Siluman_Javanese_literature_2001.docx
-
Upload
ridha-al-qadri -
Category
Documents
-
view
34 -
download
5
description
Transcript of Siluman_Javanese_literature_2001.docx
Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Novel Jawa Moderen
George Quinn, Australian National University
In: Soedaryanto et. al. (eds.) Proseding Kesastraan Kongres Bahasa Jawa Ke-3
2001. Yogyakarta: Panitia Kongres Bahasa Jawa Ke-3 2001 & Penerbit
Media Pressindo, 2001, pp.337-349
Beberapa tahun yang lalu majalah wanita Kartini memuat sebuah laporan "kisah nyata" yang
berjudul "Mereka ingin menjadi jin." Pengantar laporan tersebut berbunyi demikian:
Kesulitan hidup membuat keluarga Mulyono berpaling pikiran. Dua tahun
belakangan ini suatu “kepercayaan” aneh merasuk ke dalam keluarga penduduk desa
Sedangsari, Kecamatan Minggir, Sleman itu. Secara diam-diam mereka bersiap-siap
untuk menjadi makhluk halus, atau jin. “Kami sudah bosan hidup di dunia yang serba
kekurangan ini,” kata Mulyono (50 tahun) dan menantunya Priyoto (27 tahun).
“Kami yakin kehidupan di dunia para jin jauh lebih indah daripada di dunia ini.”
Untuk langkah selanjutnya, mereka kini tengah menunggu wangsit atau bisikan gaib.
“Kalau mereka menyuruh kami bunuh diri, kami akan melaksanakan. Yang penting,
kami bisa menjadi anggota masyarakat jin,” ujar mereka dengan mantap. (“Mereka
ingin ...”: 8)
Laporan itu menggambarkan "alam kajiman" yang konon dilihat sendiri oleh Priyoto, salah
seorang anggota keluarga tersebut. “... saya lihat banyak sekali gedung, mesjid, mobil,
sekolah dan taman yang semuanya megah dan artistik. Orang-orangnya, besar kecil, tua
muda, lelaki maupun wanita berkulit bersih dan mulus. Mereka hidup dengan damai. Di
sana tak ada persaingan karena masyarakat tidak mengenal uang. Tak ada jual beli. Semua
boleh dipakai secara bersama. Milik bersama.” (“Mereka ingin ...:112-113)
Salah satu hal yang menarik pada gambaran yang diberikan oleh Priyoto ialah sikapnya yang
amat ragu-ragu terhadap uang. Priyoto ingin sekali menikmati kemakmuran duniawi, akan
tetapi uang tidak berperan dalam kemakmuran yang diidamkannya. Priyoto menceritakan
bahwa untuk dapat mengalami alam kajiman yang makmur tetapi yang tidak beruang itu, ia
mengunjungi beberapa tempat keramat, di antaranya sebuah tempat di desa Grenjeng, tidak
jauh dari Magelang. Di tempat tersebut Priyoto sempat berkenalan dengan dua makhluk dari
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
alam seberang, masing-masing bernama Djoko dan Bedjo, yang mengaku menjadi punggawa
Nyai Roro Kidul. Menurut para pengamat yang kebetulan hadir dan menyaksikan peristiwa
itu, Priyoto tampak bercakap-cakap dengan kedua makhluk itu, meskipun tidak ada seorang
pun selain Priyoto sendiri yang mampu melihat wujud mereka. Berkat perkenalannya
dengan Djoko dan Bedjo, Priyoto dapat melihat alam kajiman, meski hanya sepintas, bahkan
hidangan para jin dapat pula disantapnya. Priyoto meminta dengan sangat agar diizinkan
masuk ke alam kajiman itu, tetapi ia diberi tahu oleh kedua penjaga bahwa permohonannya
baru berada pada tingkat "tercatat". Sebelum lolos secara penuh iapun diharuskan melakukan
"lelaku" lagi.
Bila dipandang dari satu sudut pandangan, sikap dan tindakan keluarga Mulyono mungkin
dapat dianggap aneh serta tidak mencerminkan kenyataan atau pun perilaku yang terdapat
secara luas dalam masyarakat Jawa dewasa ini. Tetapi keyakinan dan tindak-tanduk mereka
sebetulnya tidak aneh. Dalam menghadapi dan menanggulangi kemiskinannya itu, keluarga
Mulyono berpegang pada beberapa keyakinan dan tindakan yang timbul berulang-ulang
dalam banyak cerita Bahasa Jawa yang menggambarkan usaha memperoleh kekayaan
melalui hubungan dengan alam gaib.
