Sindrom Nefrotik

25
BAB I PENDAHULUAN Sindrom nefritis akut merupakan kumpulan gejala yang timbul akibat proses inflamasi pada glomerulus ginjal. Penyebab SNA yang paling banyak ditemukan pada anak adalah Glomerulonefritis akut paska infeksi streptokokus. Glomerulonefritis merupakan penyakit kelainan ginjal yang muncul sekita 10 – 15%. Insiden GNAPS telah mengalami penurunan jumlah selama dekade terakhir ini, hal ini terjadi karena peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan status sosial ekonomi penduduk. GNAPS dapat muncul dalam berbagau usia, namun biasanya muncul pada anak – anak. Kebanyakan kasus muncul pada anak usia 5 – 15 tahun, hanya 10% kasus muncul pada usia diatas 40 tahun. GNAPS lebih banyak menyerang anak laki – laki dibandingkan anak perempuan. Insiden yang lebih tinggi berhubungan dengan perilaku hidup sehat dan pada kelompok dengan status sosial ekonomi yang rendah. GNAPS merupakan penyakit ginjal akibat proses imunologis yang menyebabkan proses inflamasi pada glomerulus ginjal, yang dapat menyebabkan kerusakan pada membarana basalis, mesangium, atau endotel kapiler. GNAPS didefinisikan sebagai hematuria, proteinuria, dan silinder eritrosit yang muncul secara mendadak. Menifestasi klinis ini biasanya diikuti dengan hipertensi, edema, azotemia, dan retensi garam-air. Penatalaksanaan GNAPS mengutamakan terapi suportif, hal ini disebabkan karena ketiadaan terapi spesifik untuk penyakit 1

Transcript of Sindrom Nefrotik

Page 1: Sindrom Nefrotik

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefritis akut merupakan kumpulan gejala yang timbul akibat

proses inflamasi pada glomerulus ginjal. Penyebab SNA yang paling

banyak ditemukan pada anak adalah Glomerulonefritis akut paska infeksi

streptokokus. Glomerulonefritis merupakan penyakit kelainan ginjal yang

muncul sekita 10 – 15%. Insiden GNAPS telah mengalami penurunan

jumlah selama dekade terakhir ini, hal ini terjadi karena peningkatan

kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan status sosial ekonomi

penduduk.

GNAPS dapat muncul dalam berbagau usia, namun biasanya muncul

pada anak – anak. Kebanyakan kasus muncul pada anak usia 5 – 15

tahun, hanya 10% kasus muncul pada usia diatas 40 tahun. GNAPS lebih

banyak menyerang anak laki – laki dibandingkan anak perempuan.

Insiden yang lebih tinggi berhubungan dengan perilaku hidup sehat dan

pada kelompok dengan status sosial ekonomi yang rendah.

GNAPS merupakan penyakit ginjal akibat proses imunologis yang

menyebabkan proses inflamasi pada glomerulus ginjal, yang dapat

menyebabkan kerusakan pada membarana basalis, mesangium, atau

endotel kapiler. GNAPS didefinisikan sebagai hematuria, proteinuria, dan

silinder eritrosit yang muncul secara mendadak. Menifestasi klinis ini

biasanya diikuti dengan hipertensi, edema, azotemia, dan retensi garam-

air.

Penatalaksanaan GNAPS mengutamakan terapi suportif, hal ini

disebabkan karena ketiadaan terapi spesifik untuk penyakit ginjal. Ketika

GNAPS berhubungan dengan infeksi kronik, maka infeksi tersebut yang

harus diterapi.

1

Page 2: Sindrom Nefrotik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Sindrom Nefritis Akut

Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan kumpulan gejala klinik

berupa oliguria, kelainan urinalisis (proteinuria ≤ 2 gram/hari dan

hematuria disertai silinder eritrosit), azotemia, hipertensi, bendungan

sirkulasi (bendungan paru akut, kenaikan tekanan vena jugularis,

hepatomegali), dan edema. SNA merupakan salah satu keadaan

darurat medik di bidang nefrologi. Keterlambatan dan pengelolaan

yang tidak adekuat dapat menyebabkan kematian (Sukandar, 2006).

Bergstein (2000) dalam buku Ilmu Kesehatan Anak Nelson

mengungkapkan bahwa SNA merupakan sekumpulan gejala yang

timbul akibat peradangan pada glomerulus ginjal. Gejala SNA

meliputi Hematuria, edema, hipertensi, dan insufisiensi ginjal. Tanda

– tanda ini sering sekali ditemukan pada penderita glomerulonefritis

paska infeksi (streptokokus), lupus eritromatosus sistemik,

glomerulonefritis membranoproliferatif, purpura anafilaktoid, dan

glomerulonefritis progesif cepat.

