Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Konkrit-dr

download Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Konkrit-dr

of 7

Transcript of Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Konkrit-dr

  • 8/3/2019 Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Konkrit-dr

    1/7

    Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik dan PenyelesaianKasus Konkrit Etik

    Agus Purwadianto

    Pendahuluan

    Dalam pembuatan keputusan klinik pada beragam kasus konkrit, seringkalimahasiswa kedokteran atau bahkan dokter mengalami kesulitan. Apalagi bila kasusyang dihadapinya dalam keadaan dilematis, atau (akan tetap) hidup atau (sebentar lagi)mati. Selain mereka harus berkonsentrasi pada kegawatan pasiennya, mereka harusmenenggang ancaman etikolegal yang akan merusak reputasi profesinya. Apalagidalam situasi akhir-akhir ini yang mengarah ke kedokteran-demi-pembelaan (defensivemedicine) akibat ramainya tuduhan malpraktek semena-mena. Reputasi yang dibinapuluhan tahun dapat hancur dalam semenit.Keputusan klinik seperti di atas memang dibangun atas dua pilar utama, yakni : a)keputusan medik atas permasalahan medik pasien dan b) keputusan etis atas isu etispasien. Yang sehari-hari ada di kepala (mindset atau paradigma) dokter adalah

    keputusan medik yang nyata dalam ranah indikasi medik dari sistematika Jonsen &Siegler. Keadaan makin rumit ketika kita mempertimbangkan sistematika etika praktisbagi klinisi (Jonsen & Siegler) yakni 3 komponen lain : pilihan pasien, kualitas hidup danfitur kontekstual begitu didominasi oleh komponen non medis, yakni struktur budayamasyarakat. Sedangkan struktur masyarakat Indonesia sendiri adalah plural. Merekaterdiri atas beragam suku, adat istiadat, dan latar belakang sosio-budaya dan geografiyang tidak sama. Hal inilah yang membuat pada dokter sejak masa di bangku kuliahkurang tertarik dengan hal-ihwal sosio-antropologi budaya.1 Salah satunya adalahketidak-pastiannya. Padahal ketika di klinik, mereka terkaget-kaget ketika menghadapikenyataan bahwa seni (teknik) pengobatan pasien adalah juga sama-sama sebuahketidak-pastian. Yang agak pasti dalam hal ini adalah keputusan medik karenadibangun oleh ilmu kedokteran yang bermodel biomedik2.

    Pertemuan Nasional III Bioetika & Humaniora Kesehatan Indonesia, FKUI, Jakarta, 30Nopember 2 Desember 2004.Sedangkan sebaliknya pertimbangan keputusan etis bukan berbasis biomedik, namunlebih tepat menggunakan paradigma infomedik3.

    1 Sedikit banyak hal ini akibat stereotip mahasiswa FK yang hampir semuanya berasal dari SMU jurusan

    IPA yang begitu bangganya atas jurusannya, cenderung memandang sebelah mata IPS, apalagi jurusan

    Budaya.2 Agus Purwadianto, Perkosaan Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Landasan Filosofis Metodologi

    Pembuktian Hukum. Disertasi. Fak. Ilmu Budaya UI, Jakarta, 2003, hal. 245. Paradigma ini akibat konsep dualisme

    tubuh-jiwa Cartesian, sehingga manusia dianggap hanya tubuhnya saja ibarat mesin biologis, tanpa jiwa. Tubuh

    sakit manusia, sebagai organisme biologis multikompleks dalam rangka menghilangkan penyebab penyakit tadi

    direduksi menjadi unsur faali, seluler, molekular untuk menemukan agen atau faktor penyebab yang juga fisik. Hal

    ini sejalan dengan status primer pengetahuan yang bertolak dari benda (matter) dan dunia material. Dokter selakusubyek untuk menyembuhkan obyek tubuh sakit pasiennya melalui ilmu kedokteran modern kemudian

    melakukan intervensi pengobatan secara mekanistik - reduksionistik, dengan tindakan kimiawi, elektris, ataupembedahan dengan mengupayakan tindakan netralisasi terhadap agen patogen penyebab sakit, suplementasi

    terhadap defisiensi faktor atau pengurangan terhadap kelebihan faktor intrinsik penyebab penyakit tersebut,

    sehingga tercapai kembali kurva atau norma normal dari deviasi terukur parameter biologis tubuh pasien pada

    proses perjalanan penyakitnya. Lihat pula Laurence Foss & Kenneth Rothenberg. The Second Medical Revolution.,

    Shaftesbury, Boston, 1988, hal 8.3 Agus Purwadianto, ibid. hal. 283. Sebagai mahluk swa-atur kompleks, manusia mampu mengolah pesan-pesan

    eksternal yang berasal dari ragam jenjang organisasi dalam ranah fisik, psikologis dan sosial serta lingkungan

  • 8/3/2019 Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Konkrit-dr

    2/7

    Isu etik.

