SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan...
-
Upload
truongkiet -
Category
Documents
-
view
230 -
download
1
Transcript of SKRIPSI PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP … · kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan...
SKRIPSI
PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP OLEIN DAN
STEARIN MINYAK SAWIT MERAH SERTA APLIKASINYA
SEBAGAI MEDIUM PENGGORENGAN
TEMPE DAN UBI JALAR PUTIH
Oleh :
RISMAWATI
F24104041
2009
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Rismawati. F24104041. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Olein dan Stearin Minyak Sawit Merah serta Aplikasinya Sebagai Minyak Goreng pada Tempe dan Ubi Jalar Putih. Dibawah bimbingan SUBARNA dan FR ZAKARIA.
RINGKASAN
Minyak kelapa sawit merupakan komoditas yang bernilai strategis karena merupakan bahan baku utama minyak makan. Minyak sawit mengandung berbagai zat gizi mikro yang sangat penting untuk peningkatan kesehatan. Dari aspek gizi, kandungan asam lemak, karotenoida, dan tokoferol yang terkandung dalam minyak sawit merah sangat penting untuk peningkatan derajat kesehatan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu usaha mempertahankan komponen bioaktif tersebut. Sedangkan pada proses pengolahan warna merah dalam minyak sawit dihilangkan untuk memperoleh minyak goreng jernih.
Permasalahan yang dihadapi terkait penggunaan minyak sawit merah fraksi olein dan stearin sebagai minyak makan yaitu kekurangsukaan konsumen terhadap aroma yang ditimbulkan minyak sawit merah tersebut. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya terima konsumen terhadap minyak sawit merah maka sawit merah tersebut perlu dideodorisasi terlebih dahulu. Deodorisasi adalah proses untuk memisahkan komponen yang menyebabkan bau dan flavor dari minyak. Parameter keberhasilan deodorisasi adalah penurunan kadar asam lemak bebas dan peroksida. Deodorisasi ini perlu dilakukan pada suhu dan waktu yang tepat agar tidak banyak terjadi kehilangan zat gizi mikro.
Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh waktu proses deodorisasi yang dilakukan pada suhu 100oC dan tekanan 60 cmHg vakum pada olein dan stearin minyak sawit merah. Parameter analisisnya adalah kadar asam lemak bebas, kadar peroksida, kadar air, total karotenoid, total tokoferol dan aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis sidik ragam waktu deodorisasi berpengaruh nyata terhadap asam lemak bebas, bilangan peroksida, kadar air, tokoferol total, dan aktivitas antioksidan (p<0,05). Dan tidak berpengaruh nyata terhadap karotenoid total (p>0,05). Setelah deodorisasi selama 6 jam kadar asam lemak bebas pada olein 0,258 % dan pada stearin 0,306 %; bilangan peroksida 5,31 meq/kg minyak pada olein dan 5,32 meq/kg minyak pada stearin; kadar air 0,082 % pada olein dan 0,123 % pada stearin; total karotenoid 458,600 ppm pada olein dan 221,870 ppm; total tokoferol 843,966 ppm pada olein dan 401,723 ppm pada stearin; dan hasil pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan sebesar 294.567 AEAC pada olein dan 135.734 AEAC pada stearin.
Selanjutnya produk olein dan stearin minyak sawit merah tersebut diaplikasikan sebagai medium penggorengan tempe dan ubi jalar. Tujuan percobaan untuk mengetahui perubahan kandungan karotenoid, tokoferol, dan aktivitas antioksidan minyak dan penyerapannya oleh produk. Analisis kadar air, kadar lemak, total karotenoid, total tokoferol, dan aktivitas antioksidan dilakukan pada minyak dan produk yang digoreng setelah digunakan dalam penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10. Berdasarkan analisis sidik ragam, bahwa penggorengan dengan olein maupun stearin minyak sawit merah memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap peningkatan kadar lemak, kadar karotenoid, kadar tokoferol, dan aktivitas antioksidan pada tempe dan ubi jalar.
Hasil analisis pada olein dan stearin setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 menunjukkan bahwa total karotenoid, total tokoferol, aktivitas antioksidan, dan kadar air
mengalami penurunan. Sedangkan hasil analisis pada tempe dan ubi jalar yang digoreng menunjukkan terjadinya penyerapan tokoferol dan karotenoid setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10. Penyerapan tertinggi pada tempe dan ubi terjadi pada penggorengan pertama baik yang digoreng dengan olein maupun dengan stearin. Penyerapan semakin menurun seiring dengan bertambahnya frekuensi penggorengan. Walaupun olein dan stearin telah digunakan untuk menggoreng hingga 10 kali, karotenoid dan tokoferol total yang diserap oleh tempe dan ubi jalar masih tinggi.
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENGARUH WAKTU DEODORISASI TERHADAP OLEIN DAN STEAR IN
MINYAK SAWIT MERAH SERTA APLIKASINYA SEBAGAI MEDIUM
PENGGORENGAN TEMPE DAN UBI JALAR PUTIH
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
RISMAWATI
F24104041
Dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1985
di Indramayu
Tanggal Lulus :
Bogor, 25 Februari 2009
Menyetujui,
Ir.Subarna, M.Si Prof. Dr. Ir. Fransiska R Z, M.Sc Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................ i DAFTAR ISI....................................................................................................... iii DAFTAR TABEL............................................................................................... v DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... ix I. PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang........................................................................................... 1 B. Tujuan........................................................................................................ 3 C. Manfaat...................................................................... ................................ 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 5
A. Minyak Sawit Mentah ............................................................................... 5 B. Minyak Sawit Merah ................................................................................. 9 C. Fraksinasi Minyak Sawit................................................ ........................... 11 D. Karotenoid ................................................................................................. 13 E. Tokoferol (Vitamin E) ............................................................................... 16 F. Antioksidan...................................................................... .......................... 18 G. Deodorisasi Minyak Sawit ........................................................................ 20
III. METODOLOGI PENELITIAN..................................................... 23
A. BAHAN DAN ALAT................................................................................ 23 B. METODE PENELITIAN .......................................................................... 23 1. Karakterisasi olein dan stearin minyak sawit merah.............................. 23 2. Pengaruh waktu deodorisasi olein dan stearin minyak sawit merah...... 23 3. Aplikasi minyak terdeodorisasi sebagai medium penggorengan........... 24 C. RANCANGAN PERCOBAAN................................................................. 24 D. METODE ANALISIS ............................................................................... 25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 30
A. KARAKTERISTIK OLEIN DAN STEARIN MSM ................................ 30 B. PROSES DEODORISASI OLEIN DAN STEARIN MSM ...................... 31 1. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap asam lemak bebas...................... 31 2. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap bilangan peroksida .................... 33 3. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap karotenoid total ......................... 35 4. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap tokoferol total............................ 36 5. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap aktivitas antioksidan.................. 39 6. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap kadar air..................................... 42
C. PERUBAHAN KARAKTERISTIK OLEIN DAN STEARIN MSM TERDEODORISASI SETELAH PENGGORENGAN............................. 44 1. Kadar air................................................................................................. 45 2. Karotenoid total ..................................................................................... 46 3. Tokoferol total ....................................................................................... 48 4. Aktivitas antioksidan.............................................................................. 49 D. PERUBAHAN KARAKTERISTIK KIMIA TEMPE DAN UBI SETELAH PENGGORENGAN…………………………………….….. 50 1. Kadar air tempe dan ubi jalar................................................................. 51 2. Kadar lemak tempe dan ubi jalar ........................................................... 53 3. Karotenoid total tempe dan ubi jalar...................................................... 55 4. Tokoferol total tempe dan ubi jalar........................................................ 58 5. Aktivitas antioksidan tempe dan ubi jalar.............................................. 60
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 63
A. Kesimpulan................................................................................................ 63 B. Saran .......................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 65
LAMPIRAN ................................................................................... 70
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Produksi minyak sawit beberapa negara di dunia (2004-2008).......... 1 Tabel 2. Komposisi asam lemak dan lipid beberapa minyak nabati................. 6 Tabel 3. Komponen kimia beberapa minyak nabati.......................................... 7 Tabel 4. Kandungan kolesterol beberapa minyak nabati dan lemak daging..... 8 Tabel 5. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit...................................... 8 Tabel 6. Karakteristik kualitas minyak sawit mentah dan olein minyak sawit merah.......................................................................................... 10 Tabel 7. Karakteristik minyak sawit merah Sirajjudin (2003), Mas’ud (2007), dan Puspitasari (2008)......................................................................... 11 Tabel 8. Kandungan karotenoid pada berbagai fraksi minyak sawit................ 12 Tabel 9. Komposisi asam lemak olein dan stearin kelapa sawit....................... 13
Tabel 10. Kandungan karotenoid pada beberapa pangan nabati........................ 14 Tabel 11. Komposisi vitamin E pada minyak sawit........................................... 17 Tabel 12. Perbandingan karakteristik kimia olein dan stearin MSM sebelum deodorisasi dan olein MSM Puspitasari (2008).................... 30 Tabel 13. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap kadar ALB olein dan stearin minyak sawit merah................................................................ 32 Tabel 14. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap bilangan peroksida olein dan stearin minyak sawit merah.......................................................... 34 Tabel 15. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap tokoferol total olein dan stearin minyak sawit merah................................................................ 37 Tabel 16. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah......................................................... 39
Tabel 17. Pengaruh waktu deodorisasi terhadap kadar air olein dan stearin minyak sawit merah............................................................................ 42 Tabel 18. Karakteristik kimia olein dan stearin MSM hasil deodorisasi 6 jam.. 44 Tabel 19. Karakteristik kimia olein dan stearin MSM setelah penggorengan… 45 Tabel 20. Karakteristik kimia tempe dan ubi setelah penggorengan………….. 51
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kelapa sawit.................................................................................... 5 Gambar 2. Struktur β- karoten .......................................................................... 15 Gambar 3. Reaksi penangkapan DPPH oleh antioksidan ................................. 20 Gambar 4. Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH............... 28 Gambar 5. Hubungan antara waktu deodorisasi dengan kadar ALB olein dan stearin minyak sawit merah............................................................. 32 Gambar 6. Hubungan antara waktu deodorisasi dengan bilangan peroksida
olein dan stearin minyak sawit merah............................................. 34 Gambar 7. Hubungan antara waktu deodorisasi dengan total tokoferol olein
dan stearin minyak sawit merah....................................................... 37 Gambar 8. Hubungan antara waktu deodorisasi dengan aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah............................................. 40 Gambar 9. Hubungan antara waktu deodorisasi dengan kadar air olein dan
dan stearin minyak sawit merah...................................................... 42 Gambar 10. Hubungan antara ulangan penggorengan dengan kadar air olein dan stearin minyak sawit merah...................................................... 46 Gambar 11. Hubungan antara ulangan penggorengan dengan karotenoid olein dan stearin minyak sawit merah...................................................... 47 Gambar12. Hubungan antara ulangan penggorengan dengan tokoferol total olein dan stearin minyak sawit merah............................................ 48 Gambar 13. Hubungan antara ulangan penggorengan dengan aktivitas
antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah........................ 50 Gambar 14. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar air tempe.......................................................................................... 53
Gambar 15. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar air
ubi jalar............................................................................................ 53
Gambar 16. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar lemak tempe..................................................................................... 54
Gambar 17. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar lemak ubi jalar.................................................................................. 54
Gambar 18. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan
karotenoid total tempe..................................................................... 56 Gambar 19. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan
karotenoid total ubi jalar.................................................................. 57 Gambar 20. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan
tokoferol total tempe........................................................................ 59 Gambar 21. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan
tokoferol total ubi jalar.................................................................... 60 Gambar 22. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan
aktivitas antioksidan tempe............................................................. 62 Gambar 23. Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan
aktivitas antioksidan ubi jalar.......................................................... 62
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil pengaruh deodorisasi terhadap olein minyak sawit merah. 70 Lampiran 2. Hasil pengaruh deodorisasi terhadap stearin minyak sawit merah 75 Lampiran 3. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap asam lemak
bebas olein MSM pada berbagai perlakuan waktu deodorisasi.................................................................................... 77
Lampiran 4. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
bilangan peroksida olein MSM pada berbagai perlakuan waktu deodorisasi.................................................................................... 78 Lampiran 5. Hasil analisis sidik ragam karotenoid total olein MSM pada berbagai perlakuan waktu deodorisasi................................. 79 Lampiran 6. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
tokoferol total olein MSM pada berbagai perlakuan waktu deodorisasi.................................................................................... 80
Lampiran 7. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
aktivitas antioksidan olein MSM pada berbagai perlakuan waktu deodorisasi......................................................................... 81
Lampiran 8. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar
air olein MSM pada berbagai perlakuan waktu deodorisasi........ 82 Lampiran 9. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar
air olein dan stearin yang digunakan sebagai medium penggorengan................................................................. 83
Lampiran 10. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap karotenoid olein dan stearin yang digunakan sebagai medium penggorengan............................................................................... 85
Lampiran 11. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap
tokoferol total olein dan stearin yang digunakan sebagai medium penggorengan............................................................................... 87
Lampiran 12. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap aktivitas antioksidan olein dan stearin yang digunakan sebagai medium penggorengan............................................................................... 89
Lampiran 13. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar air tempe dan ubi yang digoreng dengan olein dan stearin
MSM........................................................................................... 91 Lampiran 14. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kadar lemak
tempe dan ubi yang digoreng dengan olein dan stearin MSM............................................................................................ 95
Lampiran 15. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap karotenoid total
tempe dan ubi yang digoreng dengan olein dan stearin MSM................................................................................ 99
Lampiran 16. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Tokoferol total tempe dan ubi yang digoreng dengan olein dan stearin MSM............................................................................... 104 Lampiran 17. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan terhadap aktivitas antioksidan tempe dan ubi yang digoreng dengan olein dan
stearin MSM....................................................................... 109
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia menggantikan
Malaysia dengan kapasitas produksi Crude Palm Oil (CPO) telah mencapai 19 juta
ton. Dan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini tersebar di 16 propinsi
dan 52 kabupaten dengan luas lahan sekitar 5,5 juta Ha (GAPKI 2008). Produksi
minyak sawit di beberapa Negara di dunia diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Produksi Minyak Sawit Beberapa Negara di Dunia (2004-2008) (1000T) 2004 2005 2006 2007 2008
Dunia 30.892 33.519 37.122 38.510 42.711
Indonesia 12.350 13.800 16.050 17.100 19.000
Malaysia 13.970 14.960 15.881 15.823 17.350
Thailand 668 685 860 1.020 1.123
Nigeria 790 800 815 830 850
Kolombia 632 655 713 738 832
Sumber : GAPKI 2008
Minyak sawit mengandung berbagai zat gizi mikro yang sangat penting untuk
peningkatan kesehatan. Dari aspek gizi, kandungan asam lemak tak jenuh terutama
oleat dan linoleat, karotenoida, dan tokoferol yang terkandung dalam minyak sawit
merah sangat penting untuk peningkatan derajat kesehatan. Kandungan karoten di
dalam minyak sawit berkisar antara 600-1000 ppm (Naibaho 1990) dan tokoferol atau
vitamin E berkisar antara 800-1000 ppm (Berger 1988). Karotenoid pada minyak
sawit merupakan komponen minor yang bermanfaat bagi kesehatan antara lain untuk
menanggulangi kebutaan karena xeroftalmia, mencegah timbulnya penyakit kanker,
mencegah proses penuaan dini, meningkatkan imunitas tubuh dan mengurangi
terjadinya penyakit degeneratif (Berger 1988).
Dengan semakin populernya penggunaan senyawa alami untuk bahan
suplemen kesehatan, maka karotenoid dan tokoferol minyak sawit memiliki prospek
yang sangat baik untuk dikembangkan di masa depan (Sukarjo et al. 1991). Oleh
karena itu, perlu adanya suatu usaha mempertahankan komponen bioaktif tersebut.
Selama ini pada proses pemurnian minyak, warna merah dalam minyak sawit
dihilangkan untuk memperoleh minyak goreng jernih.
Salah satu upaya untuk mempertahankan keberadaan karotenoid dalam
minyak sawit yaitu dengan memproduksi minyak sawit merah (red palm oil/RPO).
Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang diperoleh tanpa melalui proses
pemucatan (bleaching) dengan tujuan mempertahankan kandungan karotenoid-nya.
Minyak sawit merah ini telah dikembangkan sebagai produk baru oleh Malaysian
Palm Oil Board, karena minyak sawit merah kaya akan senyawa fitokimia seperti
tokoferol, karotenoid, ubiquinon, dan sterol (Ping dan May 2000). Sedangkan di
Indonesia sampai saat ini belum ada minyak sawit merah yang dijual secara
komersial. Namun, penelitian tentang minyak sawit merah kini telah banyak
dilakukan di Indonesia. Salah satunya yaitu oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit
(PPKS) Medan.
