Siluman_Javanese_literature_2001.docx

24
Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Novel Jawa Moderen George Quinn, Australian National University In: Soedaryanto et. al. (eds.) Proseding Kesastraan Kongres Bahasa Jawa Ke-3 2001. Yogyakarta: Panitia Kongres Bahasa Jawa Ke-3 2001 & Penerbit Media Pressindo, 2001, pp.337-349 Beberapa tahun yang lalu majalah wanita Kartini memuat sebuah laporan "kisah nyata" yang berjudul "Mereka ingin menjadi jin." Pengantar laporan tersebut berbunyi demikian: Kesulitan hidup membuat keluarga Mulyono berpaling pikiran. Dua tahun belakangan ini suatu “kepercayaan” aneh merasuk ke dalam keluarga penduduk desa Sedangsari, Kecamatan Minggir, Sleman itu. Secara diam-diam mereka bersiap-siap untuk menjadi makhluk halus, atau jin. “Kami sudah bosan hidup di dunia yang serba kekurangan ini,” kata Mulyono (50 tahun) dan menantunya Priyoto (27 tahun). “Kami yakin kehidupan di dunia para jin jauh lebih indah daripada di dunia ini.” Untuk langkah selanjutnya, mereka kini tengah menunggu wangsit atau bisikan gaib. “Kalau mereka menyuruh kami bunuh diri, kami akan melaksanakan. Yang penting, kami bisa menjadi anggota masyarakat jin,” ujar mereka dengan mantap. (“Mereka ingin ...”: 8) ______________________________________________________________ __________ George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

description

yes

Transcript of Siluman_Javanese_literature_2001.docx

Page 1: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Novel Jawa Moderen

George Quinn, Australian National University

In: Soedaryanto et. al. (eds.) Proseding Kesastraan Kongres Bahasa Jawa Ke-3

2001. Yogyakarta: Panitia Kongres Bahasa Jawa Ke-3 2001 & Penerbit

Media Pressindo, 2001, pp.337-349

Beberapa tahun yang lalu majalah wanita Kartini memuat sebuah laporan "kisah nyata" yang

berjudul "Mereka ingin menjadi jin." Pengantar laporan tersebut berbunyi demikian:

Kesulitan hidup membuat keluarga Mulyono berpaling pikiran. Dua tahun

belakangan ini suatu “kepercayaan” aneh merasuk ke dalam keluarga penduduk desa

Sedangsari, Kecamatan Minggir, Sleman itu. Secara diam-diam mereka bersiap-siap

untuk menjadi makhluk halus, atau jin. “Kami sudah bosan hidup di dunia yang serba

kekurangan ini,” kata Mulyono (50 tahun) dan menantunya Priyoto (27 tahun).

“Kami yakin kehidupan di dunia para jin jauh lebih indah daripada di dunia ini.”

Untuk langkah selanjutnya, mereka kini tengah menunggu wangsit atau bisikan gaib.

“Kalau mereka menyuruh kami bunuh diri, kami akan melaksanakan. Yang penting,

kami bisa menjadi anggota masyarakat jin,” ujar mereka dengan mantap. (“Mereka

ingin ...”: 8)

Laporan itu menggambarkan "alam kajiman" yang konon dilihat sendiri oleh Priyoto, salah

seorang anggota keluarga tersebut. “... saya lihat banyak sekali gedung, mesjid, mobil,

sekolah dan taman yang semuanya megah dan artistik. Orang-orangnya, besar kecil, tua

muda, lelaki maupun wanita berkulit bersih dan mulus. Mereka hidup dengan damai. Di

sana tak ada persaingan karena masyarakat tidak mengenal uang. Tak ada jual beli. Semua

boleh dipakai secara bersama. Milik bersama.” (“Mereka ingin ...:112-113)

Salah satu hal yang menarik pada gambaran yang diberikan oleh Priyoto ialah sikapnya yang

amat ragu-ragu terhadap uang. Priyoto ingin sekali menikmati kemakmuran duniawi, akan

tetapi uang tidak berperan dalam kemakmuran yang diidamkannya. Priyoto menceritakan

bahwa untuk dapat mengalami alam kajiman yang makmur tetapi yang tidak beruang itu, ia

mengunjungi beberapa tempat keramat, di antaranya sebuah tempat di desa Grenjeng, tidak

jauh dari Magelang. Di tempat tersebut Priyoto sempat berkenalan dengan dua makhluk dari

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 2: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

alam seberang, masing-masing bernama Djoko dan Bedjo, yang mengaku menjadi punggawa

Nyai Roro Kidul. Menurut para pengamat yang kebetulan hadir dan menyaksikan peristiwa

itu, Priyoto tampak bercakap-cakap dengan kedua makhluk itu, meskipun tidak ada seorang

pun selain Priyoto sendiri yang mampu melihat wujud mereka. Berkat perkenalannya

dengan Djoko dan Bedjo, Priyoto dapat melihat alam kajiman, meski hanya sepintas, bahkan

hidangan para jin dapat pula disantapnya. Priyoto meminta dengan sangat agar diizinkan

masuk ke alam kajiman itu, tetapi ia diberi tahu oleh kedua penjaga bahwa permohonannya

baru berada pada tingkat "tercatat". Sebelum lolos secara penuh iapun diharuskan melakukan

"lelaku" lagi.

