Serambi Akademica (Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora ... · Aklimatisasi Mikroalga Hijau...
Transcript of Serambi Akademica (Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora ... · Aklimatisasi Mikroalga Hijau...
Serambi Akademica Vol I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
Serambi Akademica (Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora)
Pembina : Rektor USM Banda Aceh
Pengelola/Penerbit : Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat
Dewan Redaksi
Ketua : Dr. Razali Abdullah, M.Pd
Sekretaris : Drs. Muhammad Ridhwan, M.Pd
Anggota : Drs. Muhammad Isa, M.Pd
Drs. Tarmizi Rajab, M.Pd
Ir. Lukmanul Hakim, M.P
Dra. Ismawirna, M.Pd.
Drs. Abubakar A Jalil, M.Si
Irhamni, ST, M.T.
Nasir, S.E., M.Si
Tata Usaha : Drs. Anwar, M.Pd
Mitra Bestari : Dr. Eko Budi Minarno, M.Pd. (UIN Malang)
Dr. Muhammad Ali Sarong (Unsyiah)
Dr. Zainal Abidin, M.Pd. (IAIN Ar Raniry)
Dr. Saiman, M.Pd (UNSAM Langsa)
Dr. Evi Apriana Usman, M.Pd (USM)
Sirkulasi : Drs. Burhanuddin A.G., M.Pd
Alamat Redaksi : Kampus Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh
Jalan Tgk. Imum Lueng Bata Bathoh Banda Aceh
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
Daftar Isi
Deiksis dalam Tuturan Anak Usia 3 – 5 Tahun?
Oleh : M. Usman
Kemampuan dan Disiplin Guru Sertifikasi pada SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh
Oleh : Syarifuddin
Pengajaran Matematik dengan Pendekatan Pengajaran Mengikuti Konteks di
Sekolah Vocational
Oleh : Murni, Mohd Uzi Dollah, Noor Shah Saad
Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Peningkatan Hasil
Belajar Biologi Siswa SMA Kota Banda Aceh
Oleh : Musriadi, Djufri, Muhibuddin
Kurikulum Integratif pada Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar
Oleh : Nurahimah Bt Mohd Yusoff , Ibrahim
Aklimatisasi Mikroalga Hijau dalam Limbah Peternakan untuk Meningkatkan
Penyisihan Nutrien dan Produksi Lipida
Oleh : Irhamni, Elvitriana, Vera Viena
Implementasi Manajemen Bebasis Sekolah di SMA se Kabupaten Aceh Utara
Oleh : Jalaluddin, Munawar, Zainal Abidin Suwarja
Pengaruh Pemberian Urine Domba (Capra sp) dan Interval waktu Pemberian
terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum)
Oleh : Nurmaya Sari, M. Ridhwan, Anita Noviyanti
Pengaruh Prestasi Microteaching terhadap Prestasi PPL Mahasiswa Pendidikan
Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Oleh : Rita Hermina, Anwar
1 – 11
12 – 21
22 – 32
33 - 46
47 - 55
56 – 64
65 - 71
72 – 80
81 - 89
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
1
DEIKSIS DALAM TUTURAN ANAK USIA 3-5 TAHUN
M. Usman
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya keunikan pada penggunaan deiksis oleh anak
usia 3-5 tahun. Permasalahan dalam penelitian ini di antaranya; 1) Bentuk lingual deiksis
apa saja yang muncul pada tuturan anak usia 3-5 tahun?; 2) Maksud deiksis apa saja yang
terbentuk pada tuturan anak usia 3-5 tahun; 3) Deiksis mana saja yang sering muncul
pada tuturan anak usia 3-5 tahun; 4) Bagaimana kekhasan deiksis pada tuturan anak usia
3-5 tahun? Yang menjadi pembahasan ini di antaranya; menemukan pengunaan deiksis
oleh anak, mendeskripsikan maksud yang terkandung dalam deiksis, menunjukan deiksis
yang sering muncul. dan mendeskripsikan kekhasan penggunaan deiksis oleh anak. Dari
hasil penelitian ini, pada usia tersebut penggunaan deiksis oleh seorang anak masih
sangat terbatas. Terbukti kemunculan deiksis yang cendrung sering terjadi pengulangan.
Penggunaan deiksis waktu tampaknya menjadi deiksis yang jarang digunakan, Untuk menunjukan waktu, seorang anak cenderung menggunakan kata-kata yang terkadang
tidak dimengerti. Pada deiksis persona, seorang anak lebih sering menggunakan leksem
keakraban. Sedangkan penggunaan deiksis ruang, bentuk kata. nomina mempermudah seorang anak dalam menunjukan sebuah tempat. Temuan penggunaan deiksis dalam
tuturan anak usia 3-5 tahun menjadi salah satu kekhasan tuturan anak.
Kata Kunci: Dieksis, Tuturan Anak
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya, bahasa adalah bunyi-bunyi yang bermakna (Pateda, 1994). Bahasa
merupakan media bagi masusia untuk mencurahkan apa yang ada dalam perasaannya.
Untuk mendapatkan kemampuan berbahasa, seseorang akan melalui tahapan-tahapan
penting dalam pemerolehan bahasanya.
Pemerolehan bahasa (Language acquisition) dimulai sejak kita lahir. Bayi berusia
0-3 bulan sudah mampu berbahasa melalui crying atau menangis. Kemudian. bayi berusia
3 – 9 bulan sudah mampu berceloteh atau babling, anak berusia 9-14 bulan mampu menyimpan kata dalam memorinya atau lebih dikenal sebagai one word atau holofrasis,
anak berusia 14 bulan sampai 2 tahun mampu menuturkan simple sentences artinya
mampu berujar lebih dari satu kata yaitu dua kata atau lebih. Anak usia 2 - 3 tahun mulai menghasilkan ujaran yang dapat digolongkan sebagai ujaran ganda atau multiple word
utterences. Ketika anak di atas 3 tahun, mereka akan mampu mengucapkan ujaran-ujaran
yang kompleks dan disebut sebagai Complex word. Tahapan yang dilewati oleh manusia
dalam memperoleh bahasa menyimpan keunikan-keunikan yang khas dan akan dialami
oleh setiap individu. Kekhasan yang muncul pun akan beragam. Pada umumnya
kekhasan yang muncul adalah berupa ujaran-ujaran yang unik, ini terjadi pada usia balita
ketika seorang anak mampu mengutarakan kalimat yang kompleks atau disebut pula
dengan tahapan complex word (Yudi Cahyono,1995 : 289). Anak bertutur sesuai dengan
perkembangannya dan setiap tahapan akan dilalui. Sebuah tuturan sering kali mengandung unsur deiksis. Deiksis menurut pandangan
tradisional adalah tuturan luar. Menurut pandangan ini, yang menjadi pusat orientasi
deiksis senantiasa pembicara yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri.
Deiksis adalah kata-kata yang memibki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah
(Wijana. 1998: 6). Selain itu, deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakikat tertentu
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
2
dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh
penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan (Yudi Cahyono, 1995: 217).
Berdasarkan hal di atas, peneliti mencoba meneliti deiksis yang muncul dari tuturan anak (TA) usia 3 - 5 tahun. Pemilihan anak usia 3-5 tahun ini melalui
pertimbangan bahwa usia 3 - 5 tahun merupakan masa perkembangan kognisi anak. Selain
itu, pada usia ± 3,5 tahun si anak boleh dikatakan sudah mampu menguasai ("tata bahasa") bahasa ibunya (Sumarsono. 2002:136). Dalam bukunya, Kaswanti Purwo (1984: 4)
menyebutkan bahwa seorang anak ternyata mengalami kesukaran dalam mempergunakan
kata-kata deiksis. Referen kata-kata deiksis yang berganti-ganti atau berpindah-pindah itu
bagi seorang anak sangat membingungkan. Hal ini menyebabkan terkadang ujaran-ujaran
yang muncul dari anak usia 3-5 tahun memiliki kekhasan atau keunikan seperti yang
terdapat pada contoh berikut.
(1) Tante : "Ima teh bobo di mana?"
(2) Ima : "Di Teteh." -
Percakapan antara seorang tante dan seorang anak ini memunculkan kekhasan penggunaan deiksis persona (DP) untuk menunjukkan deiksis ruang (DR). Dalam
ujarannya, si anak menjawab sebuah tempat dengan menggunakan DP untuk
menunjukkan sebuah tempat. Walaupun demikian, tujuan yang ingin dicapai anak untuk menjawab pertanyaan tantenya sudah cukup tercapai. Hal demikianlah yang menjadi
ketertarikan untuk diteliti. Penelitian ini akan mencoba meneliti penggunaan deiksis waktu
(DW), DP (deiksis waktu), dan DR (deiksis waktu) yang terdapat pada ujaran anak usia 3-5 tahun.
Permasalahan mengenai pengunaan deiksis dalam tuturan anak memang sangat
menarik untuk dikaji. Pengetahuan anak mengenai kosa kata yang masih terbatas membuat
tuturan yang dihasilkan pun masih terbatas. Hal ini mempengaruhi pada penggunaan
deiksis yang memiliki referen berubah-ubah sehingga membuat seorang anak akan
mengalami kesulitan untuk menggunakan kata-kata deiksis. Oleh karena itu, peneliti akan meneliti mengenai penggunaan deiksis dalam tuturan anak agar mampu memotret gejala
bahasa yang ada pada anak usia 3 – 5 tahun. :
Sesuai dengan latar belakang masalah diatas, identifikasi masalah yang terdapat pada kajian ini adalah: 1) ditemukannya bentuk lingual DW (deiksis waktu). DP (Deilsis
persona), DR (deiksis ruang) pada TA usia 3-5 tahun; 2) terdapat kekhasan penggunaan
deiksis pada TA usia 3-5 tahun; 3) terdapat hubungan antara penggunaan deiksis pada TA (tuturan anak) usia 3-5 tahun dan pemerolehan bahasanya; 4) terdapat hubungan antara
penggunaan deiksis dan perkembangan psikologis seseorang.
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, kajian ini akan dibatasi pada hal-hal
berikut: 1) penelitian ini akan ditekankan pada penggunaan deiksis pada tuturan anak usia
3-5 tahun; 2) deiksis yang dikaji adalah DW, DP. dan DR; 3) data yang digunakan adalah
data lisan yang diambil secara sembunyi-sembunyi yaitu ketika si anak beraktivitas; 4)
pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan: 1) bentuk lingual DW, DP, dan DR pada TA usia 3-5 tahun; 2) maksud
dari penggunaan DW, DP, dan DR pada TA usia 3-5 tahun; 3) DW, DP, dan DR yang
sering digunakan oleh anak usia 3-5 tahun; 4) kekhasan penggunaan deiksis pada TA usia
3-5 tahun.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
3
METODE PENELITIAN Dalam kajian ini pendekatan yang dipilih yaitu pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif, yang menggambarkan hasil dari pengumpulan data apa adanya. Metode penyelidikan deskriptif mencakup berbagai teknik deskriptif diantaranya penyelidikan
yang menuturkan. menganalisis, dan mengklasifikasi.
Data dan Sumber Data Sumber data yang terdapat dalam penelitian ini adaiah TA (tuturan anak) usia 3-5
tahun. Anak usia 3-5 tahun yang menjadi responden berjumlah 5 orang. Penelitian ini
melibatkan dua orang anak dengan usia 3 tahun, satu anak berusia 4 tahun. dan dua anak
dengan usia 5 tahun. Terdapat dua data yang digunakan dalam penelitian ini, data primer
yang akan digunakan adalah TA usia 3-5 tahun yang mengandung unsur deiksis dan data
sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adaiah catatan selama penelitian
berlangsung. Data yang digunakan adalah TA (tuturan anak) yang mengandung unsur
deiksis.
Teknik Pengumpulan / Pengolahan Data Teknik pengumpul data yang digunakan mengenai penggunaan deiksis pada TA
usia 3-5 tahun ini adalah teknik rekam dan catat. Dengan demikian diperlukan rekaman
setiap tnturan yang keluar dari subjek serta mencatat semua kejadian yang dianggap penting saat pengambilan data berlangsung.
Melalui metode penelitian deskriptif di atas, maka kita harus menempuh beberapa
langkah untuk memilih data yang akurat hingga menganalisisnya. Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah: 1) mentranskrip data yang telah didapat, 2) mereduksi data
yang telah ditranskrip atau dikumpulkan, 2) mengklasifikasikan data yang telah direduksi,
3) menganalisis data.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu data yang memuat TA
(tuturan anak) usia 3-5 tahun yang mengandung deiksis. Penggunaan kartu data ini
dilakukan sebagai upaya untuk mempermudah dalam menganalisis data.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1.Deskripsi Data
Setelah menempuh penelitian yang bertujuan menemukan penggunaan deiksis pada
tuturan anak usia 3-5 tahun, akhirnya dapat ditemukan beberapa bentuk deiksis yang dipakai oleh anak di usia tersebut. Bentuk-bentuk deiksis yang muncul, keberagamannya
sangat ditentukan dari kosakata yang dikuasai oleh anak tersebut.
Menurut hasil penelitian, deiksis yang digunakan oleh anak usia 3-5 tahun memang tidak terlalu beragam dan masih terbatas pada apa yang mereka mengerti dan
pahami saja. Maksud yang dimunculkan pun terkadang tidak sesuai dengan makna
sebenarnya dari bentuk deiksis tersebut. Berikut analisis dan maksud yang muncul dari
bentuk-bentuk lingual DW pada TA usia 3-5 tahun di Jalan Percetakan Negara X-B No. 6
Blok C Rawasari, Jakarta Pusat.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
4
DW 1
R1 : “Ini punya orang?”
Tante : “Iya.” R1 : “Teteh.”
Tante : “Iya, punya teteh yang kemarin.”
R1 : “Yang kemarin?”
Konteks: Pada saat penelitian berlangsung, peneliti hanya mengamati dari dekat tanpa
terlibat langsung dalam percakapan tersebut. Pada saat percakapan, keadaan R1 sedang
berkumpul dan bermain bersama beberapa anggota keluarganya, namun yang terlibat
dalam percakapan ini hanya R1 dan Tante R1.
Analisis: Dw yang muncul pada tuturan ini adalah kemarin. DW kemarin yang dituturkan
oleh R1 maksud yang ingin dicapainya memang sudah sesuai. DW ini digunakan untuk
menunjukkan waktu satu hari sebelum hari pada saat tuturan ini dituturkan. Namun,
munculnya DW yang dituturkan R1 merupakan stimulus dari tuturan Tantenya yang pertama kali menuturkan DW kemarin. Stimulus ini memungkinkan RI mengikuti tuturan
yang dituturkan oleh Tantenya. Selain R2 yang menggunakan DW ini, beberapa
responden lain pun pernah menggunakan DW yang sama.
DW 2
R1 : “Ibu yang itu Bu, yang Gasibu.” Ibu : “Tegal Lega.”
R1 : “Tegal Lega.”
Ibu : “Kayak pernah ke Gasibu.”
R1 : “Pernah, jam sepuluh tea.”
Konteks: Pada saat penelitian berlangsung, peneliti hanya mengamati dari dekat tanpa terlibat langsung dalam percakapan tersebut. Pada saat percakapan, keadaan R1 sedang
berkumpul dan bermain bersama keluarganya,kali ini terlibat dalam percakapan bersama
R1 adalah Ibu R1. Analisis: DW yang muncul pada tuturan ini adalah jam sepuluh. Melihat dari percakapan
antara R1 dan Ibu R1, maksud yang ingin dicapai dari DW yang dituturkan R1 ini adalah
waktu yang telah lampau dan tidak jelas tepatnya keadaan tersebut berlangsung. Selain R2 yang menggunakan DW ini, beberapa responden lain pun pernah menggunakan DW yang
sama.
DW 3
Rl : "Ikan mana, Bu?"
Ibu : "Itu di sana."
Rl : "Mana?"
Ibu : "Apa? Belinya. tadikan Ibu bilang di Tegal Lega." Rl : "Oh. di Tegal Lega. Malem ya, Bu!"
Ibu : "Iya malem."
Konteks: Percakapan ini berlangsung ketika Ibu Rl sedang menyuapi makanan pada R1.
Peneliti tidak terlibat langsung dalam penelitian ini, hanya mengamati dari dekat saja
walaupun terkadang terlibat percakapan dengan intensitas yang tidak banyak.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
5
Analisis: DW yang muncul pada tuturan ini adalah malem. Sama halnya dengan DW yang
digunakan pada tuturan sebelumnya, DW malem yang digunakan oleh R1ingin
menjelaskan waktu yang telah lampau dan tidak jelas tepatnya keadaan tersebut berlangsung. Selain R2 yang menggunakan DW ini, beberapa responden lain pun pemah
menggunakan DW yang sama.
DW4
R2 : "Aku teh pengen sekolah TK, sokr
Tante R2 : "Fi, main yuk!"
R2 : "Ayo. sekarang kemarin? Aa. ayo main."
Tante R2 : "Bodor kamu mah."
Konteks: Percakapan berlangsung antara R2 dan Tantenya, namun pada saat itu pun
terdapat beberapa anggota keluarga lainnya. Peneliti berada di tengah-tengah situasi
tersebut tetapi tidak terlibat langsung dalam percakapan. Sifat pemalu R2 yang membuat
peneliti tidak mampu berinteraksi terlalu banyak. peneliti hanya mengamati dari dekat.
Percakapan ini berlangusng ketika R2, bermain dan makan.
Analisis: Terdapat dua buah penggunaan DW. DW yang ditemukan adalah sekarang dan
kemarin. Kedua DW yang digunakan oleh R2 pada saat itu merupakan pilihan kepada
mitra tuturnya. Tawaran bermam, apakah bermainnya akan dilaksanakan sekarang atau kemarin0. Penggunaan DW sekarang sudah sesuai, namun untuk penggunaan kemarin
sebagai lawan kata dari sekarang dirasa kurang sesuai. DW yang dirasa sesuai
menggantikan kemarin adalah DW nanti. Hal "ini sebenarnya tidak mengubah maksud yang ingin dicapai, karena pada akhirnya antara R2 sebagai penutur dapat menvampaikan
maksudnya kepada mitra tutur. Selain R2 yang menggunakan DW ini, beberapa
responden lain pun pernah menggunakan DW yang sama.
DW5
Peneliti: "Ma, kapan datang ke sini?"
R3 : "Sama mamah." Peneliti : "Kapan?"
R3 : "Jadi."
Peneliti : "Kapan tadi teh.7
R3 :"Sore."
Konteks: Percakapan ini berlangsung di rumah peneliti, ketika R3 tengah bermain bersama
peneliti. Analisis: DW yang muncul pada tuturan di atas adalah tadi dan sore. Untuk memunculkan
penggunaan deiksis pada responden temtama R3 ini, peneliti memberikan stimulus
berupa pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya akan memunculkan deiksis. Maksud yang ingin disampaikan oleh R3 dengan penggunaan DW tadi dan sore adalah
menyatakan waktu yang telah lampau. Namun, DW ini sering digunakan R3 untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan waktu. Dalam beberapa
pertanyaan meng^nai waktu,
R3 tetap akan menjawabnya dengan DW tadi dan sore. Selain R3 yang
mengguna-kan DW ini. beberapa responden lain pun pernah menggunakan DW yang
sama.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
6
DP1
R1 :”Ini punya orang?
Tante R1 :”Iya” R1 :”Teteh”
Tante R1 :”Iya, punya Teteh yang kemrin”
Konteks: Percakapan terjadi antara Rl, Tantenya. dan Ibunya. Ketika percakapan
berlangsung, keadaan mereka sedang bermain. Saat pengambilan data ini, peneliti tidak
terlibat langsung dan hanya mengamati dari jarak dekat.
Analisis: Terdapat dua buah pengunaan DP. DP yang pertama adalah orang,
maksud yang terbentuk dari DP ini adalah orang lain yang berkedudukan sebagai orang
ketiga tunggal. Hal ini dipertegas dengan tuturan berikutnya yaitu DP kedua yaitu Teteh.
Teteh adalah panggilan untuk kakak perempuan, karena posisinya pada saat itu orang yang
dibincangkan tidak berada pada saat tuturan dituturkan, maka kedudukannya sebagai orang
ketiga tunggal.
DP2 Rl : "'Yang kemarin? Aya-aya, Dede mah manyun. Uda pergi jauh."
Ibu Rl : "Pergi ke mana?"
Rl :"Jauh."
Konteks: Percakapan terjadi antara Rl dan Ibu Rl. Peneliti memang tidak terlibat langsung
dalam percakapan ini, namun peneliti tetap mengamati dari jarak dekat. Saat percakapan
ini berlangsung, situasi Rl dalam keadaan bermain dan Ibu Rl ikut menemani.
Analisis: DP yang ditemukan pada tuturan ini adalah Dede. Dalam tuturan ini DP
Dede menunjukan kata ganti orang pertama tunggal. Rl lebih sering dipanggil Dede oleh
seluruh anggota keluarga daripada dipanggil dengan nama aslinya. Kebiasaan ini
mengakibatkan Rl pun akan selalu menyebutkan DP ini untuk menunjuk dirinya. Namun
ketika Rl sedang berkomunikasi dengan orang lain terutama dengan anak seumurnya. Rl akan menggunakan nama sendiri sebagai panggilannya. Dalam beberapa kesempatan saat
melakukan penelitian, DP ini sangat sering muncul dibandingkan dengan penggunaan
nama untuk menunjukan DP.
DP3 Ibu Rl : "Dede siapa, sih?" Rl : "Punya Dede, punya aku."
Konteks: Percakapan terjadi antara Rl dan Ibu Rl. Peneliti memang tidak terlibat langsung
dalam percakapan ini, namun peneliti tetap mengamati dari jarak dekat. Saat percakapan
ini berlangsung, situasi Rl dalam keadaan bermain dan Ibu Rl ikut menemani.
Analisis: Terdapat dua buah penggunaan DP. Leksem Dede telah dijelaskan pada
analisis sebelumnya. Laksem aku digunakan Rl sebagai kata ganti pertama tunggal.
Leksem ini pun sempat digunakan beberapa kali ketika penelitian ini berlangsung.
Biasanya leksem ini muncul apabila Rl tengah bermanja-manja atau terkadang ketika dia
ingin mempertegas sesuatu. Misalnya untuk mempertegas hak kepemilikan barang yang
dimilikinya.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
7
DP4 Ibu Rl : "Ke sini. De!"
Rl : "Gak mau, Ate mana? Dadah, mau pergi. Mah, mau ipin upin. Teteh sini. Ate ngomong."
Konteks: Percakapan terjadi antara Rl dan Ibu Rl. Peneliti memang tidak terlibat langsung dalam percakapan ini, namun peneliti tetap mengamati dari jarak dekat. Saat percakapan
ini berlangsung, situasi Rl dalam keadaan bermain dan Ibu Rl.
Analisis: Dalam tuturan ini ditemukan beberapa penggunaan DP. Leksem Ate
maksudnya digunakan R1 sebagai panggilan kepada Tantenya, leksem Ate /atƏ/ diambil
dari leksem Tante, digunakan sebagai kata ganti orang kedua tunggal. Menurut informasi
yang diberikan oleh salah satu anggota keluarganya, Rl memang pada awalnya sudah
dibiasakan untuk menggunakan DP ini sebagai panggilan untuk saudara kandung dari ibu
atau Ayahnya. Selain itu, leksem lain yang ditemukan adalah mah. Leksem ini digunakan
Rl sebagai penggilan untuk neneknya, penggilan ini terbentuk dari pengamatan Rl yang sering mendengarkan Ibu kandungnya menggunakan leksem mah untuk memanggil
neneknya. Namun, singkatan dari sebuah leksem apabila tidak diikuti oleh penggunaan
nama diri maka tidak dapat dikatakan sebagai deiksis. DP lain yang ditemukan adalah teteh yang telah dijelaskan pada analisis sebelumnya.
DP 5 Rl : '"Mau minum."
Ayah Rl: "Minum air biasa.ya! Jangan air manis."
Rl : "Kulkas, Bu! Dapur owe-owe"
Ibu Rl' :"Hayu."
Rl : "Ibu mana balon?"
Konteks: Percakapan terjadi antara Rl, Ayahnya. dan Ibunya. Ketika percakapan
berlangsung keadaan mereka sedang berkumpul. Terkadang ada beberapa anggota
keluarga yang ikut serta dalam percakapan ini. namun intensitasnya tidak terlalu banyak.
Dari hasil analisis mengenai DP pada tuturan anak usia 3-5 tahun, DP yang
ditemukan sangat beragam. Setiap penggunaan penunjuk persona, setiap responden
menunjukan fenomena yang serupa. Meskipun apa yang mereka tuturkan berbeda, namun
pada dasarnya mereka menggunan DP yang serupa dan dengan kekhasannya masing-
masing. Berikut maksud dan analisis yang muncul dari penggunaan DR pada tuturan anak
usia 3-5 tahun di Jalan Percetakan Negara X-B No. 6 Blok C Rawasari, Jakarta Pusat
DR1
Ibu R1 : "Pergi kemana?"
Rl :"Jauh."
Ibu R1 : "Jauh kemana?"
Rl : "Ke Jogja (pusat perbelanjaan). terus ke Bandung."
Konteks: Percakapan terjadi antara Rl, Tantenya. dan Ibunya. Ketika percakapan
berlangsung keadaan mereka sedang bermain. Analisis: Pada tuturan di atas. Rl menggunakan bentuk nomina untuk menyatakan
DR. Laksem yang berupa nomina baru dapat menjadi DR apabila dirangkaikan dengan
preposisi hal ruang (Kaswanti Purwo, 1984: 37). Dalam tuturan Rl, preposisi hal ruang
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
8
melekat pada nomina. sehingga leksem Jogja dan Bandung dapat dijadikan penunjuk
ruang (DR) karena dirangkaikan dengan preposisi hal ruang yaitu ke. Maksud dari leksem
Jogja yang dituturkan Rl adalah pusat perbelanjaan yang biasa R1 kunjungi bersama orang tuanya, sedangkan DR ke Jakarta. Rl tuturkan untuk menunjukan sebuah tempat yang ia
ketahui dari tuturan orang-orang disekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari tuturan berikutnya
yang menyatakan bahwa kota Jakarta merupakan sebuah kampung. Berikut tuturan yang melengkapi tuturan di atas.
Ibu Rl : "Kenapa Ade tadi tidurnya sebentar? Eh. Jakarta teh di mana?"
R1 : "Di kampung."
Tuturan yang digarisbawahi pun bersifat ruang karena bentuk nomina diikuti oleh
preposisi hal ruang.
DR2
Rl : "Susu, Bikinin susu Dede haus susu. Ayah kemana? Maa ke bawah?" Ayah Rl : "lya, mau pergi."
Rl : "Naik motor. Yah?"
Konteks: Percakapan terjadi antara Rl. Ayahnya. dan Ibunya. Ketika percakapan
berlangsung keadaan mereka sedang berkumpul.
Analisis: Maksud yang ingin disampaikan dari penunjuk ruang dia atas adalah ruangan yang berada di bawah, karena pada saat tuturan berlangsung Rl dan Ayahnya
tengah berada di lantai dua.
DR3
Ibu Rl : "Balon apa, Sa?"
Rl : "Ibu, itu Bu yang di Gasibu." Ibu Rl : "Tegal Lega."
Rl : 'Tegal Lega."
Konteks: Percakapan terjadi antara Rl. Ayahnya. dan Ibuiiya. Ketika percakapan
berlangsung keadaan mereka sedang berkumpul.
Analisis: Penggunaan nomina untuk menunjukan hal ruang digunakan kembali oleh
Rl pada tuturan ini. Nomina ini data menjadi penunjuk ruang saat dirangkaikan
dengan preposisi hal ruang seperti ke. Dapat dilihat dari tuturan Rl yang menuturkan ke Gasibu. Lain halnya dengan nomina Tegal Lega yang tidak dirangkaikan dengan preposisi
hal ruang maka leksem ini tidak dapat dikatakan sebagai DR. Dalam tuturan lain laksem
yang sama yaitu Tegal Lega dapat dikatakan DR karena dirangkaikan dengan preposisi hal ruang, berikut tuturannya.
Ibu Rl : Apa? Belinya? Tadi kan udah bilang di Tegal Lega."
Rl : "Oh, di Tegal Lega malem ya bu."
DR4
Ibu R2 : “Fi, Ali ke mana?"
R2 : "Ke mesjid. Itu naon?"
Tante R2 : "Jangan yah."
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
9
Konteks. Percakapan terjadi antara R2, Tantenya, dan Ibunya. Ketika percakapan
berlangsung keadaan mareka sedang bermain dan makan.
Analisis:Sama halnya dengan penggunaan DR sebelumnya, nomina sering digunakan sebagai penunjuk hal ruang dengan penggunaan preposisi hal ruang. Seperti
pada tuturan di atas yang mengandung penunjuk ruang ke mesjid. DR ke mesjid yang
dimaksud adalah untuk menunjukan keberadaan kakaknva yang ditanyakan oleh Tantenya.
DR5 Ibu R2 : "Sini, Afi nya."
R2 :"Mau jajan."
Tante R2: "Mau jajan di mana?"
R2 : "Di warung."
Konteks: Percakapan terjadi antara R2, Tantenya, dan Ibunya. Ketika percakapan
berlangsung keadaan mereka sedang bermain dan makan.
Analisis: Sama halnya dengan penggunaan DR sebelumnya, nomina sering digunakan
sebagai penunjuk hal ruang tentunya dengan penggunaan preposisi hal ruang. Seperti pada tuturan di atas yang mengandung penunjuk ruang di warung. DR di warung yang
dimaksud adalah untuk menunjukan tempat yang ingin dituju oleh R2.
Deiksis yang Sering Digunakan pada Tuturan Anak Usia 3-5 Tahun di Jalan
Percetakan Negara X-B No. 6 Blok C Rawasari, Jakarta Pusat
Berdasarkan hasil pendeskripsian dan analisis data pada penelitian ini, beberapa jenis deiksis mendominasi dalam penggunaannya. Peneliti menemukan kurang lebih 15
situasi tuturan, dalam setiap tuturan tersebut mengandung satu atau bahkan lebih unsur
deiksis. Deiksis yang ditemukan pun beragam jenisnya, seperti DW. DP, DR. dan bahkan
deiksis sosial. Deiksis yang menjadi objek penelitian adalah DW, DP, dan DR. Dari
ketiga jenis deiksis yang terdapat pada TA usia 3-5 tahun. DP merupakan jenis deiksis
yang cukup sering digunakan. Dari kurang lebih 54 deiksis yang ditemukan, DP termasuk
deiksis yang sering muncul. Berikut jumlah jenis deiksis yang sering muncul: 1) DW berjumlah 14 buah" 2) DP berjumlah 20 dan 3) DR yang berjumlah 20 buah.
Setiap jenis deiksis di atas, banyak leksem yang digunakan baik itu sebagai
penunjuk waktu, penunjuk persona, dan penunjuk ruang. Berikut bentuk-bentuk lingual
DW yang sering digunakan pada tuturan anak usia 3-5 tahun di Jalan Percetakan Negara
X-B No. 6 Blok C Rawasari, Jakarta Pusat
Menurut temuan penggunaan DW yang ditemukan pada TA (tuturan anak) usia 3-5,
leksem penunjuk waktu kemarin dan tadi menjadi leksem yang sering digunakan.
Persentase 16% pada masing-masing leksem membuktikan bahwa dua leksem tersebut
merupakan leksem yang lebih sering digunakan. Menurut temuan penggunaan DP yang ditemukan pada TA usia 3-5, leksem
kekerabatan Ibu, Ayah, Kakak,dm Iain-lain merupakan leksem yang sering digunakan.
