Fix Print Makalah MPL Strategic Marketing Planning Siap Print
Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print
-
Upload
yohanes-dedio -
Category
Documents
-
view
59 -
download
0
Transcript of Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Perkembangan Pelayanan dan Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan
anak sangat tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun
1807, di masa pemerintahan Gubernur Jendral Hendrik William Deandels,
para dukun dilatih untuk melakukan pertolongan persalinan, tetapi keadaan
ini tidak berlangsung lama karena tidak tersedianya pelatih kebidanan.
Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan pada saat itu
hanya diperuntukan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia.
Kemudian pada tahun 1849, dibuka pendidikan Dokter Jawa di Batavia,
tepatnya di Rumah Sakit Militer Belanda yang sekarang di kenal dengan
RSPAD Gatot Subroto. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut,
pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia
oleh seorang dokter militer Belanda bernama Dr. W. Bosch. Lulusan sekolah
ini kemudian bekerja di rumah sakit dan juga di masyarakat. Mulai saat itu
pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Pada tahun 1952, mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar
dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Pelatihan untuk para
dukun masih berlangsung sampai sekarang. Pelatihan ini diberikan oleh
bidan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan
ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui kursus
1
tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB). Pada
tahun 1953 di Yogyakarta, yang akhirnya dilakukan pula di kota-kota besar
lainnya di nusantara ini. Seiring dengan pelatihan tersebut, didirikan pula
Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dengan bidan sebagai penanggung
jawab pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup
pelayanan antenatal, postnatal, pemeriksaan bayi dan anak, termasuk
imunisasi dan penyuluhan gizi. Sedangkan diluar KIA, bidan memberi
pertolongan persalinan di rumah keluarga dan melakukan kunjungan rumah
sebagai upaya tindak lanjut pascapersalinan.
Bermula dari BKIA, kemudian terbentuklah suatu pelayanan
terintegrasi bagi masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberikan pelayanan di dalam
gedung dan di luar gedung dan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang
bertugas di Puskesmas berfungsi memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu
dan anak, termasuk pelayanan keluarga berencana baik di luar gedung
maupun di dalam gedung. Pelayanan kebidanan yang diberikan di luar
gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di pos pelayanan
terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup lima kegiatan yaitu
pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi dan
kesehatan lingkungan.
Mulai tahun 1990, pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan
dekat dengan masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan
ini merupakan Instruksi Presiden (Inpres) yang disampaikan secara lisan pada
2
Sidang Kabinet Tahun 1992. Kebijakan ini mengenai perlunya mendidik
bidan untuk ditempatkan di desa. Tugas pokok bidan di desa adalah sebagai
pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil,
bersalin dan nifas, serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk
pembinaan dukun bayi (paraji). Sehubungan dengan itu , bidan desa juga
menjadi pelaksana pelayanan kesehatan bayi dan keluarga berencana yang
dilakukan sejalan dengan tugas utamanya sebagai pemberi pelayanan
kesehatan ibu. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, bidan desa
melaksanakan kunjungn rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya,
mengadakan pembinaan posyandu di wilayah kerjanya, serta
mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat
setempat.
Hal tersebut di atas adalah bentuk pelayanan yang diberikan oleh
bidan di desa. Pelayanan bidan di desa berorientasi pada kesehatan
masyarakat, sedangkan bidan yang bekerja di rumah sakit berorientasi pada
individu. Tugas bidan di rumah sakit mencakup pelayanan di poliklinik
antenatal, poloklinik keluarga berencana, ruang perinatal, kamar bersalin,
kamar operasi kebidanan, dan ruang nifas. Bidan di rumah sakit juga
memberikan pelayanan bagi klien yang mengalami gangguan kesehatan
reproduksi, mengajarkan senam hamil, serta memberi pendidikan perinatal.
3
Titik tolak Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun
1994 yang menekankan pada kesehatan reproduksi (reproductive health),
memperluas area garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi:
1. Safe motherhood; termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus.
2. Keluarga berencana.
3. Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi.