Cerita-cerita tersebut amat beraneka ragam: tidaklah mudah untuk menggambarkannya
secara tepat dan menyeluruh. Akan tetapi salah satu ciri yang nampaknya terdapat secara
umum di dalamnya ialah adanya tokoh-tokoh yang menjalankan laku di tempat keramat
dengan tujuan untuk mengadakan hubungan dengan makhluk dari alam gaib yang diharapkan
dapat menolong mereka untuk bisa lepas dari beban kemiskinan dan kesengsaraan yang
mereka rasakan amat menyiksa. Anehnya, cerita-cerita ini hampir selalu mengungkapkan
suatu keragu-raguan yang mendalam terhadap usaha tokohnya untuk bisa lepas dari
kemiskinan. Memang, kemiskinan dirasakan sebagai keadaan yang amat berat yang
mencampakkan si penderita ke dalam kenistaan yang memilukan dan memalukan. Tetapi
kekayaan pun bukan sesuatu yang dapat diraih tanpa pengorbanan, dan yang pertama-tama
dikorbankan adalah ketulusan sebagai manusia bersusila. Barangkali tidak ada satu tema pun
yang lebih luas terdapat dalam sastra dunia daripada tema tersebut. Yang menarik pada
cerita-cerita berbahasa Jawa ini ialah munculnya lambang dan perumpamaan yang
nampaknya merupakan warisan dari masa yang sudah jauh silam. Di antara lambang dan
perumpamaan tersebut, yang cukup menonjol ialah sosok makhluk siluman, yaitu sejenis
makhluk yang mampu berganti wujud, dari wujud manusia menjadi binatang dan sebaliknya.
Makhluk inilah yang hendak saya soroti dalam renungan yang berikut.
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
* * * * *
Pada pertengahan abad ke-19 yang lalu beberapa pengamat Belanda melaporkan adanya
cerita-cerita mengenai sejenis makhluk yang disebut siluman (juga makhluk gadhungan dan
daden-dadenan) di wilayah lingkup budaya Jawa. Pengamat-pengamat itu pun mencatat
adanya hubungan dalam cerita-cerita tersebut di antara makhluk siluman dan usaha mencari
uang. (Lihat misalnya de Groot, van Hien Rouffaer). Ada cerita yang memunculkan babi
siluman, harimau siluman, kera siluman, buaya siluman, ular siluman, anjing siluman dan
beberapa jenis lagi. Wujud siluman yang paling sering muncul, atau yang paling “populer”,
ialah makhluk yang disebut blorong - sejenis ular siluman. Salah seorang pengamat Belanda,
G.W.J. Drewes, menggambarkan blorong sebagai berikut ...”
“...[makhluk blorong] ialah sejenis makhluk jahat, tidaklah jelas apakah jantan atau
betina. Ia bertempat tinggal di pesisir selatan pulau Jawa yang terkenal. Sebuah
gambar yang terlampir pada uraian yang ditulis oleh Kreemer menunjukkan bahwa,
blorong berwujud seperti ikan, mirip dengan “putri laut”, yang ekornya tertutup
dengan sisik-sisik emas. Ada pula yang berpendapat kepalanya kepala manusia, dan
ada lagi yang berpendapat blorong juga bertangan dan berkaki. Blorong
membingkiskan kekayaannya kepada seorang laki-laki yang selanjutnya menjadi
barang milik blorong tersebut. Rumah blorong terbuat sepenuhnya dari sisa-sisa
mayat korbannya, dan laki-laki itu pun ikut pula menjadi “bahan bangunan”. Pintu-
pintu dan tembok-tembok terbuat dari sisa mayat manusia, demikian juga bubungan,
pagar dan bahkan penyangga jedhing pun terbuat dari mayat manusia.
Seorang laki-laki menemui kediaman blorong secara mendadak dan di luar dugaan.
Oleh blorong ia diperintahkan untuk pulang pada hari yang tertentu untuk
menyiapkan sebuah kamar tempat ia akan menerima blorong sebagai penganten.
Blorong menampakkan diri kepadanya berwujud wanita yang cantik sekali, tetapi
berekor seperti ekor ular. Ekornya itu dililitkannya dengan kencang pada tubuh
korbannya. Selama beberapa jam laki-laki dan blorong bergumul. Akhirnya
“penganten” yang aneh itu pergi. Sepeninggalnya, rumah laki-laki yang bersangkutan
ternyata penuh dengan uang.” (Drewes 1929: 23)
Cerita-cerita sejenis ini ternyata masih hidup dengan baik. Daya tahan, bahkan ketenaran,
cerita-cerita ini dewasa ini agak mengejutkan. Cerita siluman ternyata tidak membeku
ataupun memudar apalagi menghilang sejalan dengan meningkatnya keramaian
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
pembangunan. Sebaliknya cerita siluman seolah-olah menitis kembali dalam wujud baru
yang mampu hidup dengan dinamis di tengah-tengah masyarakat moderen. Dalam Bahasa
Indonesia, misalnya, cerita siluman sering muncul dalam majalah populer seperti Senang,
Selecta, Varianada, Misteri dan Liberty. Cerita siluman yang paling populer barangkali
novel-novel karangan S.D. Chandra yang berkisar pada petualangan seorang “manusia
harimau”. Novel-novel manusia harimau ini mula-mula termuat dalam majalah Senang, dan
kemudian terbit berupa buku-buku yang ternyata sangat laris sehingga lebih dari sepuluh
judul terbit yang sebagian mengalami cetak ulang beberapa kali.
Novel-novel seri Manusia Harimau merupakan semacam epos siluman yang mengisahkan
nasib Erwin, sang manusia harimau yang berasal dari Tapanuli. Tidak kurang pula cerita
siluman moderen yang terjadi dalam lingkungan budaya Jawa. Majalah Misteri, misalnya,
memuat cerita siluman, baik yang “nyata” maupun yang fiktif, dengan judul seperti “Setan
Gunung Langse”, “Ngipri pesugihan: Memuja setan ular”, “Pejantan wanita iblis kelelawar”
“Anjing jadi-jadian” dan banyak lagi.
