SKENARIO3b14 jadi

download SKENARIO3b14 jadi

of 32

description

tutorial emergency

Transcript of SKENARIO3b14 jadi

REAKSI OBAT

Seorang perempuan, berusia 25 tahun, dirujuk ke UGD RS dengan keluhan sesak nafassejak 1 hari yang lalu. Keluhan ini disertai gatal-gatal, kulit merah dan melepuh di tubuhnya setelah mendapat injeksi obat di Puskesmas. Pemeriksaan fisik didapatkan: keadaan umum: tampak sakit sedang, kesadaran: compos mentis. Pemeriksaan fisik: tanda-tanda vital: tekanan darah: 100/70 mmHg, denyut nadi: 100 x/menit, frekuensi nafas : 30x/mnt, suhu: 36,5CTHT : sesak nafas Jackson derajat II-IIIRegio thorax:Inspeksi: simetrisPalpasi: SF kanan=kiriPerkusi: SonorAuskultasi: stridor (+)Status DermatologisLokasi I: mataUjud Kelainan: mata merah, secret (+)Lokasi II: Kulit wajah, badan dan ekstremitas atas bawahUjud Kelainan kulit: vesikel, bula berbagai ukuran, lesi target +, erosiLokasi III: bibirUjud Kelainan: Krusta HemoragiKulit tubuh hiperemis (+), Bullae (+)

Kata-Kata Sulit

1. Krusta HemorraghicAkumulasi darah yang mongering di kulit

2. Lesi TargetLesi pada kulit yang berbentuk cincin dengan bintik kemerahan di tengah dan pucat di sekelilingnya

3. StridorWheezing yang dominan pada saat inspirasi

4. BullaeLepuhan kecil berisi cairan dengan diameter lebih dari 0,5 cm

5. VesikelLepuhan kecil berisi cairan dengan diameter kurang dari 0,5 cm

6. ErosiKelainan pada kulit karena kehilangan jaringan.

Pertanyaan

1. Apa yang dimaksud dengan sesak nafas Jackson derajat 2 s/d 3?Sesak Nafas JacksonDerajat II : Ada sesak,Stridor inspirasi ringan,Retraksi suprakostal dan infraklavikula,Sianosisnya ringan,Pasien tampak gelisah.Derajat III : Seperti derajat II yang bertambah berat,disertai retraksi intercostal,epigastrium,dan sianosis lebih jelas2. Kenapa bisa terjadi sesak nafas?Adanya obstruksi pada Laryng3. Kenapa setelah mendapat injeksi obat kulit bisa melepuh?Karena adanya Reaksi Hipersensitivitas tipe III kompleks Ag-Ab4. Apa yang menyebabkan stridor positif?Adanya Obstruksi pada Laryng5. Bagaimana terjadinya kelainan pada kulit?Injeksi ObatMasuk ke Pembuluh DarahTerjadi Rx.Hipersensitivitas tipe III pd tubuh (Timbul Reaksi pd Kulit)6. Apa yang menyebabkan tekanan darah turun, nadi meningkat, frekuensi nafas meningkat?Karena kompensasi tubuh terhadap sesak7. Kenapa matanya mengalami kemerahan dengan secret positif?Mata Merah : Karena adanya Rx.HipersensitivitasSekret + : Karena Sistem pertahanan tubuh pada daerah mata jika terjadi gangguan8. Tata Laksana apa yang dilakukan pada pasien ini?Airway : Chin lift,Jaw TrushBreathing : Beri O2 secukupnyaCirculation : Observasi dan Resusitasi Cairan dengan tepat9. Penyebab Steven Johnson syndrome?Obat-obatan,Virus,Bakteri,Jamur10. Setiap orang bisa terkena tidak?Bisa tetapi tergantung system imunitasnya

Hipotesis

Injeksi Obat, virus, bakteri, Jamur Rx. Hipersensitifitas tipe III Respon InflamasiKulit Lesi target + Vesikel Bullae ErosiDiagnosis: Syndrome Steven Johnson

Terapi: A.B.CMukosa Sal. nafas terjadi edema laryng (laryngitis)Mata Vasodilatasi Sekret +

SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan Menjelaskan Laryngitis Akut1.1. Definisi1.2. Etiologi1.3. Patofisiologi1.4. Manifestasi Klinis1.5. Diagnosis1.6. Tata Laksana1.7. Komplikasi1.8. Pencegahan1.9. Prognosis

2. Memahami dan Menjelaskan Syndrome Steven Johnson2.1. Definisi2.2. Etiologi2.3. Klasifikasi2.4. Patofisiologi dan Patogenesis2.5. Manifestasi Klinis2.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding2.7. Tata Laksana2.8. Komplikasi2.9. Pencegahan2.10. Prognosis

3. Memahami dan Menjelaskan Reaksi Hipersensitifitas3.1. Reaksi Hipersensitifitas tipe 13.2. Reaksi Hipersensitifitas tipe 23.3. Reaksi Hipersensitifitas tipe 33.4. Reaksi Hipersensitifitas tipe 4

SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan Menjelaskan Laryngitis Akut1.1. DefinisiLaringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenzae, Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae.

1.2. EtiologiLARINGITIS AKUT

VIRUSBAKTERIJAMUR

RhinovirusHaemophilus influenzae type BBlastomyces

virus influenzaStaphylococcus aureusCandida albicans

virus parainfluenzaCorynebacterium diphtheriaeHistoplasmosis

adenovirusStreptococcus group ACoccidioides

coxsackievirusMoraxella chatarralisCandida

coronavirusEscherichia coliAspergilus sp

respiratory synsitial virus (RSV)Klebsiella spCryptococcus

virus morbiliPseudomonas sp

Varisella zooster virusChlamydia trachomatis

herpes simplexMycoplasma pneumoniae

virus mumpsBordatella pertussis

enterovirus, virus, reovirus, (measles)Coccidioides Cryptococcus dan C. diphtheriae

Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca Pemakaian suara yang berlebihan Trauma Bahan kimia Merokok dan minum-minum alkohol Alergi

1.3. PatofisiologiHampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri mungkin sekunder. Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis. Awitan infeksi mungkin berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak, defisiensi diet, malnutrisi, dan tidak ada immunitas. Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah ditularkan. Ini terjadi seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta prevalensi virus yang meningkat. Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis dan infeksi saluran nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus untuk memproduksi mucus secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi tersebut akan merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring. Dan memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika berlebihan akan merangsang peningkatan suhu tubuhPANCAROBAMALNUTRISIVIRUS, BAKTERI BATUK OBSTRUKSI MUKUS/SEKRET IRITASI SALURAN NAFASIMUN IRITASI LARYNGINFLAMASI

RUBORINFLAMASITUMORDOLORKALOREDEMANYERIHIPEREMISSUARA PITA SUARA TERTEKAN

1.4. Manifestasi Klinis Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah 5 dari suara yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjada parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali (afoni). Sesak nafas dan stridor Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara. Gejala radang umum seperti demam, malaise Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang disertai dengan nyeri diseluruh tubuh . Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukasa laring yang hiperemis, membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang akut dihidung atau sinus paranasal atau paru Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak.