    Isu etik bukanlah isu medik. Ini merupakan titik pijak awal pembahasanpermasalahan etika klinis. Kegagalan menemukan isu etik dalam kasus konkrit di klinikseringkali akibat dangkalnya pemahaman tentang etika kedokteran dalam metode

    deskriptif yang diajarkan sebelumnya. Pengetahuan etika dalam metode deskriptif(apalagi dalam bentuk kuliah searah) kurang menerampilkan logika berpikir dalammenguak aspek etis pasien yang dihadapinya, sehingga seringkali menyebabkan konflikberkepanjangan. Hal ini sejalan dengan data bahwa klinisi 71% sering terbantu untukmenemukan isu etik relevan oleh konsultan etik atau fatwa komite etik rumah sakitsebagai dasar pengelolaan pasiennya atau untuk metode belajar etika kedokteran.4

    Padahal dengan latihan dialog berbasis pendekatan sistematik pemikiran klinis etis halitu dapat segera selesai.

    Isu etik dalam kesejarahannya bersumber dari kaidah dasar moral (disingkatKDM atau moral principle/principle-based ethics atau ethical guidelines) yangmerupakan acuan tertinggi moralitas manusia atau acuan generalisasi etik yang

    menuntun suatu tindakan kemanusiaan.5 Bertolak dari Childress & Beauchamp yangmemaparkan adanya 4 KDM yakni beneficence, non-maleficence, justice dan autonomydalam buku sucinya The Principles of Biomedical Ethics (1994). Ke 4 KDM tersebutkemudian ditinjau melalui etika, secara deduktif, apakah masih merupakan maxim(kaidah dasar) yang berlaku normatif ketika dokter menghadapi kasus konkrit di klinik.Hal ini amat mempengaruhi cara pemikiran kritis logis dari etika normatif, salah satucabang etika. Beberapa cara meneliti keberlakuan normatif masing-masing KDMtersebut pada galibnya merupakan upaya meneliti pembenaran moral (moral

    justification) tuntunan tindakan tertentu pada kasus etis konkrit tertentu sehinggatindakan klinisi dipandang sebagai tindakan etis, walaupun dalam suasana ketidak-pastian medik dan penuh wacana moral yang mewarnai praktek medik. KDMmemberikan bahasa moral dan lingkup kerja analisis etik ditengah pluralitas manusia

    seperti perbedaan agama, moral, politik bahkan perspektif filosofis. Inilah kekuatan 4KDM (principle-based ethics) dalam memberi pegangan pembenaran moraldokter/tenaga kesehatan yang bergerak dalam lapangan biomedik6.

    Tindakan etis disini begitu kuatnya berakar sehingga dalam pandanganetikolegal, tindakan tersebut merupakan lingkup atau rangkaian pola tindakan preskriptifhukum. Tindakan etis sekaligus dasar dari tindakan hukum inilah pada kasus klinis akanmewarnai pilihan konkrit kebebasan profesi yang dapat dibenarkan secara moral dan

    dengan landasan bahasa ilmu mekanika kuantum dan termodinamika nirpulih serta teori informasi yang bertumpu

    kepada hukum-hukum infomedik. Disini didalilkan bahwa penyakit manusia dapat diakibatkan oleh hasil interaksi

    program yang melibatkan informasi dengan faal tubuh (pesan bio-aktif); saling pengaruh sadar atau tidak sadar

    suatu determinan-sebab-kodeterminan-prevalensi-sebab-hasil; antara fisik dan psikis/faktor sosial (pesan psiko-

    aktif/sosio-aktif); serta tekanan selektif alam (lingkup kesatuan kawasan tubuh, biosfer) - tekanan selektif budaya(lingkup kesatuan kawasan jiwa, noosphere) dalam bentuk pesan tekno-aktif. Lihat pula Laurence Foss, ibid, hal.

    hal. 298 3014 LaPuma J, Stocking CB, Silverstein MD et al. An Ethics Consultation Service in a Teaching Hospital.