Cerita siluman tidak kurang populer dalam majalah-majalah Bahasa Jawa. Majalah Djaka
Lodang dan Panjebar Semangat, misalnya, sering memuat cerita rakyat yang menyinggung
keberadaan siluman. Ada pula rubrik yang khusus memuat pengalaman pembaca yang
berhubungan dengan alam gaib. Ada pembaca yang mengaku pernah benar-benar bertemu
dengan makhluk siluman. Di samping rubrik-rubrik yang termuat secara teratur ini, kadang-
kadang majalah Bahasa Jawa juga memuat cerita panjang berupa cerpen atau novel
bersambung yang berkisar pada makhluk siluman.
* * * * *
Cerita siluman merupakan gejala sastra Jawa yang cukup nyata sehingga menuntut usaha
untuk menjelaskan mengapa jenis cerita ini mampu bertahan di tengah-tengah alam
pembangunan dewasa ini. Dalam karangannya yang berjudul Literature of Java sarjana
Belanda Th. Pigeaud mengungkapkan pendapatnya bahwa “kejadian-kejadian gaib dan
ramalan terhadap masa yang akan datang cukup menarik perhatian para sarjana yang meneliti
kebudayaan Jawa, akan tetapi tidaklah demikian halnya dengan folklor dan takhyul. ... Pada
umumnya para sarjana yang meneliti budaya Jawa,” keluhnya, “tidak begitu tertarik pada
folklor dan takhyul yang mereka anggap barang murahan yang tidak patut diperhatikan.”
(Pigeaud 1967 I:319-320) Beberapa tahun sesudah diterbitkannya Literature of Java,
terbitlah Annotated Bibliography of Javanese Folklore (1972) karangan James Danandjaja
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
yang merupakan tonggak jalan yang penting dalam sejarah penelitian folklorik di Indonesia.
Sejak saat itu penelitian dalam bidang folklor mendapat tempat yang lebih terhormat
sehingga “kekosongan” yang dilihat oleh Pigeaud sekarang sudah mulai diisi, khususnya oleh
para sarjana berkebangsaan Indonesia. Di antara sarjana-sarjana tersebut salah seorang yang
menaruh perhatian yang cukup tajam pada gejala makhluk siluman ialah sosiolog dan
sejarawan Onghokham. Dalam sebuah makalah yang diberikannya di Universitas Sydney
pada tahun 1989 (yang sepengetahuan saya belum pernah diterbitkan) Onghokham
melahirkan pendapatnya bahwa kepercayaan pada makhluk pesugihan seperti blorong dan
thuyul muncul dalam masyarakat Jawa akibat adanya ketegangan antar-kelas. Makhluk-
makhluk pesugihan menjadi “perlu”, tandasnya, sebagai salah satu unsur dalam upaya para
penguasa tradisional untuk mempertahankan dan memperkokoh kekuasaannya. Menurut
Onghokham, dalam pandangan para penguasa tradisional ada dua macam kekayaan, yaitu
kekayaan “sah” dan kekayaan “bermasalah”. Kekayaan sah adalah yang diwarisi turun-
temurun semata-mata berkat pangkat atau hubungan keluarga, sedangkan kekayaan
bermasalah adalah kekayaan yang diusahakan dengan jerih-payah sendiri. Cerita-cerita
siluman merupakan suatu mitos yang berfungsi untuk mendukung para penguasa tradisional
dan menjelekkan para “kaya-baru”. Kekayaan para kaya-baru dikaitkan dengan makhluk-
makhluk yang jahat dan menyeramkan sehingga melalui mitos tersebut para kaya-baru itu
dianggap menjadi kaya secara “bermasalah” dan tidak sah. (Onghokham 1989)
Dalam bidang kritik sastra, masih terasa adanya keengganan untuk meneliti sastra moderen
sebagai gejala antropologis yang dapat dikaitkan dengan folklor. Misalnya, sangatlah jarang
ada kritikus yang menaruh perhatian serius pada cerita-cerita yang menyeramkan (cerita
horor). Salah seorang di antara kritikus yang jumlahnya sedikit itu ialah Ajip Rosidi. Pada
tahun 1970-an Ajip menerjemahkan dua novel siluman karangan Mohammad Ambri dari
Bahasa Sunda ke dalam Bahasa Indonesia. (Lihat Ambri 1975 dan 1977, diresensi dalam
Jakob 1979: 104-110) Tetapi kritikus yang terbuka seperti Ajip terhadap cerita takhyul
sedikit jumlahnya. Sikap yang lebih umum terdapat diungkapkan oleh Mochtar Lubis dalam
majalah Horison. Dikatakan oleh Mochtar bahwa kepercayaan pada tuyul itu takhyul belaka,
berlawanan dengan kebudayaan Indonesia yang maju dan moderen, serta tidak patut
ditanggapi secara serius. (Mochtar 1985)
* * * * *
Sebelum saya menyajikan pandangan mengenai cerita siluman kontemporer berbahasa Jawa,
kiranya ada baiknya untuk terlebih dahulu memberikan contoh cerita siluman seperti yang
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
saya maksudkan. Prewangan Gunung Mandhalika, karya Dyaning Wiratmoko, dimuat
sebagai cerita bersambung dalam mingguan Bahasa Jawa Djaka Lodang nomor 441 - 446
yang terbit antara tanggal 28 Pebruari 1981 sampai tanggal 4 April 1981. Secara singkat
cerita tersebut sebagai berikut.