Jumlah 74 leksem kekerabatan yang ditemukan, merupakan jumlah keseluruhan dari macam-macam leksem kekerabatan yang digunakan. Leksem ini sering digunakan karena
dalam kegiatannya sehari-hari anak tidak akan lepas dari orang-orang yang berada
disekitarnya terutama anggota keluarga. Faktor inilah yang membuat leksem kekerabatan lebih sering digunakan oleh anak usia 3-5 tahun karena pada dasamya mereka masih
sangat tergantung pada anggota keluarga lainnva.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
10
TA usia 3-5, laksem rumahlah yang sering digunakan. Dari 38 buah leksem,
leksem rumah ditemukan 12 kali penggunaannya. Pada dasamya DR yang digunakan oleh
anak usia 3-5 tahun lebih sering memunculkan kelas kata nomina yang sebenamya tidak dapat digunakan sebagai penunjuk ruang. Namun, kelas kata nomina baru dapat merjadi
penunjuk ruang apabila dirangkaikan dengan preposisi hal ruang, dan inilah yang
digunakan oleh anak usia 3-5 tahun. Mereka lebih sering menggunakan DR seperti itu dibandingkan dengan penggunaan DR proksimal, semi proksimal, dan distal.
Berdasarkan hasil penelitian ini, usia 3-5 tahun merupakan usia ketika seorang anak
kritis dalam menerima hal-hal baru termasuk kritis dan peka terhadap pemerolehan
bahasa. Namun, penggunaan deiksis belum terlalu banyak digunakan oleh anak pada usia
ini. Seperti yang telah disebutkan bahwa referen ' yang berganti-ganti membuat anak
kesulitan untuk menggunakan deiksis.
Menurut hasil penelitian bersama lima responden yang terlibat dalam penelitian ini,
penggunaan DW oleh mereka masih sebatas penunjuk waktu yang sering mereka dengar
saja tanpa mengetahui makna leksikal dari penunjuk waktu tersebut. Misalnya pada leksem tadi, makna dari leksem tadi adalah waktu yang belum lama berlalu. Namun,
terdapat responden yang menggunakan leksem ini untuk menyatakan waktu yang telah
lama berlalu. Dari kelima responden yang terlibat dalam penelitian ini, hampir seluruh responden melakukan hal yang serupa meski menggunakan leksem yang tak sama. Ini
merupakan sebuah kekhasan yang muncul dari penggunaan DW oleh anak usia 3-5 tahun.
Untuk penggunaan DP, anak pada usia ini lebih sering menggunakannya. Hal ini dapat diperkuat dari banyaknya intenitas kemunculan DP pada setiap tuturan responden.
Yang menjadi kekhasan penggunaan DP pada tuturan anak usia 3-5 tahun adalah sering
ditemukannya nama diri sebagai penunjuk persona. Nama diri yang mudah diingat
membuat anak di usia ini lebih sering menggunakannya dibandingkan menggunakan kata
ganti persona aku, saya, kamu, kalian, mereka, dan Iain-lain, walaupun kata ganti tersebut
diterhukan pula dalam beberapa tuturan. Selain nama diri, leksem kekerabatan seperti Ayah, Ibu, Mamah, Bapak, Kakak, juga sering muncul. Namun, nama diri penggunaannya
lebih dominan dibandingkan dengan penggunaan penunjuk persona lainnya.
DR yang ditemukan pada TA usia 3-5 tahun. memiliki kekhasannya tersendiri. Penggunaan kelas kata nomina yang sangat mendominasi membuat hampir seluruh
temuan DR berbentuk nomina. Kelas kata nomina ini tidak berdiri sendiri, karena kelas
kata nomina dapat dijadikan penunjuk ruang apabila dirangkaikan dengan preposisi hal ruang seperti ke, dari dan di. Misalnya DR ke sekolah, ke rumah. di warung, merupakan
bentuk lingual deiksis yang sering muncul. Bentuk-bentuk demikian digunakan oleh anak
karena kekayaan kosakata mereka terbatas pada referen apa yang mereka ketahui. Dalam
kegiatan sehari-sehari, seorang anak hanya akan berkutat pada tempat-tempat yang biasa
mareka kunjungi saja,dan tentunya ini sangat berpengaruh terhadap pengetahuan mareka
mengenai kosa kata.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis penggunaan deiksis dalam TA (tuturan anak) usia 3-5
tahun di Jalan Percetakan Negara X-B No. 6 Blok C Rawasari Jakarta Pusat, dapat diambil
kesimpulannya sebagai bfcrikut.
1. Ditemukannya bentuk-bentuk lingual dari DW, DP. dan DR.
a. Bentuk lingual DW yang ditemukan: di antaranya adalah kemarin, penunjuk
waktu (jam delapan, jam sembilan, jam sepuluh), malam. sekarang, (tadi, sore,
besok, nanti, waktu itu, senin, dan selasa.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
11
b. Bentuk lingual DP yang ditemukan di antaranya: bentuk-bentuk leksem
kekerabatan seperti:
Kakak,Tante,Ibu,Ayah,Mamah,Bapak,Teteh.Selain laksem kekerabatannya
itusendiri. Pengunaan singkatan dari laksem kekerabatan yang dirangkaikan
dengan nama diri pun sering ditemukan. c. Bentuk lingual DR ditemukan penggunaan kelas kata nomina yang dirangkaikan
dengan preposisi hal ruang sehingga mampu dijadikan sebagai penunjuk ruang.
2. Referen deiksis yang berpindah-pindah atau berganti-ganti membuat seorang anak menggunakan dan memahami penggunaan deiksis. Maksud yang terbentuk pada
penggunaan sebuah deiksis memang sangat bergantung pada konteks pada saat tuturan
berlangsung. Maksud yang ingin dicapai penutur terkadang berbeda dengan apa yang
dimaksudkan oleh mitra tuturnya. terkadang deiksis yang digunakan oleh anak
maksudnya berbeda dengan makna sebenarnya dari deiksis tersebut. Misalnya dalam
kasus penggunaan DP om Rahmat yang maksudnya digunakan sebagai penunjuk
ruang yaitu warung milik pak Rahmat.
3. Menurut hasil penelitian penggunaan deiksis dalam tuturan anak usia 3-5
tahun. menurut jenisnya, DP lebih dominan dibandingkan dengan deiksis lainnya. Dari
54 buah bentuk lingual deiksis yang ditemukan, penggunaan DP mendapatkan jumlah terbanyak yaitu 25 buah. Di susul oleh pengunaan DR ditemukan 24 buah dan terakhir
adalah bentuk lingual DW yang berjumlah 25 buah tersebut tidak terlepas dari leksem-
leksem yang digunakan sebagai penunjuk persona.
4. Kekhasan penggunaan deiksis pada TA usia 3-5 tahun sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan kekhasan pada tuturan anak usia 3-5 tahun. Jika pada dasarnya tuturan anak
memiliki kekhasan penggunaan kosakata yang masih bergantung pada keterbatasan
pengetahuan mereka akan referennya.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. (2002). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Darjdowidjojo, Soenjono. (2008). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1992). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka. Harras, Kholid A. Dan Andika Dutha Bachari. (2009). Dasar-dasar Psikolinguistik.
Bandung: UPI PRESS
Kushartanti, Untung Yuwono. dan Multamia RMT Lauder. (2009). Pesona Bahasa:
Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka "-- Utama.
Kridalaksana, Harimurti. (2001). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
M.S., Mahsun. (2005). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nadar, Franciscus Xaverius. (2009). Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
12
KEMAMPUAN DAN DISIPLIN GURU SERTIFIKASI PADA
SMP NEGERI 1 KOTA BANDA ACEH
Syarifuddin
ABSTRAK
Sertifikasi guru merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas
guru sehingga proses pembelajaran di sekolah menjadi berkualitas. Keberadaan sertifikasi
diharapkan dapat meningkatkan pendidikan yang berkualitas, karena untuk mewujudkan
pendidikan berkualitas tidak dapat dipisahkan dengan peran tenaga pendidik dan
kependidikan. Sebagai tenaga pendidik, guru memiliki peran yang sangat penting dan
strategis dalam proses belajar mengajar. Sosok guru, merupakan sebuah profesi yang
mulia, karena dari gurulah, semua orang mengetahui ilmu pengetahuan dan etika.
Berdasarkan asumsi diatas, focus kajian pada penelitian ini tentang bagaimana kemampuan dan kedisiplinan guru yang sudah lulus sertifikasi pada SMP Negeri 1 Kota
Banda Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pedagogik,
kemampuan professional, dan kepribadian guru SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui observasi dan studi dokumentasi. Subjek
penelitian adalah kepala sekolah dan guru yang sudah lulus sertifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kemampuan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1
Kota Banda Aceh berkenaan dengan kemampuan pedagogik menunjukkan hasil yang
baik, kemampuan ini dilaksanakan melalui berbagai program kegiatan seperti
meningkatkan kompetensi melalui MGMP, Kemampuaan guru dalam Pelaksanaan
pengelolaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dilakukan berdasarkan standar
isi dan standar kompetensi kelulusan dan peraturan pelaksanaannya. Kemampuan guru terhadap kompetensi pedagogik terlihat mengacu kepada peningkatan yang lebih baik. (2)
Kedisiplinan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMP Negeri 1 Banda Aceh telah
menuju kearah yang lebih baik, kedisiplinan guru ini dilaksanakan dengan cara konseptual, yang meliputi kehadiran dalam kelas dan luar kelas. Melaksanakan tugas
sebagai guru piket dan memperhatikan kesiapan siswa dalam kelas untuk memenuhi
proses pembelajaran sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Kepala sekolah dalam menegakkan disiplin guru sering menegur yang datang ke sekolah terlambat, juga
menegur guru yang tidak membuat persiapan mengajar, serta memberi himbauan kepada
seluruh guru pada saat pertemuan rapat guru tentang pentingnya penegakan disiplin di
sekolah.
Kata Kunci : Kemampuan dan Kedisiplinan Guru
PENDAHULUAN
Untuk kemajuan bangsa ini ke arah yang lebih baik terletak pada keberadaan
pendidikan yang berkualitas pada saat ini. Pendidikan yang berkualitas hanya akan muncul apabila terdapat lembaga pendidikan yang berkualitas. Karena itu, upaya
peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan pemerintah merupakan harapan masyarakat
untuk menciptakan dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Dalam hal ini
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia melalui sektor pendidikan menempatkan
Sekolah sebagai pendidikan formal bukan hanya sebagai system terbuka, tetapi
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
13
merupakan fungsi utnuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan latihan, namun harus peka dalam menyesuaikan diri dan dapat
mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Namun berbagai kendala atau hambatan tetap saja dijumpai guru dalam
pelaksanaan pembelajaran dan hal ini mempengaruhi kinerja guru di lapangan, baik
kendala yang bersifat internal maupun eksternal. Salah satu perkembangan yang terjadi diantaranya adalah peningkatan kualitas Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
dan serta peningkatan kompetensi tenaga pendidik yang diberikan melalui sertifikasi.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Bab XVI
Pasal 61 ayat (3)
“Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga
pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap
kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga
sertifikasi”.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk mengadakan
penelitian tentang “Kemampuan dan Kedisiplinan Guru yang Sudah Lulus Sertifikasi pada SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
a. Kemampuan pedagogik guru SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh yang sudah sertifikasi.
b. Kemampuan profesional guru SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh yang sudah lulus
sertifikasi.
c. Kepribadian guru SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi.
LANDASAN TEROTIS
Konsep Kompentesi Guru
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab
XI, Pasal 39 ayat 2 dinyatakan bahwa:”Pendidik merupakan tenaga profEsional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengambdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.
Pengertian Kompetensi
Glickman dalam Bafadal (2004:6) menyatakan bahwa: ”seseorang guru dapat
dikatakan profesional bilamana memiliki kemampuan tinggi (high level of abstract) dan
motivasi kerja tinggi (high level of commitment)”. Komitmen lebih luas daripada concern
sebab komitmen itu mencakup waktu dan usaha. Tingkat Komitmen guru terbentang
dalam satu garis kontinum, bergerak dari yang paling rendah menuju yang paling tinggi.
Profesionalisme Guru Guru profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang berbentuk
multidimensional. Guru yang demikian adalah guru yang secara internal memenuhi
kriteria administratif, akademis dan kepribadian.
Menurut Nurdin (2004:20) persyaratan guru yang profesional adalah “sehat
jasmani dan rohani, bertakwa, berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa, ikhlas,
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
14
mempunyai tujuan, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan serta
menguasai bidang yang ditekuninya”.
Peranan Sertifikasi Guru Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikasi pendidik kepada guru yang
teelah memenuhi persyaratan tertentu yaitu memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan yang layak.
(Muslich, 2007:2).
Landasan yuridis diberilakukan sertifikasi guru dan dosen antara lain: (1)
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (2) peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; (3) Undang-
Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; (4) Draff Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) yang rencananya Oktober 2006 akan segera diberlakukan bahkan
menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Dr. Fasla Djalal, Ph. D. (Pikiran Rakyat, 6 Oktober 2006 hal. 12) mengatakan
bahwa: ‘’Awal Januari 2007 take home pay guru Minimal 3 juta”.
Tujuan sertifikasi dijelaskan oleh Samani (2006:10) adalah untuk menentukan tingkat kelayakan seseorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran
di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi
persyaratan dan lulus uji sertifikasi.
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha untuk mendeskripsikan
peningkatan kemampuan dan kedisiplinan guru yang sudah disertifikasi pada SMP Negeri
1 Kota Banda Aceh. Berdasarkan ruang lingkup kajian penelitiannya, maka penulis menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh. Penelitian lebih
difokuskan pada guru-guru yang telah lulus sertifikasi dari seluruh bidang studi yang ada
pada SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh. Waktu penelitian secara resmi dilaksanakan sesuai jadwal yang telah disahkan
bagian akademik, yaitu pada Awal bulan September 2012 sampai dengan 1 Januari 2013.
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah 1 orang kepala sekolah dan guru-guru pada
SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh, serta 1 orang koordinator pengawas sekolah (Korwas),
Kesemua Subjek ini diharapkan sebagai informasi bagi keperluan penelitian.
Instrumen Penelitian
Adapun instrumen penelitian yang dimaksudkan dalam penelitian kwalitatif
adalah peneliti sendiri, karena peneliti mampu menyesuaikan dengan keadaan realitas di
lapangan. Berdasarkan pada variabel, sub variabel dan indikator di atas, maka perlu
dijelaskan lebih lanjut pada pedoman wawancara dan pedoman observasi sebagai
persiapan permulaan yang perlu diperbaiki kembali jika terjadi penambahan fenomena di
lapangan.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
15
Teknik pengumpulan data
Alat yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan data yaitu menggunakan
observasi, Wawancara dan Dokumentasi.
1). Observasi
Dalam kegiatan observasi peneliti melakukan pencatatan secara sistematis, semua kejadian, perilaku, objek yang dilihat. Pertama – tama penyelidikan secara umum,
disini peneliti berusaha untuk mengumpulkan informasi, fakta dan data sebanyak-
banyaknya.
2). Wawancara
Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang dibuat
berdasarkan kisi-kisi pengumpulan data. Pedoman ini dibuat dan dirumuskan dalam
bentuk terbuka.
3) Dokumentasi
Walaupun dalam penelitian kualittif kebanyakan data diperoleh dari sumber data
melalui observasi dan wawancara, dokumentasi digunakan juga untuk memperoleh data tentang aktivitas pendidikan sekolah, program kerja dan evaluasi, tingkat pendidikan dan
pengalaman, serta penataran-penataran penting yang diikuti yang mencerminkan
kompetensi seorang guru. Studi dokumentasi, yaitu mempelajari data-data yang telah didokementasi berupa aktivitas Kepala Sekolah, program Kepala Sekolah/Program
supervisi, serta evaluasi.
Teknik analisa data
Langkah-langkah analisis data mengikuti langkah-langkah reduksi data, display
data dan mengambil kesimpulan dan verifikasi. 1. Tahap Reduksi
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah menelaah seluruh data yang
telah dikumpulkan dari lapangan penelitian, sehingga dapat ditemukan hal-hal pokok daripada objek yang diteliti. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah mengumpulkan data
atau informasi dari catatan hasil observasi, wawancara dan studi dokumentasi dan
selanjutnya mencari inti atau pokok-pokok yang dianggap penting dari setiap aspek yang diteliti.
2. Tahap Display
Adapun kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap ini adalah merangkum data dan
temuan-temuan penelitian dalam suatu situasi yang sistematis untuk mengetahui makna
pelayanan perpustakaan sekolah yang diteliti. Selanjutnya melalui display data dapat
memudahkan bagi peneliti untuk menginterprestasikan terhadap data yang telah
dikumpulkan. 3. Tahap Verifikasi
Pada tahap ini dilakukannya verifikasi data maka perlu dilakukan pengkajian
tentang kesimpulan yang telah diambil dengan data pembanding dari teori yang relevan. Pengujian dimaksud adalah untuk melihat kebenaran hasil analisis, sehingga melahirkan
kesimpulan yang dapat dipercaya.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
16
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data lapangan sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian,
hasil penelitian disajikan di bawah ini.
1. Kemampuan Guru yang Telah Lulus Sertifikasi Hasil wawancara dengan semua subjek penelitian dapat disimpulkan bahwa
kemampuan guru yang telah lulus sertifikasi di SMPN 1 Banda Aceh sebagai berikut :
Kemampuan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1 Banda Aceh
dilakukan dengan program peningkataan kompetensi melalui MGMP, melalui penyusunan
silabus, RPP, program tahunan, KKM, dan rincian minggu efektif, peningkatan mutu
dalam proses pembelajaran, mengadakan supervisi PBM/KBM, supervisi ADM serta
menindak lanjuti proses PBM
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru menyatakan bahwa: “kepala sekolah
sering membimbing dan mengadakan spervisi terhadap guru-guru yang telah lulus
sertifikasi pada saat proses belajar mengajar dengan tujuan agar pencapaian peningkatan guru dapat terlaksana dengan baik”.(Guru 1)
Hasil wawancara dengan guru menyatakan bahwa :
“program yang telah dilakukan oleh kepala sekolah terhadap kami yang telah lulus sertifikasi dilakukan melalui MGMP, tata cara penyusunan silabus, RPP berkarakter,
program tahunan, KKM, dan rincian mingu efektif, mengadakan supervise dalam proses
pembelajaran, mengadakan supervisi PBM/KBM, supervisi ADM serta menindak lanjuti proses PBM”.(Guru 2)
Keterlibatan guru yang telah disertifikasi dalam kegiatan peningkatan
profesionalisme sangat penting dirasakan, baik dari sisi kompetensi pofesional,
kompetensi pedagogik maupun kompetensi kepribadian dan social.
Hasil wawancara dengan guru, menyatakan bahwa:
“Dalam hal bimbingan yang dilakukan oleh pengawas terhadap kami guru yang telah lulus sertifikasi, pengawas sering melakukan supervisi ADM, melakukan
supervisi terhadap teknik mengajar yang dapat dapat membuat siswa agar tertarik
terhadap materi yang diajarkan dengan pendekatan model pembelajaran yang sesuai”.(Guru 3)
Kompetensi guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1 Kota Banda Aceh
dalam pelaksanaan tentang pengelolaan kurikulum tingkat satuan (KTSP) yang dilakukan oleh guru disusun secara bersama-sama oleh warga sekolah. Dalam pelaksanaan
pembelajaran guru melibatkan peserta didik secara aktif, demokratis, mendidik, dan
memotivasi serta mendorong kreativitas siswa dengan tujuan agar peserta didik mencapai
pola pikir dan kebebasan berpikir sehingga dapat melaksanakan aktivitas intelektual yang
berupa dapat berdiskusi, beragumentasi, mempertanyakan, serta mengkaji, dan
menemukan solusi dengan pendekatan pola pembelajaran kooperatif. Kenyataan yang
telah terjadi disekolah SMPN 1 Banda Aceh masih ada guru yang telah lulus sertifikasi yang belum melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran yang berlaku
saat sekarang ini yaitu pendekatan model pembelajaran kooperatif.
Hasil wawancara dengan guru menyatakan bahwa: “Dalam hal peningkatan kemampuan kompetesi guru yang teelah lulus sertifikasi pada
SMP Negeri 1 Banda Aceh, kepala sekolah sering melakukan pertemuan dengan tujuan
agar pelaksanaan pengelolaan kurikulum tingkat satuan (KTSP) dapat terlaksana dengan
baik dan sesuai dengan yang diharapkan”.(Guru 4)
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
17
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan seorang guru yang berkenaan
dengan pemahaman peserta didik dan pengelolaan pembelajaran yang mendidik dan
dialogis. Secara substantive kompetensi pedagogic ini mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar,
dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki
oleh peserta didik. Hasil wawancara dengan guru, menyatakan bahwa:
“berhubungan dengan kompetensi pedagogik yang telah dilakukan oleh kepala sekolah
terhadap kami, kepala sekolah sering menegur dan mengarahkan kami untuk membuat
berbagai perencanaan peningkatan terhadap masing-masing guru bidang studi, seperti
setiap guru harus membuat strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik,
menentukan tingkat ketuntasan belajar siswa serta setiap guru bidang studi harus dapat
mengembangkan peserta didik dengan berbagai potensi yang ada pada peserta didik
sehingga dapat menonjolkan kemampuan yang ada dari siswa tersebut”.(guru 5)
Kemampuan seorang guru terhadap kegiatan belajar mengajar sebagai salah satu kegiatan yang rutin yang umumnya dilaksanakan oleh seorang guru di kelas, bukanlah
suatu yang berdiri sendiri, akan tetapi, ia terkait dengan berbagai faktor dan unsur yang
menunjang. Dengan demikian, eksistensi seorang guru tidak hanya diukur dari kemampuan penguasaan materi pelajaran atau menyiapkan perangkat-perangkat media
yang diperlukan, tetapi juga diukur dari kemampuan menciptakan kondisi belajar atau
iklim kelas yang kondusif bagi terwujudnya proses belajar mengajar yang optimal di tempat ia mengajar.
2. Kedisiplinan Guru yang Telah lulus sertifikasi
Hasil wawancara dengan kepala sekolah sebagaii subjek penelitian terhadap
peningkatan kedisiplinan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1 Kota Banda Aceh
dapat disimpulkan bahwa : Peningkatan kedisiplinaan terhadap guru yang telah lulus sertifikasi dilakukan
dengan berbagai cara yang diantaranya melakukan bimbingan dan supersivi guru padda
saat PBM, melakukan tata cara dalam menyusun silabus, RPP, program tahunan, program semester, serta melakukan rincian minggu efektif.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah menyatakan bahwa :
“Untuk menghindari terjadinya ceplak menyeplak silabus, RPP dari satu sekolah dengan sekolah yang di bawah kepemimpinannya, maka ditegaskan kepada seluruh guru, agar
tidak menyeplak atau mengkopi silabus, RPP dari sekolah lainnya. Hal ini dilakukan
untuk agar guru lebih kreatif dalam bekerja serta dapat menjalankan aturan dengan
disiplin kerja yang baik bagi guru tersebut.” (Guru 2).
a. Faktor Pendukung peningkatan kemampuan dan disiplin guru Berdasarkan hasil wawancara dengan semua sbjek penelitian yang menjadi factor
pendukung dalam peningkatan kemampuan guru yang telah disertifikasi berupa keinginan dan kemauan kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi guru yang
telah disertifikasi sangat besar, hal ini ditandai dengan suatu kebijakan yang diambil oleh
kepala sekolah dilakukan secara bersama-sama dengan warga, sebagaimana kepala sekolah menjadikan warga sekolah sebagai mitra kerja yang aktif dalam
mengembangkan sekolah.
Memberikan informasi kepada guru tentang fungsi dan peranan kepala sekolah
untuk membantu/meyakinkan guru agar lebih komitmen dalam bekerja, (Depdiknas,
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
18
2006) terdapat Sembilan peran utama kepala sekolah yaitu: (1) educator (pendidik); (2)
maanajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta
iklim kerja; dan (7) wirausahawan; (8) figure dan (9) mediator. Dalam wawancara peneliti dengan kepala sekolah menyatakan bahwa :
”saya selalu mencari dan mendalami tugas dan peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai
educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja dan wirausahawan, figure dan mediator. Apabila saya tidak memahami tugas dan fungsi saya
dapat mengembangkan potensi bahkan mengembangkan potensi educaktif yang ada
disekolah ini. Peran ini tidak dapat saya jalankan apabila tidak mendapat dukungan dari
para warga sekolah seperti guru, staf pegawai, siswa dan masyarakat serta stakeholder
sekolah. Hal ini saya utarakan kepada warga sekolah karena ada anggapaan bahwa
seorang kepala sekolah hanya berdiri-diri saja, duduk-duduk saja dikantor kepala sekolah,
tetapi berdasarkan peran kepala sekolah ini seorang kepala sekolah harus siap
menerima/memberikan penejlasan terhadap pertanyaan dan masalah-masalah yang
diajukan oleh guru”. (Wawancara, Kp) Berdasarkan hasil penelitian terhadap kedisiplinan guru yang telah lulus sertifikasi
pada SMPN 1 Kota Banda Aceh adalah penegakkan disiplin melalui: pembinaan,
pengawasan, dan tindakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sekolah SMPN 1 Kota Banda Aceh
menyebutkan bahwa:
“Dalam rangka menegakkan disiplin bagi guru-guru, baik guru yang telah lulus sertifikasi maupun yang belum lulus sertifikasi dan bahkan bagi seluruh warga
masyarakat sekolah, dilakukan melalui pengarahan dan himbauan baik dalam
rapat dan teguran serta melalui pengawasan dan tindakan. Sebagai contoh bagi
warga sekolah yang tidak mematuhi kedisiplinan yang telah ditetapkan pada
setiap hari senin pada jam upacara, maka bagi mereka tidak diberikan kesempatan
untuk masuk kedalam perkarangan sekolah hingga upacara bendara selesai dilaksanakan, dan bagi mereka yang terlambat harus menghadap ke kantor untuk
membuat suatu surat pernyataan atau berjanji tidak akan mengulangi perbuatan
ketidak disiplinan. Dan bagi guru yang tidak membuat persiapan mengajar memberikan himbauan agar membuat persiapan mengajar sebelum dilakukan
proses pembelajaran dikelas”. (Kp)
b. Faktor Penghambat dalam peningkatan kemampuan Sedangkan yang menjadi factor penghambat dalam peningkataan kemampuan dan
kedisiplinan guru yang telah lulus sertifikasi berdasarkan informasi subjek penelitian
dapat disimpulkan bahwa :
Belum semua guru dapat melaksanakan kebijakan yang diterapkan pada
pengelolaan pembelajaran, hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil wawancara dengan salah
satu guru SMPN 1 Kota Banda Aceh yang menyatakan bahwa: “Dalam melaksanakan tugas dan kebijakan yang diterapkan kepala sekolah
dengan berbagai cara, akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak guru yang
belum menguasai teknik mengajar yang dapat membuat siswa menarik terhadap pelajaran yang dikelolakannya. Hal ini diakibakannya oleh karena banyaknya
guru yang tidak hadir pada pertemuan MGMP dan kegiatan-kegiatan lainnya
dalam peningkatan kemampuan guru”(Gr.1)
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
19
Disamping itu, supervisi yang dilakukan oleh pengawas sekolah, belum semuanya
berjalan singkron dengan apa yang telah dilakukan guru disekolah. Hal ini dikarenakan
keterbatasan waktu dan dana yang dimiliki oleh setiap guru secara individu maupun sekolah tersebut dalam melaksanakan supervisi.
PEMBAHASAN
1. Kemampuan Guru yang Telah Lulus Sertifikasi Sebagai guru yang telah menyandang sertifikasi, sudah semestinya memiliki
kinerja yang baik dibandingkan dengan guru-guru yang belum mendapat atau
menyandang sertifikasi. Kemampuan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1 Kota
Banda Aceh dilaksanakan melalui berbagai program kegiatan seperti meningkatkan
kompetensi melalui MGMP dapat penulis mengindentifikasikan bahwa masih sebatas
penyusunan silabus, RPP, program tahunan, KKM, dan rincian mingu efektif. Hal ini
didasarkan pada Wina Sanjaya (2006:145) menyatakan bahwa”sebagai suatu profesi,
terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu meliputi kompetensi pribadi, kompetensi profesioanl dan kompetensi social kemasyarakatan”.
Dalam hal pelaksanaan program, seorang pemimpin harus melakukan berbagai
tahapan agar program tersebut dapat berjalan dengan baik. Siagian (2002:15) tahap tersebut yaitu : a) Tahap perumusan misi organisasi, b) Tahap penentuan profil organisasi,
c) Tahap eksternal, d) Tahap analisis dan perilaku, e) Tahap penetappan jangka panjang, f)
Tahap penentuan strategi, g) Taha penentuan jangka pendek, h) Tahap perumusan kebijakan, i) Tahap pelembagaan strategi, j) Tahap penciptaan sistem penilaian”.
Peningkatan kompetensi profesional guru dapat dilakukan melalui berbagai
program, dalam hal ini Depdiknas (2008: 3) menetapkan bahwa: program penataran
dilakukan melalui berbagai program mencakup: (a) Penataran peningkatan teknis dan
professional guru sebagai akibaat dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan kiat
mendidik, (b) Penataran penyegaran, yaitu untuk menyegarkan kemampuan gur yang telah berada dan bekerja di lapangan yang diperkirakan kurang mendapat kesempatan untuk
berhubungan dengan suasana mutakhir kependidikan, (c) Penataran untuk
menyampaikaan berbagai informassi mengenai pembaharuan di bidang pendidikan, (d) Penataran untuk menyampaikan berbagai kebijaksanaan baru dalam bidang pendidikan.
Berdasaarkan dari teori-teori tersebut, maka tujuan sertifikasi yang dilakukan
tidak lain adalah untuk peningkatan kemampuan guru dari segala bidang. Samani (2006;10) menyebutkan bahwa “untuk menentukan tingkat kelayakan seseorang guru
dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus
memberikan sertifikasi pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji
sertifikasi. Dengan kata lain tujuan dari sertifikasi untuk meeningkatkan mutu dan
meneentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
Pemberdayaan guru, salah satunya dapat dilakukan melalui pembagian tanggung jawab. Keberadaan guru sebagai staf dalam proses pembelajaran dan pengajaran di
sekolah menjadi salah satu pilar kepeemimpinan pendidikan dengan diserahkan tanggung
jawab tertentu oleh kepala sekolah kepadanya. Menurut Marks (dalam Sutheja, 1999:103), bahwa;”salah satu factor utama yang sangat menentukan keefektifan kerja guru adalah
semangat kerja”.
Kemampuuan seorang guru menurut Castetter (1999:78) dapat diklasifikasikan
empat kriteria yang memiliki kinerja sebagai berikut:
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
20
a) Kriteria karakteristik perorangan meliputi penampilan, kesetiaan, motivasi
kerja dan hubungan antar perorangan.
b) Kriteria proses meliputi tingkah laku dalam kelas, prestasi guru, pertanyaan, gaya mengajar, gaya yang efektif dan individualisasi, tingkah laku diluar kelas,
tanggung jawab diluaar pengajaran.
c) Kriteria priduk merupakan suatu set sasaran pelaksanaan yang ditentukan atau tingkat pertumbuhan yang akaan diselesaikan, produk-produk yang berarti
hasil atau hasil anggota staf individu.
d) Kriteria ganda merupakan kombinasi cirri, produk ataau proses.
Keterlibatan guru yang telah disertifikasi dalam kegiatan peningkatan
profesionalisme sangat penting dirasakan, baik dari sisi kompetensi pofesional,
kompetensi pedagogik maupun kompetensi kepribadian dan social.