    JAMA 1988; 206 : 808 811, yang dikutip Bernard Lo. Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for

    Clinicians. Williams & Wilkins. Baltimore, USA, 1995, hal. 155.5 Bernard Lo. Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for Clinicians. Williams & Wilkins. Baltimore, USA,

    1995, hal. 196 Gillon R. Medical Ethics : Four principles plus attention to scope. British Med. Journal No. 309, 1994,

    hal. 184-188.

  • 8/3/2019 Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Konkrit-dr

    3/7

    doktrin hukum dalam bentuk kewajiban etis (moral duty), sehingga dengan sendirinyasulit atau tidak mungkin dokter/rumah sakit dijatuhi sanksi, baik etik, disiplin maupunhukum.

    Pada kasus klinis konkrit, isu etis seringkali sudah nampak jelas pada saatmahasiswa memahami sekilas namun cukup sistematik (proses insightkasus) karenaadanya satu KDM yang dominan atau khas. Insightdiperoleh dari pilihan sambil lalu :

    mana diantara 1 KDM yang paling menonjol tanpa analisis mendalam atau repot-repotyang mewarnai isu etis kasus tersebut.7 Misalnya adakah isu etis atau masalah otonomipasien, yang bermanifestasi pada kasus seperti : perlunya informed consent,dipertahankannya rahasia pasien, keputusan terapi yang dibuat oleh remaja yang sakitdll. Dalam konteks kasus tersebut, jelas bahwa isu etisnya diturunkan secara sederhanadari keberlakuan normatif KDM yang paling relevan (hanya satu-satunya) yakni :otonomi. Keberlakuan KDM otonomi sebagai isu etis disini adalah absolut atau sebagaikebenaran yang tetap (fixed truth) yang membingkai ethical guidelines8 pada kasustersebut.

    Ketegaran Moral.

    Pembenaran moral yang diaplikasikan secara deduksi9 berurutan ke bawah keyang khusus yakni ke arah kasus konkrit dari 1 KDM sebagaimana asalnya dari yangumum/teoritis akan menggunakan suatu cara berpikir lurus alias logis.10 Bilapendeduksian itu sendiri merupakan suatu keharusan (absolut, artinya tanpa ragu lagibahwa tidak ada yang relatif karena konteksnya dan kasusnya begitu khas untuk hanya1 KDM) yang mengikat KDM tersebut (moral bindingness) maka dari kasus sederhanatadi muncul warna isu etis khas yang mutlak harus dilaksanakan. Disinilah KDM tersebutharus dideduksi hingga ke keputusan klinis-etis karena memiliki moral stringency atauketegaran moral.11

    7 Bila dalam kasus berbentuk teks, insight nampak pada kelompokan kasus, judul kasus, atau ekspresi

    ungkapan yang menjadi simbol isu etis dalam bentuk kalimat langsung atau kalimat yang diberi tanda

    tekanan khusus. Dalam bentuk tuturan/lisan, insight kasus tersebut nampak pada saat dosen atautayangan visual secara ekspresif menuturkannya atau mewarnai keseluruhan alur cerita atau yang

    senantiasa diulang-ulang pengungkapannya (berdasarkan pola sentral berpikir penutur kisah tsb). Bila

    mahasiswa masih bingung, insight dilanjutkan dengan proses identifikasi KDM mana paling relevan

    dengan metode asal sebut/itung kancing (rule of thumb) diantara 4 KDM tersebut dalam teks ataututuran kasus tsb. Yang penting tujuan insightadalah mahasiswa mampu meneliti isu etik, bukan tergelincir

    atau terjebak ke isu medik belaka.8 Bernard Lo, loc.cit. hal. 20.9 James F. Childress. The Normative Principles of Medical Ethics, dalam Robert M. Veatch (ed). Medical Ethics (2 nd

    ed). Jones and Bartlett Publishers Massachusetts. 1997. hal 29 39. Aplikasi adalah salah satu model untukpembenaran moral, dalam hal ini menggunakan metode deduksi logis.

