SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG KONSEP TIMOTHY …
Transcript of SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG KONSEP TIMOTHY …
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG
KONSEP TIMOTHY KELLER TENTANG MISI GEREJA DALAM KONTEKS PERKOTAAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teologi
Oleh Yosua Prima Witanto
1011511141
Jakarta 2019
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG
JAKARTA
Ketua Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung menyatakan bahwa skripsi yang berjudul KONSEP TIMOTHY KELLER TENTANG MISI GEREJA DALAM KONTEKS PERKOTAAN dinyatakan lulus setelah diuji oleh Tim Dosen Penguji pada tanggal 5 Agustus 2019. Dosen Penguji Tanda Tangan 1. Fandy Handoko Tanujaya, B.Bus., Th.M. ____________________
2. Hendro Lim, S.Kom., M.Th _____________________
3. Ir. Armand Barus, Ph.D. _____________________
Jakarta, 5 Agustus 2019
Casthelia Kartika, D.Th.
Ketua
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang berjudul KONSEP TIMOTHY KELLER TENTANG MISI GEREJA DALAM KONTEKS PERKOTAAN, sepenuhnya adalah hasil karya tulis saya sendiri dan bebas dari plagiarisme. Jika di kemudian hari terbukti bahwa saya telah melakukan tindakan plagiarisme dalam penulisan skripsi ini, saya akan bertanggung jawab dan siap menerima sanksi apapun yang dijatuhkan oleh Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung. Jakarta, 5 Agustus 2019
Yosua Prima Witanto NIM: 1011511141
i
ABSTRAK
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG
JAKARTA
(A) Yosua Prima Witanto (101511141)
(B) KONSEP TIMOTHY KELLER TENTANG MISI GEREJA DALAM KONTEKS PERKOTAAN (C) viii + 90 hlm; 2019
(D) Program Studi Teologi/Kependetaan
(E) Skripsi ini membahas konsep Timothy Keller tentang misi gereja dalam
konteks perkotaan. Gereja dalam konteks perkotaan tanpa sadar seringkali
memiliki konsep misi yang kurang utuh. Gereja hanya sebatas menekankan
penginjilan, atau gereja memahami misi hanya sebagai pergi ke tempat yang
“jauh”, sehingga pada akhirnya gereja belum maksimal dalam melibatkan
semua orang percaya untuk bermisi di konteks perkotaan. Konteks kota
menghadirkan tantangan dan kesempatan bagi gereja perkotaan. Jika gereja
perkotaan memiliki konsep misi yang kurang utuh, misi gereja tidak akan
berjalan dengan maksimal. Untuk itu, skripsi ini memperkenalkan konsep
Timothy Keller, sebagai contoh bagaimana misi dikerjakan dalam konteks
perkotaan. Dengan menekankan pentingnya keseimbangan, Keller berhasil
mempertahankan keunikan Injil Kristus, sekaligus tetap menekankan
pentingnya kontekstualisasi. Penulis berargumen bahwa konsep Timothy
Keller memiliki implikasi yang besar bagi praksis misi gereja yang
melibatkan seluruh jemaat di konteks perkotaan.
(F) BIBLIOGRAFI 53 (1955-2019)
(G) Fandy Tanujaya, B.Bus., Th.M.
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK i DAFTAR ISI ii UCAPAN TERIMA KASIH v BAB SATU: PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Masalah 1 Pokok Permasalahan 12 Tujuan Penulisan 13 Batasan Penulisan 13 Metodologi Penelitian 14 Sistematika Penulisan 14 BAB DUA: KOTA SEBAGAI KONTEKS BAGI MISI GEREJA 16
Pendahuluan 16 Definisi Kota 16 Fungsi Kota 19 Fenomena Perkotaan 22
Disparitas Ekonomi 22 Pluralitas Masyarakat 26 Dinamika Masyarakat 27
Kondisi Spiritualitas Masyarakat 30 Tantangan dan Kesempatan Misi Gereja dalam Konteks Perkotaan 31 Tantangan 31
iii
Kesempatan 35
Kesimpulan Bab 39 BAB TIGA: KONSEP TIMOTHY KELLER TENTANG MISI GEREJA DALAM KONTEKS PERKOTAAN 41
Pendahuluan 41 Profil dan Konteks Pelayanan Timothy Keller 42 Urgensi Cara Pandang yang Seimbang 44 Konsep Misi Gereja yang Berpusat pada Injil Yesus Kristus 46 Konsep Misi Gereja yang Menekankan Kontekstualisasi 52 Konsep Misi Gereja yang Terwujud sebagai Gerakan 59 Signifikansi Konsep Timothy Keller terhadap Misi Perkotaan 64 Kesimpulan Bab 66
