Bioteknologi Mikroalga
-
Upload
himawan-prasetiyo -
Category
Documents
-
view
156 -
download
54
description
Transcript of Bioteknologi Mikroalga
Nama : Himawan PrasetiyoNRP : C351120181
Ekologi, Fisiologi serta Manfaat Porphyridium sp.
I. PENDAHULUAN
Porphyridium sp. merupakan anggota dari divisi Rhodophyta yang memiliki
sifat fungsional sebagai bahan natural produk sumber bahan biokimia yang
memiliki nilai nutrisi dan therapeutical (Wang et al, 2007). Tingginya akan
sumber kandungan biokimianya seperti polisakarida, asam lemak tak jenuh rantai
panjang, karotenoid seperti zeaxanthin dan fluoresen phycobilin protein.
Porpyridium sp. merupakan jenis algae merah uniseluler yang menyimpan
cadangan polisakarida yang banyak pada permukaannya tubuhnya.
Banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari satu jenis mikroalga ini
diantaranya dalam bidang kesehatan dan pangan. Berdasarkan berbagai hasil
penelitian menunjukan bahwa senyawa bioaktif ekstrak porphyridium sp.
memiliki aktivitas antikolesterol (Dvir et al. 2009), antitumor dan
immunomodulation (Sun et al. 2012), antivirus (Talyshinsky et al. 2002) dan
antibakteri (Kusmiyati dan Agustini, 2007) yang berpotensi bermanfaat bagi
kesehatan manusia. Manfaat lain yaitu kandungan pigmen phycoerythrin dan
phycocyanin berpotensi digunakan sebagai bahan pewarna alami makanan yang
aman.
Selain untuk manusia, dialam sendiri mikroalga terutama jenis porphyridium
sp. mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya. Peranan porphyridium sp.
bagi alam yang telah diteliti yaitu sebagai agen bioremediasi limbah industri
nuklir. Biomasa mikroalga diketahui dapat mengabsorbsi ion uranil kedalam
biomasanya dengan menggeser komposisi kandungan fungsionalnya seperti
protein dan karbohidrat (Cecal et al. 2012. Dalam makalah ini akan dibahas
fisiologis, ekologi dan manfaat yang dimiliki dari satu jenis mikroalga
porphyridium sp. Manfaat yang akan dibahas dari segi kesehatan dan peranananya
bagi lingkungan dan secara tidak langsung berdampak bagi manusia.
II. PEMBAHASAN
Porphyridium sp. merupakan organisme autotrof atau yang dapat melakukan
proses fotosintesis dengan dominan pigmen yang dimiliki adalah fikoeritrin.
Berdasarkan habitatnya porphyridium sp. dapat ditemukan pada berbagai tempat
diantaranya air tawar, laut dan tanah yang lembab namun kebanyakan spesies
porphyridium sp. bersifat eurihaline atau dapat mentoleransi salinitas yang cukup
tinggi. Jenis mikroalga ini pada dasarnya merupakan uniseluler atau singgle sel
organisme (Gaikwad et al. 2009).
Gaikwad et al. (2009) melaporkan tentang penemuan salah satu jenis
porphyridium yang berasal dari india. Spesies tersebut diisolasi dari tanah lembab
Pune (Maharashtra), India. Mikroalga yang ditemukan berbentuk globular dan
memiliki kandungan kloroplas dengan jumlah yang berbeda dan berbentuk seperti
bintang serta terdapat pyrenoid ditengahnya Fig 3. Diameter sel yang ditemukan
bervariasi yaitu berkisar antara 6-12 µm. Sel yang diamati memperbanyak diri
dengan cara sederhana yaitu dengan cara membelah diri (anak panah pada Fig 5).
Hasil penelitian menggunakan variasi media yang dicobakan mikroalga ini
tumbuh dan berkembang dalam media Koch dan ASW.