    10Selain aplikasi, menurut Henry Richardson (1990) hubungan KDM sebagai asas umum etika dengan

    keputusan klinis-etis sebagai pendapat/putusan partikular etik dapat dilakukan dengan dua model lain

    yakni : a) Ballancing/Penyeimbangan berupa melakukan petimbangan intuitif mana azas yang salingbertentangan dalam kasus tersebut yang berpotensi menjadi dilemma etik) dan b) Spesifikasi yakni

    merinci dari asas/KDM ke aturan/rule dalam hal makna, kisaran dan ruang lingkupnya.11 Dalam kemutlakan pemberlakuan 1 KDM atas 1 kasus konkrit, dikenal istilah ketegaran moral (moral

    stringency). Dalam 1 kasus sederhana, bukan kasus kompleks, ketegaran moral merupakan satu-satunya

    tolok ukur etis tidaknya tindakan seorang dokter. Untuk metode pembelajaran pengenalan isu etik,

    khususnya pada mahasiswa tahun pertama, pemberian penekanan pada 1 KDM yang berciri-ciri khas atau

    unik yang membedakannya dari KDM lainnya amatlah diperlukan, sehingga secara cepat mereka mampu

    mengungkapkan isu etik yang berbeda dari isu medik. Moral stringency atas beberapa kasus yang berciri

    kemutlakan berlakunya 1 KDM, secara satu persatu pada satu session amat diperlukan.

  • 8/3/2019 Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Konkrit-dr

    4/7

    Akibat kekakuan rumusan ini, deduksi akan mengawetkan logika berpikirkarena metode ini tidak serabutan atau asal-asalan, sepanjang dilakukan secarakoheren. Tindakan serabutan yang tidak konsisten dan koheren dengan pembenaranmoral akan dengan segera ketahuan. Semisal isu etisnya adalah otonomi. Disinituntunan tindakan autonomy tersebut mutlak dan mengikat. Artinya dalam kasus konkrittersebut, secara etis dokter seharusnya akan lebih menghargai keputusan yang dibuat

    oleh pasien. Bila ditengah tatanan perjalanan klinis tiba-tiba dokterlah tanpa konteksatau dasar situasi tertentu - yang justru membuat keputusan sepihak tanpa setahu atauseijin pasien (artinya ia menggunakan KDM beneficence yang paternalistik), hal ini akanserta merta dikenali dari deduksi pembenaran moralnya. Yakni disini bertentangandengan KDM autonomy, sehingga mudah sekali dicap bahwa tindakan dokter tersebutadalah tidak etis (tidak bisa dibenarkan secara moral).

    Namun tak jarang, pada satu kasus klinis terdapat saling pengaruhmempengaruhi lebih dari 1 KDM. Tabrakan antar KDM dalam metode principle-basedethics di satu sisi akan membingungkan para mahasiswa dalam tatanan klinik12, manaKDM yang harus dimenangkan. Namun di sisi lain bila ada kelompok mahasiswa lainyang menyanggah dengan KDM lain, justru akan memperkaya kemampuan kritis logis

    karena atas dasar KDM beneficence misalnya, mahasiswa akan serta merta mampuberargumen logis terhadap mahasiswa atau pihak lain (termasuk fasilitator atau narasumber senior sekalipun) yang mendasarkan diri pada argumen KDM autonomy.

    Relevannya prima facie.

    Dalam proses identifikasi KDM mana yang paling relevan atas kasus konkrittertentu, tabrakan antar KDM tadi demikian kentalnya sehingga tetap sulit diyakinkanmana KDM yang paling dominan. Kasus yang memuat tabrakan antar KDM ini hinggake tingkat analisis mendalam, yang (tinggal) memunculkan 2 dari 4 KDM yangkonteksnya secara nalar terkuat (artinya 2 KDM tersebut memiliki ketegaran moral yangkuat, sedangkan 2 KDM lainnya tereliminasi sementara), inilah yang memunculkan

    suatu dilema etik. Pada kasus dilema atau simalakama etik ini bila dilakukan suatuupaya diskusi yang kontinu dan makin mendalam, akan makin mengasyikkan karenamahasiswa atau dokter akan berupaya mencari tambahan data baru yang berkaitandengan 3 konteks kasusnya (misalnya dengan menggali lagi 3 komponen non-medisJonsen & Siegler tersebut di atas).13

    Maka tak jarang mereka akan lebih teliti dan ingin tahu lagi untuk melakukananamnesis baru (re-anamnesis) pasiennya atau keluarganya, sambil menungguterkumpulnya data medik baru (indikasi medik baru/yang lebih tepat, bila ada). Alhasilsiapa yang mampu mengumpulkan basis bukti data baru terbanyak dan relevan(kontekstual), akan lebih berpeluang memilih satu di antara 2 KDM yang salingbersitegang tersebut. Dialog antar 2 kubu yang saling mempertahankan KDM palingabsah disini merupakan proses terpenting permusyawaratan etis yang kelak merupakan

    prosedur amat penting dalam keputusan klinis. Dengan begitu, jelas sekali disini bahwa