Minyak sawit merah juga telah diteliti oleh Puspitasari (2008) dan Wardi
(2008). Produk yang dihasilkan yaitu berupa olein dan stearin minyak sawit merah
dan produknya telah dipasarkan secara terbatas. Permasalahan yang dihadapi terkait
penggunaan minyak sawit merah fraksi olein dan stearin sebagai minyak makan yaitu
kekurangsukaan konsumen terhadap aroma yang ditimbulkan minyak sawit merah
tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Wardi (2008), sebagian
besar konsumen kurang menyukai aroma minyak sawit merah tersebut. Walaupun
demikian, sebanyak 64% konsumen ternyata masih ingin menggunakan produk
tersebut kembali. Tingginya keinginan konsumen untuk menggunakan produk
kembali menunjukkan bahwa produk bisa diterima konsumen.
Untuk meningkatkan daya terima konsumen terhadap minyak sawit merah
maka minyak sawit tersebut perlu dideodorisasi terlebih dahulu. Deodorisasi adalah
suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan bau dan
rasa (flavor) yang tidak enak dalam minyak. Menurut Ketaren (2005) komponen
yang menyebabkan bau dan rasa tidak enak dalam minyak sawit berasal dari flavor
alami dan flavor yang dihasilkan dari kerusakan minyak. Flavor alami ini terdiri dari
hidrokarbon tidak jenuh, pigmen karotenoid, terpene, sterol, dan tokoferol. Flavor
yang dihasilkan dari kerusakan minyak biasanya merupakan hasil degradasi
trigliserida dalam minyak, yang menghasilkan asam lemak bebas, aldehid, dan keton,
dikarbonil, alkohol, dan sebagainya. Komponen-komponen flavor tersebut bersifat
volatil, sehingga diharapkan dapat dikurangi dengan proses deodorisasi. Sehingga
parameter keberhasilan deodorisasi adalah penurunan kadar asam lemak bebas dan
peroksida.
Deodorisasi ini perlu dilakukan pada suhu dan waktu yang tepat agar tidak
banyak terjadi kehilangan zat gizi mikro seperti karotenoid dan tokoferol. Dalam
penelitian ini, minyak sawit merah yang dideodorisasi berupa olein dan stearin
minyak sawit merah yang merupakan produk dari penelitian Puspitasari (2008).
Dalam penelitian ini olein dan stearin minyak sawit merah yang telah
dideodorisasi diaplikasikan sebagai medium penggorengan tempe dan ubi jalar.
Produk goreng yang dihasilkan kemudian dianalisa kadar air, kadar lemak, karotenoid
total, tokoferol total, dan aktivitas antioksidannya, untuk mengetahui seberapa besar
penyerapan produk goreng terhadap zat gizi mikro pada minyak sawit merah tersebut.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk 1). Mengetahui pengaruh waktu dalam proses
deodorisasi olein dan stearin minyak sawit merah terhadap kadar air, kadar asam
lemak bebas, peroksida, karotenoid total, tokoferol total, dan aktivitas antioksidan,
dan 2). Mengetahui seberapa besar penyerapan produk goreng terhadap zat gizi
mikro yang terkandung pada olein dan stearin minyak sawit merah tersebut.
C. Manfaat
Hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, baik
masyarakat ekonomi bawah, menengah, maupun ekonomi atas dalam menyediakan
bahan pangan yang kaya akan beta-karoten. Selain itu juga membantu pemerintah
dalam menanggulangi masalah defisiensi vitamin A.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Minyak Sawit Mentah
Kelapa sawit terdiri dari 80 % bagian perikarp (epikarp dan mesokarp) dan
20 % biji (endokarp dan endosperm). Dari minyak sawit, dapat diperoleh dua
jenis minyak yang berbeda sifatnya, yaitu minyak dari inti (endosperm) sawit
disebut dengan minyak inti atau PKO (Palm Kernel Oil) dan minyak dari sabut
(mesokarp) sawit disebut minyak sawit mentah atau CPO (Crude Palm Oil)
(Ketaren 2005). Minyak sawit mentah adalah minyak yang diperoleh dari bagian
mesokarp buah sawit dengan cara ekstraksi, yang dapat dilakukan dengan
bermacam cara, diantaranya dengan rendering, pengepresan mekanik (hydraulic
atau expeller), ekstraksi dengan pelarut ataupun menggunakan Supercritical Fluid
Extraction (Muchtadi 1992).
Gambar 1 Kelapa Sawit.
Pengolahan minyak sawit dari sabut kelapa sawit menjadi minyak goreng
secara umum melalui beberapa tahap, yaitu ekstraksi, pemurnian, dan fraksinasi.
Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan
yang diduga mengandung minyak atau lemak. Pemurnian (refining) minyak
goreng meliputi tahapan netralisasi atau pemisahan asam lemak bebas
(deasidifikasi), pemucatan (bleaching) dan penghilangan bau (deodorisasi). Tahap
terakhir yaitu fraksinasi, yang merupakan proses pemisahan fraksi cair (olein) dan
fraksi padat (stearin) dari minyak (Ketaren 2005).
Minyak sawit mentah (CPO) terdiri dari komponen gliserida dan non-
gliserida. Trigliserida dalam minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan
tidak jenuh. Asam lemak jenuh meliputi asam miristat (C14:0), asam palmitat
(C16:0), dan asam stearat (C18:0), sedangkan asam lemak tidak jenuhnya
meliputi asam oleat (C18:1), asam linoleat (C18:2), dan asam linolenat (C18:3).
Dari asam-asam lemak tersebut yang dominan adalah asam palmitat dan asam
oleat dengan konsentrasi masing-masing mencapai 50,46% dan 40,35%. Asam-
asam lemak dalam minyak sawit juga dapat dibedakan menjadi asam lemak
esensial dan asam lemak non-esensial. Asam lemak esensial adalah asam lemak
yang tidak dapat disintesis dalam tubuh, yakni linoleat (LA) dan linolenat (LNA),
sedangkan asam lemak yang dapat disintesis oleh tubuh disebut asam lemak non-
esensial. Dengan demikian, minyak sawit didominasi oleh asam lemak non-
esensial dan hanya mengandung asam lemak esensial dalam jumlah kecil (6-9 %
LA dan 0,21 % LNA) (Winarno 1999). Perbandingan asam lemak dan lipid
beberapa minyak nabati diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi asam lemak dan lipid beberapa minyak nabati
Komponen dalam
Minyak
Minyak
Sawit(a)
Minyak
Olive(b)
Minyak
Canola(c)
Minyak
Rapeseed(a)
Asam Lemak (%) • Palmitat • Oleat
• Linoleat Lipid (mg/dL)
• TC
• LDL-C
• HDL-C
• Rasio L/H
11,4 13,7 3,3
187 123 49
2,51
5,1 18,9 3,4
179 132 31 4,3
3,9 16,9 6,4
173 95 48
1,98
7,3 16,4 3,9
186 123 49
2,51
Sumber : (a) Sundram et al. (1997) (b) Choudhury et al. (1995) (c) Sundram et al. (1995)
Keterangan : TC (total cholesterol), LDL (low density lipoprotein), HDL (high density lipoprotein).
Non-gliserida yang terkandung di dalam minyak sawit diantaranya asam
lemak bebas, cemaran logam, air, dan komponen minor. Komponen minor di
dalam minyak sawit mentah yaitu karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol,
fosfolipid, skualen dan tripterpenil, dan hidrokarbon alifatik (Nagendran et al.
2000). Minyak sawit mentah mengandung lebih kurang 1 % komponen minor.
Kandungan karotenoid dan tokoferol yang tinggi merupakan keunggulan minyak
sawit kasar dibandingkan minyak nabati lainnya, kandungan karotenoid di dalam
sawit berkisar antara 500 – 700 µg/g dan tokoferol dan tokotrienol berkisar antara
600 – 1000 µg/g (Choo 1994). Komponen kimia dalam beberapa minyak nabati
diperlihatkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Komponen kimia beberapa minyak nabati
Komponen dalam Minyak
Minyak Sawit
Minyak Kelapa
Minyak Jagung
Minyak Kedelai
Karotenoid (ppm) Vitamin E (ppm)
• tokoferol
• tokotrienol Asam Lemak (%)
• jenuh
• tidak jenuh Fitosterol (ppm)
200-800
642 530
50 49 18
-
11 25
94 5,9 14
-
782 -
16 83 50
-
958 -
14 85 28
Sumber : Winarno (1999)
Komponen lain yang kadarnya relatif rendah dalam minyak sawit adalah
sterol dengan kadar sekitar 300 ppm. Kadar sterol dalam minyak sawit terdiri atas,
sitosterol, campesterol, stigmasterol, dan kolesterol dalam jumlah sedikit. Dalam
CPO (Crude Palm Oil) atau minyak sawit kasar, kadar sterol berkisar antara 360-
620 ppm, sedangkan kadar kolesterol yang terkandung hanya sekitar 10 ppm saja,
atau sebesar 0,001 % dari CPO. Sehingga, jelas bahwa persentase kadar kolesterol
dalam minyak sawit sangat kecil. Dengan demikian, isu yang menyatakan bahwa
minyak sawit berbahaya untuk kesehatan dalam kaitannya dengan kandungan
kolesterol yang tinggi, tidak dapat dibuktikan. Bahkan, dari hasil penelitian
dinyatakan bahwa kandungan kolesterol dalam satu butir telur setara dengan
kolesterol dalam 29 liter minyak sawit (Winarno 1999). Perbandingan kadar
kolesterol berbagai minyak pangan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kandungan kolesterol beberapa minyak nabati dan lemak daging
Jenis Minyak Kisaran Kadar Kolesterol (ppm)
Rata-rata (ppm)
Keterangan
Minyak sawit Minyak kedelai Minyak raoe Minyak jagung Mentega Lemak daging
12-19 20-35 25-30 10-95
1.400-3.200 800-1.400
16,00 28,00
- 57,00 3.150 1.100
Bebas Bebas Bebas Bebas Tinggi Tinggi
Sumber : Winarno (1999)
Menurut Bernardini (1983), wujud minyak dan lemak tergantung komposisi
asam lemak penyusunnya. Minyak yang berwujud padat pada suhu kamar karena
banyak mengandung asam lemak jenuh, misalnya asam palmitat dan stearat yang
mempunyai titik cair tinggi pada suhu kamar. Minyak kelapa sawit adalah lemak
semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap. Komposisi asam lemak
minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Komposisi asam lemak minyak kelapa Sawit
Asam Lemak Atom C Komposisi(%)
Asam Miristat Asam Palmitat Asam Stearat Asam Oleat Asam Linoleat
C14:0 C16:0 C18:0 C18:1 C18:2
0,8 42,0 5,1 42,0 10,0
Sumber: Kritchevsky 2000
B. Minyak Sawit Merah
Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang diperoleh tanpa melalui
proses pemucatan (bleaching) dengan tujuan mempertahankan kandungan
karotenoidnya. Pemucatan (bleaching) menghilangkan sebagian besar bahan
pewarna tak terlarut atau bersifat koloid yang memberi warna pada minyak
(Nagendran et al. 2000). Menurut Helena (2003), sekitar 80 % karotenoid hilang
selama proses bleaching. Sedangkan menurut Ketaren (2005), arang aktif
(bleaching agent) sebesar 0,1 – 0,2 % dari berat minyak dapat menyerap zat
warna sebanyak 95 - 97 % dari total zat warna yang terdapat pada minyak sawit
kasar.
Minyak sawit merah mengandung karoten sebesar 600-1000 ppm.
Karotenoid yang terdapat dalam minyak sawit terdiri dari α-karoten +36,2%, β-
karoten +54,4%, τ-karoten +3,3%, likopen +3,8%, dan santofil +2,2% (Naibaho
1990). Menurut Sukarjo et al. (1991), sebanyak kurang lebih 800 ppm tokoferol
terdapat dalam minyak sawit. Senyawa tokoferol dalam minyak sawit merupakan
campuran dari α-tokoferol 20%, α-tokotrienol 25%, τ-tokotrienol 45%, dan δ-
tokotrienol 10%. Kelompok senyawa tokoferol ini tidak hanya penting karena
peranannya sebagai antioksidan alami tetapi secara fisiologis juga aktif sebagai
vitamin, yaitu vitamin E. Sedangkan menurut Kritchevsky (2000), kadar
karotenoid pada minyak sawit merah yaitu sebesar 550 ppm (sebanyak 375 ppm
adalah β-karoten), dan kadar tokoferol sebesar 468 ppm.
Karotenoid memberikan karakteristik warna orange – merah pada minyak
sawit. Karotenoid, khususnya α-karoten dan β-karoten merupakan prekursor
vitamin A di dalam tubuh (Nagendran et al. 2000). Minyak sawit yang berwarna
merah dapat digunakan untuk menanggulangi defisiensi vitamin A karena
kandungan β-karotennya (Muhilal 1991). Selain itu, dapat digunakan untuk
mencegah penyakit jantung koroner dan penyakit kanker, serta mengganti sel-sel
yang telah rusak (Iwasaki dan Murakoshi 1992).
Minyak sawit merah komersial biasanya merupakan fraksi olein minyak
sawit mentah. Minyak sawit merah fraksi olein diperoleh dengan memisahkan
fraksi olein dari fraksi stearin melalui peningkatan suhu hingga 70oC dan
penurunan suhu secara perlahan-lahan hingga suhu kamar sambil diagitasi
(diaduk) (Weiss 1983). Setelah difraksinasi, minyak sawit merah ini terpisah
menjadi dua fraksi yaitu olein (cair) dan stearin (padat). Menurut Choo et al.
(1989), minyak sawit merah fraksi olein mengandung karotenoid sebesar 680-760
ppm dan minyak sawit merah fraksi stearin ternyata masih memiliki kandungan
karotenoid yang cukup tinggi, yaitu sebesar 380-540 ppm. Sehingga fraksi stearin
juga bisa dimanfaatkan sebagai minyak makan. Karakteristik kualitas minyak
sawit mentah dan olein minyak sawit merah diperlihatkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Karakteristik kualitas minyak sawit mentah dan olein minyak sawit merah Sampel ALB BP Karoten Tokoferol Fe P (%) (mekv/kg) (ppm) (ppm) (ppm) (ppm)
Minyak sawit mentah 3,53 2,32 643 869 - - Olein minyak sawit 3,53 0,44 514 864 - -
dg pemurnian Olein sawit merah 0,04 0,10 513 707 1,6 n.d. RBD minyak sawit 0,04 0,10 Nil 561 1,6 n.d.
Sumber : Choo et al. (1993)
Keterangan: ALB (asam lemak bebas), BP (bilangan peroksida)
Minyak sawit merah kini mulai dikembangkan seiring dengan semakin
disadarinya peran penting karotenoid bagi kesehatan manusia. Minyak sawit
merah (MSM) saat ini telah dikembangkan di Malaysia sebagai produk baru.
Sedangkan di Indonesia sampai saat ini belum ada minyak sawit merah yang
dijual secara komersial. Namun, penelitian tentang minyak sawit merah kini telah
banyak dilakukan di Indonesia. Salah satunya yaitu oleh Pusat Penelitian Kelapa
Sawit (PPKS) Medan. Proses optimasi produksi olein minyak sawit merah telah
dilakukan oleh Sirajjudin (2003), Mas’ud (2007), dan Puspitasari (2008).
Perbandingan karakteristik minyak sawit merah diperlihatkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Karakteristik minyak sawit merah Sirajjudin (2003), Mas’ud (2007), dan Puspitasari (2008)
Parameter Sirajjudin (2003)
Mas’ud (2007)
Puspitasari (2008)
Asam Lemak Bebas (%) 0,02 0,17 0,16
Kadar Air (%, b/b) Bil.Peroksida (meq/kg MSM) Bil.Iod(gI2/kgMSM) Bil.Penyabunan (mgKOH/gMSM) Total Karotenoid (ppm)
0,01 0,86 55 197 650
0,07 5,9 45,8 193,8 492
0,002 5,8 45,6
19,3 533
Sirajjudin (2003) melakukan proses deasidifikasi menggunakan larutan
natrium karbonat 10%. Mas’ud (2007) melakukan optimasi proses deasidifikasi
dan melaporkan bahwa proses deasidifikasi menggunakan NaOH 11,1%, suhu
proses 60oC, dan lama proses 25 menit adalah kondisi deasidifikasi yang paling
optimal. Sedangkan Puspitasari (2008) melakukan penelitian optimasi proses
deasidifikasi dengan kombinasi dua perlakuan yaitu waktu dan kecepatan
pengadukan serta melaporkan bahwa lama proses 20 menit dan kecepatan
pengadukan 60 rpm adalah kondisi deasidifikasi yang optimal.