Gambar 1. Porphyridium sp. yang ditemukan di India Gaikwad et al. (2009)
[Type text]
Secara taksonomi yang dibandingkan dari 5 jenis porpyridium terdapat 3 jenis
yang memiliki kesamaan, tiga jenis porpyridium tersebut adalah P. aerugineum,
P. sordidum dan P. purpureum. Berdasarkan bentuk, dimensi, letak kloroplas,
posisi pyrenoid, model reproduksi dan warna terdapat kesamaan yang menuju
kemiripan dengan spesies P. purpureum.
1. Struktur dan organisasi phycobilisomes pada membran alga merah
Porphyridium cruentum (Arteni et al. 2008).
Arteni et al. (2008) telah mengamati dan meneliti stuktur dan bentuk
supramolekular phycobilisomes hemiellipsoidal dari mikroalga merah uniseluler
P. Cruentum dan Cyanobacteria dengan menggunakan mikroskop elektron
partikel tunggal. Dimensi yang diukur 60 x 41 x 34 nm (adalah sebagai panjang x
lebar x tinggi) untuk phycobilisomes tersusun secara acak, terdapat dalam kondisi
cahaya tinggi. phycobilisomes hemiellipsoidal P. cruentum yang ditemukan
memiliki konformasi bentuk yang relatif fleksibel.
Cyanobacteria dan mikroalga merah, bagian kompleks utama untuk
memperoleh cahaya adalah phycobilisome, ukuran lebih besar dan majemuk
tersusun dari banyak phycobiliprotein serta terkait dengan permukaan sitoplasma
pada membran tilakoid. Tugas utama phycobilisome adalah menangkap dan
mentransfer energi untuk klorofil pada fotosistem II. Phycobilisome terdiri dari
bantalan α dan β polipeptida kovalen terpasang pada rantai terbuka tetrapyrroles.
Terkumpul berbentuk agregat pada cakram yang bertumpuk pada batang perifer
dari phycobilisome. Polipeptida penghubung tanpa warna antara cakram yang
berdekatan bertugas menstabilkan struktur phycobilisome dan mengatur transfer
energi.
Pigmen fotosintesis dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pigmen pusat
reaksi (klorofil pimer) dan pigmen asesoris (klorofil, fikobilin dan karotenoid).
Pigmen yang mampu menangkap energi cahaya, adalah pigmen asesoris. Pigmen
pusat reaksi hanya menerima energi dari pigmen asesoris. Pigmen asesoris
menangkap cahaya mempunyai absorbansi cahaya pada gelombang yang berbeda-
beda. Phycobilisome adalah granula-granula yang melekat pada membran sel.
Phycobilisome terdiri atas protein yang disebut Phycoprotein yang mampu
menyerap cahaya. Ada 3 jenis fikoprotein, yaitu fikoerytrin, fikosianin, dan
allofikosianin. Cyanobacteria mengandung tiga jenis fikobiliprotein, tetapi yang
dominan adalah fikosianin. Sedangkan mikroalga merah termasuk porphyridium
sp. mengandung fikobiliprotein yang dominan adalah fikoeritrin.
Phycobilisome pada uniseluler mikroalga merah P. cruentum yang pertama
kali diamati sekitar 40 tahun yang lalu dan digambarkan sebagai hemiellipsoidal.
Berdasarkan hasil mikroskopis elektron, model awal diusulkan yang melibatkan
inti yang rapat dari tricylindrical dengan pusat semi-bulat dan beberapa perifer
batang memancar keluar dari pusat untuk membentuk bulatan dengan permukaan
semi-bola. Inti mengandung allophycocyanin, sedangkan batang perifer
kandungan utama terdiri dari phycocyanins dan phycoerythrins.