1.5. Diagnosis dan Diagnosis BandingAnamnesisLaringitis ditandai dengan suara yang serak, yang disertai dengan puncak suara (vocal pitch) yang berkurang atau tidak ada suara (aphonia), batuk menggonggong, dan stridor inspirasi. Dapat terjadi juga demam sampai 39-40, walaupun pada beberapa anak dapat tidak terjadi. Gejala tersebut ditandai khas dengan perburukan pada malam hari, dan sering berulang dengan intensitas yang menurun untuk beberapa hari dan sembuh sepenuhnya dalam seminggu. Gelisah dan menangis sangat memperburuk gejala-gejalanya. Anak mungkin memilih untuk duduk atau dipegangi tegak. Pada anak yang lebih dewasa penyakitnya tidak begitu parah. Pada anggota keluarga lainnya mungkin didapatkan penyakit saluran pernafasan yang ringan. Kebanyakan pasien hanya bergejala stridor dan sesak nafas ringan sebelum mulai sembuh. Gejala tersebut sering disertai dengan gejala-gejala seperti pilek, hidung tersumbat, batuk dan sakit menelan. Pada kebanyakan pasien gejala tersebut timbul 1 sampai 3 hari sebelum gejala sumbatan jalan nafas terjadi.Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan suara yang serak, coryza, faring yang meradang dan frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor yang terus menerus, dan anak bisa sampai megap-megap (air hunger). Bila terjadi sumbatan total jalan nafas maka akan didapatkan hipoksia dan saturasi oksigen yang rendah. Bila hipoksia terjadi, anak akan menjadi gelisah dan tidak dapat beristirahat, atau dapat menjadi penurunan kesadaran atau sianosis. Dan kegelisahan dan tangisan dari anak dapat memperburuk stridor akibat dari penekanan dinamik dari saluran nafas yang tersumbat. Dari penelitian didapatkan bahwa frekuensi pernafasan merupakan petunjuk yang paling baik untuk keadaan hipoksemia. Pada auskultasi suara pernafasan dapat normal tanpa suara tambahan kecuali perambatan dari stridor. Kadang-kadang dapat ditemukan mengi yang menandakan penyempitan yang parah, bronkitis, atau kemungkinan asma yang sudah ada sebelumnya.Dengan laringoskopi sering didapatkan kemerahan pada laring yang difus bersama dengan pelebaran pembuluh darah dari pita suara. Pada literatur lain disebutkan gambaran laringoskopi yang pucat, disertai edema yang berair dari jaringan subglotik. Kadang dapat ditemukan juga bercak-bercak dari sekresi. Dari pergerakan pita suara dapat ditemukan asimetris dan tidak periodik. Sebetulnya pemeriksaan rontagen leher tidak berperan dalam penentuan diagnosis, tetapi dapat ditemukan gambaran staplle sign (penyempitan dari supraglotis) pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral, walaupun kadang gambaran tersebut tidak didapatkan. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, kecuali didapatkan eksudat maka dapat dilakukan pemeriksaan gram dan kultur dengan tes sensitivitas. Tetapi kultur virus positif pada kebanyakan pasien. Dari darah didapatkan lekositosis ringan dan limfositosis.Pemeriksaan Penunjang Foto rontgen leher AP : bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis (Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus. Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal. Jika disertai infeksi sekunder, leukosit dapat meningkat. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek akan ditemukan mukosa laring yang sangat sembab, hiperemis dan tanpa membran serta tampak pembengkakan subglotis yaitu pembengkakan jaringan ikat pada konus elastikus yang akan tampak dibawah pita suara.

Klasifikasi sesak nafas JacksonSumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4 derajat berdasarkan kriteria Jackson :derajat berdasarkan kriteria Jackson :

1. Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal tanpa sianosis ringan1. Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I dan lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai gelisah.1. Jackson III adalah Jackson II dan berat disertai retraksi interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas.1. Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson IIIdisertai wajah yang tampak tegang, dan terkadang gagal napas.

DIAGNOSIS BANDING1. Benda asing pada laring2. Faringitis3. Bronkiolitis4. Bronkitis5. Pnemonia1.6. Tata LaksanaUmumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun ada indikasi masuk rumah sakit apabila : Usia penderita dibawah 3 tahun Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau axhausted Diagnosis penderita masih belum jelas Perawatan dirumah kurang memadaiTerapi :0. Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari0. Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 l/ menit0. Istirahat0. Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila ada muncul sumbatan dihidung atau penggunaan larutan garam fisiologis (saline 0,9 %) yang dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal spray0. Medikamentosa : Parasetamol atau ibuprofen / antipiretik jika pasien adademam, bila ada gejala pain killer dapat diberikan obat anti nyeri / analgetik, hidung tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin (PPA), efedrin, pseudoefedrin, napasolin dapat diberikan dalam bentuk oral ataupun spray.Pemberian antibiotika yang adekuat yakni : ampisilin 100 mg/kgBB/hari, intravena, terbagi 4 dosis atau kloramfenikol : 50 mg/kgBB/hari, intra vena, terbagi dalam 4 dosis atau sefalosporin generasi 3 (cefotaksim atau ceftriakson) lalu dapat diberikan kortikosteroid intravena berupa deksametason dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, diberikan selama 1-2 hari.0. Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring, bila penatalaksanaan ini tidak berhasil maka dapat dilakukan endotrakeal atau trakeostomi bila sudah terjadi obstruksi jalan nafas.