2.2. Etiologi dan Epidemiologi Sindrom Nefritis Akut

Sindrom Nefritis Akut sering disebabkan oleh respon imun tubuh

terhadap infeksi atau penyakit lainnya. Penyebab tersering SNA pada

anak meliputi Post streptococcal glomerulonephritis (PSGN), Henoch –

Schonlein Purpura (HSP), IgA Nephropathy, dan Hemolytic Uremic

Syndrome.Penulis membatasi sindrom nefritik akut yang

berhubungan dengan paska infeksi streptokokus yang sering

dijumpai pada anak – anak dan dewasa muda. Sindrom ini biasanya

didahului infeksi saluran pernapasan bagian atas (faringitis atau

tonsilitis) dan kulit (impetigo) yang disebabkan oleh streptokokus

beta hemolitik golongan A tipe 12. Periode laten berlangsung selama

1 - 2 minggu setelah infeksi saluran pernapasan atas dan 21 hari

setelah infeksi kulit. Periode laten ini membuktikan bahwa sindrom

2

Page 3: Sindrom Nefrotik

nefritik akut paska infeksi streptokokus berhubungan dengan

immune – complexes mediated renal injury (sukandar, 2006).

Glomerulonefritis akut menunjukkan adanya kejadian paska

infeksi dengan etiologi berbagai macam bakteri dan virus. Kuman

penyebab tersering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A

yang nefritogenik. Insiden tidak dapat diketahui dengan tepat,

diperkirakan jauh lebih tinggi dari data statistik yang dilaporkan.

Glomerulonefritis akut paska infeksi streptokokus terutama

menyerang anak pada masa awal usia sekolah. Jarang menyerang

anak dibawah usia 3 tahun. Anak laki – laki memiliki resiko lebih

tinggi dibandingkan anak perempuan (Noer, 2010).

2.3. Patogenesis dan Patofisiologi

Setiap ginjal terdiri dri sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik

yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Karena

fungsi primer ginjal adalah menghasilkan urin, maka nefron adalah satuan terkecil yang

mampu membentuk urin. Pada saat memasuki ginjal, arteri renalis secara sistematis

terbagi – bagi untuk akhirnya menjadi pembuluh – pembuluh halus yang dikenal

sebagai arteriol aferen. Arteriol aferen menyalurkan darah ke kapiler glomerulus, yang

menyatu untuk membentuk arteriol lain, arteriol eferen, tempat keluarnya darah yang

3

Page 4: Sindrom Nefrotik

yang tidak difiltrasi ke dalam komponen tubulus meninggalkan glomerulus. Arteriol –

arteriol inilah yang akan membentuk glomerulus.

Gambar 1. Bagian – bagian Ginjal, Nefron, dan Vaskularisasinyaa) Bagian – bagian ginjal; b) Bagian – bagian nefron ginjal; dan c) Perdarahan nefron.Sumber: http://kvhs.nbed.nb.ca/gallant/biology/nephron_structure.html

Nefron ginjal terdiri atas tubulus. Komponen tubulus berawal dari dari kapsula

bowman, suatu invaginasi berdinding rangkap yang melingkupi glomerulus untuk

mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus. Setelah melewati proses

filtrasi di glomerulus, selanjutnya hasil filtrasi tersebut akan melalui proses reabsorbsi

dan sekresi yang terjadi di dalam tubulus nefron ginjal.

Gambar 2. Komponen Penyusun GlomerulusSumber: http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/renal.jpg

Proses pembentukan urin terjadi melalui proses filtrasi, sekresi, reabsorbsi, dan

ekskresi. Proses filtrasi terjadi di glomerulus, sementara proses yang tersisa

berlangsung di tubulus ginjal. Saat darah melewati glomerulus, terjadi filtrasi plasma

bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula bowman. Semua

konstituen dalam darah kecuali sel darah dan protein plasma, seperti H2O, nutrien,

elektrolit, zat sisa mengalami filtrasi Setiap hari terbentuk sekitar 180 liter (47,5 galon)

sdengan perumpamanaan volume plasma rata-rata pada orang dewasa sektar 2,75 liter

hal ini menunjukkan bahwa protein plasma mengalami 60 kali filtrasi perharinya.