Membran yang terdapat Phycobilisomes diamati dengan mikroskop
elektron. Secara cross-linking menggunakan gluteraldehyde, dengan integritas
organisasi Phycobilisomes pada membran tetap dipertahankan. Ditumbuhkan pada
kondisi cahaya rendah (6 W/m-2), Phycobilisomes pada membran kebanyakan
dalam susunan utama teratur dengan packing density tinggi sekitar 560 ± 20 PBSS
per µm2 (Gambar 1, frame kiri). Sebaliknya, pada intensitas cahaya yang lebih
tinggi distribusi Phycobilisomes sebagian besar tidak teratur, dan kepadatan secara
signifikan lebih rendah, 384 ± 45 20 PBSS per µm2 (Gambar 1, frame kanan).
Tapi ini adalah pertama kalinya bahwa itu menunjukkan pengaturan
Phycobilisomes juga merpengaruhi.
Analisis partikel tunggal dilakukan pada kumpulan besar proyeksi hasil
mikroskop elektron, spesimen diseleksi dari mikroskop elektron dengan
pewarnaan membran negatif, dimana Phycobilisomes masih banyak jumlah yang
terikat dalam membran dan ukuran yang lebih kecil terletak di sekitar membran.
Spesimen terbaik yang diawetkan ditemukan di bagian atas tampilan dari
membran-terikat Phycobilisome, yang memiliki dimensi maksimal 60 x 41 nm
dalam proyeksinya (Gambar 3A). Phycobilisomes bebas memiliki sekitar fitur
yang sama tetapi kurang detail tajam (Gambar 3B). Sebuah proyeksi trapeziform
menunjukkan Phycobilisomes dalam posisi sisi tampilan berbeda, namun nampak
lebih kabur, meskipun faktanya lebih dari 4.000 proyeksi yang diproses (Gambar
3C). Proyeksi yang lebih kecil hampir tanpa sifat yang diamati (Gambar 3D, E).
Sebuah proyeksi kecil, hampir berbentuk lingkaran dengan simetri 3 kali lipat dan
[Type text]
diameter sekitar 11,5 nm merupakan pengotor umum dan sangat mungkin menjadi
fragmen phycobilisomes yang dilepaskan selama penyimpanan dan pengamatan
spesimen pada mikroskop elektron.
Gambar. 2 Contoh membram cyanobacteria yang diwarnai dengan warna
negatif dan phycobilisomes terkait menampilkan beberapa susunan preparat 2-D
dalam kondisi cahaya rendah (frame kiri) dan distributiom acak dalam kondisi
cahaya tinggi (kanan frame) dan spasi setara dengan 1 µm untuk frame kiri dan
400 nm untuk frame kanan.
Gambar. 3. Proyeksi single partikel phycobilisome mikroskop elektron dari
Porphyridium cruentum (A) terlihat pada bidang membran phycobilisomes
membran-bound (B) terlihat pada membran bidang phycobilisome bebas (C-E)
pemandangan pada sisi phycobilisome bebas (F) fragmen phycobilisome paling
umum. (G) gambar A dengan 2 kali lipat simetri rotasi diberlakukan setelah
analisis (H) Gambar dari C, dengan simetri cermin dikenakan setelah analisis.
Angka dari jumlah proyeksi A - F masing-masing adalah 1520, 484, 4096, 380,
499 dan 746,. Dengan Panjang spasi bar 25 nm.
Gambar 4. Perbandingan susunan bentuk semi-kristalin phycobilisome. A).
membram yang mengunggah phycobilisome. B). Struktur inti Allophycocyanin
dari Synechocystis PCC 6803 mutant, berjumlah 5019 proyeksi sebagai
perbandingan. C). Susunan 2D dengan semi-crystalline phycobilisomes, rata-rata
11 fragmen. D). Susunan 2D dengan semi-crystalline Phycobilisomes, rara-rata
107 fragmen. E). Dimer PSII (dari Thermosynechococcus elongatus). F). double
dimer PSII, found jumlah 59 proyeksi dan G). Double dimer PSII jumlah proyeksi
46, dengan jarak spasi adalah 50 nm
Mikroskop elektron partikel tunggal telah mengungkap keseluruhan
fitur dari phycobilisome hemispherical P. cruentum. Phycobilisome yang melekat
pada membran memiliki fitur terbaik, sedangkan tampilan sisi bebas
phycobilisome terlihat kabur, menunjukkan beberapa jumlah struktural yang
fleksibilitas. Fleksibilitas ini bisa saja disebabkan oleh pengeringan udara dari
pewarnaan negatif spesimen.