Bila dipandang dari satu sudut pandangan, sikap dan tindakan keluarga Mulyono mungkin

dapat dianggap aneh serta tidak mencerminkan kenyataan atau pun perilaku yang terdapat

secara luas dalam masyarakat Jawa dewasa ini. Tetapi keyakinan dan tindak-tanduk mereka

sebetulnya tidak aneh. Dalam menghadapi dan menanggulangi kemiskinannya itu, keluarga

Mulyono berpegang pada beberapa keyakinan dan tindakan yang timbul berulang-ulang

dalam banyak cerita Bahasa Jawa yang menggambarkan usaha memperoleh kekayaan

melalui hubungan dengan alam gaib.

Cerita-cerita tersebut amat beraneka ragam: tidaklah mudah untuk menggambarkannya

secara tepat dan menyeluruh. Akan tetapi salah satu ciri yang nampaknya terdapat secara

umum di dalamnya ialah adanya tokoh-tokoh yang menjalankan laku di tempat keramat

dengan tujuan untuk mengadakan hubungan dengan makhluk dari alam gaib yang diharapkan

dapat menolong mereka untuk bisa lepas dari beban kemiskinan dan kesengsaraan yang

mereka rasakan amat menyiksa. Anehnya, cerita-cerita ini hampir selalu mengungkapkan

suatu keragu-raguan yang mendalam terhadap usaha tokohnya untuk bisa lepas dari

kemiskinan. Memang, kemiskinan dirasakan sebagai keadaan yang amat berat yang

mencampakkan si penderita ke dalam kenistaan yang memilukan dan memalukan. Tetapi

kekayaan pun bukan sesuatu yang dapat diraih tanpa pengorbanan, dan yang pertama-tama

dikorbankan adalah ketulusan sebagai manusia bersusila. Barangkali tidak ada satu tema pun

yang lebih luas terdapat dalam sastra dunia daripada tema tersebut. Yang menarik pada

cerita-cerita berbahasa Jawa ini ialah munculnya lambang dan perumpamaan yang

nampaknya merupakan warisan dari masa yang sudah jauh silam. Di antara lambang dan

perumpamaan tersebut, yang cukup menonjol ialah sosok makhluk siluman, yaitu sejenis

makhluk yang mampu berganti wujud, dari wujud manusia menjadi binatang dan sebaliknya.

Makhluk inilah yang hendak saya soroti dalam renungan yang berikut.

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 3: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

* * * * *

Pada pertengahan abad ke-19 yang lalu beberapa pengamat Belanda melaporkan adanya

cerita-cerita mengenai sejenis makhluk yang disebut siluman (juga makhluk gadhungan dan

daden-dadenan) di wilayah lingkup budaya Jawa. Pengamat-pengamat itu pun mencatat

adanya hubungan dalam cerita-cerita tersebut di antara makhluk siluman dan usaha mencari

uang. (Lihat misalnya de Groot, van Hien Rouffaer). Ada cerita yang memunculkan babi

siluman, harimau siluman, kera siluman, buaya siluman, ular siluman, anjing siluman dan

beberapa jenis lagi. Wujud siluman yang paling sering muncul, atau yang paling “populer”,

ialah makhluk yang disebut blorong - sejenis ular siluman. Salah seorang pengamat Belanda,

G.W.J. Drewes, menggambarkan blorong sebagai berikut ...”

“...[makhluk blorong] ialah sejenis makhluk jahat, tidaklah jelas apakah jantan atau

betina. Ia bertempat tinggal di pesisir selatan pulau Jawa yang terkenal. Sebuah

gambar yang terlampir pada uraian yang ditulis oleh Kreemer menunjukkan bahwa,

blorong berwujud seperti ikan, mirip dengan “putri laut”, yang ekornya tertutup

dengan sisik-sisik emas. Ada pula yang berpendapat kepalanya kepala manusia, dan

ada lagi yang berpendapat blorong juga bertangan dan berkaki. Blorong

membingkiskan kekayaannya kepada seorang laki-laki yang selanjutnya menjadi

barang milik blorong tersebut. Rumah blorong terbuat sepenuhnya dari sisa-sisa

mayat korbannya, dan laki-laki itu pun ikut pula menjadi “bahan bangunan”. Pintu-

pintu dan tembok-tembok terbuat dari sisa mayat manusia, demikian juga bubungan,

pagar dan bahkan penyangga jedhing pun terbuat dari mayat manusia.

Seorang laki-laki menemui kediaman blorong secara mendadak dan di luar dugaan.

Oleh blorong ia diperintahkan untuk pulang pada hari yang tertentu untuk

menyiapkan sebuah kamar tempat ia akan menerima blorong sebagai penganten.

Blorong menampakkan diri kepadanya berwujud wanita yang cantik sekali, tetapi

berekor seperti ekor ular. Ekornya itu dililitkannya dengan kencang pada tubuh

korbannya. Selama beberapa jam laki-laki dan blorong bergumul. Akhirnya

“penganten” yang aneh itu pergi. Sepeninggalnya, rumah laki-laki yang bersangkutan

ternyata penuh dengan uang.” (Drewes 1929: 23)

Cerita-cerita sejenis ini ternyata masih hidup dengan baik. Daya tahan, bahkan ketenaran,

cerita-cerita ini dewasa ini agak mengejutkan. Cerita siluman ternyata tidak membeku

ataupun memudar apalagi menghilang sejalan dengan meningkatnya keramaian

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 4: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

pembangunan. Sebaliknya cerita siluman seolah-olah menitis kembali dalam wujud baru

yang mampu hidup dengan dinamis di tengah-tengah masyarakat moderen. Dalam Bahasa

Indonesia, misalnya, cerita siluman sering muncul dalam majalah populer seperti Senang,

Selecta, Varianada, Misteri dan Liberty. Cerita siluman yang paling populer barangkali

novel-novel karangan S.D. Chandra yang berkisar pada petualangan seorang “manusia

harimau”. Novel-novel manusia harimau ini mula-mula termuat dalam majalah Senang, dan

kemudian terbit berupa buku-buku yang ternyata sangat laris sehingga lebih dari sepuluh

judul terbit yang sebagian mengalami cetak ulang beberapa kali.