2. Kedisiplinan Guru yang telah lulus sertifikasi
Peningkatan disiplin guru merupakan hal yang mutlak dalam proses pendidikan. Peningkataan disiplin guru dapat dilaksanakan dengan supervisi. Secara konseptual bahwa
salah satu indicator tingginya kinerja seorang guru ditandai dengan adanya penegakan
kedisiplinan disekolah tersebut. Disiplin guru meliputi kehadiran dalam kelas dan luar kelas. Disiplin diluar kelas meliputi kehadiran ke sekolah tepat waktu, mempersiapkan
materi ajar yang akan diajarkan kepada siswa sesuai dengan kurikulum dan prosedur yang
telah ditetapkan. Cara yang ditempuh oleh kepala sekolah SMPN 1 Kota Banda Aceh dalam menegakkan kedisiplinan guru yang telah lulus sertifikasi berupa pemberian
hukuman bagi guru dan siswa yang terlambat hadir kesekolah dengan menunggu di depan
pintu gerbang sekolah setiap jam pertama pelajaran pada hari senin, setelah jam upacara
selesai baru bagi mereka yang tidak disiplin di bolehkan masuk kedalam perkarangan
sekolah dengan memberi absensi pernyataan bahwasannya tidak akan mengulangi
keterlambatan pada saat upacara dimulai.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Kemampuan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1 Kota Banda Aceh
berkenaan dengan kemampuan pedagogik menunjukkan hasil yang baik, kemampuan
ini dilaksanakan melalui berbagai program kegiatan seperti meningkatkan kompetensi melalui MGMP, penyusunan silabus, RPP, program tahunan, KKM, dan rincian
minggu efektif. Kemampuaan guru dalam Pelaksanaan pengelolaan kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) dilakukan berdasarkan standar isi dan standar kompetensi
kelulusan dan peraturan pelaksanaannya. Kemampuan guru terhadap kompetensi
pedagogik terlihat mengacu kepada peningkatan yang lebih baik.
2. Kedisiplinan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMP Negeri 1 Banda Aceh telah
menuju ke arah yang lebih baik, kedisiplinan guru ini dilaksanakan dengan cara konseptual, yang meliputi kehadiran dalam kelas dan luar kelas.
DAFTAR RUJUKAN
Azhari (2003), Supervisi Rencana Program Pembelajaran. Jakarta: Rian Putra.
Bafadal, Ibrahim, (2004), Peningkatan Profesionalisme Guru Skeolah Dasar (dalam
Kerangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah). Jakarta: Bumi
Aksara.
Dharma, Agus, (2004). Manajemen Supervisi. Jakarta: Raja Grafindo.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
21
Djauzak (2006) Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Jakarta:
Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional
Delin, M (2010) Upaya Pengawas Pendidikan dalam Meningkatkan Kemampuan Profesional Guru pada Skeolah Dasar di Kabupaten Simeulue: Tesis pada
unsyiah Banda Aceh, tidak diterbitkan.
Fajar, Arnie. (2006). Peranan Sertifikasi Guru dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru. Dalam Makalah Seminar Nasional Sosialisasi Sertifikasi Guru dalam
memaknai UU No. 14 Tahun 2005. Bandung: Disdik Jawa Barat.
Hamalik, Oemar (2009). Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi.
Jakarta:PT. Bumi Aksara
Hamzah B Uno. (2008). Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Moleong, Lexy J.(2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Nasir, Usman, (2007), Manajemen Peningkatan Kinerja Guru, Mutiara Ilmu – Bandung.
Samani, Muchla. (1999). Manajemen Sekolah. Jakarta : Dirjen Dikdasmen Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Preanada Media Group.
Sagala, Syaiful. (2006). Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung : Alfabeta. Sahertian, Piet A. (2003). Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka
Pengembangan Sumber daya Manusia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen. 2006. Jakarta: Eka Jaya.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
22
PENGAJARAN MATEMATIK DENGAN PENDEKATAN PENGAJARAN
MENGIKUT KONTEKS DI SEKOLAH VOCATIONAL
Murni, S.PD, M.PD
DR. MOHD Uzi Dollah
PROF. Madya DR. Noor Shah Saad
PENDAHULUAN
Matematik adalah satu mata pelajaran yang sangat penting di Indonesia,
mesti diajarkan kepada semua pelajar pada tiap-tiap peringkat pendidikan
menengah (Depdiknas, 2002; Depdiknas 2003). Tetapi, matematik dianggap
sebagai suatu pelajaran yang kurang menarik, kaku, dan membosankan. (Wan Zah
et al., 2005; Mohd Uzi & Sam, 2009). Persoalan ini kerana pengajaran yang
kurang berkesan, serta gagal mengaitkan matematik dengan kehidupan keseharian.
Mandat Undang-Undang nombor: 14 tahun 2005 tentang guru dan
pensyarah serta Peraturan Kebangsaan Indonesia nombor: 19 tahun 2005
pendidikan kebangsaan agar guru sentiasa berusaha untuk meningkatkan fasa
ajaran profesionnya. Guru-guru profesional akan menjalankan pengajaran dan
pembelajaran yang interaktif, memberi inspirasi, menyeronokkan, merangsang
minat para pelajar mengambil bahagian secara aktif, bersedia menjana
pengetahuan baru berasaskan pada pengetahuan dan minat pelajar sedia ada.
Dalam pengajaran matematik bermakna mestilah pelajar mempelajari sesuatu
pengetahuan atau konsep matematik yang baru. Pelajar juga mestilah secara aktif
membabitkan diri dalam proses pembelajaran, seperti dalam perbincangan kelas,
menyelesaikan masalah matematik dan melaksanakan aktiviti atau projek
matematik. Akan tetapi, pengajaran dan pembelajaran lebih berkemungkinan
menggunakan pendekatan yang rasmi, iaitu mengendalikan bilik darjah dengan
menggunakan pendekatan pengajaran yang baik dan berkesan menurut pandangan
guru itu sendiri, tanpa memikirkan kepelbagaian corak pelajar dalam bilik darjah
(Nickson, 1992). Apakah guru, secara am kurang menyedari matlamat yang telah
dirangka oleh kerajaan dalam kurikulum 2006?
Pernyataan Masalah Kemampuan pelajar di sekolah sangat bergantung pada apa yang
dijalankan guru selama proses belajar mengajar (Furner & Kumar 2007). Kejayaan
dari setiap proses belajar mengajar, terutama di ruangan kelas sangat dipengaruhi
oleh proses yang dijalankan oleh guru serta peralatan sekolah, kurikulum dan
sistem pendidikan. Guru yang dapat mendorong pelajar lebih aktif terlibat dalam
pekerjaan mereka kemungkinan akan mempunyai pelajar yang berminat dalam
matematik.
Oleh itu, diperlukan pengajaran yang berkemahiran untuk mengaitkan
antara teori matematik dengan keadaan sebenar. Pengajaran mengikut konteks
adalah sebuah konsep mengajar yang menolong para guru untuk menghubung
kaitkan material pengajaran yang mereka ajarkan dengan kehidupan sebenar, dan
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
23
boleh menolong pelajar untuk membuat hubungan antara ilmu pengetahuan dan
aplikasinya terhadap kehidupan sebenar. Oleh itu, kegiatan pengajaran mengikut
konteks boleh mengarahkan pelajar untuk dapat mengaplikasikan teori matematik
dengan lebih berkesan (Pearson, 2003).
Walau bagaimanapun, pengajaran mengikut konteks dalam pengajaran
matematik mengikut konteks di Indonesia masih lagi baru dan belum menyeluruh.
Satu sudut yang masih kurang jelas dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah
berkenaan pengaplikasian pengajaran mengikut konteks dalam pengajaran
matematik di bilik darjah. Walaupun Kurikulum 2006 penekanan pada mengikut
konteks, tetapi sama ada adakah ia suatu realiti dalam proses pengajaran dan
pembelajaran matematik dalam bilik darjah? Dan apakah pengajaran mengikut
konteks akan memberikan keputusan yang lebih baik? Inilah adalah merupakan
satu persoalan asasi yang membawa kepada kecenderungan penyelidikan membuat
kajian pengajaran dalam pendidikan matematik khususnya pada sekolah
SMK/Vokasional.
Kerangka Konsep
Idea-idea daripada para ahli falsafah dan pakar seperti Piaget (1983);
Ausubel (1963) dan Bruner (1990) menjadi asas yang kukuh dalam pembinaan
teori tentang pengajaran dan pembelajaran matematik. Satu teori yang mengambil
kira pelajar membina pengetahuan baru secara aktif berasaskan pengetahuan sedia
ada adalah daripada perspektif fahaman konstruktivisme.
Jean Piaget (1970), mengatakan bahawa untuk mengetahui suatu objek kita
harus melakukan aksi terhadap objek tersebut dan mentransformasikannya.
Menurut Piaget, menjadi tahu adalah suatu proses aktif dalam keadaan mana
individu berinteraksi dengan lingkungan dan mentransformasikannya di dalam
fikiran dengan menggunakan struktur-struktur yang telah ada dalam fikiran.
Berkaitan dengan pemerolehan pengetahuan, pendapat Von Glasersfeld
berbeza secara radikal dengan konsepsi pemerolehan pengetahuan tradisional
terutama dalam kaitan antara pengetahuan dan realiti. Von Glasersfeld
berpendapat bahawa pengetahuan dan realiti tidak memiliki nilai mutlak, dan
pengetahuan diperoleh secara aktif dan dikonstruksi melalui indera atau melalui
komunikasi. Von Glasersfeld (1984) mengemukakan bahawa konstruktivisme
radikal tidak diinterpretasikan sebagai gambaran daripada realiti secara mutlak,
tetapi sebagai model pengetahuan dan kemungkinan memperoleh pengetahuan
dalam kognisi dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman
sendiri. Dalam pembelajaran, konstruktivisme radikal tergolong konstruktivisme
individu, sebagaimana konstruktivisme kognitif yang dikemukakan Piaget.
Teori Konstruktivisme Vygotsky, Vygostsky adalah seorang sarjana
Hukum, tamat dari Universitas Moskow pada tahun 1917, kemudian beliau
melanjutkan studi dalam bidang filsafat, psikologi, dan sastra pada fakultas
Psikologi Universitas Moskow dan menyelesaikan studinya pada tahun 1925
dengan judul disertasi “The Psychology of Art”. Vygotsky wafat pada tahun 1934.
Vygotsky (1925) mengatakan Art is the social technique of emotion, a tool of
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
24
society which brings the most intimate and personal aspects of our being into the
circle of social life. It would be more correct to say that emotion becomes personal
when every one of us experiences a work of art; it becomes personal without
ceasing to be social.
Wujud enam ciri utama pengajaran berasaskan penerapan pembelajaran
mengikut konteks di bilik darjah di ubah suai (Hull, 1997; Jhonson, 2002;
Siswono, 2002; Rustana, 2002; Nurha di, 2002; suyanto, 2002; Depdiknas, 2003),
sehingga terbina seperti rajah 1.1. Enam ciri pengajaran mengikut konteks iaitu :
belajar bermakna, inkuiri, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penaksiran
autentik, hal ini didapatkan dan disimpulkan juga atas dasar proses pengalaman
pengakaji sebagai pensyarah pada FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan)
dan pada PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) serta hasil perbincangan
beberapa pensyarah berpengalaman pada FKIP Banda Aceh.
Rajah 1.1 Kerangka konsep pengajaran matematik dengan pendekatan
pengajaran mengikut konteks.
Tujuan Kajian
Kajian ini dijalankan bermatlamat untuk mendedahkan secara lengkap
pengajaran mengikut konteks. Fokus utama diberikan kepada menerangkan kaedah
perancangan, pelaksanaan, dan semakan pengajaran matematik dengan pendekatan
mengikut konteks di bilik darjah.
PENGAJARAN MENGIKUT KONTEKS
PEMBELAJARAN
BERMAKNA
REFLEKSI
MASYARAKAT
BELAJAR
PENAKSIRAN
AUTENTIK
INKUIRI
PEMODELAN
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
25
Soalan Kajian
Secara khusus, soalan penyelidikan dalam kajian ini adalah:
1. Apakah perancangan pengajaran guru dengan pendekatan pengajaran
mengikut konteks?
2. Bagaimana pelaksanaan pengajaran guru dengan pendekatan pengajaran
mengikut konteks dalam bilik darjah?
3. Apakah masalah yang dihadapi guru dalam pelaksanaan pengajaran
mengikut konteks di dalam bilik darjah?
PENGAJARAN MENGIKUTI KONTEKS
Mata pelajaran matematik adalah kumpulan material kajian dan pelajaran
tentang kuantiti melalui penggunaan nombor dan simbol dalam aritmetik, aljabar,
geometri, trigonometri, statistik dan kalkulus yang memberikan peruntukan kepada
manusia untuk berfikiran secara logik dan kritis. Matematik yang bersifat sejagat
berguna sebagai peralatan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sebenar.
Tambahan pula, mengkaji matematik juga melatih intelek seseorang dan
mempengaruhi kemahiran berfikir logik. Untuk itu, mengubah tanggapan yang
matematik adalah sukar dan menakutkan untuk menjadi menyeronokkan
hendaklah diperlakukan (Turmudi, 2008; Noor Shah Saad, 2002).
Reka Bentuk Kajian
Matlamat kajian ini adalah untuk menelusuri keberkesanan pengajaran
matematik melalui pendekatan pengajaran mengikut konteks. Pengajaran mengikut
konteks adalah suatu pengajaran yang boleh menolong guru untuk menjadikan
kandungan sukatan pengajaran berkait dengan kehidupan sebenar ke dalam bilik
darjah (Siswono, 2002; Nurhadi, 2003; Hull, 1997; Rustana, 2002).
Kaedah Pengumpulan Data
Empat kaedah pengumpulan data telah digunakan dalam kajian ini iaitu:
pemerhatian, catatan lapangan, temu bual dan pengumpulan dokumen.
Pengumpulan Dokumen
Pengkaji akan melakukan pengumpulan dokumen yang dirasa perlu untuk
penyelidikan. Pengumpulan dokumen yang digunakan oleh sesuatu masyarakat
dapat memberi gambaran tentang pengalaman dan pengetahuan yang mereka
miliki (Cheah, 2001). Ini menunjukkan, dokumen seperti buku-buku, lembaran
kerja, rancangan pengajaran, alat bantu mengajar dan nota-nota personal peserta
yang digunakan dalam proses pengajaran bilik darjah, mempunyai maklumat
tertentu yang boleh mempengaruhi pengajaran bilik darjah.
Peserta kajian
Peserta kajian ini adalah terdiri daripada tiga orang guru matematik
Tingkatan empat Sekolah Vokasional di Kota Banda Aceh. Kota Banda Aceh
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
26
merupakan ibu negeri propinsi Aceh. Terdapat tiga sekolah vokasional, iaitu SMK
1, SMK 2 dan SMK 3. Walau bagaimanapun, guru yang terbabit dalam kajian ini
adalah daripada dua sekolah vokasional, yang ditentukan berasaskan kepada
kesanggupan pihak pengurusan sekolah untuk bekerjasama dengan membenarkan
gurunya terlibat dalam kajian. Sekolah vokasional dipilih kerana sekolah ini
mengutamakan pratikal dan kerja amali.
Tata Cara Pengumpulan Data
Peringkat 1: Temu Bual Prapengajaran; Peringkat 2: Pemerhatian
Pengajaran; Peringkat 3: Temu Bual Setelah Pengajaran
Kajian Rintis
Satu kajian rintis dibuat terhadap dua orang guru Matematik tingkatan
empat di SMK 3 dan dijalankan dalam keadaan pengajaran bilik darjah sebenar.
Matlamat membiasakan pengkaji tentang tatacara kajian, disamping untuk
mendapat pengalaman dengan kaedah pemerhatian (membuat rakaman video),
pengumpulan dokumen, temu bual membuat rakaman audio, serta membuat
catatan ketika pemerhatian, temu bual dan membuat analisis awal kajian rintis.
Hasil kajian rintis menunjukkan bahawa kedua-dua orang guru kurang upaya
tentang ciri pengajaran mengikut konteks.
Keboleh Percayaan dan Ketekalan
Satu cara mempertingkatkan kebolehpercayaan adalah dengan melakukan
triangulasi (Mazulewicz dan Fenton, 2006; Golafshani, 2003). Satu strategi
triangulasi yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan mempelbagaikan
kaedah pengumpulan data. Empat alat pengumpulan data yang digunakan dalam
kajian ini adalah pemerhatian, temu bual, catatan lapangan dan pengumpulan
dokumen.
Rekaman audio temubual dan rekaman video pengajaran ditranskribkan
oleh orang yang dilantik pengkaji Triangulasi dibuat terhadap transkripsi bertulis
bagi meningkatkan keboleh percayaan cara yang digunakan ialah dengan melantik
dua orang penyemak transkripsi bertulis ini, disamping disemak sendiri oleh
pengkaji
.
Prosedur Penganalisisan Data
Peringkat 1: Maklumat daripada rakaman audio temu bual prapengajaran,
dan temu bual pascapengajaran; Peringkat 2: Transkripsi lengkap proses
pengajaran bilik darjah, Peringkat 3: Membuat pembahagian dan pengkodan.;
Peringkat 4: Penganalisisan data fokus diberikan kepada menjawap tiga persoalan
utama, iaitu: pertama, Apakah perancangan pengajaran guru dengan pendekatan
pengajaran mengikut konteks?; kedua, Bagaimana pelaksanaan pengajaran guru
dengan pendekatan pengajaran mengikut konteks?; ketiga, Apakah masalah yang
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
27
dihadapi guru dalam pelaksanaan pengajaran mengikut konteks?; Peringkat 5:
Kesimpulan dibuat secara merentas peserta tentang pengajaran mengikut konteks.
Hasil Dapatan Soalan Kajian 1
Apakah perancangan guru dengan pendekatan pengajaran mengikut konteks?
Jadual 5.1: Ciri Pengajaran Mengikut Kontek Yang Dirancang Oleh Ketiga-Tiga Guru
Jenis Jenis Ciri P1 P2 P3
Pendekatan GBE GBA GPR GBE GBA GPR GBE GBA GPR
R R R R R R R R R
Pendekatan Pembelajaran Dt Ltd Dt Dtt G Dtt Dtt Dtt Dtt
Mengikut Bermakna
Konteks
Inkuiri T Dt T Dtt Dtt G Dtt Dtt Dtt
Masyarakat Dt Dt Dt Dtt Dtt Dtt Dtt Dtt Dtt
Belajar
Pemodelan Dtd Dt T Dtt Dtt Dtt Dtt Dtt Dtt
Refleksi T Dtd Dtd G Dtt Dtt Dtt Dtt Dtt
Penaksiran Dt Dt Dt Dtt Dtt Dtt Dtt Dtt Dtt
Autentik
Hasil Dapatan Soalan Kajian 2
Bagaimana pelaksanaan pengajaran guru dengan pendekatan pengajaran mengikut konteks dalam bilik darjah?
Jadual 5.2: Ciri Pengajaran Mengikut Kontek Yang Dilaksanakan Oleh Ketiga-Tiga Guru
Jenis Jenis Ciri P1 P2 P3
Pendekatan GBE GBA GPR GBE GBA GPR GBE GBA GPR
P P P P P P P P P
Pendekatan Pembelajaran Ltd TL Ltd Lrr TL Lrr Lrr Lrr Lrr
Mengikut Bermakna
Konteks
Inkuiri TL Ltd TL Lr Lrr TL Lrr Lrr Lrr
Masyarakat Ltd Ltd Ltd Lrr Lrr Lrr Lrr Lrr Lrr
Belajar
Pemodelan TL Ltd TL Lr Lrr Lr Lrr Lrr Lrr
Refleksi TL TL TL TL Lr Lr Lrr Lrr Lrr
Penaksiran Ltd Ltd Ltd Lrr Lrr Lrr Lrr Lrr Lrr
Autentik
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
28
Hasil Dapatan Soalan Kajian 3
Apakah masalah yang dihadapi guru dalam melaksanakan pengajaran
mengikut konteks di dalam bilik darjah?
Jadual 4.5: Semakan Pengajaran Mengikut Konteks Yang Dilakukan Oleh Ketiga-Tiga
Guru
Jenis Jenis Ciri P1 P2 P3
Pendekatan GBE GBA GPR GBE
GB
A GPR
GB
E
GB
A GPR
S S S S S S S S S
Pendekatan Pembelajaran A TA A A TA A A A A
Mengikut Bermakna
Konteks
Inkuiri TA A TA A A TA A A A
Masyarakat A A A A A A A A A
Belajar
Pemodelan TA A TA A A A A A A
Refleksi TA TA TA TA A A A A A
Penaksiran A A A A A At A A A
Autentik
Berdasarkan ketiga-tiga pengajaran yang dilakukan oleh tiga peserta kajian,
mereka mengaku mengalami beberapa masalah semasa menerapkan enam ciri
pengajaran mengikut konteks. Setiap peserta kajian masing-masing mengalami
masalah yang berbeza.
Analisis Merentas Peserta
Setelah membuat analisis secara subjek, iaitu kes demi kes, bahagian ini
akan membincangkan analisis merentas peserta. Perbandingan di buat merangkumi
persamaan dan perbezaan dalam pendekatan pengajaran mengikut konteks antara
peserta.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
29
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
30
PENUTUP
Dapatan kajian menunjukkan bahawa ketiga-tiga peserta menghadapi
masaalah dalam melaksanakan pengajaran mengikut konteks, walaupun diberi
pemahaman dalam Kurikulum Pendidikan Menengah di Indonesia. Ketiga-tiga
peserta pada pengajaran pertama belum berupaya merancang dan melaksanakan
sepenuhnya ciri pengajaran mengikut konteks dalam pengajarannya. Pengajaran
kali pertama, kelihatan ketiga-tiga peserta hanya dapat merancang tiga ciri sahaja
secara tersirat dan melaksanakan pengajaran mengikut konteks, dengan situasi
tidak tahu nama ciri yang dilaksanakan dalam pengajarannya. Setiap selesai
pengajaran, ketiga-tiga guru selalu melakukan semakan. Semakan dilakukan oleh
ketiga-tiga guru agar pada pengajaran selanjutnya tidak terjadi masaalah yang
sama. Semakan dilakukan terhadapa ciri pengajaran mengikut konteks yang
dilaksanakan dalam bilik darjah. pada pengajaran pertama, ketiga-tiga guru
melakakukan terhadap tiga daripada eman ciri pengajaran mengikut konteks.
Pada pengajaran Kedua, setelah diberikan penjelasan oleh pengkaji
mengenai enam ciri pengajaran mengikut konteks, ketiga-tiga peserta sudah dapat
merancang dan melaksanakan lima ciri pengajaran mengikut konteks. Walaupun
dua daripada tiga peserta dapat melaksanakan tiga ciri dengan yakin dan dua ciri
kurang yakin dalam pengajarannya. Satu daripada tiga peserta dapat melaksanakan
empat ciri dengan yakin dan satu ciri kurang yakin dalam pengajarannya. Pada
pengajaran kedua, ketiga-tiga guru melakukan semakan terhadap lima daripada
enam ciri pengajaran mengikut konteks. Pada pengajaran ketiga, setelah diberi
penjelasan lagi mengenai pengajaran mengikut konteks, ketiga-tiga peserta
berupaya dengan sendirinya merancang enam ciri pengajaran mengikut konteks
secara bertulis dan melaksanakan enam ciri pengajaran mengikut kontek dengan
yakin dalam pengajarannya. Pada pengajaran ketiga, ketiga-tiga guru melakukan
semakan terhadap semua ciri daripada pengajaran mengikut konteks.Untuk itu,
guru tersebut dituntut mesti sabar untuk menjadikan dirinya menjadi guru yang
kreatif iaitu guru yang mesti banyak membaca beberapa buku matematik lainnya
yang berkenaan dengan tajuk pengajaran kelasnya. Sehingga peristiwa tersebut
dapat membimbing dan mengarahkan guru tersebut menjadi guru matematik yang
dicintai pelajar, guru yang disenangi pelajar dan guru yang dirindukan pelajar serta
guru yang dinanti-natikan pelajar di bilik darjah.
Guru dalam mempersembahkan pengajaran mesti mempunyai kesabaran
yang tinggi serta pengajarannya harus selalu berkiblat kepada kateristik daripada
pelajar di bilik darjah dengan demikian guru dalam mempersembahkan
pengajarannya akan berkeyakinan tinggi pula; penggunaan bahasa dalam
pengajaran kadangkala seorang peserta kajian harus menggunakan dua bahasa iaitu
bahasa indonesia dan bahasa aceh dalam menjelaskan subjek pengajaran ini
bertujuan supaya pelajar dalam keseluruhan bilik darjah faham isi daripada
pengajaran guru. Oleh itu, pengajaran guru dapat bermakna tidak hanya bagi
pelajar tetapi bermakna pula bagi karier guru itu sendiri dan dapat
menyumbangkan prestasinya dimana tempat guru itu mengabdi. Sehingga, guru
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
31
tersebut dapat menjemput apa yang ditekankan oleh menteri pendidikan serta visi
dan misi dari sekolah tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
.
Bruce, W.C & J.K. Bruce. (1992). Teaching With Inquiry. Maryland: Alpha
Publishing Company, Inc.
Depdiknas. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum dan Hasil
Belajar Matematika jenjang SD-MI, SLTP-MTs,SMU-MA Pusat
Kurikulum, Balitbang Depdiknas, Jakarta.
Depdiknas. (2003) Kurikulum Berbasis Kopetensi (Draf Juni 2002). Jakarta :
Balitbang Depdikbud.
Hull D. (1997). Who Are You Calling Stupid? Waco : CORD Communication, Inc.
Johnson, E.B. (2002). Contectual Teaching and Learning: What it is and Why it is.
Here to stay. Thousands Oaks, California: Corwin Press, Inc.
Mohd. Uzi, D. (2006). Pengajaran dan Pembelajaran Matematik melalui
Penyelesaian Masalah. Dewan Bahasan dan Pustaka Kuala Lumpur.
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mulholland J., & Wallace J. (2001). Teacher induction and elementary science
teaching:
Nickson, M. (1992). The culture of the matematics classroom: An unknown
quantity? In D. A. Grouws (Ed), Handbook of research on mathematics
teaching and learning, pp. 101-114. New York: Macmillan Publishing
Company.
Noor Shah Bin Hj. Saad. (2002). Teori&Perkaedahan Pendidikan Matematik: Siri
I. Edisi Kedua.Petaling Jaya, Selangor: Prentice Hall, Pearson Malaysia
Sdn.Bhd. Authentitic Assessment for Engl.
Piaget, J. 1970. Genetic Epislemology. New York: Columbia University Press.
Siswono, Tatag Y.E. (2002). Penilaian Autentik dalam Pembelajaran Kontekstual.
Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. VII (Edisi Khusus): 608:612.
Taylor.1993.”Vygotskian Influences in Mathematics Education With Particular
Refrences to Attitude Development”. Dalam Jurnal Focus on Learning in
Mathematics.Vol 15 No. 2 hal.3-17.
Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika :
Paradigma Eksploratf dan Investigatif. Jakarta: Leuser Cita Pustaka.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan
Dosen [http://hukum.jogjakota.go.id/upload/14-Th-2005.PDF]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional [http://www.dikti.go.id/Archive2007/UUno20th2003-
Sisdiknas.htm]
Von. Glassersfeld, E. 1984. An Introduction to Radical Constructivism. Author’s
translation in P. Watzwalick (Ed), The Invented Reality. Newyork: Norton,
1984. Originally published P. Watzlawick (Ed), Die Erfundene
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
32
Wirklichkeit. Munich: Piper, 1981. Erns von Glasersfeld, on line paper,
html.
Vygotsky, L. (1925). The Psychology of Art. Thesis pada fakultas Psikologi
Universitas Moskow.
Vygotsky, L. (1978). Interaction Between Learning and Development. From Mind
and Society (ms. 79-91). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Vygotsky’s Educational Theory in Cultural Context, Cambridge Universty press,
2003.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
33
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR BIOLOGI
SISWA SMA KOTA BANDA ACEH
Musriadi1
Djufri2
Muhibuddin3
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Berbasis
Masalah Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Biologi Siswa SMA Kota Banda Aceh.
Dengan bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa, tanggapan siswa
terhadap model pembelajaran berbasis masalah dengan model pembelajaran konvensional
dan tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi) yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dengan konvensional di SMA Kota Banda Aceh.
Penelitian ini mengunakan pendekatan kuantitatif dengan metode eksperimen dengan
desain penelitian Pretest-posttest Control Group Design. Dalam penelitian ini terdapat kelompok eksperimen kelas X1 dan kelompok kontrol kelas X2 dengan populasi siswa
SMA Inshafuddin Kota Banda Aceh. Pengumpulan data dilakukan dengan pretes, postes
dan angket dengan tehnik analisis data mengunakan uji t pada taraf signifikansi 0,05. Untuk tanggapan siswa dengan deskripsi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat
perbedaan hasil belajar siswa pada kedua kelas dengan thitung 2,292 dan ttabel 1,645 serta
tanggapan siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah 16,17% sangat senang,
50,93% senang, 32,73% kurang senang dan 2,57% tidak senang. Model pembelajaran
konvensional 9,71% sangat senang, 47,37% senang, 38,37% kurang senang dan 4,53%
tidak senang. Tanggapan positif siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah 38,2% sangat senang, 43,5% senang, 16,8% kurang senang, dan 2,5%
tidak senang. Tanggapan negatif siswa 3% senang, 15,8% kurang senang, 43% tidak
senang, dan 38,2% sangat tidak senang tidak ada siswa yang memberikan tanggapan sangat senang. Tanggapan positif siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran
konvensional 32,9% sangat senang, 38,9% senang, 18,3% kurang senang, dan 5,6% tidak
senang. Tanggapan negatif siswa 8,8% senang, 20,6% kurang senang, 37,9% tidak senang dan 32,7% sangat tidak senang.
Kata Kunci : Pembelajaran Berbasis Masalah, Hasil Belajar, Tanggapan Siswa,
Jamur (Fungi).
1Mahasiswa Magister Pendidikan Biologi Universitas Syiah Kuala
2Pembimbing utama, Dosen Magister Pendidikan Biologi Universitas Syiah Kuala
3Pembimbing pembantu, Dosen Magister Pendidikan Biologi Universitas Syiah Kuala
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
34
PENDAHULUAN
Mengacu pada masalah pembelajaran biologi yang dialami siswa di SMA Kota
Banda Aceh di atas diperlukan suatu penelitian yang mengkaji perbaikan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah. Namun, mengingat
pembelajaran merupakan proses yang bersifat irreversible perlu dilakukan
pengujian terlebih dahulu sebelum suatu model pembelajaran dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas secara umum.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suci (2012) menunjukkan bahwa
penerapan model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan kooperatif
diantaranya meningkatkan aktivitas (partisipasi) mahasiswa dalam Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM), meningkatkan hasil belajar mata kuliah teori akuntansi,
mendapat respon yang positif dari mahasiswa karena pembelajaran menjadi lebih
bermakna. menyimpulkan bahwa Hasil belajar baik pada Ranah Kognitif, Afektif dan
Psikomotor mengalami peningkatan setelah diimplikasikan pembelajaran berbasis
masalah. Lestari (2008) juga mengatakan bahwa penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran fisika di tingkat SMP dapat lebih meningkatkan
penguasaan konsep fisika dan keterampilan berpikir kreatif siswa dibanding penggunaan
model pembelajaran tradisional dan penggunaan pembelajaran berbasis masalah (PBM) dapat lebih meningkatkan kemahiran berfikir kreatif dan kritis, kemahiran proses sains
dan pencapaian dalam mata pelajaran fisika, dibandingkan penggunaan pembelajaran
tradisional Penelitian yang dilakukan di atas oleh beberapa peneliti diatas mengunakan sintaks
yang tidak jauh berbeda antara peneliti yang satu dengan peneliti yang lainnya dan
dilakukan pada pembelajaran fisika, namun untuk pembelajaran biologi khususnya dengan
pembelajaran berbasis masalah belum dicobakan. Oleh karena itu penulis ingin
melanjutkan penelitian tersebut dengan sintaks pembelajaran yang berbeda dengan
penelitian yang dilakukan sebelumnya, perbedaan yang penulis lakukan terdapat fase pembelajaran. Dalam penelitian ini hanya membahas mengenai konsep Jamur (Fungi).
Kegiatan penelitian yang akan dilakukan adalah tentang “Penerapan Model
Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Peningkatan Hasil Belajar Siswa SMA Kota Banda Aceh”.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan umum pada
penelitian ini adalah : ”Apakah ada peningkatan hasil belajar siswa dan motivasi
siswa setelah diterapkan Model Pembelajaran Berbasis Masalah?”