C. Fraksinasi Minyak Sawit
Minyak sawit terdiri dari fraksi olein dan fraksi stearin. Stearin merupakan
fraksi yang lebih solid (padat), fraksi ini merupakan co-product yang diperoleh
dari minyak sawit bersama-sama dengan olein. Stearin memiliki slip melting point
(titik leleh) pada kisaran 46-56oC, sedangkan olein pada kisaran 13-23oC. Hal ini
menunjukkan bahwa stearin yang memiliki slip melting point yang lebih tinggi
akan berada dalam bentuk padat pada suhu kamar (Pantzaris 1994).
Minyak sawit berbentuk semipadat pada suhu 25oC. Minyak sawit yang
disimpan di tempat dingin pada suhu 5-7oC dapat terpisah menjadi fraksi padat
(stearin) dan fraksi cair (olein). Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan fraksi
stearin dan olein berdasarkan titik beku kedua fraksi tersebut. Menurut Pantzaris
(1994), Fraksinasi merupakan proses pemisahan fraksi cair (olein) dan fraksi
padat (stearin) dari minyak dengan winterisasi, yaitu proses pemisahan bagian
gliserida jenuh atau bertitik cair tinggi dari trigliserida bertitik cair rendah dengan
cara pendinginan (chilling) hingga suhu 5 – 7 oC.
Menurut Choo et al. (1994), fraksinasi minyak kelapa sawit menghasilkan
olein sebesar 70-80%. Fraksi olein berwarna merah sedangkan fraksi stearin
berwarna kuning pucat. Warna merah pada olein disebabkan kandungan
karotenoid yang terlarut didalamnya sedangkan fraksi stearin hanya sedikit
mengandung karotenoid. Kandungan karotenoid dalam stearin minyak sawit
merah yaitu berkisar antara 380-540 ppm (Choo 1994). Pada Tabel 8
diperlihatkan kandungan karotenoid pada berbagai fraksi minyak sawit.
Tabel 8 Kandungan karotenoid pada berbagai fraksi minyak sawit
Fraksi Minyak Sawit Total Karotenoid (ppm)
Minyak Sawit Mentah Olein Minyak Sawit Stearin Minyak Sawit Minyak Sisa dari Serat Minyak Pengepresan Kedua
630 – 700 680 – 760 380 – 540
4000 – 6000 1800 – 2400
Sumber: Choo et al. (1989)
Olein merupakan triasilgliserol yang bertitik cair rendah dan mengandung
asam oleat dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan stearin. Olein
dan stearin mempunyai komposisi asam lemak yang berbeda dan merupakan
campuran dari berbagai asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Komponen asam
lemak terbanyak pada olein adalah asam oleat (39,8-43,9%), sedangkan pada
stearin adalah asam palmitat (55,2%) (Beare-Roger et al. 2001). Komposisi asam
lemak pada olein dan stearin dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Komposisi asam lemak olein dan stearin kelapa sawit
Asam Lemak Atom C Komposisi (%) Olein
Komposisi (%) Stearin
Laurat Miristat Palmitat Stearat Oleat Linoleat Linolenat Arakhidonat
C12:0 C14:0 C16:0 C18:0 C18:1 C18:2 C18:3 C20:0
0,1 - 0,5 0,9 - 1,4
38,2 - 49,2 3,7 – 4,8
39,8 - 43,9 10,4 – 13,4
- -
0,1 1,3 55,2 5,3 29,5 8,0 0,2 0,3
Komponen lain 0,1-0,6 Sumber: Beare-Roger et al. (2001)
D. Karotenoid
Sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten yang banyak terdapat
dalam bahan-bahan nabati. Sayuran dan buah-buahan yang berwarna hijau atau
kuning biasanya banyak mengandung karoten. Tubuh manusia mempunyai
kemampuan mengubah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A. Dalam
tanaman terdapat beberapa jenis karoten, namun yang lebih banyak ditemui
adalah α-, β-, dan γ- karoten, mungkin juga terdapat kriptoxantin (Winarno 1997).
Sumber provitamin A terkaya di alam adalah minyak sawit merah yaitu
dengan aktifitas vitamin A sebesar 30.000 µg retinol ekivalen /100 g porsi yang
dapat dimakan (Patterson 1983). Sedangkan menurut Nagendran (2000),
provitamin A pada minyak sawit merah jumlahnya equivalen dengan 15 kali
provitamin A pada wortel dan 300 kali provitamin A pada tomat. Kandungan
karotenoid pada beberapa pangan nabati dapat dilihat pada Tabel 10.
Provitamin A yang memiliki aktivitas vitamin A yang paling tinggi adalah
β-karoten. Aktivitas provitamin A dinyatakan dalam Retinol Equivalen (RE, 1 RE
= 1 µg retinol = 6 µg β-karoten = 12 µg provitamin A dari karoten lain). β-karoten
dikonversi di dalam tubuh menjadi vitamin A diatur dengan proses metabolik.
Toksisitas dan hipervitaminosis tidak akan terjadi walaupun mengkonsumsi
minyak sawit merah secara terus menerus, karena penyerapan dan konversi β-
karoten menjadi vitamin A juga akan berkurang seiring dengan meningkatnya
asupan β-karoten setiap hari (dietary intake) (Nagendran 2000).
Menurut Combs (1992), karoten dalam minyak sawit mentah terdapat
dalam bentuk bebas dan dalam minyak yang merupakan medium pelarutnya.
Sedangkan di dalam sayuran dan buah-buahan, karoten biasanya membentuk
kompleks dengan protein atau teresterifikasi dengan asam lemak sehingga bersifat
lebih stabil dibandingkan dengan karoten minyak sawit mentah. Sehingga
karotenoid di dalam minyak sawit merah lebih mudah diserap oleh tubuh.
Tabel 10 Kandungan karotenoid pada beberapa pangan nabati
Jenis tanaman Kandungan Karotenoid RE/100g
Minyak sawit merah Wortel Daun sayur-sayuran Aprikot Tomat Pisang Air jeruk
30.000 2.000 685 250 100 30 8
Sumber: Choo 1994
β-karoten mempunyai beberapa aktivitas biologis yang bermanfaat bagi
tubuh antara lain untuk menanggulangi kebutaan karena xeropthalmia,
meningkatkan imunitas tubuh, membantu diferensiasi sel-sel epitel, pertumbuhan
dan reproduksi. Selain itu karoten juga memiliki anktivitas antioksidan untuk
mencegah timbulnya penyakit kanker, mencegah proses penuaan dini dan
mengurangi terjadinya penyakit degeneratif. Di dalam tubuh, karoten akan
dikonversi menjadi vitamin A. Persentase β-karoten yang dikonversi menjadi
vitamin A sekitar 60-70% (Bender 2006).
Karotenoida dapat digolongkan atas 4 golongan (Bauernfeind et al., 1981),
yaitu karotenoida hidrokarbon C40H56, santofil, yaitu karoten yang mengandung
oksigen dan hidroksil, ester xantofil, dan asam karotenoida yaitu karoten yang
mengandung gugus karboksil. Karotenoid yang memiliki aktivitas vitamin A yang
utama yaitu α-, β-, γ-karoten dan β- kriptoksantin (Bender 2006). Struktur dasar
karotenoida hidrokarbon terdiri dari ikatan hidrokarbon tidak jenuh yang dibentuk
oleh 40 atom C atau mengandung 8 unit isopren dan 11 ikatan rangkap yang
terkonjugasi. Menurut Sahidin et al. (2000) 11 ikatan rangkap yang terkonjugasi
inilah yang menjadikan β-karoten sebagai antioksidan alami dan dapat
dimanfaatkan sebagai anti kanker. Namun, adanya ikatan ganda juga
menyebabkan karotenoida peka terhadap oksidasi. Oksidasi karotenoida akan
lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan
mangan. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan
ganda (Iwasaki dan Murakoshi 1992). Struktur β- karoten dapat dilihat pada
Gambar 2.
β- karoten
Gambar 2 Struktur β-karoten (Fennema 1996).
Karotenoid yang umum dikenal sebagai sumber vitamin A adalah β-
karoten (100%), α-karoten (53%), dan τ- karoten. Bentuk trans dari karoten
memiliki derajat aktifitas vitamin A yang lebih tinggi dibandingkan dengan
bentuk cis (Iwasaki dan Murakoshi 1992).
Karotenoid ditemukan pada beberapa varietas minyak kelapa sawit yaitu
sebanyak 0,2 %, yang akan memberikan karakteristik merah orange. Pigmen ini
bersifat labil terhadap panas dan jumlahnya menurun secara drastis pada suhu
sekitar 180-220oC. Akan tetapi, menurut Bauernfeind (1981), karotenoid stabil
terhadap panas pada kondisi O2 yang minimal, sehingga hanya terjadi sedikit
penurunan kadar karotenoid minyak yang dipanaskan sampai suhu 150oC di
bawah tekanan rendah (vakum). Selain sebagai pigmen dan antioksidan,
karotenoid khususnya β-karoten juga berperan sebagai provitamin A. Karotenoid
ini akan tetap stabil selama kurang lebih 9 bulan di dalam minyak sawit merah
jika disimpan pada suhu 30oC dan akan stabil lebih dari 1 tahun jika disimpan
pada suhu 10oC (Choo 1993).
Senyawa β-karoten dapat terdegradasi oleh panas akan menghasilkan
senyawa-senyawa yang mudah dan tidak mudah menguap yang umumnya
mempunyai ukuran (berat molekul) lebih rendah dari β-karoten. Dari sekitar 19
senyawa mudah menguap yang terbentuk terdapat 6 senyawa utama, yaitu 2-metil
heksana, 3-metil heksana, n-heptana, siklo-oktanon, toluene, dan (orto, meta, atau
para) xilena (Sahidin et al. 2000).
E. Tokoferol (Vitamin E)
Vitamin E adalah antioksidan paling banyak ditemukan pada minyak
nabati. Isomer vitamin E yang paling penting yaitu tokoferol dan tokotrienol.
Keduanya merupakan antioksidan yang berkontribusi dalam stabilitas minyak
sawit. Ada empat homolog tokoferol yaitu α-, β-, τ-, dan δ-tokoferol. Ada pula
empat analog tokotrienol dengan struktur kimia dasar yang sama, tetapi
mempunyai perbedaan jumlah dan posisi gugus metil yang terikat pada cincin
kromanolnya. Tokoferol dan tokotrienol yang memiliki aktivitas vitamin E
tertinggi yaitu α-tokoferol dan γ-tokotrienol (Sundram 2001).
Total tokoferol yang terkandung di dalam minyak sawit merah sangat
tinggi, yaitu sekitar 717.8 – 817.5 mg/kg olein dan 451.0 – 479.9 mg/kg stearin
(Al-Saqer et al. 2004). Menurut Berger (1988) minyak sawit merah fraksi olein
mengandung sekitar 800-1000 ppm tokoferol dan tokotrienol. Komposisi
tokotrienol lebih besar dari tokoferol yaitu sebesar 70% dari total vitamin E,
sedangkan tokoferol hanya sekitar 30% (Al-Saqer 2004). Komposisi utama
tokoferol dan tokotrienol dalam minyak sawit meliputi 44% τ-tokotrienol, 22% α-
tokoferol, dan 12% δ-tokotrienol, sisanya berupa α-, dan β-tokotrienol dan β-, τ-,
dan δ-tokoferol (Berger 1988). Komposisi vitamin E pada minyak sawit menurut
Choo (1996) diperlihatkan pada Tabel 11.
Tabel 11 Komposisi vitamin E pada minyak sawit
Sumber: Choo (1996)
Menurut Berger (1988), 75% tokoferol alami tetap bertahan dalam
minyak sawit setelah pemanasan selama 25 jam pada suhu 180oC, artinya
tokoferol tahan terhadap suhu tinggi atau pemanasan. Dan menurut Nagendran
Komposisi Vitamin E (%) Sampel α – T α – T3 γ – T3 δ – T3
Total vitamin E (ppm)
Minyak sawit mentah
Minyak sawit merah
komersial (olein)
RBD minyak sawit
21
19
25
24
29
29
43
41
36
11
10
10
600 – 1000
717 – 863
515 – 800
(2000), tokoferol dan tokotrienol merupakan isomer dari vitamin E yang
berpotensi sebagai antioksidan dan memberi stabilitas oksidatif pada minyak
sawit. Walaupun minyak sawit relatif tahan terhadap kerusakan oksidatif karena
kandungan asam lemak tidak jenuh tinggi, kehilangan tokoferol tetap harus dijaga
seminimal mungkin. Proses deodorisasi dengan uap dan distilasi asam lemak
bebas menyebabkan kehilangan tokoferol sebesar 15-57%. Pada proses fraksinasi,
sebagian besar tokoferol akan tertinggal dalam fraksi cair atau fraksi olein (Goh et
al. 1985).
Vitamin E, khususnya α-tokoferol, memiliki fungsi antioksidan yang
sangat penting di dalam membran sel dan memiliki aktivitas biologis yang sangat
tinggi (Che Man et al. 2005). Sedangkan keuntungan dan kegunaan tokotrienol
menurut Winarno (1999) yaitu, (a) Mampu menekan produksi kolesterol dalam
hati sehingga manurunkan kadar kolesterol darah, (b) Mengurangi kecenderungan
dapat menggumpal, (c) Memberi perlindungan terhadap kanker tertentu, dan (d)
Bekerja sebagai antioksidan sehingga mampu membasmi oksigen radikal bebas
penyebab proses penuaan.
F. Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses
oksidasi (Schuler 1990). Antioksidan secara umum didefinisikan sebagai senyawa
yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam
arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya
reaksi oksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochar dan Rossell 1990).
Proses oksidasi lipid terjadi dalam tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi, dan
terminasi. Reaksi inisiasi terjadi ketika lemak tidak jenuh berinteraksi dengan
oksigen membentuk radikal bebas. Radikal bebas tersebut akan berlanjut
mengalami reaksi berantai membentuk radikal bebas-radikal bebas lain dalam
tahap reaksi propagasi. Selanjutnya dalam reaksi terminasi, radikal bebas yang
bersifat sangat reaktif akan membentuk ikatan yang stabil bila bereaksi dengan
senyawa radikal lain (Jadhav et al. 1996). Ketiga tahap reaksi oksidasi lipid
tersebut adalah sebagai berikut:
Tahap reaksi inisiasi : RH R* + H*
ROOH RO* + HO*
ROOH RO* + ROO* + H2O
Tahap reaksi propagasi : R* + O2 ROO*
ROO* + RH ROOH + R*
Tahap reaksi terminasi : R* + R* R-R
R* + ROO* ROOR
ROO* + ROO* ROOR + O2
Antioksidan memiliki dua fungsi yaitu sebagai antioksidan primer dan
antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah suatu molekul yang dapat
memberikan atom hidrogen secara cepat kepada radikal lipid sehingga radikal
yang terbentuk lebih stabil daripada radikal lipidnya atau diubah menjadi produk
lain yang lebih stabil. Zat-zat yang termasuk golongan ini dapat berasal dari alam
seperti tokoferol, polifenol, lesitin, fosfatida, dan asam askorbat serta antioksidan
buatan seperti butylated hydroxyanisole (BHA) dan butylated hydroxytoluene
(BHT). Sedangkan antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah
kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergi (Winarno 1997).
Menurut Shahidi (1997), antioksidan diketahui bekerja pada berbagai
tahapan oksidasi molekul lemak, yaitu dengan cara menurunkan kadar oksigen,
menangkap singlet oksigen, mencegah tahap inisiasi reaksi rantai melalui
penangkapan radikal hidroksil, mengikat ion logam katalisator, dekomposisi
produk utama menjadi senyawa non radikal dan memutus reaksi rantai untuk
mencegah kelanjutan penarikan elektron dari substrat.
Penggunaan antioksidan dalam produk pangan sangat bervariasi. Aktivitas
antioksidan dalam produk pangan dipengaruhi oleh suhu, komposisi makanan,
struktur produk dan keberadaan oksigen (Gordon 2001). Peran antioksidan bagi
kesehatan terutama adalah dalam mengatasi implikasi reaksi oksidasi dalam tubuh
yang dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler, kanker, dan penuaan (Nelson
et al. 2003). Konsumsi formula antioksidan yang mengandung antioksidan beta
karoten, vitamin E, dan selenium organik setiap hari terbukti menggurangi resiko
terkena kanker lambung (turun sampai dengan 21%), kanker esofagus resikonya
turun sampai 4%, dan penurunan tingkat kematian dari penyebab lainnya sampai
9% (Setright 1993).
Minyak sawit merah merupakan salah satu minyak nabati yang memiliki
aktivitas antioksidan yang tinggi. Hal ini dikarenakan tingginya kandungan
karotenoid dan tokoferolnya. Farombi dan Britton (1998) menyatakan bahwa
aktivitas antioksidan minyak sawit disebabkan oleh kandungan senyawa aktif
yaitu karotenoid dan tokoferol. Karotenoid dan tokoferol bersinergi dalam
mencegah oksidasi pada minyak sawit.