Novel-novel seri Manusia Harimau merupakan semacam epos siluman yang mengisahkan

nasib Erwin, sang manusia harimau yang berasal dari Tapanuli. Tidak kurang pula cerita

siluman moderen yang terjadi dalam lingkungan budaya Jawa. Majalah Misteri, misalnya,

memuat cerita siluman, baik yang “nyata” maupun yang fiktif, dengan judul seperti “Setan

Gunung Langse”, “Ngipri pesugihan: Memuja setan ular”, “Pejantan wanita iblis kelelawar”

“Anjing jadi-jadian” dan banyak lagi.

Cerita siluman tidak kurang populer dalam majalah-majalah Bahasa Jawa. Majalah Djaka

Lodang dan Panjebar Semangat, misalnya, sering memuat cerita rakyat yang menyinggung

keberadaan siluman. Ada pula rubrik yang khusus memuat pengalaman pembaca yang

berhubungan dengan alam gaib. Ada pembaca yang mengaku pernah benar-benar bertemu

dengan makhluk siluman. Di samping rubrik-rubrik yang termuat secara teratur ini, kadang-

kadang majalah Bahasa Jawa juga memuat cerita panjang berupa cerpen atau novel

bersambung yang berkisar pada makhluk siluman.

* * * * *

Cerita siluman merupakan gejala sastra Jawa yang cukup nyata sehingga menuntut usaha

untuk menjelaskan mengapa jenis cerita ini mampu bertahan di tengah-tengah alam

pembangunan dewasa ini. Dalam karangannya yang berjudul Literature of Java sarjana

Belanda Th. Pigeaud mengungkapkan pendapatnya bahwa “kejadian-kejadian gaib dan

ramalan terhadap masa yang akan datang cukup menarik perhatian para sarjana yang meneliti

kebudayaan Jawa, akan tetapi tidaklah demikian halnya dengan folklor dan takhyul. ... Pada

umumnya para sarjana yang meneliti budaya Jawa,” keluhnya, “tidak begitu tertarik pada

folklor dan takhyul yang mereka anggap barang murahan yang tidak patut diperhatikan.”

(Pigeaud 1967 I:319-320) Beberapa tahun sesudah diterbitkannya Literature of Java,

terbitlah Annotated Bibliography of Javanese Folklore (1972) karangan James Danandjaja

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 5: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

yang merupakan tonggak jalan yang penting dalam sejarah penelitian folklorik di Indonesia.

Sejak saat itu penelitian dalam bidang folklor mendapat tempat yang lebih terhormat

sehingga “kekosongan” yang dilihat oleh Pigeaud sekarang sudah mulai diisi, khususnya oleh

para sarjana berkebangsaan Indonesia. Di antara sarjana-sarjana tersebut salah seorang yang

menaruh perhatian yang cukup tajam pada gejala makhluk siluman ialah sosiolog dan

sejarawan Onghokham. Dalam sebuah makalah yang diberikannya di Universitas Sydney

pada tahun 1989 (yang sepengetahuan saya belum pernah diterbitkan) Onghokham

melahirkan pendapatnya bahwa kepercayaan pada makhluk pesugihan seperti blorong dan

thuyul muncul dalam masyarakat Jawa akibat adanya ketegangan antar-kelas. Makhluk-

makhluk pesugihan menjadi “perlu”, tandasnya, sebagai salah satu unsur dalam upaya para

penguasa tradisional untuk mempertahankan dan memperkokoh kekuasaannya. Menurut

Onghokham, dalam pandangan para penguasa tradisional ada dua macam kekayaan, yaitu

kekayaan “sah” dan kekayaan “bermasalah”. Kekayaan sah adalah yang diwarisi turun-

temurun semata-mata berkat pangkat atau hubungan keluarga, sedangkan kekayaan

bermasalah adalah kekayaan yang diusahakan dengan jerih-payah sendiri. Cerita-cerita

siluman merupakan suatu mitos yang berfungsi untuk mendukung para penguasa tradisional

dan menjelekkan para “kaya-baru”. Kekayaan para kaya-baru dikaitkan dengan makhluk-

makhluk yang jahat dan menyeramkan sehingga melalui mitos tersebut para kaya-baru itu

dianggap menjadi kaya secara “bermasalah” dan tidak sah. (Onghokham 1989)

Dalam bidang kritik sastra, masih terasa adanya keengganan untuk meneliti sastra moderen

sebagai gejala antropologis yang dapat dikaitkan dengan folklor. Misalnya, sangatlah jarang

ada kritikus yang menaruh perhatian serius pada cerita-cerita yang menyeramkan (cerita

horor). Salah seorang di antara kritikus yang jumlahnya sedikit itu ialah Ajip Rosidi. Pada

tahun 1970-an Ajip menerjemahkan dua novel siluman karangan Mohammad Ambri dari

Bahasa Sunda ke dalam Bahasa Indonesia. (Lihat Ambri 1975 dan 1977, diresensi dalam