Untuk memperjelas permasalahan dalam penelitian ini, maka perumusan masalah
di atas diuraikan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah ada perbedaan hasil belajar siswa yang di ajarkan dengan model pembelajaran
berbasis masalah dibandingkan dengan penerapan pembelajaran konvensional ? 2. Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran dengan model
pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional?
3. Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi) yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional?
Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui :
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
35
1. Untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran berbasis masalah
terhadap hasil belajar siswa pada materi jamur (fungi)
2. Untuk mengetahui Tanggapan siswa terhadap penerapan model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional?
3. Untuk mengetahui Tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi) yang dibelajarkan
dengan penerapan model pembelajaran berbasis masalah dan penerapan model pembelajaran konvensional?
METODE PENELITIAN
Model pembelajaran yang digunakan dalam model pembelajaran berbasis masalah
adalah pembahasan secara klasikal dikelas dengan metode diskusi dan tanya jawab, dan
kegiatan praktikum. Kelas kedua sebagai kelas kontrol, yaitu kelas menggunakan model
pembelajaran konvensional. Pada kelas kontrol ini model pembejaran yang diterapkan
adalah pemaparan materi pembelajaran oleh guru dengan bantuan media pembelajaran
power point. Desain metode eksperimen “Pretest-posttest Control Group” disajikan pada tabel berikut (Tabel-3.1).
Tabel-3.1 : Desain Pretest-posttest Control Group Design
Sampel Kelompok Pretes Perlakuan Postes
Acak A(Eksperimen) O X1 O
Acak B (Kontrol) O X2 O
Ket. :
X1 = Model Pembelajaran berbasis masalah X2 = Model Pembelajaran konvensional
O = Pretes
O = Postes
Tahapan penelitian ini dibagi menjadi lima langkah yaitu merumuskan masalah
yang akan dikaji, studi pendahuluan, perancangan penerapan model pembelajaran berbasis
masalah, implementasi model pembelajaran berbasis masalah, pengumpulan dan analisis
data, serta pengambilan kesimpulan. Tahapan penelitian tersebut digambarkan dalam
bentuk alur penelitian seperti yang ditunjukan pada gambar 3.1.
Tempat dan Subyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di salah satu SMP Negeri di Kota Banda Aceh, Propinsi
Aceh. Sedangkan subyek penelitian ini adalah siswa kelas X sebanyak 120 siswa, yang
tersebar pada empat kelas paralel, dengan rata-rata jumlah siswa 30 siswa per kelas. Dari
populasi ini, diambil secara acak sebanyak 30 siswa yang dijadikan sebagai kelas
eksperimen (pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah) dan 30 siswa
sebagai kelas kontrol (model pembelajaran konvensional). Pengelompokan siswa ke
dalam kelas eksperimen dan kelas kontrol didasarkan pada kemampuan awal penguasaan
konsep (hasil pretes) sama atau tidak berbeda nyata antara kedua kelas.
Proses Pengumpulan Data
Data yang dikumpulan dalam penelitian ini terdiri dari empat macam data, yaitu : (1) data kemampuan hasil belajar awal siswa yang diukur dengan pretest, (2) data
kemampuan hasil belajar siswa setelah proses pembelajaran yang diukur dengan postest,
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
36
(3) data peningkatan hasil belajar yang diukur dengan menghitung selisih antara skor
postest dengan skor pretest, (4) data tanggapan siswa tentang pelaksanaan strategi dan
materi pembelajaran yang diukur dengan skala sikap.
Tehnik Pengolahan Data
Untuk keperluan pengujian penerapan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dengan model pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar siswa dan untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, data yang dikumpulkan adalah
skor pretes (kemampuan awal) dan skor posttest (kemampuan akhir). Data tanggapan
siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dengan model pembelajaran
konvensional, serta tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi) yang dibelajarkan
model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dengan model pembelajaran konvensional
diperoleh melalui angket setelah proses belajar dilaksanakan.
Analisis Data Dari data skor pretest dan skor postes tersebut, selanjutnya dihitung dengan
“Gain” dengan cara mengurangi skor poster dengan skor pretest. Untuk menghindari
kesalahan dalam mengiterpretasikan perolehan Gain masing-masing siswa, maka dilakukan normalisasi Gain dengan menggunakana rumus dari Hake (Cheng, et al., 2004).
Data hasil belajar, siswa dihitung menggunakan rumus g factor (gain score
normalized) sebagai berikut :
Dengan kategori perolehan N-Gain :
Tinggi : N-Gain > 70; Sedang : 30 ≤ N-Gain≤ 70;
Rendah : N-Gain < 30.
Skor rata-rata gain normalisasi (N-Gain) antara kedua kelompok eksperimen
digunakan sebagai data untuk membandingkan kemampuan hasil belajar. Perbedaan kedua
rata-rata antara kelompok eksperimen dilakukan dengan “uji-t”. jenis “uji-t” yang digunakan adalah independen sample t-test. Sebagai persyaratan “uji-t” antara kedua
kelompok eksperimen harus berdistribusi normal dan memiliki varian yang sama
(homogen). Oleh karena itu sebelum dilakukan “uji-t”, terlebih dahulu dilakukan uji
normalitas (data N-gain) kedua kelas eksperimen, dan uji homogenitas (data N-gain)
antara kelas eksperimen. Jika hasil tersebut menunjukkan data berdistribusi normal dan
homogen, maka dilanjutkan uji beda dua rata-rata dengan uji-t test. Jika hasil uji tidak
berdistribusi normal atau tidak homogen, maka uji beda dua rata-rata yang dilakukan adalah uji non parametric dengan menggunakan Uji Mann-whitney.
Data tanggapan siswa terhadapa implementasi model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional dianalisis dengan menghitung persentase
item pernyataan dan dianalisis dengan membandingkan kecenderungan sikap positif dan
sikap negatif siswa.
Skor Postes – Skor Pretes
N-gain = -------------------------------------------- x 100
Skor Postes Tertinggi – Skor Pretes
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
37
Uji Hipotesis Uji hipotesis yang digunakan dalam melihat perbedaan hasil belajar siswa
menggunakan uji-t, sebelum melakukan uji-t terlebih dahulu dirumuskan kedalam bentuk statistik yaitu :
1. Uji beda dua rata-rata (Ho :µ2)
2. Uji beda dua rata-rata (Ha : µ1 ≠ µ2) Hipotesis dalam penelitian ini adalah µ1 ≠ µ2, pengujian dilakukan dengan
menggunakan taraf signifikansi 0,05 dengan kriteria pengujian sebagai berikut :
1. Jika t-hitung > t-tabel (α = 0,05) maka Ho ditolak, Ha diterima
2. Jika t-hitung < t-tabel (α = 0,05) maka Ho diterima, Ha ditolak.
HASIL PENELITIAN
Kemampuan utama yang diamati dalam penerapan model pembelajaran berbasis
masalah dan model pembelajaran konvensional kemampuan penguasaan konsep atau
hasil belajar siswa dan sikap siswa. Hasil belajar siswa ditempuh dengan dua tahap yaitu pertama tahap pengetahuan awal siswa, kedua membandingkan pengetahuan baru dengan
pengetahuan awal siswa. Tanggapan siswa yang diamati ada dua jenis, yang pertama
tanggapan siswa terhadap model pembelajaran, dan yang kedua tanggapan siswa terhadap materi jamur yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dan model
pembelajaran konvensional.
Hasil Belajar Siswa
1. Kemampuan Awal Siswa Siswa yang menjadi sampel penelitian untuk Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
berasal dari SMA Inshafuddin Kota Banda Aceh. Siswa-siswa tentunya telah pernah
mengikuti pembelajaran tentang jamur (fungi) ketika di bangku SMP/MTs. Hasil analisis
kemampuan pengetahuan awal siswa menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang ada di Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol setelah dilakukan pretes
(Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Rata-rata nilai pretes siswa pada kelas eksperimen dan kelas control
Pretes Kelas Normalitas Homogenitas
Signifikansi EXP KNTRL EXP KNTRL EXP-KNTRL
Rata-Rata
Pretest
49.83
38.80 Normal
X2Hitung =
-10.7127
Normal
X2Hitung =
-12.4120
Homogen
Fhitung =1.58
Tidak
Signifikan
thitung = 0.517
thitung < ttabel
0.517 < 1.645
X2tabel (α = 0.05) dk (5-3=2) = 5.9915
Ftabel (α = 0.05) dk (58) = 1.85 Ttabel (α = 0.05) dk (n1+n2-2 = 58) = 1.645
Hasil analisis table 4.1 menunjukkan bahwa siswa yang ada dikelas Eksperimen
dan Kelas Kontrol memiliki kemampuan awal yang sama, dan memiliki nilai pretes
yang sama terlihat dari nilai thitungnya lebih kecil dari ttabel. Uji normalitas menggunakan
uji Chi-Kuadrat sedangkan homogenitas sampel digunakan uji F
2. Hasil Belajar Siswa pada Akhir Pembelajaran Hasil belajar siswa pada akhir pembelajaran tentang jamur (fungi) diukur
melalui postes. Soal postes yang diberikan pada kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 -
8085
38
adalah soal yang sama sebanyak 60 soal. Postes dilaksanakan setelah materi jamur
(fungi) diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah di kelas X-1dan model
konvensional di kelas X-2. Pada kedua terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas control yang tertera pada table 4.2.
TABEL 4.2. Rata-rata N-Gain siswa pada kelas experiment dan kelas kontrol
N-Gain Kelas Normalitas Homogenitas
Signifikansi EXP KNTRL EXP KNTRL (EXP-KNTRL
Rata-Rata
N-Gain
57.80 54.07
Normal
X2Hitung =
2.7985
Normal
X2Hitung =
2.2376
Homogen
Fhitung = 1.19
Signifikan
thitung = 2.292
thitung > ttabel
2.292 > 1.645
X2
tabel (α = 0.05) dk (5-3=2) = 5.9915
Ftabel (α = 0.05) dk (58) = 1.85
Ttabel (α = 0.05) dk (n1+n2-2 = 58) = 1.645
Setelah diperoleh nilai pretes dan postes pada kedua kelas dilakukan uji
signifikansi peningkatan hasil belajar siswa. Untuk menguji signifikansi peningkatan hasil belajar siswa antara kelas eksperimen dan kelas control di tempuh dengan menguji
rata-rata pretes, postes, skor gain dan N-gain pada kedua kelas. Pada kedua kelas
tampak ada peningkatan seperti yang tertera pada gambar 4.1
0
10
20
30
40
50
60
Postes Pretes Gain N-Gain
49.83
39.37
10.47
57.84
44.538.8
5.7
54.06
Kelas Experimen Kelas Kontrol
Gambar 4.1. Perbandingan Hasil Belajar Siswa di Kelas Experimen
dan Kelas Kontrol
Gambar 4.1 tampak bahwa saat pretes siswa di kelas eksperimen dan di kelas
control memiliki rata-rata skor yang tidak jauh berbeda, yaitu 39,37 untuk kelas
eksperimen dan 38,80 di kelas kontrol. Setelah dilaksanakan proses belajar mengajar
(PBM) di kelas eksperimen dan control tampak terdapat perbedaan peningkatan hasil
belajar siswa baik di kelas eksperimen dan kelas control. Kelas eksperimen rata-rata postes 49,83 dan kelas kontrol 44,50 sedangkan rata-rata N-Gain kelas eksperimen 57,82
dan kelas control 54,06.
Perbedaan hasil belajar siswa di kelas Eksperimen dan kelas control digunakan uji
t, data uji t yang digunakan adalah data N-Gain siswa pada kedua kelas. Diperoleh thitung
sebesar 2.292 dan ttabel 1,645, dengan asumsi terima Ho bila thitung < ttabel dan tolak Ho bila
Sk
or
Rat
a R
ata
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
39
thitung > ttabel pada taraf signifikan 0,05. Hasil penghitungan uji t diperoleh thitung > ttabel atau
2,292 > 1,645. Hipotesis yang menyatakan ada perbedaan hasil belajar siswa yang
dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dan model konvensional pada materi jamur (fungi) diterima.
4.1.2 Tanggapan siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah dan model
konvensional Tanggapan siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah dan model
konvensional diberikan kepada siswa berupa angket dengan 20 pertanyaan tentang materi
jamur (fungi) yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masaah dan model
konvensional, angket diberikan setelah selesai materi diajarkan. Analisis tanggapan siswa
terhadap model pembelajaran berbasis masalah dan model konvensional menggunakan
persentase siswa. Sebelumnya pernyataan terlebih dahulu dikelompokkan menjadi tujuh
kelompok pernyataan, lalu setiap kelompok soal diambil rata-rata persentase siswa seperti
yang tertera pada table 4.3.
Tabel 4.3 Skor Rata-rata sikap siswa terhadap model pembelajaran
Kelompok
Pernyataan
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Sangat Senang
Kurang Tidak Sangat Senang Kurang Tidak
Senang Senang Senang Senang Senang Senang
menarik, kepuasan belajar
dan tidak
membosankan
14,2 49,2 34,2 2,5 10,8 50,8 35 3,3
mudah
memahami
prinsip dan
konsep biologi
15,6 50 31,1 3,3 8,9 51,1 34,4 5,6
Membantu
memecahkan
masalah dalam belajar
15 41,7 43,3 0 10 45 43,3 1,7
Meningkatkan
motivasi 16,7 48,9 32,2 2,2 6,7 42,2 46,7 4,4
Meingkatkan semangata kerja
sama dalam
kelompok
20 46,7 30 3,3 8,3 52,5 34,2 5
Perasaan
dihargai dalam
mengemukakan pendapat
15 55 25 5 13,3 40 40 6,7
Meningkatkan
semangat belajar 16,7 65 33,3 1,7 10 50 35 5
Tanggapan siswa di kelas eksperimen pada kelompok menarik, kepuasan belajar
dan tidak membosankan 4,2% siswa merasa sangat senang, 49,2% Senang, 34,2% Kurang senang, dan 2,5 % Tidak Senang. Kelompok Mudah memahami prinsip dan konsep
biologi, 15,6% siswa merasa sangat senang, 50% Senang, 31,1% Kurang senang, dan
3,3% tidak senang. Kelompok membantu memecahkan masalah dalam belajar 15% siswa merasa sangat senang, 41,7% Senang, 43,3% Kurang senang, dan 0% Tidak senang,
kelompok meningkatkan motivasi 16,7% siswa merasa sangat senang, 48,9% Senang,
32,2% Kurang senang, dan 2,2% Tidak senang. Kelompok meningkatkan semangat
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
40
kerjasama kelompok 20% siswa merasa sangat senang, 46,7% Senang, 30% Kurang
senang dan 3,3% Tidak senang. Kelompok perasaan dihargai dalam mengemukakan
pendapat 15% siswa merasa sangat senang, 55% Senang, 25% Kurang senang dan 5% Tidak senang. Kelompok meningkatkan semangat belajar 16,7% siswa merasa sangat
senang, 65% Senang, 3,3% Kurang senang dan 1,7% Tidak senang, dan terlihat jelas pada
gambar 4.2.
0
10
20
30
40
50
60
70
14.2 15.6 15 16.720
15 16.7
49.2 50
41.748.9 46.7
55
65
34.231.1
43.3
32.2 3025
33.3
2.5 3.30 2.2 3.3 5
1.7
Sangat Senang Senang Kurang Senang Tidak Senang
Gambar 4.2 Tanggapan Siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah
Tanggapan siswa di kelas control pada kelompok menarik. Kepuasan belajar dan
tidak membosankan 10,8% siswa merasa sangat senang, 50,8% Senang, 35% Kurang
Senang, dan 3,3% Tidak Senang. Kelompok mudah memahami prinsip dan konsep biologi
8,9% siswa merasa sangat senang, 51,1% Senang, 34,4% Kurang Senang, dan 5,6% Tidak Senang. Kelompok membantu memecahkan masalah dalam belajar 10% siswa merasa
sangat senang, 45% Senang, 43,3% kurang senang, dan 1,7% Tidak Senang. Kelompok
meningkatkan motivasi 6,7% siswa merasa sangat senang, 42,2% Senang, 16,7% Kurang senang, dan 4,4% Tidak senang. Kelompok meningkatkan semangat kerjasama dalam
kelompok 8,3% siswa merasa sangat senang. 52,5% Senang, 34,2% kurang senang, dan
2% Tidak senang. Kelompok perasaan dihargai dalam mengemukakan pendapat 13,3% siswa merasa sangat senang, 40% Senang, 40% Kurang senang, dan 6,7% Tidak senang.
Kelompok meningkatkan semangat belajar 10% siswa merasa sangat senang, 50% senang,
35% kurang senang, dan 5% tidak senang dan terlihat jelas pada gambar 4.3.
Sk
or
Rata
Rat
a
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
41
0
10
20
30
40
50
60
10.8 8.9 106.7 8.3
13.310
50.8 51.145
42.2
52.5
40
50
35 34.4
43.346.7
34.240
35
3.3 5.61.7 4.4 5 6.7 5
Sangat Senang Senang Kurang Senang Tidak Senang
Gambar 4.3 Tanggapan siswa terhadap model konvensional
4.1.3 Tanggapan Siswa Terhadap Materi Pembelajaran jamur Tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi) terbagi atas dua pernyataan, yaitu
pernyataan positif dan pernyataan negatif. Angket diberikan setelah mengikuti
pembelajaran tentang materi jamur menggunakan model pembelajaran berbasis masalah
dan model konvensional Dari angket diperoleh tanggapan positif dan tanggapan negatif
dari kelas Eksperimen dan kelas control. Tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi)
di kelas eksperimen dan kelas control tertera pada table 4.4.
Tabel 4.4. Tanggapan Siswa Terhadap Materi Jamur (Fungi)
No Kriteria
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Tanggapan Tanggapan Tanggapan Tanggapan
Positif Negatif Positif Negatif
1 Sangat Senang 38.2 32.9
2 Senang 43.5 3 38.9 8.8
3 Kurang Senang 16.8 15.8 18.3 20.6
4 Tidak Senang 2.5 43 5.6 37.9
5 Sangat Tidak
Senang
38.2 32.7
Table 4.4 memperlihatkan bahwa tanggapan positif siswa terhadap materi jamur
(fungi) yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah 38.2% sangat senang, 43.5% senang, 16.8% kurang senang, dan 2.5% tidak senang dan tidak ada siswa
memberikan tanggapan sangat tidak senang. Sedangkan tanggapan negatif siswa terhadap
materi jamur (fungi) yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah 3%
senang, 15.8% kurang senang, 43% tidak senang, dan 38.2% sangat tidak senang tidak ada
Sk
or
Rata
Rat
a
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
42
siswa memberikan tanggapan sangat senang. Pernyataan tanggapan siswa terhadap materi
jamur (fungi) kelas eksperimen dapat terlihat jelas pada gambar 4.4.
Gambar 4.4 Tanggapan siswa terhadap materi di kelas PBL
Tanggapan positif siswa terhadap materi yang diajarkan dengan model
konvensional 32.9% sangat senang, 38.9% senang, 18.3% kurang senang, dan
5.6% tidak senang dan tidak ada siswa yang memberikan tanggapan sangat tidak
senang. Tanggapan negatif siswa terhadap materi yang diajarkan dengan model
konvensional 8.8% senang, 20.6% kurang senang, 37.9% tidak senang, dan 32.7%
sangat tidak senang tidak ada yang memberikan tanggapan sangat tidak senang.
Pernyataan tanggapan siswa terhadap materi di kelas control dapat terlihat jelas
pada gambar 4.5.
Sk
or
Rat
a R
ata
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 - 8085
43
0
5
10
15
20
25
30
35
40
sangat
senang
senang kurang
senang
tidak senang sangat tidak
senang
32.9
38.9
18.3
5.6
32.7
0
20.6
37.9
Tanggapan Positif Tanggapan negatif
Gambar 4.5 Tanggapan Siswa Terhadap Materi Di kelas Konvensional
PEMBAHASAN
Pembelajaran berbasis masalah adalah pendekatan pembelajaran siswa pada
masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun pengetahuan sendiri, menumbuhkan
keterampilan yang lebih tinggi dan inquiri, memandirikan siswa, dan dapat meningkatkan
kepercayaan diri sendiri. Masalah autentik diartikan sebagai masalah kehidupan nyata
yang ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah suatu
pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks
bagi siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah,
serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berfikir tingkat tinggi dalam
situasi berorientasi masalah.
Pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang ciri utamanya
pengajuan pertanyaan atau masalah, memusatkan pada keterkaitan antar disiplin,
penyelidikan autentik, kerjasama dan menghasilkan karya atau hasil peraga. Model
pembelajaran menyajikan masalah autentik dan bermakna sehingga siswa dapat
melakukan penyelidikan dan menemukan sendiri.
Pada penelitian ini terbukti dari hasil pretes kelas kontrol dan eksperimen yang
homogen dapat diasumsikan bahwa kemampuan kedua kelas ini setara dan sama. Perlakuan apapun yang diberikan kepada kelas eksperimen nantinya akan memberikan
hasil seberapa besar pengaruh tindakan yang dilakukan dan apakah bernilai positif atau
Sk
or
Rata
Rat
a
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
44
sebaliknya. Dari hasil penelitian, hasil belajar kelas eksperimen terbukti lebih tinggi
daripada kelas kontrol dengan metode konvensional.
Model pembelajaran berbasis masalah yang diterapkan ke kelas eksperimen bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari
siswa sehingga melatih dan meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan menyelesaikan
masalah, serta mendapat pengetahuan konsep-konsep penting. Pendekatan pembelajaran ini mengutamakan proses belajar dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk
membantu siswa mencapai ketrampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berdasarkan
masalah penggunaannya di dalam tingkat berpikir lebih, dalam situasi berorientasi pada
masalah, termasuk dalam proses belajar (Ibrahim dan Nur, 2005).
Data N-Gain penelitian menunjukkan bahwa peningkatan yang diperoleh oleh 2
(dua) kelas tersebut berbeda-beda, dengan rata-rata peningkatan tertinggi berada pada
kelas eksperimen. Meskipun kedua kelas tersebut tidak mempunyai skor yang jauh
berbeda dalam hal peningkatan belajarnya, namun peningkatan hasil belajar siswa
di kelas eksperimen lebih baik jika dibandingkan dengan peningkatan hasil belajar siswa di kelas kelas kontrol.
Peningkatan hasil belajar siswa kelas ekperimen tersebut tidak terlepas dari
aktivitas yang dilakukan oleh guru maupun siswa dalam kelasnya. Guru sendiri berperan sebagai pembimbing teman-temannya yang mengalami kesulitan dalam hal memahami
materi yang telah disampaikan oleh guru, membuat teman-teman dkelasnya lebih aktif
dalam bertanya dan mengeluarkan pendapat, dikarenakan guru itu adalah teman mereka sendiri, sehingga mereka tidak ada rasa malu ataupun enggan utnuk
bertanya atau sekedar mengeluarkan pendapatnya. Siswa relatif bebas bersikap dan
berpikir, bebas memilih perilaku yang dapat diterima/tidak diterima oleh teman-teman
sebayanya. Trianto (2007) menyebutkan bahwa siswa dapat lebih aktif dalam
berkomunikasi dengan perasaan bebas yang dimilikinya jika mereka merasa akrab dengan
gurunya, sehingga dapat mempermudah dalam memahami konsep/materi yang sedang diajarkan.
Hasil observasi aktifitas siswa pada metode pembelajaran berbasis masalah
didapatkan bahwa aktifitas-aktifitas yang dilakukan seluruhnya memperoleh rata-rata persentase yang tinggi. Perasaan butuh belajar dan berharap berhasil tetap terjaga dan
konsisten sampai akhir pembelajaran terbukti dengan aktifitas menyelesaikan masalah dan
aktifitas mencapai tujuan belajar tetap memperoleh persentase yang tinggi. Selain itu sikap siswa yang tertarik untuk belajar dilakukan oleh seluruh siswa kelas eksperimen (100%),
sikap bertanggung jawab juga mendominasi (88%) siswa tau kewajiban dan harapan dari
guru pada pembelajaran ini.
Sanjaya (2008) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah (PBM)
memiliki beberapa kelebihan, diantaranya: dapat menantang kemampuan siswa serta
memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa, dapat
meningkatakan aktivitas pembelajaran siswa, membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.
Disamping itu, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri baik
terhadap hasil maupun proses belajarnya dan mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. Motivasi
siswa meningkat terbentuk dan akan terus meningkat tajam, mempertahankan proses
belajar mengajar tetap menjadi perhatian utama para siswa selama waktu tertentu jika
menggunakan metode pembelajaran seperti ini.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
45
Guru dalam pembelajaran berdasarkan masalah berperan sebagai penyaji masalah,
penanya, mengadakan dialog membantu menyelesaikan masalah, dan memberi fasilitas
penelitian. Selain itu guru menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan intelektual siswa. Pembelajaran berdasarkan masalah hanya dapat terjadi
jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran
gagasan. Berdasarkan kajian empirik dan teoritis tersebut diatas, dapat dipaparkan bahwa
metode pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dan
hasil belajar siswa. Hal ini terlihat dari perbedaan peningkatan hasil belajar antara kelas
eksperimen, yang belajar dengan guru yang menerapkan metode pembelajaran berbasis
masalah, lebih baik dibandingkan dengan peningkatan hasil belajar siswa pada kelas
kontrol, yang belajar dengan guru yang menerapkan metode pembelajaran konvensional
pada materi Jamur (Fungi).
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa penerapan
metode pembelajaran berbasis msalah dapat meningkatkan hasil belajar dan motivasi
siswa pada materi Jamur (Fungi) dengan kesimpulan: 1. Kemampuan hasil belajar materi Jamur (Fungi) menggunakan model pembelajaran
berbasis masalah lebih baik dibandingkan dengan kemampuan hasil belajar materi
Jamur (Fungi) menggunakan model pembelajaran konvensional. Dengan menggunakan pembelajaran berbasis msalah dapat menjadikan siswa lebih kreatif, berpikir tingkat
tinggi dan aktif.
2. Motivasi belajar siswa pada belajar materi Jamur (Fungi) menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah lebih baik dibandingkan dengan kemampuan hasil
belajar materi Jamur (Fungi) menggunakan model pembelajaran konvensional. Siswa
lebih menyukai pembelajaran berbasis masalah karena interaksi-interaksi yang muncul membuat mereka lebih mudah dan cepat dalam memperoleh tujuan belajar. Sikap
tertarik yang ditampilkan siswa memberikan motivasi yang tinggi pada proses
pembelajaran. Hasil temuan penelitian menjelaskan bahwa kelas siswa yang mendapat model
pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada kelas siswa yang tidak menggunakan
model pembelajaran berbasis masalah (konvensional). Kelas model pembelajaran berbasis masalah mempunyai motivasi lebih tinggi dalam belajar dibandingkan kelas konvensional.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arifin, Z. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya : Lentera Cendikia.
Arikunto, S. (2006a). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Arikunto, S. (2006b). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Abbas, N. (2000a). Penerapan Model Pembelajran Berdasarkan Masalah (Problem
Based Instruction) dalam Pembelajaran Matematika di SMU. Tersedia:
http://www.Depdiknas.go.id/jurnal/51/040429%.pdf. diakses 10 Januari 2013. Abbas, N. (2000b). Penerapan Model Pembelajran Berdasarkan Masalah (Problem
Based Instruction) dalam Pembelajaran Matematika di SMU. Tersedia:
http://www.Depdiknas.go.id/jurnal/51/040429%.pdf. diakses 10 Januari 2013.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
46
Abbas, N. (2000c). Penerapan Model Pembelajran Berdasarkan Masalah (Problem
Based Instruction) dalam Pembelajaran Matematika di SMU. Tersedia:
http://www.Depdiknas.go.id/jurnal/51/040429%.pdf. diakses 10 Januari 2013. Arends, (2009a). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,Landasan
dan Implementasi Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta
: Kencana Prenada Media Group. Arends, (2009b). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,Landasan
dan Implementasi Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta
: Kencana Prenada Media Group.
Ali, R., Akhter, A., Shahzad, S., Sultana, N., & Ramzan, M. (2011). The impact
of motivation on students’ academic achievement in mathematics in problem
based learning environment. International Journal of Academic Research. 3
(1). 306-309.
Barrows, H. (1996). New direction for teaching and learning “Problem Based Learning
medichine and beyond: A brief overbiew. Jossey Bass Publishers.
Boud, D. and G. Feletti. (2007). The Challenge of Problem Based Learning. London :
Kogan Page
Dahar, R. W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga.
Duch, J. B. (1995a). Problem Based Learning in Physics: The Power of Student
Teaching Student. Tersedia: http://www.udel.edu/pbl/jan95-phys.html diakses pada tanggal 08 Januari 2013.
Duch, J. B. (1995b). What is Problem Based Learning?. Tersedia di :
http://www.udel.edu/pbl/jan95-phys.html diakses pada tanggal 08 Januari 2013.
Duch, J. B. (2008). A Key Factor in PBL. Tersedia di : http://www.udel.edu/pbl/jan95-
phys.html diakses pada tanggal 08 Januari 2013.
Duch, J. B. (2001). The Power Of Problem Based Learning. Virginia: Sterling.
Dimyati, M. (1999). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta :Rieneka Cipta
Ehreberg, R. G.,Brewer, D.J.,Gamoran,A.,Wilms,J.D (2001). Class Size and
Studentachiecement.American Psychologycal Society (2 (1),1:28 Ennis. R. H. (1985). Developing Mind : Goal for a critical Thinking Curriculum.
Arethur L. Costa Editor
Glazer, E. (2001a). Problem Based Instruction. In M. Orey (Ed.), Enginering
Perspectives on learning, teaching, and technology Tersedia.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
47
KURIKULUM INTEGRATIF PADA PEMBELAJARAN SAINS
DI SEKOLAH DASAR
Prof. Madya. Dr. Nurahimah Bt Mohd Yusoff. 1
Drs. Ibrahim. M.Pd 2
ABSTRAK
Kurikulum integratif mempunyai pengertian yang subjektif terhadap penerapan dan tujuan dari pelaksanaanya. Integratif diartikan sebagai kesepaduan yaitu menekankan
perkembangan individu secara menyeluruh dan bersepadu ke arah melahirkan insan yang
baik berdasarkan kepercayaan, keyakinan serta kepatuhan kepada Tuhan. Kurikulum integratif juga dapat diartikan kesepaduan bermacam ketrampilan dalam satu pengajaran
dan pembelajaran atau mungkin juga kesepaduan keberagaman disiplin ilmu dalam
sesuatu subjek yang di ajarkan kepada siswa-siswi. Fokus uraian tentang pengembangan
kurikulum integratif kepada tiga landasan pendidikan dan pengetahuan yaitu: Pertama,
integratif dari segi kesepaduan bahan ajar yang diajarkan kepada peserta didik, artinya
setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam proses belajar mrngajar harus dapat difahami oleh semua siswa di jenjang sekolah dasar. Kedua pada keperluan yang
komprehensif dan bersepadu bukannya terpecah-pecah dalam mengikuti bahan ajar yang
sesuai akan membuat siswa mudah mengerti. Ketiga setiap siswa dapat mempelajari sesuatu ilmu atau pengetahuan yang disediakan bagi mereka tentu sejalan dengan
pengetahuan dan perkembangan jasmani dan rohani tingkat sekolah dasar. Untuk
mengembangkan Kurikulum Integratif untuk mengajarkan materi IPA Sains, sekaligus menumbuhkan sikap arif pada diri siswa terhadap nilai-nilai yang diintegrasikan.
Penerapan Kurikulum Integratif diharapkan dapat memberikan manfaat ganda bagi siswa,
yaitu pemahaman dan penguasaan materi IPA sains, tumbuhnya sikap arif pada diri siswa
terhadap nilai-nilai yang diintegrasikan, khususnya nilai-nilai kearifan lokal (KL), dan
keberagaman budaya (KB). Tujuan jangka panjang yang akan dicapai adalah
mengimplementasikan nilai-nilai syariat Islam dalam pembelajaran tematis di kelas rendah
sebagaimana yang diamanatkan Qanun Pendidikan Provinsi Aceh, dan membantu guru dalam
melaksanakan amanat pendidikan nasional saat ini, yaitu melaksanakan Pendidikan Berkarakter.