Apabila semua yang di filtrasi dikeluarkan menjadi urin, volume plasma total akan

4

Page 5: Sindrom Nefrotik

habis keluar dalam waktu setengah jam, tetapi hal tersebut tidak terjadi karena tubulus-

tubulus ginjal dan kapiler peritubulus berhubungan erat dengan panjangnya, sehingga

dapat terjadi perpindahan bahan antara cairan di dalam tubulus dan darah dari dalam

perifer, darah dan protein tidak termasuk dalam filtrat, karena untuk suatu zat dapat

difiltrasi memerlukan 3 proses (sherwood, 2001):

1) Harus melewati dinding kapiler glomerulus

Dinding kapiler glomerulus terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memililiki

lubang pori yang besar/fenestra yang, memebuatnya 100 kali lebih permeabek

terhadap H2O dan zat terlarut dibandingkan kapiler lain.

2) Membran basal

Terdiri dari glikoprotein (menghambat filtrasi protein kecil, albumin ) dan

kolagen (untuk menghasilkan kekuatan). Sebenarnya pori pada membran basal

cukup untuk dilewati protein kecil, albumin, tetapi hal ini ditahan oleh glikoprotein

yang memiliki muatan negatif sehingga menolak albumin dan protein plasma lain,

kurang dari 1% milekul albumin yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula

bownman. Hal ini menunjukkan pada orang dengan albuminuria, terdapat

gangguan muatan negatif dalam membran glomerulus yang menyebabkan

membran lebih permeabel terhadap albumin walaupun ukuran pori tidak berubah

(gambar 4)

3) Celah filtrasi antara tonjolan podosit (gambar 4)

Podosit merupakan sel mirip gurita yang mengelilingi berkas glomerulur,

memiliki tonjolan dimana antara tonjolan tersebut terdapat celah kecil filtration slit

memebentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke

lumen kapsula bownman. Oleh karena itu apabila terdapat darah (hematuria) atau

protein plasma (proteinuria) dalam urin, patut dicurigai adanya kelainan pada

ginjal.

5

Page 6: Sindrom Nefrotik

Gambar 3. Glomerular Filtration Barrier

Sumber: http://histology-group28.wikispaces.com/file/view/glomerulus_schematic.jpgGambar 4. Proses Filtrasi Glomerulus

Sumber: http://physrev.physiology.org/content/vol87/issue1/images/large/z9j0010724220003.jpeg

Selain itu, untuk menginduksi filtrasi glomerulus, diperlukan tekanan. Terdapat 3

tekanan yang berperan dalam filtrasi glomerulus (Sherwood, 2001):

1) Tekanan darah kapiler glomerulus (rata-rata 55mmHg)

Tekanan ini dipengaruhi oleh kontraksi jantung (energi untuk filtrasi

glomerulus) dan resistensi arteriol aferen dan eferen terhadap aliran darah, hal ini

mengakibatkan terjadi pembendungan tekanan di kapiler glomerulus, dan

membantu zat-zat untuk diflitrasi keluar dari kapiler glomerulus menuju lumen

kapsula bownmen

2) Tekanan osmotik koloid plasma (rata-rata 30mmHg)

Tekanan ini untuk melawan filtrasi tujuannya agar tidak merusak pertahanan

akibat tekanan kapiler glomerulus yang cukup besar. Tekanan ini ditimbulkan oleh

distribusi protein plasma yang tidak seimbang antara kedua sisi membran

glomerulus. Tekanan ini bersifat melawan karena H2O yang konsentrasinya lebih

besar di kapsula bownman daripada di kapiler glomerulus oleh karena itu

kecenderungan H2O untuk berpindah ke arah kapiler glomerulus (sifat gradien

konsentrasi dari daerah yang tinggi ke rendah)

3) Tekanan hidrostatik kapiler bowman (rata-rata 15 mmHg)

6

Page 7: Sindrom Nefrotik

Tekanan ini mendorong cairan keluar dari kapsula bownman, melawan filtrasi

cairan dari glomerulus ke dalam kapsula bownman.

Berdasarkan keterangan di atas, jelas bahwa netto dari tekanan filtrasi glomerulus

yaitutekanan yang mendorong filtrasi (tekanan darah kapiler glomerulus) – tekanan

yang melawan filtrasi (tekanan osmotik koloid plasma + tekanan hidrostatik kapiler

bownman) 55 mmHg – (30 mmHg + 15 mmHg) = 10 mmHg.