    12 Tata-letak klinik disini adalah situasi yang dijadikan latar belakang pembelajaran adalah suasana klinik(dimana ada hubungan dokter pasien di sarana kesehatan tertentu). Tata-letak klinik dapat pula dan justru

    harus dilakukan, pada mahasiswa tahun pertama akademik, tanpa harus menunggu tingkat klinik (early

    clinical exposure method).13 Hal ini akan sejalan dengan metode PBL (problem based learning) yang kini popular sebagai roh

    pendidikan kedokteran di dunia. Artinya, pendalaman prinsip prima facie pada principle based ethics, sama

    seperti metode pembelajaran lainnya apapun, tidak akan berarti apa-apa pada mahasiswa yang pasif dan

    kurang bernalar.

  • 8/3/2019 Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Konkrit-dr

    5/7

    dialog antar klinisi bukan hanya berorientasi pada hasil upaya mediknya belaka, tetapilebih pada proses.

    Hal ini akan memberi perintah tanpa sadar bagi mahasiswa/dokter untukmengobservasi sisi non medik (dalam hal ini jadi sisi etis) pasiennya setiap saat iamelakukan asesmen klinis. Pemilihan 1 KDM ter-absah sesuai konteksnyaberdasarkan data atau situasi konkrit terabsah inilah yang disebut pemilihan

    berdasarkan asas prima facie. Dua KDM yang dilematis tadi tetap berlaku, sampai yangpaling mutakhir ada novum (bukti/konteks absah terbaru) yang menggeser KDMtersisih, dengan memunculkan KDM yang lebih unggul. Jadi disini, prima facie miripseperti troef card pada permainan kartu bridge, dimana kartu bernominal kecil,sepanjang telah ditetapkan sebagai troef, senantiasa dimenangkan dibandingkandengan kartu As warna lain yang bukan troef pada permainan saat itu.

    Dengan prinsip prima facie, dialog klinisi (yang diperankan mahasiswa) tentangdimensi etik pasiennya lebih mengemuka untuk memecahkan masalah etik klinisditengah berkecamuknya perspektif moral yang saling bertentangan satu sama lain atauminimal tidak sejalan.14Prinsip prima facie secara langsung atau tidak langsung akanmerangsang mahasiswa untuk belajar aktif (senantiasa mencari konteks terbaru yangterabsah) dan komprehensif (tidak melulu ilmu kedokteran) khususnya dalam

    mempermahir penerapan kedokteran sebagai seni kelak setelah ia menghadapi pasiensesungguhnya.

    Ciri-ciri KDM yang berbasis prima facie.

    Dalam penanganan pasien di klinik, selain indikasi medik yang memangberpengaruh pada sisi awalnya, namun pengelolaan pasien akan ditentukan pula olehseni yang berbasis ketegaran moral KDM terabsah pada kasus konkrit sederhana. Bilapada kasus konkrit yang kompleks yang mengarah ke dilema etik, maka diterapkanprinsip prima facie di antara 4 KDM dalam menerapkan penanganan etikanya. Prinsipprima facie akan mempersyaratkan secara sederhana, adanya konteks baru absah yangada pada diri pasien atau keluarganya ketika tengah dalam proses perawatan medik

    (proses bersamaan dengan adanya clinical judgment, yang berasal dari kewenanganclinical privilege yang dipunyai dokter). Oleh karena itu diperlukan ciri-ciri KDM yangdemikian khasnya sehingga setiap kali bila itu ditemukan pada diri pasien/keluarganya,secara prima facie hal itu akan menjadi tuntunan umum yang berlaku secara etis. Dariciri khas tersebut, ketika konteksnya tiba, KDM yang lama ditinggalkan untuk digantidengan KDM baru yang lebih absah.