4. Kesehatan reproduksi remaja.
5. Kesehatan reproduksi orang tua.
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan
pada kemampuan serta kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut
diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang
menyangkut wewenang bidan selalu mengalami perubahan sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan masyaraat serta kebijakan pemerintah dalam
maningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Permenkes tersebut terdiri atas :
1. Permenkes No. 5380/IX/1963 yang menyatakan bahwa wewenang bidan
terbatas pada pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi
tugas lain.
2. Permenkes No. 363/IX/1980 yang kemudian diubah menjadi Permenkes
623/1989, menyatakan bahwa wewenang bidan dibagi menjadi dua, yaitu
wewenang umum dan wewenang khusus. Dalam wewenang khusus
ditetapan bahwa bidan melaksanakan tindakan khusus dibawah
pengawasan dokter. Hal ini berarti bahwa bidan dalam melaksanakan
4
tugasnya tidak bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas tindakan
yang dilakukan. Berdasarkan Permenkes ini, bidan melaksanakan praktik
perorangannya dibawah pengawasan dokter.
3. Permenkes No. 572/VI/1996 yang mengatur tentang registrasi dan praktik
bidan. Bidan dalam melaksankan praktiknya diberi kewenangan yang
mandiri. Kewenangan tersebut disertai kemampuan dalam melaksanakan
tindakan. Dalam kewenangan tersebut mencakup:
a. Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak
b. Pelayanan keluarga berencana
c. Pelayanan kesehatan masyarakat.
4. Permenkes No. 900/Menkes/SK/VII/2002 yang mengatur tentang
registrasi dan praktik bidan. Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi
kewenangan untuk memberikan pelayanan yang meliputi:
a. Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan pranikah, antenatal,
intranatal, posnatal, bayi baru lahir dan balita.
b. Pelayanan keluarga berencana yang meliputi pemberian obat dan alat
kontrasepsi melalui oral, suntikan, pemasangan dan pencabutan AKDR
dan AKBK tanpa penyulit.
5
Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi,
konsultasi, dan rujukan sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan serta
kemampuannya. Wewenang bidan dalam pelayanan kebidanan di bidang
keluarga berencana mencakup penyediaan alat kontrasepsi: oral (pil KB),
suntik, kondom, tisu vaginal, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), alat
kontrasepsi bawah kulit (AKBK), baik pemasangan maupun pencabutan.
Pada keadaan darurat, bidan juga diberi wewenang untuk memberikan
pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk menyelamatkan jiwa (mis.,
kuretase digital untuk mengangkat sisa jaringan pada bayi baru lahir yang
mengalami asfiksia dan hipotermia).
Permenkes tersebut juga menegaskan bahwa bidan dalam
menjalankan praktiknya harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan,
pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi. Disamping itu,
bidan diwajibkan merujuk kasus-kasus yang tidak dapat ditangani,
menyimpan rahasia, meminta persetujuan untuk tindakan yang akan
dilaksanakan, memberi informasi, serta membuat rekam medis dengan baik.
Petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci mengenai kewenangan bidan terdapat
pada petunjuk pelaksanaan (juklak) yang dituangkan dalam Lampiran
Keputusan Dirjen Binkesmas No. 1506/Tahun 1997.
Pencapaian kemampuan bidan sesuai Permenkes 572/1996 tidak
mudah, karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan
mengandung tuntutan bahwa bidan sebagai tenaga profesional harus memiliki
kemampuan profesi yang mandiri. Pencapaian kemampuan tersebut diperoleh
6
melalui institusi pendidikan yang mengajarkan kompetensi inti bidan serta
institusi pelayanan yang meningkatkan kemampuan bidan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Perkembangan pelayanan kebidanan menuntut kualitas bidan yang
handal dan profesional serta upaya pemantauan (monitoring) pelayanan. Oleh
karena itu, adanya konsil kebidanan adalah suatu keharusan. Pendidikan
bidan yang berorientasi pada profesional dan akademik serta memiliki
kemampuan melakukan penelitian adalah suatu terobosan dan syarat utama
untuk percepatanpeningkatan kualitas pelayanan kebidanan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan pendidikan kebidanan di Indonesia ?
