 mg iv

Cefotaxime 2 x 600 mg iv

Propyretic supp 160 mg

Puyer batuk 3 x 1 bungkus

25 juni 2012 S = kejang (-), batuk (+),

dahak (-), muntah (-)

O = KU : CM

HR : 89x/menit

RR : 23x/menit

Suhu : 36.7

A = kejang demam

kompleks

IVFD D 1:4 (12x80)/96 = 10

Tetes/menit

Diazepam 6 mg iv (jika

kejang)

Rumatan 2x30 mg iv

Cefotaxime 2 x 600 mg iv

Propyretic supp 160 mg

Puyer batuk 3 x 1 bungkus

RESUME:

7

Page 8: Status Lapkas Kejang

An. W usia 2 tahun datang dengan keluhan kejang 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Kejang

sebanyak 1 kali, selama 15 menit. Saat kejang pasien tidak sadar, mata mendelik ke atas,

tangan dan kaki kaku. Setelah kejang pasien sadar lalu tertidur. Kejang didahului oleh demam

dan batuk. Muntah 1 kali sebanyak ¼ gelas belimbing berisi makanan. Pemeriksaan fisik

dalam batas normal, dan tidak didapatkan tanda kelainan neurologis.

 

Diagnosa

Kejang demam kompleks

Rencana penatalaksanaan:

IVFD D 1:4 (12x80)/96 = 10 Tetes/menit

Diazepam 6 mg iv (jika kejang)

Cefotaxime 2 x 600 mg iv

Propyretic supp 160 mg

Puyer batuk 3 x 1 bungkus

Prognosis

• Quo ad vitam : bonam

• Quo ad Functionam : bonam

BAB II

8

Page 9: Status Lapkas Kejang

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal lebih dari 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.

Anak usia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun yang mengalami kejang

dengan demam, dapat dipikirkan kemungkinan infeksi sistim saraf pusat (SSP) atau

epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan demam.

Definisi ini menyingkirkan diagnosa kejang pada penyakit saraf lainnya

seperti meningitis, ensefalitis, atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai

prognosis yang berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya

mengenai sistim susunan saraf pusat. Kejang demam harus dibedakan dengan

epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang yang berulang tanpa disertai demam.

Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada

anak-anak, terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Menurut Consensus

statement on febrile seizures (1980), kejang demam adalah kejadian pada bayi atau

anak yang berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi

intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi

berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam

harus dibedakan dengan epilepsi,yaitu yang ditandai denagn kejang berulang tanpa

demam.

Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti

meningitis, ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai

prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya

mengenai sistem susunan saraf pusat. Dahulu Livingston membagi kejang demam

menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) dan

epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi triggered of by fever).

Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah

menderitanya (Millichap, 1968). Wegman (1939) dan Millichap (1959) dari

percobaan binatang berkesimpulan bahwa suhu yang tinggi dapat menyebabkan

terjadinya bangkitan kejang.

Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi serta

cepatnya suhu meningkat (Wegman, 1939; Prichard dan McGreal, 1958). Faktor

hereditas juga mempunyai peranan. Lennox-Buchthal (1971) berpendapat bahwa

kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan

9

Page 10: Status Lapkas Kejang

dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2%

anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal

hanya 3%.

2. Klasifikasi Kejang Demam

Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu kejang

demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh

demam (epilepsy triggered off by fever). Namun definisi ini tidak lagi digunakan

karena suatu studi prospektif epidemiologi membuktikan bahwa risiko

berkembangnya epilepsi atau berulangnya kejang tanpa demam tidak sebanyak yang

diperkirakan.

Sekarang ini, kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang

demam sederhana dan kejang demam kompleks.

- Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) adalah kejang yang

berlangsung kurang dari 15 menit, gerakan umum (tonik, klonik, tonik-klonik,

atau tanpa gerakan fokal), serta bersifat tunggal (tidak berulang dalam waktu 24

jam).

- kejang demam kompleks (complex febrile convulsion) adalah kejang yang

berlangsung lebih dari 15 menit, gerakan fokal, dan bersifat berulang (dapat lebih

dari 2 kali dalam waktu 24 jam).

3. Factor Resiko

- Faktor risiko kejang demam pertama

Studi telah memperlihatkan bahwa tingginya temperature merupakan

faktor risiko untuk terjadiya kejang demam, seperti halnya riwayat kejang demam

pada orangtua atau saudara kandung. Perkembangan terlambat, problem pada

masa neonatus, dan anak yang dalam perawatan khusus juga merupakan faktor

risiko. Rendahnya kadar natrium serum juga mempunyai korelasi dengan kejadian

kejang demam.

Bila seseorang anak mempunyai 2 atau lebih dari faktor diatas, maka risiko

untuk mendapatkan kejang demam kira-kira 30%. Setelah kejang demam pertama,

kira-kira 33 anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira

9 anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi meningkat pada

10

Page 11: Status Lapkas Kejang

usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperature

yang sangat rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat

keluarga epilepsi.