Gambar 5. Tekanan Filtrasi GlomerulusSumber : http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/Image37.gif

Glomerulonefritis paska infeksi streptokokus didahului oleh infeksi Streptococcus

β hemolyticus grup A. Daerah infeksi biasanya saluran pernapasan dan kulit (Noer,

2010). Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dengan gambaran klinis

kerusakan glomerulus menunjukkan bahwa proses imunologis memegang peranan

penting dalam patogenesis glomerulonefritis (Renny & Suwita, 2010). Penyakit ini

merupakan penyakit immune-mediated yang berhubungan dengan infeksi salran nafas

atas dan infeksi kulit oleh kuman streprokokus. Berbagai macam kandungan

streptokokus atau produknya bersifat antigenik dan dapat menyebabkan proses

imunopatologis yang menimbulkan glomerulonefritis, tetapi mekanisme yang pasti

sebagai penyebab kerusakan ginjal masih diperdebatkan. Pardede (2009)

mengungkapkan beberapa teori mengenai patogenesis GNAPS adalah pembentukan

kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), terdapat kemiripan

molekul antara antigen streptokokus dengan antigen ginjal, pembentukan kompleks

7

Page 8: Sindrom Nefrotik

imun in situ antara antibodi stretptokokus dan antigen glomerulus, dan aktivasi sistem

komplemen secara langsung akibat deposit antigen streptokokus dalam glomerulus.

Konsituen somatik dan produk ekstraseluler yang diketahui berperan dalam

patogenesis GNAPS yaitu protein M, neuraminidase, endostreptosin, protein kationik,

streptococcal pyogenic exotoxin B, streptokinase, dan nephritis associated plasmin

receptor. Protein M berperan dalam menginduksi kerusakan ginjal dengan melakukan

reaksi silang dengan antigen membrana basalis glomerulus dan IgG yang bersirkulasi.

Protein M juga berperan dalam progresivitas kerusakan glomerulus. Neuraminidase

yang diproduksi streptokokus akan mengubah IgG autolog endogen menjasi

autoimunogenik. IgG autoimunogenik yang dimodifikasi ini akan menstimulasi

pembentukan antibodi terhadap IgG (Anti-IgG), kemudian membentuk kompleks imun

yang bersirkulasi dan mengendapat membentuk deposit di glomerulus. Deposit

endostreptosin pada membran basalis glomerulus mungkin suatu aktivator in situ

terhadap jalur alternatif sistem komplemen. Protein kationik menyebabkan

pembentukan kompleks imun in situ dan berperan dalam terjadinya inflamasi

glomerulus.Streptokinase akan merubah plasminogen menjadi plasmin dan C3 menjadi

C3a, hal ini akan menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan menyebabkan

pemecahan protein matriks ekstraseluler (Pardede, 2009).

8

Page 9: Sindrom Nefrotik

Gambar 6. Patogenesis Immune-mediated glomerulonephritisSumber: Fazio, 2012.

Renny & Suwitra (2009) mengungkapkan bahwa mekanisme dasar terjadinya

glomerulonefritis akut paska streptokokus adalah adanya suatu proses imunologis yang

terjadi antara antibodi spesifik dengan antigen streptokokus. Proses ini terjadi di

dinding kapiler glomerulus dan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Selanjutnya

sistem komplemen memproduksi aktivator komplemen 5a (C5a) dan mediator –

mediator inflamasi lainnya. Sitokin dan faktor pemicu imunitas seluler lainnya akan

menimbulkan respon inflamasi dengan menifestasi proliferasi sel dan edema

glomerular. Penurunan laju filtrasi glomerulus berhubungan dengan penurunan

koefisien ultrafiltrasi glomerulus. Penurunan laju filtrasi glomerulus diikuti penurunan

ekdkresi atau kenaikan reabsorbsi natrium, sehingga terdapat penimbunan nantrium

dengan air, yang selanjutnya akan diikuti kenaikan volume plasma dan volume cairan

ekstraselular, sehingga akan timbul gambaran klinis oliguria, hipertensi, edema, dan

bendungan sirkulasi.