BAB EMPAT: IMPLIKASI KONSEP TIMOTHY KELLER BAGI PRAKSIS MISI GEREJA DALAM KONTEKS PERKOTAAN 68 Pendahuluan 68 Implikasi di dalam Gereja 68 Ibadah 69 Khotbah 70 Kepemimpinan Gereja 73 Implikasi ke luar Gereja 74 Pelayanan Holistik 74 Kemitraan dengan Gereja Lain 76 Penginjilan 77 Pelayanan kepada Lingkungan 78
iv
Integrasi Iman di Dunia Pekerjaan 79 Kesimpulan Bab 81 BAB LIMA: KESIMPULAN 83
BIBLIOGRAFI 87
1
BAB SATU
PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Bagus Surjantoro dalam bukunya yang berjudul Misi dari Dalam Krisis
mengatakan bahwa gereja bukan berasal dari dunia ini, melainkan diciptakan oleh
Allah sendiri.1 Hal itu berarti, gereja hadir dalam dunia ini bukan karena manusia
yang menciptakan gereja, melainkan Allah yang menciptakan gereja-Nya. Gereja ada
di dalam dunia, tapi bukan berasal dari dunia. Gereja diciptakan oleh Allah, supaya
gereja menjalankan Misi Allah di tengah dunia ini. Jadi, gereja adalah milik Allah dan
harus menjalani misi-Nya di dalam dunia ini. Pendapat yang senada juga
diungkapkan oleh Christopher J. H. Wright di dalam bukunya yang mengatakan
bahwa, “Yang terjadi bukanlah Allah memiliki sebuah misi bagi gereja-Nya di dunia,
tetapi bahwa Allah punya sebuah gereja bagi misi-Nya di dalam dunia. Misi tak
diciptakan bagi gereja; gerejalah yang diciptakan bagi misi - yaitu misi milik Allah.”2
Jadi, bukan manusia yang menciptakan gereja, melainkan Allah yang menciptakan
gereja-Nya dan Gereja-Nya hadir di dalam dunia ini untuk menjalankan misi Allah.
Wright berpendapat bahwa dalam memahami misi Allah ada dua kata
penting yang perlu dipahami yaitu “mengutus” dan “diutus”.3 Allah adalah pihak
yang mengutus dan gereja-gereja adalah pihak yang diutus. Untuk memahami misi
1. Bagus Surjantoro, Misi dari Dalam Krisis: Mengerti Asal dan Hakekat Misi yang Sebenarnya
(Jakarta: Obor Mitra Indonesia, 2001), 29. 2. Christopher J.H. Wright, Misi Umat Allah: Sebuah Teologi Biblika Tentang Misi Gereja, terj.
James Pantou, Lily E. Joeliani, Perdian Tumanan (Surabaya: Perkantas, 2013), 27. 3. Wright, Misi Umat Allah, 26.
2
Allah lebih luas lagi, Bruce Riley Ashford memaparkan empat model yang bisa
digunakan dalam memahami misi Allah.4 Model pertama adalah Allah yang
merestorasi dunia demi tujuan dunia itu sendiri “God who restores the world for the
world’s sake.”5 Tujuan dari misi Allah model pertama berfokus kepada kondisi dunia.
Model kedua adalah model “Christocentric”, yaitu model yang berfokus pada aspek
pengutusan Yesus Kristus.6 Model kedua ini terlalu memfokuskan kepada
memberitakan Injil dan cenderung mengabaikan kegiatan sosial. Model ketiga dapat
dipahami sebagai karya Allah yang menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa. Model
ini hanya dipahami sebagai misi Allah sebagai karya Allah menyelamatkan umat-
Nya dari dosa.7 Model ketiga ini dipahami sebagai Allah yang menyelamatkan dan
tidak merestorasi dunia ini.
Model keempat, Allah yang menebus dan merestorasi umat-Nya demi
kepentingan Diri-Nya. Model ini disebut sebagai model “Eschatological-
Christocentric-Trinitarianism”.8 Misi Allah Tritunggal mencakup seluruh sejarah
umat Allah yang berpusat pada penebusan Yesus Kristus dalam inkarnasi, kematian
dan kebangkitan-Nya yang mengubah sejarah.9 Dia mengalahkan dosa, sehingga
berdampak pada seluruh ciptaan-Nya dan misi Allah itu akan disempurnakan pada
akhir zaman nanti. Model ini meletakkan fokus utama misi pada kepentingan Allah
4. Bruce Riley Ashford, Theology and Practice of Mission: God, the Church, and the Nations
(Nashville: B & H Academic, 2011), 19. Bruce mengambil model keempat model ini dari rangkuman pemikiran Michael Goheen dalam konferensi WCC pada tahun 1961.
5. Ashford, Theology and Practice of Mission, 20. 6. Ashford, Theology and Practice of Mission, 20. 7. Ashford, Theology and Practice of Mission, 20. 8. Ashford, Theology and Practice of Mission, 20. 9. Ashford, Theology and Practice of Mission, 21.
3
sendiri dan juga model ini meletakkan seluruh pemulihan dalam dunia adalah dari
Allah dan untuk Allah.