Juwahir tinggal di desa Warung Jengkol bersama isterinya, Marsinah, dan kelima
anaknya yang masih kecil. Keluarga ini sangat miskin. Meskipun Juwahir bekerja
membanting tulang dan beribadat dengan taat dan saleh, ia tidak mampu mengubah
nasibnya. Ia sangat sedih melihat penderitaan keluarganya dan merasa sangat rendah
karena tidak berdaya berbuat apa-apa untuk meringankan penderitaan mereka.
Dengan agak malu-malu, Marsinah menyarankan agar Juwahir meminta nasehat
kepada Krama Klembak. Kira-kira tiga tahun sebelumnya, Krama Klembak juga
sangat miskin, tetapi sekarang, dengan cara yang misterius dan seolah-oleh tanpa
usaha, telah menjadi kaya-raya. Penduduk desanya mengira bahwa hartanya telah
diperolehnya dengan bantuan seorang lelembut pasugihan.
Saran isterinya dipertimbangkannya masak-masak, dan akhirnya Juwahir mengambil
keputusan untuk melaksanakannya. Ia menemui Krama Klembak, yang tinggal di
sebuah rumah besar di luar batas desa. Untuk menuju ke rumahnya, Juwahir harus
berbelok ke kiri di perempatan yang terdapat di pinggir desa.
Ketika sampai di rumah Krama Klembak, Juwahir disambut dengan hangat. Sesudah
bercakap-cakap sebagai adatnya antara tamu dengan tuan rumah, Juwahir bertanya
bagaimana caranya untuk menjadi kaya seperti Krama Klembak. Sesudah berpikir
sebentar seolah-olah ragu-ragu, Krama Klembak akhirnya menyarankan agar Juwahir
bersemedi di Gunung Mandhalika selama tiga malam pada waktu bulan purnama
Dengan perasaan lega, Juwahir kembali ke rumahnya. Tetapi kemudian ia
mendengar bahwa Krama Klembak dengan tiba-tiba meninggal. Nampaknya telah
ada perjanjian antara Krama Klembak dan lelembut pesugihannya bahwa kalau
Krama Klembak membuka rahasia bagaimana ia memperoleh hartanya, ia harus
membayar dengan nyawanya.
Namun demikian, Juwahir sekarang bertekad untuk melaksanakan rencananya
meminta bantuan pada lelembut pesugihan. Tanpa memberitahu isterinya, ia
berangkat menuju Gunung Mandhalika. Di hutan di kaki gunung tersebut ia
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
bersemedi selama semalam suntuk. Melalui renungannya ia menceritakan hal
penderitaannya kepada makhluk halus penjaga gunung itu.
Keesokan harinya ia melanjutkan perjalanannya ke puncak gunung. Di sana
ditemukannya sebuah makam. Malam itu dan malam berikutnya ia bersemedi di
samping makam. Pada malam kedua muncullah seorang wanita cantik di
hadapannya. Wanita ini adalah ratu para jin penghuni Mandhalika. Ia bersedia
menolong Juwahir menjadi kaya tetapi dikatakannya bahwa untuk menerima
pertolongan ini Juwahir harus membayar. Pertama, kalau Juwahir meninggal, ia
harus menjadi penghuni jin gunung itu. Kedua, Juwahir harus memberi wadal
sebagai imbalan untuk pertolongan yang akan diterimanya. Agar bentuk imbalan ini
menjadi jelas, ratu jin mengajak Juwahir melihat ke dalam sebuah sumur. Dalam air
di dasar sumur itu, Juwahir melihat pemandangan yang sangat mengerikan -- ia
melihat anak bungsunya dengan matanya menonjol keluar, lidahnya menjulur, dan
mukanya hitam. Lalu ia melihat pemandangan yang serupa tentang anaknya yang
keempat, demikian juga anaknya yang ketiga. Ia mundur, tidak tahan memandang
terus ke dalam sumur. Ratu jin yang cantik itu bertanya apakah ia sudah melihat
semuanya, dan apakah ia akan menyesal. Juwahir menggeleng -- ia tidak akan
menyesal.
Kemudian ratu jin itu mengungkapkan syarat yang terakhir. Setiap malam Wage,
Juwahir akan dikunjungi olehnya dan harus bersetubuh dengannya. Pada saat itu
Juwahir sangat terpesona oleh kecantikan ratu jin dan terpikat karena baunya yang
harum. Manusia dan jin itu pun lalu bersetubuh. Sesudah itu Juwahir tertidur. Ia
tidak melihat pasangannya meninggalkan tempat itu dalam bentuk seekor anjing besar
dengan bulu hitam mengkilap.
Setelah terbangun Juwahir pun turun dari puncak gunung dan berjalan pulang. Ketika
sudah dekat rumahnya, ia melihat orang berkerumun di sekeliling rumahnya.
Ternyata anaknya yang bungsu, Asmuni, tertubruk mobil di jalan dan tewas. Ia
terbaring dengan matanya menonjol keluar, lidahnya terjulur dan mukanya hitam,
tepat seperti pemandangan yang telah dilihat Juwahir di dalam sumur.