    Untuk kepentingan pendidikan etika, secara sederhana uraian prima facie KDMtersebut adalah nampak pada tabel berikut :

    14 Adanya pemilihan isu etik ini akan sejalan dengan proses open inquiry (pada metode self directedlearning) yang amat bagus diterapkan sejak dini pada mahasiswa tingkat premedik atau preklinik. Isu open

    inquiry ini sama relevannya ketika metode principle-based ethics ini diberlakukan pada mahasiswa tingkat

    klinik, yakni memperkuat kemampuan problem solvingmereka. Bila pelaksanaan pembelajaran etika

    kedokteran ini terus menyambung dalam bentuk kontinuum, maka diharapkan mereka akan mahir

    menyelesaikan kasus etika kedokteran.

  • 8/3/2019 Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Konkrit-dr

    6/7

    The patients contexts for prima facies choice(Agus Purwadianto , 2004)

    JusticeNon

    maleficence

    AutonomyBeneficence

    Time

    General benefit

    result, mostofpeople,

    Elective, educated,bread -winner, mature

    person

    Vulnerables ,

    emergency, lifesaving, minor

    >1person, others

    similarity, community/socials rights

    Dalam konteks beneficence, pada tabel di atas prinsip prima facienya adalah sesuatu yang

    (berubah menjadi atau dalam keadaan) g umum. Artinya ketika kondisi pasien merupakan

    kondisi yang wajar dan berlaku pada banyak pasien lainnya, sehingga dokter akanmelakukan yang terbaik untuk kepentingan pasien. Juga dalam hal ini dokter telah

    melakukan kalkulasi dimana kebaikan yang akan dialami pasiennya akan lebih banyak

    dibandingkan dengan kerugiannya.

    Dalam konteks non maleficence, prinsip prima-facienya adalah ketika pasien (berubah

    menjadi atau dalam keadaan) gawat darurat dimana diperlukan suatu intervensi medikdalam rangka penyelamatan nyawanya. Dapat pula dalam konteks ketika menghadapi

    pasien yang rentan, mudah dimarjinalisasikan dan berasal dari kelompok anak-anak atau

    orang uzur ataupun juga kelompok perempuan (dalam konteks isu jender).

    Dalam konteks autonomy, nampak prima facie disini muncul (berubah menjadi atau

    dalam keadaan) pada sosok pasien yang berpendidikan, pencari nafkah, dewasa dan

    berkepribadian matang.Sementara justice nampak prima facienya pada (berubah menjadi atau dalam keadaan)

    konteks membahas hak orang lain se lain diri pasien itu sendiri. Hak orang lain ini

    khususnya mereka yang sama atau setara dalam mengalami gangguan kesehatan. di luar

    diri pasien, serta membahas hak-hak sosial masyarakat atau komunitas sekitar pasien.

  • 8/3/2019 Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Konkrit-dr

    7/7

    Kesimpulan.

    1. Metode pembelajaran etika kedokteran menggunakan Kaidah Dasar Moral(Principle-based ethics) merupakan metode tangguh dalam mengusung konsep

    etika normatif karena berperan memunculkan isu etik pasien, sebagai pendamping

    isu medik dalam penanganan klinik.2. Pemunculan isu etik pasien secara deduktif logik dari Kaidah Dasar Moral akan

    memberi dampak cara berpikir kritis rasional bagi mahasiswa karena mereka

    terbiasa melakukan analisis pembenaran moral sekaligus ketegaran moral.3. Adanya 4 KDM yang masing-masing saling berebut untuk tampil sebagai acuan

    dasar isu etik melalui prinsip prima facienya masing-masing sesuai dengan ciri-

    ciri konteks berubah menjadi atau dalam keadaan) pasien, entah beneficence,

    entah non maleficence, entah autonomy ataupun justice sebagaimana kasuskonkrit di klinik, diharapkan akan lebih menggairahkan cara menalar mahasiswa.

    4. Prinsip prima facie praktis diharapkan akan menjadi model berpikir kritis yang

    dapat diterapkan pada analisis etik pelbagai kasus konkrit lainnya, baik sebagai

    subyek penelitian, pasien berdilema etik dalam perawatan yang memerlukanpemecahan etis ataupun penelusuran pelanggaran etik profesi yang mungkin

    dilakukan oleh tenaga medik atau tenaga kesehatan.

    Kepustakaan

    Pada intinya sama seperti yang tertera di catatan kaki.

    Penulis, pendidikan terakhir doktor filsafat, adalah Sekretaris MKEK Pusat IDI, Sekjen

    Jaringan Bioetika & Humaniora Kesehatan Indonesia, anggota Komisi Bioetika

    Nasional, dan konsultan etikolegal beberapa rumah sakit di Jakarta.