Organisasi supramolekul dari alga merah dan membran cyanobacteria tidak
diketahui secara detail, karena tidak diketahui persis bagaimana phycobilisome
berhubungan dengan Photosystem II dan Photosystem I. Dalam model ini
phycobilisome mengasosiasikan sepanjang baris dengan sumbu pendek sebagai
pengulang. Organisme fotosintetik dengan hemi-discoidal phycobilisome terdapat
kecocokan 1:1 antara 15 nm lebar inti Allophycocyanin, seperti (Gambar. 3) dan
Photosystem II dimmer, yang memiliki lebar yang hampir sama. Hasil penelitian
[Type text]
menunjukkan inti tricylindrical dari phycobilisome pada P. cruentum adalah dua
kali lebih lebar dari bentuk hemi-discoidal pada cyanobacteria.
2. Manfaat bagi porphyridium sp. lingkungan
Selain mempunyai senyawa bioaktif yang baik untuk nutraceutikal dan
pharmaceutikal. Mikroalga terutama porphyridium sp. dialam memegang peranan
penting dalam menjaga kelestarian lingkungn. Cecal et al. (2012) melaporkan
penggunaan porphyridium cruetum, Nostok linckia dan Spirulina platensis sebagai
agen bioremediasi limbah nuklir berupa ion uranil dari bijih uranium dan lumpur.
Metode menggunakan X-ray studi spektroskopi serapan (XAS), kemudian
ditemukan mekanisme interaksi dengan koordinasi ion uranil kepada senyawa
biokimia sel-sel hidup. Konstanta Langmuir (qm) dan Freundlich (KF) adsorpsi
dan digunakan untuk membandingkan proses biosorpsi ion logam pada beberapa
biomasa.
Unsur uranium merupakan salah satu unsur radio aktif yang memiliki inti
atom yang kurang stabil. Jenis ataomnya berupaya untuk menjadi stabil dengan
cara disertai dengan pemancaran sinar-sinar alfa, beta dan gamma. Kemudian
hasil pemancaran tersebut yang kita kenal dengan nuklir. Paparan limbah hasil
industri nuklir tersebut tentunya berbahaya bagi organisme hidup yaitu dapat
menyebabkan kematian sel dan jaringan tubuh. Kemudian menyebabkan imunitas
tubuh menurun dan pembelahan sel darah merah yang berlebih.
Hasil penelitian bioabsorbsi ion uranil pada biomassa mikroalga menunjukan
yang diamati menggunakan spektra FTIR. Hasilnya menunjukan pita-pita band
yang menunjukan nutrien fungsional seperti protein, karbohidrat dari komposisi
biomasa bergeser karena ion uranil disimpan pada biomasaanya. Dalam sel hidup
mungkin interaksi lemah antara senyawa biokimia mikroalga dan ion uranil (UO2
+)2 yang dipelajari. Semua mikroalga yang dicobakan termasuk porphyridium
dapat digunakan untuk memurnikan air limbah yang tercemar ion uranium.
3. Sebagai Bahan Anti Kolesterol
Kolesterol merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit jantung.