Larut malam Juwahir mengganti jenazah anaknya, yang terbungkus kain kafan,
dengan batang pohon pisang. Seekor anjing besar yang berwarna hitam muncul di
halaman dan masuk ke dalam rumah. Tetapi dalam penglihatan Juwahir, anjing
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
tersebut telah menjelma menjadi ratu jin Mandhalika yang cantik. Diberikannya
jenazah anaknya kepada ratu jin itu, dan makhluk itu pun gaiblah.
Nasib Juwahir segera berubah. Ia menjadi kaya. Dalam waktu dua bulan ia telah
membangun rumah baru yang besar. Setiap malam Wage, ia berkurung diri di sebuah
kamar yang khusus disiapkannya. Dan pada malam-malam seperti ini, seekor anjing
besar berwarna hitam datang, dan secara gaib masuk ke dalam kamar dan menemui
Juwahir. Menurut penglihatan Juwahir, tamunya bukanlah seekor anjing melainkan
sang ratu cantik dari Mandhalika.
Juwahir terus bertambah kaya, tetapi sementara itu penduduk desa mulai curiga
padanya. Pada suatu hari, anaknya yang keempat, Mudrikah, terserang demam. Ia
mengigau, dan mohon kepada ayahnya agar kepalanya jangan dikubur di Gunung
Mandhalika. Akhirnya Mudrikah meninggal. Jenazahnya juga diganti dengan batang
pohon pisang oleh Juwahir, dan sang ratu dari Mandhalika pun datang lagi dalam
bentuk seekor anjing untuk menuntut imbalan tersebut dari Juwahir.
Juwahir terus bertambah kaya, akan tetapi ia juga juga makin diasingkan oleh
penduduk desa lainnya dan bahkan oleh tetangganya sendiri. Baik Juwahir maupun
Marsinah makin merasa tidak enak. Juwahir tidak menemukan ketenangan atau pun
kebahagiaan dalam harta yang baru diperolehnya. Ia justru menjadi cemas dan
merasa seolah-olah terus-menerus diawasi oleh mata yang tidak terlihat.
Pada suatu hari, tiga bulan sesudah kunjungan Juwahir ke Gunung Mandhalika,
anaknya yang ketiga, Salamun, jatuh dari pohon kelapa dan tewas. Kali ini hampir
tidak ada seorang pun yang datang untuk mengucapkan belasungkawa. Seperti yang
dilakukan Juwahir sebelumnya, kali ini pun jenazah anaknya diberikannya kepada
sang ratu jin dan ditempatnya diletakkan batang pohon pisang yang dibungkus
dengan kain kafan.
Dua bulan sesudah kematian Salamun, desas-desus pun menjadi lebih santer bahwa
Juwahir memiliki pembantu berupa lelembut. Marsinah sendiri mulai mencurigai
suaminya. Ia telah kehilangan tiga orang anaknya dan sekarang ia takut jangan-
jangan yang lain akan menyusul dan bahkan dirinya juga mungkin akan tewas sebagai
wadal.
Karena rasa takutnya yang semakin mencekam, Marsinah meminta nasehat kepada
Kyai Darmuji, seorang kyai yang terkenal saleh dan bijaksana. Rambut, alis, dan
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
kumis Kyai Darmuji semuanya sudah putih. Dengan penuh perhatian,
didengarkannya apa yang dikatakan oleh Marsinah kepadanya. Kemudian
diberikannya kepada Marsinah garam dan tepung yang berwarna putih. Ia menyuruh
agar Marsinah menaburkan garam itu di muka pintu kamar yang dipakai oleh Juwahir
setiap malam Wage, dan agar ia (Marsinah) menggosokkan tepung putih itu pada
pelupuk matanya supaya dapat melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh mata biasa.
Malam itu, yang secara kebetulan adalah malam Wage, Marsinah menuju ke kamar
tempat Juwahir tidur, dan menaburkan garam yang diperolehnya dari Kyai Darmuji di
muka pintunya. Ia juga menggosokkan tepung putih pada pelupuknya. Ketika ia
mengintip melalui lubang kunci dilihatnya dua ekor anjing besar berwarna hitam
sedang bersetubuh.
Saking marahnya, Marsinah mengambil sebatang linggis besi, lari masuk ke dalam
kamar itu dan dipukulkannya besi itu pada salah seekor anjing. Marsinah
menghantam anjing itu hingga tewas berlumuran darah. Anjing yang lain berhasil
lari. Binatang yang sudah mati itu dengan perlahan-lahan menjelma menjadi mayat
Juwahir yang berlumuran darah.
Tiga hari kemudian Marsinah bermimpi seolah-olah ia sedang berjalan di sepanjang
jalan yang terbuat dari tengkorak manusia. Tiga di antara tengkorak tersebut
dikenalinya sebagai tengkorak tiga orang anaknya yang sudah meninggal. Tengkorak
yang keempat kemudian menyapanya. Tengkorak ini ternyata adalah tengkorak
Juwahir yang menyatakan bahwa ia (Juwahir) memang telah berjanji akan menjadi
penghuni dunia makhluk halus sebagai tumbal untuk harta kekayaan yang
diperolehnya.
Marsinah terlanda penyesalan yang mendalam, karena ialah yang mula-mula
menyarankan agar Juwahir meminta pertolongan pada makhluk halus.
* * * * *
Meskipun cerita siluman kontemporer yang berbahasa Jawa cukup banyak ragamnya,
kebanyakan bertandakan ciri-ciri dasar yang sama, terutama cerita siluman yang panjang.
Cerita-cerita tersebut umumnya mengungkapkan kisah seorang laki-laki miskin (atau
kadang-kadang seorang perempuan) yang mencari kekayaan. Dalam usaha mencari
kekayaan itu, laki-laki itu terpaksa mengadakan suatu perjanjian, atau kontrak, dengan
makhluk siluman. Ia diberi kekayaan oleh makhluk itu, tetapi ia juga dituntut untuk secara
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
sadar memberikan imbalan atau “tumbal” berupa nyawa keluarganya. Di samping itu iapun
diharuskan menyerahkan nyawanya sendiri kepada makhluk tersebut untuk selanjutnya
menjadi penghuni alam gaib makhluk itu.
Seperti yang terlihat dalam ringkasan cerita Prewangan Gunung Mandhalika, tokoh utama
dalam suatu cerita siluman biasanya memiliki kebulatan tekad yang sangat kuat untuk diam-
diam mengadakan suatu persekutuan, apa pun akibatnya, dengan siluman pesugihan.
Biasanya makhluk halus itu membuatnya sadar sepenuhnya akan akibat buruk dan tidak
terelakkan dari perbuatannya, tetapi kesadaran ini tidak mampu membatalkan tekadnya.
Tanpa diketahui oleh keluarganya (yang akan menjadi korban perbuatannya), dan dengan
penuh kesadaran akan apa yang dilakukannya, ia membuat perjanjian atau kontrak dengan
makhluk tersebut. Persetubuhan berulang-ulang itu melambangkan eratnya persekutuan ini,
serta seolah-olah mensahkan perjanjian atau kontrak yang diadakan.
* * * * *
Cerita-cerita siluman merupakan semacam mitos, yaitu bentuk simbolik yang merupakan
pancaran pengalaman hidup masyarakat Jawa dan sekaligus alat pendukung yang berfungsi
untuk mempertahankan suatu pandangan hidup yang tertentu. Pandangan hidup ini pada
dasarnya timbul dari masyarakat tani kecil dan dari sistem perekonomian yang bersifat
swasembada, dan pada hakekatnya tidak mengenal uang. Cerita siluman bersifat
menjelaskan dan juga bersifat normatif. Cerita siluman bersifat menjelaskan dalam arti
bahwa cerita itu memberikan penjelasan yang rasional atas gejala-gejala tertentu dan yang
sesuai dengan pandangan hidup tersebut. Cerita siluman bersifat normatif dalam arti bahwa
cerita ini memelihara kelangsungan pandangan hidup tersebut dengan cara mengecam nilai-
nilai dan perbuatan-perbuatan yang dianggap mengancam keabsahan pandangan tersebut.
Secara tidak langsung, cerita siluman berbahasa Jawa memberikan penjelasan atas sebab-
musabab gejala-gejala ekonomi yang tertentu. Penjelasan itu bersifat “rasional” menurut
alam pemikiran pembaca dan penulis cerita siluman. Secara khusus, cerita siluman seolah-
olah berusaha untuk memberikan pemahaman mengenai suatu gejala yang dewasa ini
semakin sering terlihat, yaitu adanya orang yang memperoleh kekayaan besar secara tiba-
tiba. Alam pemikiran yang mendasari “penjelasan” tersebut adalah alam pemikiran suatu
masyakarat di mana kekayaan biasanya diperoleh dalam jumlah kecil, atas usaha sendiri,
serta dengan cara yang dapat dilihat dengan mata kepala sendiri.
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
Dahulu, kebanyakan orang Jawa hidup dalam suatu sistem perekonomian di mana uang tidak
berperan, atau kalau pun berperan, peranannya itu tidak berkuasa atas segala-galanya dalam
hidup mereka. Dalam sistem perekonomian seperti ini, khususnya dalam masyarakat tani,
kekayaan diperoleh dengan cara yang langsung dapat disaksikan, yaitu dengan tenaga dan
keterampilan sendiri, atau melalui usaha bersama di antara anggota-anggota suatu
masyarakat yang bersatu padu secara erat. Prosesnya terbuka, dapat dimengerti dan bahkan
biasa sekali, yaitu dengan bekerja keras serta menjalankan tugas-tugas kemasyarakatan dan
keagamaan secara bijaksana dan pragmatik.
Akan tetapi dewasa ini kedudukan uang telah beralih dari pinggiran dunia masyarakat tani ke
pusatnya. Dan hal ini menimbulkan gejala baru, yaitu timbulnya “orang kaya mendadak”
yang memperoleh hartanya dengan cara yang, kalau dilihat sepintas, nampaknya “gaib”.
Dengan pandangan dunia perekonomian yang lama orang tidak mudah dapat menjelaskan
gejala “kaya mendadak” itu. Gejala ini hanya dapat dijelaskan dengan merujuk pada hal-hal
yang gaib. Dengan demikian makhluk pesugihan yang sudah lama ada dalam tradisi Jawa
seolah-olah terhindar dari kepunahan dan diperpanjang hidupnya. Bahkan dalam
penggambarannya, ada yang khusus disesuaikan untuk “menjelaskan” gejala uang logam.
Blorong, misalnya, bersisik emas, yang jatuh dan menjelma menjadi uang logam sesudah
mengunjungi rumah orang yang menjadi sekutunya. Thuyul, yang menyerupai anak kecil,
tertarik pada uang logam, dan pandai mengambil isi lemari besi dan peti uang. (Lihatlah,
misalnya, Mahmud 1985)
Di samping “menjelaskan” asal-usul kekayaan berupa uang, cerita-cerita siluman juga
memperlihatkan adanya sifat moral. Cerita-cerita siluman umumnya memancarkan sikap
negatif terhadap sistem perekonomian yang berdasarkan uang, serta memandang secara kritis
terhadap orang-orang yang melakukan usaha komersial dalam sistem tersebut.
Sikap negatif tersebut diungkapkan dengan dua cara. Pertama, makhluk siluman yang
menyeramkan itu merupakan perwujudan sifat bejat yang dianggap menjadi sifat hakiki
perekonomian uang serta pengusaha-pengusaha yang bergerak dalam sistem tersebut.
Makhluk-makhluk siluman itu menyeramkan. Mereka memancarkan suatu daya-jahat yang
maha-keras dan amat menakutkan, serta membawa maut yang mengerikan dan tidak
terelakkan bagi siapa saja yang berani menjadi sekutunya. Memang makhluk siluman dapat
menjelma menjadi orang yang secara lahiriah cukup manusiawi: cantik, “sumanak” dan
bertenggang rasa. Akan tetapi, di balik wujud manusiawi yang melegakan dan menarik itu,
sesungguhnya mereka bukan manusia. Orang yang menjalin hubungan akrab dengan
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
makhluk siluman, mau tidak mau, harus membuang kemanusiaannya sendiri, serta menjelma
menjadi binatang. Pergantian sifat itu diungkapkan secara menjijikkan dalam peristiwa
sanggama manusia dengan binatang yang menjadi salah satu ciri umum dalam cerita-cerita
siluman.
Kedua, cerita-cerita siluman menunjukkan sikap negatif terhadap kehendak dan tindak-
tanduk yang berdasar pada kepentingan pribadi, atau kepentingan perseorangan. Umumnya,
tokoh manusia yang menjalin hubungan dengan siluman itu terdorong oleh tekad dan
kehendak pribadi yang kuat. Biasanya ia bertindak secara diam-diam tanpa meminta
pertimbangan lebih dahulu pada keluarganya atau pun kepada tetangga dan anggota
masyarakat. Kehendak pribadi itu digambarkan sebagai hal yang membahayakan, karena
mampu menguasai seluruh diri tokoh yang bersangkutan serta mampu mendorongnya untuk
melakukan hal-hal yang membawa kehancuran bagi dirinya serta mencelakakan keselamatan
keluarganya. Dengan menggambarkan kehancuran yang timbul akibat diutamakannya
kehendak perseorangan, cerita-cerita siluman seolah-olah menitikberatkan pentingnya
persatuan dan kesatuan masyarakat serta pentingnya ketahanan komunal dan kepentingan
bersama.
* * * * *
Cerita-cerita siluman mengungkapkan suatu pandangan hidup yang berakar dalam
kebersamaan. Pandangan hidup itu seolah-olah menghadapi suatu ancaman, yaitu ancaman
yang berasal dari sistem perekonomian uang yang mendewakan kehendak pribadi dan tindak-
tanduk individualis. Kendati pun demikian, ada keengganan untuk mengutuk secara mutlak
tokoh-tokoh yang berurusan dengan siluman. Dalam sejumlah cerita siluman, terasa adanya
sekelumit belas kasihan bagi si tokoh yang memuja siluman. Memang ia bersedia dan
mampu berbuat apa saja untuk menjadi kaya, tetapi keinginannya itu bukan timbul dari
kebejatan pribadi atau pun dari keserakahan yang membabi-buta. Ia bersekutu dengan
siluman karena ia putus harapan. Biasanya, si tokoh itu bekerja keras. Ia rajin menunaikan
kewajiban ibadah. Ia pun sayang pada anak-isteri serta tanggap terhadap tetangga dan
masyarakat sekeliling. Tetapi kerja keras dan ketaatan beribadah itu nampaknya tidak cukup
untuk membawa si tokoh ke arah kemakmuran, apalagi untuk membantunya memecahkan
beraneka ragam persoalan yang menghimpit keluarganya.
Pada bagian penutup Prewangan Gunung Mandhalika pembaca diajak menyaksikan
pemandangan di neraka. Juwahir bersama ketiga anaknya telah menjadi batu-batu yang ikut
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
membentuk jalan di alam kajiman Mandhalika. Tetapi “neraka” ini bukan satu-satunya
neraka yang tergambar dalam Prewangan Gunung Mandhalika. Pada permulaan novel
pengarang menggambarkan sebuah neraka yang lain. Kemiskinan dan penderitaan Juwahir
dan keluarganya itu sesungguhnya sejenis “neraka di tengah-tengah dunia nyata” bagi
mereka. Dengan kata lain, tokoh utama dalam cerita-cerita siluman seringkali terhimpit di
antara dua macam neraka. Ia berupaya untuk keluar dari neraka kehidupannya dengan
bersekutu dengan siluman. Tetapi ia sadar bahwa persekutuannya itu tidak elak akan
membawa dia (mungkin juga bersama keluarganya) kepada sebuah neraka baru, yaitu neraka
alam siluman. Ada kalanya pembaca terharu juga dengan tekad si tokoh untuk bisa lepas
dengan cara apapun juga dari derita kemiskinan, walaupun seringkali, kelepasan itu hanya
bersifat sementara saja dan terpaksa “dibeli” dengan harga yang teramat mahal.
Dalam cerita-cerita siluman, si tokoh utama seolah-olah ditakdirkan gagal. Memang ia
menjadi kaya, tetapi hanya untuk sementara. Kebahagiaan yang diimpikannya tidak kunjung
teraih. Mungkin benar dugaan Onghokham bahwa cerita-cerita siluman seolah-olah
mendukung suatu pandangan bahwa tidaklah mungkin dan tidaklah wajar seorang yang
terlahir miskin itu dapat mengubah nasibnya menjadi kaya. Harta duniawi agaknya hanya
pantas dimiliki oleh orang yang terlahir kaya, atau yang kaya secara “kodrati”, sedangkan
yang miskin ditakdirkan untuk senantiasa menepati kodratnya sebagai orang miskin.
Cerita-cerita siluman seolah-olah menggariskan perbedaan di antara dua jenis kekayaan:
kekayaan ciptaan manusia dan kekayaan alamiah. Sebagaimana dikemukakan di atas,
kekayaan ciptaan manusia merupakan buah tangan dan hasil jerih payah seseorang yang bisa
dibuktikan dengan mata kepalanya sendiri. Kekayaan sejenis ini tidak pernah melimpah,
bahkan sebaliknya, senantiasa tersedia dalam jumlah yang terbatas. Orang miskin, entah
secara perseorangan atau pun secara bersama, tidak pernah dapat menghasilkan kekayaan
semacam ini dalam jumlah yang memadai. Sebaliknya, orang kaya rata-rata memiliki
kekayaan yang jauh melebihi kemampuan pribadinya untuk menciptakan kekayaan itu secara
langsung. Kekayaan mereka seolah-olah “datang sendiri” dari suatu alam yang maha-subur
yang bisa mereka timba berkat kedudukannya sebagai orang yang tinggi pangkatnya dan
besar kuasanya dalam masyarakat. Alam yang maha-kaya itu digambarkan sebagai tempat
yang liar yang dihuni oleh makhluk-makhluk yang buas tetapi penuh tuah. Dan alam inilah
yang bisa didatangi untuk sementara dan dinikmati oleh si tokoh utama cerita siluman.
Tetapi di alam ini pun si miskin akhirnya kembali memainkan peranan sosial yang senantiasa
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
menjadi nasibnya di dunia nyata, yaitu sebagai “batur”, atau bahkan seperti Juwahir dan
anak-anaknya, sebagai batu pijakan di bawah telapak kaki orang kaya.
Daftar Pustaka
Ambri, Mohammad
1975 Mengurbankan diri, diterjemahkan oleh Ajip Rosidi. Jakarta: Pustaka Jaya. Pertama terbit dalam Bahasa Sunda dengan judul Ngawadalkuen nyawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1942.
1977 Memuja siluman, diterjemahkan oleh Ajip Rosidi. Jakarta: Pustaka Jaya. Pertama terbit dalam Bahasa Sunda dengan judul Munjung, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
De Groot, J.J.M.
1898 “De weertijger in onze kolonien en op het oostaziatische vasteland”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, vol.44, hal.549-585
Drewes, G.W.J.
1929 “Verboden rijkdom”, Djawa, vol.9 no.1, Januari, hal.22-23
Hazeu, G.A.J.
1899 “Eenige mensch-dierverhalen uit Java”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, vol.49, hal.688-694
Jakob Sumardjo
1979 Novel Indonesia mutakhir: Sebuah kritik Yogyakarta: Nur Cahya.
Mahmud Jaya Kusumonegoro
1985 “‘Golongan ke-5’ tanggap metafisika yang diperdebatkan eksistensinya”, Suara Merdeka, tgl. 24 Oktober, hal.2
“Mereka ingin jadi jin”
1990 Kartini no.407, 25 Juni - 8 Juli, hal.8, 9, 112.
Mochtar Lubis
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen
1985 “Tuyul, krisis kebudayaan”, Horison, XX no.12, hal..447-448
Onghokham
1989 “The merchant of Java and his spirits”, makalah yang diberikan dalam seminar pada Jurusan Pengajian Indonesia dan Malaya, Universitas Sydney, tgl. 12 Desember.
Pigeaud, Th.
1967 Literature of Java. Den Haag, Martinus Nijhoff
Rouffaer, G.P.
1899 “Matjan gadungan”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlansch-Indie, vol.50, hal.67-75
Van Hien, H.A.
1933-1935 De Javaansche geestenwereld. Batavia: G. Kolff
________________________________________________________________________
George Quinn: Makhluk Siluman dan Budaya Uang dalam Sastra Jawa Moderen