Sibiru Edisi 5

8
1 EDISI III 28 OKTOBER -10 NOVEMBER 2014 BUAT KAMU YANG SUKA APRESIASI Adzhani Fatimah Az-zahrah

description

 

Transcript of Sibiru Edisi 5

Page 1: Sibiru Edisi 5

1

EDISI III28 OKTOBER -10 NOVEMBER 2014

BUAT KAMU YANG SUKA APRESIASI

Adzhani Fatimah Az-zahrah

Page 2: Sibiru Edisi 5

2

Jenuh itu hal yang wajar. Tidak semua orang memiliki karakter tekun dan ulet (betah pada atua menjalani satu hal dalam jangka waktu lama). Apalagi di era “padat informasi” seperti ini, sebagian besar orang pasti mudah bosan melakukan satu hal terus menerus. “Hal” yang dimaksud bisa banyak, salah satunya kuliah.

Jangan salah, saya pernah mewawancarai orang paling pintar (baca: Peter Raskin) di jurusan kita. Ia juga merasa jenuh. Performanya baik di kelas karena ia ingin cepat meninggalkan Fikom, bukan karena ingin mengukir prestasi.

Jadi buat teman-teman yang sedang merasa jenuh belajar atau kuliah (atau main Dota), kalian tidak sendiri! ada banyak teman kalian di sini yang merasakan hal yang sama dan ingin berbagi! SiBiru kali ini akan jadi salah satu teman kalian mengatasi kejenuhan. Ampuh atau tidaknya saya tidak tahu.

Selamat menikmati!

EDITORIAL

Rutinitas perkuliahan kerap kali membuat mahasiswa merasa jenuh atau bosan, sehingga sangat berpengaruh terhadap mood untuk kuliah, imbasnya? Nilai kuliah yang

tidak memuaskan pula. Pada umumnya, perkuliahan dilaksanakan di dalam kelas yang diisi oleh lebih dari 25 orang mahasiswa. Keadaan itu ditambah dengan tipe-tipe dosen yang berbeda-beda pula, mungkin ada dosen yang senang berbicara, ada pula dosen yang garing, dosen yang senang bercanda, dan sebagainya. Belum lagi tugas-tugas yang tak kenal jeda. Sebagai mahasiswa, keadaan tersebut pernah saya alami, juga mendengar keluhan-keluhan yang hampir sama dengan teman-teman di kampus.Kini saya menyandang status sebagai mahasiswa semester tujuh, masa-masa membosankan saya rasa sudah saya lewati. Puncak jenuh saya rasakan ketika semester empat. Bukan hanya rutinitas kuliah yang itu-itu saja, bukan hanya tugas-tugas yang menjemukan, faktor lainnya menurut saya adalah kesibukan dalam berorganisasi saat itu. Pokoknya yang berbau kampus, itulah hal-hal yang membosankan. Seakan-akan ingin meninggalkan segala rutinitas kampus, tapi bayang-bayang ucapan orang tua untuk giat berkuliah selalu membayangi. Dilema.Konsultasi gencar saya lakukan demi menghadapi kebosanan. Pertama, saya ngobrol dengan kakak yang sudah menyabet gelar sarjana terlebih dahulu. Sang kakak tidak mengelak, dia juga pernah merasakan hal yang sama. Merasa punya teman senasib, saya memberanikan untuk menjelaskan kepada kedua orang tua. Akhirnya saya coba beranikan diri untuk diskusi dengan kedua orang tua. Perlu dicatat, keterbukaan dengan orang tua terkait kuliah sangat penting, ini menurut saya ya. Saya beberkan ke orang tua, kalau saya sedang jenuh dengan segala kegiatan di kampus, termasuk kuliah, (bersambung ke halaman 7)

Jenuh

Berbicara soal pendidikan tidak lepas dari proses belajar mengajar. Kita tahu bahwa proses itu memang sulit. Tidak banyak orang yang berhasil tanpa melalui

proses, bahkan mungkin tidak ada. Karena keberhasilan akan dapat dicapai dengan proses, lebih tepatnya kesuksesan menurut orang banyak.