Edema (80% kasus) biasanya terjadi mendadak dan pertama kali terjadi di daerah

periorbital, selanjutnya dapat menjadi edema ansarka. Derajat berat ringannya edema

yang terjadi tergantung pada beberapa faktor, yaitu luasnya kerusakan glomerulus,

asupan cairan, dan derajat hipoalbuminemia. Hematuria makroskopis terjadi pada 30 –

50% kasus yang timbul dengan manifestasi urin berwarna seperti cola, teh ataupun

keruh dan sering dengan oliguria. Hipertensi merupakan tanda kardinal ketiga bagi

APSGN (50 – 90% kasus). Ledingham mengungkapkan hipotesis terjadinya hipertensi

mungkin akibat dari dua atau tiga faktor berikut yaitu, gangguan keseimbangan natriu,,

peranan sistem renin angiotensinogen, dan substasni renal medullari hypotensive

factors, diduga prostaglandin. Bendungan sirkulasi banyak terjadi pada penderita yang

dirawat di rumash sakit. Manifestasi klinik yang tampat dapat berupa dyspneu,

orthopneu, batuk, dan edema paru (Renny & Suwitra, 2009).

2.4. Manifestasi Klinis

Lumbanbatu (2003) mengungkapkan bahwa hampir 50% kasus

ini asimptomatik. Kasus klasik diawali dengan infeksi saluran napas

atas dengan nyeri tenggorokan 2 minggu sebelum timbulnya udem.

Perode laten rata – rata 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok

atau kulit. Hematuria dapat timbul berupa gross hematuria maupun

9

Page 10: Sindrom Nefrotik

mikrokopik. Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai sepertti

demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau

lesu. Pada pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi, biasanya ringan

atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi selama

3 – 5 hari. Setelah itu tekanan darah turun perlahan dalam 1 – 2

minggu. Edema bisa berupa wajah sembab, edem pretibial atau

berupa gambaran sindrom nefrotik. Bendungan sirkulasi secara klinis

bisa nyata dengan takineu dan dispneu. Gejala tersebut dapat

disertai oligouria sampai anuria karena penurunan laju filtrasi

glomerulus.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya

adalah pemeriksaan urinalisis. Pemeriksaan urinalisis dapat

menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, kelainan sedimen urin

dengan eritrosit dismorfik, leukosituria serta torak seluler, granular,

dan eritrosit (Noer, 2010). Hematuri dengan atau tanpa silinder

ditemukan pada kira – kira 40% pasien. Silinder eritrosit merupakan

tanda kerusakan parenkim masih aktif. Pada pemeriksaan faal ginjal

sering digunakan ureum, kreatinin serum, dan klirens kreatinin untuk

menentukan derajat faal laju filtrasi glomerulus. Pada pemeriksaan

darah ditemukan anemia ringan normokrom normositer. Pada

pemeriksaan bakteriologis ditemukan bakteri dengan pengecatan

gram/methylen blue dan biakan dari hapus tenggorokan atau pus

untuk identifikasi streptokokus. Hasil biakan positif ditemukan hanya

25%dari pasien – pasien yang tidak mendapat antibiotik selama

infeksi akut oleh streptokokus. Kenaikan titer anti streptolisin O (ASO

hanya dapat ditemukan pada 80% pasien yang tidak mendapat

antibiotik. Kenaikan titer dapat juga dijumpai pada beberapa keadaan

sepertin karier, hiperkolesterolemia, dan infeksi streptokokus yang

tidak bersifat nefritogenik (Renny & Suwitra, 2010). Pada awal

penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat, sehingga

sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan 2 – 3 kali lipat

berarti adanya infeksi ( Noer, 2010). Peningkatan ASO terjadi 10 – 14

hari setelah infeksi streptokokus, dan infeksi kulit jarang

10

Page 11: Sindrom Nefrotik

menyebabkan peningkatan kadar ASO. Antihialuronidase (ASE) dan

anti deoksiribonukleasi (ADNASE) umumnya meningkat. Pemeriksaan

gabungan ketiga titer antibodi ini dapat mendeteksi infeksi

streptokokus sebelumnya pada hampir 100% kasus (Lumbanbatu,

2003).

Pada pemeriksaan serum darah ditemukan penurunan kadar C3

dalam minggu pertama. Penurunan kadar C3 ini sangat mencolok

dengan kadar antara 20 – 40 mg/dl (N 50 – 140 mg/dl). Kadar

komplemen akan kembali normal dalam waktu 6 – 8 minggu (Noer,

2010) .Pemeriksaan pencitraan dengan USG diperoleh adanya

pembesaran ginjal bilateral. Foto thoraks sering ditemukan gambaran

kongesti vena sentral di area hilus sesuai dengan peningkatan

volume ekstraseluler.