Untuk mengukur suatu aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Prinsip pengukuran ini adalah dengan cara mereaksikan senyawa
antioksidan dengan senyawa radikal. Salah satunya yaitu dengan metode DPPH.
Pengujian antioksidan dengan metode ini merupakan pengujian secara kolorimetri
berdasarkan warna. Warna yang terbentuk berasal dari hasil reaksi antara radikal
bebas DPPH dengan antioksidan. Reaksi yang terjadi adalah DPPH* + AH
DPPH-H + A*. DPPH* dalam bentuk radikal memberikan absorpsi yang
maksimum pada panjang gelombang 517 nm. Setelah direduksi oleh antioksidan,
maka terbentuk senyawa non-radikal yang berwarna kuning pucat (Mello et al.
2005).
+ AH + A*
DPPH (ungu) DPPH tereduksi (kuning pucat)
Gambar 3 Reaksi penangkapan DPPH oleh antioksidan
(Molyneux 2004).
G. Deodorisasi Minyak Sawit
Deodorisasi adalah suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan
untuk menghilangkan bau dan rasa (flavor) yang tidak enak dalam minyak.
Prinsip dari proses deodorisasi yaitu penyulingan minyak dengan uap panas dalam
keadaan hampa udara atau vakum. Proses deodorisasi dilakukan dengan cara
memompakan minyak ke dalam ketel deodorisasi. Minyak tersebut dipanaskan
pada suhu 200-250oC pada tekanan 1 atmosfer (gauge) dan selanjutnya dilakukan
pada tekanan rendah (lebih kurang 10 mmHg) sambil dialiri dengan uap panas
selama 4-6 jam, hal ini bertujuan untuk mengangkut senyawa yang dapat
menguap (Ketaren 2005).
Menurut Bernardini (1983), deodorisasi dengan sistem batch biasanya
dilakukan pada suhu 180oC sampai 200oC tergantung pada jenis minyak atau
lemak yang dideodorisasi, selama 5 sampai 12 jam pada tekanan 10-20 Torr.
Sedangkan menurut Henon et. al. (1997) dalam proses pemurnian minyak,
deodorisasi biasa dilakukan selama 1-4 jam pada suhu tinggi (180 sampai 260oC)
dan tekanan rendah.
Senyawa yang menimbulkan flavor dalam minyak terdiri dari dua
golongan yaitu, a) flavor alami dan b) flavor yang dihasilkan dari kerusakan
minyak. Flavor alamiah yaitu flavor yang secara alami terdapat dalam bahan yang
mengandung minyak dan ikut terekstrak pada proses pemisahan minyak dari
bahan yang mengandung minyak. Senyawa tersebut terdiri dari hidrokarbon tidak
jenuh, pigmen karotenoid, terpene, sterol, dan tokoferol. Flavor yang dihasilkan
dari kerusakan minyak biasanya merupakan hasil degradasi trigliserida dalam
minyak, yang menghasilkan asam lemak bebas, aldehid, dan keton, dikarbonil,
alkohol, dan sebagainya. Bau tengik dan rasa getir mulai dapat dirasakan jika
komponen tersebut terdapat dalam minyak dengan jumlah lebih dari 0,1% dari
berat minyak (Ketaren 2005).
Proses deodorisasi menghilangkan komponen residu yang tertinggal
dalam minyak setelah pemurnian seperti, komponen penyebab bau dan rasa,
sterol, pigmen dan menghancurkan peroksida sehingga meningkatkan daya tahan
lemak terhadap oksidasi. Pemisahan asam lemak bebas (ALB) juga berlangsung
pada tahap ini. Aplikasi suhu tinggi dan tekanan yang rendah akan mengakibatkan
ALB menguap dan bersifat volatil sehingga dapat dipisahkan dari minyak
(trigliserida) yang kurang volatil. Kondisi proses deodorisasi sangat menentukan
kualitas minyak dan lemak yang dihasilkan. Kondisi proses utama yang
mempengaruhi mutu hasil deodorisasi yaitu suhu dan tekanan deodorisasi, lama
deodorisasi, banyaknya steam yang diperlukan serta bahan dan peralatan
deodorisasi (Bernardini, 1983).
Proses deodorisasi pada minyak sawit merah telah diteliti oleh Wulandari
(2000). Proses deodorisasi ini dilakukan pada suhu 180oC selama 20 menit, dan
menghasilkan produk minyak sawit merah dengan kadar karotenoid 249 ppm dan
asam lemak bebas 0,2 %. Siahaan et al. (2003) melakukan proses optimasi
deodorisasi minyak sawit merah dan melaporkan bahwa deodorisasi dengan suhu
160oC, lama proses deodorisasi 120 menit, dan tekanan 15 cmHg adalah kondisi
yang optimal. Produk yang dihasilkan adalah minyak sawit merah dengan
kandungan karoten 518 ppm dan asam lemak bebas 0,171 %.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan- bahan yang digunakan adalah minyak sawit merah fraksi olein
dan stearin, air, alkohol 95%, heksana, NaOH, indikator PP, indikator pati,
metanol, DPPH 1 mM, KI jenuh, Na2S2O3 0.01N, buffer asetat 0.1 M (pH
5.5), standar asam askorbat, bipiridin, FeSO3, standar tokoferol, Natrium
tiosulfat, asam asetat, dan kloroform.
Alat-alat yang digunakan antara lain gelas piala, hot plate, desikator,
oven vakum, spektrofotometer UV-VIS, timbangan, erlenmeyer, penangas
air, titrimeter, tabung reaksi, dan peralatan gelas.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu 1) Karakterisasi olein dan stearin
minyak sawit merah 2) Pengaruh waktu deodorisasi olein dan stearin minyak
sawit merah, dan 3) Aplikasi olein dan stearin terdeodorisasi sebagai medium
penggorengan tempe dan ubi jalar.
1. Karakterisasi olein dan stearin minyak sawit merah
Analisis olein dan stearin minyak sawit merah dilakukan untuk
mengetahui karakteristik olein dan stearin minyak sawit merah, dengan
menentukan kadar asam lemak bebas, kadar air, bilangan peroksida, kadar
karotenoid awal, dan kadar tokoferol awal.
2. Pengaruh waktu deodorisasi olein dan stearin minyak sawit merah
Proses deodorisasi dilakukan dengan memasukkan minyak ke dalam
alat deodorisasi (deodorizer) minyak dan lemak, dalam penelitian ini
digunakan vaccuum evaporator. Deodorisasi dilakukan pada suhu 100oC,
dengan tekanan 60 cmHg vakum, dengan tujuh variasi waktu (0, 1, 2, 3, 4, 5,
dan 6 jam). Produk hasil deodorisasi dianalisa kadar air, kadar asam lemak
bebas, kadar peroksida, total karotenoid, total tokoferol, dan aktivitas
antioksidan.
3. Aplikasi minyak terdeodorisasi sebagai medium penggorengan
Olein dan stearin minyak sawit merah yang telah dideodorisasi selama
6 jam, diaplikasikan sebagai medium penggorengan. Dalam penelitian ini olein
dan stearin minyak sawit merah yang telah dideodorisasi digunakan untuk
menggoreng tempe dan ubi jalar. Olein dan stearin ini digunakan sampai
sepuluh kali penggorengan tanpa ditambah dengan yang baru. Olein dan stearin
yang telah digunakan untuk menggoreng, serta produk tempe dan ubi hasil
penggorengan ke 0, 1, 3, dan 10 dianalisa kadar air, kadar lemak, karotenoid
total, tokoferol total, dan aktivitas antioksidannya.
C. RANCANGAN PERCOBAAN
Faktor perlakuan pada tahap pertama penelitian ini berupa waktu
deodorisasi sebanyak 6 waktu, rancangan percobaan yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap. Model matematika tersebut adalah :
i = 1, 2, ....., t dan j = 1, 2, ....., r
X ij = Respon percobaan terhadap pengaruh waktu pengadukan pada
taraf ke-i pada ulangan ke-j
µ = rata-rata umum
τi = pengaruh perlakuan ke-i
= µi- µ
εij = pengaruh kesalahan percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
(5%)
Pengujian dilakukan dengan menggunakan program SPSS one-way
analysis of variance (ANOVA) dengan p<0.05 dan jika terbukti ada perbedaan
yang signifikan, maka untuk mengetahui kelompok yang berbeda dilanjutkan
dengan uji Duncan.
X ij = µ + ττττi + εij
D. METODE ANALISIS
1. Karotenoid Total (PORIM 1995)
Minyak yang akan diuji ditimbang sebanyak 0,1 gram ke dalam labu
takar 25 ml, kemudian sampel dilarutkan dengan hexan sampai tanda tera,
dengan cara dikocok hingga benar-benar homogen. Kemudian diukur
absorbansinya pada 446 nm.
Karotenoid total = 25 x absorbansi x 383 100 x bobot sampel (g)
2. Tokoferol Total (Nielsen 2003)
Sebanyak 200+10 mg contoh ditimbang dengan tepat dan
dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml. Kemudian ditambahkan 5 ml
toluen untuk melarutkan contoh. Ditambahkan 3.5 ml larutan 2,2-bipiridin
0.7 % (b/v) dan 0.5 ml FeCl3.6H2O 0.2 % (b/v). Setelah itu, ditepatkan
dengan etanol 95 % sampai volume total 10 ml. Kemudian didiamkan
selama 1 menit dalam ruang gelap, diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Larutan blanko (tanpa
contoh) dibuat seperti prosedur tersebut.
Tokoferol total (µg/g) = [C] W Dimana : [C] = konsentrasi tokoferol dari kurva standar (µg) W = berat contoh (g)
Pembuatan kurva standar Tokoferol
Sebanyak 50 mg tokoferol standar ditimbang dan dilarutkan dalam
50 ml toluen. Larutan tersebut dipipet sebanyak 2 ml ke dalam labu takar
50 ml. Kemudian ditambahkan toluen hingga tanda tera. Konsentrasi
larutan standar tokoferol ini adalah 40 µg/ml.
Larutan tokoferol standar 40 µg/ml dipipet sebanyak 0.5, 1.0, 2.0,
3.0, 4.0, dan 5.0 ml ke dalam labu takar 10 ml. Ditambahkan 3.5 ml
larutan 2,2-bipiridin 0.7 % (b/v) dan 0.5 ml FeCl3.6H2O 0.2 % (b/v) ke
dalam masing-masing labu takar. Dan ditepatkan dengan etanol 95%
sampai volume total 10 ml, digoyang-goyang hingga homogen.
Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520
nm. Kemudian dibuat plot kurva standar dan persamaan regresi liniernya.
3. Asam Lemak Bebas, Metode Titrimetri (AOAC 1995)
Minyak yang akan diuji ditimbang sebanyak 2 gram di dalam
erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambah 50 ml alkohol netral 95% dan
dipanaskan selama 10 menit dalam penangas air sambil diaduk. Larutan
ini kemudian dititer dengan larutan standar NaOH 0,1 N dengan indikator
PP 1%, sampai tepat berwarna merah muda, setelah itu dihitung jumlah
miligram NaOH yang digunakan untuk menetralkan asam lemak dalam
gram minyak atau lemak. Asam lemak bebas dinyatakan dalam persen
asam lemak, dihitung sampai dua desimal dengan menggunakan rumus :
Kadar asam lemak bebas (%) = M x V x T 10 x m
Keterangan :
M = berat molekul asam lemak bebas (286 untuk asam oleat)
V = volume NaOH untuk titrasi (ml)
T = normalitas larutan NaOH
m = bobot contoh (gram)
4. Kadar Peroksida (AOAC 1995)
Minyak yang akan diuji ditimbang sebanyak 5 gram, kemudian
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan 30 ml pelarut
(60% asam asetat glasial : 40% kloroform) kemudian dikocok sampai
larut. Setelah larut ditambahkan 0,5 ml KI jenuh dan dikocok selama 1
menit lalu didiamkan dalam ruang gelap selama 15 menit. Selanjutnya
ditambahkan 2 tetes indikator pati 1 % sebagai indikator dan dititrasi
dengan Natrium tiosulfat 0,01 N sampai warna biru hilang. Penetapan
blanko dengan cara yang sama hanya tidak menggunakan sampel.
Perhitungan bilangan peroksida menggunakan rumus sebagai berikut :
Bilangan Peroksida = (V1-V0) x N x 1000 (mekv / 1000 g ) m
Keterangan :
V1 = Volume larutan natrium tiosulfat untuk minyak (ml)
V0 = Volume larutan natrium tiosulfat untuk minyak (ml)
N = Normalitas larutan standar natrium tiosulfat
m = bobot minyak (gram)
5. Aktivitas Antioksidan, Metode DPPH (Pradono et al. 2006)
Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode radikal
DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil radical scavenging). BHT
digunakan sebagai bahan pembanding ekstrak sampel. Secara spesifik,
metode pengukuran dapat dilihat pada Gambar 4.
Asam askorbat digunakan sebagai standar pembanding terhadap
aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh minyak sawit merah. Oleh karena
itu, aktivitas antioksidan MSM akan dihitung berdasarkan kesetaraannya
dengan aktivitas antioksidan asam askorbat yang dinyatakan dalam ppm
AEAC (Ascorbic acid Equivalen Atioxidant Capacity).
Dicampur 2 ml larutan buffer asetat (pH 5.5),
3.75 ml metanol, dan 200 µl DPPH 3 mM dalam metanol
Divorteks larutan campuran
Ditambah 50 µl laruten sampel atau larutan standar antioksidan
Diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit
Diukur A sampel dengan spektrofotometer pada λ = 517nm
Gambar 4 Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Pradono et al. 2006).
6. Kadar Air, metode oven (AOAC 1995)
Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1
jam dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 5
gram sampel dimasukkan dalam cawan, dan cawan beserta isi dikeringkan
di dalam oven vakum minimal 6 jam. Setelah selesai cawan dipindahkan
ke desikator. Setelah dingin bobot cawan ditimbang bersama sampel.
Kemudian dikeringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh bobot
yang tetap. Perhitungan kadar air (% bobot basah) menggunakan rumus :
(g air / 100 g bahan) = m-(m2-m1) x 100
M
Keterangan :
m = bobot awal sampel sebelum dikeringkan (g)
m1 = bobot cawan kosong (g)
m2 = bobot sampel + cawan sesudah dikeringkan (g)
7. Kadar Lemak
Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama sekitar
15 menit. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Sebanyak 1-2 gram contoh dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring
yang dialasi kapas, setelah itu disumbat dengan kapas lagi. Kemudian
dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan ke labu lemak.
Lemak dalam contoh diekstrak dengan heksana selama + 6 jam. Setelah
itu, heksana disuling dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering
pada suhu 105oC. Kemudian didinginkan pada desikator dan ditimbang.
Perhitungan kadar lemak bobot basah menggunakan rumus:
Kadar lemak (g/100 g bahan basah) = W1-W2 x 100 W0
Keterangan: W0 = Bobot contoh dalam gram (g)
W1 = Bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g)
W2 = Bobot labu lemak kosong
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK KIMIA OLEIN DAN STEARIN MINYAK SAWIT
MERAH SEBELUM DEODORISASI
Olein dan stearin minyak sawit merah yang digunakan dalam proses
deodorisasi merupakan produk akhir dari penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari
(2008) yang telah mengalami penyimpanan lebih dari satu bulan pada suhu kamar.
Olein dan stearin ini telah mengalami netralisasi yaitu salah satu proses pemurnian
minyak yang bertujuan memisahkan asam lemak bebas yang ada dalam minyak
dengan cara mereaksikannya dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk
sabun yang tidak larut (Ketaren 2005). Akan tetapi, olein dan stearin ini masih
menghasilkan bau yang cukup kuat sehingga harus dihilangkan dalam proses
deodorisasi. Parameter yang relevan untuk mengukur keberhasilan deodorisasi yaitu
kadar asam lemak bebas dan peroksida. Karakteristik olein dan stearin minyak sawit
merah sebelum deodorisasi dibandingkan dengan olein hasil penelitian Puspitasari
(2008) disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Perbandingan karakteristik kimia olein dan stearin MSM sebelum deodorisasi dan olein MSM hasil penelitian Puspitasari (2008)
Penelitian Karakteristik Kimia
Olein Stearin
Puspitasari (2008)
Kadar asam lemak bebas (%)
Bilangan peroksida (mekv/kg)
Kadar air (%)
Karotenoid total (ppm)
Tokoferol total (ppm)
Aktivitas antioksidan (AEAC)
0,696
7,640
0,144
494,070
962,931
406,400
0,607
8,930
0,319
221,870
468,966
184,067
0,16
5,8
0,002
533
-
844,556
Karakteristik kimia olein minyak sawit merah yang dihasilkan dari penelitian
Puspitasari (2008), berbeda dengan karakteristik kimia dalam penelitian ini.