Dvir et al (2009) melaporkan efek hipokolesterolemik dari biomasa porphyridium
cruetum dengan penurunan akumulasi kolesterol pada hati tikus. Percobaan telah
dilakukan pada tikus putih (galur spraque dawley) yang diberi ransum pakan
dengan kandungan kolesterol 10 mg/kg berat badan. Kadar kolesterol darahnya
lebih rendah pada perlakuan pemberian ekstrak biomasa dan polisakarida
porphyridium dibanding kontrol dan pemberian pectin. Kandungan kolesterol
berupa Triglyserida (TG) dan very Low-Density Lipoprotein (LDL) atau yang
lebih dikenal dengan kolesterol jahat secara signifikan lebih rendah pada
pemberian eksrtak biomassa algae dan polisakarida porphyridium.
4. Suplemen Bernutrisi Tinggi
Berdasarkan kandungan nutrisinya Porphyridium cruetum tergolong sumber
bahan yang mengandung nutrisi yang tinggi dan layak digunakan sebagai bahan
makanan tambahan atau suplemen. Fuentes et al (2000) melaporkan kandungan
nutrisi P. cruetum mengandung rata-rata karbohidarat dan protein kasar masing-
masing 34,1% dan 32,1%. Kandungan mineral dari 100g berat kering masing-
masing : Ca (4960 mg), K (1190 mg), Na (1130 mg), Mg (629 mg) and Zn (373
mg). Kandungan asam lemak 16:0; 1.6%, 18:2ω6; 0.4%, 20:4ω6; 1.3% dan
20:5ω3; 1.3%. P. cruetum dikultur dalam photobioreactor dengan media
modifikasi dari hemericks.
Dvir et al (2009) menambahkan mikroalgae merah porphyridium sp.
mengandung sulfat polisakarida fungsional (terdiri dari kandungan serat), asam
lemak tak jenuh (PUFA) zeaxanthin, vitamin mineral dan protein. Fuentes et al.
(2000) komposisi nutrien biomassa sangat dipengaruhi oleh waktu tinggal pada
bioreaktor dan iradiasi eksternal. Biomasa P. cruetum yang dipanen dengan waktu
tinggal yang pendek lebih kaya akan protein dan asam lemak eikosapentanoat.
5. Antivirus dan Antibakteri
Selain itu, Porphyridium cruetum merupakan salah satu jenis mikroalga yang
dapat menghasilkan polisakarida ekstraselular yang penting dalam menghambat
pertumbuhan patogen terutama virus. Talyshinsky et al (2002) melaporkan ekstrak
polisakarida P. cruetum lebih efektif dalam menghambat replikasi retrovirus dan
transformasi sel yang disebabkan oleh virus MuSV (Moloney murine Sarcoma
Virus) dibanding polisakarida dari P. aerugineum dan Rhodella reticulata. Sel
NIH/3T3 yang ditumbuhkan pada media agar diinfeksi dengan MuSV-124 dan
diinkubasi. Konsentrasi ekstrak polisakarida P. cruetum yang dibutuhkan lebih
sedikit dibanding polisakarida dari P. aerugineum dan R. reticulata dalam
[Type text]
menghambat pertumbuhan 50% formasi sel transformasi oleh MuSV dan
mereduksi 50 % produk transformasinya atau MuLV (Moloney murine Leukemia
Virus).
Kusmiyati dan Agustini (2007) melaporkan pengujian aktivitas antibakteri
ekstrak Porphyridium cruetum dilakukan dengan metode difusi atau metode
lubang. Bakteri Escherichia coli, Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus
ditumbuhkan pada lubang di media padat NA yang terdiri dari dua lapisan
kemudian diukur nilai zona hambatnya setelah diberi ekstrak P. cruetum dengan
konsentrasi yang berbeda. Perlakuan yang diujikan adalah perbedaan metode
ekstraksi dan bahan pelarutnya secara bertingkat.
Prinsip metode yang digunakan adalah mengisolasi komponen senyawa
antibakteri dalam biomassa mikroalga P. cruentum. Ekstraksi dilakukan beberapa
kali dengan pelarut diklorometan dalam berbagai kondisi. Selanjutnya ekstraksi
dilakukan untuk memisahkan senyawa antibakteri dari polisakarida serta
klorofilnya, sehingga bobot ekstrak yang diperoleh semakin menurun tetapi
aktivitas senyawa bakteri semakin besar.