Gereja perlu memilih model keempat sebagai dasar pemahaman misi Allah,
karena misi Allah tidak dapat dipandang sempit pada model pertama, kedua, dan
ketiga. Pemahaman misi Allah dalam model pertama terlalu menjadikan dunia
sebagai dasar utama. Hal itu mengakibatkan fokus utama misi adalah hanya sebatas
melakukan pelayanan sosial. Penulis berpendapat bahwa, misi Allah dalam model
kedua hanya dipandang seberapa banyak orang yang menerima Yesus Kristus
sebagai Juruselamat, sehingga menitikberatkan pada penginjilan saja. Hal tersebut
keliru, karena misi Allah tidak hanya diwujudkan dengan penginjilan saja, tetapi
melalui banyak pelayanan lainnya. Misi Allah juga tidak dapat dipandang dalam
model ketiga, karena misi Allah bukan hanya sebatas Allah menyelamatkan manusia
dari dosa saja. Gereja perlu untuk memilih model keempat sebagai acuan dasar
pemahaman misi Allah, karena misi Allah pada model keempat meletakkan fokus
utama misi sesuai dengan kepentingan Allah sendiri, yaitu untuk memulihkan dan
merestorasi umat-Nya. Jadi, model yang keempat perlu menjadi acuan bagi gereja
dalam memahami misi Allah.
Gereja hadir di dalam dunia ini untuk mewujudkan misi Allah. Demikian juga
gereja yang di perkotaan perlu untuk mewujudkan misi Allah. Gereja yang di
perkotaan perlu untuk memiliki pemahaman misi yang seimbang. Alasannya, gereja
di perkotaan akan menghadapi kompleksitas perkotaan. Kompleksitas perkotaan
memberikan tantangan kepada gereja dalam menghadirkan Injil di tengah dunia ini.
“Injil” adalah kabar baik tentang anugerah Allah yang Yesus Kristus nyatakan di
4
dalam dunia ini.10 Wright menambahkan bahwa, “Injil tidak hanya sebatas dipahami
menjadi solusi bagi masalah dosa-dosa manusia, sekaligus menjadi “kartu gesek”
bagi manusia untuk masuk ke surga”.11 Dengan kata lain, orang percaya yang telah
mendapatkan keselamatan tidak seharusnya menjadi “pasif” dan menikmati
keselamatan itu sendiri. Surjantoro berkata bahwa “semua orang percaya mendapat
panggilan untuk menjalankan misi Allah di dalam dunia ini.”12 Bambang Eko
Putranto juga sependapat dengan Surjantoro, bahwa semua orang percaya perlu
terlibat, karena semua orang percaya telah menerima anugerah keselamatan dari
Tuhan Yesus Kristus.13
Dalam memahami Injil Yesus Kristus, seharusnya gereja-gereja di perkotaan
tidak sekedar memahami bahwa Allah menginginkan orang percaya untuk hanya
memberitakan Injil saja, tetapi Allah juga menginginkan orang percaya terlibat di
pelayanan sosial. Dalam menjalankan misi Allah di tengah masyarakat, orang
percaya perlu seimbang dalam melakukan pelayanan penginjilan dan pelayanan
sosial.14 Kedua hal itu perlu seimbang dilakukan, karena Tuhan Yesus Kristus pun
saat menjalankan misi-Nya tidak hanya berfokus kepada pemberitaan Injil Kerajaan
Allah, tetapi juga memperhatikan apa yang dibutuhkan masyarakat pada saat itu.
10. Wright, Misi Umat Allah, 35. 11. Wright, Misi Umat Allah, 35. 12. Surjantoro, Misi dari Dalam Krisis, 46. 13. Bambang Eko Putranto, Misi Kristen: Menjangkau Jiwa Menyelamatkan Dunia
(Yogyakarta: ANDI, 2007), 6. 14. Stevri I. Lumintang, Misiologia Kontemporer: Menuju Rekonstruksi Theologia Misi yang
seutuhnya (Batu: YPPII, 2009), 21.
5
Dalam memberitakan Injil kepada masyarakat, gereja di perkotaan perlu
masuk ke dalam kehidupan mereka dan memahami mereka.15 Alasannya, supaya
Injil diberitakan menjadi berita yang sesuai dengan kehidupan masyarakat.16 Inilah
yang harus dilakukan orang percaya, yaitu memberitakan Injil secara kontekstual.
Injil diberitakan secara kontekstual, karena gereja menyadari akan kompleksitas
perkotaan yang akan dihadapi oleh gereja di perkotaan. Di samping itu, misi gereja
yang benar perlu dilakukan pada semua tempat. Artinya, pekerjaan misi harus
dijalankan di konteks desa pedesaan maupun di konteks perkotaan.17 Semua tempat
itu adalah ladang misi dan seharusnya misi tidak dibatasi oleh tempat. Orang
percaya harus memahami bahwa area misi itu luas.18 Jadi, gereja perlu memahami
Injil bukan hanya sekedar penginjilan atau sebaliknya, panggilan semua orang
percaya untuk menghadirkan Injil, dan dalam pelakasanaannya pelayanan misi
tidak dibatasi oleh tempat.
Namun, gereja-gereja di Asia, khususnya gereja perkotaan yang terobsesi
dengan pemikiran Barat menerapkan pemikiran misi yang sempit tersebut.19
Pemikiran tersebut adalah misi identik dengan penginjilan dan pemahaman itu
telah ditanamkan dengan kuat di dalam gereja-gereja.20 Hal tersebut tanpa sadar
menciptakan “jurang” yang lebar antara pelayanan penginjilan dan pelayanan sosial.