2. Bagaimana tahap-tahap perkembangan pendidikan kebidanan dari tahun
ketahun di indonesia ?
3. Bagaimana perbedaan perkembangan pendidikan yang ada di indonesia
dari tahun ketahun?
C. Tujuan
Tujuan dari mempelajari sejarah kebidanan di indonesia adalah
1. Mampu menjelaskan perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia.
2. Mengetahui tahap-tahap perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia.
3. Mengetahui perbedaan perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia
dari tahun ketahun
7
D. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari perkembangan pendidikan di Indonesia adalah :
1. Manfaat bagi peneliti
Menambah wawasan peneliti tentang perkembangan pendidikan yang ada
di Indonesia.
2. Manfaat bagi pembaca
Pembaca mendapat wawasan tentang perkembangan pendidikan
kebidanan yang ada di Indonesia.
8
BAB ll
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri
Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan
pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan beriringan untuk memenuhi
kebutuhan/tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kebidanan. Pendidikan
bidan memcakup pendidikan formal dan non formal.
Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada
tahun 1851, seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka
pendidikan bidan bagi wanita pribumu Batavia. Pendidikan ini tidak
brlangsung lama karena kurangnya peserta didik akibat adanya larangan
ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah.
Pendidikan bidan bagi wanita pribumi dibuka kembali di rumah Sakit
Militer di Batavia pada tahun 1902. Pada tahun 1904, pendidikan bidan bagi
wanita Indonesia juga dibuka di Makasar. Lulusan dari pendidikan ini harus
bersedia ditempatkan dimanapun tenaga mereka dibutuhkan dan mau
menolong msyarakat yang tidak/kurang mampu secara cuma-cuma. Lulusan
ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan.
Kemudian dinaikkan menjadai 40 Gulden per bulan (tahun 1922).
Tahun 1911-1912 dimulai program pendidikan tenaga keperawatan
secara terencana di Rumah Sakit Umum Pusat Semarang dan Rumah Sakit
Umum Cipto Mangunkusuma di Batavia dengan lama pendidikan selama
9
empat tahun. Calon murid berasal dari lulusan Holandia Indische School (SD
7 tahun) dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria. Pada tahun
1914, peserta didik wanita mulai diterima untuk mengikuti program
pendidikan tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikan tersebut, perawat
wanita dapat meneruskan ke pendidikan kebidanan selama dua tahun,
sedangkan perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan
lanjutan juga selama dua tahun.
Pada tahun 1935-1938, pemerintah kolonial Belanda mulai membuka
pendidikan bidan lulusan Mulo (setingkat SMP) dan paa waktu yang hampir
bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain di Jakarta
(RSB Budi Kemuliaan) serta di Semarang (RSB Palang Dua dan RSB Mardi
Waluyo). Di tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturanyang
mengklasifikasikan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan.
Bidan dengan dasar pendidikan Mulo dan pendidikan kebidanan selama tiga
tahun disebut Bidan Kelas Satu (vroedvrouw eerste klas) serta bidan dari
lulusan perawat (mantrio) disebut Bidan Kelas Dua (vroedvrouw tweedeklas).
Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan.
Pada Zaman penjajahan Jepang, pemerintah mendirikan sekolah perawat atau
sekolah bidan dengan nama dan dasar yang berbeda, namun memiliki
persyaratan yang sama engan zaman penjajahan Belanda. Peserta didik
kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka mendaftar karena
terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.
10
Pada tahun 1950-1953, dibuka sekolah bidan untuk lulusan SMP
dengan batasan usia munimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun.
Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak maka
dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenang Kesehatan E
(PK/E) atau Pembantu Bidan. Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976
dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP di tambah dua
tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan
pendidikan bidan selama dua tahun.
Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta
lamanya kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960,KTB
dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan
kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam
pelayanan kesehatan masyarakat sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai
bidan, terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967, KTB ditutup.
Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama
dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada
awalnya, pendidikan ini berlangsung satu tahun kemudian menjadi du tahun
dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972, institusi
pndidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ii
menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan.