Lumbanbatu (2003) menyatakan bahwa biopsi ginjal pada

GNAPS tidak diindikasikan. Biopsi dipertimbangkan bila gangguan

fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas (berkembang

menjadi gagal ginjal atau sindrom nefrotik), tidak ada bukti infeksi

streptokokud, tidak terdapat penurunan kadar komplemen, perbaikan

yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross

hematuria setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6

minggu, proteinuria yang menetap setelah 12 bulan.

2.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Lumbanbatu (2003) menyatakan bahwa kecurigaan akan adanya

GNAPS dicurigai bilsa dijumpai gejala klinis berupa hematuria nyata

yang timbul mendadak, sembab, dan gagal ginjal akut setelah infeksi

streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khias pada urinalisis,

bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratorium, dan

rendahnya kadar C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis.

Diagnosis banding pada kasus GNAPS diantaranya sindrom

nefrotik, Glomerulonefritis kronik, Henoch – Schonlein Purpura (HSP),

IgA Nephropathy, dan Hemolytic Uremic Syndrome. Anak dengan

Nefropati – IgA sering menunjukkan gejala hematuria yang nyata

11

Page 12: Sindrom Nefrotik

yang mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas, tetapi

pada nefropati – IgA terjadi bersamaan pada saat faringitis, hipertensi

dan sembab juga jarang tampak pada nefropati IgA. Kadar

komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan tanda yang

penting untuk membedakan gelomerulonefritis akut dengan

gelomerulonefritis kronik yang lain. kadar komplemen serum C3 akan

kembali normal dalam 6 – 9 minggu pada GNAPS, sedangkan pada

glomerulonefritis lain jauh lebih lama. Eksaserbasi hematuria

makroskopik sering terlihat pada glomerulonefritis kronik akibat

infeksi streptokokus dari strain non-nefritogenik yang lain (Noer,

2010). Sindrom nefrotik merupakan kelainan yang disebabkan oleh

peningkatan permeabilitas membrana basalis glomerulus terhadap

protein. Manifestasi yang khas pada sindrom nefrotik adalah

hipoalbuminemia, hiperlipedemia, dan edema (Pardede,

2005).Henoch-Schonlein Syndrome meru[aka penyakit yang

menyebabkan purpura pada kulit, nyeri sendi, masalah sistem

pencernaan, dan glomerulonefritis. Penyebab pastinya belum

diketahui, biasanya menyerang anak – anak. Penyakit ini biasanya

didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas. Hemolytic-uremic

syndrome merupakan kelainan yang biasanya muncul akibat toksik

yang dikeluarkan oleh bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan.

Toksik ini dapat menghancurkan sel darah merah dan menyebabkan

kerusakan pada ginjal.

2.6. Tatalaksana

Penatalaksanaan yang direkomendasikan pada penderita GNAPS

adalah terapi supportif dan simptomatik yang berdasarkan padan

derajat keparahan penyakit secara klinis. Tujuan utama pengobatan

adalah mengendalikan hipertensi dan edema. Selama fase akut

pasien dibatasi aktivitasnya dengan pemberian diet 35 kal/kgbb/hari,

diet protein hewani 0,5-0,7 gram/kgbb/hari, lemak tak jenuh, dan

rendah garam yaitu 2 gr/hari natrium. Asupan elektrolit pun harus

dibatasi. Natrium 20 meq/hari, rendah kalium yaitu <70 meq/hari,

dan kalsium 600 mg/hari.

12

Page 13: Sindrom Nefrotik

Pada edema berat dan bendungan sirkulasi dapat diberikann

NaCL 300 mg/hari, sedangkan bila edema minimal dan hhipertensi

ringan diberikan 1 – 2 g/m2/hari. Bila disertai oliguria, maka

pemberian kalium harus dibatasi. Retriksi cairan secara ketat dengan

pembatasan cairan masuk yaitu 1 liter/hari untuk mengatasi

hipertensi. Asupan cairan sebanding dengan invemsible water loss

(400 – 500 ml/m2 luas permukaan tubuh/hari) ditambah setengah

atau kurang dari urin yang keluar. Berat badan yang tidak berkurang

diberi diuretik seperti furosemid 2 mg/kgbb, 1 – 2 kali/hari.