Dalam kehidupan saya, dari kecil saya diajarkan untuk hidup benar, dalam artian sesuai dengan jalur dan peraturan yang ada. Diajarkan untuk mengikuti pola pendidikan yang berlaku saat itu hingga sekarang. Dari umur 6 tahun saya mulai belajar membaca, menulis, berhitung, menghafal, belajar rumus, dan segala macamnya.

Sudah 16 tahun saya mengikuti pola pendidikan yang sama setiap tahunnya. Sekarang saya sudah berada di awal tahun keempat perkuliahan. Memang perkuliahan kata orang-orang lebih santai, namun bagi orang seperti saya yang masuk dalam jurusan “menulislah sebanyak mungkin” membuat saya merasa orang paling cepat dalam mengetik. Sudah banyak tulisan, rangkuman, dan apresiasi yang saya buat dari semester tiga perkuliahan.

Memang metode penugasan yang menurut saya memaksa menjadikan impian saya untuk menjadi jurnalis yang semula 95 persen turun menjadi 30 persen. Setiap minggunya kami mahasiswa, ditugasi untuk merangkum dan apresiasi buku-buku mengenai jurnalistik, (bersambung ke halaman 7)

Udah bang! Bunuh ajalah adek bang!Rachmat Ogie Kurniawan

Panji Arief Sumirat

Jonatjack

CURHAT

Page 3: Sibiru Edisi 5

3

M.Nurhadi Pratomo/ Daniel Krisnavany

Kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi. Lalu kita yang sering bangga pakai kaos bertuliskan “Journalism” atau dengan bangga memamerkan garis

2 dan tulisan pilar keempat di jaket mau ngapain? Diem aja ngerjain tugas yang menumpuk? Mau demo? Apa yaudahlah nanti kan gausah jadi wartawan?

Pekan lalu awan mendung kembali menggelantung di langit jurnalistik Indonesia. Bermula dari demonstrasi kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terjadi di kampus Universitas Negeri Makassar, tujuh orang wartawan menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oknum kepolisian di Makassar, Sulawesi Selatan. Waldy, wartawan Metro TV yang sedang bertugas mengalami luka robek dan pendarahan di bagian kepala. Enam wartawan lainnya harus mengalami sejumlah cedera akibat ditendang, ditinju, dan dijambak oleh petugas berwenang.

Kejadian ini tentunya sangat disayangkan oleh sebagian pihak. Pasalnya aparat kepolisian yang harus melindungi dan melayani masyarakat malah melakukan sejumlah tindakan brutal terhadap wartawan dan warga. Kekerasan ini melanggar Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Pelaku dapat diancam dengan hukuman penjara dan denda sebesar Rp500 juta. Namun nampaknya ancaman ini menjadi tak berarti mengingat kasus kekerasan terhadap jurnalis terus berulang.

Data yang dihimpun oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sepanjang 2013 terjadi 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan kantor media. Jumlah ini mengalami penurunan dari jumlah 51 kasus pada tahun 2012. Pemilu langsung yang terjadi di sejumlah daerah menurut AJI menjadi salah satu pemicu maraknya kasus kekerasan terhadap jurnalis di sejumlah daerah.

Pertanyaan mendasar lahir mengapa wartawan sebagai pengemban mandat dari masyarakat kerap menjadi sasaran yang diburu sejumlah oknum. Perlindungan terhadap wartawan telah disepakati oleh Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Wina, Austria. Resolusi

tersebut disepakati seluruh angota pada 27 September 2012 menegaskan pentingnya keselamatan wartawan sebagai unsur fundamental keselamatan ekspresi. Pertemuan ini menyerukan pentingnya negara-negara dunia agar mengembangkan lingkungan yang aman bagi wartawan untuk menjalankan kerjanya secara independen.

Kondisi ini memprihatinkan jika berkaca pada kondisi keselamatan jurnalis di Indonesia. Sejak kasus pembunuhan wartawan harian Bernas, Fuad Muhammad Syarifudin alias Udin, tercatat tujuh pembunuhan lainnya hingga kini tetap gelap. Kasus terakhir terjadi pada 2010, menimpa jurnalis Tabloid Pelangi, Alfred Mirulewan. Kasus Udin yang telah kadaluarsa seolah menjadi peringatan bahwa kasus lainnya akan berakhir serupa.

Hollywood kerap mencitrakan wartawan sebagai seorang pahlawan atau superhero. Tintin, Superman, hingga Spiderman digambarkan sebagai sosok wartawan yang kerap menjadi penyelamat warga kota. Dengan kemampuan bela dirinya mereka menumpas pelaku kejahatan. Namun adegan tersebut hanya dapat disaksikan melalui karya emas para sutradara Hollywood. Namun faktanya wartawan kerap jadi korban di dunia nyata.

Menjadi seorang jurnalis memang menjadi sebuah pilihan. Resiko dan tantangan didalamnya turut serta ketika seseorang memilih jalan hidup sebagai wartawan. Sebagai mahasiswa prodi jurnalistik fakultas ilmu komunikasi terbaik di Indonesia pun tak menjadi jaminan nantinya setelah lulus akan memilih jalan hidup sebagai pemburu berita. Teringat salah satu sticker yang terpampang di kantor jurusan kita “Journalist? Dare you to join?”

ADVOKASI

Wartawan : memburu dan

diburu

Page 4: Sibiru Edisi 5

4

Scanned by CamScanner

Page 5: Sibiru Edisi 5

5

Scanned by CamScanner

Page 6: Sibiru Edisi 5

6

Musik di Cici (baca: laptop gue) terus terngiang seraya

tangan mulai hitam dengan tinta pulpen. Garis-garis di kertas fotokopian itu sudah gak karuan lagi bentuknya. Ada yang lurus kayak benang gelasan, ada yang gak lurus, ada yang segitiga, bahkan

trapesium. Sudahlah. Semester ini adalah pilihan untuk mau mengerjakan tugas Tuan atau tidak. Ada sakit hati ketika sudah ditengah jalan pengerjaan tugas, tapi ada rasa (kayaknya) lega ketika memilih menyerah. Dari penugasan Tuan, hanya titah yang berkode PL-lah yang membuatku terus berada di kelasnya.

Semester ini mungkin bukan yang terberat jika mendengar pengalaman dari veteran Tuan. Tapi apa daya diri tak mampu, hati lelah berjibaku dengan semua yang sudah dan akan berlalu. Tugas Tuan tampak masih belum ada hentinya menyerang Cici yang sudah bodoh (baca: lemot) dengan berkas-berkas kelas dan organisasi.

Tapi berkat Tuan pula diriku ini dapat merasakan hal-hal yang menyenangkan, seperti datang ke konser musik, ketemu petinggi negara, masuk ke daerah terlarang, semua dilakukan dengan alasan tugas ngobrol dengan orang-orang itu. “Senang

Andi

Surya

Andi Muhammad Arief M

Surya L. I.

hati abang dek,” begitulah mungkin orang-orang di sekitarku melafalkannya. Banyak duka, sukanya juga gak kalah banyak. Semua dijalani dengan hati yang sudah tegar saat memilih jurusan yang serba biru ini. Selesai sosialisasi jurusan, tanpa pikir lebih dari 30 detik, tulisan Jurnalistik tiba-tiba sudah ada di lembar yang harus diserahkan di SBA. Seharusnya lembar itu bisa diserahkan seminggu kemudian, tapi tiba-tiba 30 menit setalh selesai sosialisasi lembar itu sudah ada di tangan petugas SBA. Betapa bulat hati orang yang menyerahkan ini, beda tipis dengan bodoh sih. Sudahlah.

Walau mengikuti organisasi (yang kata orang) cukup banyak, tetapi syukurlah jurusan ini tetap terjalani. Walau indeks yang katanya prestasi turun, tapi koneksi dan pengalaman dari lapangan bertambah. Syukrulah. Banyak pengalaman dari kelas yang bisa diterapkan atau diarankan pada kegiatan luar kelas. Dari berdiskusi tentang isu kenegaraan sampai membersihkan kamar kosan, dari berbicara dengan petinggi universitas tentang masalah mahasiswa, sampai berbicara masalah percintaan sejawat.

Sudahlah, saya akhiri saja tulisan yang mungkin jelas menurut saya ini. Sebenernya saya bingung mau ngasih judul apa, karena yang ada di playlist saya hanay ada band Naif, itulah judul tulisan saya. Jika ada salah salah kata, tolong dimaafkan. Jika ada kebenaran dalam kata, itu hanya datang dari Tuhan semata. Good day!

Suka itu…Yang bisa buatku lupa waktuCinta itu…Pemecah konsentrasi tanpa kutungguKubilang sumpahTapi janji saja ku sudah lelahKupercaya kan selaluNyatanya cuma angin laluKucari kulengkapi, kudapati aberasiKu jadi pembabil, segera ku dicebilMana aturan?Atau jangan-jangan, hati bukan ilmu pasti?Sudah banyak ku dilubangiNgos-ngosan ku dengan teka-tekiLenyap saja ku dalam helaMenjelma melayang sendiri, layaknya BromodedaliBerapi-api dijunjung tinggiAh…sepertinya asyik sekali

Naif

Ogah Sayang

Silahkan kirimkan tulisan curhat atau karya Anda untuk ditampilkan pada rubrik ini, ke alamat [email protected]

Page 7: Sibiru Edisi 5

7

mungkin tak satu minggupun terlewatkan untuk apresiasi, kritik, saran dan analisis isi buku.

Dari semester tiga kami diajarkan untuk kritis dalam mengkritik, memberikan saran, dan menganalisa isi buku hingga majalah dan koran yang bahkan mungkin sudah naik cetak berapa

belasan kali. Karya-karya seperti Dandhy Dwi Laksono, Septiawan Santana K, Ashadi Siregar dkk, R. Fadli, As. Haris Sumadiria, Zulhasril Nasir, Andreas Harsono. Karya wartawan berita khas di media cetak, bahkan tulisan dosen habis kami libas setiap minggunya.

Setiap kata diperhatikan dengan baik, dengan seksama, kritis dan penuh argumen. Bagaimana penggunaan diksi? Apakah sudah memenuhi syarat penulisan judul yang baik? Apakah polanya sudah benar? Dan lain sebagainya lah. Kekuatan nilai berbanding lurus dengan kekuatan argumen Anda. Kurang lebih seperti itu.

Lama-kelamaan perasaan jenuh mulai muncul. Jenuh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah jemu; bosan: mereka sudah – dengan pekerjaan yang selalu sama sepanjang tahun. Sedangkan kejenuhan adalah kejemuan, kepadatan, keadaan yang menggambarkan kenaikan penyebab tanpa menimbulkan kenaikan hasil, dan kekenyangan. Menurut

(Sambungan hal.1)

saya hal ini wajar dialami manusia, karena tidak semua orang bisa bertahan dalam suatu suasana yang sama setiap harinya. Manusia diciptakan emosi dalam dirinya, sehingga mereka merasakan semua hal dan mencari kebahagiaan.

Mungkin saya juga bisa mengatakan “udah ga asik!” Dengan keadaan seperti itu bagaimana saya bisa mengerjakan tugas yang menurut saya memang berguna untuk dikerjakan. Namun karena waktu yang mepet setiap minggunya, saya akan lebih memilih tidak mengerjakannya, karena kuliah tidak hanya di satu mata kuliah saja. Mata kuliah lainnya juga penting menurut saya.

Dengan segala pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki pengajar seharusnya bisa membuat proses belajar mengajar menjadi lebih menarik. Saya sebagai mahasiswa dituntut untuk kreatif, apa salahnya pengajar juga ikut kreatif bersama kami setidaknya merubah rutinitas yang membuat jenuh tadi.Sebuah kata mutiara:Saya tidak mempersalahkan ilmu apa yang diberikanTapi rutinitas yang diberikanuntuk memberikan ilmu itu kepada saya

Udah bang! Bunuh ajalah adek bang! Maafkan adek yang telah lancang, namun ini hanyalah curhatan seorang mahasiswa yang ingin pintar tanpa harus ada tekanan. Curhatan seorang mahasiswa yang menginginkan karya yang maksimal, seorang mahasiswa yang ingin menjadi jurnalis andal di lapangan, dan jago menulis.

pastinya berpengaruh terhadap perolehan nilai akhir. Beruntung, orang tua mengerti dan memberi wejangan-wejangan ala orang tua ke anaknya.Konsultasi juga saya lancarkan ke dosen, dosen kan juga pernah kuliah “harusnya” mengerti setiap permasalahan perkuliahan. Saya sampaikan keluhan saya kepada dosen yang saya anggap dekat dan bisa diajak curhat. Saya bilang kalau saya merasa jenuh dengan segala kegiatan di kampus. Walhasil, sedikit terjawablah teka-teki tersebut.“Apa aja hal yang menurut kamu bisa menyenangkan dan menyegarkan pikiran kamu? Lakukan saja, apapun bentuk halnya silahkan kamu jalanin. Silahkan gunakan jatah bolos, atau kalau kamu rela untuk ‘menyelesaikan’ lebih awal kuliah sebelum waktunya, silahkan saja. Kamu pergi sejauh-jauhnya dari dunia kampus, lupakan semua yang terkait kegiatan kampus buat sementara. Tapi dengan satu catatan, kamu balik lagi ke kampus dengan pikiran fresh dan siap lagi menjalankan kuliah,” saurna Pak Dosen.Saya coba jalani saran Pak Dosen, tetapi saya tetap masuk kuliah

dengan setengah hati. Waktu itu, yang terpenting saya tidak perlu mengulang tahun depan. Nilai apapun yang saya peroleh, setidaknya saya lulus mata kuliah pada semester itu, meskipun saya sadar hasilnya tidak maksimal. Saya juga sudah membicarakan kepada orang tua mengenai nilai tidak memuaskan yang saya akan peroleh di akhir semester empat. Benar saja, saya memborong nilai C pada semester itu dan mengharuskan saya untuk memperbaiki nilai di tahun depan, dan melalui Semester Alih Tahun (SAT) saat liburan.Menurut saya, kejenuhan dalam kuliah merupakan fase tak terelakan bagi setiap mahasiswa. Tingkat kebosanan setiap mahasiswa juga berbeda-beda kadarnya. Sudah menjadi keharusan mahasiswa mengatur sedemikian rupa kejenuhan dalam kuliah. Saya yakin teman-teman mahasiswa punya cara-cara tersendiri dalam mengatur kejenuhannya. Mau bagaimanapun kewajiban utama mahasiswa adalah kuliah. Mengutip kalimat yang acap dijumpai di berbagai media sosial, “Kuliah memang susah, tetapi lebih susah membiayai kuliah.” Saya kira cukup, maaf jika tidak membantu. Kritik, saran, dan konsultasi bisa via line: panjiarifs.

Jenuh(Sambungan hal.1)

Udah bang! Bunuh ajalah adek bang!

Ogie

Page 8: Sibiru Edisi 5

8