Jakob 1979: 104-110) Tetapi kritikus yang terbuka seperti Ajip terhadap cerita takhyul

sedikit jumlahnya. Sikap yang lebih umum terdapat diungkapkan oleh Mochtar Lubis dalam

majalah Horison. Dikatakan oleh Mochtar bahwa kepercayaan pada tuyul itu takhyul belaka,

berlawanan dengan kebudayaan Indonesia yang maju dan moderen, serta tidak patut

ditanggapi secara serius. (Mochtar 1985)

* * * * *

Sebelum saya menyajikan pandangan mengenai cerita siluman kontemporer berbahasa Jawa,

kiranya ada baiknya untuk terlebih dahulu memberikan contoh cerita siluman seperti yang

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 6: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

saya maksudkan. Prewangan Gunung Mandhalika, karya Dyaning Wiratmoko, dimuat

sebagai cerita bersambung dalam mingguan Bahasa Jawa Djaka Lodang nomor 441 - 446

yang terbit antara tanggal 28 Pebruari 1981 sampai tanggal 4 April 1981. Secara singkat

cerita tersebut sebagai berikut.

Juwahir tinggal di desa Warung Jengkol bersama isterinya, Marsinah, dan kelima

anaknya yang masih kecil. Keluarga ini sangat miskin. Meskipun Juwahir bekerja

membanting tulang dan beribadat dengan taat dan saleh, ia tidak mampu mengubah

nasibnya. Ia sangat sedih melihat penderitaan keluarganya dan merasa sangat rendah

karena tidak berdaya berbuat apa-apa untuk meringankan penderitaan mereka.

Dengan agak malu-malu, Marsinah menyarankan agar Juwahir meminta nasehat

kepada Krama Klembak. Kira-kira tiga tahun sebelumnya, Krama Klembak juga

sangat miskin, tetapi sekarang, dengan cara yang misterius dan seolah-oleh tanpa

usaha, telah menjadi kaya-raya. Penduduk desanya mengira bahwa hartanya telah

diperolehnya dengan bantuan seorang lelembut pasugihan.

Saran isterinya dipertimbangkannya masak-masak, dan akhirnya Juwahir mengambil

keputusan untuk melaksanakannya. Ia menemui Krama Klembak, yang tinggal di

sebuah rumah besar di luar batas desa. Untuk menuju ke rumahnya, Juwahir harus

berbelok ke kiri di perempatan yang terdapat di pinggir desa.

Ketika sampai di rumah Krama Klembak, Juwahir disambut dengan hangat. Sesudah

bercakap-cakap sebagai adatnya antara tamu dengan tuan rumah, Juwahir bertanya

bagaimana caranya untuk menjadi kaya seperti Krama Klembak. Sesudah berpikir

sebentar seolah-olah ragu-ragu, Krama Klembak akhirnya menyarankan agar Juwahir

bersemedi di Gunung Mandhalika selama tiga malam pada waktu bulan purnama

Dengan perasaan lega, Juwahir kembali ke rumahnya. Tetapi kemudian ia

mendengar bahwa Krama Klembak dengan tiba-tiba meninggal. Nampaknya telah

ada perjanjian antara Krama Klembak dan lelembut pesugihannya bahwa kalau

Krama Klembak membuka rahasia bagaimana ia memperoleh hartanya, ia harus

membayar dengan nyawanya.

Namun demikian, Juwahir sekarang bertekad untuk melaksanakan rencananya

meminta bantuan pada lelembut pesugihan. Tanpa memberitahu isterinya, ia

berangkat menuju Gunung Mandhalika. Di hutan di kaki gunung tersebut ia

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 7: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

bersemedi selama semalam suntuk. Melalui renungannya ia menceritakan hal

penderitaannya kepada makhluk halus penjaga gunung itu.

Keesokan harinya ia melanjutkan perjalanannya ke puncak gunung. Di sana

ditemukannya sebuah makam. Malam itu dan malam berikutnya ia bersemedi di

samping makam. Pada malam kedua muncullah seorang wanita cantik di

hadapannya. Wanita ini adalah ratu para jin penghuni Mandhalika. Ia bersedia

menolong Juwahir menjadi kaya tetapi dikatakannya bahwa untuk menerima

pertolongan ini Juwahir harus membayar. Pertama, kalau Juwahir meninggal, ia

harus menjadi penghuni jin gunung itu. Kedua, Juwahir harus memberi wadal

sebagai imbalan untuk pertolongan yang akan diterimanya. Agar bentuk imbalan ini

menjadi jelas, ratu jin mengajak Juwahir melihat ke dalam sebuah sumur. Dalam air

di dasar sumur itu, Juwahir melihat pemandangan yang sangat mengerikan -- ia

melihat anak bungsunya dengan matanya menonjol keluar, lidahnya menjulur, dan

mukanya hitam. Lalu ia melihat pemandangan yang serupa tentang anaknya yang

keempat, demikian juga anaknya yang ketiga. Ia mundur, tidak tahan memandang

terus ke dalam sumur. Ratu jin yang cantik itu bertanya apakah ia sudah melihat

semuanya, dan apakah ia akan menyesal. Juwahir menggeleng -- ia tidak akan

menyesal.