Michael Goheen juga menekankan bahwa, gereja perkotaan tidak seharusnya
15. Sucipto Asan, “ Menjadi Gereja yang lebih Relevan dan Kontekstual,” Jurnal Teologi Stulos
2 (2003): 20. 16. Lumintang, Misiologia Kontemporer, 46. 17. Wright, Misi Umat Allah, 31. 18. Wright, Misi Umat Allah, 31. 19. Lumintang, Misiologia Kontemporer, 29. 20. Lumintang, Misiologia Kontemporer, 28.
6
membagi-bagi antara ranah rohani dan sosial.21 Akibatnya, orang percaya
menganggap untuk menjalankan misi gereja, orang percaya hanya memberitakan
Injil, sedangkan pelayanan sosial bukanlah misi gereja. Misi gereja yang dijalankan
tanpa disadari hanya melakukan penginjilan saja, yang penting orang itu percaya
kepada Yesus Kristus. Hal itu dikarenakan orang percaya kurang tepat dalam
memahami makna misi dan hal itu memengaruhi sampai kepada lapisan awam.22
John Stott pun berpendapat hal yang sama, bahwa “Orang percaya cenderung lebih
suka memiliki memberitakan Injil pada banyak orang dalam sebuah jarak daripada
ikut terlibat di dalam kehidupan mereka.”23 Di pengamatan yang lain, Stevri
Lumintang mengamati bahwa gereja-gereja kota pada umumnya menganggap tidak
perlu memperhatikan konteks, yang penting dari misi gereja adalah memberitakan
Injil kepada orang yang belum percaya Yesus Kristus.24 Penulis melihat bahwa
gereja harus memberitakan Injil kepada mereka, akan tetapi menjadi sebuah
masalah jika gereja perkotaan tidak memperhatikan konteks dalam memberitakan
Injil kepada orang yang belum percaya.
Jika gereja kota hanya mengutamakan penginjilan tanpa adanya
konteksualisasi dan begitu sebaliknya, maka akibatnya gereja akan semakin lama
semakin tidak relevan dengan perkotaan dan gereja kurang dapat menghadapi
kompleksitas perkotaan yang ada. Tanpa sadar pemahaman ini juga ditanamkan
oleh pengkhotbah yang berusaha menekankan doktrin Eskatologi kepada orang
21. Michael W. Goheen, Introducing Christian Mission Today: Scripture, History and Issues
(Downers Grove: InterVarsity, 2014), 27. 22. Lumintang, Misiologia Kontemporer, 29. 23. Asan, “ Menjadi Gereja,” 19. 24. Lumintang, Misiologia Kontemporer, 21.
7
percaya.25 Para hamba Tuhan tanpa sadar terobsesi menginginkan banyak orang
untuk percaya, dengan dalih “Yesus segera datang” dan menakuti dengan
pertanyaan, “Berapakah jumlah orang yang sudah engkau bawa kepada-Nya?” atau
“Apakah tidak kasihan jika nanti mereka masuk neraka?”26 Tanpa sadar dorongan
tersebut membuat jemaat hanya fokus kepada tanggung jawab untuk membawa
orang lain mengenal Allah, daripada tanggung jawab di dalam dunia ini yang
mencakup aktifitas sosial.27
Di sisi sebaliknya, Nimrod F. Faot berpendapat bahwa gereja ketika
melakukan pelayanan sosial tidak memasukkan pemberitaan injil.28 Faot
menambahkan bahwa, ”Akhir-akhir ini pelayanan sosial marak digiatkan atas nama
misi, tapi tanpa disertai penginjilan.”29 Hal itu dikarenakan orang percaya
memahami makna misi, yaitu menjadi usaha manusia untuk memanusiakan
manusia.30 Pelayanan sosial jika tidak disertai penginjilan tidak ada berita
pengampunan dosa, pertobatan, dan keselamatan yang diberitakan. Padahal misi itu
harus bertujuan supaya orang tersebut melihat kasih dari Allah. Kegiatan tersebut
pada ujungnya hanya akan membuat “nyaman” orang berdosa, tetapi tidak
menyelamatkan jiwa orang tersebut yang seutuhnya.31 Hal tersebut dikarenakan
adanya “jurang yang lebar” antara pelayanan penginjilan dan pelayanan sosial,
25. Togardo Siburian, “Gereja Misional di Tengah Pergumulan Manusia: Tinjauan Teologis,”
Jurnal Teologi Stulos 16 (2018): 2. 26. Siburian, “Gereja Misional,” 2. 27. Siburian, “Gereja Misional,” 2. 28. Nimrod F. Faot, “Missiologi Poros Teologi Yang Sebenarnya,” dalam Berteologi Bagi
Sesama, ed. Fandy Tanujaya, Edison Rikardo A.S., Yunus Septifan Harefa (Jakarta: Literatur STT Amanat Agung, 2016), 302.
29. Faot, “Missiologi,” 302. 30. Lumintang, Misiologia Kontemporer, 24. 31. Faot, “Missiologi,” 303.
8
sehingga hal itu mengakibatkan orang percaya tidak memiliki konsep yang utuh
tentang bagaimana melaksanakan misi gereja.