Sedangkan target khusus yang dicapai adalah tersedianya perangkat pembelajaran Kurikulum Integratif untuk kelas awal SD/MI.
Kata Kunci: Kurikulum Integratif, pembelajaran IPA Sains, SD/MI
1 Dosen CAS University Utara Malaysia, Sintok Kedah Darul Aman Malaysia.
2 Dosen Prodi Biologi Pendidikan FKIP USM Banda Aceh
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
48
PENDAHULUAN
Perkembangan budaya dalam masyarakat Aceh terus berkembang dan sejalan dengan
kaedah ajaran agama Islam yang dijalan secara turun-temurun dalam setiap jenjang
pendidikan formal. Nilai-nilai Islami itu telah diamalkan secara turun temurun dan menjadi
adat tradisi dalam masyarakat Aceh, yang juga dapat diwarisi dari generasi ke generasi
melalui pendidikan dalam keluarga, masyarakat, dalam rangka mendidik pribadi-pribadi
muslim yang berakhlakul karimah. Dikarenakan pengaruh dalam modernisasi, sekarang ini
dalam masyarakat telah terjadi pergeseran nilai-nilai yang berkenaan agama Islam dan budaya
orang Aceh. Sebaiknya nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan azas budaya
dan pendidikan merupakan bagian penting dalam kegiatan pendidikan (Morina, 2010). Setelah
tsunami tahun akhir Desember 2004 yang lalu, terjadilah proses keterbukaan daerah Aceh,
mengakibatkan masyarakat Aceh mengalami paparan terhadap berbagai budaya negara luar
terutama pada akses agama, pendidikan dan budaya. Sementara itu, keadaan sanitasi,
kesehatan masyarakat di Aceh pasca musibah gempa dan tsunami tersebut sangat
mengkhawatirkan. Banyak sumber air bersih di daerah yang terkena tsunami tercemar dengan
minyak, mikroba tanah, arsen kerak bumi sehingga tidak dapat dicomsumsi oleh masyarakat.
Air dengan kualitas yang baik menjadi sesuatu yang mahal bagi masyarakat Aceh. Meskipun
disebagian daerah masyarakatnya masih dapat mengandalkan perusahaan daerah air minum,
namun distribusi air ke rumah-rumah penduduk tidak lancar bahkan ada kendala jaringan air
bersih yang belum tersambung hingga saat ini (Serambi Indonesia,2013).
Upaya mendukung pelaksanaan syariat Islam diselur wilayah Provinsi Aceh serta
mengembangkan sistem pendidikan Islami yang sekarang dikembangkan di Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), adalah seyogianya budaya Islami dan adat Aceh dihidupkan kembali.
Untuk itu, Pemda NAD telah menyusun Qanun Pendidikan no 5 tahun 2008 menegaskan
bahwa: Pendidikan Provinsi NAD adalah pendidikan yang berlandaskan pada Al-Quran dan
al Hadist, falsafah negara Pancasila, UUD 1945, dan kebudayaan Aceh yang Islami.
Sejalan dengan Qanun Pendidikan di provinsi NAD di atas, dikeluarkan kebijakan
dalam bidang pendidikan, salah satunya kebijakan tentang pengembangan kurikulum yang
relevan dengan pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan serta disesuaikan
dengan kebutuhan lokal, khususnya terkait dengan pelaksanaan syariat Islam. Masalah
pendidikan Aceh menjelaskan bahwa salah satu aspek terpenting dari penyelenggaraan
keistimewaan Aceh yang bersendikan syariat Islam adalah sistem pendidikan yang mampu
mendukung cita-cita melahirkan sumber daya manusia berkualitas unggul dan kompetitif baik
kualitas iman dan taqwa (IMTAQ) maupun kualitas imu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
Sulaiman (2008). Selanjutnya , Rusdi Sufi (2009) menjelaskan bahwa keadaan budaya yang
Islami dalam penerapan sistem pendidikan di Aceh belum menampakkan kesan yang kuat
sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemberlakuan
syariat Islam. Banyak hal yang terlihat belum menunjang penataan sistem tersebut, antara lain
bahan ajar yang belum tertata dengan baik dan kurikulum berbasis kompetensi versi NAD
yang belum tersedia untuk dipergunakan oleh guru.
Berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum 2013, pada awal semester ini maka bahan
ajar siswa ditekankan bahwa salah satu prinsip pengembangan silabus adalah aktual dan
kontekstual. Selain itu, pembelajaran yang dilakukan memberikan penekanan pada karakter
pelajar/siswa, kebutuhan sekolah, dan muatan lokal kebijakan daerah. Pembelajaran tersebut
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
49
salah satunya adalah pembelajaran yang mengacu pada Kurikulum Integratif, yaitu suatu
kurikulum yang dikembangkan untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 berkarakter.
Pelaksanaan Kurikulum Integratif dilakukan melalui pengembangan dan pelaksanaan
pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal (KL) & keberagaman budaya
(KB) Aceh.
Tujuan utama tulisan ini adalah bagaimana upaya melaksanakan Kurikulum Integratif
pada pembelajaran sains di SD/MI. Sehingga dilakukan kegiatan sebagai berikut.
(1) Dapatkah guru menlaksanan proses belajar mengajar dengan Kurikulum Integratif pada
pembelajaran sains untuk mengajarkan materi IPA sains di sekolah dasar.
(2) Apa saja perangkat pendukung Kurikulum Integratif pada pembelajaran sains yang
meliputi: RP, LKS, Buku Panduan Belajar, Panduan Pengembangan Kurikulum Integratif
yang harus dipergunakan oleh siswa.
(3) Mengembangkan kopetensi siswa dan mengetahui kualitas Kurikulum Integratif yang
akan dipergunakan oleh guru/ siswa dan akan dikembangkan sejara berjenjang pada
semua sekolah tingkat SD/MI.
Kurikulum Integratif Islami mempunyai pengertian yang subjektif terhadap
penerapan dan tujuan dari penlaksanaanya. Integratif diartikan sebagai kesepaduan yaitu
menekankan perkembangan individu secara menyeluruh dan berpaduan ke tujuan yang dapat
melahirkan insan yang berakhlakul karimah. Kurikulum integratif juga boleh memberi arti
kesepaduan pada berbagai keahlian dalam suatu proses belajar mengajar atau multi disiplin
ilmu yang perlu di ajarkan kepada peserta didik. Dalam membidik uraian tentang
pengembangan sebuah produk kurikulum yang dapat mengintegrasikan aspek, agama islam,
budaya dan kearifan lokal serta pengetahuan dasar/karakter yang harus dimiliki setiap siswa.
PEMBAHASAN
Integratif dari sudut pandang mengaitkan materi ajar pada suatu informasi yang harus
disampaikan kepada siswa-siswi. Dalam arti jamak lainnya kontek ilmu pengetahuan dan
pengalaman dalam proses belajar mengajar yang perlu difahami peserta didik sesuai dengan
perkembangan usia mereka. Kata integrasi (integration) berarti pencampuran,
pengkombinasian dan perpaduan secra sistematik dan terpola dengan benar. Integrasi secara
umum dapat dilakukan terhadap dua hal atau lebih, dan masing-masing dapat saling mengisi
tanpa bersinggungan atau paradoks (Woodford, 2003). Berdasarkan pengertian-pengertian di
atas dapat dijelaskan bahwa pengertian dari integrasi pembelajaran sains dan agama islam
dalam tulisan ini adalah menyepadukan dan mengkombinasikan cara pandang atau kerangka
pikir yang biasa dipakai di dalam sains, yakni rasional-empiris-ilmiah dengan agama yang
cenderung normatif-teologis-dalam proses pembelajaran yang berakhlakul karimah.
1. Pengertian Pendidikan Islam
Perdasarkan logika dan pemikiran bahwa suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan
tidak akan mempunyai arti apa-apa. Dapat ditafsirkan bahwa dari pengalaman selama proses
belajar mengajar merupakan tujuan yanga akan dicapai oleh peserta didik. Pada dasarnya
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
50
pendidikan merupakan usaha yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam membantu arah
tujuan yang harus dicapai oleh siswa. Namun sebelum masuk pada pembahasan mengenai
fungsi dan tujuan Pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian
Pendidikan Islam. Pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk
menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta
mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi, yang berdasarkan
kepada ajaran Al-qur’an dan Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini terciptanya manusia
yang berakhlakulkarimah setelah proses pendidikan berakhir. Amri (2012) berpendapat
bahwa pendidkan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan
potensi manusia lain atau memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya kepada orang lain. Dalam
proses pemindahan nilai itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah,
pertama melalui pengajaran yaitu proses pemindahan nilai berupa (Ilmu) pengetahuan dari
seorang guru kepada murid-muridnya dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. kedua
melalui pelatihan yang dilaksanakan dengan jalan membiasakan seseorang melakukan
pekerjaan tertentu untuk memperoleh keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut. ketiga
melalui indoktrien yang diselenggarakan agar orang meniru atau mengikuti apa saja yang
diajarkan orang lain tanpa mengizinkan si penerima tersebut mempertanyakan nilai-nilai yang
diajarkan secara bebas. Apabila ingin membahas seputar Islam dalam Pendidikan merupakan
suatu hal yang sangat menarik terutama dalam kaitannya dengan upaya pembangunan Sumber
Daya Manusia muslim, sebagaimana Islam di pahami sebagai pegangan hidup yang diyakini
mutlak kebenarannya akan merai arah dan landasan etis serta moral pendidikan, atau dengan
kata lain hubungan antara Islam dan pendidikan bagaikan dua sisi keping mata uang. Artinya,
Islam dan pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar baik secara
ontologis, epistimologis maupun aksiologis. Pemikiran di atas sejalan dengan falsafah bahwa
sebuah usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat
seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya adalah tidak lebih dari pengalaman
selam perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam
penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakn. Namun sebelum masuk dalam pembahasan
mengenai fungsi dan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian
Pendidikan Islam itu sendiri dan fungsinya untuk masyarakat. Peran lembaga pendidikan
memberikan perhatian dan menyelenggarakan riset tentang Islam yang tercermin dalam
program sebagai ilmu yang diperlukan seperti ilmu-ilmu lain yang setara. Pengertian di atas
dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan
tingkah laku (karakter) yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya pendidikan untuk
kepentingan bangsa.
2. Kurikulum Integratif.
Walaupun Fogarty (1991) mengartikan bahwa kurikulum sebagai model untuk
menyepadukan ketrampilan, tema, konsep, dan topik dalam bahan bantu pengajaran sains
Biologi atau menggabungkan kedua-dua masalah metode, teknik yang perlu dipersiapkan oleh
guru. Sebagai model kurikulum integratif yang menawarkan beberapa kemungkinan tentang
perpaduan dan berhubungan antara aktivitas dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman
pendidikan.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
51
Perpaduan dan kombinasi dua paradigma ini menjadi salah satu variabel terwujudnya
integrated curriculum. Menurut Drake, (1998) kurikulum integratif (integated curriculum)
adalah model kurikulum yang disusun dan dilaksanakan dengan mengedepankan berbagai
perspektif, di dalamnya terangkum berbagai pengalaman belajar, dan menjembatani berbagai
ranah pengetahuan sehingga proses belajar mengajar leih bermakna. Kemudian Siraj, (2001)
menyatakan bahwa model kurikulum ini banyak memberikan manfaat kepada anak didik, dari
sisi keilmuan maupun pengalaman yang berguna bagi kehidupannya di masa mendatang /life
skill. (Sabda, 2005).Integrated curriculum tersebut pada akhirnya akan menghasilkan
interconnected curriculum atau interdependent curriculum. Penjelasan makna integrated
curriculum dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti kolaborasi penggabungan (fusion)
beberapa topik menjadi satu bahagian bahan ajar yang mudah disampaikan kepada siswa.
Misalnya topik tentang kesehatan, lingkungan hidup, perubahan ekologi, panas bumi,
kerusakan hutan, banjir dan perilaku masyarakat digabungkan menjadi satu dalam kajian
tentang biologi. Menyepadukan sub disiplin keilmuan ke dalam induknya menjadi satu
kesatuan seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu kimia, biologi, fisika dan sain
teknologi dimasukkan ke dalam kelompok MIPA- ilmu murni (pure science). Ada juga
dengan cara menghubung-hubungkan satu topik dengan pengetehuan-pengetahuan lain yang
sedang dipelajari oleh siswa tetapi berbeda jam. Ini diistilahkan Sabda dengan
multidisciplinary. Misalnya, ketika jam tertentu siswa belaj ar tentang biologi mahluk hidup,
maka guru dapat meminta siswa untuk mengigat atau mengungkapkan pengetahuan yang
diperolehnya dalam pelajaran lain yang masih ada kaitannya. Proses penyampaian materi satu
topik dengan menggunakan berbagai perspektif dalam waktu bersamaan. Ini disebut Drake
(1998) dengan istilah interdicplinary. Misalnya, topik lingkungan dijelaskan melalui
perspektif agama islam, adat dan budaya Aceh, tradisi yang sering berinteraksi disekitar
masyarakat. Langkah ini biasanya cenderung mengedepankan pendekatan bandingan
(comparative spective).antara peserta didik dengan lingkungan sekitar atau antara siswa
dengan siswa. Usaha mengaitkan suatu topik dengan nilai-nilai, peristiwa, isu-isu terkini
(current issues) yang sedang berkembang dalam prakteknya penyusunan dan pelaksanaan
kurikulum tidak dimulai dari apa yang tertulis, tetapi berdasarkan pertanyaan siswa terhadap
permasalahan tertentu, tentang sesuatu yang dianggap urgen. Langkah-langkah di atas,
menurut Ibrahim (2012) harus tetap berada dalam bingkai korelasi (correlation) dan
harmonisasi (harmonization). Artinya, dalam mewujudkan kurikulum integratif, baik pada
level konsep maupun implementasi, kata kuncinya adalah korelasi dan harmonisasi.
Dengan demikian, perspektif yang beragam, pengalaman yang bermacam-macam,
pendekatan dan bidang keilmuan yang variatif harus tetap memiliki keterkaitan antara satu
sarna lain dan tidak saling bertentangan atau dipertentangkan, agar dapat saling mengisi dan
melengkapi. Pada tataran praktis, penciptaan korelasi dan harmonisasi dalam kurikulum
integratif sangat ditentukan kemampuan melakukan eksplorasi (terutama guru) terhadap
berbagai isu penting yang sedang berkembang, dan menghindari pengulangan-pengulangan
yang membingungkan siswa. Secara implementatif dalam wilayah pembelajaran, yang
menggunakan model integratif islami meliputi ranah filosofis, dan ranah strategi Morina
(2012). Ranah filosofis dalam pembelajaran berarti bahwa eksistensi dalam kaitannya dengan
disiplin ilmu lainnya. Integratif ditandai dengan pengintegrasian materi satu disiplin ilmu
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
52
dengan lainnya untuk saling melengkapi dan menguatkan metode pembelajaran
mengharuskan penggunaan berbagai pendekatan keilmuan, sedangkan pada ranah strategi
pembelajaran integratif ditunjukkan dengan penerapan strategi pembelajaran yang variatif
dengan prinsip pembelajaran aktif.
3. Pengembangan Kurikulum Integratif Islami
Usaha menyepadukan kurikulum ilmu pengetahuan sains dan pendidikan agama
Islam pada asasnya membentuk keupayaan kurikulum mata pelajaran sains dengan
pendidikan agama Islam yang sejalan dengan waktu dan kemauan institusi pendidikan. Makna
pengembangan kurikulum dapat dilihat dari program atau inovasi dalam kurikulum agar dapat
dilaksanan dengan baik oleh guru, sekolah atau pihak ibu wali murid yang perlu di
ditunjukkan dengan penetapan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip
pembelajaran aktif, Syafruddin Sabda (2006) merencanakan tiga cara untuk pengembangan
kurikulum integratif Islam, adalah:
1) Integrasi pengetahuan sains dan pendidikan Islam
Berkenaan dengan masalah ini kurikulum mata pelajaran sains seperti Biologi, Fisika,
Kimia dan lain-lain semua data tertulis untuk menggabungkan konsep, teori, nilai-nilai Islam
didalamnya komponen objektif, isi, proses dan hasil yang diharapkan akan lebih baik dan
berguna kepada siswa.
2) Integrasi pendidikan agama Islam dalam bahan ajar.
Untuk meng integrasikan bahan ajar sains dalam pendidikan agama Islam seperti
uraian di atas maka model kurikulum integratif tersebut dikaitkan dengan pendidikan agama.
Program kurikulum integratif bukan hanya pada penguatan isi pelajaran atau bahan ajar
tetapi juga melibatkan strategi pengantar materi ajar, cara evaluasi. Masalah ini boleh
dilakukan dengan (a) mengintegrasikan bahan ajar pendidikan agama dengan masalah-
masalah subjek sains untuk memperkaya pengetahuan siswa dan (b) mengintegrasikan subjek
pendidikan agama dengan konsep teori mata pelajaran sains diluar mata pelajaran yang wajib
diajarkan di sekolah. Kemudian penilaian yang menyeluruh terhadapa bahan ajar dan proses
yang dijalankan oleh pihak sekolah.
3) Integrasi pengetahuan dan pendidikan agama Islam saling berkaitan.
Pada bagian ketiga ini upaya menggabungkan dua cara yang mempunyai uraian
dalam proses 1 dan 2, bahwa maksud mengajar bermacam disiplin sains diajar dalam cara
yang sepadan dengan agama Islam.
Kemudian pakar kurikulum seperti Collin (1991), Case (1991), Brophy (1993)
Maurer (1994),Blanc (1995), Mulyasa (2010), konsep kurikulum integastif yang bagus dapat
menggabungkan antara beberapa keahlian, konsep, tema dan topik secara linier pada disiplin
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
53
ilmu senantiasa mudah diikuti oleh pelajar didalam kelas. Achsin (2007), kurikulum integratif
adalah (1) memadukan ilmu agama dan umum dalam kurikulum yang dilaksanakan di
sekolah, (2) memadukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (imtek) dan Imtak (Iman dan
Taqwa) dan (3) integrasi antara institusi dengan kemauan ibu-wali pelajar, yaitu bagaimana
sekolah/yayasan dalam mendidik anak juga melibatkan wali murid yang dapat membantu
pendanaan.
Sejak diperkenalkannya reformasi pendidikan sains yang dilakukan dalam
adopsi dari pendekatan terpadu untuk mengajar ilmu pengetahuan di Amerika Serikat,
Australia, dan Eraopa, banyak negara telah mengadopsi pendekatan saisn teknologi dan
masyarakat. Namun, filosofis didasarkan pada kesamaan dari semua ilmu pengetahuan atau
semua disiplin ilmu dalam kaitannya dengan konsep-konsep ilmiah, prinsip, nilai-nilai sikap
dan ilmu pengetahuan proses serta dalam kaitannya dengan sifat antar-disiplin dari masalah
kehidupan nyata menjadi ditangani melalui ilmu pengetahuan, Ibrahim (2010).. Ilmu yang
harus disampaikan kepada siswa dalam terpadu atau holistic model sehingga dapat
mencerminkan kesempatan belajar dalam berbagai konteks. Bahwa aktivitas transfer
pengetahuan, keterampilan dan teknik belajar di kelas, merupakan salah satu dasar dari
argumen pedagogis Ada juga kebutuhan praktis untuk siswa dalam meningkatkan
pengetahuan ilmiah, yang semakin meningkat. Siswa dapat memperoleh wawasan
mendasar/konsep ilmu yang akan berfungsi sebagai referensi awal setelah meninggalkan
sekolah dan beradaptasi dalam masyarakat.
4. Pembelajaran Terpadu Bentuk Tematik
Kemampuan untuk memecahkan masalah nyata berarti kompetensi (Baez dan Alles,
1973). Memang, pemecahan masalah memerlukan membuat pertimbangan nilai dan
pengambilan keputusan. Ini pada gilirannya melibatkan membuat pilihan mengingat interaksi
yang kompleks dari ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi dan masyarakat, budaya dan
lingkungan di sisi lain. Latihan pilihan dalam kaitannya dengan ilmiah Kegiatan adalah
tindakan tanggung jawab yang besar. Tiga konsep, terhadap ingin tahu, kasih sayang dan
kompetensi yang terkait erat satu sama lain. Selain itu, mereka merupakan penting aspek
pendidikan umum individu. Memasukkan mereka ke ilmu yang tidak dipisahkan program
untuk sekolah sangat penting.diantaranya:
1. Landasan yuridis dalam pembelajaran tematik berkaitan dengan berbagai kebijakan atau
peraturan yang mendukung pelaksanaan pembelajaran tematik disekolah dasar. Landasan
yuridis tersebut adalah UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan
bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya
(pasal 9). UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa
setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
2. Landasan filosofis dalam pembelajaran tematik sangat dipengaruhi oleh tiga aliran filsafat
yaitu: (1) progresivisme, (2) konstruktivisme, dan (3) humanisme yang berlaku pada
masyarakat setempat dan pengaruh sosial. Hakikat pembelajaran terhadap proses
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
54
pembelajaran perlu ditekankan padapembentukan kreatifitas, pemberian sejumlah kegiatan,
suasana yang alamiah (natural), dan memperhatikan pengalaman peserta didik/siswa.
3. Aliran konstruktivisme meihat pengalaman langsung peserta didik (direct experiences)
sebagai kunci dalam pembelajaran. Menurut aliran ini, pengetahuan adalah hasil konstruksi
atau bentukan manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan
obyek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu
saja dari seorang guru kepada anak, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing
peserta didik. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang
berkembang terus menerus. Keaktifan peserta didik yang diwujudkan oleh rasa ingin tahunya
sangat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
4. Aliran humanisme melihat peserta didik dari segi keunikan/kekhasannya, potensinya, dan
motivasi yang dimilikinya suatu tempat atau wilayah tertentu yang berhubungan dengan
aktivitas siswa dan guru. Hal ini berkaitan dengan perkembangan atau psikologis anak didik
dalam pembelajaran tematik terutama berkaitan dengan psikologi perkembangan peserta didik
dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan
isi/materi pembelajaran tematik yang diberikan kepada peserta didik agar tingkat keluasan dan
kedalamannya sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Psikologi belajar
memberikan kontribusi dalam hal bagaimana isi/materi pembelajaran tematik tersebut
disampaikan kepada peserta didik dan bagaimana pula peserta didik harus mempelajarinya
sesuai dengan perkembangan jasmani dan kematangan emosionalnya.
KESIMPULAN
Bermacam masalah untuk melakukan pembaharuan pendidikan bahwa salah satu
aspek terpenting dari penyelenggaraan mengisi keistimewaan Aceh yang bersendikan syariat
Islam. Tujuan dan cita-cita melahirkan sumber daya manusia berkualitas unggul dan
kompetitif baik kualitas iman dan taqwa (IMTAQ) maupun kualitas imu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK). Para pakar pendidikan menjelaskan bahwa keadaan budaya yang Islami
dalam penerapan sistem pendidikan di Aceh belum menampakkan perubahan yang kuat
sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemberlakuan
syariat Islam. Banyak hal yang terlihat belum menunjang penataan sistem tersebut, antara lain
bahan ajar yang belum tertata dengan baik dan kurikulum berbasis kompetensi versi NAD
yang belum tersedia untuk dipergunakan oleh guru. Sejalan dengan pelaksanaan kurikulum
2013, pada awal semester ini maka bahan ajar siswa ditekankan bahwa salah satu prinsip
pengembangan silabus adalah aktual dan kontekstual. Selain itu, pembelajaran yang dilakukan
memberikan penekanan pada karakter pelajar/siswa, kebutuhan sekolah, dan muatan lokal
kebijakan daerah. Pembelajaran tersebut salah satunya adalah pembelajaran yang mengacu
pada Kurikulum Integratif, yaitu suatu kurikulum yang dikembangkan untuk mendukung
pelaksanaan Kurikulum 2013 berkarakter. Pelaksanaan Kurikulum Integratif dilakukan
melalui pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai
kearifan lokal & keberagaman budaya Aceh.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
55
SARAN
Nilai-nilai kearifan dalam kehidupan sehari-hari merupakan karakter siswa
diharapkan untuk dimasukkan sebagai tujuan pembelajaran dapat dilakukan dengan Kuriulum
Integratif dicantumkan pada panduan bahan ajar, yang dapat dilakukan oleh institusi dan guru.
Untuk memadukan ilmu agama dan umum dalam kurikulum yang dilaksanakan di sekolah,
memadukan Teknologi dan Imtak (Iman dan Taqwa) yaitu tujuan sekolah/lembaga dalam
mendidik siswa-siswa yang berkarakter.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Mas'ud, (2002). Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme
Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam), Yogyakarta: GAMA MEDIA.
Amin Abdullah, dkk.2003, Menyatukan Kembali Ilmu-IImu Agama dan Umum, Yogyakarta:
SUKA Press.
Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw-
Hill
Bahrum, Teuku, dkk. (2002). Peulajaran Basa Aceh. Pabelan: Medan.
Cut Morina Zubainur,Ibrahim dan Su’id (2008). Kurikulum integratif pada pembelajaran
tematik di SD/MI Banda Aceh Darussalam. Unsyiah
Collins, Gillians & Hazel, Dixon, (1992) Integrated learning planned curiculum. 3 Australia
Bookshelf Publishing and Multi Media International (UK) Ltd.
Depdiknas (2003). Kurikulum 2004. Balitbang Depdiknas: Jakarta.
------------ (2005). Paket Pelatihan Awal untuk Sekolah dan Masyarakat. Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah: Jakarta.
Eggen, Paul.D& Kauchak, Donald. P. (1996). Strategies for Teachers. Teaching Content and
Thinking Skills. Allyn and Bacon: USA
Gravemeijer, K.P.E. (1994) Developing Realistics Mathematics Education. Utrecht: CD-β
Press, The Netherlands.
Haidar Bagir, (1999)"Sains Islami: Suatu Alternatif', dalam Jurnal Ulumul Qur 'an, XII Vol 2
thn IX. 123-128.
Heuvel-Panhuizen. (1998). Realistic Mathematics Education, Work in Progress. Makalah
disampaikan dalam NORMA-lecture di Kristiansand, Norwegia. Juni, 5-9 1998.
Hudojo, Herman (2001) Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA.
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang
Ibrahim, (2000). Saint teknologi masyarakat. Thesis Pasca sarjana Malang Jawa
Timur.Universitas Negeri Malang.
Ibrahim, (2012) Penerapan kurikulum integratif islami dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa SMP di Aceh. Jurnal Serambi Ilmu No. XII Vol 2 thn IX. 123-128.
Ibrahim, (2012) Penerapan kurikulum integratif islami dalam pengajaran IPA-sains pada
SD/MI di Provinsi Aceh. Jurnal Biologi Education. No. I Vol I. 13-18.
Ibrahim, (2012) Faktor-faktor yang memepengaruhi pelaksananaan kurikulum integratif yang
islami pada pengajaran dan pembelajaran IPA-Biologi tingkat SMP di Provinsi Aceh.
Jurnal Ragam Ilmu No. 3 Vol I. 46-53.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
56
Joyce, Bruce; Weils, Marsha and Showers, Beverly. (1992). Model of Teaching.
Massachusetts: Allyn and Bacon Publishing Company.
Mulyasa, E. (2003) Kurikulum Berbasis Kompetensi. Rosda Karya: Bandung
Mulyasa, E. (2011) Menajemen Kurikulum Berkarakter . Rosda Karya: Bandung
Saedah Siraj (Ed.), (2001). Perkembangan kurikulum: teori dan amalan (Curriculum
development: theory and practice) (2nd ed.). Selangor, Malaysia: Alam Pintar [See
also, University Libraries, The Ohio State University at http://osu.worldcat.org.
Sanaky, Hujair, AH. (2003) Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani
Indonesia. Yogyakarta: Safria Insani Press.
Sulaiman, Darwis. A. (2005) Revitalisasi Budaya Masyarakat Aceh dalam Meningkatkan
Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Pendidikan Anak. Makalah Disampaikan
pada Diskusi Panel Nasional “Recovery Pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam”,
Forum Mahasiswa Pascasarjana Aceh Malang, di Malang pada Tanggal 18-19 Juni
2005.
Susan M. Drake, (1998) Creating Integrated Curriculum Proven Ways to Increse Student
Learning, California: Corwin Press.
Ted Peters Gaymon Bennet, (2004) (ed.), Menjembatani Sains dan Agama, terjemah oleh
Jessica Cristiana Pattinasarany, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Lil Amri (2011) Pendidikan Islam dan Tantangan Perkembangan Teknologi. Jakarta Mizan
Press.
Zakiah Daradjat, dkk. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
57
AKLIMATISASI MIKROALGA HIJAU DALAM LIMBAH PETERNAKAN
UNTUK MENINGKATKAN PENYISIHAN NUTRIEN DAN
PRODUKSI LIPIDA
Irhamni*, Elvitriana, Vera Viena*
Dosen Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah,
ABSTRAK
Mikroalga memiliki kemampuan untuk menyerap berbagai bentuk nitrogen, dan
posfor. Penelitian mengenai aklimatisasi mikroalga hijau dalam fotobioreaktor
volume 2 liter untuk menyisihkan nutrien dalam limbah cair peternakan dengan
konsentrasi limbah yang berbeda, yaitu 25, 50 dan 100%, dan siklus pencahayaan 24
jam dan 12 jam (on/off) telah dilakukan.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pertumbuhan mikroalga hijau terbaik diperoleh dari mikroalga teraklimatisasi dengan
kandungan biomassa tertinggi sebesar 1,65 gr/L berat kering, dikuti dengan 1,4 dan
1,35 gram/liter berat kering pada kultur limbah cair peternakan 25, 50 dan 100% (v/v).
Pertumbuhan alga hijau tanpa aklimatisasi sangat lambat dengan masa kultivasi yang
sama yaitu 16 hari, kandungan biomassa hanya berkisar antara 0,65–1,1 gram/liter
berat kering. Proses metabolisme mikroalga hijau teraklimatisasi terbukti mampu
menyisihkan nutrien amonium, nitrat dan pospat dalam limbah cair peternakan 60-
98%, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan mikroalga hijau lokal untuk
penyisihan limbah peternakan dapat dilakukan sebagai salah satu metode alternatif
penanggulangan limbah cair, sedangkan biomassa alga dapat dimanfaatkan untuk
produksi lipid minyak alga.
Kata kunci: aklimatisasi, mikroalga hijau, biomassa, penyisihan nutrien, produksi
lipid
ABSTRACT
Microalgae has ability to absorp various forms of Nitrogen dan Phosfor. Research on
green microalgae cultivated in photobioreactor volume 2 liter to remove the nutrient
content in the livestock waste by considering the effect of different waste
concentration,e.i 100%, 50% and 25% and length of illumination time, e.i 24 hour and
12 hour (on/off) on biomass produced has been done. The result showed that the
highest microalgae growth is obtained from the acclimatized culture of the livestock
waste 25% with biomass content 1,65 gram/liter dry weight, and followed by the
livestock waste (50% and 100%) , with biomass content 1,4 gram/liter dry weight and
1,35 gram/liter dry weight, respectively. The non-acclimatized microalgae showed a
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
58
very slow growth within the same cultivation time, e.i 16 days with biomass range
from 0,65–1,1 gram/liter dry weight. Metabolism process of acclimatized green
microalgae was proven to be able to remove the nutrient content of ammonium,
nitrate, and phosphate in range 60-98%, thus we concluded that the usage of local
green microalgae for livestock waste removal can be done as one of the alternative
methods for wastewater treatment, while algae biomass can be utilized for the
production of algae oil lipid.