Kemudian ratu jin itu mengungkapkan syarat yang terakhir. Setiap malam Wage,

Juwahir akan dikunjungi olehnya dan harus bersetubuh dengannya. Pada saat itu

Juwahir sangat terpesona oleh kecantikan ratu jin dan terpikat karena baunya yang

harum. Manusia dan jin itu pun lalu bersetubuh. Sesudah itu Juwahir tertidur. Ia

tidak melihat pasangannya meninggalkan tempat itu dalam bentuk seekor anjing besar

dengan bulu hitam mengkilap.

Setelah terbangun Juwahir pun turun dari puncak gunung dan berjalan pulang. Ketika

sudah dekat rumahnya, ia melihat orang berkerumun di sekeliling rumahnya.

Ternyata anaknya yang bungsu, Asmuni, tertubruk mobil di jalan dan tewas. Ia

terbaring dengan matanya menonjol keluar, lidahnya terjulur dan mukanya hitam,

tepat seperti pemandangan yang telah dilihat Juwahir di dalam sumur.

Larut malam Juwahir mengganti jenazah anaknya, yang terbungkus kain kafan,

dengan batang pohon pisang. Seekor anjing besar yang berwarna hitam muncul di

halaman dan masuk ke dalam rumah. Tetapi dalam penglihatan Juwahir, anjing

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 8: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

tersebut telah menjelma menjadi ratu jin Mandhalika yang cantik. Diberikannya

jenazah anaknya kepada ratu jin itu, dan makhluk itu pun gaiblah.

Nasib Juwahir segera berubah. Ia menjadi kaya. Dalam waktu dua bulan ia telah

membangun rumah baru yang besar. Setiap malam Wage, ia berkurung diri di sebuah

kamar yang khusus disiapkannya. Dan pada malam-malam seperti ini, seekor anjing

besar berwarna hitam datang, dan secara gaib masuk ke dalam kamar dan menemui

Juwahir. Menurut penglihatan Juwahir, tamunya bukanlah seekor anjing melainkan

sang ratu cantik dari Mandhalika.

Juwahir terus bertambah kaya, tetapi sementara itu penduduk desa mulai curiga

padanya. Pada suatu hari, anaknya yang keempat, Mudrikah, terserang demam. Ia

mengigau, dan mohon kepada ayahnya agar kepalanya jangan dikubur di Gunung

Mandhalika. Akhirnya Mudrikah meninggal. Jenazahnya juga diganti dengan batang

pohon pisang oleh Juwahir, dan sang ratu dari Mandhalika pun datang lagi dalam

bentuk seekor anjing untuk menuntut imbalan tersebut dari Juwahir.

Juwahir terus bertambah kaya, akan tetapi ia juga juga makin diasingkan oleh

penduduk desa lainnya dan bahkan oleh tetangganya sendiri. Baik Juwahir maupun

Marsinah makin merasa tidak enak. Juwahir tidak menemukan ketenangan atau pun

kebahagiaan dalam harta yang baru diperolehnya. Ia justru menjadi cemas dan

merasa seolah-olah terus-menerus diawasi oleh mata yang tidak terlihat.

Pada suatu hari, tiga bulan sesudah kunjungan Juwahir ke Gunung Mandhalika,

anaknya yang ketiga, Salamun, jatuh dari pohon kelapa dan tewas. Kali ini hampir

tidak ada seorang pun yang datang untuk mengucapkan belasungkawa. Seperti yang

dilakukan Juwahir sebelumnya, kali ini pun jenazah anaknya diberikannya kepada

sang ratu jin dan ditempatnya diletakkan batang pohon pisang yang dibungkus

dengan kain kafan.

Dua bulan sesudah kematian Salamun, desas-desus pun menjadi lebih santer bahwa

Juwahir memiliki pembantu berupa lelembut. Marsinah sendiri mulai mencurigai

suaminya. Ia telah kehilangan tiga orang anaknya dan sekarang ia takut jangan-

jangan yang lain akan menyusul dan bahkan dirinya juga mungkin akan tewas sebagai

wadal.

Karena rasa takutnya yang semakin mencekam, Marsinah meminta nasehat kepada

Kyai Darmuji, seorang kyai yang terkenal saleh dan bijaksana. Rambut, alis, dan

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 9: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

kumis Kyai Darmuji semuanya sudah putih. Dengan penuh perhatian,

didengarkannya apa yang dikatakan oleh Marsinah kepadanya. Kemudian

diberikannya kepada Marsinah garam dan tepung yang berwarna putih. Ia menyuruh

agar Marsinah menaburkan garam itu di muka pintu kamar yang dipakai oleh Juwahir

setiap malam Wage, dan agar ia (Marsinah) menggosokkan tepung putih itu pada

pelupuk matanya supaya dapat melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh mata biasa.

Malam itu, yang secara kebetulan adalah malam Wage, Marsinah menuju ke kamar

tempat Juwahir tidur, dan menaburkan garam yang diperolehnya dari Kyai Darmuji di

muka pintunya. Ia juga menggosokkan tepung putih pada pelupuknya. Ketika ia

mengintip melalui lubang kunci dilihatnya dua ekor anjing besar berwarna hitam

sedang bersetubuh.

Saking marahnya, Marsinah mengambil sebatang linggis besi, lari masuk ke dalam

kamar itu dan dipukulkannya besi itu pada salah seekor anjing. Marsinah

menghantam anjing itu hingga tewas berlumuran darah. Anjing yang lain berhasil

lari. Binatang yang sudah mati itu dengan perlahan-lahan menjelma menjadi mayat

Juwahir yang berlumuran darah.