- Faktor risiko kejang demam berulang

Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu

kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau

lebih. Makin muda usia anak ketika kejang demam pertama, makin besar

kemungkinan rekurensinya. 50% rekurensi terjadi dalam 6 bulan pertama, 75%

berulang pada tahun pertama, dan 90% rekurensi terjadi pada tahun kedua. 6,7

Risiko rekurensi juga berhubungan dengan cepatnya anak mendapat kejang

setelah demam timbul, dan rendahnya temperatur. Riwayat keluarga dengan

kejang demam juga merupakan faktor risiko. Usia dini saat kejang demam dan

riwayat kejang dalam keluarga merupakan factor risiko yang kuat untuk timbulnya

rekurensi. Rekurensi lebih sering bila serangan pertama pada bayi berumur kurang

dari 1 tahun.

- Faktor risiko menjadi epilepsi

Meskipun telah dilaporkan bahwa 15% kasus epilepsi didahului kejang

demam, kejadian kejang demam ternyata lebih sering dibandingkan kejadian

epilepsi. Kurang dari 5% anak kejang demam berkembang menjadi

epilepsi.Seluruh jenis epilepsi, termasuk absens, tonik klonik umum, dan parsial

kompleks dapat terlihat pada pasien dengan riwayat kejang demam. National

Institute of Neurologic Disorder and Stroke (NINDS) Perinatal Collaborative

Projecy (NCPP) melaporkan tingginya risiko epilepsi adalah diantara anak-anak

dengan perkembangan abnormal sebelum kejang demam pertama, adanya riwayat

orangtua atau saudara kandung dengan epilepsi, dan anak dengan kejang demam

kompleks.

- Faktor genetik

11

Page 12: Status Lapkas Kejang

Faktor genetic tampaknya sangat kuat, meskipun cara diturunkannya

belum jelas, tetapi diduga adalah dengan cara autosomal dominan sederhana.

Kejang demam cenderung terjadi dalam keluarga, meskipun belum jelas diketahui

cara menurunkannya. Pada anak dengan kejang demam sering dijumpai

keluarganya mempunyai riwayat kejang demam. Dua puluh sampai 25% penderita

kejang demam mempunyai keluarga dekat (orang-tua dan saudara kandung) yang

juga pernah menderita kejang demam. Tsuboi mendapatkan bahwa insiden kejang

demam pada orang tua penderita kejang demam ialah 17% dan pada saudara

kandungnya 22%. Delapan-puluh persen dari kembar monosigot dengan kejang

demam adalah konkordans untuk kejang demam. Kebanyakan peneliti mendapat

kesan bahwa kejang demam diturunkan secara dominan dengan penetrasi yang

mengurang dan ekspresi yang bervariasi, atau melalui modus poligenik. Pada

penderita kejang demam risiko saudara kandung berikutnya untuk mendapat

kejang demam ialah 10%. Namun bila satu dari orang-tuanya dan satu saudara

pernah pula mengalami KD, kemungkinan ini meningkat menjadi 50% .

Penelitian Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing juga memperoleh data riwayat

keluarga pada 231 penderita KD Dari mereka ini 60 penderita merupakan anak

tunggal waktu diperiksa. Sedang 221 penderita lainnya - yang mempunyai satu

atau lebih saudara kandung - 79 penderita (36%) mempunyai satu atau lebih

saudara kandung yang pemah mengalami kejang yang disertai demam. Jumlah

seluruh saudara kandung dari 221 penderita ini ialah 812 orang, dan 119 (14,7%)

di antaranya pernah mengalami kejang yang disertai demam.

4. Etiologi

Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada

beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam,yaitu:

- Demamnya sendiri

- Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak

- Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi

- Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit

- Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak diketahui

atau ensefalopati toksik sepintas

12

Page 13: Status Lapkas Kejang

- Gabungan semua faktor diatas

Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang

demam. Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak

sedang demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi

pertusis (DPT) dan morbili (campak).

Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada 297

penderita kejang demam, 66 (22,2%) penderita tidak diketahui penyebabnya.

Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat peradangan. Ada pendenta

yang mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-

faringitis dan otrtis media akut. (lihat tabel).

Penyebab demam pada 297 penderita KD

Penyebab demam Jumlah penderita

Tonsilitis dan/atau faringitis

Otitis media akut (radang liang telinga tengah)

Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna)

Enteritis/gaastroenteritis disertai dehidrasi

Bronkitis (radang saiuran nafas)

Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran nafas)

Morbili (campak)

Varisela (cacar air)

Dengue (demam berdarah)

Tidak diketahui

100

91

22

44

17

38

12

1

1

66

Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering di-sertai KD daripada infeksi

lainnya. Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oteh kuman Shigella mengaiami

13

Page 14: Status Lapkas Kejang

KD dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya di mana angka kejadian

KD hanya sekitar 1%,

5. Patofisiologi

Demam mungkin adalah tanda utama penyakit yang paling tua dan paling

umum diketahui. Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh sebagai akibat

dari infeksi atau peradangan. Sebagai respons terhadap invasi mikroba, sef-sel

darah putih tertentu mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen

endogen, yang memiliki banyak efek untuk melawan infeksi dan juga bekerja

pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan thermostat.