Hasil penelitian menunjukan perlakuan ekstraksi biomassa mikroalga P.
cruentum pertama menggunakan pelarut aquades tidak dapat menghambat
pertumbuhan bakteri apapun. Ekstraksi kedua (perlakuan B) yang menggunakan
pelarut diklorometan dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif (E.
coli) namun tidak dapat menghambat bakteri gram positif. Sedangkan ekstraksi
ketiga (perlakuan C) menggunakan pelarut metanol-air (90:10) menunjukan
hambatan pada bakteri gram negatif (E. coli) dan gram positif (S. aureus).
6. Antitumor dan Immunomodulation (Sun et al 2012).
Penggunan ektraseluler polisakarida Porphyridium cruetum sebagai agen anti
tumor dan immunomodulation telah dicobakan secara in vivo menggunakan tikus
(kunming mice). Penggunaan ekstraseluler polisakarida (EPSs) dengan berat
molekul 6.53 kDa memiliki sifat aktivitas immunomodulation yang sangat kuat.
Sedangkan EPSs P. Cruetum yang diberikan dengan dosis yang berbeda secara
keseluluhan dapat menghambat perumbuhan sel tumor S180 pada tikus. Masing
masing dosis yang diberikan dan persentase hambantanya adalah sebagai berikut
konsentrasi tinggi (200 mg/kg/hari) menghambat 53.3% sel tumor. Doses
menengah (100 mg/kg/hari) dan dosis rendah (25 mg/kg/hari) masing-masing
menghambat 47.5% dan 40.5% sel tumor pada tikus (Sun et al. 2012).
7. Bahan Pewarna Makanan Alami
Dalam industri makanan penambahan bahan tambahan pewarna biasa
ditambahkan untuk menambah nilai estetika nilai jual makanan. Namun, perlu
dipertimbangkan bahan pewarna tambahan yang natural karena tidak memberikan
efek yang buruk bagi kesehatan. Salah satu pewarna yang dapat digunakan dan
kebanyakan disintesis secara alami oleh beberapa mikroalgae adalah phycobilin
protein (B-phycoerythrin dan R-phycocyanin). Román et al (2002) melaporkan
kandungan B-phycoerythrin dan R-phycocyanin dari P. cruetum dapat direcoveri
secara maksimal menggunakan prosedur purifikasi secara masal metode kolom
kromatografi anionik selulosa DEAE. Proses ekstraksi menggunakan gradien elusi
buffer asam sodium asetat (pH 5,5). Dengan metode ini dapat merekoveri
kandungan B-phycoerythrin sebanyak 32% dan R-phycocyanin sebanyak 12%
dari biomassa mikroalga P. cruetum.
Wang et al (2007) melaporkan produksi phycoerythrin oleh P. Cruetum paling
baik jika dikultur pada pH 8,0; intensitas cahaya 7100.0lx; dalam perbandingan
inokulasi 1 : 20 (5% benih) dalam volume 100,3 ml. Kultur tersebut dilakukan
pada scala laboratorium. Produksi maksimum phycoerythrin 132.0 mg/l. Velea et
al (2011) semakin tinggi intensitas cahaya (120 μE/m2s hingga 240μE/m2s) dan
semakin tinggi konsentrasi NaHCO3 (0,54 – 3 g/L) semakin tinggi pula
kandungan phycobilin protein (Phycoerythrin 12.17, R-Phycocyanin 10.2, dan
Allophycocyanin 2.86 (% dalam biomasa kering).