Tiga hari kemudian Marsinah bermimpi seolah-olah ia sedang berjalan di sepanjang

jalan yang terbuat dari tengkorak manusia. Tiga di antara tengkorak tersebut

dikenalinya sebagai tengkorak tiga orang anaknya yang sudah meninggal. Tengkorak

yang keempat kemudian menyapanya. Tengkorak ini ternyata adalah tengkorak

Juwahir yang menyatakan bahwa ia (Juwahir) memang telah berjanji akan menjadi

penghuni dunia makhluk halus sebagai tumbal untuk harta kekayaan yang

diperolehnya.

Marsinah terlanda penyesalan yang mendalam, karena ialah yang mula-mula

menyarankan agar Juwahir meminta pertolongan pada makhluk halus.

* * * * *

Meskipun cerita siluman kontemporer yang berbahasa Jawa cukup banyak ragamnya,

kebanyakan bertandakan ciri-ciri dasar yang sama, terutama cerita siluman yang panjang.

Cerita-cerita tersebut umumnya mengungkapkan kisah seorang laki-laki miskin (atau

kadang-kadang seorang perempuan) yang mencari kekayaan. Dalam usaha mencari

kekayaan itu, laki-laki itu terpaksa mengadakan suatu perjanjian, atau kontrak, dengan

makhluk siluman. Ia diberi kekayaan oleh makhluk itu, tetapi ia juga dituntut untuk secara

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 10: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

sadar memberikan imbalan atau “tumbal” berupa nyawa keluarganya. Di samping itu iapun

diharuskan menyerahkan nyawanya sendiri kepada makhluk tersebut untuk selanjutnya

menjadi penghuni alam gaib makhluk itu.

Seperti yang terlihat dalam ringkasan cerita Prewangan Gunung Mandhalika, tokoh utama

dalam suatu cerita siluman biasanya memiliki kebulatan tekad yang sangat kuat untuk diam-

diam mengadakan suatu persekutuan, apa pun akibatnya, dengan siluman pesugihan.

Biasanya makhluk halus itu membuatnya sadar sepenuhnya akan akibat buruk dan tidak

terelakkan dari perbuatannya, tetapi kesadaran ini tidak mampu membatalkan tekadnya.

Tanpa diketahui oleh keluarganya (yang akan menjadi korban perbuatannya), dan dengan

penuh kesadaran akan apa yang dilakukannya, ia membuat perjanjian atau kontrak dengan

makhluk tersebut. Persetubuhan berulang-ulang itu melambangkan eratnya persekutuan ini,

serta seolah-olah mensahkan perjanjian atau kontrak yang diadakan.

* * * * *

Cerita-cerita siluman merupakan semacam mitos, yaitu bentuk simbolik yang merupakan

pancaran pengalaman hidup masyarakat Jawa dan sekaligus alat pendukung yang berfungsi

untuk mempertahankan suatu pandangan hidup yang tertentu. Pandangan hidup ini pada

dasarnya timbul dari masyarakat tani kecil dan dari sistem perekonomian yang bersifat

swasembada, dan pada hakekatnya tidak mengenal uang. Cerita siluman bersifat

menjelaskan dan juga bersifat normatif. Cerita siluman bersifat menjelaskan dalam arti

bahwa cerita itu memberikan penjelasan yang rasional atas gejala-gejala tertentu dan yang

sesuai dengan pandangan hidup tersebut. Cerita siluman bersifat normatif dalam arti bahwa

cerita ini memelihara kelangsungan pandangan hidup tersebut dengan cara mengecam nilai-

nilai dan perbuatan-perbuatan yang dianggap mengancam keabsahan pandangan tersebut.

Secara tidak langsung, cerita siluman berbahasa Jawa memberikan penjelasan atas sebab-

musabab gejala-gejala ekonomi yang tertentu. Penjelasan itu bersifat “rasional” menurut

alam pemikiran pembaca dan penulis cerita siluman. Secara khusus, cerita siluman seolah-

olah berusaha untuk memberikan pemahaman mengenai suatu gejala yang dewasa ini

semakin sering terlihat, yaitu adanya orang yang memperoleh kekayaan besar secara tiba-

tiba. Alam pemikiran yang mendasari “penjelasan” tersebut adalah alam pemikiran suatu

masyakarat di mana kekayaan biasanya diperoleh dalam jumlah kecil, atas usaha sendiri,

serta dengan cara yang dapat dilihat dengan mata kepala sendiri.

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 11: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

Dahulu, kebanyakan orang Jawa hidup dalam suatu sistem perekonomian di mana uang tidak

berperan, atau kalau pun berperan, peranannya itu tidak berkuasa atas segala-galanya dalam

hidup mereka. Dalam sistem perekonomian seperti ini, khususnya dalam masyarakat tani,

kekayaan diperoleh dengan cara yang langsung dapat disaksikan, yaitu dengan tenaga dan

keterampilan sendiri, atau melalui usaha bersama di antara anggota-anggota suatu

masyarakat yang bersatu padu secara erat. Prosesnya terbuka, dapat dimengerti dan bahkan

biasa sekali, yaitu dengan bekerja keras serta menjalankan tugas-tugas kemasyarakatan dan

keagamaan secara bijaksana dan pragmatik.

Akan tetapi dewasa ini kedudukan uang telah beralih dari pinggiran dunia masyarakat tani ke

pusatnya. Dan hal ini menimbulkan gejala baru, yaitu timbulnya “orang kaya mendadak”

yang memperoleh hartanya dengan cara yang, kalau dilihat sepintas, nampaknya “gaib”.