Pemahaman tersebut pada akhirnya membuat orang percaya melihat
pelayanan misi adalah pelayanan yang berhubungan dengan apa yang dilakukan
oleh hamba Tuhan, yaitu memberitakan Injil. Dengan kata lain, orang yang
menjalankan misi adalah orang yang memiliki gelar “hamba Tuhan”. Wright juga
menambahkan bahwa, orang yang menjalankan misi pada akhirnya hanya orang-
orang yang diteguhkan secara khusus, atau orang-orang yang memiliki waktu
luang.32 Padahal misi bukan milik pribadi siapa pun, tetapi miliki semua orang
percaya.33 Hal itu berarti bahwa semua orang percaya memiliki panggilan untuk
menjalankan misi tersebut.
Masalah lain yang berkaitan dengan misi adalah gereja menganggap bahwa
ladang misi adalah pergi ke tempat yang jauh. Padahal, gereja harus memahami
bahwa seluruh dunia ini adalah ladang misi. Kondisi seperti ini diamati oleh Wright
di dalam bukunya bahwa, gereja masih mengkotak-kotakan dengan memahami misi
pergi ke “negeri-negeri asing di luar sana, tetapi bukan di sini, di negeri sendiri”.34
Pendapat itu senada dengan apa yang diungkapkan oleh Raymond J. Bakke bahwa
gereja pada umumnya masih memahami bahwa misi adalah melakukan perjalanan
yang panjang dan harus melewati berbagai tempat untuk mencari orang yang belum
percaya.35 Akibat dari pemahaman itu, gereja tanpa sadar membagi antara ranah
32. Wright, Misi Umat Allah, 31. 33. Lumintang, Misiologia Kontemporer, 57. 34. Wright, Misi Umat Allah, 30. 35. Raymond J. Bakke,” Urbanization and Evangelism: A Global View,” dalam The Urban Face
of Mission: Ministering the Gospel in a Diverse and Changing World, ed. Manuel Ortiz dan Susan S. Baker (New Jersey: P&R Publishing, 2002), 29.
9
sakral dan ranah sekular”.36 Gereja melihat tempat yang “jauh” sebagai ranah sakral
yang di mana orang percaya harus menjalankan misi, sedangkan gereja tanpa sadar
melihat tempat yang “dekat” sebagai ranah sekular yang di mana bukan tempatnya
untuk menjalankan misi. Padahal realitasnya adalah gereja perkotaan harus
menjalankan misi di semua tempat.37
Jika gereja telah menyadari misi-Nya dengan utuh, maka gereja di dalam
gerakannya tidak hanya menekankan pelayanan di ranah rohani tetapi juga
menekankan adanya ranah sosial, sebagaimana gereja tidak hanya memperhatikan
pemberitaan Injil, tetapi juga memperhatikan adanya pelayanan sosial kepada
masyarakat perkotaan. Gereja yang terus-menerus memelihara konsep yang salah
akan mengakibatkan gereja perkotaan menjadi tidak relevan dan tidak dapat
menjawab tantangan perkotaan. Salah satu tantangan perkotaan yang akan dihadapi
oleh gereja adalah pluralisme agama. Hal itu dikarenakan banyaknya masyarakat
yang berpindah dari desa ke kota dan memasukkan berbagai kebudayaan dan
agama, sehingga kota menjadi tempat berkumpulnya berbagai agama dan
kebudayaan. Selain memiliki konsep yang benar mengenai misi, gereja di perkotaan
juga perlu untuk mengetahui konteks kota untuk dapat menjawab tantangan
perkotaan dengan efektif.
Ketiga masalah yang diangkat oleh penulis di atas juga dihadapi oleh
Timothy Keller di dalam pelayanannya38 di dalam kota New York. Keller
36. Wright, Misi Umat Allah, 31. 37. Wright, Misi Umat Allah, 31. 38. Timothy Keller menggunakan terminasi “Ministry (Pelayanan)” untuk merujuk pada apa
yang dilakukannya di dalam perkotaan, sedangkan penulis penelitian ini menggunakan terminasi “Misi Gereja”. Kedua istilah itu memiliki kesamaan pemahaman. Alasannya beberapa bentuk konkrit
10
menghadapi “jurang” antara orang percaya yang tanpa sadar terlalu menekankan
hal-hal rohani dan orang percaya mengabaikan hal-hal rohani. Permasalahan yang
dihadapi Keller dilukiskannya dalam perumpamaan “Anak Sulung dan Anak
Bungsu” yang terdapat di dalam Injil Lukas 15. Tokoh Anak Sulung digambarkan
adalah tokoh yang selalu menekankan berbagai peraturan dan memenuhi
kewajibannya. Namun, tokoh Anak Sulung tanpa sadar terlalu menekankan hal-hal
rohani, dan memberikan label “berdosa” kepada orang lain jika tidak melakukan
sama seperti yang dia lakukan. Di samping itu, tokoh Anak Bungsu kurang
memperhatikan peraturan dan kewajiban agamawi. Pada akhirnya, hidup sesuai
dengan apa “dunia” katakan.