Pada tahun 1970, dibuka program pendidikan bidan yang menrima
lulusan dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan
11
bidan yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan
(SPLJK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata diseluruh provinsi.
Pada tahun 1974, mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan
bawah sangat banyak (24 kategori), Departemen Keehatan melakukan
penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan nonsarjana. Pendidikan bidan
ditutp dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengen tujuan
menciptakan tenaga multitujun dilapangan yang salah satu tuganya adalah
menolong persalinan normal. Akan tetapi, karena adanya perbedaan falsafah
dan kurikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan,
maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai
atau terbukti tidak berhasil.
Pada tahun 1975 sampai 1984, institusi pendidikan bidan ditutup
sehingga selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi
profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup dengan wajar.
Tahun 1981 dibuka pendidikan diploma I kesehatan ibu dan anak
untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan
kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan. Pendidikan ini hanya
berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua institusi.
Pada tahun 1985, dibuka lagi program pendidikan bidan (PPB) yng
menerima lulusan dari SPR dan SPK. Pada saat itu, dibutuhkan bidan yang
memiliki kewenangan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak
serta keluarga berencana di masyarakat. Lama pendidikan satu tahun dan
lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.
12
Tahun 1989 dibuka program pendidikan bidan secara nasional yang
membolehkan ulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan.
Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A) dengan
lama pendidikan satu tahun. Lulusannya ditempatkan di desa-desa dengan
tujuan memberi pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan terhadap
ibu dan anak di darah pedeaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
keluarga dan menurunkan angka kematian ibu dan anak. Untuk itu,
pemerintah menetapkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai negeri
sipil (PNS) Golongan II. Mulai tahun 1996 status bidan di desa adalah
sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT) kontrak dengan pemerintah selama
tiga tahun yang kemudian dapat diperpanjang sampai 2-3 tahun lagi.
Penempatan bidan di desa (BDD) ini menyebabkan orientasi sebagai
tenaga kesehatan berubah. BDD harus dipersiapkan sebaik-baiknya tidak
hanya kemampuan klinis sebagai bidan tetapi juga kemampuan untuk
berkomunikasi, konseling, dan kemampuan untuk menggerakan masyarakat
desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program pendidikan
bidan A diselenggarakan dengan peserta didik yang cukup banyak.
Diharapkan pada tahun 1996, sebagian besar desa sudah memiliki minimal
seorang bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki
pengetahuan dan keterampilan seperti yang diharapkan sebagai seorang bdan
profesional, karena lama pendidikan yang terlalu singkat (hanya satu tahun)
dan jumlah peserta didik yang terlalu besar. Kesempatan peserta didik untuk
13
praktik di klinik kebidanan sangat kurang sehingga tingkat kemampuan yang
seharusnya dimiliki oleh seorang bidan profesional tidak dapat tercapai.
Pada tahun 1993, dibuka program pendidikan bidan program B yang
peserta didiknya dari lulusan akademik perawat (Akper) dengan lama
pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah menyiapkan tenaga
pengajar Pendidikan Bidan Program A. Hasil penelitian terhadap kemampuan
klinis kebidanan lulusan ini menunjukan bahwa kompetensi bidan yang
diharapkan tidak tercapai karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu
hanya setahun. Pendidikan ini hanya berlangsug selama dua angkatan (1995
dan 1996) kemudian ditutup.
Pada tahun 1993, juga dibuka Pendidikan Bidan Program C yang
menerima murid dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 provinsi
yaitu Aceh, Bengkulu, Lampung dan Riau (Wilayah Sumatera); Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wilayah Kalimantan);
Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Jaya. Pendidikan
ini memiliki kurikulum3700 jam dan dapat diselesaikan dalam waktu enam
semester.
Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun 1994-1995
pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh
(distance learning) di tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengan dan Jawa
Timur. Kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya
peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam
pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pengaturan
14
penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes No.
1247/Menkes/SK/XII/1994.
Diklat Jarak Jauh (DJJ) bidan ditujukan untuk meningkatkan
pngetahuan, sikap dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan
tugasnya serta diharapkan dapat memberi dampak pada penurunan Angka
Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi. DJJ bidan dilaksanakan dengan
menggunakan modul sebanyak 22 buah.