Keywords: acclimatization, green microalgae, biomass, nutrient removal, lipid
production
PENDAHULUAN
Eutrofikasi pada badan air (misalnya danau atau aliran sungai) dapat terjadi
pada kondisi kaya nutrien dalam sistem yang menimbulkan perkembangan alga (algal
bloom). Pertumbuhan alga yang berlebih, dapat menyebabkan penurunan pada
kualitas air, seperti; menurunnya kejernihan air, bau, penurunan kandungan oksigen,
dan kemungkinan dapat membunuh ikan. Sumber-sumber nutrien tersebut dapat
berasal dari instalasi pengolahan limbah, detergen buangan rumah tangga, septik
sistem, sedimen, kotoran ternak, dan penggunaan pupuk komersil (Hoyle, dkk., 2003).
Penggunaan mikroalga untuk pengolahan limbah cair menawarkan beberapa
keuntungan lebih daripada pengolahan limbah secara tradisional, diantaranya dalam
hal efektifitas biaya untuk menyisihkan BOD, Posfor, Nitrogen dan dapat
menghilangkan bakteri patogen dibandingkan sistem lumpur aktif. Melalui proses
pengolahan limbah cair dngan alga dapat ditumbuhkan biomassa dalam jumlah besar
(Woertz, 2007). Alga secara alamiah bekerja untuk mereduksi kadar Nitrogen dan
Posfor pada limbah cair peternakan (Johnson, 2009). Nutrien seperti nitrogen dan
posfor dapat dihilangkan dari limbah cair dengan beberapa cara. Cara yang paling
umum adalah dengan menghilangkan nitrogen melalui proses denitrifikasi yang
mereduksi nitrat menjadi nitrogen gas, yang dilepaskan ke atmosfer (Metcalf & Eddy,
2004).
Biomassa mikroalga mengandung sejumlah besar senyawa seperti protein dan
lipid. Mikroalga memiliki kemampuan untuk menyerap berbagai bentuk nitrogen, dan
posfor, dimana mikroalga ini dapat menggunakan berbagai senyawa organik,
khususnya senyawa eutrofik yang mengandung nitrogen dan posfor sebagai sumber
karbon (Lee, dkk., 1998). Mikroalga pada dasarnya memanfaatkan berbagai senyawa
organik terutama pada perairan yang tercemar senyawa organik mengandung Nitrogen
dan Posfor bersama Karbon dalam fotosintesis. Oleh karena itu, kultur mikroalga
dalam limbah cair akan tumbuh baik dan sekaligus berperan positif dalam upaya
pengelolaan limbah cair. Kultur Botryococcus braunii adalah mikroalga hijau yang
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
59
potensial dalam menghasilkan lipid, tetapi laju pertumbuhannya agak lambat.
Optimasi media pertumbuhan terbukti dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan
produksi lipida (Tran, dkk., 2010)
Penelitian oleh Wang dkk., (2009) menunjukkan feasibilitas kultivasi
Chlorella sp. dalam sampel limbah cair yang diambil dari empat lokasi berbeda dari
Pabrik Pengolahan Limbah Cair Pemukiman (MWTP). Diamati bahwa Chlorella sp.
dapat beradaptasi dengan baik pada keempat limbah cair dengan tanpa fase lag (fase
adaptasi). Pertumbuhan alga meningkat cepat pada bagian tengah kolam pengolahan
karena tingginya kadar nitrogen, posfor dan COD dibandingkan dengan 3 lokasi
limbah cair lainnya. Sreesai, dkk., (2002) juga telah mempelajari aplikasi mikroalga
lainnya untuk pengolahan limbah cair peternakan babi di Bangkok. Proses kultur
Chlorella sp didalam limbah cair menyebabkan transformasi zat-zat organik dan
nutrien dalam limbah menjadi biomassa alga. Hasil penelitian membuktikan bahwa
sistem kultur ini berhasil mengolah limbah cair peternakan babi dan mengembalikan
organisme air lain yang menguntungkan bagi lingkungan.
Hal tersebut telah mendorong peneliti untuk mengkaji mikroalga sebagai salah
satu solusi untuk pengendalian pencemaran akibat pembuangan limbah cair
peternakan ke badan-badan air dengan cara memanfaatkan mikroalga hijau yang
diperoleh dari wilayah Banda Aceh dan melakukan tahapan aklimatisasi mikroalga
hijau tersebut didalam limbah peternakan pada konsentrasi yang berbeda-beda. Tujuan
khusus dari penelitian ini adalah; (1) mengkaji pengaruh aklimatisasi mikroalga hijau
terhadap pertumbuhan mikroalga hijau yang berasal dari daerah Banda Aceh, (2)
membandingkan tingkat penyisihan nutrien limbah peternakan oleh mikroalga hijau
yang diaklimatisasi, (3) mengembangkan dan membudidayakan kultur mikroalga
hijau terbaik dengan biomassa berkadar lipid yang tinggi. Akhir penelitian ini
diperoleh metode pertumbuhan mikroalga yang terbaik dalam menyisihkan sejumlah
nutrien yang terdapat didalam limbah cair peternakan dan juga diperoleh biomassa
dengan kandungan lipid tinggi sebagai salah satu sumber alternatif minyak nabati dari
mikroalga hijau.
BAHAN DAN METODE
Bahan
Sampel mikroalga hijau diperoleh dari kolam terbuka di wilayah Darussalam,
Banda Aceh. Sampel mikroalga diambil menggunakan net planton dan dicentrifuge.
Mikroalga campuran yang diperoleh kemudian dikultur didalam media pertumbuhan
BG-11 (Rippka dkk.,1979), dengan komposisi (g/L): NaNO3 1,5; Na2HPO4 0,04;
MgSO4.7H2O 0,075; ZnCl2 dihidrat 0.036; asam sitrat 0,006; ferric ammonium citrate,
0.006; Na2-EDTA 0.001; Na2CO3 0.02; dan larutan trace metal 1 ml (H3BO3 2.86 g,
MnCl2.4H2O 1.81 g, ZnSO4.7H2O 0.222 g, Na2MoO4.2H2O 0.390 g, CuSO4.5H2O 79
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
60
mg and Co(NO3)2.6H2O 49.4 mg per liter) pada pH 7,4. Kloroform, Metanol (p.a).
Bahan kimia ini keseluruhan diperolah secara komersil dari Merck.
Sampel limbah cair hasil peternakan diperoleh dari kandang peternakan sapi di
Darussalam, Banda Aceh. Limbah peternakan ini disaring sebelum digunakan dalam
perlakuan.
Prosedur Penelitian
Analisa Karakteristik Limbah (sebelum dan sesudah perlakuan)
Limbah cair peternakan dibuat dalam konsentrasi yang berbeda (100%, 50%,
dan 25% v/v) untuk melihat pengaruh konsentrasi limbah terhadap pertumbuhan
mikroalga dan kemampuan menyisihkan limbah pada kondisi pekat dan dengan
pengenceran.
(1) Parameter pH limbah sebelum diinokulasi diukur dengan pH meter.
(2) Analisa NH4, NO3, PO4 (mg/L), dilakukan dengan cara APHA (2005) sebelum
diinokulasi dengan isolat. Pengukuran parameter nutrien limbah pada kultur
perlakuan dilakukan setelah mencapai fase stasioner.
Aklimatisasi Mikroalga
Mikroalga lokal yang diperoleh dari sumber kolam terbuka di wilayah Banda Aceh
dan sekitarnya, disentrifugasi, dan dikembangbiakkan dalam Media BG-11 serta
dibuat stok kulturnya dari mulai 10 ml, 100 ml, 500 ml dan 1000 ml sebanyak 2
wadah kultur. Salah satu wadah disimpan sebagai stok kultur dan wadah kultur
lainnya digunakan sebagai working kultur untuk selanjutnya diaklimatisasi didalam
limbah cair peternakan selama 14 hari sebelum digunakan untuk pengolahan limbah
cair.
Kultivasi Mikroalga dalam Fotobioreaktor dengan Variasi Perlakuan
Mikroalga yang telah diaklimatisasi digunakan didalam penanganan limbah
cair peternakan dengan cara mengambil inokulum sebesar 10%
(V.inokulum/V.media) dan ditanam didalam erlenmeyer 3000 ml yang mengandung
2000 mL media cair (BG-11 disterilkan langsung, sedangkan limbah cair lainnya
disaring halus). Kultur vessel diinkubasi pada keadaan tetap dengan suhu ruangan dan
intensitas pencahayaan kontinyu (lampu 4 x 8 watt) dengan aerasi udara tetap. Kultur
dianalisa untuk melihat kurva pertumbuhan mikroalga dengan menentukan kandungan
biomassa (dry weight) per 2 hari, sedangkan kandungan lipid biomassa hanya diukur
pada akhir masa kultivasi (16 hari). Mikroalga juga diberi perlakuan kultivasi 5 hari,
10 hari dan 15 hari untuk melihat pengaruh waktu tinggal mikroalga dalam
menyisihkan nutrien limbah dalam bentuk kandungan NH4, NO3, PO4 dalam media
sisa setelah dipisahkan dari biomassanya.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
61
Analisa Kultur Hasil Kultivasi
(1) Kurva Pertumbuhan Mikroalga
Kurva pertumbuhan mikroalga didapat dengan menentukan berat biomassa kering dengan
2 (dua) hari interval.
(2) Kandungan biomassa
Kandungan biomassa ditentukan dengan cara spektrofotometri menggunakan
panjang gelombang 680 nm (Lee dkk., 1998).
(3) Kandungan total lipid biomassa
Metode dasar analisa ini merupakan modifikasi dari Bligh dan Dyer (1959). Sel
alga yang dipanen dihancurkan dengan mortar dan dipindahkan kedalam corong
pemisah. Lipid diekstraksi dengan larutan kloroform metanol (2:1, v/v) dan
terpisah menjadi lapisan cairan kloroform dan metanol dengan penambahan
metanol dan air untuk menghasilkan rasio pelarut akhir dari kloroform : metanol :
air sebesar 1:1:0.9. Lapisan kloroform dicuci dengan 20 ml larutan NaCl 5%, dan
diuapkan sampai kering, total lipid ditentukan secara gravimetri (Lee dkk., 1998).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Aklimatisasi Mikroalga Hijau terhadap Pertumbuhan Mikroalga Hijau
Mikroalga hijau yang dikultivasi dalam limbah cair peternakan terlebih dahulu
diberi perlakuan aklimatisasi selama 14 hari untuk memperkuat daya tahan hidup dan
kemampuan adaptasi mikroalga terhadap konsentrasi limbah cair yang berbeda. Alga
hijau yang tumbuh kemudian diaplikasikan untuk menyisihkan kandungan nutrien
yang terkandung di dalam limbah peternakan agar aman dibuang ke lingkungan.
Gambar 1 dan 2 dapat dilihat ciri-ciri mikroalga hijau yang tumbuh didalam media
limbah cair peternakan.
Gambar 1dan 2. Mikroalga hijau campuran dalam limbah peternakan
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
62
Kurva Kalibrasi Antara Absorbansi Dengan Biomassa
Kurva hubungan antara absorbansi dengan biomassa kering mikroalga
merupakan kurva kalibrasi untuk mengetahui kandungan biomassa mikroalga pada
saat mengukur hasil biomassa mikroalga selama tahap kultivasi. Hasil hubungan
antara absorbansi (A) dengan kandungan biomassa (dalam berat kering) mikroalga
(g/l) untuk kurva kalibrasi ditunjukkan pada Gambar 3. Kurva kalibrasi dibuat dengan
menentukan absorbansi mikroalga pada konsentrasi inokulum mikroalga awal yang
berbeda-beda yaitu 1, 5, 10, 15, 20 % v/v (volume inokulum per volume media cair).
Absorbansi diukur setelah pertumbuhan mencapai tahap logaritmik (7 hari) dan
pengukuran kandungan biomassa (dalam satuan berat kering g/l) dilakukan dengan
memisah biomassa dari media cair dan dikeringkan pada suhu 1050C pada oven.
Gambar 3. Kurva kalibrasi absorbansi (A) terhadap kandungan biomassa
kering alga (g/L) pada limbah peternakan
Kultur mikroalga hijau teraklimatisasi dikultivasi pada keadaan tetap dengan
suhu ruangan dan intensitas pencahayaan kontinyu (lampu 4x8 watt) untuk
mengetahui pengaruh aklimatisasi terhadap kandungan biomassa mikroalga pada
konsentrasi limbah cair yang berbeda. Kultur dianalisa untuk melihat kurva
pertumbuhan mikroalga dengan menentukan kandungan biomassa (dry weight) per 2
hari dan hasilnya diilustrasikan pada Gambar 4.
y = 2.2942x - 0.0466
R2 = 0.9853
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
Absorbansi (A)
Kandungan Biomassa (g/L)
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
63
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi limbah cair peternakan terhadap kandungan
biomassa mikroalga teraklimatisasi.
Pertumbuhan mikroalga hijau sangat dipengaruhi oleh media tumbuh yang
digunakan, karena mikroalga lokal yang telah diaklimatisasi dalam limbah peternakan
dan yang tidak diaklimatisasi menunjukkan kurva pertumbuhan yang berbeda jauh.
Pada Gambar 5, pertumbuhan mikroalga yang tidak diaklimatisasi sangat lambat
dalam menyesuaikan diri dengan konsentrasi limbah peternakan yang pekat sehingga
butuh waktu lebih lama untuk fase pertumbuhan limbah cair peternakan pada 50 dan
100%. Kurva pertumbuhan pada media limbah peternakan masih harus menyesuaikan
diri dengan tingkat kepekatan yang terkandung dalam limbah cair yang telah
mengalami masa aklimatisasi. Kandungan biomassa mikroalga yang telah
diaklimatisasi antara 0,3–1,6 g/l, dengan biomassa tertinggi diperoleh pada media
kontrol saat pertumbuhan 12 hari, dan pada media limbah cair peternakan 25% saat
pertumbuhan 16 hari.
Gambar 5. Pengaruh konsentrasi media terhadap kandungan biomassa alga
yang tidak diaklimatisasi dalam masa kultivasi 16 hari
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
64
Media cair yang berasal dari limbah peternakan dapat menjadi media tumbuh
yang baik bagi pertumbuhan mikroalga hijau lokal dan berpotensi sebagai medium
alternatif pertumbuhan massal mikroalga hijau lokal dimasa yang akan datang.
Bertoldi, dkk (2006), menyebutkan bahwa alternative media kultur yang telah
dievaluasi untuk kultivasi mikroalga diantaranya limbah cair industri dan pertanian,
yang mengandung residu kaya akan nutrien dan dapat diubah menjadi nutrisi bagi
pertumbuhan biomassa aquakultur. Hu dkk, (2004), juga menyebutkan bahwa
beberapa jenis mikroalga hijau seperti Scenedesmus sp. dan Chlorella sp., mampu
tumbuh baik dalam limbah cair peternakan, tanpa pengenceran dengan air.
Konsentrasi limbah sangat berpengaruh pada pertumbuhan mikroalga hijau, dimana
semakin tinggi kepekatan limbah cair peternakan maka pertumbuhan menjadi semakin
lambat dan butuh fase pertumbuhan yang lebih lama untuk tumbuh. Penelitian proses
aklimatisasi mikroalga hijau lokal selama 14 hari agar mikroalga tersebut dapat
beradaptasi dengan lingkungan limbah cair peternakan.
Pertumbuhan mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
memerlukan cahaya, karbondioksida, air dan garam anorganik dan suhu antara 20-30 0C. Pertumbuhan mikroalga hijau membutuhkan karbondioksida sebagai sumber
utama pencahayaan dan nutrien.
Pertumbuhan mikroalga hijau lokal sangat dipengaruhi oleh masa kultivasi,
konsentrasi limbah cair dan siklus pencahayaan. Kandungan biomassa terus
meningkat pada siklus cahaya 24 jam dan mulai menurun pada siklus cahaya 12 jam.
Berkurangnya pencahayaan dan kandungan nutrien dalam limbah cair sehingga proses
fotosintesis berjalan agak lambat dan jumlah biomassa yang dihasilkan lebih sedikit
dibandingkan siklus cahaya 24 jam pada konsentrasi limbah cair 100%. Konsentrasi
limbah peternakan 100%, mula-mula kandungan bahan organik yang tinggi belum
mampu terdegradasi sempurna oleh mikroalga sehingga butuh waktu 5 hari untuk
dapat beradaptasi sampai tercapai pertumbuhan biomassa tertinggi pada 15 hari.
Kandungan biomassa pada media tumbuh, limbah cair peternakan sangat dipengaruhi
oleh siklus pencahayaan dan konsentrasi limbah, dimana pada kondisi pekat 100%
limbah dan siklus cahaya 24 jam, mikroalga masih tetap beradaptasi pada kondisi
turbiditas tinggi dan mulai tumbuh baik pada hari ke-5. Konsentrasi limbah yang sama
dan pencahayaan 8 jam, kandungan biomassa meningkat lebih tinggi dari pada siklus
24 jam. dipengaruhi oleh faktor tingginya kandungan nutrien yang terdapat didalam
limbah peternakan sehingga dengan pencahayaan kontinyu mikroalga terus memakan
nutrien yang ada sehingga setelah nutrien habis pertumbuhan akan menurun,
sedangkan dengan pencahayaan 12 jam mikroalga lokal ini masih dapat beristirahat
sambil terus berasimilasi memanfaaatkan nutrien dalam limbah cair peternakan
sebagai sumber makanannya.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
65
Penyisihan Nutrien oleh Mikroalga Hijau
Limbah peternakan diperoleh dari kolam penampungan limbah peternakan
warga diwilayah Kota Banda Aceh dengan ciri fisik berwarna hitam kecoklatan yang
mengandung endapan organik berwarna hijau, berbau menyengat dan bercampur
antara feses dengan urin ternak. Analisa pH limbah dilakukan beberapa saat setelah
pengambilan sampel, dan kemudian dilanjutkan dengan analisa kandungan COD,
BOD, dan nutrien berupa ammonium, nitrat dan posfat yang ditunjukkan dalam Tabel
1 berikut. Kandungan pH limbah peternakan berkisar antara 9,1–9,6. Kandungan pH
yang tinggi pada limbah cair ini disebabkan oleh kandungan bahan organik dan juga
nutrien yang terdapat didalam limbah sehingga dibutuhkan pengolahan terhadap
limbah agar aman dibuang ke perairan dan tidak menimbulkan eutrofikasi.
Tabel 1. Data karakteristik limbah cair peternakan sebelum perlakuan.
Parameter limbah Konsentrasi Limbah Peternakan (v/v)
Kontrol 100 50 25
pH 9,6 9,4 9,0 8,2
COD (mg/L) 1120 960 160 10
BOD (mg/L) 628 471 73 4
NH4 (mg/L) 1,0 0,62 0,36 0,82
NO3 (mg/L) 8,208 4,980 2,700 0,622
PO4 (mg/L) 6,836 5,552 6,453 0,946
Kemampuan mikroalga hijau lokal dalam menyisihkan nutrien yang
terkandung dalam limbah cair peternakan dalam bentuk kandungan Amonium, Nitrat
dan Posfat. Kandungan pH limbah diukur, sedangkan analisa kandungan nutrien NH4,
NO3, PO4 (mg/l), dilakukan dengan cara APHA (2005) sebelum diinokulasi dengan
inokulum mikroalga teraklimatisasi. Hasil analisa penurunan nutrien limbah cair
peternakan setelah dikultur selama 16 hari, dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Persen penyisihan limbah cair peternakan setelah kultivasi 16 hari
Parameter
limbah
Konsentrasi Limbah
Peternakan (v/v) Kontrol
Persen Penyisihan Nutrien
LP100 LP50 LP25 (BG-11) LP100 LP50 LP25 (BG11)
pH 9,6 9,4 9,0 8,2 9,6 9,4 9,0 8,2
COD (mg/L) 192 80 32 4,8 82,86 91,67 80 50
BOD (mg/L) 0 2 1 1 100 99,68 76,19 75,19
NH4 (mg/L) 0,181 0,139 0,146 0,401 81,9 77,58 59,44 51,1
NO3 (mg/L) ND 0,53 0,274 0,16 ND 89,18 89,85 74,28
PO4 (mg/L) ND ND ND 0,767 ND ND ND 18,92
ND = tidak terdeteksi.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
66
Hasil analisa kandungan nutrien limbah setelah 15 hari kultivasi menunjukkan
bahwa parameter COD dan BOD mampu diturunkan sampai 98-100%, sedangkan
nutrien nitrat mampu diturunkan oleh kultur mikroalga sampai 89%, kemudian diikuti
dengan nutrien Amoniak. Penurunan nutrien Posfat tidak dapat terdeteksi pada sisa
media kultur alga 16 hari, sehingga kecenderungan penurunan nutrien jenis Posfat
tidak terbaca.
Produksi Lipid Mikroalga Hijau
Pada Tabel 3 diperlihatkan kemampuan mikroalga teraklimatisasi dalam
memproduksi total lipida setelah masa kultivasi 16 hari.
Tabel 3. Produksi Total Lipida Mikroalga Hijau setelah masa kultivasi 16 hari
Media Kultur Total Lipida (%)
Kontrol (BG-11) 35,72
LP100 16,00
LP50 15,12
LP25 38,53
KESIMPULAN
1. Pertumbuhan mikroalga hijau yang diaklimatisasi dan yang tidak
diaklimatisasi menunjukkan perbedaan yang nyata pada kurva
pertumbuhannya.
2. Kultivasi mikroalga selama 16 hari menunjukkan kemampuan mikroalga
teraklimatisasi dalam menurunkan kandungan nutrien Amonium, Nitrat dan
Pospat dalam limbah peternakan.
3. Mikroalga hijau yang teraklimatisasi dalam limbah peternakan mampu
memproduksi lipid 15-38%.
SARAN
1. Perlu dikaji lebih lanjut tingkat pertumbuhan dan penyisihan nutrien dalam
limbah peternakan pada faktor-faktor lainnya seperti; intensitas pencahayaan,
dan penambahan aerasi karbondioksida terhadap kandungan biomassa dan
lipida dari mikroalga hijau.
2. Perlu pengembangan penelitian mikroalga hijau teraklimatisasi untuk metode
ekstraksi terbaik sebagai penghasil minyak nabati berkadar asam lemak tinggi
yang berpotensi sebagai biodiesel.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
67
DAFTAR PUSTAKA
American Public Health Association (APHA0, (2005), Standards Methods for the
Examination of Water and Wastewater, 21st ed.; American Public Health
Association: Washington, D.C.
Bertoldi, F.C., Sant’Anna, E., da Costa Braga, M.V., and Oliveira, J.G.B., (2006),
Lipids, Fatty Acids Composition And Carotenoids of Chlorella Vulgaris
Cultivated In Hydroponic Wastewater, Grasas y aceites, 57 (3), 270-274.
Bligh, A., Dyer, W.J. (1959), A Rapid Method of Total Lipid Extraction and
Purification, Can. J. Biochem. Physiol. 37, 911-917.
Hoyle, B.D., Lerner, K.L., Richmond, E., (2003). Algal Blooms in Fresh Water. 1, 21-
24.
Hu, Q., dan Sommerfeld, M., (2004), Selection of High Performance Microalgae for
Bioremediation of Nitrate-Contaminated Groundwater, Technical Report for
Grant Number 01-HO-GR-0113, School of Life Sciences Arizona State
University.
Johnson, M. B., (2009), Microalgal Biodiesel Production through a Novel Attached
Culture System and Conversion Parameters, Master Thesis of Virginia
Polytechnic Institute and State University
Lee, S.J., Kim, S. -B., Kim, J.-E., Kwon, G. -S., Yoon, B. -D., and Oh, H. -M.. (1998).
Effects of harvesting method and growth stage on the flocculation of the green
alga Botryococcus braunii, Letters in Applied Microbiology, 27, 14–18.
Metcalf and Eddy, Inc (2004), Wastewater Engineering: Treatment and Reuse, 4th
Edition, McGraw-Hill International, New York.
Rippka, R., J. Deruelles, J.B. Waterbury, M. Herdman, and R. Y. Stanier. (1979),
Genetic Assignments, Strain Histories and Properties of Pure Cultures of
Cyanobacteria. J. Gen. Microbiol. 111: 1-61.
Sreesai, S., Asawasinsopon, R., and Satitvipawee, P., (2002), Treatment and Reuse of
Swine Wastewater, Thammasat Int. J. Sc. Tech., Vol 7. No.1
Tran, H.L., Kwon, J.S., Kim, Z.H., Oh, Y., Lee, C.G., 2010, Statistical Optimization
of culture media for growth and lipid production of Botryococcus braunii
LB572, J.Biotechnology and Bioprocess Engineering, Vol 15, No.2, pp 277 –
284.
Wang, L., Min Min., Li. Y., Chen. P., Chen, Y., Liu, Y., Wang, Y., and Ruan, R.,
(2009), Cultivation of Green Algae Chlorella sp. in Different Wastewaters
from Municipal Wastewater Treatment Plant, Appl Biochem Biotechnol., DOI
10.1007/s12010-009-8866-7
Woertz, I. C., (2007), Lipid Productivity Of Algae Grown On Dairy Wastewater As A
Possible Feedstok For Biodiesel, Master Thesis of California Polytechnic
University, San Louis Obispo.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
68
IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DI SMA
SE KABUPATEN ACEH UTARA
Oleh
Jalaluddin
Munawar
Zainal Abidin Suwarja
ABSTRAK Manajemen Berbasis Sekolah merupakan salah satu model manajemen yang
memberikan kewenangan yang luas kepada sekolah untuk pengelolaan sekolah sesuai
dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan sekolah. Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Menegah Umum,
diungkapkan beberapa indikator yang menjadi karakteristik dari konsep MPBS
sekalugus merefleksikan peran dan tanggung jawab masing-masing pihak antara lain
sebagai berikut: (1) Lingkungan sekolah yang aman dan tertip; (2) Sekolah memiliki
misi dan target mutu yang ibgin dicapai; (3) Sekolah memilki kepemimpinan yang
kuat; (4) Adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah,guru, dan
staf lainnya, termasuk siswa) untuk berprestasi; (5) Adanya pengembangan staf
sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK; (6) Adanya pelaksanaan evaluasi
yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administrative, dan
pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan dan atau perbaikan mutu; (7) Adanya
komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua siswa dan masyarakat. Untuk
meningkatkan implementasi manajemen berbasis sekolah di SMA Se-Kabupaten
Aceh Utara melalui seminar, pelatihan dan panduan pelaksana manajemen berbasis
sekolah. Untuk meningkatkan keharmonisan sekolah dengan masyarakat dalam
peningkatan dalam peningkatan mutu sekolah. Komite sekolah harus menjadi mitra
sekolah, sehingga sekolah bisa lebih konsentrasi melakukan proses pembelajaran,
sedangkan komite sekolah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh
sekolah. Sekolah menyusun rencana kerja tahunan dan rencana kerja empat tahun
dengan mengembangkan bidang kurikulum dan pembelajaran, kesiswaan, ketenagaan,
sarana dan prasarana, keuangan, peran serta masyarakat dan pelayanan khusus;
Sedangkan evaluasi sekolah meliputi, supervisi, evaluasi pembelajaran, evaluasi diri
sekolah, dan akreditasi sekolah; Yang menjadi faktor pendukung, Jumlah dan
kompetensi guru memadai, komitmen warga sekolah, pembagian tugas guru sesuai
dengan kemampuan guru, sarana dan prasaran sekolah memadai. Sedangkan faktor
penghambat adalah partisipasi masyarakat belum optimal, kompetensi guru perlu
ditingkatkan, dana serta sarana dan prasarana belum mencukupi, hasil evaluasi belum
ditindaklanjuti secara benar.
Keywords: Manajemen berbasis sekolah, dan mutu pendidikan
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
69
PENDAHULUAN
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), merupakan salah satu jawaban dari
pemberian otonomi daerah di bidang pendidikan dan telah diundang-undangkan
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidik Nasional
Pasal 48 ayat (1) menyatakan bahwa “Pengelolaan dana pendidikanberdasarkan
prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik” Sejalan dengan hal
diatas, maka pemerintah juga mengeluarkan peraturan pemerintah yang melandasi
pelaksanaan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di satuan pendidikan yaitu, Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa “Pengelolaan
satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan
Manajemen Berbasis Sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan,
partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”.
Desentralisasi pendidikan menawarkan paradigma baru bagi kepala sekolah
untuk lebih mandiri dan mengembangkan seluruh sumber daya sekolah menjadi
sekolah unggul. Tuntutan tersebut diperkirakan berimplikasi terhadap penyusunan
kurikulum dan manajemen sekolah. Perubahan manajemen pendidikan menjadi suatu
keniscahyaan, sehingga sekolah-sekolah juga dituntut melakukan perubahan
mananjemen agar lulusan sekolah benar-benar berkualitas.Sistem yang sentralistik
selama ini telah menghalangi peluang berkembangnya profesionalisme di bidang
pendidikan baik faktor pembiayaan pemdidikan yang masih rendah, sumber daya
yang kurang memadai, manajemen yang kurang efektif, maupun faktor ekternal yaitu
bidang politik, ekonomi, hukum dan iptek yang turut memberikan kontribusi
rendahnya mutu pendidikan.
Strategi manajemen ini menekan adanya program peningkatan mutu berkelanjutan,
ketelibatan orang tua siswa dalam perbaikan sekolah, bidang pengajaran, guru dan
pegawai, siswa, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan masyarakat.
Manajemen Berbasis Sekolah diperkirakan mempunyayi peluang besar dalam
mendorong gerakan perbaikan mutu pendidikan dalam era otonomi daerah. Namun
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah sangat tergantung pada mutu sumber daya
manusia. Terutama kemampuan kepala sekolah dalam menerapakan ide-ide baru dan
perbaikan mutu sesuai dengan ide, tujuan dan fungsi Manajemen Berbasis Sekolah.
Hubungan kerja sama antara personil sebagai inti dari proses manajerial yang
dilakukan oleh manajer sehingga program kerja organisasi dalam bidang pendidikan
dapat terlaksana dengan baik pelaksanaan proses belajar mengajar, administrasi,
pembinaan siswa, evaluasi kependidikan dalam rangka efektivitas organisasi
pendidikan dengan peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Manajemen Berbasis Sekolah secara konsepsional akan membawa perubahan
terhadap peningkatan kinerja sekolah dalam peningkatan mutu, efesiensi manajemen
keungan, pemerataan kesempatan dan pencapaian tujuan politik (demokrasi) suatu
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
70
bangsa lewat perubahan kebijakan desentralisasi diberbagai aspek baik politik,
edukatif, administrativ, maupun aggaran pembiayaan pendidikan.
Manajemen Berbasis Sekolah selain akan meningkatkan kualitas belajar
mengajar dan efisiensi operasional pendidikan, juga tujuan politik terutama demokrasi
di sekolah Permadi, (2001:17)
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan,
salah satunya adalah memberikan otonomi yang luas kepada sekolah untuk
pengambilan keputusan secara partisiatif dengan melibatkan masyarakat secara secara
langsung.
Diyakini bahwa Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan
suatu model Pelaksanaan kebijakan desentralisir bidang pendidikan, sehingga dapat
dijadikan suatu konsep inovatif dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Keberhasilan pelaksanaan MBS sangat di tentukan oleh kebijakan dari pemerintah dan
juga keterampilan kepala sekolah, guru, dan partisipasi masyarakat.
Kepala sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat harus mengerti bentuk
pengembangan program pendidikan yang tepat dan layak di berikan pada peserta
didik, serta dapat merencanakan segala program yang lebih operasional sesuai dengan
kebutuhan mereka.
Terkait dengan unsur-unsur yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap
efektifnya MBS di sekolah. Menurut Nurkolis (2003:42) bahwa Manjemen Berbasis
Sekolah adalah unsur pokok sekolah memegang kontrol yang lebih besar pada setiap
kejadian yang terjadi di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi
lembaga non-struktur yang disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru,
kepala sekolah, administrator, orang tua, anggota masyarakat dan murid. Seiring
dengan semakin gencarnya tuntutan akuntabilitas para lulusan sebagai salah satu
indikator keberhasilan pendidikan, MBS menjadi sekolah target utama penilaian, dan
membebaninya dengan serangkaian kewajiban untuk melakukan banyak hal dalam
rangka memenuhi segala kebutuhan pendidikan para peserta didik.