Hipotalamus sekarang mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan

bukan di suhu tubuh normal. Jika, sebagai contoh, pirogen endogen

meningkatkan titik patokan menjadi 38,9°C (102°F; seperti catatan suhu per

oral), hipotalamus merasa bahwa suhu normal prademam sebesar 37°C (98,6°F)

terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-mekanisme respons-dingin

untuk meningkatkan suhu menjadi 38,9°C. Menggigil ditimbulkan agar dengan

cepat meningkatkan produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga

berlangsung untuk dengancepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme

tersebut mendorong suhu naik. Mekanisme-mekanisme tersebut menyebabkan

timbulnya rasa dingin menggigil yang mendadak pada permulaan demam. Karena

merasa kedinginan, orang yang bersangkutan mungkin memakai selimut sebagai

mekanisme volunter untuk membantu meningkatkan suhu tubuh dengan

mengkonservasi panas. Setelah suhu baru tercapai, suhu tubuh diatur seperti pada

keadaan normal sebagai respons terhadap pajanan dingin atau panas, tetapi dengan

patokan yang lebih tinggi.

Dengan demikian, pembentukan demam sebagai respons terhadap infeksi

adalah sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme

termoregulasi. Walaupun makna fisiologis dari demam masih belum jelas, banyak

pakar medis ber-pendapat bahwa peningkatan suhu tubuh bersifat menguntungkan

untuk melawan infeksi. Demam memperkuat respons peradangan dan mungkin

mengganggu multiplikasi bakteri

Prichard dan Mc Greal mengemukakan pendapat bahwa anoksia relative

(keadaan kekurangan oksigen) yang terjadi sewaktu demam mungkin merupakan

14

Page 15: Status Lapkas Kejang

penyebab daripada kejang. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan

mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 – 15 dan kebutuhan oksigen akan

meningkat 20. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65%

dari seluruh tubuh, dibanding orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan

suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan daripada membran sel

neuron dan dalam waktu yang sangat singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun

ion natrium melalui membran sel tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.

Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel

maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut

neurotransmiter dan terjadilah kejang.

Meskipun mekanisme kejang yang tepat belum diketahui, tampak ada

beberapa faktor fisiologi yang menyebabkan perkembangan kejang. Untuk memulai

kejang, harus ada kelompok neuron yang mampu menimbulkan ledakan discharge

yang berarti dan sistem hambatan GABAergik. Perjalanan discharge (rabas) kejang

akhirnya tergantung pada eksitasi sinaps glutamaterik. Bukti baru-baru ini

menunjukkan bahwa eksitasi neurotransmiter asam amino (glulamal, aspartat) dapat

memainkan peran dalam menghasilkan eksitasi neuron dengan bekerja pada reseptor

sel tertentu. Diketahui bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan

bahwa daerah otak ini dapat meningkatkan perkembangan sinaps hipereksitabel baru

yang dapat menimbulkan kejang. Misalnya, lesi pada lobus temporalis (termasuk

glioma tumbuh lambat, hematoma, dll) menyebabkan kejang.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi

rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu

tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada

suhu 38C sedangkan anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi

pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya

kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam

pengulangannya perlu diperhatikan pada suhu berapa penderita kejang. Ej Radhi dkk

198925 mengemukakan banwa anak yana sudah mengalami kejang demam pada

demam yanq lebih rendah lebih besar kemungkinannya mengalami kambuh dibanding

dengan yang kejang pada demam yang lebih tinggi. Mungkin ada semacam ambang

suhu untuk KD.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan

tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari

15

Page 16: Status Lapkas Kejang

15 menit) bisanya disertai terjadinya apnoe, meningkatnya kebutuhan oksigen dan

energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksia, hiperkapnia,

asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobic, hipotensi arterial disertai

denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan

meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak

meningkat.

6. Manisfestasi klinis

Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Sering diperkirakan bahwa

cepatnya peningkatan temperatur merupakan pencetus untuk terjadinya kejang,

meskipun belum ada data yang menunjangnya. Umumnya serangan kejang tonik

klonik awalnya dapat berupa menangis, kemudian tidak sadar dan timbul kekauan

otot. Selama fase tonik mungkin disertai henti nafas dan inkontinensia. Kemudian

diikuti fase klonik berulang, ritmik dan akhirnya setelah kejang letargi atau tidur.