Pengobatan hipertensi dapat menggunakan diuretik kuat, atau

bila hipertensi tetap tidak teratasi pilihan obat selanjutnya adalah

golongan ca channel blocker, ACE inhibitor, atau bahkan nitroprusid

IV bagi hipertensi maligna. Bila hipertensi ringan (130/90 mmHg)

umumnya diobservasi tanpa terapi. Hipertensi sedang

(>140-150/>100 mmHg) diterapi dengan pemberian hidralazin oral

atau IM,nifedipin oral atau sublingual. Namun lebih baik merawat

pasien hipertensi 1 – 2 hari daripada memberi anti hipertensi yang

lama. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0.15 – 0.30 mg/kgbb

IV, dapat diulang setiap 2 – 4 jam atau reserpin 0.03 – 0.10

mg/kgbb/menit. Pada krisis hipertensi (?180/120 mmHg) diberi

diazoxid 2 – 5 mg/kgbb IV secara cepat bersama furosemid 2

mg/kgbb IV. Pilihan lain, klonidin drip 0.002 mg/kgbb/kali, diulang

seiap 4 – 6 jam atau diberi nifedipin sublingual 0.25 – 0.5 mg/kgbb

dan dapat diulang setiap 6 jam bila diperlukan.

Pada beberapa kasus berat dengan kondisi hiperkalemi dan

sindrom uremia yang berat diindikasikan untuk hemodialisa. Terapi

steroid IV terutama diindikasikan untuk glomerulonefritis dengan luas

lesi >30% glomerulus total. Metil prednisolon 500 mg/hari IV tebagi

dalam 4 dosis selama 3 – 5 hari. Namun beberapa referensi

menyebutkan tidak diindikasikan untuk pemberian terapi steroid

dalam jangka panjang.

Antibiotika diindikasikan untuk pengobatan infeksi streptokokus.

Pemakaian antibiotik sebenarnya tidak mempengaruhi perjalanan

13

Page 14: Sindrom Nefrotik

penyakit. Namun pasien dengan biakan positif harus diberikan

antibiotik untuk eradikasi organisme dan mencegah penyebaran ke

individu lain. Pilihan obat yang direkomendasikan adalah penisilin G

oral 4x250 mg selama 7 hari. Injeksi benzathin penisilin 50.000

U/kgbb IM atau eritromisin oral 40 mg/kgbb/hari selama 10 hari bila

pasien alergi penisilin (Lumbanbatu, 2003; Renny & Suwitra, 2009).

Perawatan dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi ginjal

sedang sampai berat (klirens kreatinin <60 ml/menit/1.73m2), BUN

>50 mg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah,letargi,

hipertensi ensefalopati, anuria, atau oligouria menetap.

2.7. Komplikasi dan Prognosis

Fase awal glomerulonefritis akut akan berlangsung beberapa

hari – 2 minggu. Setelah itu anak akan merasa lebih baik, diuresis

lancar, edem hilang, dan hipertensi hilang, LFG kembali normal.

Penyakit ini dapat sembuh sendiri, jarang berkembang menjadi

kronik. Kronisitas dihubungkan dengan awal penyakit yang berat dan

kelainan morfologis berupa hiperseluritas lobuls. Pasien sebaiknya

kontrol tiap 4 – 6 minggu dalam 6 bulan pertama setelah awitan

nefritis. Pengkuran tekanan darah, pemeriksaan eritrosit dan protein

urin selama 1 tahun lebih bermanfaat untuk menilai perbaikan. Kadr

C3 akan kembali normal setelah 8 – 12 minggu, edem membaik

dalam 5 – 10 hari, tekanan darah kembali normal setelah 2- 3

minggu, walaupun dapat tetap tinggi sampai 6 minggu. Gross

hematuri biasanya menghilang dalam 1 – 3 minggu, hematuria

mikroskopik menghilang setelah 6 bulan, namun dapat bertahan

sampai 1 tahun. Proteinuria menghilang dalam 2 – 3 bulan pertama

atau setelah 6 bulan (Lumbanbatu, 2003).

Terjadi glomerunolefritis kronis bila selam perjalanan penyakit

ditemukan salah satu atau lebih tanda klinis, atau proteinuria dengan

atau tanpa hematuri asimtomatik yang menetap selama bertahun –

tahun akan berubah menjadi kronis, akhirnya gagal ginjal kronis

(Renny & Suwitra, 2009).