Di samping itu, Keller juga menghadapi orang percaya yang merasa setelah
mendapatkan keselamatan tidak perlu untuk melakukan kebaikan. Hal itu berarti,
orang percaya tidak perlu melakukan penginjilan, melakukan pelayanan sosial, dan
berbagai pelayanan lainnya. Alasannya, karena orang percaya telah mendapatkan
keselamatan. Akibatnya, tidak semua orang percaya terlibat di dalam misi Allah.
Keller juga menghadapi adanya perbedaan yang lebar antara iman dan pekerjaan.
Urusan mengenai iman ada wilayahnya sendiri, sedangkan urusan mengenai
pekerjaan pun ada wilayahnya sendiri. Namun, Keller tetap bisa mengusahakan
terwujudnya misi gereja yang benar, melalui tiga komitmennya yaitu, Injil, Kota, dan
Gerakan.39 Komitmen pertamanya adalah Injil. Konsep Injil yang dipahami Keller
akan menutup “jurang” antara orang percaya yang terlalu menekankan rohani, dan
dari “Misi Gereja” adalah penginjilan, pelayanan sosial, pelayanan lingkungan. Hal-hal itu juga dilakukan oleh gereja dalam melakukan pelayanannya perkotaan.
39. Timothy Keller, Center Church: Doing Balanced, Gospel-Centered Ministry in Your City (Grand Rapids: Zondervan, 2012), 22-23.
11
orang percaya yang mengabaikan hal-hal rohani pelayanan rohani. Selain itu,
konsep Keller juga memperlihatkan pentingnya untuk hidup melakukan kebaikan
setelah mendapatkan keselamatan.
Komitmen keduanya adalah kota. Melalui pemahaman keduanya, Keller akan
menolong gereja di perkotaan untuk menjalankan pemberitaan Injil, sekaligus
menjalankan kontekstualisasi dengan benar. Melalui konsep ini akan menolong
gereja untuk bergerak memenuhkan apa yang menjadi kebutuhan, harapan,
ketakutan masyarakat perkotaan. Maka, di dalam menjalankan misi gereja dalam
konteks perkotaan pentingnya kontekstualisasi. Komitmen ketiganya adalah
gerakan. Melalui komitmen ketiganya menolong gereja untuk menjadi organisasi
yang memiliki struktur, serta aktif mencoba untuk menghubungkan dengan
perkembangan zaman ini. Melalui komitmen ketiga ini menolong gereja juga untuk
melihat adanya hubungan dengan iman dan pekerjaan di dalam zaman ini.
Jadi, penulis menggunakan konsep misi gereja yang dipahami Timothy
Keller dikarenakan penulis melihat bahwa Keller juga menghadapi masalah yang
sama dan memiliki perhatian yang serius untuk mengatasi masalah itu dan
mewujudkan misi gereja yang benar. Penulis juga mengamati bahwa konsep yang
dipahami oleh Timothy Keller tentang misi gereja relevan dengan masalah yang
diangkat. Artinya, pemahaman yang dimiliki Keller mampu menjadi titik terang atas
permasalahan yang dihadapi oleh gereja-gereja di perkotaan.
12
Pokok Permasalahan
Dengan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik beberapa
pokok permasalahan, yaitu:
1. Banyak gereja di perkotaan belum sepenuhnya memahami konsep Injil yang
utuh dan seimbang, sehingga hal itu memengaruhi pemahaman gereja
tentang misi di tengah konteks perkotaan. Akibatnya, pelayanan gereja di
tengah perkotaan dengan segala kompleksitasnya belum dijalankan secara
maksimal.
2. Konsep Injil dan misi yang tidak utuh berdampak pada bagaimana misi
dikerjakan oleh gereja-gereja perkotaan. Misi akan direduksi, sehingga pada
akhirnya misi hanya dipahami sebagai “pergi ke tempat yang jauh” untuk
mencari jiwa. Padahal bermisi bukan hanya “pergi ke tempat yang jauh,”
tetapi konteks perkotaan juga merupakan tempat bagi gereja dalam
menjalankan misi-Nya.
3. Konsep misi yang tidak utuh tidak akan menyebabkan sebuah gerakan bagi
gereja. Akibatnya, misi hanya dikerjakan oleh orang tertentu atau
departemen tertentu dan tidak melibatkan semua orang percaya. Padahal
misi harus menjadi sebuah gerakan yang melibatkan semua orang percaya.
13
Tujuan penulisan
Pelaksanaan riset ini dengan bertujuan untuk:
1. Menjelaskan kompleksitas kota yang akan dihadapi oleh gereja perkotaan.
Hal ini bertujuan, supaya gereja-gereja di perkotaan dapat maksimal dalam
menjawab tantangan yang akan dihadapi. Di samping itu juga, gereja dapat
menemukan kesempatan yang digunakan oleh gereja di perkotaan untuk
menjalankan misi gereja secara maksimal.
2. Memperkenalkan Timothy Keller, beserta pemikiran-pemikirannya,
khususnya bagaimana ia menjalankan misi Allah bagi gereja dengan berpusat
pada Injil, menjalankan misi Allah bagi gereja dengan melakukan
kontekstualisasi, dan mengajak gereja untuk menjadi sebuah organisasi yang
dinamis dalam pergerakan misi-Nya.