Gejala klinis lain yang timbul adalah mata terbalik ke atas dengan disertai

kekauan atau kelemahan otot, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan,

atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Serangan dalam bentuk absens atau

mioklonik sangat jarang. Sebagian kejang berlangsung kurang dari 5 menit, sebanyak

8% kejang berlangsung lebih dari 15 menit, dan sebanyak 4% kejang berlangsung

lebih dari 30 menit. Bila anak kejang, perlu diidentifikasi apakah ada penyakit lain

yang memerlukan pengobatan tersendiri. Perlu juga diketahui mengenai pengobatan

sebelumnya, ada tidaknya trauma, perkembangan psikomotor, dan riwayat keluarga

dengan epilepsi atau kejang demam.

Deskripsi lengkap mengenai kejang sebaiknya didapat dari orang yang

melihatnya. Dari pemeriksaan fisik tentukan derajat kesadaran, adanya meningismus,

fontanela anterior yang tegang atau membonjol, Kernig atau Brudzinski sign,

kekuatan dan tonus otot harus diperiksa dengan teliti dan dievaluasi secara periodik.

Penyebab lain dari kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya

ensefalitis atau meningitis. Untuk menyingkirkan hal tersebut maka diperlukan

adanya pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk

kejang demam antara lain:

16

Page 17: Status Lapkas Kejang

- Pemeriksaan laboratorium darah; pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan. Biasanya

hanya untuk mengevaluasi sumber infeksi dari demam seperti adanya

gastroenteritis karena Shigella, obat-obatan tertentu seperti difenhidramin,

antidepressant trisiklik, amfetamin, kokain, dan dehidrasi yang dapat

mengakibatkan gangguan keseimbangan air dan elektrolit.

- Pungsi lumbal; indikasi dilakukan apabila ada kecurigaan klinis meningitis. Tanda

klinis meningitis yang tipikal biasanya sulit didapatkan pada bayi yang kurang

dari 12 bulan, sehingga pemeriksaan pungsi lumbal pada bayi usia kurang dari 12

bulan yang dicurigai meningitis ini sangat dianjurkan. Pada bayi usia 12-18 bulan

dianjurkan, sedangkan untuk bayi usia lebih dari 18 bulan tidak rutin dilakukan

terlebih jika gejala klinis meningitis sudah sangat terlihat.

- Pencitraan (CT scan atau MRI); diindikasikan pada keadaan adanya riwayat dan

tanda klinis trauma kepala, kemungkinan adanya lesi struktural di otak, adanya

tanda peningkatan TIK (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanela anterior

menonjol, paresis N.VI, papiledema).

- Elektroensefalografi (EEG); alat ini tidak memperlihatkan kegunaan dalam

mengevaluasi kejang demam. EEG yang dikerjakan 1 minggu setelah kejang

demam dapat abnormal, biasanya berupa perlambatan di posterior. 95% kasus

kejang demam menunjukkan gambaran EEG abnormal bila dikerjakan segera

setelah kejang demam. Kira-kira 30% penderita akan memperlihatkan gambaran

perlambatan di posterior dan akan menghilang 7-10 hari kemudian.4 Walaupun

ada abnormalitas gambaran EEG yang tinggi pada pasien anak dengan kejang

demam, namun EEG tidak dapat memprediksi rekurensi terjadinya kejang demam

ataupun risiko untuk terjadinya epilepsi di kemudian hari. 2,5,6

7. Diagnosis

Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston yang

telah dimodifikasi, yang merupakan pedoman yang dipakai oleh Sub Bagian Saraf

Anak IKA FKUI-RSCM Jakarta, yaitu:

- Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 6 tahun

- Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15menit

- Kejang bersifat umum

- Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam

17

Page 18: Status Lapkas Kejang

- Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal

- Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal tidak

menunjukkan kelainan

- Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali

Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang

demam, dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak

didapatkan gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Tetapi

perlu diingat bahwa kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula tejadi pada

kelainan lain, misalnya pada radang selaput otak (meningitis) atau radang otak

(ensefalitis). Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk menyingkirkan

kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama dan

dengan usia kurang dari 1 tahun. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang

mempunyai nilai prognostic, EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan

kemungkinan terjadinya epilepsy atau kejang demam berulang dikemudian hari. Saat

ini pemeriksaaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.

Pemeriksaan laboratorium tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi

sumber infeksi. Pasien dengan keadaan diare, muntah dan gangguan keseimbangan

cairan dapat diduga terdapat gangguan metabolisme akut, sehingga pemeriksaan

elektrolit diperlukan. Pemeriksaan labratorium lain perlu dilakukan untuk mencari

penyebab timbulnya demam

Untuk mendiagnosa kejang demam dilakukan anamnesis. Sewaktu melakukan

anamnesis harus ditanyakan : (NINDS, 2011)

Biodata / identitas anak dan orang tua atau pendamping

Riwayat penyakit (kejang disertai demam, jarak antara timbulnya kejang dengan

demam, lama serangan, pola serangan untuk mengetahui jenis kejang atau spasme

infantile, frekuensi serangan, awal terjadinya serangan, keadaan sebelum serangan

dan sesudah serangan.