Pendidikan ini di koordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan
dilaksanakan oleh Bapelkes di Provinsi. DJJ tahap I (1995-1996)
dilaksanakan di 15 provinsi. Pada tahap II (1996-1997), DJJ dilaksanakan di
16 Provinsi dan pada tahp III (1997-1998), DJJ dilaksanakan di 26 provinsi.
Secara kumulatifpada tahap I-III, DJJ telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan
sejumlah 3.439 (55%) dinyatakan lulus. Pada tahap IV (1998-1999), DJJ
dilaksanakan di 26 provinsi dengan jumlah tiap provinsinya adalah 60 orang,
kecuali provinsi Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi Tengah masing-masing
hanya 40 orang, dan provinsi Jambi 50 orang.
Selain pelatihan DJJ, pada tahun 1994 juga dilaksankan pelatihan
pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal (life saving skill, LSS)
dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul. Pelatihan ini dikoordinasi
oleh Direktorat Kesehatan Keluarga Ditjen Binkesmas, sedangkan
pelaksanaannya dilakukan di rumah sakit provinsi/kabupaten. Ditinjau dari
prosesnya, penyelenggaraan ini dinilai tidak efektif.
15
Pada tahun 1996, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) bekerja sama dengan
Departemen Kesehatan dan American College of Nurse Midwife (ACNM)
serta rumah sakit swasta mengadakan Training of Trainer (TOT) LSS yang
pesetanya adalah anggota IBI sejumlah 8 orang, yang kemudian menjadi tim
pelatih LSS inti di Pengurus Pusat IBI. Tim pelatih LSS ini mengadakan TOT
dan pelatihan untuk para bidan desa (yang dilaksanakan di 14 provinsi) dan
bidan praktek swasta (yang dilaksanakan secara swadaya) serta kepada
guru/dosen dari diploma kebidanan.
Pada tahun 1995-1998, IBI bekerja sama dengan Mother care
melakukan pelatihan dan peer review bagi bidan rumah sakit, bidan
puskesmas, serta bidan desa di provinsi Kalimantan Selatan.
Pada tahun 2000, telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal
(APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal Health (MNH) yang
sampai saat ini telah memberi pelatihan APN di beberapa provinsi/kabupaten.
Pelatihan LSS dan APN tidak hanya ditujukan untuk bidan di pelayanan
tetapi juga bidan yang menjadi guru atau dosen di sekolah/akademi
kebidanan.
Selainmelalui pendidikan formal dan pelatihan, untuk meningkatkan
kualitas pelayanan juga diadakan seminar dan lokakarya organisasi.
Lokakarya organisasi dengan materi pengembangan organisasi (Organization
Development, OD) dilaksanakan setiap setahun sebanyak dua kali mulai
tahun 1996 sampai 2000 dengan biaya dari UNICEF dan berlangsung hingga
saat ini. Tahun 2000 pendidikan bidan ditingkatkan lebih tinggi yaitu diploma
16
tiga (D-3) kebidanan. Tahun 2000-2002 dibuka program D-IV Bidan
Pendidik untuk memenuhi tenaga pendidik di akademi kebidanan. Prorgam
ini bekerjasama dengan IBI dan UGM Yogyakarta. Pada April 2002, dibuka
Program D-IV Bidan Pendidik di Bandung di Universitas Padjajaran dan
berlangsung hingga saat ini. Tahun 2003 Pelatihan Bidan Delima. Sampai
tahun 2011 jumlah institusi program D-3 kebidanan berjumlah 693 , D-IV
bidan pendidik sebanyak 69, S-1 kebidanan berjumlah 5, serta S-2 kebidanan
berjumlah 1.
17
BAB lll
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat simpulkan bahwa perkembangan
pendidikan kebidanan di indonesia mengalami perkembangan yang
cukup pesat dari tahun ketahun.
B. Saran
Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tugas
konsep kebidanan ini, kami mohon kritik dan saran untuk perbaikan
tugas ‘' Perkembangan Pendidikan Kebidanan yang Ada di indonesia
18