Peningkatan kadar asam lemak bebas dan peroksida diduga disebabkan adanya reaksi
hidrolisis yang terjadi karena adanya kandungan air pada minyak (Jatmika et al.
1996). Selain itu, hal ini juga diduga karena olein yang digunakan sebagai bahan baku
penelitian ini dikemas dalam botol plastik dan telah mengalami penyimpanan lebih
dari 3 bulan pada suhu kamar dan dalam kondisi yang lembab sebelum dianalisa.
Sehingga terjadi oksidasi minyak oleh oksigen, yang diduga disebabkan oleh lebih
banyaknya oksigen terlarut dalam minyak yang disimpan dalam kemasan botol
plastik. Oksigen lebih besar kemampuannya menembus botol plastik dibandingkan
botol gelas. Hal ini sesuai dengan penelitian Jatmika et al. (1996). Oksigen yang
menembus botol plastik selanjutnya akan menyerang ikatan rangkap asam lemak
tidak jenuh menyebabkan senyawa penyebab ketengikan (Ketaren 2005). Selain itu,
perbedaan ini kemungkinan dikarenakan kekurangtelitian pada saat analisis, sehingga
bilangan peroksida pada penelitian ini lebih tinggi.
B. PROSES DEODORISASI OLEIN DAN STEARIN MINYAK SAWIT M ERAH
Proses deodorisasi yang dilakukan selama 6 jam pada olein dan stearin
berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar asam lemak bebas, bilangan peroksida,
kadar air, tokoferol, dan aktivitas antioksidan. Dan tidak berpengaruh nyata terhadap
karotenoid total. Dalam penelitian ini analisis pada stearin hanya dilakukan sebelum
deodorisasi dan setelah 6 jam deodorisasi, karena degradasi asam lemak bebas,
peroksida, kadar air, karotenoid, tokoferol, dan aktivitas antioksidan antara olein dan
stearin adalah sama.
1. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Asam Lemak Bebas Olein dan
Stearin Minyak Sawit Merah
Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 3) waktu proses deodorisasi
berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar asam lemak bebas olein dan stearin
minyak sawit merah (p = 0,000). Uji lanjut Duncan (Tabel 13 dan Gambar 5)
menunjukkan kadar asam lemak bebas olein dan stearin setelah deodorisasi
berbeda dengan sebelum deodorisasi. Waktu deodorisasi 1 jam pada olein
menunjukkan kadar asam lemak bebas yang berbeda dengan 2 jam, 4 jam, dan 6
jam.
Tabel 13 Pengaruh waktu deodorisasi terhadap kadar ALB olein dan stearin minyak sawit merah
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata.
Gambar 5 Hubungan antara waktu deodorisasi dengan kadar ALB olein dan stearin minyak sawit merah.
Semakin lama waktu deodorisasi, kadar asam lemak bebas semakin kecil.
Gambar 5 memperlihatkan adanya pola asam lemak bebas yang cenderung
menurun dengan bertambahnya waktu deodorisasi. Sedangkan jumlah asam
lemak bebas olein sebelum deodorisasi sebesar 0,696 %. Pada stearin minyak
sawit merah juga menunjukkan penurunan asam lemak bebas setelah
dideodorisasi selama 6 jam. Kadar asam lemak bebas pada stearin minyak sawit
Asam lemak bebas (%) Waktu deodorisasi Olein Stearin
0 jam
1 jam
2 jam
3 jam
4 jam
5 jam
6 jam
0,63600a
0,59933a
0,50967b
0,46967b
0,35233c
0,26300d
0,25833d
0,60700a
0,30600b
merah sebelum dideodorisasi adalah 0,607 % dan setelah dideodorisasi selama 6
jam menjadi 0,306 %.
Penurunan asam lemak bebas ini dikarenakan asam lemak bebas
terdistilasi selama deodorisasi berlangsung. Dalam penelitian ini proses
deodorisasi dilakukan dengan menggunakan alat vaccum evaporator. Dalam
proses deodorisasi pompa vakum dihidupkan dan uap dialirkan ke dalam alat
dengan tekanan 60 cmHg vakum. Dengan adanya tekanan ini maka asam lemak
bebas dan bau akan menguap dan masuk ke puncak alat, selanjutnya akan dihisap
oleh pompa vakum (Siahaan et al. 2003).
Hasil penelitian Haryanto (2000) dan Siahaan et al. (2003) juga
menunjukkan adanya pengaruh antara suhu dan waktu deodorisasi terhadap kadar
asam lemak bebas. Hal ini menunjukkan keberhasilan proses deodorisasi, karena
kadar asam lemak bebas merupakan salah satu parameter penting untuk
mengetahui keberhasilan proses deodorisasi dan merupakan salah satu indikator
dalam kerusakan minyak. Menurut Siahaan et al. (2003) karena banyak
komponen yang tidak diinginkan dalam minyak yang memiliki tekanan uap dalam
kisaran yang sama dengan asam lemak bebas, maka kandungan asam lemak bebas
merupakan salah satu ukuran keberhasilan deodorisasi.
Asam lemak bebas dalam minyak tidak dikehendaki karena degradasi
asam lemak bebas tersebut menghasilkan rasa dan bau yang tidak disukai. Jumlah
asam-asam lemak bebas yang semakin meningkat merupakan tanda dari adanya
proses ketengikan dalam bahan pangan. Asam-asam lemak bebas ini dihasilkan
dari proses hidrolisis karena terdapatnya sejumlah air dalam lemak atau minyak
(Bernardini 1983).
2. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Bilangan Peroksida Olein dan
Stearin Minyak Sawit Merah
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa waktu
deodorisasi berpengaruh nyata terhadap penurunan bilangan peroksida olein dan
stearin minyak sawit merah (p = 0,002). Uji lanjut Duncan (Tabel 14 dan Gambar
6) menunjukkan bilangan peroksida olein dan stearin setelah deodorisasi berbeda
dengan sebelum deodorisasi. Waktu deodorisasi 1 jam pada olein berbeda nyata
dengan 4 jam dan 6 jam. Hal ini berarti deodorisasi yang dilakukan selama 6 jam
telah mengurangi bilangan peroksida pada olein dan stearin minyak sawit merah.
Bilangan peroksida sebelum dideodorisasi yaitu 7,64 meq/kg pada olein dan 8,93
meq/kg pada stearin, setelah dideodorisasi selama 6 jam bilangan peroksida turun
menjadi 5,63 meq/kg pada olein dan 5,32 meq/kg pada stearin.
Tabel 14 Pengaruh waktu deodorisasi terhadap bilangan peroksida olein dan stearin minyak sawit merah
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata.
Gambar 6 Hubungan antara waktu deodorisasi dengan bilangan peroksida olein
dan stearin minyak sawit merah.
Bilangan peroksida (meq/kg) Waktu deodorisasi Olein Stearin
0 jam
1 jam
2 jam
3 jam
4 jam
5 jam
6 jam
7,63667a
7,62000a
7,27000a
6,62000ab
5,96667bc
5,63333bc
5,31333d
8,9300a
5,3200b
Menurut Hamn dan Min (1994) penurunan peroksida pada proses
deodorisasi dikarenakan peroksida terdekomposisi oleh panas menjadi komponen
volatil yang mempunyai berat molekul yang rendah. Hasil penelitian ini
memperlihatkan bahwa semakin lama waktu deodorisasi maka semakin kecil
bilangan peroksida, yang menunjukkan semakin efektifnya penurunan peroksida
dalam proses deodorisasi.
Bilangan peroksida menunjukkan terjadinya suatu reaksi oksidasi yang
terjadi pada minyak atau lemak yang dipanaskan dan adanya kontak minyak
dengan udara. Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat
kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat
oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida (Shahidi 1997).
3. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Karotenoid Total Olein dan Stearin
Minyak Sawit Merah
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa
waktu deodorisasi tidak berpengaruh nyata terhadap karotenoid total olein dan
stearin minyak sawit merah (p = 0,335). Tetapi kadar karotenoid cenderung
mengalami penurunan setelah deodorisasi selama 6 jam. Dari hasil pengukuran,
nilai karotenoid total pada olein dan stearin minyak sawit merah mengalami
penurunan setelah dideodorisasi selama 6 jam. Kandungan karotenoid olein dan
stearin minyak sawit merah berturut-turut sebelum dideodorisasi sebesar 494,070
ppm dan 221,870 ppm dan setelah dideodorisasi selama 6 jam menjadi 458,600
ppm dan 218,370 ppm.
Penurunan karotenoid disebabkan lamanya pemanasan sehingga karotenoid
terdegradasi dan jumlahnya menurun, semakin tinggi suhu dan semakin lama
waktu deodorisasi mengakibatkan degradasi karotenoid semakin banyak. Hal ini
karena struktur beta karoten mempunyai 11 ikatan rangkap sehingga mudah
terdegradasi oleh panas. Adanya ikatan ganda menyebabkan karotenoid peka
terhadap oksidasi (Iwasaki dan Murakoshi 1992). Hal yang sama juga dilaporkan
oleh Rianto (1995), Hastinah (1997), dan Siahaan et al. (2003) yang menggunakan
sistem model minyak sawit merah yang menunjukkan adanya interaksi nyata
antara suhu pemanasan dan lama pemanasan terhadap penurunan kandungan
karotenoid total.
Akan tetapi penurunan karotenoid dalam penelitian ini sangat kecil
jumlahnya, hal ini dikarenakan dalam proses deodorisasi menggunakan tekanan
vakum. Karotenoid bersifat labil terhadap panas akan tetapi, menurut Bauernfeind
(1981), karotenoid stabil terhadap panas pada kondisi O2 yang minimal, sehingga
hanya terjadi sedikit penurunan kadar karotenoid minyak yang dipanaskan sampai
suhu 100oC di bawah tekanan rendah (vakum).
Kadar karotenoid setelah deodorisasi selama 6 jam pada olein dan stearin
minyak sawit merah yaitu 458,600 ppm (µg/gram minyak) dan 218,370 ppm
(µg/gram minyak). Apabila kita mengkonsumsinya sebagai minyak makan, maka
satu sendok makan yang beratnya sekitar 5 gram, maka karotenoid yang masuk ke
tubuh yaitu sekitar 2.293,00 µg olein dan 1.091,85 µg stearin. Kebutuhan gizi rata-
rata vitamin A yang dianjurkan per orang per hari yaitu sekitar 600 µg RE/hari
(setara dengan 3.600 µg karoten sawit merah) untuk orang dewasa, sedangkan
untuk anak-anak yaitu sekitar 300 µg RE/hari (setara dengan 1.800 µg karoten
minyak sawit merah) (FAO 2001). Sehingga 1½ sendok makan olein minyak sawit
merah dapat memenuhi kebutuhan vitamin A orang dewasa dan ¾ sendok makan
olein cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin A anak-anak.
4. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Tokoferol Total Olein dan Stearin
Minyak Sawit Merah
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa
waktu deodorisasi berpengaruh nyata terhadap tokoferol total olein dan stearin
minyak sawit merah (p = 0,000). Uji lanjut Duncan (Tabel 15 dan Gambar 7)
menunjukkan bahwa olein dan stearin setelah deodorisasi berbeda kadar
tokoferolnya dengan sebelum deodorisasi. Tokoferol total pada olein dan stearin
sebelum deodorisasi lebih tinggi daripada setelah deodorisasi. Tokoferol total
menunjukkan jumlah yang menurun dengan bertambahnya waktu deodorisasi.
Tabel 15 Pengaruh waktu deodorisasi terhadap tokoferol total olein dan stearin minyak sawit merah
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak
berbeda nyata.
Gambar 7 Hubungan antara waktu deodorisasi dengan tokoferol total olein dan stearin minyak sawit merah.
Kadar tokoferol pada olein dan stearin sebelum deodorisasi sebesar
962,931 ppm dan 468,966 ppm sedangkan setelah deodorisasi 6 jam menjadi
843,966 ppm dan 401,723 ppm. Penurunan kadar tokoferol selama deodorisasi
disebabkan karena tokoferol terdegradasi oleh panas. Siahaan et al. (2003)
Tokoferol total (ppm) Waktu deodorisasi Olein Stearin
0 jam
1 jam
2 jam
3 jam
4 jam
5 jam
6 jam
962,93100a
937,06900ab
930,17250b
898,27600c
884,48300cd
865,51700de
843,96550e
468,966a
401,723b
melaporkan hal yang sama bahwa adanya pengaruh pemanasan terhadap
penurunan tokoferol. Namun, kadar tokoferol ini masih menunjukkan jumlah
yang cukup tinggi yaitu 843,966 ppm dan 401,723 ppm pada olein dan stearin.
Selain provitamin A, minyak sawit juga merupakan salah satu sumber
terkaya tokoferol (vitamin E). Kadar vitamin E di dalam minyak sawit kira-kira
sebanding dengan yang terdapat dalam minyak jagung dan kedelai. Kadar
vitamin E dalam minyak sawit dapat mencapai 1000 ppm. Dalam hal ini vitamin
E berfungsi sebagai scavenger radikal bebas dalam tubuh manusia (Winarno
1999).
Tokoferol (vitamin E) merupakan salah satu antioksidan yang sangat
penting. Tokoferol ini merupakan salah satu antioksidan yang efektif dalam lemak
dan minyak yang dikandung pada makanan, karena tokoferol merupakan
scavenger peroksi radikal untuk membentuk produk yang relatif stabil (Fang &
Wada 1993). Menurut Che Man et al. (2005), Vitamin E, khususnya α-tokoferol,
memiliki fungsi antioksidan yang sangat penting di dalam membran sel dan
memiliki aktivitas biologis yang sangat tinggi.
Kebutuhan tubuh akan vitamin E pada setiap orang berbeda-beda.
Kebutuhan vitamin E yang dianjurkan menurut RDA (Recommended Dietary
Allowence) bagi orang dewasa berkisar antara 2,6 – 15,4 mg/hari dengan rata-rata
7,4 mg/hari. Kadar tokoferol (vitamin E) pada olein dan stearin yang telah
dideodorisasi yaitu 843,966 ppm (µg/g minyak) dan 401,723 ppm (µg/g minyak).
Hal ini berarti satu sendok makan olein yang beratnya sekitar 5 gram,
mengandung 4.219,830 µg atau setara dengan 4,220 mg vitamin E. Sedangkan
satu sendok stearin mengandung 2.008,615 µg atau setara dengan 2,009 mg
vitamin E. Sehingga dapat disimpulkan bahwa satu sendok makan olein minyak
sawit merah dapat memenuhi 57 % atau ½ dari kebutuhan vitamin E pada orang
dewasa dan satu sendok stearin dapat memenuhi kebutuhan 27,15 % vitamin E.
5. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Aktivitas Antioksidan Olein dan
Stearin Minyak Sawit Merah
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa waktu
deodorisasi berpengaruh nyata terhadap penurunan aktivitas antioksidan olein dan
stearin minyak sawit merah (p = 0,000). Uji lanjut Duncan (Tabel 16 dan Gambar
8) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan olein dan stearin setelah deodorisasi
berbeda dengan sebelum deodorisasi. Waktu deodorisasi 1 jam pada olein berbeda
nyata dengan 3 jam, 4 jam, 5 jam, dan 6 jam.
Nilai aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah
mengalami penurunan setelah deodorisasi selama 6 jam. Aktivitas antioksidan
olein dan stearin sebelum deodorisasi yaitu 409,733 AEAC dan 183,067 AEAC.
Setelah deodorisasi nilai aktivitas antioksidan pada olein dan stearin menurun
menjadi 294,567 AEAC dan 135,734 AEAC. Penurunan tersebut terjadi karena
adanya komponen antioksidan yang terdegradasi oleh panas, seperti karotenoid dan
tokoferol yang menurun jumlahnya.
Tabel 16 Pengaruh waktu deodorisasi terhadap aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata.
Aktivitas antioksidan (AOAC) Waktu deodorisasi Olein Stearin
0 jam
1 jam
2 jam
3 jam
4 jam
5 jam
6 jam
406,40000a
387,06650b
384,40000b
360,90000c
341,40000d
319,73350e
294,56650f
184,067a
135,734b
Gambar 8 Hubungan antara waktu deodorisasi dengan aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah.
Farombi dan Britton (1998) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan
minyak sawit disebabkan oleh kandungan senyawa aktif yaitu karotenoid dan
tokoferol. Hal ini dinyatakan berdasarkan penelitiannya yang mengukur aktivitas
antioksidan minyak sawit kasar dalam menetralkan senyawa radikal phospatidyl
cholin hydroperoxide (PCOOH). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa nilai
aktivitas antioksidan minyak sawit disebabkan oleh antioksidan dari semua
komponen aktif yang ada pada minyak sawit yaitu karotenoid dan tokoferol.
Antioksidan terdapat secara alamiah dalam lemak nabati. Ada dua macam
antioksidan, yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Contoh
antioksidan primer diantaranya tokoferol, karotenoid, lesitin, fosfatida, sesamol,
gosipol dan asam askorbat. Sedangkan antioksidan sekunder contohnya adalah
asam organik seperti asam sitrat (Winarno 1997).
Walaupun demikian, aktivitas antioksidan olein dan stearin terdeodorisasi
masih menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Nilai aktivitas antioksidan 293,733
AEAC pada olein berarti olein memiliki kapasitas antioksidan setara dengan
kapasitas antioksidan asam askorbat konsentrasi 293,733 ppm. Dan nilai 136,400
AEAC pada stearin berarti stearin memiliki kapasitas antioksidan setara dengan
kapasitas antioksidan asam askorbat konsentrasi 136,400 ppm.
Dwiyanti (1997) melaporkan hal yang sama mengenai pengaruh
pemanasan terhadap aktivitas antioksidan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
aktivitas antioksidan pada minyak yang dipanaskan pada suhu 160oC selama 60,
90, dan 120 menit menalami penurunan menjadi 16,86%, 22,04%, dan 19,03% dari
besarnya aktivitas antioksidan awal. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh waktu
pemanasan terhadap aktivitas antioksidan.
Pengukuran aktivitas antioksidan diukur dengan metode penangkapan
radikal bebas stabil DPPH. Pengukuran aktivitas antioksidan metode ini
menggunakan prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH (dalam metanol) berwarna
ungu tua (deep violet) terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 517
nm. Menurut Molyneux (2004), suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas
antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya
untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPP Hidrazin, ditandai dengan semakin
hilangnya warna ungu (menjadi kuning pucat).
Asam askorbat (Vitamin C) digunakan sebagai standar pengukuran
aktivitas antioksidan dalam penelitian ini. Kemampuan aktivitas asam askorbat
dalam berbagai konsentrasi untuk menangkap radikal bebas stabil DPPH dipetakan
dalam kurva standar asam askorbat. Dari kurva tersebut kemudian diperoleh
persamaan regresi. Persamaan regresi ini selanjutnya digunakan untuk mengetahui
aktivitas antioksidan sampel (olein dan stearin minyak sawit merah terdeodorisasi)
yang disetarakan dengan aktivitas asam askorbat (donor atom hidrogen) dalam
menangkap radikal bebas stabil DPPH. Sehingga hasil akhir pengukuran aktivitas
antioksidan sampel dinyatakan dalam AEAC (Ascorbic acid Equivalent
Antioxidant Capacity).
6. Pengaruh Waktu Deodorisasi Terhadap Kadar Air Olein dan Stearin Minyak
sawit Merah
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa waktu
deodorisasi berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar air olein dan stearin
minyak sawit merah (p = 0,043). Uji lanjut Duncan (Tabel 17 dan Gambar 9)
menunjukkan bahwa kadar air pada olein dan stearin sebelum deodorisasi berbeda
nyata dengan kadar air setelah deodorisasi.
Tabel 17 Pengaruh waktu deodorisasi terhadap kadar air olein dan stearin minyak sawit merah
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak
berbeda nyata.
Gambar 9 Hubungan antara waktu deodorisasi dengan kadar air olein dan stearin minyak sawit merah.
Kadar air olein dan stearin mengalami penurunan setelah dideodorisasi
selama 6 jam. Kadar air awal olein yaitu 0,144% dan kadar air awal stearin
Kadar air (%) Waktu deodorisasi Olein Stearin
0 jam
1 jam
2 jam
3 jam
4 jam
5 jam
6 jam
0,14450a
0,11100ab
0,09800b
0,09350b
0,09150b
0,08800b
0,08350b
0,320a
0,123b
0,319%, setelah deodorisasi kadar air pada olein dan stearin menjadi 0,082% dan
0,121%. Hal ini terjadi karena adanya penguapan air disebabkan pemanasan. Suhu
deodorisasi yang digunakan sama dengan titik didih air yaitu 100oC sehingga
terjadi penguapan. Menurut Winarno (1997), bila suhu air meningkat, jumlah rata-
rata molekul air dalam kerumunan molekul air menurun dan ikatan hidrogen putus
dan terbentuk lagi secara cepat. Bila air dipanaskan lebih tinggi lagi sehingga
molekul-molekul air bergerak demikian cepat, beberapa molekul dapat melarikan
diri dari permukaan dan menjadi gas.
Penurunan kadar air setelah deodorisasi juga dilaporkan oleh Sahidin et al.
(2003). Sahidin et al. (2003) melakukan optimasi deodorisasi olein pada beberapa
kombinasi suhu dan waktu. Kadar air hasil optimasinya yaitu 0,009%, lebih
rendah dari kadar air pada penelitian ini yaitu sebesar 0,082%. Namun, kadar air
hasil penelitian ini masih di bawah kadar air maksimum yang disyaratkan oleh
SNI 01-3741-2002 yaitu 0,3% untuk minyak goreng. Hal ini menunjukkan
kualitas olein dan stearin sesuai dengan standar untuk minyak goreng.
Kadar air merupakan salah satu parameter mutu minyak sawit yang
mempengaruhi keasaman. Kandungan air pada minyak yang terlalu besar akan
mempercepat kerusakan minyak akibat hidrolisis sehingga terjadi peningkatan
asam lemak bebas (ALB) (Ketaren 2005). Kandungan air juga ikut menentukan
daya tahan bahan makanan. Kandungan air yang tinggi dalam bahan
menyebabkan daya tahan bahan rendah. Untuk memperpanjang daya tahan suatu
bahan, sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan berbagai cara
tergantung dari jenis bahan tersebut (Winarno 1997).
Berdasarkan hasil pengaruh waktu deodorisasi terhadap karakteristik
kimia olein dan stearin di atas, maka hasil deodorisasi 6 jam digunakan untuk uji
selanjutnya yaitu sebagai medium penggorengan tempe dan ubi jalar.
Karakteristik kimia olein dan stearin hasil deodorisasi 6 jam disajikan pada Tabel
18.
Tabel 18 Karakteristik kimia olein dan stearin MSM hasil deodorisasi 6 jam
C. PERUBAHAN KARAKTERISTIK OLEIN DAN STEARIN MINYAK SA WIT
MERAH TERDEODORISASI SETELAH PENGGORENGAN
Olein dan stearin yang telah dideodorisasi selama 6 jam diaplikasikan sebagai
medium penggorengan untuk tempe dan ubi jalar putih. Tempe dan ubi jalar putih
dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa tempe dan ubi mudah diperoleh dan dikenal
oleh masyarakat. Tempe mewakili produk pangan yang mudah menyerap minyak
sedangkan ubi mewakili produk pangan yang sedikit menyerap minyak. Kemudian
olein dan stearin yang telah dipakai untuk menggoreng, yaitu setelah penggorengan
ke-1, ke-3, dan ke-10 dianalisa. Analisa yang dilakukan terhadap olein dan stearin
tersebut yaitu kadar air, karotenoid total, tokoferol total, dan aktivitas antioksidan.
Secara keseluruhan karakteristik olein dan stearin setelah penggorengan disajikan
pada Tabel 19.
Karakteristik Kimia Olein Stearin
Kadar asam lemak bebas (%)
Bilangan peroksida (mekv/kg)
Kadar air (%)
Karotenoid total (ppm)
Tokoferol total (ppm)
Aktivitas antioksidan (AEAC)
0,258
5,310
0,082
458,600
843,966
294,587
0,306
5,320
0,123
218,370
401,723
135,734
Tabel 19 Karakteristik kimia olein dan stearin MSM setelah penggorengan
Penggorengan ke- Karakteristik Kimia Jenis
MSM 0 1 3 10
Kadar air (%) Karotenoid total (ppm) Tokoferol total (ppm) Aktivitas antioksidan (AEAC)
Olein
Stearin
Olein
Stearin
Olein
Stearin
Olein
Stearin
0,083
0,123
458,600
221,870
843,966
401,723
51,528
27,179
0,040
0,056
330,260
187,630
743,908
304,443
42,821
21,231
0,031
0,045
220,440
116,550
646,571
273,732
19,744
12,564
0,016
0,037
84,690
49,050
419,453
67,518
8,667
6,615
1. Kadar Air
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan berpengaruh
nyata terhadap kadar air olein dan stearin minyak sawit merah (p = 0,004) dan uji
lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar air olein dan stearin yang digunakan
sebagai medium penggorengan berbeda nyata dengan kadar air olein dan stearin
sebelum dilakukan penggorengan (Lampiran 9). Kadar air olein dan stearin
setelah dilakukan penggorengan lebih rendah daripada sebelum dilakukan
penggorengan (Tabel 19). Hubungan antara ulangan penggorengan dengan kadar
air olein dan stearin disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 menunjukkan terjadinya penurunan kadar air pada olein
maupun stearin setelah penggorengan, mulai dari penggorengan ke-1 hingga
penggorengan ke-10. Kadar air olein awal yaitu sebesar 0,083 %, setelah
penggorengan ke-1 turun menjadi 0,040 %, setelah penggorengan ke-3 dan ke-10
menjadi 0,031 % dan 0,016 %. Sedangkan pada stearin kadar air mula-mula
sebesar 0,123 %, setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 terus mengalami
penurunan yaitu berturut-turut sebesar 0.056 %, 0.045 %, dan 0.037 % (Lampiran
9). Terjadinya penurunan kadar air ini disebabkan adanya penguapan air yang
terkandung di dalam minyak karena dipanaskan secara terus menerus.
Gambar 10 Hubungan antara ulangan penggorengan dengan kadar air olein dan stearin minyak sawit merah.
Kadar air merupakan salah satu parameter yang menentukan daya tahan
suatu bahan makanan. Kandungan air yang tinggi dalam bahan menyebabkan daya
tahan bahan rendah. Untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan, sebagian air
dalam bahan harus dihilangkan dengan berbagai cara tergantung dari jenis bahan
(Winarno 1997). Kadar air yang semakin rendah pada olein dan stearin setelah
dilakukan penggorengan, menunjukkan bahwa olein dan stearin semakin tahan
terhadap hidrolisis.
2. Karotenoid Total
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan
memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan karotenoid total pada olein dan
stearin (p = 0,000) dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa olein maupun stearin
setelah dilakukan penggorengan berbeda karotenoid totalnya dengan olein dan
stearin sebelum dilakukan penggorengan (Lampiran 10). Kadar karotenoid semakin
menurun dengan bertambahnya ulangan penggorengan (Tabel 19). Hubungan
antara ulangan penggorengan dengan karotenoid total olein dan stearin disajikan
pada Gamber 11.
Gambar 11 Hubungan antara ulangan penggorengan dengan kandungan karotenoid olein dan stearin minyak sawit merah.
Karotenoid total mula-mula pada olein adalah sebesar 458,60 ppm, setelah
penggorengan pertama karotenoid total turun menjadi 330,26 ppm. Setelah
penggorengan ke-3 dan ke-10 karotenoid total menjadi 220,44 ppm dan 84,69 ppm.
Pada stearin karotenoid mula-mula sebesar 221,87 ppm setelah penggorengan
pertama karotenoid total turun menjadi 187,63 ppm. Dan setelah penggorengan ke-
tiga dan ke-sepuluh menjadi 116,55 ppm dan 49,05 ppm. Kecepatan rusaknya
oksidasi karotenoid oleh panas meningkat dengan bertambahnya waktu
penggorengan. Akan tetapi, nilai ini menunjukkan bahwa pada olein dan stearin
minyak sawit merah yang telah dipakai untuk menggoreng hingga 10 kali ternyata
masih mengandung banyak karotenoid.
Nurdini (1997) menggunakan minyak sawit merah untuk medium
penggorangan kerupuk udang. Minyak sawit merah digunakan untuk menggoreng
sampai frekuensi ke-50 tanpa diganti atau ditambahkan. Hasil analisisnya
menunjukkan terjadinya penurunan karotenoid total pada minyak setelah dilakukan
penggorengan yang berulang. Kehilangan karotenoid total disebabkan karena
terjadinya kerusakan oleh panas atau terdegradasi. Degradasi β-karoten oleh panas
akan menghasilkan senyawa-senyawa yang mudah dan tidak mudah menguap
(Sahidin et a/. 2000).
3. Tokoferol Total
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan
memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan tokoferol total pada olein
maupun stearin (p = 0,000) dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa baik olein
maupun stearin setelah dilakukan penggorengan memperlihatkan kadar tokoferol
yang berbeda dengan olein dan stearin sebelum dilakukan penggorengan
(Lampiran 11). Kadar tokoferol semakin menurun dengan bertambahnya ulangan
penggorengan (Tabel 19). Hubungan antara ulangan penggorengan dengan
tokoferol total olein dan stearin disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Hubungan antara ulangan penggorengan dengan tokoferol total olein dan stearin minyak sawit merah.
Kadar tokoferol total pada olein maupun stearin menunjukkan terjadinya
penurunan jumlah setelah mengalami penggorengan hingga 10 kali. Tokoferol
awal pada olein dan stearin minyak sawit merah yaitu sebesar 843,966 ppm dan
401,723 ppm. Setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 pada olein berturut-
turut menjadi 743,908 ppm, 646,571 ppm, dan 419,453 ppm. Sedangkan pada
stearin berturut-turut setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 yaitu 304,443
ppm, 273,732 ppm, dan 67,518 ppm.
Pemanasan secara berulang dan terus menerus hingga sepuluh kali
menyebabkan terjadinya degradasi tokoferol, sehingga terjadi penurunan
tokoferol total pada olein dan stearin minyak sawit merah. Akan tetapi, jumlah
tokoferol yang bertahan di dalam minyak masih cukup tinggi. Menurut Berger
(1988), tokoferol tahan terhadap pemanasan hingga suhu 180oC. Sehingga total
tokoferol pada olein dan stearin minyak sawit merah jumlahnya masih tinggi
walaupun telah dilakukan penggorengan hingga sepuluh kali.
4. Aktivitas Antioksidan
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan
berpengaruh nyata (p = 0,000) terhadap penurunan aktivitas antioksidan olein dan
stearin dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa olein dan stearin sebelum
dilakukan penggorengan berbeda dengan olein dan stearin setelah penggorengan
(Lampiran 12). Aktivitas antioksidan setelah dilakukan penggorengan lebih
rendah daripada sebelum penggorengan (Tabel 19). Aktivitas antioksidan semakin
menurun dengan bertambahnya ulangan penggorengan. Hubungan antara ulangan
penggorengan dengan aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah
disajikan pada Gambar 13.
Aktivitas antioksidan sebelum dilakukan penggorengan yaitu sebesar
294,567 AEAC pada olein dan sebesar 135,734 AEAC pada stearin. Setelah
penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 pada aktivitas antioksidan pada olein yaitu
sebesar 244,734 AEAC, 94,733 AEAC, dan 22,733 AEAC. Sedangkan aktivitas
antioksidan pada stearin setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 yaitu sebesar
104,400 AEAC, 48,067 AEAC, dan 9,400 AEAC.
Pemanasan yang berulang-ulang menyebabkan aktivitas antioksidan pada
olein dan stearin menurun. Hal ini juga seperti yang diungkapkan oleh Gordon
(2001) yang menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dalam produk pangan
dipengaruhi oleh suhu, komposisi makanan, struktur produk dan keberadaan
oksigen. Selain itu, penurunan aktivitas antioksidan juga disebabkan adanya
penurunan total karotenoid dan tokoferol. Penurunan karotenoid dan tokoferol
berkorelasi positif terhadap penurunan aktivitas antioksidan. Seperti yang
dilaporkan oleh Farombi dan Britton (1999) bahwa nilai aktivitas antioksidan
minyak sawit disebabkan oleh antioksidan dari semua komponen aktif yang ada
pada minyak sawit yaitu karotenoid dan tokoferol. Tokoferol bersama karotenoid
akan bersinergi dalam melakukan aktivitas antioksidannya.
Gambar 13 Hubungan antara ulangan penggorengan dengan aktivitas antioksidan olein dan stearin minyak sawit merah.