Riwayat penyakit yang disertai misalnya muntah, diare dan lain-lain

Riwayat penyakit terdahulu (apakah pernah kejang)

Riwayat kehamilan dan persalinan

Riwayat imunisasi

18

Page 19: Status Lapkas Kejang

Riwayat perkembangan anak

Riwayat kesehatan keluarga

Riwayat sosial (siapa yang mengasuhnya)

Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan (gaya hidup, nutrisi, eliminasi seperti BAK

dan BAB, aktivitas dan lain-lain

Dilakukan pemeriksaan fisik seperti pemeriksaan rangsangan meningeal,

refleks fisiologis dan patologis serta saraf kranialis untuk menyingkirkan penyebab

kejang yang lain. (Campfield P, 2000) Sebagai pemeriksaan penunjang perlu

dilakukan pemeriksan darah, lumbal punksi, elektroensefalogram, dan Magnetic

Resonance Image atau Computed Topography Scan. (NINDS, 2011) Pada

pemeriksaan darah dinilai glukosa darah karena hipoglikemia merupakan salah satu

faktor penyebab kejang. Peningkatan blood urea nitrogen (BUN) mempunyai potensi

kejang dan merupakan indikasi nefrotoksik akibat dari pemberian obat. Pemeriksaan

elektrolit juga penting untuk melihat sekiranya terdapat ketidakseimbangan elektrolit.

(Campfield P, 2000)

Pungsi lumbal pada bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan

pungsi lumbal. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal.

Bayi lebih dari 18: pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin. Pungsi lumbal

dilakukan bila secara klinis dicurigari mengalami meningitis atau bila ada keragu-

raguan dianjurkan pada umur 12 hingga 18 bulan serta kepada yang dicurigai

meningitis. Hasil EEG biasanya normal. CT scan pula hanya dikerjakan sekiranya

terdapat indikasi seperti dicurigai adanya lesi intrakranial. (Tejani NR, 2010)

Pemeriksaan neurologis pada anak meliputi :

Nervus Cranial

Nervus Cranial Uji yang dilakukan

Saraf I (Olfaktorius) Uji penciuman (sensasi bau) dengan menguji pada setiap

lubang hidung secara terpisah dan mata tertutup

menggunakan bahan uji yang baunya tidak merangsang dan

dikenal oleh pasien, dapat dilakukan pada anak yang berumur

19

Page 20: Status Lapkas Kejang

lebih dari 5-6 tahun.

Saraf II (Optikus) Uji ketajaman penglihatan, perimetri, dan pemeriksaan

fundus (funduskopi).

Saraf III, IV, VI

(Okulomotorius,

Troklearis, dan

abdusen)

Uji gerakan kedua mata, uji akomodasi dan refleks cahaya.

Pemeriksaan dilakukan dengan menggerakkan mainan yang

digayangkan ke samping, diagonal ke atas dan ke bawah di

garis tengah, kemudian mendekat dan menjauh.

Saraf V (Trigeminus) Uji perasaan (sensori) dengan mengusapkan kapas,

menggoreskan jarum dan benda-benda hangat atau dingin di

daerah wajah kuadran atas, tengah atau bawah. Refleks

kornea dengan menyentuhkan kapas bersih pada kornea

mata. Refleks rahang dengan mengetuk bagian tengah dagu.

Saraf VII (Fasialis) Uji saraf fasialis yaitu dengan menyuruh pasien tersenyum,

meringis, bersiul, membuka dan memejamkan mata, serta

refleks kornea dan uji pengecap.

Saraf VIII

(Akustikus)

Uji pendengaran, yaitu melihat reaksi pasien terhadap suara.

Uji keseimbangan, pada bayi dapat dilakukan dengan

memegang pasien vertikal berhadapan dengan pemeriksa

kemudian diputar beberapa kali searah jarum jam dan

berlawanan arah jarum jam, selain itu dapat dilakukan uji

kalorik pada kedua telinga secara bergantian (uji kalorik

tidak boleh dilakukan pada pasien dengan perforasi membran

timpani dan telinga dengan sumbatan serumen).

Saraf IX

(Glosofaringeus)

Saraf ini diuji dengan mengamati respons tercekik terhadap

rangsang taktil dinding faring posterior.

Saraf X (Vagus) Gangguan saraf otak ini dapat berupa gangguan motor,

sensori dan vegetatif.

Saraf XI (Aksesorius) Uji kemampuan untuk mengangkat bahu dan memutar kepala

melawan tahanan pemeriksa.

20

Page 21: Status Lapkas Kejang

Saraf XII

(Hipoglosus)

Uji untuk menilai kekuatan lidah dengan menyuruh pasien

menyorongkan ujung lidah ke tepi pipi kanan dan kiri

melawan tahanan jari pemeriksa.