1.7. KomplikasiPada laryngitis akut komplikasi yang dapat terjadi yaitu laryngitis kronis. Selain itu dapat terjadi perubahan suara jika gejala suara serak tersebut terjadi selama 2-3 minggu.1.8. Pencegahan Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan membuat tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara, Minum banyak air karena cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat pada tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan Batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan kering. Jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara, meningkatkan pembengkakan dan berdehem juga akan menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih banyak lender.

Perawatan sendiri1. Lembabkan tenggorokan anda. Cobalah untuk mengisap pelega tenggorokan, berkumur dengan air garam atau mengunyah permen karet.1. Gunakan alat pelembab ruangan. Jaga agar udara di sekitar rumah anda tetap lembab.1. Hindari berbicara atau menyanyi terlalu keras atau terlalu lama.Bila anda perlu berbicara dihadapan banyak orang, coba untuk menggunakan mikrophone atau megafon.1. Beri jeda pada suara anda.Istirahatkan suara anda bilamana mungkin.1. Cari pelatih suara.Pertimbangkan pilihan ini bila anda seorang penyanyi atau bila kualitas suara sangat penting bagi anda.1. Jangan berbisik-bisik. Berbisik akan menyebabkan lebih banyak tekanan pada pita surara anda daripada bila anda berbicara dengan suara normal.

1.9. PrognosisPrognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan pemulihannya selama satu minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3 tahun penyakit ini dapat menyebabkan udem laring dan udem subglotis sehingga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan bila hal ini terjadi dapat dilakukan pemasangan endotrakeal atau trakeostomiaik.2. Memahami dan Menjelaskan Syndrome Steven Johnson2.1. Definisi Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura. (Djuanda, 1993: 127)

Syndrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari eropsi kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis ( Junadi, 1982 : 480 )

2.2. EtiologiPenyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan Multifaktorial. Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema Multiforme yang berat dan disebut Eritema Multiforme Mayor, sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang sama. Beberapa factor yang dapat menyebabkan timbulnya sindrom ini antara lain: Infeksi VirusSindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari infeksi salauran nafas atas oleh virus pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada Asian flu, Lympho Granuloma Venerium, Measles, Mumps dan vaksinasi Smallpox virus. Virus-virus Coxsackie, Echovirus dan Poliomyelitis juga dapat menyebabkan Sindroma Stevens-Johnson. BakteriBeberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindroma Stevens-Johnson ialah Brucellosis, Dyptheria, Erysipeloid, Glanders, Pneumonia, Psittacosis, Tuberculosis, Tularemia,Lepromatous Leprosy atau Typhoid Fever. JamurCoccidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema Multiforme Bulosa, yang pada keadaan berat juga di katakan sebagai Sindroma Stevens-Johnson. ParasitMalaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab.

Alergi Sistemik terhadap : ObatBerbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson antara lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin, analgesik/antipiretik (misalnya Derivat Salisilat ,Pirazolon, Metamizol, Metampiron dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin, Barbiturat(Fenobarbital), Kinin Antipirin, Chlorpromazin, Karbamazepin dan jamu-jamuan. Zat tambahan pada makanan(Food Additive) dan zat warna Kontaktan: Bromofluorene, Fire sponge(Tedania Ignis) dan rhus(3- Pentadecylcatechol) Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lainlain Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler Pasca vaksinasi : BCG, Smallpox dan Poliomyelitis. Penyakit-penyakit keganasan : Karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma, Myeloma, dan Polisitemia. Kehamilan dan Menstruasi. Neoplasma. Radioterapi.Pada sebagian penderita tidak diketahui penyebabnya. Yang diduga sebagai penyebab tersering ialah alergi Sistematik terhadap obat dan infeksi.

2.3. KlasifikasiTerdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

2.4. Patofisiologi dan PatogenesisPresentasi antigen dan produksi tumor necrosis factor (TNF)-alpha oleh dendrosit menghasilkan perekrutan dan augmentasi proliferasi T-limfosit dan meningkatkan sitotoksisitas sel efektor kekebalan lainnya. Sebuah molekul telah teridentifikasi yang mungkin memainkan peran dalam aktivasi limfosit sitotoksik. Diaktifkan oleh limfosit CD8+, pada gilirannya, dapat menginduksi apoptosis sel epidermis melalui beberapa mekanisme, yang meliputi pelepasan granzym B dan perforin.Perforin, granula monomer pembuat-pori dilepaskan dari sel-sel NK dan limfosit T sitotoksik, membunuh sel target dengan membentuk polimer dan struktur tubular, tidak seperti sistem komplemen.Apoptosis keratinosit dapat dimediasi melalui interaksi langsung antara sel-reseptor kematian Fas dan ligan. Keduanya dapat hadir pada permukaan keratinosit. Atau, sel T yang diaktivasi dapat melepaskan ligan Fas dan interferon-gamma, yang menginduksi ekspresi Fas oleh keratinosit. Kematian keratinosit menyebabkan pemisahan epidermis dari dermis. Setelah apoptosis terjadi, sel-sel mati memprovokasi perekrutan lebih chemokin. Hal ini dapat mengabadikan proses inflamasi, yang mengarah ke nekrolisis epidermal yang luas.

2.5. Manifestasi Klinis Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.2.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisis ditujukan terhadap kelainan yang dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab. Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam, dan hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ . Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan. Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat peninggian eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar. Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.DIAGNOSIS BANDINGBeberapa penyakit yang dapat merupakan diagnosa banding Sindrom Stevens-Johnson ialah:a. Nekrolisisi Epidermal Toksik (NET)Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson. Pada NET terdapat Epidemolisis(Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan keadaan umum penderita biasanya lebih buruk/berat. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.b. Pemfigus VulgarisSering dijumpai pada orang dewasa, keadaan umum buruk, tidak gatal, bula berdinding kendor dan biasanya generalisata.c. Pemfigoid BulosaPada penyakit ini keadaan umumnya baik, dinding bula tegang, letaknya subepidermal.d. Dermatitis HerpertiformisDidapatkan keadaan umum yang baik, keluhan dengan gatal dan dinding vesikel/bula tegang dan berkelompoke. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease).Pada penyakit ini lesi kulitditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena

2.7. Tata Laksana Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SSJ. Pasien yang umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang terlibat. Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin. Untuk infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya dipergunakan gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis. Pemberian antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1 mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu diturunkan berangsur-angsur dan bila mungkin diganti dengan prednison per oral. Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial. Beberapa mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa. Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat menghentikan progresivitas penyakit SSJ dengan dosis total 3 gr/kgBB selama 3 hari berturut-turut (1 gr/kgBB/hari selama 3 hari). Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibitik topikal. Kulit dapat dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan larutan Burrow. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement. Untuk mencegah sekuele okular dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik. Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab) harus segera dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling umum seperti riwayat penggunaan obat-obatan terakhir, serta hubungannya dengan perkembangan penyakit terutama terhadap episode SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen SSJ. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi kenalog in orabase. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

2.8. KomplikasiSindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut: Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan Gastroenterologi Esophageal strictures Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina Pulmonari pneumonia Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder Infeksi sitemik, sepsis Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002).

2.9. Pencegahan Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti penggunaan obat yang dicurigai sebagai penyebab reaksi seperti obat salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif, klorpromazin, karbamazepin, kinin, analgetik/antipiretik. Menjaga kebersian diri dan lingkungan agar tidak terkena infeksi virus, bakteri dan jamur. Menghindari atau mengkomsumsi makanan dalam jangka waktu lama yang mungkin mengakibatkan sindrom steven Johnson Menghindari terpapar sinar X

2.10. PrognosisPada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.

3. Memahami dan Menjelaskan Reaksi Hipersensitifitas3.1. Reaksi Hipersensitifitas tipe 1Etiologi: Defisiensi sel TPenurunan jumlah sel T diasosiasikan dengan peningkatan dari jumlah serum IgE pada penyakit Eczema. Juga ada perbedaan jumlah sel T pada bayi yangdisusui dengan ASI dan dengan susu bubuk. Mediator feedbackMenurut penelitian, inhibisi reseptor H2 oleh pelepasan enzim lisosom dan aktivasi penahan sel T oleh histamine akan meningkatkan jumlah IgE Faktor lingkunganPolutan seperti SO2, NO, asap kendaraan dapat meningkatkan permeabilitas mukosa sehingga meningkatkan pemasukkan antigen dan respos IgEMekanisme:Pajanan dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel mast dan basofil (banyak molekuk IgE dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1). Pajanan kedua dengan allergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu penglepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vascular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis.Manifestasi Klinik:Anafilaksis, urtikaria, angiedem, mengi, hipotensi, nausea, muntah, sakit abdomen, diare

3.2. Reaksi Hipersensitifitas tipe 2Hipersensitifitas tipe IIEtiologi:Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:1.Respon yang bergantung komplemenKomplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme:lisis langsungdan opsonisasi. Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut: Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor. Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merahnya sendiri. Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri. Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin). Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.

2.Sitotoksisitas Selular Bergantung AntibodiBentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis tanpa difagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipn secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE.3.Dffungsi Sel Yang Diperantai Oleh AntibodyPada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end3plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel tiroid dan menyebabkan hipertiro.Mekanisme:Antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel sasaran. Setelah antibodi melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1 komplemen. Konsekuensinya adalah:1. Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan basofil untuk memproduksi molekul yang menarik dan mengaktivasi sel efektor lain. Fagositosis terjadi dengan cara merusak patogen dalam fagolisosom oleh kombinasi metabolit radikal, ion, enzim dan perubahan pH. Jika target terlalu besar maka lisosom dieksositosis.1. Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d pada membran sel sasaran. Sensitisasi sel target untuk interaksi dengan sel efektor (makrofag, neutrofil) yang membawa reseptor untuk aktivasi komplemen. C3b berikatan dengan sel target membentuk ikatan kovalen setelah putusnya ikatan tiolester internal oleh C3 konvertase. C3b diinaktivasi oleh faktor I dan enzim serum, C3d berikatan dengan sel target secara kovalen. C3b dan C3d dapat beraksi sebagai struktur pengenalan untuk sel yang memiliki reseptor komplemen. Antibodi dapat juga bereaksi dengan sel yang memiliki reseptor Fc (makrofag, eosinofil, neutrofil, sel K)1. Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan Membrane Attack Complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel

Manifestasi Klinik:Agranuloitosis, Anemia hemolitik, Trombositopenia

3.3. Reaksi Hipersensitifitas tipe 3Hipersensitivitas tipe IIIEtiologi:Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear.Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks imun in situ).Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda. Penyakit Komplek Imun Sistemik Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi menjadi tiga tahapan:(1) pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi dan(2) pengendapan kompleks imun di berbagai jaringan, sehingga mengawali(3) reaksi radang di berbagai tempat di seluruh tubuh.Mekanisme:Kira-kira 5 menit setelah protein asing (misalnya, serum antitetanus kuda) diinjeksikan, antibodi spesifik akan dihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk kompleks antigen-antibodi (tahap pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor penting yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun menyebabkan penyakit dan pengendapan jaringan: Ukuran kompleks imun. Status sistem fagosit mononuclearManifestasi Klinik:Panas, urtikaria, atralgia, limfadenopati, serum sickness

3.4. Reaksi Hipersensitifitas tipe 4Hipersensitivitas tipe IVEtiologi:Reaksi tipe ini tidak seperti 3 tipe lainnya, dimana reaksi ini dimediasi oleh antibodi, tetapi dimediasi oleh efektor sel T yang spesifik terhadap antigen. Memerlukan waktu sekitar 2-3 hari untuk berkembang .Mekanisme:Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT.Manifestasi Klinik:Eksim, eritema, lepuh, prurutis, fotoalergi, fixed drug eruption, lesi makulopapular.Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target).Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis).Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T, termasuk sel T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini dapat mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak penyakit autoimun yang diketahui terjadi akibat inflamasi kronis yang dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa penyakit autoimun sel T CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka yang lebih dominan adalah sel T CD8+ (Abbas, 2004)Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan kategori hipersensitivitas reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 keduanya berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ-spesifik yang dimana inflamasi merupakan aspek utama dalam patologisnya. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel TH1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan yang berhubungan dengan sel TH17 akan didominasi oleh neutrofil (Abbas, 2004)Reaksi yang terjadi di hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi beberapa 2 tahap: Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+sel T CD4+ mengenali susunan peptida yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan mensekresikan IL2 yang berfungsi sebagai autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsive sel T. Perbedaan antara antigen-stimulated sel T dengan TH1 atau Th17 adalah terrlihat pada produksi sitokin oleh APC saat aktivasi sel T. APC (sel dendritik dan makrofag) terkadang akan memproduksi IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T menjadi TH1. IFN- akan diproduksi oleh sel TH1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi TH17. Beberapa dari diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama waktu yang lama (Abbas, 2004).Respon terhadap diferensiasi sel T efektorapabila terjadi pajanan antigen yang berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel TH1 akan mensekresikan sitokin (umumnya IFN-) yang bertanggung jawab dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN- mengaktivasi makrofag yang akan memfagosit dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II, yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga mensekresikan TNF, IL1 dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi. Makrofag juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi kan berlanjut dan jaringan yang luka akan menjadi semakin luas. TH17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan bisa juga oleh self-antigen dalam penyakit autoimun. Sel TH17 akan mensekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses inflamasi. TH17 juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri (Abbas, 2004).Reaksi sel T CD8+sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen. Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi oleh sel T, sepert diabetes tipe I. CTLs langsung melawan histocompatibilitas dari antigen tersebut yang merupakan masalah utama dalam penolakan pencakokan. Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+. Pembunuhan sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel (Abbas, 2004).Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh sel T melibatkan perforins dan granzymes yang merupakan granula seperti lisosom dari CTLs. CTLs yang mengenali sel target akan mensekresikan kompleks yang berisikan perforin , granzymes, dan protein yang disebut serglycin yang dimana akan masuk ke sel target dengan endositosis. Di dalam sitoplasma sel target perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi caspase, yang akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan Fas Ligand, molekul yang homolog denga TNF, yang dapat berikatan dengan Fas expressed pada sel target dan memicu apoptosis. Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-) yang terlibat dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terekspos oleh beberapa agen kontak (Abbas, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Adithan C.Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Available at:www.jipmer.edu.Baratawidjaja, K.G.dan Rengganis, A (2009). Imunologi Dasar Ed.8. Balai Penerbit FKUI: JakartaCohen JL.BOIES-Buku Ajar Penyakit THT.Edisi ke6.Jakarta:EGC,1997Grad, Roni. Acute infections producing upper airway obstruction. Dalam: Kendigs disorder of the respiratory tract in children. Edisi 6. USA: W.B. Saunders. 1998. h 447-460Hermani B,Kartosudiro S & Abdurrahman B (2003). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Ed.5. Balai Penerbit FKUI: Jakarta Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W.Erupsi Alergi Obat.In: KapitaSelekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002.Rosevelt, Genie E. Acute Inflammatory Upper Airway Obstruction. Dalam: Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17. USA: W.B. Saunders. 2004. h 1405-1408.Sharma, V.K. : Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006: Management of Stevens-Johnson Syndrome ( SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis ( TEN). IADVL.2006

Wijana, N. Konjungtiva. In Ilmu Penyakit Mata.1993.http://www.pediatrik.com/pkb/061022023053-dkjm139.pdfhttp://www.sjsyndrome.com/diagnosis.htmlhttp://www.merck.com/mmpe/sec10/ch117/ch117i.htmlhttp://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/sindrom-steven-johnson/http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/07/20/mekanisme-reaksi-hipersensitivitas-menurut-gell-dan-coombs/http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol1.no2.Juli2008/SINDROM%20STEVENSS.pdf