Semenjak adanya pemberian otonomi kesekolah dengan menerapkan konsep
MBS, berbagai permasalahan muncul baik dari segi kesiapan SDM kepemimpinan
kepala sekolah, guru, ketersediaan sarana dan prasarana dan partisipasi mayarakat.
Permasalahan lain adalah perencanaan analisis SWOT dan strategi yang digunakan
dalam melaksanakan MBS di sekolah.
TINJAUAN PUSTAKA
Siahaan, (2006:31) menyatakan bahwa “dalam model sekolah yang
menerapakan pendekatan MPBS dalam pengelolaannya, guru dan staf lainya dapat
menjadi lebih efektif karena adanya partisifasi mereka dalam membuat keputusan”.
Dengan demikian, rasa kepemilikan terhadap sekolah menjadi lebih tinggi dan
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
71
pengunaan sumber daya pendidikan lebih optimal sehingga diperoleh hasil yang lebih
baik.
Menurut Fattah (2000:8) Manajemen Berbasis Sekolah adalah sebagai:
pengalihan dan pengambilan keputusan dari tingkat pusat sampai ke tingkat sekolah.
Pemberian kewenangan dalam pengambilan keputusan di pandang sebagai
otonomi di tingkat sekolah dalam pemanfaatan semua sumber daya sehinga sekolah
mampu secara mandiri, mampu mengali, mengalokasikan, menentukan piroritas,
memanfaatkan, mengendalikan dan mempertanggung jawabkan kepada setiap pihak
yang berkepentingan.
Mulyasa (2004:41) menyatakan bahwa: “untuk menjamin efektivitas
pengembangan kurikulum dan program pengajaran dalam MBS, kepala sekolah
sebagai pengelola program pengajaran bersama dengan guru harus menjabarkan isi
kurikulum secara lebih rinci dan operasional ke dalam program tahunan, semesteran
dan bulanan” Manajemen Berbasis Sekolah diartikan sebagai “model manajemen
yang memberikan otonomi atau kemandirian yang lebih besar kepada
sekolah”.Sagala, (2006:133) Model manajemen ini mendorong pengambilan
keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah sesuai dengan
standar mutu yang berkaitan dengan kebutuhan sarana dan prasarana, fasilitas sekolah,
peningkatan kualitas kurikulum, dan pertumbuhan jabatan guru.
Mulyasa (2004 : 33) mengatakan bahwa: Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
atau School Berbasis Manajemen merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah
yang efektif dan produkif. Hal ini disebabkan dalam konsep MBS, pengambilan
keputusan diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran yaitu
sekolah, meskipun standar pelayanan minimnya ditetapkan oleh pemerintah, akan
tetapi sekolah lebih leluasa dalam mengelola sumber daya, sumber dana,
sumberbelajardalammengalokasikan-
nya sesuai dengan prioritas kebutuhan di sekolah.
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah di jajaran sekolah yang berstatus
negeri, memang memerlukan sosialisasi, dari kantor cabang Dinas Pendidikan dan
Pengajaran di tingkat kecamatan melalui berbagai upaya seperti:
1. Memberikan penjelasan bahwa telah terjadi perubahan paradigma manajemen
pendidikan dari yang bersifat birokratis hirarkis menuju demokratis.
2. Menjelaskan keuntungan yang diperoleh dengan di terapkan Manajemen Berbasis
Sekolah.
3. Menjelaskan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah adalah salah satu wujud
demokratisasi pendidikan di persekolahan.
4. Dengan diterapkan Manajemen Berbasis Sekolah, maka kepala sekolah memiliki
wewenang yang besar dalam manentukan berbagai kebijakan sekolah.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
72
5. Mendorong kepemimpinan kepala sekolah untuk secara terus menerus
mempersiapkan diri menerima dan melakukan perubahan sesuai dengan tuntutan
masyarakat sebagai penguna jasa lembaga pendidikan.
6. Menyadarkan pengelola atau penyelengara sekolah bahwa masyarakat berhak
memiliki akses kesekolah.
METODE PENELITIAN
a. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk meliput data dalam
penelitian, Instrumen penelitian yang diperlukan adalah pedoman wawancara,
pedoman observasi dan pedoman dokumentasi. Arikunto (2002:174) mengemukakan
bahwa: keberhasilan penelitian kualitatif sangat ditentukan oleh ketelitian dan
kelengkapan catatan lapangan yang disusun peneliti. Catatan lapangan disusun
berdasarkan hasil pengamatan (observasi), wawancara dan studi dokumentasi.
Sedangkan untuk penulisan tesis ini penulis menggunakan pedoman wawancara,
pedoman observasi dan pedoman dokumentasi.
b. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan mengikuti prosedur
atau langkah-langkah seperti dikemukakan Nasution (1992:126-141), yaitu: (a)
reduksi data, (b) display data, (c) kesimpulan, dimana proses berlangsungya secara
sirkuler selam penelitian berlangsung. Pada tahap awal pengumpulan data, fokus
peneliti masih melebar dan belum tamapak jelas, sedangkan observasi masih bersifat
umum dan luas. Setelah fokus semakin jelas maka peneliti mengunakan observasi
yang lebih berstruktur untuk mendapatkan data yang lebih spesifik.
Penelitian ini dilakukan pada bulan April s.d Oktober pada SMA Negeri 1
Samudra,SMA Negeri Bina Bangsa Lhokseukon, SMA Negeri 1 Matangkuli, SMA
Negeri 1 Syamtalira Aron dan SMA Negeri 1 Payabakong semuanya berada pada
Kabupaten Aceh Utara yang sudah menerapkan konsep Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Dalam penelitian ini yang menjadi subyek penelitian adalah Kepala Sekolah,
Pendidik (Guru), Komite Sekolah dan Tokoh Masyarakat.
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Manajemen Kepala Sekolah Di Kabupaten Aceh Utara MBS telah dilaksanakan mulai sejak 2001 dan
sekolah terakhir yang mulai menerapan MBS tersebut adalah pada tahun 2009 yang
lalu. Artinya usia MBS di kabupaten Aceh Utara secara teori sudah sangat lama
sekali. Namun dengan usianya yang sudah diatas 10 tahun ternyata tidak semua
personil sekolah paham akan apa itu MBS, bahkan ada 1 sekolah sampel yang seluruh
personilnya tidak tahu MBS. Sosialisasi yang dilakukan oleh para atasan untuk
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
73
memperkenalkan MBS ini hanya berupa pertemuan, dan dimasukkan dalam rapat
(100%), tidak ada juknis atau tindakan, apa apa yang harus dilakunkan untuk
membantu mengenalkan MBS ini ke staf sekolah.
Visi Misi Tujuan Sekolah diketahui oleh semua kepala sekolah, jelas sekali
mereka terlibat terlalu banyak dan dinia pendikan. Kekuatan pendukung MBS ini
beraneka ragam di sekolah penelitian sampel ini. Visi misi dan tujuan sekolah telah
dipahami dan diketahui betul oleh para kepala sekolah karena mereka turut menyusun
dan mengoreksinya serta membantu mensosialisasikannya. Kekuatan MBS disekolah
sampel berbeda-beda ada yang mengandalkan sarana prasarana, ada juga perangkat
pembelajaran. Namun 50% adalah kualifikasi pendidik yang S1 dan mengajar sesuai
bidangnya.
Kelemahan sebagian besar (70%) berkutat di perilaku masyarakat yang Aceh,
tidak mendukung selain pemerintah juga belum maksimal memberikan dana dan
menyediakan tenaga pengajar. Bentuk partisipasi masyarakat selain moril dan materil
juga keamanan siswa, hadir dalam rapat namun seluruh Kepala Sekolah sepakat
bahwa bantuan dalam bentuk biaya (dana) tidak bisa diandalkan dari para masyarakat.
Sistem pengelolaan manajemen dan kurikulum dijalankan sesuai standar, tupoksi dan
mengacu pada faktor pendukung dan dasar hukum.
Kerjasama yang dilakukan oleh para kepala sekolah dan guru dilakukan
dengan baik dalam bentuk kerja sama, musyawarah dan dukungan serta kesempatan
kepada para guru untuk kreatif dan inovatif. Bentuk kemandirian program kesiswaaan
dilakukan dengan cara melibatkan siswa dengan tetap mengacu pada visi missi
sasaran dan tujuan sehingga terbentuk PICK, KRR, PMR, OSIS, Seni bahkan unit
kewirausahaan.
Pengelolaan program dan kurikulum 60% sudah akuntabel, sisanya sedang
ditindak lanjuti dan tidak akuntabel. Untuk kuantitas pekerjaannya telah dilaksanakan
minimal 70% namun tidak ada yang mencapai 90% lebih. Hal tersebut terjadi karena
kemampuan guru, dana, masyarakat yang tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah
dan solusi yang diharapkan oleh para kepala sekolah tersebut adalah dengan
meningkatkan disiplin, kemampuan guru (SDM) dan siswa serta kepeduliaan dari para
stakeholders.
Pelaksanaan program dilakukan melalui musyawarah yang dilakukan dengan
membentuk MGMP dan menegakkan disiplin, inovasi pendidikan serta masalah-
masalah pendidikan juga sering dibahas. Untuk berjalan efektif monev dilakukan
dengan memberikan sanksi pada setiap yang melaggar proposal kerja dan meminta
pertanggung jawaban penanggung jawab program tersebut.
Dan akhirnya hasilnya terjadi peningkatan yang signifikan dan positif,
termasuk dalam bidang prestasi akademik dan non akademik. Sekolah dapat
menghasilkan siswa yang aktif dan inovatif serta berprestasi dan diterima di PTN.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
74
Selain itu para siswa mewakili sekolah, kabupaten bahkan provinsi untuk berbagai
kejuaraan.
Seluruh hasil itu tentunya berdampak positif terhadap sekolah walaupun juga
menimbulkan ekses negative yaitu tanggung jawab sekolah dalam segala hal menjadi
penuh. Namun secara umum hal tersebut tetap memberikan respon yang baik, positif
dan menyenangkan bagi kepala sekolah, bahkan tidak merasa MBS ini menganggu
kewenangan mereka para kepala sekolah. Untuk kesejahteraan personil juga
meningkat, karena ada banyak insentif dan penghargaan bagi para personil yang
bermutu kreatif. Mereka pun bereaksi positf dengan semakin bertanggung jawab dan
berkompetensi.
B. Manajemen Guru dan Personil Sekolah Pola sosialisasi yang dilakukan para kepala sekolah yaitu dengan rapat-rapat
rutin maupun briefing pada waktu tertentu. Para guru pun dilibatkan penuh pada
penyusunan visi misi tujuan sasaran sekolah dan tentu saja program yang diusulkan
dan dijalanakan sudah sesuai dengan keinginan sekolah secara umum dan kearifan
lokal (kultur masyarakat) serta melewati tahap SWOT dan didukung oleh transparansi
sistem pengelolaan baik manajemen sekolah maupun kesiswaan.
Program-program tersebut dilaksanakan dengan jadwal dan waktu yang telah
diprediksi sebelumnya, jikapun terjadi perubahan disesuiakan kembali pelaksanaanya
dan itu menjadi tanggung jawab masing-masing kepala program. Monev yang
dilakukan dalam bentuk pemantauan secara kualitatif dan berjangka 1 bulan. Untuk
bidang akademik dan non akademik, sejalan dengan kepala sekolah, seluruh guru
sepakat hasilnya sangat meningkat dan membanggakan serta teratur. Tidak ada guru
yang tertekan dengan adanya MBS ini, bahkan kesejahteraan personil meningkat
karena tersedianya dana lebih dan secara garis besar seluruh guru sepakat MBS ini
berdampak positif.
C. Komite Sekolah Pola sosialisasi yang diterima komite/masyarakat dalam bentuk rapat
(gabungan atau rutin) yang dilakukan oleh sekolah. Serupa dengan guru para komite
juga dilibatkan dalam penyusunan visi misi tujuan sasaran sekolah sehingga mereke
berpendaapat program-program tersebut secara umum baik, sesuai dan bisa
dijalankan. Untuk bidang keuangan, hanya 40% komite yang tahu secara lengkap
laporannya, sedangkan sebagian besar tidak tahu tentang laporan keuangan lengkap
sekolah tiap tahunnya.
Para komite dan masyarakat hanya bisa memberikan bantuan dalam bentuk
tenaga, material dan moril, walaupun ada sebagian (20%) memberikan bantuan dana.
Walaupun begitu mereka tetap berniat dan ingin bekerjasama dengan tetap
mendungkung sekolah, menganalisis kebutuhan sekolah serta ikut dalam setiap rapat
yang diadakan. Sedikit kejanggalan, seluruh komite sekolah sepakat adanya
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
75
transparasi di sekolah, padahal sebelumnya mereka menjawab tidak mengetahui
secara rinci dana yang masuk dan keluar, terjadi inkosisten pada jawaban ini.
Menurut mereka lagi anggaran telah sistematis dan teratur, dapat
dipertanggung jawab kan dan dikelola dengan akuntabilitas yang tinggi.
Kemandirian penyusunan program dengan membentuk sebuah tim kerja
kemudian tim ini diarahkan untuk menyusun dan mengembangkan program sehingga
diharapkan hasil yang diharapkan dapat meningkatkam mutu, partisisipatif dan
positif. Para komite telah diakomodir dengan pertemuan, Tanya jawab, rapat bahkan
dengan kotak saran yang disediakan. Monev dilakan dengan mengajukan pertanyaan,
tinjauan langsung, memantau bahkan intervensi secara efektif.
Dampak positif dari MBS ini adalah target dan sistem pendidikan lebih
dipahami dan diterima oleh masyarakat. Dan secara umum masyarakat dan komite
sangat medukung dan memberikan respon positif pada MBS ini.
KESIMPULAN
1. Kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam
mengkoordinasikan,menggerakkan dan menyerasikan semua sumber daya
pendidikan yang tersedia
2. Kepemimpinana kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat
mendorong sekolah untuk dapat meujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran
sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan
bertahap.
3. Guru dan komite sekolah secara bersama-sama ikut serta penyusunan manajemen
untuk meningkatkan potensi belajar siswa dalam menyusun program perencanaan
kegiatan. Kelemahan terlihat dari kemampuan yang dimiliki oleh guru dan komite
dalam hal melayani penggunaan sumberdaya sekolah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arikunto, Suharsimi, (2002). Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.
Bedjo Sujanto, (2007). Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Jakarta: CV.
Sagung Seto.
Depertemen Pendidikan Nasional, (2001).Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah. Buku 1 Jakarta. Depdiknas.
Dedi, Hamid, (2003). Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Jakarta: Purat Bahagia.
Duhou, Abu Ibtisam, (1999). School Based Management. Jakarta: Logos.
Fattah, Nanang, (2000). Manajemen Berbasis Sekolah, Andira, Bandung.
Gaffar, (1989), Perencanaan Pendidikan Teori dan Metodelogi. Jakarta: P2LPTK.
Huberman, (1992), Analisis Data Kualitatif, Terjemahan Tjetjeb Rohindi, Jakarta: Ui
Press
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
76
Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi, (2001). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi
Daerah. Yogyakarta: Adicipta.
Mukhtar Dan Suparto, Widodo, (2003). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: CV.
Fijamas.
Mulyasa. E, (2004). Menjadi Kepala Sekolah yang Profesional. Bandung. PT Remaja
Rosda Karya.
Mulyasa, E., (2002). Manajemen Berbasis Sekolah Konsep Strategi dan Implementasi,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
Mulyana, Deddy, (2002). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Moleong, Lexy, J. (2000), Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rordakarya,
Bandung.
Nasution, (1992) Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung : Tarsito.
Nurkolis, (2003). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Nurkolis, (2005). Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: PT. Grasindo, cet ke 2.
Permadi, Dedi, (2001). Manajemen Berbasis Sekolah Dan Kepemimpinan Mandiri
Kepala Sekolah, PT. Sara Panca Karya Nusa, Bandung.
Satori, Djam’an, (2001). Manajemen Berbasis Sekolah (School Baed Management)
Basic Educational Project. Jawa Barat, Bandung.
Salisbury, D, F. (1996). Five Technologies For Educational Chage, New Jersey:
Educational Technology Publications, Englewood Campany.
Sidi, Indra Djati, (2003), Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan, Paramadina Jakarta.
Siagian, Sondang P. (1995). Manajemen Stratejik. Jakarta. Bina Aksara.
Siahaan. Dkk, (2006). Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. Quantum Teaching.
Ciputat.
Suryadi, Ace, (1998). Manajemen Pendidikan Nasional dalam Kerangka
Kemandirian Bangsa. Idepdikbud. Jakarta.
Supriadi, dkk, (2001), Reformasi Pendidikan Dalam Kontek Otonomi Daerah, Adcita
Karya Nusa,Yokyakarta.
Sujanto, Bedjo (2007). Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Sagung Seto,
Jakarta.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
77
PENGARUH PEMBERIAN URINE DOMBA (CAPRA SP )
DAN INTERVAL WAKTU PEMBERIAN TERHADAP
PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN
CABAI MERAH ( CAPSICUM ANNUM )
Nurmaya Sari
M. Ridhwan
Anita Noviyanti
ABSTRAK
Penelitian tentang pengaruh pemberian urine domba (Capra sp) dan interval waktu pemberian
terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicun annum, L), dilaksanakan di
Desa Lampeuneuen, Kecamatan Darul Kamal, Kabupaten Aceh Besar mulai pada tanggal 14
Juli 2013 sampai tanggal 8 September 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dampak pemberian urine domba (Capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai
merah (Capsicum annum L), untuk mengetahui pengaruh interval waktu pemberian urine
domba (Capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum
L), untuk mengetahui interaksi dampak pemberian urine domba dan interval waktu pemberian
urine domba (capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum
annum L). Penelitian ini dilakukan pada tanaman cabai merah yang telah berumur 4,6,8
minggu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak kelompok
(RAK) Faktorial, terdiri dari 2 faktor dengan 16 kombinasi perlakuan dan 2 ulangan sehingga
terdapat 32 plot penelitian dan 1 plot penelitian terdapat 5 polybag. Faktor-faktor yang diteliti
terdiri dari faktor perlakuan urine domba dengan simbol”U” terdiri dari 4 taraf yaitu U0 =
kontrol, U1 = 100 ml/l air, U2 = 200 ml/l air, dan U3 = 300 ml/l air. Faktor interval waktu
pemberian urine domba dengan simbol “I” terdiri dari 4 taraf yaitu I0 = tanpa perlakuan, I1 =
1 minggu sekali pemberian urine, I2 = 2 minggu sekali pemberian urine, dan I3 = 3 minggu
sekali pemberian urine. Parameter yang diukur dalam penelitian ini meliputi tinggi tanaman
(cm), jumlah daun (helai) dan lebar daun (cm). Pengaruh pemberian urine domba tidak
berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman pada umur 4 sampai 6 minggu setelah
tanam, dan pada umur 8 minggu setelah tanam berpengaruh sangat nyata.
Kata kunci: urine domba, pertumbuhan vegetatif, cabai merah
PENDAHULUAN
Cabai merah berasal dari benua Amerika bersamaan dengan petualangan Christoper
Colombus pada 1492. Colombus yang juga disebut penemu benua Amerika mengetahui
bahwa, Suku Indian yang pribumi benua tersebut, ternyata memanfaatkan cabai yang
diperkirakan ada sejak tahun 5.000 SM. Colombus lalu membawa tanaman cabai tersebut ke
benua Eropa, hingga akhirnya menyebar ke Afrika, hingga Asia termasuk Indonesia.
Bertanam cabai merah sebetulnya sudah dilakukan masyarakat Indonesia, baik secara
tradisional, semi intensif, maupun intensif.Meski demikian, suplai cabai merah dalam negeri
terus mengalami peningkatan. Terutama menjelang musim penghujan, pasokan cabai
berkurang yang mengakibatkan harga cabai merah naik berlipat-lipat (Santika, 1999:35).
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
78
Negara-negara pengekspor cabai merah yang utama adalah India, Pakistan,
Bangladesh, Cina, dan Singapura. Hal ini menunjukkan bahwa cabai merah mempunyai
potensi pemasaran baik untuk tujuan domestik maupun tujuan ekspor.Berdasarkan hasil
pengamatan, harga cabai merah mencapai puncaknya secara periodik tahunan pada hari-hari
besar seperti hari raya (Anonimus, 2000:20).
Cabai merah merupakan tanaman perdu dari family terung – terungan yang memiliki
nama ilmiah Capsicum sp. Tanaman cabai merah banyak ragam tipe dan pertumbuhan dan
bentuk buahnya diperkirakan terdapat 20 spesies yang sebagian besar hidup di Negara
asalnya. Masyarakat pada umumnya hanya mengenal beberapa jenis saja, yakni cabai besar,
cabai keriting, cabai rawit dan paprika (Anonimus, 2012:12).
Buah berkhasiat stimulan, meningkatkan nafsu makan ( stomakik ), perangsang kulit,
dan sebagai obat gosok. Cabai merah mengandung antioksidan dan berfungsi untuk menjaga
tubuh dari serangan radikal bebas.Kandungan vitamin c yang cukup tinggi pada cabai dapat
memenuhi kebutuhan harian setiap orang, namun harus di konsumsi secukupnya untuk
menghindari nyeri lambung. Cabai merah juga mengandung Lasparaginase dan Capsaicin
yang berperan sebagai zat anti kanker (Novi, 2011:29).
Cabai merah ( Capsicum annum, L ) merupakan salah satu komoditas unggulan yang
bernilai ekonomis tinggi serta mempunyai prospek pasar yang menarik dan sebagai bumbu
masak kaya vitamin A, C serta kalsium yang tinggi. Tanaman ini dapat dibudidayakan di
dataran tinggi maupun rendah, di lahan sawah atau pun dilahan kering/tegalan, dan dapat juga
di tanam didalam pot atau polybag, tanpa memerlukan persyaratan agroklimat terlalu khusus.
Untuk mencegah terjadinya fluktuasi produksindan fluktuasi harga yang sering merugikan
petani, maka perlu diupayakan budidaya yang dapat berlangsung sepanjang tahun antara lain
dengan cara mengatur pola tanam di masing-masing sentra produksi khususnya di Jawa Barat.
Sehingga dapat memenuhi permintaan pasar dan diharapkan harga selalu stabil (Novi,
2011:29).
Cabai merah atau Lombok gede ( Jawa ), atau cabe ( Sunda ) adalah jenis buah yang
dihasilkan dari pohon yang disebut pohon cabai. Cabai merah mempunyai tinggi pohon
sekitar 50 cm. batang pohon cabai merah berwarna hijau, bunga berwarna putih berbentuk
terompet.Buah cabai merah berwarna hijau tua jika masih muda dan berwarna merah jika
sudah masak.Ukuran cabai merah sedikit lebih besar dibandingkan cabai rawit. Cabai merah
berukuran panjang sekitar 6-10 cm. cabai merah dapat tumbuh di daerah dataran rendah dan
dataran tinggi.Cabai merah dapat tumbuh subur jika ditanam di lahan gambut yang banyak
terdapat humus, tidak tergenang air.
Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan organik atau makhluk hidup
yang telah mati. Bahan organik ini akan mengalami pembusukan oleh mikroorganisme
sehingga sifat fisiknya akan berbeda dari semula. Pupuk organik termasuk pupuk organik
lengkap karena kandungan unsur hara nya lebih dari satu unsur dan mengandung unsur
mikro.
Pupuk kandang mengandung 3 golongan komponen, yaitu kotoran/sampah, bahkan
keluaran padat dari binatang,dan urin. Sifat/keadaan dan konsentrasi relatif dari komponen-
komponen ini dalam macam-macam pupuk kandang adalah sangat berbeda, tergantung jenis
binatangnya.Cara pemberian makanannya dan pemeliharaan binatang-binatang tersebut.Sisa-
sisa tanaman yang merupakan kotoran pada pupuk kandang biasanya tinggi kandungan
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
79
karbohidrat, terutama selulosa dan rendah kandungan nitrogen maupun mineral.Nitrogen dan
mineral terkandung tinggi pada urin dan kandungan karbohidratnya sangat kecil.
Pupuk organik cair adalah larutan dari hasil pembusukan bahan-bahan organik yang
berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang terkandung unsur hara nya lebih
dari satu unsur. Kelebihan dari pupuk organik cair adalah dapat secara cepat mengatasi
defesiensi hara, tidak bermasalah dalam pencucian hara, dan mampu menyediakan hara secara
cepat. Salah satu pupuk organic cair adalah urine domba.
Urine domba merupakan pupuk olahan yang mengandung hormon auksin yang dapat
mempercepat pertumbuhan akar pada perbanyakan tanaman. Urine domba mengandung kadar
N 36,90 % sampai 37,31 %, P 16,5 % sampai 16,8 %, dan K sampai 1,27 %
(Anonimus,2011:15)
Dari uraian diatas maka penulis ingin melaksanakan penelitian dengan judul
“Pengaruh Pemberian Urine domba (Capra sp) dan Interval Waktu Pemberian Terhadap
Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L)’’.
Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang masalah diatas yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
a. Bagaimanakah dampak pemberian urine domba (Capra sp) terhadap pertumbuhan
vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L)?
b. Bagaimanakah pengaruh interval waktu pemberian urine domba (Capra sp) terhadap
pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L)?
c. Adakah interaksi antara pemberian urine domba dan interval waktu pemberian urine
domba (capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum
L)?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dampak pemberian urine domba (Capra sp) terhadap pertumbuhan
vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L).
b. Untuk mengetahui pengaruh interval waktu pemberian urine domba (Capra sp) terhadap
pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L).
c. Untuk mengetahui interaksi pemberian urine domba dan interval waktu pemberian urine
domba (capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum
annum L).
Urine Domba sebagai Pupuk Cair
Urine domba merupakan pupuk olahan yang mengandung hormon auksin yang dapat
mempercepat pertumbuhan akar pada perbanyakan tanaman. Urine domba mengandung kadar
N 36,90 % sampai 37,31 %, P 16,5 % sampai 16,8 %, dan K sampai 1,27 %
(Anonimus,2011:15). Kandungan hara makro pupuk kandang cair dapat dilihat pada Tabel 1.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
80
Tabel 1. Kandungan Hara Makro Pupuk Kandang Cair Beberapa Jenis Ternak
Jenis Ternak
Jenis Kotoran
Kandungan Hara Makro %
Nitrogen Fosfor Kalium Kalsium
Kuda Cair 1,24 0,004 1,26 0,32
Kerbau Cair 0,62 - 1,34 -
Domba Cair 1,43 0,01 0,55 0,11
Sapi Cair 0,52 0,01 0,56 0,007
Babi Cair 0,31 0,05 0,81 -
Sumber : Sukamto Hadisuwito (1999).
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa pupuk kandang cair dari hewan domba
memiliki sumber nitrogen (N) terbesar dibandingkan dengan pupuk kandang cair dari hewan
yang lain yaitu sebesar 1,43 %, Fosfor sebanyak 0,01%, Kalium sebanyak 0,55%, dan
Kalsium sebanyak 0,11%. Selain itu, dalam pupuk kandang cair juga mengandung unsur
mikro seperti seng ( ZN ), tembaga ( Cu ), besi (Fe ), molybdenum ( Mo ).Pemberian pupuk
kandang cair ini paling baik diberikan pada tanaman yang sedang dalam masa vegetatif dan
masa perkembangbiakan. Hadisuwito (2007:34) mengemukakan bahwa, didalam urine domba
terdapat dua unsur hara yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro.
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih cabai merah dan
pupuk urine domba.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Polybag, Kayu, Cangkul,
Parang, gembor, meteran, papan plang, spidol, kertas, alat tulis, gelas ukur.
Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK ) Faktorial, terdiri dari 2 faktor dengan 16 kombinasi perlakuan dan 2 ulangan sehingga
terdapat 32 plot penelitian.
Pelaksanaan Penelitian
Adapun pelaksanaan penelitian ini antara lain :
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
81
Persiapan Lahan
Bersihkan lahan dari rumput liar yang mengganggu, kemudian dicangkul dan
diratakan, setelah itu, dibuat plot-plot penelitian dengan ukuran 50 x 50 cm, jarak antar blok
30 cm dan jarak antar barisan 50 cm.
Persiapan Benih Cabai Merah
Sebelum disemai, benih cabai merah terlebih dahulu direndam dalam air hangat
(50°C) atau direndam dengan ZPT Grow Quik (1cc) selama 20 menit untuk mempercepat
perkecambahan, pertumbuhan dan menghilangkan hama dan penyakit yang terbawa benih.
Pembuatan Persemaian
Pada persemaian cabai merah perlu diberikan naugan agar sinar matahari tidak
sepenuhnya menyinari tanaman. Naungan dibuat dari tiang bambu seperti para-para dengan
tinggi 100 cm bagian timur dan 50 cm bagian barat dan diberi atap penutup dari plastik.
Sedangkan untuk lebar dan panjangnya disesuaikan dengan kebutuhan, naungan menghadap
Timur-barat. Tinggi bedengan persemaian 20-50 cm dengan lebar 80-100 cm dan panjangnya
sesuai kondisi dilapangan.
Penanaman
Untuk melakukan penanaman cabai merah kedalam polybag/wadah, yang perlu
diperhatikan adalah diameter dan kedalaman wadah, hal ini terkait dengan perakaran cabai
yang menyebar menembus cukup dalam antara 30-50 cm. Sebelum memindah benih cabai
merah kedalam polybag, polybag terlebih dahulu di isi dengan tanah gembur atau topsoil.
Setelah itu benih cabai merah yang tumbuh dan memiliki 2 helai daun dapat dipindahkan
kedalam polybag yang telah terisi tanah gembur atau top soil dengan kedalaman lubang tanam
± 2 cm.
Pemberian Pupuk Urine Domba
Pupuk urine domba diaplikasikan pada saat umur tanaman 21 hari. Sesuai dengan
taraf perlakuan yaitu tanpa perlakuan, 100 ml/L (air), 200 ml/L (air), 300 ml/L (air).
Diaplikasikan dengan cara disiram ketanaman. Pemupukan bertujuan menyediakan unsur hara
yang dibutuhkan oleh tanaman, dengan pemberian pupuk urine domba, tanaman dapat tumbuh
pesat sehingga dapat cepat berbunga dan berbuah (Cahyono, 2003).
Pemeliharaan
Pemelihaan tanaman dilakukan yaitu penyiraman dilakukan 2 kali sehari (pagi dan
sore). Penyiangan dilakukan secara rutin dengan cara dicabut dengan tangan. Pemberantasan
hama dan penyakit tanaman cabai merah dilakukan dengan cara menyemprotkan pestisida.
Parameter yang Diamati
Adapun parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, dan lebar daun.
Metode Analisa Data
Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengambil
kesimpulan menggunakan model linier yang diasumsikan untuk Rancangan Acak Kelompok (
RAK ) faktorial yaitu dengan ANAVA.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
82
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi Tanaman (cm)
Dari hasil penelitian setelah di analisa secara statistik menunjukkan bahwa pemberian
urine domba memberikan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 4 sampai
6 minggu setelah tanam, tetapi memberikan pengaruh sangat nyata pada umur 8 minggu
setelah tanam. Pada pemberian interval waktu memberikan pengaruh tidak nyata terhadap
tinggi tanaman pada umur 4 sampai 6 minggu setelah tanam, tetapi memberikan pengaruh
sangat nyata pada umur 8 minggu setelah tanam. Interaksi pemberian urine domba dan
interval waktu pemberian memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter tinggi
tanaman pada umur 4, 6 dan 8 minggu setelah tanam.
Dari hasil penelitian bahwa pemberian urine domba memberikan pengaruh sangat
nyata terhadap parameter tinggi tanaman pada umur 8 minggu setelah tanam. Tanaman yang
tertinggi dijumpai pada perlakuan U1 yaitu 15,40 cm yang berbeda tidak nyata terhadap
perlakuan U0 yaitu 12,43 cm, dan U3 yaitu 15,03 cm berbeda tidak nyata terhadap U2 yaitu
14,15 cm. Sedangkan pada perlakuan U3 berbeda sangat nyata terhadap U0.
Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa interval waktu pemberian memberikan pengaruh
sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 8 minggu setelah tanam. Tanaman yang
tertinggi dijumpai pada perlakuan I3 yaitu 16,18 cm yang berbeda tidak nyata terhadap
perlakuan I2 yaitu 15,73 cm, dan terhadap I1 yaitu 16,00 cm tetapi berbeda sangat nyata I0
yaitu 13,95 cm. Pada perlakuan I2 berbeda tidak nyata terhadap I1, tetapi berbeda nyata
terhadap I0 dan I1 berbeda tidak nyata terhadap I0.
Jumlah Daun (Helai)
Dari hasil penelitian setelah di analisa secara statistik menunjukkan bahwa pemberian
urine domba memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun pada umur 4 sampai 6
minggu setelah tanam, tetapi memberikan pengaruh sangat nyata pada umur 8 minggu setelah
tanam. Pada pemberian interval waktu memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah
daun pada umur 4 sampai 6 minggu setelah tanam, tetapi memberikan pengaruh nyata pada
umur 8 minggu setelah tanam. Interaksi pemberian urine domba dan interval waktu pemberian
memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter jumlah daun pada umur 4, 6 dan 8
minggu setelah tanam.
Dari Hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa pemberian urine domba memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap parameter jumlah daun pada umur 8 minggu setelah tanam.
Jumlah daun terbanyak dijumpai pada perlakuan U3 yaitu 7,60 helai berbeda nyata terhadap
perlakuan U2 yaitu 7,00 helai dan berbeda nyata terhadap U1 yaitu 7,20 helai berbeda sangat
nyata terhadap U0 yaitu 7,10 helai.
Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa interval waktu pemberian urine domba
memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun pada umur 8 minggu setelah tanam.
Jumlah daun terbanyak dijumpai pada perlakuan I3 yaitu 7,75 helai yang berbeda tidak nyata
terhadap perlakuan I2 yaitu 7,00 helai, dan terhadap I1 yaitu 6,90 helai tetapi berbeda tidak
nyata terhadap I0 yaitu 7,30 helai. Sedangkan pada perlakuan I3 berbeda sangat nyata terhadap
I0.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
83
Lebar Daun (cm)
Dari hasil penelitian setelah di analisa secara statistik menunjukkan bahwa pemberian
urine domba memberikan pengaruh tidak nyata terhadap lebar daun pada umur 4 sampai 6
minggu setelah tanam, tetapi memberikan pengaruh sangat nyata pada umur 8 minggu setelah
tanam. Pada pemberian interval waktu memberikan pengaruh tidak nyata terhadap lebar daun
pada umur 4 sampai 8 minggu setelah tanam. Interaksi pemberian urine domba dan interval
waktu pemberian memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter lebar daun pada umur
4, 6 dan 8 minggu setelah tanam.
Hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa pemberian urine domba memberikan
pengaruh sangat nyata terhadap parameter luas daun pada umur 8 minggu setelah tanam.
Lebar daun terbesar dijumpai pada perlakuan U3 yaitu 18,35 cm yang berbeda sangat nyata
terhadap perlakuan U2 yaitu 18,00 cm, U1 yaitu 17,55 cm berbeda nyata terhadap U0 yaitu
17,25 cm. Sedangkan pada perlakuan U3 berbeda sangat nyata terhadap U0.
Selanutnya dapat dijelaskan bahwa interval waktu pemberian urine domba
memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun pada umur 8 minggu setelah tanam.
Lebar daun terbesar dijumpai pada perlakuan I3 yaitu 18,15 cm yang berbeda tidak nyata
terhadap perlakuan I2 yaitu 17,80 cm, I1 yaitu 17,55 cm dan I0 yaitu 17,20 cm. Pada
perlakuan I2 berbeda tidak nyata terhadap I1 dan I1 berbeda tidak nyata terhadap I0.
Pembahasan
Pemberian Urine Domba(Capra sp) terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Cabai
Merah (Capsicum annum L)
Dari hasil penelitian setelah di analisa secara statistik menunjukkan bahwa pemberian
urine domba tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan
lebar daun pada umur 4 dan 6 minggu setelah tanam.
Perlakuan pemberian urine domba berpengaruh tidak nyata terhadap parameter tinggi
tanaman, jumlah daun dan lebar daun pada umur 4 dan 6 minggu setelah tanam.
Hal tersebut disebabkan karena pemberian urine domba yang diberikan pada tanaman
cabai merah belum dapat dipergunakan secara sempurna karena tanaman cabai merah belum
tumbuh dengan sempurna terutama pada pertumbuhan akar di dalam tanah, sehingga nutrisi
yang terkandung dalam urine domba belum dapat diserap oleh akar tanaman secara maksimal
untuk dipergunakan oleh tanaman dalam meningkatkan pertumbuhan, keadaan tersebut
mengakibatkan perlakuan pemberian urine domba memberikan pengaruh tidak nyata terhadap
parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun pada umur 4 dan 6 minggu setelah
tanam.
Pada umur 8 minggu setelah tanam memberikan pengaruh sangat nyata pada
pemberian urine domba terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun, hal
ini disebabkan karena pupuk urine domba yang diberikan pada tanaman cabai merah
mengandung unsur N 36,90 sampai 37,31%, P 16,5 sampai 16,8%, dan K 0,67 sampai 1,27%
yang diperlukan oleh tanaman untuk meningkatkan serta mengembangkan pertumbuhan
tanaman terutama pertumbuhan vegetatif pada tanaman cabai merah.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
84
Menurut Hadisuwito (2007) menyatakan pemberian pupuk cair paling baik diberikan
pada tanaman yang sedang dalam masa vegetatif dan masa perkembangbiakan.
Interval Waktu Pemberian Urine Domba(Capra sp) terhadap Pertumbuhan Vegetatif
Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L)
Dari hasil penelitian setelah di analisa secara statistik menunjukkan bahwa interval
waktu pemberian urine domba tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman,
jumlah daun dan lebar daun pada umur 4 dan 8 minggu setelah tanam.
Interval waktu pemberian urine domba pada tanaman cabai merah memberikan
pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun pada umur 4 dan 6 minggu
setelah tanam, secara angka terjadi pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun. Setelah di
analisa secara statistik menunjukkan perbedaan angka yang tidak terlalu jauh. Hal tersebut
disebabkan karena tanaman cabai merah yang diberi perlakuan interval waktu pemberian
urine domba masih mengalami adaptasi terhadap lingkungannya.
Jumin (2002) menyatakan bahwa, adaptasi adalah proses di mana individu, populasi
atau spesies dalam beberapa hal berubah fungsi atau bentuk menjadi lebih baik pada
lingkungan yang baru diterimanya. Dalam rangka penyesuaian tersebut biasanya terjadi
perubahan fisiologis dan morfologis secara berangsur-angsur.
Parameter jumlah daun pada umur 8 minggu setelah tanam memberikan pengaruh
nyata pada interval waktu pemberian urine domba. Hal tersebut disebabkan karena
pertambahan jumlah daun sangat dipengaruhi oleh sifat genetik oleh tanaman itu sendiri yang
tidak dapat dirubah atau dipengaruhi perlakuan yang diberikan.
Interval waktu pemberian urine domba juga berpengaruh tidak nyata terhadap
parameter lebar daun, pada umur 4 sampai 8 minggu setelah tanam. Hal tersebut disebabkan
karena tidak adanya perbedaan laju pertumbuhan dari masing-masing perlakuan sehingga
tidak terjadinya perbedaan dalam penyerapan unsur hara dari dalam tanah yang dipergunakan
untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dengan tidak adanya perbedaan dalam
penyerapan unsur hara pada tanaman maka indeks lebar daun (leaf area indeks) tidak berbeda
pula guna mendukung proses fotosintesa terhadap unsur hara yang diperlukan oleh tanaman.
Interaksi Urine Domba dan Interval Waktu Pemberian Urine Domba(Capra sp)
terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L)
Dari hasil penelitian setelah di analisa secara statistik menunjukkan bahwa interaksi
pengaruh pemberian urine domba dan interval waktu pemberian memberikan pengaruh tidak
nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun, pada umur 4 sampai 8
minggu setelah tanam. Hal tersebut disebabkan karena antara urine domba dan interval waktu
pemberian urine domba sangatlah singkat dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman cabai
merah.
Dari hasil penelitian yang dianalisis dengan menggunakan metode RAK faktorial
pada tingkat signifikan 0,05 dapat disimpulkan bahwa pemberian urine domba (Capra sp) dan
interval waktu pemberian terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum
annum), terhadap tinggi tanaman cabai merah, jumlah daun (helai) tanaman cabai merah dan
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
85
lebar daun tanaman cabai merah dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh tidak nyata.
Dimana Fhitung lebih besar dari Ftabel (Fhitung > Ftabel). Menurut kriteria analisis varian bahwa
apabila nilai Fhitung lebih besar dari Ftabel (Fhitung > Ftabel) maka hipotesis alternatif (Ha) yang
diajukan ditolak atau dengan kata lain antar perlakuan terdapat perbedaan yang tidak nyata.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian setelah dianalisis secara statistik maka dapat diambil beberapa
kesimpulan, antara lain:
1. Pada umur 4 sampai 8 minggu setelah tanam pada pemberian urine domba berpengaruh
sangat nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun.
2. Pada umur 8 minggu setelah tanam pada interval waktu pemberian berpengaruh sangat
nyata terhadap parameter tinggi tanaman.
3. Interaksi antara pengaruh pemberian Urine Domba dan Interval Waktu Pemberian
memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan
lebar daun, pada umur 4 sampai 8 minggu setelah tanam.
DAFTAR PUSTAKA
Amin. (2010).Klasifikasi Cabai Merah. Jakarta, diakes 18 Februari 2013 dari
(http://amintabin.blogspot.com/2010/09/klasifikasi-cabai-merah-capsicum-
annum.html)
Anonimus. (2000).Budidaya Tanaman Cabai. Jawa Barat, diakses 19 Februari
2013 dari (http://www.diperta.jabarprov.go.id)
Hadisuwito, S. (2007). Membuat Pupuk Kompos Cair. Jakarta: PT Agro Media Pustaka
Nawangsih. (2001).Klasifikasi Cabai Merah. Jakarta: PT Mitratani Mandiri Perdana
Pracaya. (1994). Bertanam 30 Jenis Sayuran. Jakarta: Swadaya
Sastrosupadi. (2000).Perancang Percobaan. Jakarta: Rajawali
Sumarni, N dan A. Muharam. (2005). Budidaya Cabai Merah. Paduan Teknis
PPT Cabai Merah.
Widodo. (2002).Teknologi Budidaya Cabai. Lampung, diakses 18 Februari 2013
Dari ( http://lampung.litbang.deptan.go.id )
Djuarnani, N., Kristian, dan Budi S.S.(2004). Cara Cepat Membuat Kompos. Jakarta : PT
Agromedia pustaka.
Setiadi. (1999). Menanam Cabai Merah. Jakarta : Diakses 18 Februari 2013 dari
(http://Setiadi.com/menanam-cabe)
Widodo. (2002). Teknologi Budidaya Cabai. Jakarta : Diakses 18 Februari 2013 dari
(http://Lampung.litbang.deptan.go.id)
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
86
PENGARUH PRESTASI MICRO TEACHING TERHADAP PRESTASI PPL
MAHASISWA PENDIDIKAN EKONOMI UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH
BANDA ACEH
Rita Hermina
Anwar
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi prestasi micro teaching dan deskripsi
prestasi PPL mahasiswa Pendidikan Ekonomi serta untuk mengetahui pengaruh prestasi micro
teaching terhadap prestasi PPL mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah
Banda Aceh. Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah data-data mengenai
prestasi micro teaching dan prestasi PPL mahasiswa Pendidikan Ekonomi, sedangkan subjek
dalam penelitian ini adalah kepala bagian pengajaran, staf pengajaran, dan mahasiswa
Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh. Teknik pengumpulan data
adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan cara dokumentasi, sedangkan
teknik analisis data dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan mengunakan software SPSS
versi 16. Berdasarkan pembahasan, diperoleh nilai koefisien korelasi (r) = 0,441 dimana nilai
tersebut menjelaskan adanya pengaruh antara prestasi micro teaching dengan prestasi PPL.
Koefisien determinasi (r2) dengan nilai sebesar 0,195 menunjukkan bahwa 19,5% prestasi
micro teaching yang mempengaruhi prestasi PPL sedangkan selebihnya 80,5% prestasi PPL
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. Dari hasil pengujian
data diperoleh nilai thitung sebesar 2,603 sementara ttabel pada tingkat dk = n-2 (dk = 28) dengan
taraf signifikan 5% adalah sebesar 1,701. Dengan demikian nilai thitung lebih besar dari ttabel
(2,603 ≥ 1,701) sehingga hipotesis dalam penelitian ini yang menyatakan ada pengaruh antara
prestasi micro teaching dengan prestasi PPL mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas
Serambi Mekkah Banda Aceh diterima (H0 ditolak dan H1 ditrima). Dilihat dari terdapatnya
pengaruh antara prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL, maka hendaknya guru
mengajarkan cara mengaplikasikan konsep mengajar dengan sungguh-sungguh.
Kata-kata Kunci : Microteaching, PPL.
PENDAHULUAN
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) sebagai salah satu fakultas dari suatu
perguruan tinggi Universitas Serambi Mekkah (USM) yang menyelengarakan pendidikan
calon guru yang profesional. Di mana pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dalam kehidupan manusia, sebab pendidikan merupakan salah satu proses pembentuk
manusia untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada.
Kompetensi profesional seorang guru (Uno, 2007:18) adalah seperangkat kemampuan
yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan
berhasil. Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian
khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang diluar bidang
pendidikan. Walaupun pada kenyataannya masih terdapat hal-hal tersebut diluar bidang
kependidikan. Kalau diperhatikan secara lebih seksama, baik guru maupun peserta didik,
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
87
mempunyai peranan yang sama penting dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar di
kelas. Dalam upaya perwujudan kegiatan belajar mengajar, maka guru dan siswa adalah
manusia yang pada hakikatnya merupakan makhluk yang sama. Perbedaanya terletak pada
fungsi dan peranan masing-masing. Guru bukanlah orang yang serba mengetahui, dan siswa
bukanlah orang yang serba tidak tahu. Guru mempunyai kelebihan tertentu yang harus
digunakan untuk membelajarkan siswa. Guru dan peserta didik keduanya adalah manusia
yang menjadi fokus dari strategi belajar mengajar. Guru secara individual sebagai pihak yang
menyampaikan ilmu dan siswa secara individual melakukan kegiatan belajar untuk
membentuk selfoncept bagi dirinya sendiri.
Usaha-usaha meningkatkan keguruan tenaga profesinya dibidang keguruan ini
sebetulnya sudah ada sejak lama dan berbagai lembaga pendidikan guru, termasuk IKIP dan
FKG/FKIP dilingkungan universitas. Hanya mungkin model dan caranya berbeda. Oleh
karena itu, guru merupakan profesi utama yang menjadi lapangan kerja bagi lulusan FKIP.
Untuk mempersiapkan calon guru yang berkompetensi sebagaimana disebut diatas,
kiranya tidak cukup bila calon guru yang hanya dibekali materi yang bersifat teoritas saja,
mengingat tugas utama guru adalah mengajar oleh karena itu, di FKIP ada program
pengalaman lapangan yang merupakan kegiatan praktik mengajar disekolah-sekolah.
Sehubungan dengan ini, Asril (2010:91) mengatakan bahwa Program Pengalaman Lapangan
(PPL) merupakan muara dan aplikasi dari seluruh materi yang diterima peserta didik dari
selama mengikuti pembelajaran dibangku kuliah. Sebelum mahasiswa terjun untuk mengikuti
PPL, langkah pertama yang harus diambil adalah latihan mengajar yang disebut dengan Micro
teaching. Micro teaching merupakan syarat mutlak bagi calon guru untuk mendapatkan
pengalaman-pengalaman berdiri di depan kelas dan melatih kemampuan bertindak sebagai
administrator pendidikan, baik disekolah maupun diluar sekolah.
Pembelajaran mikro bagi setiap calon guru sebagai bekal persiapan menghadapi
praktik lapangan. Calon guru dilatih untuk menunjukkan keaktifan dan kemampuannya
sebagai guru, baik kepada para teman seprofesi, dan dosen pembimbing. Perlu ditambahkan
bahwa mungkin sekali calon guru yang melakukan real class room teaching akan membawa
akibat yang cukup fatal dalam rangka memenuhi maksud proses belajar mengajar. Dikatakan
oleh Brown dalam buku interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Sadirman, 2007:182),
bahwa mahasiswa calon guru yang sedang praktek mengajar senantiasa akan membelajarkan
siswa-siswanya (siswa belajar sesuatu pengetahuan) dan sekaligus ia sendiri belajar mengajar.
Dengan demikian kalau calon guru harus langsung berhadapan dengan 30 siswa atau lebih,
untuk menyampaikan pesan atau misi satuan pelajaran yang padat dan komplek, maka akan
dirasakan sebagai beban yang berat. Oleh sebab itu, mata kuliah Micro teaching adalah mata
kuliah yang wajib lulus bagi mahasiswa S1 kependidikan. Karena melalui mata kuliah ini
mahasisiwa dibekali keterampilan mengajar dilapangan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengdakan penelitian
dengan judul “Pengaruh Prestasi Micro Teaching Terhadap Prestasi PPL Mahasiswa
Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh”.
Tujuan penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui prestsi micro teaching mahasiswa Pendidikan Ekonomi
Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun Akademi 2011/2012.
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
88
b. Untuk mengetahui prestasi PPL mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi
Mekkah Tahun Akademi 2011/2012.
c. Untuk mengetahui pengaruh prestasi Micro teaching terhadap prestasi PPL di
Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh.
TINJAUN PUSTAKA
Pengajaran Mikro dalam Proses Pendidikan Guru
Robert F. Schuck dalam buku Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi
(Hamalik, 2002:151) membahas perihal konsep pengajaran mikro, proyek pendidikan guru
Stanford pengembangan keterampilan dalam pengajaran mikro, program Universitas Brigham
young, study the san Juse State College, dan suatu assessment.
Pendidikan melakukan fungsinya melalui tiga cara, atau proses pendidikan memiliki
tiga dimensi, Hamalik (2002:151) yakni:
a. Dimensi substantif, tentang apa yang diajarkan.
b. Dimensi tingkah laku, tentang bagaiman mengajar atau dinamika pembuatan
mengajar belajar.
c. Dimensi lingkungan, keadaan lingkungan secara fisik dimana berlangsung belajar.
Ketiga dimensi ini telah disusun dalam bentuk model konseptual (model proses
pendidikan) oleh Lawrence Downey dalam buku Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan
Kompetensi (Hamalik, 2002:151) sebagaimana tertera dibawah ini.
Sejak bertahun-tahun lamanya orang terlibat dalam proses pendidikan guru, dengan maksud
menemukan metode yang paling efektif dan efisien dalam rangka mempersiapkan calon guru
yang sanggup mengemban peranan profesionalnya. Pengembangan dalam bidang teknologi
telah membantu membuka dimensi baru dalam pendidikan guru dengan digunakannya
pengajaran mikro.
Hubungan Pembelajaran Mikro dengan Program Pengalaman Lapangan
Pembelajaran mikro bukan pengganti praktik lapangan, melainkan bagian dari
program penglaman lapangan yang berusaha untuk menimbulkan, mengembangkan serta
membina keterampilan-keterampilan tertentu dari calon-calon guru dalam menghadapi kelas.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas berikut ini dikemukakan beberapa alternatif yang
dapat menggambarkan kedudukan program pengajaran mikro dalam ruang lingkup program
pengalaman lapangan, dapat dilihat dalam bagan 2.2 berikut :
Pembelajaran Mikro dan PPL (Alternatif 1)
Observasi kegiatan/proses
belajar mengajar dalam kelas
dan diskusi
Melaksanakan micro
teaching
Praktik mengajar real class
room teaching
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
89
Gambar 2.3 Bagan Pembelajaran Mikro Dan PPL Alternatif 2
Sumber: Asril, Micro teaching (2010:57)
Gambar 2.2 Bagan Pembelajaran Mikro dan PPL Alternatif 1
Sumber: Asril, Micro teaching (2010:56)
Pembelajaran Mikro dan PPL (Alternatif 2)
Pemilihan dua alternatif diatas dapat dilakukan antara lain berdasarkan latar belakang
pendidikan/pengalaman dari peserta didik/mahasiswa. Umpamanya bagi mahasiswa yang
berasal dari SMA diharuskan memilih alternatif I, sedangkan dari SPG memilih alternatif II
yang manapun dipilih, haruslah tetap mengikuti prinsip yang sama yakni latihan-latihan
keterampilan terbatas yang dilakukan secara terisolasi dalam pengajaran mikro haruslah
dilatihkan kembali secara interaksi dalam real class room teaching.
Sebagai bagian dari program pengalaman lapangan pengajaran mikro perlu
ditempatkan pada kedudukan organisasi pengelolaan pengalaman lapangan yang terdapat di
LPTK. Agar pengelolaan pengajaran mikro tersebut dapat terlaksana dengan baik, diperlukan
staf yang mempunyai keahlian yang berbeda-beda antara lain:
a. Pimpinan, yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan serta kerja dari unit
pengajaran mikro, serta bertanggung jawab dalam mengadakan hubungan demi
kelancaran pelaksanaan mikro dikenal dengan UPT-PLL.
Praktik mengajar
(real class room
teaching)
Class room
teaching
Melaksanakan micro
teaching
Observasi proses
pembelajaran dalam
kelas
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
90
b. Staf teknisi, menangani dan bertanggung jawab terhadap alat-alat yang diperlukan
dalam pengajaran mikro.
c. Staf peneliti atau ahli, mengadakan penelitian guna mengembangkan program
pengajaran mikro.
d. Staf dosen pembimbing (supervisor atau dosen pembimbing lapangan), membimbing
calon guru yang sedang melaksanakan pengajaran mikro.
Salah satu kemungkinan tentang hal diatas, diberikan ilustrasi bagaimana struktur dan
organisasi pengelola program pengalaman lapangan dalam kegiatannya dengan pengajaran
mikro sebagai tergambar pada bagan 2.4.
Pembelajaran Mikro dan Pengelolaan PPL
METODE PENELITIAN
Objek dan Subjek Penelitian
Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah data-data mengenai prestasi
micro teaching dan prestasi PPL mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi
Mekkah Banda Aceh, sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah kepala bagian pengajaran,
staf pengajaran, dan mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda
Aceh.
Teknik Pengumpulan Data
Gambar 2.4 Bagan Pengajaran Mikro Dalam Pengelolaan PPL
Sumber: Asril, Micro teaching (2010:59)
Lembaga pengelola
program pengalaman
Unit media Unit pengajaran Unit sekolah
Staf teknis Staf penelliti Supervisor dosen
pem. Guru Pamong
mahasiswa
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
91
Untuk memilih data yang konkret tentang masalah yang diteliti maka penelitian
menggunakan metode kuantitatif.
Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul melalui hasil penelitian dengan menggunakan dokumentasi
kemudian data diolah dengan menggunakan metode statistik yaitu dengan menggunakan
rumus statistik regresi linier sederhana dan korelasi yang diolah melalui komputer dengan
mengunakan software SPSS versi 16.
Selanjutnya untuk menguji hipotesis diterima atau ditolak maka diuji dengan uji-t ,
rumusnya:
21
2
r
nrt hitung
−
−=
HASIL PENELITIAN DANPEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Berikut ini penulis memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Universitas
Serambi Mekkah Banda Aceh pada tanggal 24-25 juli 2012. Dalam mengolah data penelitian
langkah yang diambil yaitu dengan mengumpulkan data dokumentasi dari pengajaran
pendidikan ekonomi. Langkah berikutnya data-data yang telah diambil dimuat dalam table.
Analisis variabel micro teaching tergolong dalam kategori baik, hal ini dapat dilihat
dari perolehan nilai rata – rata keseluruhan sebesar 77 yang berada diantara rentang interval
71 – 85.
Analisis variabel PPL tergolong dalam kategori baik, hal ini dapat dilihat dari
perolehan nilai rata – rata keseluruhan sebesar 77 yang berada diantara rentang interval 71 –
85.
Analisis Regresi, Determinasi, dan Korelasi
1. Analisis Regresi
Analisis regresi linier memperlihatkan berapa banyak perubahan nilai micro teaching
terhadap nilai PPL. Langkah pertama dengan mencari nilai a.
∑ ∑∑ ∑ ∑ ∑
−
−=
22
2
)(
)()(
XXn
XYXXYa
∑∑∑ ∑∑−
−=
22 )(
)()(
ii
iiii
XXn
YXYXnb
Tabel 1. Coefficientsa
Model
Unstandardized
coefficients
Standardized
coefficient t Sig
B Std. Error Beta
1 (constant) 46.319 11.752 3.941 0.000
Micro teaching 0.396 0.152 0.441 2.603 0.015
Sumber: Perhitungan SPSS
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
92
Setelah kita mendapatkan nilai a dan b dari pengolahan data maka kita mendapatkan
persamaan linear yang menunjukkan pengaruh antara prestasi micro teaching terhadap
prestasi PPL mahasiswa pendidikan ekonomi Universitas Serambi Mekkah dengan rumus:
Y = 46,319 + 0,396X
Dari persamaan regresi diatas, diketahui bahwa nilai konstanta (a) sebesar 46,319 dan
nilai koefisien regresi (b) sebesar 0,396, artinya ketika prestasi micro teaching meningkat
sebesar satu satuan, maka prestasi PPL akan meningkat sebesar 0,396 karena koefisien regresi
bertanda positif.
2. Analisis Determinasi
Untuk mencari pengaruh antara varaibel prestasi micro teaching terhadap prestasi
PPL maka kita harus menghitung nilai koefisien determinasi.
Tabel 2. Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 0.441a 0.195 0.166 3.34660
Sumber: Perhitungan SPSS
Nilai koefisien determinasi r2 = 0,195 ini menunjukkan bahwa prestasi micro teaching
memiliki pengaruh sebesar 19,5% terhadap prestasi PPL. Sedangkan 80,5% dipengaruhi oleh
variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.
3. Analisis Korelasi
Untuk mencari pengaruh antara variabel prestasi micro teaching terhadap prestasi
PPL maka kita harus menghitung nilai korelasi.
{ }∑∑∑∑
∑ ∑ ∑−
−=
))(.()(.
))((.
2222
iiii
iii
YYnXXn
YXYXnr
Tabel 3 Correlations
PPL Microteaching
Pearson Correlation PPL 1.000 0.441
Microteaching 0.441 1.000
Sig. (1-tailed) PPL . 0.007
Microteaching 0.007 .
N PPL 30 30
Microteaching 30 30
Sumber: Perhitungan SPSS
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
93
Tabel diatas menunjukkan bahwa pengaruh antara prestasi micro teaching dengan
prestasi PPL sebesar 0,441 atau 44,1%, sedangkan 55,9% pengaruh antara PPL dengan
variabel lain. Selanjutnya untuk menguji hipotesis diterima atau ditolak maka diuji dengan
uji-t sebagai berikut:
21
2
r
nrt hitung
−
−=
Tabel 4.6. Coefficientsa
Model
Unstandardized
coefficients
Standardized
coefficient t Sig
B Std. Error Beta
1 (constant) 46.319 11.752 3.941 0,000
Micro teaching 0.396 0.152 0.441 2.603 0,015
Sumber: Perhitungan SPSS
Berdasarkan perhitungan yang telah diselesaikan diatas, maka nilai penelitian yang
didapat yaitu thitung = 2,603, untuk membandingkan dengan ttabel maka dicari dahulu derajat
kebebasan dengan mengunakan rumus:
2−= ndk
230 −=dk
28=dk
Harga t dengan signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan 28 dari tabel distribusi
diperoleh ttabel = 1,701 sedangkan thitung = 2,603. Sehingga dapat disimpulkan bahwa thitung lebih
besar dari ttabel (2,603 > 1,701). Ini menunjukkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima.
Pembahasan
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui pengaruh antara prestasi micro
teaching terhadap presatasi PPL, sehingga diperoleh gambaran tentang keeratan pengaruh
antara prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL, sedangkan untuk mengetahui seberapa
besar faktor antara prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL digunakan hasil perhitungan
koefisien determinasi (r2), interprestasi hasil perhitungan diatas diperoleh hasil koefisien
korelasi (r) sebesar 0,441. Hal ini menunjukkan pengaruh agak rendah antara variabel X
(prestasi micro teacing) dan variabel Y (prestasi PPL). Nilai koefisien korelasi yang agak
rendah tersebut menunjukkan pengaruh antara prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL,
sehingga diperoleh gambaran pengaruh antara prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL.
Selanjutnya dengan mengunakan hasil perhitungan koefisien determinasi (r2)
diperoleh hasil sebesar 0,195 ini berarti bahwa prestasi micro teaching dapat mempengaruhi
prestasi PPL sebesar 19,5%. Sedangakan sisanya sebesar 80,5% (100-19,5%) dipengaruhi
oleh variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.
Dari hasil perhitungan diperoleh thitung = 2,603 pada taraf signifikan α = 0,05 dengan
derajat kebebasan (30-2) = 28 maka diperoleh ttabel sebesar 1,701. Dengan demikian thitung >
ttabel yaitu 2,603 > 1,701 maka Ho ditolak H1 diterima, sehingga hipotesis yang berbunyi
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
94
“diduga prestasi micro teaching berpengaruh terhadap prestasi PPL mahasiswa pendidikan
ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh”. Sesuai dengan hasil penelitian.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai koefisien korelasi (r) = 0,441 dimana nilai
tersebut menjelaskan adanya pengaruh antara prestasi micro teaching dengan prestasi
PPL. Sementara itu koefisien determinasi (r2) yang diperoleh dengan nilai sebesar 0,195
menunjukkan bahwa 19,5 % prestasi micro teaching yang mempengaruhi prestasi PPL,
sedangkan sisanya sebesar 80,5% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan
dalam penelitian ini.
2. Adanya pengaruh yang signifikan antara variabel prestasi micro teaching dengan prestasi
PPL mahasiswa pendidikan ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh. Hal ini
dibuktikan dari hasil perhitungan thitung > ttabel yaitu thitung sebesar 2,603 sedangkan ttabel
sebesar 1,701 pada taraf signifikan 5% dan dk = 28.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. PT
Rineka Cipta
Asril, Zainal. (2010), Micro teaching. Jakarta. Raja Wali Pers.
Gulo. (2002), Strategi Belajar Mengajar, Jakarta. PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Hamalik, Oemar. (2002), Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta. PT
Bumi Aksara Jl Sawo Raya No 18.
Hasibuan, J. J, dan Moedjiono. (2006), Proses Belajar Mengajar. Bandung. PT Remaja
Rosdakarya.
Kristanti, Pramonilya. (2011), Pengaruh Prestasi Perencanaan Pengajaran Akutansi dan
Micro Teaching Terhadap Prestasi Mahasiswa Program Pengalaman Lapangan
Jurusan Pendidikan Akutansi 2007. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Roestiyah. (2001), Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. PT Rineka Cipta.
Rohani, Ahmad. (2004) Pengelolaan Pengajaran Edisi Revisi. Jakarta PT. Rineka Cipta
Sardiman. (2007), Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. PT Raja Grafindo
Persada.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2010), Metode Penelitian Pendidikan, Bandung. PT Remaja
Rosda Karya.
TIM UPT-PPL USM. (2012), Buku Pedoman Pelaksanaan Program Pengalaman Lapangan
FKIP-USM, Banda Aceh. UPT-PPL USM
Uno, Hamzah. (2007), Profesi Kependidikan, Jakarta. PT Bumi Aksara
Usman dan akbar. (2006), Pengantar Statistika, jakarta. PT Bumi Aksara
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 ISSN : 2337 – 8085
95