Sistem Motor

Sebelum melakukan pemeriksaan formal perhatikan posturnya pada waktu berdiri,

perhatikan jalannya, larinya, pada waktu bermain pasien disuruh mengambil bola.

Dari pengamatan ini dapat diambil kesimpulan keadaaan motornya. Evaluasi sistem

motor pada anak usia sekolah dapat dilakukan secara formal, dan biasanya cukup

pada otot proksimal dan distal anggota gerak atas dan bawah. Uji kekuatan otot hanya

dapat dilakukan pada anak yang sudah dapat mengerjakan instruksi pemeriksa dan

kooperatif. Pada bayi dan anak yang tidak kooperatif hanya dapat dinilai kesan

keseluruhan saja. Anak yang diperiksa dalam posisi duduk dengan tungkai bawah

tergantung. Ia diminta untuk menggerakkan anggota badan yang diuji dan pemeriksa

menahan gerakan-gerakannya (kekuatan kinetik), dan setelah itu disuruh menahan

anggota badan yang diuji tetap di tempatnya dengan kekuatan terhadap gerakan-

gerakan yang dilakukan pemeriksa (kekuatan statik). Penilaian derajat kekuatan otot

ini bermacam-macam. Ada yang menggunakan nilai 100% sampai 0%, ada yang

menggunakan huruf, ada yang menilai dengan angka 5 sampai 0.

21

Page 22: Status Lapkas Kejang

Penilaian dengan Huruf Penilaian dengan Angka

N = NORMAL 5: Normal

G = GOOD 4: Dapat menggerakkan sendi dengan

aktif untuk menahan berat dan melawan

tahanan secara simultan

F = FAIR 3: Dapat menggerakkan anggota gerak

untuk menahan berat, tetapi tidak dapat

menggerakkan anggota badan untuk

melawan tahanan pemeriksa

P = POOR 2: Dapat menggerakkan anggota gerak,

tetapi tidak kuat menahan berat dan tidak

dapat melawan tahanan pemeriksa.

T = TRACE 1: Terlihat atau teraba ada getaran

kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan

anggota gerak sama sekali.

O = ZERO 0: Paralisis, tidak ada kontraksi otot sama

sekali

Pemeriksaan Sensori

Pemeriksaan sensori yang tepat sangat sukar dilakukan pada anak, dan pada bayi atau

toddler hampir tidak mungkin dapat dilakukan. Pada anak yang berumur 6 tahun ke

atas baru dapat dilakukan uji sensibilitas yang sebenarnya. Sebelum dilakukan

pemeriksaan yang sebenarnya, ditunjukkan lebih dahulu cara yang akan dikerjakan

kepada pasien.

Uji sentuhan: sepotong kain atau kapas disentuhkan pada kulit yang diperiksa

dan anak disuruh menjawab apakah terasa sentuhan.

Uji rasa nyeri: pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan jarum yang tajam

dan tumpul. Dilakukan dulu dengan mata terbuka, anak diminta membedakan

22

Page 23: Status Lapkas Kejang

ujung jarum tajam dan tumpul. Setelah itu anak disuruh menutup mata,

kemudian uji dilakukan di kulit tangan, kaki, pipi, rahang.

Uji rasa vibrasi: uji dilakukan dengan garpu tala yang bergetar yang

ditempelkan pada sendi jari, ibu jari kaki, serta maleolus lateral dan medial.

Pasien boleh membuka mata, tetapi tidak boleh melihat, kemudian ditanyakan

apakah terasa ada getaran

Uji posisi: sambil menutup mata, anak disuruh mengatakan apakah jari

tangana/kakinya digerakkan ke atas atau ke bawah.

Uji stereognosis: dengan mata tertutup pasien diminta menebak benda yang

sudah dikenal dengan diletakkan di tangannya.

Uji grafestesia: setelah pasien diberi contoh dengan mata terbuka, kemudian

pasien disuruh menutup mata, setelah itu digoreskan angka, huruf atau simbol

yang dikenal pasien di telapak tangan atau lengan bawah pasien, dan pasien

diminta menebaknya.

Pemeriksaan Refleks

1. Refleks superfisial: refleks dinding abdomen diperiksa dengan menggores

kulit abdomen dengan 4 goresan yang membentuk segi empat (belah ketupat)

dengan titik-titik sudut dibawah xifoid, di atas simpisis dan kanan kiri

umbilikus. Umbilikus akan bergerak pada tiap goresan. Pada bayi kurang dari

1 tahun refleks ini belum ada; pada anak dengan poliomielitis atau anak

dengan lesi sentral atau piramidal refleks ini negatif. Refleks kremaster

diperiksa dengan menggores kulit paha bagian dalam. Dalam keadaan normal

testis akan naik di dalam kanalis inguinalis.