III. PENUTUP
Porphyridium sp. mikroalga yang dapat ditemukan di smua jenis perairan
termasuk pada ranah yang lembab. Bentuknya uniseluler dengan diameter yang
telah ditemukan berkisar antara 6-12 µm. Reproduksi dengan cara membelah diri
dan sifat hidupnya lebih kearah euryhalin. Pigmen dominan yang dimiliki
merupakan jenis fikoeritrin yang menyebabkan berwarna kemerahan. Pigmen
fotosintesis dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pigmen pusat reaksi (klorofil
pimer) dan pigmen asesoris (klorofil, fikobilin dan karotenoid). Memiliki
[Type text]
Phycobilisome yaitu jenis organel berfungsi sebagai menyerap cahaya yang terdiri
atas protein Phycoprotein.
Porphyridium sp. memiliki manfaat baik saat hidup dilingkungan maupun
saat mati atau setelah dipanen. Bagi kesehatan manusia Porphyridium sp.
memiliki kandungan senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai neutracheutikal dan
therapeutical. Manfaat bagi kesehatan yang dimiliki antara lain Anti Kolesterol,
Suplemen Bernutrisi Tinggi Antivirus dan Antibakteri Antitumor serta sebagai
Immunomodulation. Pada industri makanan Porphyridium sp. juga dapat
digunakan sebagai bahan pewarna alami yang sifatnya food grade. Saat masih
hidup dialam Porphyridium sp. juga memiliki peran yang penting untuk menjaga
kelestarian lingkungannya yaitu sebagai agen bioremediasi.
Daftar Pustaka
Jurnal Utama
Arteni A. A, Liu L. N, Aartsma T. J, Zhang Y. Z, Zhou B. C dan Boekema E. J. 2008. Structure and organization of phycobilisomes on membranes of the red alga Porphyridium cruentum. Photosynth Res 95:169–174
Cecal A, Humelnicu D, Rudic V, Cepoi L, Ganju D dan Cojocari A. 2012. Uptake of Uranyl Ions from Uranium Ores and Sludges by Means of Spirulina platensis, Porphyridium cruentum and Nostok linckia alga. Bioresource Technology 118 19–23
Dvir I, Stark A. H, Chayoth R, Madar Z dan Arad S. M. 2009. Hypocholesterolemic Effects of Nutraceuticals Produced from the Red Microalga Porphyridium sp in Rats. Nutrients 2009, 1, 156-167; doi:10.3390/nu1020156
Gaikwad M. S, Meshram B. G dan Chaugule B. B. 2009. On Occurrence of The Genus Porphyridium Nageli: New to India. J. Algal Biomass Utln. 1 (1): 102 – 106
Kusmiyati dan Agustini N. W. S. 2007. Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari Mikroalga Porphyridium cruentum. Biodiversitas Vol 8 No1 Hal: 48-53
Sun L, Wang L dan Zhou Y. 2012. Immunomodulation and antitumor activities of different-molecular-weight polysaccharides from Porphyridium cruentum. Carbohydrate Polymers 87 (2012) 1206–1210
Jurnal Tambahan
Fuentes MMR., Fernandez GGA, Perez JAS dan Guerrero JLG. 2000. Biomass Nutrient Profiles of The Microalga Porphyridium cruentum. Food Chemistry 70 345-353
Román R. B, Alvárez-Pez J.M, Fernández F.G. A dan Grima E. M. 2002. Recovery of Pure B-Phycoerythrin from The Microalga Porphyridium cruentum. Journal of Biotechnology 93 73–85
Talyshinsky M. M, Souprun Y. Y dan Huleihel M. M. 2002. Anti-Viral Activity of Red Microalgal Polysaccharides Against Retroviruses. Cancer Cell International, 2-8
Velea S, Ilie L dan Filipescu L. 2011. Optimization of Porphyridium Purpureum Culture Growth Using Two Variables Experimental Design: Light and Sodium Bicarbonate. U.P.B. Sci. Bull., Series B, Vol. 73, Iss. 4
Wang J, Chen B, Huang X. R.J dan Li M. 2007. Optimization of Culturing Conditions of Porphyridium cruentum Using Uniform Design. World J Microbiol Biotechnol 23:1345–1350