Dengan pandangan dunia perekonomian yang lama orang tidak mudah dapat menjelaskan

gejala “kaya mendadak” itu. Gejala ini hanya dapat dijelaskan dengan merujuk pada hal-hal

yang gaib. Dengan demikian makhluk pesugihan yang sudah lama ada dalam tradisi Jawa

seolah-olah terhindar dari kepunahan dan diperpanjang hidupnya. Bahkan dalam

penggambarannya, ada yang khusus disesuaikan untuk “menjelaskan” gejala uang logam.

Blorong, misalnya, bersisik emas, yang jatuh dan menjelma menjadi uang logam sesudah

mengunjungi rumah orang yang menjadi sekutunya. Thuyul, yang menyerupai anak kecil,

tertarik pada uang logam, dan pandai mengambil isi lemari besi dan peti uang. (Lihatlah,

misalnya, Mahmud 1985)

Di samping “menjelaskan” asal-usul kekayaan berupa uang, cerita-cerita siluman juga

memperlihatkan adanya sifat moral. Cerita-cerita siluman umumnya memancarkan sikap

negatif terhadap sistem perekonomian yang berdasarkan uang, serta memandang secara kritis

terhadap orang-orang yang melakukan usaha komersial dalam sistem tersebut.

Sikap negatif tersebut diungkapkan dengan dua cara. Pertama, makhluk siluman yang

menyeramkan itu merupakan perwujudan sifat bejat yang dianggap menjadi sifat hakiki

perekonomian uang serta pengusaha-pengusaha yang bergerak dalam sistem tersebut.

Makhluk-makhluk siluman itu menyeramkan. Mereka memancarkan suatu daya-jahat yang

maha-keras dan amat menakutkan, serta membawa maut yang mengerikan dan tidak

terelakkan bagi siapa saja yang berani menjadi sekutunya. Memang makhluk siluman dapat

menjelma menjadi orang yang secara lahiriah cukup manusiawi: cantik, “sumanak” dan

bertenggang rasa. Akan tetapi, di balik wujud manusiawi yang melegakan dan menarik itu,

sesungguhnya mereka bukan manusia. Orang yang menjalin hubungan akrab dengan

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 12: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

makhluk siluman, mau tidak mau, harus membuang kemanusiaannya sendiri, serta menjelma

menjadi binatang. Pergantian sifat itu diungkapkan secara menjijikkan dalam peristiwa

sanggama manusia dengan binatang yang menjadi salah satu ciri umum dalam cerita-cerita

siluman.

Kedua, cerita-cerita siluman menunjukkan sikap negatif terhadap kehendak dan tindak-

tanduk yang berdasar pada kepentingan pribadi, atau kepentingan perseorangan. Umumnya,

tokoh manusia yang menjalin hubungan dengan siluman itu terdorong oleh tekad dan

kehendak pribadi yang kuat. Biasanya ia bertindak secara diam-diam tanpa meminta

pertimbangan lebih dahulu pada keluarganya atau pun kepada tetangga dan anggota

masyarakat. Kehendak pribadi itu digambarkan sebagai hal yang membahayakan, karena

mampu menguasai seluruh diri tokoh yang bersangkutan serta mampu mendorongnya untuk

melakukan hal-hal yang membawa kehancuran bagi dirinya serta mencelakakan keselamatan

keluarganya. Dengan menggambarkan kehancuran yang timbul akibat diutamakannya

kehendak perseorangan, cerita-cerita siluman seolah-olah menitikberatkan pentingnya

persatuan dan kesatuan masyarakat serta pentingnya ketahanan komunal dan kepentingan

bersama.

* * * * *

Cerita-cerita siluman mengungkapkan suatu pandangan hidup yang berakar dalam

kebersamaan. Pandangan hidup itu seolah-olah menghadapi suatu ancaman, yaitu ancaman

yang berasal dari sistem perekonomian uang yang mendewakan kehendak pribadi dan tindak-

tanduk individualis. Kendati pun demikian, ada keengganan untuk mengutuk secara mutlak

tokoh-tokoh yang berurusan dengan siluman. Dalam sejumlah cerita siluman, terasa adanya

sekelumit belas kasihan bagi si tokoh yang memuja siluman. Memang ia bersedia dan

mampu berbuat apa saja untuk menjadi kaya, tetapi keinginannya itu bukan timbul dari

kebejatan pribadi atau pun dari keserakahan yang membabi-buta. Ia bersekutu dengan

siluman karena ia putus harapan. Biasanya, si tokoh itu bekerja keras. Ia rajin menunaikan

kewajiban ibadah. Ia pun sayang pada anak-isteri serta tanggap terhadap tetangga dan

masyarakat sekeliling. Tetapi kerja keras dan ketaatan beribadah itu nampaknya tidak cukup

untuk membawa si tokoh ke arah kemakmuran, apalagi untuk membantunya memecahkan

beraneka ragam persoalan yang menghimpit keluarganya.