14

Page 15: Sindrom Nefrotik

Glomerulonefritis kronik sebagai kelanjutan dari glomerulonefritis akut yang

tidak mendapat pengobatan secara tuntas.Gagal ginjal akut dengan manifestasi oliguria

sampai anuria yang dapat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti

insufiiensi ginjal akut dengan uremia, hiperfosfatemia, hiperkalemia. Walaupun

oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, jika hal ini terjadi diperlukan

peritoneum dialysis (bila perlu).Enselopati hipertensi merupakan gejala serebrum

karena hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan

kejang-kejang. Hal ini disebabkan karena spasme pembuluh darah local dengan anoksia

dan edema otak. Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya ronkhi

basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang buka saja disebabkan

spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma.

Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan

kelainan di miokardium. Anemia yang timbul karena adanya hipovolemia disamping

sintesis eritropoetik yang menurun.

Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat

berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan

uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang

lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum

kadang-kadang di perlukan.

Anak kecil memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan anak

yang lebih besar atau dewasa. Perbaikan klinis yang sempurna dan

urin yang normal menunjukkan prognosis yang baik insiden ginjl

berkisar 1 – 30%. Kemungkinana menjadi kronik 5 – 10%, sekitar 0.5

– 2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal yang cepat dan

progresif dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal

ginjal terminal (lumbanbatu, 2003).

15

Page 16: Sindrom Nefrotik

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Nefritis Akut merupakan sekumpulan gejala yang ditandai

dengan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder eritrosit yang muncul

secara tiba – tiba. Kelainan ini dapat juga muncul bersamaan dengan

hipertensi, udem, dan retensi natrium-air. Salah satu penyebab sindrom

nefritis akut yang paling sering pada anak adalah Glomerulonefritis akut

paska infeksi streptokokus (GNAPS). Pada GNAPS manifestasi SNA muncul

setelah adanya riwayat infeksi oleh bakteri streptokokus pada saluran

pernapasan atas atau infeksi kulit. Masa laten GNAPS berkisar antara 1 – 2

minggu paska infeksi.

Infeksi streptokokus memicu terjadinya proses imunitas dalam

tubuh, yang pada akhirnya tubuh akan membentuk kompleks antigen

antibodi yang berdeposit pada kapiler glomerulus, bahkan sampai

memberana basalis glomerulus. Hal ini menyebabkan kebocroan vaskular,

penurunan seletifitas filtrasi ginjal yang menyebabkan manifestasi

hematuria dan proteinuria. Kerusakan pada glomerulus akan menurunkan

lajur filtrasi glomelurus dan meningkatan reabsorbsi natrium – air, hal ini

muncul sebagai manifestasi hipertensi dan edema pada pasien.

Kerusakan gelomerulus yang tidak segera diatasi akan menyebabkan

gagal ginjal akut pada anak. Penegakkan diagnosis GNAPS dapat

dilakukan melalui pengamatan manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang

berupa pemeriksaan serum titer ASO, urinalisis dengan menemukan

silinder eritrosit, atau kultur dari sediaan usap tenggorokan atau kulit.

Terapi utama dari GNAPS adalah terapi suportif dan mengobatai

penyebabnya. Pemberian antibiotik dapat diberikan jika bukti infeksi

streptokokus dapat ditemukan. Prognosis GNAPS pada anak umumnya

baik, hanya sedikit yang kemudia berkembang menjadi glomerulonefritik

kronik, atau gagal ginjal kronik bahkan gagal ginjal terminal.

16

Page 17: Sindrom Nefrotik

DAFTAR PUSTAKA

Lumbanbatu, SM. 2003. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak, Sari Pediatri, vol. 5. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Parmar, SP. 2013. Acute Glomerulonephritis. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/239278-overview#a0101. Accessed at: 18th of May 2013, 06.30 PM

Noer, MS. 2010. Glomerulonefritis; Buku Ajar Nefrologi Anak, 2nd edt, hlm. 323 – 365. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Pardede, SO. 2009. Struktur Sel Streptokokus dan Patogenesis Glomerulonefritis Akut Pascasetreptokokus; Sari Pediatri, Vol. 11 . Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.

Renny RA & Suwitra K. 2010. Seorang Penderita Sindrom Nefritik Akut Pasca Infeksi Streptokokus, Vol. 10. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah. Denpasar.

Sherwood, L. 2001. Sistem Kemih : Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, 2nd edt, hlm. 461 – 502. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Sukandar, E. 2006. Sindrom Nefritik Akut: Nefrologi Klinik, 3rd edt, hlm. 221 – 232. Pusat Informasi Ilmiah, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/ RS. Dr. Hasan Sadikin. Bandung.

17