3. Memperlihatkan implikasi-implikasi konsep Timothy Keller bagi misi gereja
di konteks perkotaan, baik implikasi di dalam gereja, maupun implikasi bagi
keterlibatan jemaat dalam bermisi ke luar gereja.
Batasan Penulisan
Beberapa batasan yang penulis lakukan adalah penulis tidak sedang menulis
tulisan yang ditujukan pada satu konteks perkotaan, tetapi penulis sedang merujuk
kepada gereja-gereja yang berada di perkotaan secara umum. Penulis tidak sedang
mengharuskan bahwa gereja-gereja di perkotaan harus seperti gereja yang dikelola
14
oleh Timothy Keller. Tetapi, penulis hanya akan memperkenalkan prinsip-prinsip
konsep misi gereja Timothy di dalam konteks perkotaan. Jadi, penelitan ini akan
memfokuskan kepada gereja-gereja perkotaan beserta masalah-masalah yang harus
dihadapi oleh gereja perkotaan, memperkenalkan prinsip-prinsip Timothy Keller
yang dapat menjadi solusi terhadap gereja-gereja di perkotaan dalam mewujudkan
pelayanan di dalam gereja, maupun ke luar gereja.
Metodologi Penulisan
Tulisan ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat
deskriptif dan menggunakan analisis. Sumber-sumber yang akan dipakai dalam
mendukung penelitan ini adalah sumber-sumber pustaka yang berkaitan dengan
topik yang penulis bahas yaitu konsep misi gereja Timothy Keller yang
dijalankannya dalam konteks perkotaan. Metode ini didukung oleh sumber-sumber,
seperti buku, jurnal, artikel, kamus.
Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab pertama merupakan bagian yang berisi
tentang miskonsepsi orang percaya dalam memahami konsep misi gereja dalam
konteks perkotaan dan di dalam bagian ini juga memperlihatkan urgensi akan
konsep misi gereja yang benar dalam konteks perkotaan.
Bab dua membahas tentang konteks perkotaan sebagai konteks bagi gereja
perkotaan dalam menjalankan misi gerejanya. Setelah itu dipaparkan juga mengenai
15
berbagai fenomena yang akan dihadapi oleh gereja perkotaan. Terakhir, bab ini
akan membahas mengenai tantangan dan kesempatan yang akan dihadapi oleh
gereja di perkotaan.
Bab tiga adalah fokus dari penulisan skripsi ini. Dalam bab ini akan
memperkenalkan konsep Timothy Keller tentang misi gereja dalam konteks
perkotaan. Keller mempunyai konsep yang berpusat pada Injil, menekankan adanya
kontekstualisasi, dan mendorong gereja untuk menjadi sebuah organisasi yang di
dalamnya memiliki struktur dan bersifat sebuah gerakan. Setelah itu, bab ini akan
membahas bagaimana Keller menggunakan ketiga konsepnya tersebut ketika
menjalankan misi gereja dalam konteks perkotaan. Bab ini juga memperlihatkan
pentingnya konsep Keller terhadap misi gereja dalam perkotaan.
Bab empat melanjutkan bab tiga dengan melihat bagaimana implikasi dari
konsep misi gereja Timothy Keller yang menghasilkan cara pandang yang berbeda
dalam menjalankan misi gereja baik di dalam gereja, maupun ke luar gereja.
Bab lima menyimpulkan penemuan-penemuan dalam bab-bab sebelumnya
untuk memperlihatkan konsep misi gereja Timothy Keller dalam konteks perkotaan
sebagai sebuah konsep yang layak dipertimbangkan bagi gereja-gereja dalam
konteks perkotaan.
83
BAB LIMA
KESIMPULAN
Telah dijelaskan permasalahan-permasalahan gereja dalam melakukan misi
gereja dalam konteks perkotaan, yaitu sebagian gereja di perkotaan hanya
menekankan penginjilan, orang percaya yang menjalankan misi gereja hanya
sebagian saja, selain itu, orang percaya menganggap menjalankan misi gereja adalah
pergi ke tempat yang jauh. Gereja perkotaan yang memiliki konsep misi seperti
demikian mengakibatkan gereja perkotaan kurang maksimal dalam menghadapi
tantangan dan juga kesempatan yang ada di perkotaan. Gereja juga akan menjadi
kurang relevan dengan masyarakat perkotaan. Untuk itu, gereja perlu menyadari
bahwa konteks kota merupakan konteks yang unik bagi gereja-gereja di perkotaan.
Gereja di perkotaan perlu menyadari bahwa konteks kota juga merupakan ladang
bagi gereja menjalankan misi-Nya.
Gereja perlu hadir di dalam perkotaan untuk mengentaskan masalah-
masalah umum yang dijumpai di dalam perkotaan. Kemiskinan merupakan masalah
umum yang hampir dijumpai di setiap kota. Masyarakat yang miskin akan terus-
menerus dipojokkan oleh kehadiran masyarakat yang kaya yang terus-menerus
membangun bangunan mewah. Hal tersebut mengakibatkan adanya disparitas
ekonomi di dalam perkotaan. Kemiskinan yang dialami masyarakat perkotaan juga
tak jarang disebabkan adanya ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat.