Pada bagian penutup Prewangan Gunung Mandhalika pembaca diajak menyaksikan

pemandangan di neraka. Juwahir bersama ketiga anaknya telah menjadi batu-batu yang ikut

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 13: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

membentuk jalan di alam kajiman Mandhalika. Tetapi “neraka” ini bukan satu-satunya

neraka yang tergambar dalam Prewangan Gunung Mandhalika. Pada permulaan novel

pengarang menggambarkan sebuah neraka yang lain. Kemiskinan dan penderitaan Juwahir

dan keluarganya itu sesungguhnya sejenis “neraka di tengah-tengah dunia nyata” bagi

mereka. Dengan kata lain, tokoh utama dalam cerita-cerita siluman seringkali terhimpit di

antara dua macam neraka. Ia berupaya untuk keluar dari neraka kehidupannya dengan

bersekutu dengan siluman. Tetapi ia sadar bahwa persekutuannya itu tidak elak akan

membawa dia (mungkin juga bersama keluarganya) kepada sebuah neraka baru, yaitu neraka

alam siluman. Ada kalanya pembaca terharu juga dengan tekad si tokoh untuk bisa lepas

dengan cara apapun juga dari derita kemiskinan, walaupun seringkali, kelepasan itu hanya

bersifat sementara saja dan terpaksa “dibeli” dengan harga yang teramat mahal.

Dalam cerita-cerita siluman, si tokoh utama seolah-olah ditakdirkan gagal. Memang ia

menjadi kaya, tetapi hanya untuk sementara. Kebahagiaan yang diimpikannya tidak kunjung

teraih. Mungkin benar dugaan Onghokham bahwa cerita-cerita siluman seolah-olah

mendukung suatu pandangan bahwa tidaklah mungkin dan tidaklah wajar seorang yang

terlahir miskin itu dapat mengubah nasibnya menjadi kaya. Harta duniawi agaknya hanya

pantas dimiliki oleh orang yang terlahir kaya, atau yang kaya secara “kodrati”, sedangkan

yang miskin ditakdirkan untuk senantiasa menepati kodratnya sebagai orang miskin.

Cerita-cerita siluman seolah-olah menggariskan perbedaan di antara dua jenis kekayaan:

kekayaan ciptaan manusia dan kekayaan alamiah. Sebagaimana dikemukakan di atas,

kekayaan ciptaan manusia merupakan buah tangan dan hasil jerih payah seseorang yang bisa

dibuktikan dengan mata kepalanya sendiri. Kekayaan sejenis ini tidak pernah melimpah,

bahkan sebaliknya, senantiasa tersedia dalam jumlah yang terbatas. Orang miskin, entah

secara perseorangan atau pun secara bersama, tidak pernah dapat menghasilkan kekayaan

semacam ini dalam jumlah yang memadai. Sebaliknya, orang kaya rata-rata memiliki

kekayaan yang jauh melebihi kemampuan pribadinya untuk menciptakan kekayaan itu secara

langsung. Kekayaan mereka seolah-olah “datang sendiri” dari suatu alam yang maha-subur

yang bisa mereka timba berkat kedudukannya sebagai orang yang tinggi pangkatnya dan

besar kuasanya dalam masyarakat. Alam yang maha-kaya itu digambarkan sebagai tempat

yang liar yang dihuni oleh makhluk-makhluk yang buas tetapi penuh tuah. Dan alam inilah

yang bisa didatangi untuk sementara dan dinikmati oleh si tokoh utama cerita siluman.

Tetapi di alam ini pun si miskin akhirnya kembali memainkan peranan sosial yang senantiasa

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 14: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

menjadi nasibnya di dunia nyata, yaitu sebagai “batur”, atau bahkan seperti Juwahir dan

anak-anaknya, sebagai batu pijakan di bawah telapak kaki orang kaya.

Daftar Pustaka

Ambri, Mohammad

1975 Mengurbankan diri, diterjemahkan oleh Ajip Rosidi. Jakarta: Pustaka Jaya. Pertama terbit dalam Bahasa Sunda dengan judul Ngawadalkuen nyawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1942.

1977 Memuja siluman, diterjemahkan oleh Ajip Rosidi. Jakarta: Pustaka Jaya. Pertama terbit dalam Bahasa Sunda dengan judul Munjung, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.

De Groot, J.J.M.

1898 “De weertijger in onze kolonien en op het oostaziatische vasteland”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, vol.44, hal.549-585

Drewes, G.W.J.

1929 “Verboden rijkdom”, Djawa, vol.9 no.1, Januari, hal.22-23

Hazeu, G.A.J.

1899 “Eenige mensch-dierverhalen uit Java”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, vol.49, hal.688-694

Jakob Sumardjo

1979 Novel Indonesia mutakhir: Sebuah kritik Yogyakarta: Nur Cahya.

Mahmud Jaya Kusumonegoro

1985 “‘Golongan ke-5’ tanggap metafisika yang diperdebatkan eksistensinya”, Suara Merdeka, tgl. 24 Oktober, hal.2

“Mereka ingin jadi jin”

1990 Kartini no.407, 25 Juni - 8 Juli, hal.8, 9, 112.

Mochtar Lubis

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen

Page 15: Siluman_Javanese_literature_2001.docx

1985 “Tuyul, krisis kebudayaan”, Horison, XX no.12, hal..447-448

Onghokham

1989 “The merchant of Java and his spirits”, makalah yang diberikan dalam seminar pada Jurusan Pengajian Indonesia dan Malaya, Universitas Sydney, tgl. 12 Desember.

Pigeaud, Th.

1967 Literature of Java. Den Haag, Martinus Nijhoff

Rouffaer, G.P.

1899 “Matjan gadungan”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlansch-Indie, vol.50, hal.67-75

Van Hien, H.A.

1933-1935 De Javaansche geestenwereld. Batavia: G. Kolff

________________________________________________________________________

George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen