Sindrom Nefrotik
-
Upload
imam-suleman -
Category
Documents
-
view
32 -
download
5
Transcript of Sindrom Nefrotik
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefritis akut merupakan kumpulan gejala yang timbul akibat
proses inflamasi pada glomerulus ginjal. Penyebab SNA yang paling
banyak ditemukan pada anak adalah Glomerulonefritis akut paska infeksi
streptokokus. Glomerulonefritis merupakan penyakit kelainan ginjal yang
muncul sekita 10 – 15%. Insiden GNAPS telah mengalami penurunan
jumlah selama dekade terakhir ini, hal ini terjadi karena peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan status sosial ekonomi
penduduk.
GNAPS dapat muncul dalam berbagau usia, namun biasanya muncul
pada anak – anak. Kebanyakan kasus muncul pada anak usia 5 – 15
tahun, hanya 10% kasus muncul pada usia diatas 40 tahun. GNAPS lebih
banyak menyerang anak laki – laki dibandingkan anak perempuan.
Insiden yang lebih tinggi berhubungan dengan perilaku hidup sehat dan
pada kelompok dengan status sosial ekonomi yang rendah.
GNAPS merupakan penyakit ginjal akibat proses imunologis yang
menyebabkan proses inflamasi pada glomerulus ginjal, yang dapat
menyebabkan kerusakan pada membarana basalis, mesangium, atau
endotel kapiler. GNAPS didefinisikan sebagai hematuria, proteinuria, dan
silinder eritrosit yang muncul secara mendadak. Menifestasi klinis ini
biasanya diikuti dengan hipertensi, edema, azotemia, dan retensi garam-
air.
Penatalaksanaan GNAPS mengutamakan terapi suportif, hal ini
disebabkan karena ketiadaan terapi spesifik untuk penyakit ginjal. Ketika
GNAPS berhubungan dengan infeksi kronik, maka infeksi tersebut yang
harus diterapi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Sindrom Nefritis Akut
Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan kumpulan gejala klinik
berupa oliguria, kelainan urinalisis (proteinuria ≤ 2 gram/hari dan
hematuria disertai silinder eritrosit), azotemia, hipertensi, bendungan
sirkulasi (bendungan paru akut, kenaikan tekanan vena jugularis,
hepatomegali), dan edema. SNA merupakan salah satu keadaan
darurat medik di bidang nefrologi. Keterlambatan dan pengelolaan
yang tidak adekuat dapat menyebabkan kematian (Sukandar, 2006).
Bergstein (2000) dalam buku Ilmu Kesehatan Anak Nelson
mengungkapkan bahwa SNA merupakan sekumpulan gejala yang
timbul akibat peradangan pada glomerulus ginjal. Gejala SNA
meliputi Hematuria, edema, hipertensi, dan insufisiensi ginjal. Tanda
– tanda ini sering sekali ditemukan pada penderita glomerulonefritis
paska infeksi (streptokokus), lupus eritromatosus sistemik,
glomerulonefritis membranoproliferatif, purpura anafilaktoid, dan
glomerulonefritis progesif cepat.
2.2. Etiologi dan Epidemiologi Sindrom Nefritis Akut
Sindrom Nefritis Akut sering disebabkan oleh respon imun tubuh
terhadap infeksi atau penyakit lainnya. Penyebab tersering SNA pada
anak meliputi Post streptococcal glomerulonephritis (PSGN), Henoch –
Schonlein Purpura (HSP), IgA Nephropathy, dan Hemolytic Uremic
Syndrome.Penulis membatasi sindrom nefritik akut yang
berhubungan dengan paska infeksi streptokokus yang sering
dijumpai pada anak – anak dan dewasa muda. Sindrom ini biasanya
didahului infeksi saluran pernapasan bagian atas (faringitis atau
tonsilitis) dan kulit (impetigo) yang disebabkan oleh streptokokus
beta hemolitik golongan A tipe 12. Periode laten berlangsung selama
1 - 2 minggu setelah infeksi saluran pernapasan atas dan 21 hari
setelah infeksi kulit. Periode laten ini membuktikan bahwa sindrom
2
nefritik akut paska infeksi streptokokus berhubungan dengan
immune – complexes mediated renal injury (sukandar, 2006).
Glomerulonefritis akut menunjukkan adanya kejadian paska
infeksi dengan etiologi berbagai macam bakteri dan virus. Kuman
penyebab tersering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A
yang nefritogenik. Insiden tidak dapat diketahui dengan tepat,
diperkirakan jauh lebih tinggi dari data statistik yang dilaporkan.
Glomerulonefritis akut paska infeksi streptokokus terutama
menyerang anak pada masa awal usia sekolah. Jarang menyerang
anak dibawah usia 3 tahun. Anak laki – laki memiliki resiko lebih
tinggi dibandingkan anak perempuan (Noer, 2010).
2.3. Patogenesis dan Patofisiologi
Setiap ginjal terdiri dri sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik
yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Karena
fungsi primer ginjal adalah menghasilkan urin, maka nefron adalah satuan terkecil yang
mampu membentuk urin. Pada saat memasuki ginjal, arteri renalis secara sistematis
terbagi – bagi untuk akhirnya menjadi pembuluh – pembuluh halus yang dikenal
sebagai arteriol aferen. Arteriol aferen menyalurkan darah ke kapiler glomerulus, yang
menyatu untuk membentuk arteriol lain, arteriol eferen, tempat keluarnya darah yang
3
yang tidak difiltrasi ke dalam komponen tubulus meninggalkan glomerulus. Arteriol –
arteriol inilah yang akan membentuk glomerulus.
Gambar 1. Bagian – bagian Ginjal, Nefron, dan Vaskularisasinyaa) Bagian – bagian ginjal; b) Bagian – bagian nefron ginjal; dan c) Perdarahan nefron.Sumber: http://kvhs.nbed.nb.ca/gallant/biology/nephron_structure.html
Nefron ginjal terdiri atas tubulus. Komponen tubulus berawal dari dari kapsula
bowman, suatu invaginasi berdinding rangkap yang melingkupi glomerulus untuk
mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus. Setelah melewati proses
filtrasi di glomerulus, selanjutnya hasil filtrasi tersebut akan melalui proses reabsorbsi
dan sekresi yang terjadi di dalam tubulus nefron ginjal.
Gambar 2. Komponen Penyusun GlomerulusSumber: http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/renal.jpg
Proses pembentukan urin terjadi melalui proses filtrasi, sekresi, reabsorbsi, dan
ekskresi. Proses filtrasi terjadi di glomerulus, sementara proses yang tersisa
berlangsung di tubulus ginjal. Saat darah melewati glomerulus, terjadi filtrasi plasma
bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula bowman. Semua
konstituen dalam darah kecuali sel darah dan protein plasma, seperti H2O, nutrien,
elektrolit, zat sisa mengalami filtrasi Setiap hari terbentuk sekitar 180 liter (47,5 galon)
sdengan perumpamanaan volume plasma rata-rata pada orang dewasa sektar 2,75 liter
hal ini menunjukkan bahwa protein plasma mengalami 60 kali filtrasi perharinya.
Apabila semua yang di filtrasi dikeluarkan menjadi urin, volume plasma total akan
4
habis keluar dalam waktu setengah jam, tetapi hal tersebut tidak terjadi karena tubulus-
tubulus ginjal dan kapiler peritubulus berhubungan erat dengan panjangnya, sehingga
dapat terjadi perpindahan bahan antara cairan di dalam tubulus dan darah dari dalam
perifer, darah dan protein tidak termasuk dalam filtrat, karena untuk suatu zat dapat
difiltrasi memerlukan 3 proses (sherwood, 2001):
1) Harus melewati dinding kapiler glomerulus
Dinding kapiler glomerulus terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memililiki
lubang pori yang besar/fenestra yang, memebuatnya 100 kali lebih permeabek
terhadap H2O dan zat terlarut dibandingkan kapiler lain.
2) Membran basal
Terdiri dari glikoprotein (menghambat filtrasi protein kecil, albumin ) dan
kolagen (untuk menghasilkan kekuatan). Sebenarnya pori pada membran basal
cukup untuk dilewati protein kecil, albumin, tetapi hal ini ditahan oleh glikoprotein
yang memiliki muatan negatif sehingga menolak albumin dan protein plasma lain,
kurang dari 1% milekul albumin yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula
bownman. Hal ini menunjukkan pada orang dengan albuminuria, terdapat
gangguan muatan negatif dalam membran glomerulus yang menyebabkan
membran lebih permeabel terhadap albumin walaupun ukuran pori tidak berubah
(gambar 4)
3) Celah filtrasi antara tonjolan podosit (gambar 4)
Podosit merupakan sel mirip gurita yang mengelilingi berkas glomerulur,
memiliki tonjolan dimana antara tonjolan tersebut terdapat celah kecil filtration slit
memebentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke
lumen kapsula bownman. Oleh karena itu apabila terdapat darah (hematuria) atau
protein plasma (proteinuria) dalam urin, patut dicurigai adanya kelainan pada
ginjal.
5
Gambar 3. Glomerular Filtration Barrier
Sumber: http://histology-group28.wikispaces.com/file/view/glomerulus_schematic.jpgGambar 4. Proses Filtrasi Glomerulus
Sumber: http://physrev.physiology.org/content/vol87/issue1/images/large/z9j0010724220003.jpeg
Selain itu, untuk menginduksi filtrasi glomerulus, diperlukan tekanan. Terdapat 3
tekanan yang berperan dalam filtrasi glomerulus (Sherwood, 2001):
1) Tekanan darah kapiler glomerulus (rata-rata 55mmHg)
Tekanan ini dipengaruhi oleh kontraksi jantung (energi untuk filtrasi
glomerulus) dan resistensi arteriol aferen dan eferen terhadap aliran darah, hal ini
mengakibatkan terjadi pembendungan tekanan di kapiler glomerulus, dan
membantu zat-zat untuk diflitrasi keluar dari kapiler glomerulus menuju lumen
kapsula bownmen
2) Tekanan osmotik koloid plasma (rata-rata 30mmHg)
Tekanan ini untuk melawan filtrasi tujuannya agar tidak merusak pertahanan
akibat tekanan kapiler glomerulus yang cukup besar. Tekanan ini ditimbulkan oleh
distribusi protein plasma yang tidak seimbang antara kedua sisi membran
glomerulus. Tekanan ini bersifat melawan karena H2O yang konsentrasinya lebih
besar di kapsula bownman daripada di kapiler glomerulus oleh karena itu
kecenderungan H2O untuk berpindah ke arah kapiler glomerulus (sifat gradien
konsentrasi dari daerah yang tinggi ke rendah)
3) Tekanan hidrostatik kapiler bowman (rata-rata 15 mmHg)
6
Tekanan ini mendorong cairan keluar dari kapsula bownman, melawan filtrasi
cairan dari glomerulus ke dalam kapsula bownman.
Berdasarkan keterangan di atas, jelas bahwa netto dari tekanan filtrasi glomerulus
yaitutekanan yang mendorong filtrasi (tekanan darah kapiler glomerulus) – tekanan
yang melawan filtrasi (tekanan osmotik koloid plasma + tekanan hidrostatik kapiler
bownman) 55 mmHg – (30 mmHg + 15 mmHg) = 10 mmHg.
Gambar 5. Tekanan Filtrasi GlomerulusSumber : http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/Image37.gif
Glomerulonefritis paska infeksi streptokokus didahului oleh infeksi Streptococcus
β hemolyticus grup A. Daerah infeksi biasanya saluran pernapasan dan kulit (Noer,
2010). Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dengan gambaran klinis
kerusakan glomerulus menunjukkan bahwa proses imunologis memegang peranan
penting dalam patogenesis glomerulonefritis (Renny & Suwita, 2010). Penyakit ini
merupakan penyakit immune-mediated yang berhubungan dengan infeksi salran nafas
atas dan infeksi kulit oleh kuman streprokokus. Berbagai macam kandungan
streptokokus atau produknya bersifat antigenik dan dapat menyebabkan proses
imunopatologis yang menimbulkan glomerulonefritis, tetapi mekanisme yang pasti
sebagai penyebab kerusakan ginjal masih diperdebatkan. Pardede (2009)
mengungkapkan beberapa teori mengenai patogenesis GNAPS adalah pembentukan
kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), terdapat kemiripan
molekul antara antigen streptokokus dengan antigen ginjal, pembentukan kompleks
7
imun in situ antara antibodi stretptokokus dan antigen glomerulus, dan aktivasi sistem
komplemen secara langsung akibat deposit antigen streptokokus dalam glomerulus.
Konsituen somatik dan produk ekstraseluler yang diketahui berperan dalam
patogenesis GNAPS yaitu protein M, neuraminidase, endostreptosin, protein kationik,
streptococcal pyogenic exotoxin B, streptokinase, dan nephritis associated plasmin
receptor. Protein M berperan dalam menginduksi kerusakan ginjal dengan melakukan
reaksi silang dengan antigen membrana basalis glomerulus dan IgG yang bersirkulasi.
Protein M juga berperan dalam progresivitas kerusakan glomerulus. Neuraminidase
yang diproduksi streptokokus akan mengubah IgG autolog endogen menjasi
autoimunogenik. IgG autoimunogenik yang dimodifikasi ini akan menstimulasi
pembentukan antibodi terhadap IgG (Anti-IgG), kemudian membentuk kompleks imun
yang bersirkulasi dan mengendapat membentuk deposit di glomerulus. Deposit
endostreptosin pada membran basalis glomerulus mungkin suatu aktivator in situ
terhadap jalur alternatif sistem komplemen. Protein kationik menyebabkan
pembentukan kompleks imun in situ dan berperan dalam terjadinya inflamasi
glomerulus.Streptokinase akan merubah plasminogen menjadi plasmin dan C3 menjadi
C3a, hal ini akan menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan menyebabkan
pemecahan protein matriks ekstraseluler (Pardede, 2009).
8
Gambar 6. Patogenesis Immune-mediated glomerulonephritisSumber: Fazio, 2012.
Renny & Suwitra (2009) mengungkapkan bahwa mekanisme dasar terjadinya
glomerulonefritis akut paska streptokokus adalah adanya suatu proses imunologis yang
terjadi antara antibodi spesifik dengan antigen streptokokus. Proses ini terjadi di
dinding kapiler glomerulus dan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Selanjutnya
sistem komplemen memproduksi aktivator komplemen 5a (C5a) dan mediator –
mediator inflamasi lainnya. Sitokin dan faktor pemicu imunitas seluler lainnya akan
menimbulkan respon inflamasi dengan menifestasi proliferasi sel dan edema
glomerular. Penurunan laju filtrasi glomerulus berhubungan dengan penurunan
koefisien ultrafiltrasi glomerulus. Penurunan laju filtrasi glomerulus diikuti penurunan
ekdkresi atau kenaikan reabsorbsi natrium, sehingga terdapat penimbunan nantrium
dengan air, yang selanjutnya akan diikuti kenaikan volume plasma dan volume cairan
ekstraselular, sehingga akan timbul gambaran klinis oliguria, hipertensi, edema, dan
bendungan sirkulasi.
Edema (80% kasus) biasanya terjadi mendadak dan pertama kali terjadi di daerah
periorbital, selanjutnya dapat menjadi edema ansarka. Derajat berat ringannya edema
yang terjadi tergantung pada beberapa faktor, yaitu luasnya kerusakan glomerulus,
asupan cairan, dan derajat hipoalbuminemia. Hematuria makroskopis terjadi pada 30 –
50% kasus yang timbul dengan manifestasi urin berwarna seperti cola, teh ataupun
keruh dan sering dengan oliguria. Hipertensi merupakan tanda kardinal ketiga bagi
APSGN (50 – 90% kasus). Ledingham mengungkapkan hipotesis terjadinya hipertensi
mungkin akibat dari dua atau tiga faktor berikut yaitu, gangguan keseimbangan natriu,,
peranan sistem renin angiotensinogen, dan substasni renal medullari hypotensive
factors, diduga prostaglandin. Bendungan sirkulasi banyak terjadi pada penderita yang
dirawat di rumash sakit. Manifestasi klinik yang tampat dapat berupa dyspneu,
orthopneu, batuk, dan edema paru (Renny & Suwitra, 2009).
2.4. Manifestasi Klinis
Lumbanbatu (2003) mengungkapkan bahwa hampir 50% kasus
ini asimptomatik. Kasus klasik diawali dengan infeksi saluran napas
atas dengan nyeri tenggorokan 2 minggu sebelum timbulnya udem.
Perode laten rata – rata 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok
atau kulit. Hematuria dapat timbul berupa gross hematuria maupun
9
mikrokopik. Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai sepertti
demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau
lesu. Pada pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi, biasanya ringan
atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi selama
3 – 5 hari. Setelah itu tekanan darah turun perlahan dalam 1 – 2
minggu. Edema bisa berupa wajah sembab, edem pretibial atau
berupa gambaran sindrom nefrotik. Bendungan sirkulasi secara klinis
bisa nyata dengan takineu dan dispneu. Gejala tersebut dapat
disertai oligouria sampai anuria karena penurunan laju filtrasi
glomerulus.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya
adalah pemeriksaan urinalisis. Pemeriksaan urinalisis dapat
menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, kelainan sedimen urin
dengan eritrosit dismorfik, leukosituria serta torak seluler, granular,
dan eritrosit (Noer, 2010). Hematuri dengan atau tanpa silinder
ditemukan pada kira – kira 40% pasien. Silinder eritrosit merupakan
tanda kerusakan parenkim masih aktif. Pada pemeriksaan faal ginjal
sering digunakan ureum, kreatinin serum, dan klirens kreatinin untuk
menentukan derajat faal laju filtrasi glomerulus. Pada pemeriksaan
darah ditemukan anemia ringan normokrom normositer. Pada
pemeriksaan bakteriologis ditemukan bakteri dengan pengecatan
gram/methylen blue dan biakan dari hapus tenggorokan atau pus
untuk identifikasi streptokokus. Hasil biakan positif ditemukan hanya
25%dari pasien – pasien yang tidak mendapat antibiotik selama
infeksi akut oleh streptokokus. Kenaikan titer anti streptolisin O (ASO
hanya dapat ditemukan pada 80% pasien yang tidak mendapat
antibiotik. Kenaikan titer dapat juga dijumpai pada beberapa keadaan
sepertin karier, hiperkolesterolemia, dan infeksi streptokokus yang
tidak bersifat nefritogenik (Renny & Suwitra, 2010). Pada awal
penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat, sehingga
sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan 2 – 3 kali lipat
berarti adanya infeksi ( Noer, 2010). Peningkatan ASO terjadi 10 – 14
hari setelah infeksi streptokokus, dan infeksi kulit jarang
10
menyebabkan peningkatan kadar ASO. Antihialuronidase (ASE) dan
anti deoksiribonukleasi (ADNASE) umumnya meningkat. Pemeriksaan
gabungan ketiga titer antibodi ini dapat mendeteksi infeksi
streptokokus sebelumnya pada hampir 100% kasus (Lumbanbatu,
2003).
Pada pemeriksaan serum darah ditemukan penurunan kadar C3
dalam minggu pertama. Penurunan kadar C3 ini sangat mencolok
dengan kadar antara 20 – 40 mg/dl (N 50 – 140 mg/dl). Kadar
komplemen akan kembali normal dalam waktu 6 – 8 minggu (Noer,
2010) .Pemeriksaan pencitraan dengan USG diperoleh adanya
pembesaran ginjal bilateral. Foto thoraks sering ditemukan gambaran
kongesti vena sentral di area hilus sesuai dengan peningkatan
volume ekstraseluler.
Lumbanbatu (2003) menyatakan bahwa biopsi ginjal pada
GNAPS tidak diindikasikan. Biopsi dipertimbangkan bila gangguan
fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas (berkembang
menjadi gagal ginjal atau sindrom nefrotik), tidak ada bukti infeksi
streptokokud, tidak terdapat penurunan kadar komplemen, perbaikan
yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross
hematuria setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6
minggu, proteinuria yang menetap setelah 12 bulan.
2.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Lumbanbatu (2003) menyatakan bahwa kecurigaan akan adanya
GNAPS dicurigai bilsa dijumpai gejala klinis berupa hematuria nyata
yang timbul mendadak, sembab, dan gagal ginjal akut setelah infeksi
streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khias pada urinalisis,
bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratorium, dan
rendahnya kadar C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosis banding pada kasus GNAPS diantaranya sindrom
nefrotik, Glomerulonefritis kronik, Henoch – Schonlein Purpura (HSP),
IgA Nephropathy, dan Hemolytic Uremic Syndrome. Anak dengan
Nefropati – IgA sering menunjukkan gejala hematuria yang nyata
11
yang mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas, tetapi
pada nefropati – IgA terjadi bersamaan pada saat faringitis, hipertensi
dan sembab juga jarang tampak pada nefropati IgA. Kadar
komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan tanda yang
penting untuk membedakan gelomerulonefritis akut dengan
gelomerulonefritis kronik yang lain. kadar komplemen serum C3 akan
kembali normal dalam 6 – 9 minggu pada GNAPS, sedangkan pada
glomerulonefritis lain jauh lebih lama. Eksaserbasi hematuria
makroskopik sering terlihat pada glomerulonefritis kronik akibat
infeksi streptokokus dari strain non-nefritogenik yang lain (Noer,
2010). Sindrom nefrotik merupakan kelainan yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas membrana basalis glomerulus terhadap
protein. Manifestasi yang khas pada sindrom nefrotik adalah
hipoalbuminemia, hiperlipedemia, dan edema (Pardede,
2005).Henoch-Schonlein Syndrome meru[aka penyakit yang
menyebabkan purpura pada kulit, nyeri sendi, masalah sistem
pencernaan, dan glomerulonefritis. Penyebab pastinya belum
diketahui, biasanya menyerang anak – anak. Penyakit ini biasanya
didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas. Hemolytic-uremic
syndrome merupakan kelainan yang biasanya muncul akibat toksik
yang dikeluarkan oleh bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan.
Toksik ini dapat menghancurkan sel darah merah dan menyebabkan
kerusakan pada ginjal.
2.6. Tatalaksana
Penatalaksanaan yang direkomendasikan pada penderita GNAPS
adalah terapi supportif dan simptomatik yang berdasarkan padan
derajat keparahan penyakit secara klinis. Tujuan utama pengobatan
adalah mengendalikan hipertensi dan edema. Selama fase akut
pasien dibatasi aktivitasnya dengan pemberian diet 35 kal/kgbb/hari,
diet protein hewani 0,5-0,7 gram/kgbb/hari, lemak tak jenuh, dan
rendah garam yaitu 2 gr/hari natrium. Asupan elektrolit pun harus
dibatasi. Natrium 20 meq/hari, rendah kalium yaitu <70 meq/hari,
dan kalsium 600 mg/hari.
12
Pada edema berat dan bendungan sirkulasi dapat diberikann
NaCL 300 mg/hari, sedangkan bila edema minimal dan hhipertensi
ringan diberikan 1 – 2 g/m2/hari. Bila disertai oliguria, maka
pemberian kalium harus dibatasi. Retriksi cairan secara ketat dengan
pembatasan cairan masuk yaitu 1 liter/hari untuk mengatasi
hipertensi. Asupan cairan sebanding dengan invemsible water loss
(400 – 500 ml/m2 luas permukaan tubuh/hari) ditambah setengah
atau kurang dari urin yang keluar. Berat badan yang tidak berkurang
diberi diuretik seperti furosemid 2 mg/kgbb, 1 – 2 kali/hari.
Pengobatan hipertensi dapat menggunakan diuretik kuat, atau
bila hipertensi tetap tidak teratasi pilihan obat selanjutnya adalah
golongan ca channel blocker, ACE inhibitor, atau bahkan nitroprusid
IV bagi hipertensi maligna. Bila hipertensi ringan (130/90 mmHg)
umumnya diobservasi tanpa terapi. Hipertensi sedang
(>140-150/>100 mmHg) diterapi dengan pemberian hidralazin oral
atau IM,nifedipin oral atau sublingual. Namun lebih baik merawat
pasien hipertensi 1 – 2 hari daripada memberi anti hipertensi yang
lama. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0.15 – 0.30 mg/kgbb
IV, dapat diulang setiap 2 – 4 jam atau reserpin 0.03 – 0.10
mg/kgbb/menit. Pada krisis hipertensi (?180/120 mmHg) diberi
diazoxid 2 – 5 mg/kgbb IV secara cepat bersama furosemid 2
mg/kgbb IV. Pilihan lain, klonidin drip 0.002 mg/kgbb/kali, diulang
seiap 4 – 6 jam atau diberi nifedipin sublingual 0.25 – 0.5 mg/kgbb
dan dapat diulang setiap 6 jam bila diperlukan.
Pada beberapa kasus berat dengan kondisi hiperkalemi dan
sindrom uremia yang berat diindikasikan untuk hemodialisa. Terapi
steroid IV terutama diindikasikan untuk glomerulonefritis dengan luas
lesi >30% glomerulus total. Metil prednisolon 500 mg/hari IV tebagi
dalam 4 dosis selama 3 – 5 hari. Namun beberapa referensi
menyebutkan tidak diindikasikan untuk pemberian terapi steroid
dalam jangka panjang.
Antibiotika diindikasikan untuk pengobatan infeksi streptokokus.
Pemakaian antibiotik sebenarnya tidak mempengaruhi perjalanan
13
penyakit. Namun pasien dengan biakan positif harus diberikan
antibiotik untuk eradikasi organisme dan mencegah penyebaran ke
individu lain. Pilihan obat yang direkomendasikan adalah penisilin G
oral 4x250 mg selama 7 hari. Injeksi benzathin penisilin 50.000
U/kgbb IM atau eritromisin oral 40 mg/kgbb/hari selama 10 hari bila
pasien alergi penisilin (Lumbanbatu, 2003; Renny & Suwitra, 2009).
Perawatan dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi ginjal
sedang sampai berat (klirens kreatinin <60 ml/menit/1.73m2), BUN
>50 mg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah,letargi,
hipertensi ensefalopati, anuria, atau oligouria menetap.
2.7. Komplikasi dan Prognosis
Fase awal glomerulonefritis akut akan berlangsung beberapa
hari – 2 minggu. Setelah itu anak akan merasa lebih baik, diuresis
lancar, edem hilang, dan hipertensi hilang, LFG kembali normal.
Penyakit ini dapat sembuh sendiri, jarang berkembang menjadi
kronik. Kronisitas dihubungkan dengan awal penyakit yang berat dan
kelainan morfologis berupa hiperseluritas lobuls. Pasien sebaiknya
kontrol tiap 4 – 6 minggu dalam 6 bulan pertama setelah awitan
nefritis. Pengkuran tekanan darah, pemeriksaan eritrosit dan protein
urin selama 1 tahun lebih bermanfaat untuk menilai perbaikan. Kadr
C3 akan kembali normal setelah 8 – 12 minggu, edem membaik
dalam 5 – 10 hari, tekanan darah kembali normal setelah 2- 3
minggu, walaupun dapat tetap tinggi sampai 6 minggu. Gross
hematuri biasanya menghilang dalam 1 – 3 minggu, hematuria
mikroskopik menghilang setelah 6 bulan, namun dapat bertahan
sampai 1 tahun. Proteinuria menghilang dalam 2 – 3 bulan pertama
atau setelah 6 bulan (Lumbanbatu, 2003).
Terjadi glomerunolefritis kronis bila selam perjalanan penyakit
ditemukan salah satu atau lebih tanda klinis, atau proteinuria dengan
atau tanpa hematuri asimtomatik yang menetap selama bertahun –
tahun akan berubah menjadi kronis, akhirnya gagal ginjal kronis
(Renny & Suwitra, 2009).
14
Glomerulonefritis kronik sebagai kelanjutan dari glomerulonefritis akut yang
tidak mendapat pengobatan secara tuntas.Gagal ginjal akut dengan manifestasi oliguria
sampai anuria yang dapat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti
insufiiensi ginjal akut dengan uremia, hiperfosfatemia, hiperkalemia. Walaupun
oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, jika hal ini terjadi diperlukan
peritoneum dialysis (bila perlu).Enselopati hipertensi merupakan gejala serebrum
karena hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan
kejang-kejang. Hal ini disebabkan karena spasme pembuluh darah local dengan anoksia
dan edema otak. Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya ronkhi
basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang buka saja disebabkan
spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma.
Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan
kelainan di miokardium. Anemia yang timbul karena adanya hipovolemia disamping
sintesis eritropoetik yang menurun.
Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.
Anak kecil memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan anak
yang lebih besar atau dewasa. Perbaikan klinis yang sempurna dan
urin yang normal menunjukkan prognosis yang baik insiden ginjl
berkisar 1 – 30%. Kemungkinana menjadi kronik 5 – 10%, sekitar 0.5
– 2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal yang cepat dan
progresif dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal
ginjal terminal (lumbanbatu, 2003).
15
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Nefritis Akut merupakan sekumpulan gejala yang ditandai
dengan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder eritrosit yang muncul
secara tiba – tiba. Kelainan ini dapat juga muncul bersamaan dengan
hipertensi, udem, dan retensi natrium-air. Salah satu penyebab sindrom
nefritis akut yang paling sering pada anak adalah Glomerulonefritis akut
paska infeksi streptokokus (GNAPS). Pada GNAPS manifestasi SNA muncul
setelah adanya riwayat infeksi oleh bakteri streptokokus pada saluran
pernapasan atas atau infeksi kulit. Masa laten GNAPS berkisar antara 1 – 2
minggu paska infeksi.
Infeksi streptokokus memicu terjadinya proses imunitas dalam
tubuh, yang pada akhirnya tubuh akan membentuk kompleks antigen
antibodi yang berdeposit pada kapiler glomerulus, bahkan sampai
memberana basalis glomerulus. Hal ini menyebabkan kebocroan vaskular,
penurunan seletifitas filtrasi ginjal yang menyebabkan manifestasi
hematuria dan proteinuria. Kerusakan pada glomerulus akan menurunkan
lajur filtrasi glomelurus dan meningkatan reabsorbsi natrium – air, hal ini
muncul sebagai manifestasi hipertensi dan edema pada pasien.
Kerusakan gelomerulus yang tidak segera diatasi akan menyebabkan
gagal ginjal akut pada anak. Penegakkan diagnosis GNAPS dapat
dilakukan melalui pengamatan manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan serum titer ASO, urinalisis dengan menemukan
silinder eritrosit, atau kultur dari sediaan usap tenggorokan atau kulit.
Terapi utama dari GNAPS adalah terapi suportif dan mengobatai
penyebabnya. Pemberian antibiotik dapat diberikan jika bukti infeksi
streptokokus dapat ditemukan. Prognosis GNAPS pada anak umumnya
baik, hanya sedikit yang kemudia berkembang menjadi glomerulonefritik
kronik, atau gagal ginjal kronik bahkan gagal ginjal terminal.
16
DAFTAR PUSTAKA
Lumbanbatu, SM. 2003. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak, Sari Pediatri, vol. 5. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
Parmar, SP. 2013. Acute Glomerulonephritis. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/239278-overview#a0101. Accessed at: 18th of May 2013, 06.30 PM
Noer, MS. 2010. Glomerulonefritis; Buku Ajar Nefrologi Anak, 2nd edt, hlm. 323 – 365. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Pardede, SO. 2009. Struktur Sel Streptokokus dan Patogenesis Glomerulonefritis Akut Pascasetreptokokus; Sari Pediatri, Vol. 11 . Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
Renny RA & Suwitra K. 2010. Seorang Penderita Sindrom Nefritik Akut Pasca Infeksi Streptokokus, Vol. 10. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah. Denpasar.
Sherwood, L. 2001. Sistem Kemih : Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, 2nd edt, hlm. 461 – 502. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Sukandar, E. 2006. Sindrom Nefritik Akut: Nefrologi Klinik, 3rd edt, hlm. 221 – 232. Pusat Informasi Ilmiah, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/ RS. Dr. Hasan Sadikin. Bandung.
17