D. PERUBAHAN KARAKTERISTIK KIMIA TEMPE DAN UBI SETELAH
PENGGORENGAN
Tempe dan ubi setelah digoreng dengan olein maupun stearin hasil deodorisasi 6
jam kemudian dianalisa kadar air, kadar lemak, karotenoid total, tokoferol total, dan
aktivitas antioksidan. Karakteristik kimia tempe dan ubi setelah penggorengan
disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Karakteristik kimia tempe dan ubi setelah penggorengan
Penggorengan ke- Karakteristik Kimia Jenis
Produk
Jenis
MSM 0 1 3 10
Kadar air (%) Kadar lemak (%) Karotenoid total (ppm) Tokoferol total (ppm) Aktivitas antioksidan (AEAC)
Tempe
Ubi
Tempe
Ubi
Tempe
Ubi
Tempe
Ubi
Tempe
Ubi
Olein
Stearin
Olein
Stearin
Olein
Stearin
Olein
Stearin
Olein
Stearin
Olein
Stearin
Olein
Stearin
Olein
Stearin
Olein
Stearin
Olein
Sterin
63,419
63,419 68,49
68,449 29,373
29,373 2,210
2,210 6,379
6,379 0,323
0,323 7,698
7,698 -
- 13,400
13,400 8,223
8,223
21,811
28,126
30,343
38,379
55,927
51,399
13,556
11,960
198,249
153,556
47,249
24,969
442,277
177,544 100,157
37,361 53,333
37,026 50,769
35,385
20,896
30,262
24,577
26,388
59,024
50,365
13,244
12,181 103,520
80,673 21,828
13,058 402,504
156,347 82,157
37,361 39,179
31,180 36,718
25,385
24,966
20,656
37,251
34,898
57,896
55,409
10,852
10,484
40,009
29,183
5,764
3,949
271,873
96,026
46,461
7,520
23,846
20,769
21,282
20,256
1. Kadar Air Tempe dan Ubi Jalar
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan dengan
olein maupun stearin berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar air tempe dan
ubi (p = 0,000) dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar air tempe dan
ubi sebelum digoreng berbeda dengan tempe dan ubi setelah digoreng
menggunakan olein maupun stearin minyak sawit merah (Lampiran 13). Kadar air
tempe dan ubi setelah digoreng lebih rendah daripada sebelum digoreng dan
menunjukkan penurunan setelah digoreng (Tabel 20). Hubungan antara ulangan
penggorengan minyak dengan kadar air tempe dan ubi disajikan pada Gambar 14
dan 15.
Kadar air tempe sebelum penggorengan sebesar 63,420 % (b/b) sedangkan
kadar air ubi sebelum penggorengan adalah 68,443 % (b/b). Setelah digoreng baik
dengan olein maupun dengan stearin minyak sawit merah, kadar air pada tempe
berkisar antara 20 – 30%. Sedangkan kadar air pada ubi setelah digoreng dengan
olein maupun stearin minyak sawit merah berkisar antara 20 – 40 %.
Penurunan kadar air ini disebabkan oleh penguapan air dari tempe dan ubi
ketika mengalami proses penggorengan, dimana suhu penggorengan jauh di atas
titik didih air. Air dari bahan yang digoreng keluar, sebaliknya minyak terserap
masuk ke dalam bahan yang digoreng.
Hal yang sama juga dilaporkan oleh Nurdini (1997) dan Jatmiko dan
Guritno (1997). Nurdini (1997) menggunakan minyak sawit merah untuk medium
penggorengan kerupuk udang. Kadar air kerupuk udang mengalami penurunan
yang tajam setelah digoreng. Sedangkan Jatmiko dan Guritno (1997) menggunakan
minyak sawit merah untuk medium penggorengan tahu dan telur. Kadar air pada
tahu dan telur juga menunjukkan penurunan setelah digoreng. Kadar air tahu
setelah digoreng 365,2% lebih besar daripada telur yaitu 124,4%. Menurut Jatmiko
dan Guritno (1997) perbedaan kadar air pada produk setelah penggorengan diduga
karena dipengaruhi oleh porositas produk pangan yang bersangkutan.
Analisis kadar air dilakukan terhadap olein dan stearin karena kadar air
berpengaruh terhadap penyerapan minyak tempe dan ubi jalar yang selanjutnya
berpengaruh terhadap penyerapan karotenoid dan tokoferol. Air pada pada tempe
dan ubi akan keluar pada saat digoreng dan digantikan dengan minyak yang
terserap ke dalam produk. Sedangkan minyak merupakan medium pelarut
karotenoid dan tokoferol.
0
20
40
60
80
Kad
ar a
ir (%
)
0 1 3 10
Frekuensi Penggorengan
Kadar Air Tempe
Digoreng dg oleinDigoreng dg stearin
Gambar 14 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar air
tempe.
Gambar 15 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar air ubi jalar.
2. Kadar Lemak Tempe dan Ubi Jalar
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan dengan
olein maupun dengan stearin minyak sawit merah memberikan pengaruh nyata
terhadap kadar lemak tempe dan ubi (p = 0,000) dan uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kadar lemak tempe dan ubi baik yang digoreng dengan olein
maupun stearin yang digunakan pada penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 berbeda
dengan kadar lemak tempe dan ubi sebelum digoreng (Lampiran 14). Kadar
lemak menunjukkan peningkatan setelah tempe maupun ubi digoreng (Tabel 20).
Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar lemak tempe dan
ubi disajikan pada Gambar 16 dan 17.
Gambar 16 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar lemak tempe.
Gambar 17 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan kadar lemak
ubi jalar.
Kadar lemak pada tempe setelah digoreng dengan olein maupun stearin
minyak sawit merah berkisar antara 50 – 60 %. Sedangkan kadar lemak pada ubi
jalar setelah digoreng dengan olein maupun stearin minyak sawit merah yaitu
berkisar antara 10 – 15 %. Sebagaimana perubahan kadar air, kenaikan kadar
lemak ini juga disebabkan oleh pertukaran massa selama proses penggorengan.
Lemak atau minyak merupakan medium pelarut karotenoid dan tokoferol,
sehingga kadar lemak akan berpengaruh terhadap penyerapan karotenoid dan
tokoferol pada produk setelah digoreng. Semakin banyak minyak yang terserap
maka akan semakin tinggi karotenoid dan tokoferolnya. Ubi jalar menyerap
minyak yang lebih sedikit sehingga kadar lemaknya lebih rendah daripada tempe
setelah digoreng. Hal ini disebabkan adanya perbedaan porositas pada tempe dan
ubi jalar sehingga penyerapan minyak pada keduanya juga berbeda. Selain itu,
kadar lemak awal pada ubi jalar juga jauh lebih sedikit daripada tempe.
Nurdini (1997) mengungkapkan bahwa kadar lemak kerupuk udang
meningkat tajam setelah mengalami penggorengan. Jatmiko dan Guritno (1997)
juga mengungkapkan hal yang sama terhadap kadar lemak tahu dan telur. Kadar
lemak telur lebih besar daripada kadar lemak tahu setelah dilakukan penggorengan.
Kadar lemak tahu setelah digoreng sebesar 11,25 % sedangkan kadar lemak telur
sebesar 56,88%. Hal ini menurut Jatmiko dan Guritno (1997) disebabkan
perbedaan porositas pada tahu dan telur sehingga penyerapan minyak pada
keduanya memiliki perbedaan.
3. Karotenoid Total Tempe dan Ubi Jalar
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan dengan
olein maupun stearin minyak sawit merah memberikan pengaruh nyata terhadap
peningkatan karotenoid total tempe dan ubi (p = 0,000). Hasil analisis
memperlihatkan bahwa terjadinya penyerapan karotenoid pada tempe dan ubi
jalar yang digoreng baik dengan olein maupun dengan stearin minyak sawit
merah (Tabel 20). Akan tetapi, setelah minyak dipakai berulang jumlah
karotenoid yang diserap oleh tempe maupun ubi jalar mengalami penurunan. Uji
lanjut Duncan menunjukkan bahwa karotenoid total tempe dan ubi sebelum
digoreng berbeda dengan karotenoid tempe dan ubi setelah digoreng (Lampiran
15). Karotenoid setelah penggorengan ke-1 lebih tinggi dari penggorengan ke-3
dan penggorengan ke-3 lebih tinggi dari penggorengan ke-10. Hubungan antara
ulangan penggorengan dengan karotenoid total tempe dan ubi disajikan pada
Gambar 18 dan 19.
Karotenoid total pada tempe sebelum digoreng dengan olein maupun
stearin minyak sawit merah, sebesar 6,379 ppm. Setelah digoreng dengan olein
maupun stearin minyak sawit merah karotenoid total pada tempe mengalami
peningkatan. Karotenoid tempe yang digoreng dengan olein minyak sawit merah
setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 berturut-turut sebesar 198,249 ppm,
103,520 ppm, dan 40,009 ppm. Sedangkan yang digoreng dengan stearin minyak
sawit merah setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 berturut-turut sebesar
153,556 ppm, 80,673 ppm, dan 29,183 ppm.
Sedangkan karotenoid total pada ubi jalar setelah penggorengan ke-1, ke-
3, dan ke-10 dengan olein minyak sawit merah berturut-turut yaitu 47,249 ppm,
21,828 ppm, dan 5,764 ppm. Dan pada ubi yang digoreng dengan stearin setelah
penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 yaitu sebesar 24,969 ppm, 13,058 ppm, dan
3,949 ppm. Karotenoid total awal ubi jalar sebesar 0,323 ppm.
0
50100
150200
250300350
400
Kar
ote
no
id T
ota
l (p
pm
)
0 1 3 10
Frekuensi Penggorengan
Karotenoid Total Tempe
Digoreng dg Olein
Digoreng dg Stearin
Gambar 18 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan karotenoid total pada tempe.
0
10
20
30
40
50
Ka
rote
noid
To
tal (
ppm
)
0 1 3 10
Frekuensi Penggorengan
Total Karotenoid Ubi Jalar
Digoreng dg OleinDigoreng dg Stearin
Gambar 19 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan total karotenoid pada ubi jalar putih.
Perbedaan jumlah karotenoid pada tempe dan ubi jalar setelah
penggorengan baik yang digoreng dengan olein maupun yang digoreng dengan
stearin minyak sawit merah, disebabkan adanya perbedaan kadar karotenoid awal.
Selain itu, juga dipengaruhi oleh kadar lemak masing-masing produk karena
karotenoid larut dalam lemak.
Tahu dan telur yang digoreng dengan minyak sawit merah (hasil penelitian
Jatmika dan Guritno (1997) juga mengalami peningkatan jumlah karotenoid. Tahu
yang digoreng dengan minyak sawit merah mempunyai kadar karotenoid sebesar
5,15 ppm. Pada telur, penyerapan karoten ternyata lebih besar dibandingkan tahu.
Telur yang digoreng dengan minyak sawit merah memiliki kandungan karoten
sebesar 34,8 ppm. Hal ini disebabkan perbedaan kandungan minyak yang terserap
pada tahu dan telur. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Nurdini (1997) terhadap
kadar karotenoid pada kerupuk udang. Kadar karotenoid pada kerupuk udang
mengalami peningkatan setelah digoreng dengan minyak sawit merah. Total
karotenoid kerupuk pada suhu 165oC lebih tinggi daripada pada suhu 155oC.
Menurut Nurdini (1997), hal ini dipengaruhi oleh kandungan minyak yang terdapat
pada kerupuk dimana semakin besar minyak yang terserap ke dalam kerupuk,
semakin tinggi kandungan karotenoid per gram kerupuknya.
Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini, karotenoid pada tempe
goreng dan ubi goreng pada frekuensi penggorengan pertama yaitu sebesar 198,249
ppm (µg/gram tempe) dan 47,249 ppm (µg/gram ubi). Apabila kita mengkonsumsi
satu potong tempe atau ubi tersebut yang beratnya kira-kira 10 gram per potong,
maka karoten yang masuk ke tubuh sebesar 1.982,49 µg dan 472,249 µg.
Kebutuhan gizi rata-rata vitamin A yang dianjurkan per orang per hari
untuk anak-anak sekitar 300 µg/hari, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 600
µg/hari (FAO 2001). Nilai 1 RE setara dengan 6 µg karoten, sehingga kebutuhan
rata-rata vitamin A untuk anak-anak setara dengan 1.800 µg karoten dan untuk
orang dewasa setara dengan 3.600 µg karoten.
Nilai satu potong tempe dan ubi yang digoreng dengan olein minyak sawit
merah setelah penggorengan pertama sekitar 1.982,49 µg dan 472,49 µg. Nilai satu
potong tempe yang digoreng dengan olein minyak sawit merah setelah
penggorengan pertama telah memenuhi setengah dari kebutuhan vitamin A per hari
bagi orang dewasa, sedangkan nilai satu potong ubi telah memenuhi ¼ kebutuhan
vitamin A per hari bagi anak-anak. Nilai ini setara dengan sekitar 480 gram wortel.
Menurut Nagendran (2000), provitamin A pada minyak sawit merah jumlahnya
equivalen dengan 15 kali provitamin A pada wortel dan 300 kali provitamin A
pada tomat.
4. Tokoferol Total Tempe dan Ubi Jalar
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan dengan
olein maupun dengan stearin minyak sawit merah berpengaruh nyata terhadap
tokoferol total tempe dan ubi (p = 0,000). Tempe dan ubi mengalami peningkatan
kadar tokoferol setelah digoreng dengan olein maupun dengan stearin minyak
sawit merah (Tabel 20). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tempe dan ubi
baik yang digoreng dengan olein maupun dengan stearin yang digunakan pada
penggorengan ke-1 memperlihatkan kandungan tokoferol berbeda dengan bahan
sebelum digoreng (Lampiran 16). Tokoferol total pada tempe dan ubi yang
digoreng lebih tinggi dari bahan sebelum digoreng. Hubungan antara ulangan
penggorengan minyak dengan tokoferol total tempe dan ubi disajikan pada
Gambar 20 dan 21.
Tempe mentah memiliki kandungan tokoferol (vitamin E) yang cukup
tinggi yaitu sebesar 46,136 ppm, sedangkan ubi jalar memiliki kandungan
tokoferol yang sangat kecil bahkan tidak terdeteksi pada uji total tokoferol dalam
penelitian ini. Total tokoferol pada tempe setelah digoreng dengan olein minyak
sawit merah setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 yaitu 442,277 ppm,
402,505 ppm, dan 271,873 ppm. Setelah digoreng dengan stearin minyak sawit
merah yaitu berturut-turut sebesar 177,544 ppm, 156,347 ppm, dan 96,026 ppm.
Sedangkan pada ubi jalar tokoferol total setelah digoreng dengan olein dan stearin
minyak sawit merah setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 berturut-turut
sebesar 100,157 ppm dan 37,361 ppm, 82,599 ppm dan 33,390 ppm, dan 46,461
ppm dan 7,520 ppm.
Seperti halnya vitamin A, tokoferol (vitamin E) juga merupakan
antioksidan. Vitamin E membantu menstabilkan membran sel, mengatur reaksi
oksidasi dan melindungi vitamin A. Dalam peranannya sebagai anti oksidan,
vitamin E mempunyai pengaruh besar terhadap sel, seperti sel darah merah dan
sel darah putih yang melewati paru-paru (Bender 2006).
0
100
200
300
400
500
To
kofe
rol T
ota
l (p
pm
)
0 1 3 10
Frekuensi Penggorengan
Tokoferol Total Tempe
Digoreng dg OleinDigoreng dg Stearin
Gambar 20 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan total tokoferol pada tempe.
0
20
40
60
80
100
120
To
kofe
rol T
ota
l (p
pm
)
0 1 3 10
Frekuensi Penggorengan
Tokoferol Total Ubi Jalar
Digoreng dg Olein
Digoreng dg Stearin
Gambar 21 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan total tokoferol pada ubi jalar.
Kebutuhan vitamin E yang dianjurkan menurut RDA (Recommended
Dietary Allowence) bagi orang dewasa yaitu berkisar antara 2,6 – 15,4 mg/hari
dengan rata-rata 7,4 mg/hari. Kadar tokoferol pada tempe dan ubi jalar yang
digoreng dengan olein minyak sawit merah setelah penggorengan pertama yaitu
sebesar 442,277 ppm (µg/gram tempe) dan 100,157 ppm (µg/gram ubi). Satu
potong tempe dan ubi goreng tersebut yang beratnya sekitar 10 g, mengandung
4,423 mg dan 1,0 mg tokoferol (vitamin E). Hal ini, berarti satu potong tempe
goreng tersebut dapat memenuhi sekitar 59 % kebutuhan vitamin E per hari untuk
orang dewasa. Sedangkan satu potong ubi goreng dapat memenuhi sekitar 13,5 %
kebutuhan vitamin E per hari untuk orang dewasa.
5. Aktivitas Antioksidan Tempe dan Ubi Jalar
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggorengan dengan
olein maupun stearin minyak sawit merah memberikan pengaruh nyata terhadap
aktivitas antioksidan tempe dan ubi (p = 0,000). Uji lanjut Duncan menunjukkan
bahwa tempe dan ubi baik yang digoreng dengan olein maupun stearin yang
digunakan pada penggorengan ke-1 memperlihatkan aktivitas antioksidan berbeda
dengan bahan sebelum digoreng (Lampiran 17). Aktivitas antioksidan tempe dan
ubi setelah penggorengan ke-1 lebih tinggi dari penggorengan ke-3 dan ke-10, dan
penggorengan ke-3 lebih tinggi dari penggorengan ke-10 (Tabel 20). Hubungan
antara ulangan penggorengan dengan aktivitas antioksidan tempe dan ubi
disajikan pada Gambar 22 dan 23.