Ketidakadilan yang masyarakat alami mengakibatkan hidup masyarakat semakin
miskin dan menderita. Selain itu, masyarakat perkotaan yang miskin tak jarang
mengalami penindasan dari oknum-oknum tertentu yang memiliki kekuasaan. Hal-
84
hal tersebut merupakan potret umum yang dapat dilihat di dalam perkotaan. Gereja
perkotaan juga menghadapi pluralitas masyarakatnya. Tanpa sadar pengaruh
globalisasi menyebabkan banyak masyarakat berpindah ke dalam kota. Hal itu di
dukung dari konteks kota yang menghadirkan fasilitas-fasilitas maju yang
mencukupkan kebutuhan masyarakat. Hal itu mengakibatkan, perkotaan berisi
masyarakat yang memiliki latar belakang budaya, bahasa, agama yang berbeda dan
beragam. Tanpa sadar pengaruh pandangan pascamodern mengakibatkan
masyarakat perkotaan melihat kebenaran dapat ditemukan di semua agama.
Pengaruh pandangan pascamodern mempengaruhi spiritualitas masyarakat
perkotaan berpusat pada diri sendiri.
Untuk itu, gereja-gereja di perkotaan membutuhkan konsep misi gereja yang
tepat yang dapat memperlengkapi gereja dalam menghadapi kompleksitas
perkotaan, serta menghadapi tantangan dan kesempatan yang ada di perkotaan.
Telah dijelaskan konsep misi gereja Timothy Keller pada bab sebelumnya bahwa
konsep misi gereja Keller menekankan gereja untuk berpusat pada Injil Yesus
Kristus. Dengan kata lain, konsep misi gereja mempengaruhi gereja di perkotaan
untuk setia kepada Injil Yesus Kristus. Selain itu, konsep misi gereja Keller
mempengaruhi orang percaya untuk memiliki cara pandang yang seimbang dan
menyeluruh. Konsep Misi gereja Keller juga menekankan gereja untuk menjalankan
misi gereja secara holistik. Hal itu penting, karena konteks kota menghadirkan
kompleksitas dan gereja perlu melakukan misi gereja secara menyeluruh. Keller
juga menekankan gereja untuk menjadi sebuah organisasi yang memiliki struktur,
tetapi terbuka pada perkembangan zaman.
85
Di dalam bab 4, penulis telah menjelaskan implikasi-implikasi konsep
Timothy Keller bagi praksis misi gereja dalam perkotaan. Konsep misi gereja
Timothy Keller akan menghasilkan beberapa implikasi di dalam gereja, maupun ke
luar gereja. Implikasi bagi pelayanan di dalam gereja adalah gereja akan melihat
ibadah, serta juga khotbah sebagai “ruang” yang dapat digunakan oleh orang
percaya untuk memberitakan Injil. Selain itu, pemimpin gereja akan mencoba
menggerakkan jemaat gereja untuk menjalankan misi-Nya berdasarkan konteks
kehidupannya. Pemimpin gereja akan menyadari bahwa seluruh orang percaya
harus terlibat di dalam misi-Nya.
Implikasi bagi pelayanan ke luar gereja adalah gereja akan mengalami cara
pandang yang berubah terhadap masyarakat yang belum percaya. Gereja akan
mengasihi mereka dan berusaha supaya mereka percaya kepada Yesus Kristus.
Gereja tidak hanya menekankan pemberitaan firman, tetapi juga menghadirkan
keadilan di dalam kehidupan mereka. Gereja juga akan mencoba bekerja sama
dengan gereja lain sebagai kesempatan untuk menjangkau masyarakat perkotaan.
Gereja juga akan peduli kepada lingkungan sekitarnya. Gereja berpegang pada
konsep misi gereja Keller tidak akan apatis terhadap lingkungan sekitarnya. Selain
itu, gereja akan melihat bahwa area iman dan pekerjaan merupakan salah satu
bentuk kolaborasi dalam menjalankan misi-Nya.
Dengan demikian, konsep misi gereja Timothy Keller dapat menjadi usulan
konsep terhadap gereja-gereja di perkotaan untuk menjadi konsep yang
memperlengkapi gereja di perkotaan dalam menghadapi kompleksitas perkotaan
dan gereja dapat menjangkau masyarakat perkotaan dengan efektif. Konsep misi
86
gereja Keller akan membangun semangat gereja di perkotaan. Menurut penulis,
konsep misi gereja Timothy Keller dapat mengajarkan gereja-gereja di perkotaan
untuk melihat bahwa pusat pelayanan adalah Allah. Hal itu tanpa sadar
mengajarkan orang percaya untuk mengedepankan kepentingan Allah dan
mengesampingkan kepentingan diri sendiri. Konsep misi gereja Timothy Keller juga
mengajarkan untuk mengasihi masyarakat perkotaan tanpa memandang suku,
bahasa, agama. Untuk itu, konsep misi gereja Timothy Keller dapat dipertimbangkan
untuk digunakan oleh gereja-gereja di perkotaan dalam menjalankan misi-Nya di
tengah konteks yang ada.