2. Refleks tendon dalam: diperiksa pada tendon biseps, triseps, patela dan

achilles. Pada refleks biseps akan terjadi fleksi sendi siku bila tendon biseps

diketuk; pada refleks triseps terjadi ekstensi sendi siku bila tendon triseps

diketuk; pada refleks patela akan terjadi ekstensi sendi lutut; pada refleks

achilles akan terjadi fleksi plantar kaki.

3. Refleks patologis: refleks Babinski (normal pada bayi sampai umur 18 bulan)

dilakukan dengan menggores permukaan plantar kaki, refleks Oppenheim

dengan menekan tulang kering dengan jari-jari dan digeser ke arah bawah,

refleks Chaddok dilakukan dengan menggores bagian lateral kaki, refleks

Gordon dilakuakn dengan memencet betis, refleks Hoffman dilakukan dengan

menyentil kuku (falang terakhir) jari kedua atau ketiga pasien ke bawah.

23

Page 24: Status Lapkas Kejang

4. Tanda Chvostek (tanda tetani): dilakukan pengetukan di depan telinga dengan

jari atau pengetuk refleks. Tes tersebut positif apabila terdapat kontraksi

sebagian atau seluruh otot yang dipersarafi oleh N. Fasialis ipsilateral.

5. Tanda rangsang meningeal:

Tanda Brudzinski I (Brudzinski’s Neck Sign): satu tangan pemeriksa

diletakkan di bawah kepala pasien dan tangan lainnya di dada pasien untuk

mencegah agar badan tidak terangkat, kemudian kepala pasien di fleksikan ke

dada secara pasif (jangan dipaksa). Bila terdapat rangsang meningeal maka

kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.

Tanda Brudzinski II (Brudzinski’s Contralateral Leg Sign): fleksi tungkai

pasien pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya

pada sendi panggul dan sendi lutut. Hasil akan lebih jelas apabila pada waktu

fleksi panggul, sendi lutut tungkai lain dalam keadaan ekstensi.

Tanda Kernig: pasien dalam posisi terlentang dilakukan fleksi tungkai atas

tegak lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut,

pada keadaan normal tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih dari 135R

terhadap tungkai atas.

DIAGNOSIS BANDING

- Epilepsi

- Meningitis

- Ensefalitis

8. Penatalaksanaan

Menurut dr. Dwi P. Widodo, neurolog anak RSUPN Cipto Mangunkusumo

Jakarta, dalam seminar "Kejang Demam pada Anak" beberapa waktu lalu, tindakan

awal yang mesti dilakukan adalah menempatkan anak pada posisi miring dan hangat.

Setelah air menguap, demam akan turun. Tidak perlu memasukkan apa pun di antara

gigi. Jangan memasukkan sendok atau jari ke dalam mulut anak untuk mencegah

lidahnya tergigit. Hal ini tidak ada gunanya, justru berbahaya karena gigi dapat patah

atau jari luka. Miringkan posisi anak sehingga ia tidak tersedak air liurnya. Jangan

mencoba menahan gerakan anak. Turunkan demam dengan membuka baju dan

menyeka anak dengan air sedikit

24

Page 25: Status Lapkas Kejang

Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam yaitu:

Pengobatan fase akut

Mencari dan mengobati penyebab

Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam

Pengobatan fase akut

Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau

muntahan dan diusahakan jalan nafas harus bebas agar oksigenisasi terjamin.

Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan

fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan

pemberian antipiretik. Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan

utama pengobatan adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu

pemberian obat – obatan antipiretik sanagt diperlukan. Obat – obat yang dapat

digunakan sebagai antipiretik adalah asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6

jam atau ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam.

Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek

terapeutik diazepam sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek

toksik yang serius hampir tidak dijumpai apa bila diberikan secara perlahan dan dosis

tidak melebihi 50 mg persuntikan. Diazepam dapat diberikan secara intravena dan

intrarectal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2

mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam

habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar dan bila tidak timbul kejang lagi jarum

dicabut. Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang seringkali

menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif melalui rektum telah

dibuktikan keampuhannya (Knudsen, 1979; Ismael dkk., 1981; Kaspari dkk., 1981).

Pemberian dilakukan pada anak/bayi dalam posisi miring/ menungging dan dengan

rektiol yang ujungnya diolesi vaselin, dimasukkaniah pipa saluran keluar rektiol ke

rektum sedalam 3 - 5 cm. Kemudian rektiol dipijat hingga kosong betul dan

selanjutnya untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan

kedua muskulus gluteus. Dosis diazepam intrarectal yg dapat digunakan adalah 5 mg

(BB<10 kg) atau 10 mg (BB>10 kg). Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang

5 menit kemudian, bila tidak berhenti juga berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20

25

Page 26: Status Lapkas Kejang

mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian

fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat

basa dan menyebabkan iritasi vena.

Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital yang

langsung diberikan setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan – 1 tahun

50 mg dan 1 tahun keatas 75 mg secara intramuscular. Lalu 4 jam kemudian

diberikan fenobarbital dosis rumatan. Untuk 2 hari pertama diberikan dosis 8-10

mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5

mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara

suntikan dan setelah membaik peroral. Harus diperhatikan bahwa dosis total tidak

boleh melebihi 200 mg/hari karena efek sampingnya adalah hipotensi, penurunan

kesadaran, dan depresi pernafasan.

Mencari dan mengobati penyebab

Pemeriksaaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan

kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.

Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus

yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila

kejang demam berlangsung lama.

Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam

Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian, yaitu:

Profilaksis intermiten

Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari,

penderita yang menderita kejang demam sederhana diberikan diazepam secara

oral untuk profilaksis intermiten dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi

dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat juga diberikan secara

intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg) setiap

pasien menunjukan suhu lebih dari 38,5C. Efek samping diazepam adalah

ataksia, mengantuk, iritabel, dan hipotonia. Obat antipiretik sering dianjurkan

26

Page 27: Status Lapkas Kejang

meskipun tidak terbukti dapat mengurangi risiko rekurensi, tetapi efektif

menurunkan suhu sehingga dapat membuat anak menjadi tenang. 7

Profilaksis jangka panjang

Profilaksis jangka panjang berguna untuk menjamin terdapatnya dosis

terapeutik yang stabil dan cukup didalam darah penderita untuk mencegah

terulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak

tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari. Kontroversi

masih terus berlanjut mengenai pemberian profilaksis terus menerus pada anak

dengan kejang demam. Mengingat sebagian besar penderita kejang demam

mempunyai prognosis baik dan sangat rendahnya komplikasi yang diakibatkan

oleh kejang demam serta pertimbangan akan efektifitas dan efek samping obat

antikonvulsan, maka pemberian profilaksis terus menerus hanya diberikan

secara individual atau pada kasus tertentu saja. 1,2 American Academy of

Pediatrics (AAP) merekomendasikan untuk tidak memberikan profilaksis

terus menerus pada kejang demam sederhana atau yang berulang tanpa faktor

risiko.

Obat profilaksis terus menerus yang biasa diberikan adalah

fenobarbital 3-5 mg/kgBB.hari, tetapi obat ini tidak efektif untuk profilaksis

intermiten. Obat lain yang digunakan untuk profilaksis kejang demam adalah

asam valproat yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan fenobarbital.

Dosis asam valproat yang diberikan adalah 15-40 mg/kgBB/hari. Fenitoin dan

karbamazepin tidak efektif untuk pencegahan kejang demam.

Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria

(termasuk poin 1 atau 2) yaitu:

Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis

atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal, retardasi

mental).

Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan

neurologis sementara atau menetap.

Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.

Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau

terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.

27

Page 28: Status Lapkas Kejang

Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan

jangka panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam

dengan diazepam oral alau rektal tiap 8 jam di samping antipiretik

9. Prognosis

Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik

dan tidak menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya

kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.

Apabila melihat pada umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal

(1973) mendapatkan:

Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50%

dan pria 33%.

Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya

kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang 25%.

28

Page 29: Status Lapkas Kejang

Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian,

misalnya Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6%, sedangkan

Living-ston (1954) mendapatkan dari golongan kejang demam sederhana hanya 2,9%

yang menjadi epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam

temyata 97% yang menjadi epilepsi. Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak

sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor:

Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.

Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang

demam.

Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian

hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya

terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa demam

hanya 2% - 3% saja ("Consensus Statement on Febrile Seizures, 1981") Pada

penelitian yang dilakukan oleh The National Collaboratlve Perinatal Project di

Amerika Serikat , dalam hal mana 1.706 anak pasca kejang demam diikuti

perkembangannya sampai usia 7 tahun, tidak didapatkan kematian sebagai akibat

kejang demam. Anak dengan kejang demam ini lalu dibandingkan dengan

saudara kandungnya yang normal, terhadap tes iQ dengan menggunakan WISC.

Angka rata-rata untuk iQ total ialah 93 pada anak yang pernah mendapat kejang

demam. Skor ini tidak berbeda bermakna dari saudara kandungnya (kontrol). Anak

yang .sebelum terjadinya kejang demam sudah abnormal atau dicurigai menunjukkan

gejala yang abnormal, rnempunyai skor yang lebih rendah daripada saudara

kandungnya. Hasil yang diperoleh the National Collaborative Perinatal Project ini

hampir serupa dengan yang didapatkan di Inggris oleh The National Child

Development-Study* Didapatkan bahwa anak yang pernah mengaiami KD kinerjanya

tidak berbeda dengan populasi umum waktu di tes pada usia 7 dan 11 tahun. Pada

penelitian Ellenberg dan Nelson mendapatkan tidak ada perbedaan IQ waktu diperiksa

pada usia 7 tahun antara anak dengan KD dan kembarannya yang tanpa kejang

demam.

29