Aktivitas antioksidan pada tempe dan ubi jalar sebelum digoreng dengan
olein dan stearin minyak sawit merah yaitu sebesar 45,733 AEAC dan 13,400
AEAC setelah digoreng dengan olein minyak sawit merah setelah penggorengan
ke-1, ke-3, dan ke-10 nilai aktivitas antioksidan pada tempe berturut-turut yaitu
313,067 AEAC, 221,067 AEAC, dan 121,399 AEAC. Setelah digoreng dengan
stearin minyak sawit merah setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10 berturut-
turut sebesar 207,067 AEAC, 169,067 AEAC, dan 101,400 AEAC. Sedangkan
aktivitas antioksidan pada ubi jalar setelah penggorengan ke-1, ke-3, dan ke-10
yang digoreng dengan olein minyak sawit merah yaitu 296,399 AEAC, 205,733
AEAC, dan 104,733 AEAC. Dan setelah digoreng dengan stearin minyak sawit
merah yaitu, 196,399 AEAC, 131,400 AEAC, dan 98,067 AEAC.
Aktivitas antioksidan pada tempe dan ubi jalar putih ini mengalami
peningkatan setelah digoreng dengan olein maupun stearin minyak sawit merah.
Semakin banyak pengulangan penggorengan, semakin rendah aktivitas
antioksidan. Kadar aktivitas antioksidan pada tempe dan ubi berbanding lurus
dengan penyerapan karotenoid dan tokoferolnya. Karena aktivitas antioksidan
minyak sawit merah berasal dari karotenoid dan tokoferol. Menurut Razak (2000)
tokoferol bersama karotenoid akan bersinergi dalam melakukan aktivitas
antioksidannya. Karotenoid membantu tokoferol dengan cara mengikat oksigen.
Karotenoid dalam olein minyak sawit merah bersama tokotrienol juga mempunyai
khasiat anti kanker. Kedua komponen ini bertindak secara sinergi untuk memberi
perlindungan jangka panjang kepada tubuh.
Konsumsi formula antioksidan yang mengandung antioksidan beta
karoten, vitamin E, dan selenium organik setiap hari terbukti menggurangi resiko
terkena kanker lambung (turun sampai dengan 21%), kanker esofagus resikonya
turun sampai 4%, dan penurunan tingkat kematian dari penyebab lainnya sampai
9% (Setright 1993).
0
50
100
150
200
250
300
350
Akt
ivit
as A
nti
oks
idan
(A
EA
C)
0 1 3 10
Frekuensi Penggorengan
Aktivitas Antioksidan Tempe
Digoreng dg Olein
Digoreng dg Stearin
Gambar 22 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan aktivitas antioksidan pada tempe.
0
50
100
150
200
250
300
Akt
ivita
s A
ntio
ksid
an
(AE
AC
)
0 1 3 10
Frekuensi Penggorengan
Aktivitas Antioksidan Ubi Jalar
Digoreng dg Olein
Digoreng dg Stearin
Gambar 23 Hubungan antara ulangan penggorengan minyak dengan aktivitas antioksidan pada ubi jalar.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Asam lemak bebas, bilangan peroksida, karotenoid total, tokoferol total, dan
aktivitas antioksidan menurun seiring dengan meningkatnya waktu deodorisasi.
Tetapi penurunan karotenoid dan tokoferol ini sangat kecil. Deodorisasi selama 6 jam
pada suhu 100oC dan tekanan 60 cmHg vakum pada olein dan stearin minyak sawit
merah cukup baik dalam meminimalkan kehilangan karotenoid dan tokoferol serta
cukup baik dalam menurunkan kadar asam lemak bebas, peroksida, dan kadar air.
Setelah digunakan dalam penggorengan hingga penggorengan ke-10
menunjukkan terjadinya penurunan karotenoid total, tokoferol, kadar air, serta
aktivitas antioksidan olein dan stearin seiring dengan bertambahnya frekuensi
penggorengan. Hasil analisis pada tempe dan ubi jalar menunjukkan peningkatan
kadar lemak, karotenoid total, tokoferol total, dan aktivitas antioksidan. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya penyerapan karotenoid dan tokoferol pada tempe dan ubi
jalar. Walaupun olein dan stearin telah digunakan untuk menggoreng hingga 10 kali,
karotenoid dan tokoferol total yang diserap oleh tempe dan ubi jalar masih tinggi.
Penyerapan karotenoid dan tokoferol pada tempe lebih tinggi daripada ubi
jalar. Kandungan karotenoid dan tokoferol awal mempengaruhi kadar karotenoid dan
tokoferol akhir pada produk setelah penggorengan. Penyerapan tertinggi terjadi
setelah penggorengan ke-1 baik yang digoreng dengan olein maupun dengan stearin.
Penyerapan semakin menurun seiring dengan bertambahnya frekuensi penggorengan.
Walaupun olein dan stearin telah digunakan untuk menggoreng hingga 10 kali,
karotenoid dan tokoferol total yang diserap oleh tempe dan ubi jalar masih tinggi.
B. Saran
Analisis pada olein dan stearin minyak sawit merah ini hanya mengukur
kehilangan karotenoid dan tokoferol yang diserap pada produk yang digoreng,
sehingga perlu diuji lebih lanjut mengenai hasil degradasi komponen minor terutama
karotenoid dan tokoferol pada olein dan stearin setelah digoreng. Serta perlu adanya
kajian mengenai pengaruh komponen tersebut di dalam tubuh.
Selama penyimpanan asam lemak bebas pada olein minyak sawit merah
semakin meningkat. Sehingga perlu kajian tentang penyimpanan dan kemasan yang
baik untuk produk tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist. Washington DC.
Al-Saqer JM, Shidu JS, Al-Hooti SN, Al-Amiri HA, Al-Othman A, Al-Haji L, Ahmed N, Mansour IB, and Minal J. 2004. Developing Functional Foods Using Red Palm Olein. IV. Tocopherols and Tocotrienols. Food Chemistry 85: 579-583. Elsevier Applied Science. Malaysia.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, dan Budiyanto S. 1989. Petunjuk Praktikum Analisis Pangan. IPB Press. Bogor.
Bauernfeind JC, Adams CR, and Marusich WL. 1981. Carotenes and Vitamin A Precursors in Animal Feed di dalam Carotenoids as Colorants and Vitamin A Precursors (Bauernfeind, J. C., ed). Academic Press Inc., New York. Hal 564 – 590.
Beare-Rogers J, Dieffenbacher A, and Holm JV. 2001. Lexion of Lipid Nutrition. Journal Pure and Applied Chemistry 73(4): 658-744.
Bender DA. 2006. Nutritional Biochemistry of the Vitamins. Second Edition. Academic Press Inc., London.
Bernadini E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Publishing House, Roma.
Berger KG. 1988. A Layman’s Glossary of Oils and Fats. No : 9. Institut Penyelidikan Minyak dan Kelapa Sawit Malaysia, Kuala Lumpur.
Che Man YB, Ammawath W, and Mirghani MES. 2005. Determining Alpha-Tocoferol in Refined Bleached and Deodorized Palm Olein by Fourier Transform Infrared Spectroscopy. Food Chemistry 90:323-327.
Choo YM, Ma AN, and Basiron Y. 1993. Red Palm Oil: A Potential Source of Dietary Carotenes. 2:5-54
___________. 1994. Palm Oil Carotenoids. Journal Food and Nutrition Bulletin 15(2): 130-136.
___________. 1996. Antioxidants in Red Palm Oil. Malaysian Oil Science and Technology, 5:15-16
Choudhury N, Tan L, and Truswell AS. 1995. Comparison of Palm Olein and Olive Oil: Effects on Plasma Lipids and Vitamin E in Young Adults. Journal of Nutrition 61:1043-1051.
Combs GF. 1992. The Vitamins Fundamental Aspect in Nutrition and Health. Academik press Inc., New York.
Dwiyanti RR. 1996. Mempelajari Ketahanan Panas Ekstrak Antioksidan Daun Sirih (Piper betle Linn.). Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor.
Fang X and Wada S. 1993. Enhancing the Antioxidant Effect of Alpha-tocopherol with Rosemary in Inhibiting Catalyzed Oxidation Caused by Fe2+ and Hemoprotein. Food Research International 26:405-411.
Farombi EO and Britton G. 1998. Antioxidant Activity of Palm Oil Carotenes in Organic Solution : Effects and Chemical Reactivity. Food Chemistry 64:513-321. Elsevier Applied Science.
Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Third Edition. Marcel Dekker Inc, New York.
GAPKI. Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia. 2008. Palm Oil Stats. http://www.gapkiconference.org. [12 November 2008]. Goh SH, Choo YM, and Ong SH. 1985. Minor Constituents of Palm Oil. JAOCS, 62 (2) :
237 – 240.
Gordon MH. 2001. Measuring Antioxidants Activity. Di dalam: Antioxidants in Foods. In Pokorny J, Yanishlei N, and Gordon MH (eds.). Woodhead Publishing Limited. Cambridge, England.
Hamn TS and Min DB. 1994. Method to Assey Quality and Stability of Oils and Fat Containing Food. AOAC Press Champaign, Illinois.
Haryanto WNL. 2000. Pengaruh Suhu dan Waktu Deodorisasi Lemak Tengkawang (Shorea spp.) Terhadap Sifat Fisiko-Kimia Lemak Yang Dihasilkan. Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor.
Hastinah T. 1997. Kinetika Degradasi Termal β-Karoten dalam Minyak Sawit. Skripsi
Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor. Helena BR. 2003. Pengawasan Mutu Dalam Proses Pemurnian Minyak Sawit Kasar di
PT. Sinar Meadow Internasional Indonesia Jakarta. Laporan Magang. Program Studi Supervisor Jaminan Mutu Pangan Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Henon G, Kemeny ZS, Recseg K, Zwobada F, and Kovari K. 1997. Degradation of α-linoleic Acid During Heating. Dalam: Prince LH. (ed). Journal of the American Oil Chemists’ Society, Champaign 74(12): 1615.
Iwasaki R and Murakoshi M. 1992. Palm Oil Yields Carotene for World Market. Inform 3 (2) : 210 – 217.
Jadhav SJ, Nimbalkar SS, Kulkarni AD, and Madhavi DL. 1996. Lipid Oxidation in Biological and Food Systems. Dalam : Madhavi DL, Deshpande SS and Salunkhe DK. Food Antioxidants : Technological, Toxicological and Healt Perspectives. Marcel Dekker, Inc. New York.
Jatmika A dan Guritno P. 1997. Sifat Fisiko Kimia Minyak Goreng Sawit Merah dan Minyak Goreng Sawit Biasa. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5(2):127-138.
Ketaren S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. UI- Press, Jakarta.
Kochar SP dan Rossell B. 1990. Detection Estimation And Evaluation of Antioxidants in Food System. Dalam: Hudson BJF (ed.). Food Antioxidants. Elsevier Applied Science. London.
Kritchevsky D. 2000. Impact of Red Palm Oil on Human Nutrition and Health. Food and Nutrition Bulletin 21(2). The United Nation University.
MAPI. Masyarakat Perkelapaan Indonesia. 2006. Teknologi Minyak Kelapa. http://www.dekindo.com. [17 Januari 2009)
Mas’ud F. 2007. Optimasi Proses Deasidifikasi untuk Meminimalkan Kerusakan
Karotenoid dalam Pemurnian Minyak Sawit (Elaeis gueneensis, Jacq.). Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Mello LD, Alves AA, Macedo DV, and Kubota LT. 2005. Peroxides-based Biosensor as a Tool for Fast evaluation of Antioxidant capacity of Tea. Food Chemistry (92):515-519.
Molyneux P. 2004. The Use of The Stable Free Radical Diphenil Picryl-Hydrazyl (DPPH) for Estimate Antioxidant Activity. Journal Science and Technology 26(2):211-219.
Muchtadi TR. 1992. Karakterisasi Komponen Intrinsik Utama Buah Sawit (Elaeis guineensis, JACQ) Dalam Rangka Optimasi Proses Ekstraksi Minyak dan Pemanfaatan Provitamin A. Disertasi, Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muhilal. 1991. Minyak Sawit Suatu Produk Nabati Untuk Penanggulangan Atherosklerosis dan Penundaan Proses Penuaan. Prosiding Seminar Nilai Tambah Minyak Kelapa Sawit Untuk Meningkatkan Derajat Kesehatan. Jakarta.
Nagendran B, Unnithan UR, Choo YM, and Sundram K. 2000. Characteristics of Red Palm Oil Alpha-Carotene and Vitamin E- Rich Refined Oil for Food Uses. Food and Nutrition Bulletin 21:2.
Naibaho PM. 1990. Penggunaan Minyak Sawit Sebagai Sumber Provitamin A dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Industri Minyak Sawit. Pusat Penelitian Perkebunan Medan, Medan.
Nelson JL, Bernstein PS, Schmidt MC, Von Tress MS, and Askew EW. 2003. Dietary Modification And Moderate Antioxidant Supplementation Differently Affect Serum Carotenoids, Antioxidants Level And Markers of Oxidative Stress in Older Humans. J Nutr 133:3117-3123.
Nurdini MD. 1997. Mempelajari Perubahan Fisiko Kimia Minyak Sawit Merah untuk Penggorengan Kerupuk Udang dan Analisis Mutu Produk Goreng yang Dihasilkan. Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor.
Patterson HBW. 1983. Hydrogenation of Fats and Oils. Elsevier Applied Science. London.
Ping BTY and May CY. 2000. Valuable Phytonutrients in Commercial Red Palm Oil. Palm Oil Development, 32, 20-25.
PORIM. 1995. PORIM Test Methods. Palm Oil Reseach Institute of Malaysia. Ministry of Primary Industries, Malaysia.
Puspitasari DA. 2008. Optimasi Proses Produksi dan Karakterisasi Produk Serta Pendugaan Umur Simpan Olein Minyak Sawit Merah. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta IPB. Bogor.
Razak RA. 2002. Karotenoid Sawit Bantu Tingkat Kesihatan. Artikel Majlis Minyak Sawit Malaysia. http://www.google.com/minyak_sawit. [3 Maret 2008].
Rianto D. 1995. Sifat Fisiko-Kimia dan Stabilitas Panas Minyak Sawit Merah. Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor.
Sahidin, Sabirin M, dan Eka N. 2000. Degradasi β-karoten dari Minyak Sawit Mentah Oleh Panas. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, 8(1):39-49.
Schuler P. 1990. Natural Antioxidant Exploited Commercially. Dalam: Hudson, BJF, editor. Food Antioxidants. London: Elsevier Applied Science.
Setright R. 1993. Get Well Ive Longer, The Antioxidant Connection. Spunarp Pty, Glenmore Park, Australia,1-21.
Shahidi FWUN. 1997. Measurement of Lipid Oxidation And Evaluation of Antioxidant Activity. Dalam: Shahidi, editor. Natural Antioxidant: Chemistry, Health Effect, And Application. AOCS Press Champaign Illionis.
Siahaan D, Sinaga J, dan Tumanggor A. 2003. Pengembangan Deodorizer dan Proses Deodorisasi Skala Bench Berbahan Baku Olein Sawit Kasar. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit Medan 11(2): 95-106.
Sirajjudin S. 2003. Sintesis Minyak Beryodium Kaya β-karoten dari Minyak Sawit Merah dan Efikasinya Terhadap Pencegahan Defisiensi Iodium. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2002. Minyak Goreng. Badan Standarisasi Nasional.
Jakarta. (SNI 01-3741-2002). Sukarjo, Mangoen SM, Muhilal, dan Subagyo T. 1991. Peningkatan nilai tambah minyak
sawit melalui pengembangan industri hilir. Prosiding seminar nilai tambah minyak kelapa sawit untuk peningkatan derajat kesehatan. Jakarta, Indonesia, 6 September.
Sundram K, Hayes KC, and Siru OH. 1995. Both Dietary 18:2 and 16:0 may be Required to Improve The Serum LDL/HDL Cholesterol Ratio in Normocholesterolemic Men. J Nutr Biochem 4: 179-187.
K, Anishah I, Hayes KC, Jeyamalar R, and Pathmanathan R. 1997. Tans
(Elaidic) Fatty Acids Adversely Impact Lipoprotein Profile Relative to Specific Saturated Fatty Acids in Humans. J Nutr 127: 514S-520S.
________. 2001. Palm Oil: Chemistry and Nutrition Updates. Malaysian Palm Oil Board.
Kuala Lumpur, Malaysia. Wardi. 2008. Pengembangan Produk Minyak Sawit Merah (MSM) dan Introduksi
Pemasarannya. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta IPB. Bogor.
Weiss TJ. 1983. Food Oils and Their Uses. AVI Publishing. Co. Connecticut.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
________. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan IPB. Bogor.
Wulandari OV. 2000. Pemanfaatan Minyak Sawit untuk Produksi Emulsi Kaya Beta-Karoten Sebagai Suplemen Vitamin A. Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB. Bogor.