S2-2013-308464-chapter1

download S2-2013-308464-chapter1

of 12

Transcript of S2-2013-308464-chapter1

  • 8/10/2019 S2-2013-308464-chapter1

    1/12

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A.

    Latar Belakang Masalah

    Penyakit herpes tidak termasuk dalam penyakit yang harus dilaporkan

    secara rutin, sehingga data prevalensi virus herpes di dunia sangat terbatas.

    Penyakit herpes disebabkan oleh virus herpes yang disebut dengan human herpes

    virus (HHV). World Health Organization (WHO) melaporkan prevalensi herpes

    di negara-negara berkembang lebih tinggi dibandingkan dengan di negara maju

    (Looker et al., 2008). Dari 8 macam HHV, HHV tipe 1 atau herpes simplex virus

    (HSV) tipe 1 dan HHV tipe 2 atau HSV tipe 2 yang paling sering diteliti. Kedua

    virus ini menimbulkan manifestasi klinis serta dampak epidemiologi yang

    berbeda. Kasus herpes yang paling mendapat perhatian adalah kasus herpes

    simpleks genital (HSV-2) yang mengancam kehidupan janin dan neonatus. Virus

    ini dapat ditularkan ibu kepada janin, baik melalui plasenta maupun pada saat

    proses persalinan. Tanpa pengobatan yang adekuat, 80% bayi yang lahir terinfeksi

    HSV-2 akan meninggal, dan bayi yang dapat bertahan hidup biasanya mengalami

    kerusakan otak (Brown et al., 1997). HSV-1 disebut juga herpes simpleks labialis,

    tertular melalui udara dan sebagian kecil melalui kontak langsung. Infeksi

    ditemukan pada bibir, rongga mulut, tenggorokan, jari tangan dan dapat juga

    ditemukan di daerah genital yang penularannya melalui oro-genital (Hartadi dan

    Sumaryo, 1998).

    Pada tahun 2003, estimasi prevalensi infeksi HSV-2 di dunia pada

    kelompok usia 15-49 tahun sebanyak 536 juta orang atau sekitar 16% dari

    penduduk dunia pada kelompok usia ini. Prevalensi akan meningkat sejalandengan usia karena infeksi bersifat seumur hidup, berawal pada usia muda dan

    mencapai puncaknya pada usia 35-59 tahun. Prevalensi pada perempuan lebih

    tinggi daripada laki-laki (Looker et al., 2008).

    Penelitian di Indonesia tahun 2005 menemukan sebanyak 86,9% pekerja

    seks komersal (PSK) menunjukkan seropositif HSV-2. Pada perempuan non-PSK,

  • 8/10/2019 S2-2013-308464-chapter1

    2/12

    2

    prevalensinya sebesar 18,7%. Penelitian tersebut dilakukan di Makasar, Bali dan

    Kupang, terlaksana berkat kerja sama Australian International Development

    Agency (AusAID) dengan the Indonesian HIV/AIDS and STD Prevention and

    Care Project (Davies et al., 2007). Herpes dicurigai ikut membantu penyebaran

    HIV dan AIDS. Herpes genital dikaitkan dengan peningkatan risiko terinfeksi

    HIV 2 hingga 3 kali. Penularan HIV melalui hubungan seksual meningkat hingga

    5 kali. Hal ini mengakibatkan 40-60% infeksi HIV baru pada suatu populasi

    dengan prevalensi HSV-2 menjadi tinggi (Looker et al.,2008).

    Penelitian yang dilakukan Haksohusodo (1989) di Yogyakarta

    menemukan, dari 547 individu yang dites reaksinya terhadap antibodi virus herpes

    simpleks (tidak disebutkan HSV tipe berapa), sebanyak 48% individu pada usia

    10-19 tahun positif terhadap antibodi, tetapi untuk kelompok usia di atas 20 tahun

    terdapat 87% individu yang positif terhadap antibodi, 50 dari 59 atau 89%

    perempuan hamil positif terhadap antibodi herpes simpleks. Individu-individu

    yang terlibat dalam penelitian tersebut berasal dari pasien herpes yang berobat di

    RS. Panti Rapih, ibu hamil yang berobat ke klinik obstetrik-ginekologi di RS. Dr.

    Sardjito, pasien di klinik kulit dan kelamin di RS. Dr. Sardjito, pekerja seks

    komersal yang sehat yang sudah dibina, tukang pijat yang sehat, pemandu wisata

    yang sehat dan pendonor darah yang sehat.

    Hingga kini belum ada imunisasi untuk mencegah infeksi herpes simpleks.

    Imunisasi yang ada saat ini adalah imunisasi untuk virus Varicella-Zoster atau

    cacar air yang nantinya dapat mencegah herpes zoster. Tindakan prevensi tertular

    penyakit herpes dengan menghindari kontak kulit ke kulit dengan orang yang

    sedang mengalami infeksi primer herpes, dan tetap menjaga imunitas tubuh.

    Pengobatan dengan Acyclovir pada dasarnya bertujuan untuk memperpendek

    masa serangan terjadi dan mencegah kekambuhan. Pengobatan yang tepat dan

    sedini mungkin dipercaya akan menyebabkan penyakit berlangsung lebih singkat

    dan rekurensi lebih jarang (Arnold et al.,1990). Dengan demikian, pencegahan

    merupakan pilihan yang terbaik untuk membatasi penyebaran virus ini.

    Upaya pencegahan penularan penyakit herpes nampaknya belum banyak

    menarik perhatian dan masih menjadi tantangan dalam bidang prevensi dan

  • 8/10/2019 S2-2013-308464-chapter1

    3/12

    3

    promosi kesehatan. Membicarakan herpes tidak seterbuka membicarakan

    HIV/AIDS. Stigma herpes masih bertahan karena masyarakat tidak membedakan

    antara herpes simpleks labialis yang bukan penyakit menular seksual dan herpes

    simpleks genitalis yang ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan stigma

    HIV/AIDS perlahan-lahan mulai menghilang. Saat ini semua orang bisa

    membicarakan topik HIV/AIDS dengan aktif berkat informasi yang terus menerus

    mereka terima, baik dari media massa cetak maupun elektronik. Namun, tidak

    demikian dengan penyakit herpes. Informasi tentang herpes sangat terbatas,

    mendiskusikan herpes tidaklah populer di kalangan masyarakat. Selain rasa sakit

    yang membatasi aktivitas, pengidap herpes juga merasakan ketidaknyamanan

    dalam berinteraksi sosial, apalagi ketika harus mengaku kepada orang lain tentang

    herpes yang diderita. Penderita tertutup dan enggan membicarakan herpes karena

    pengaruh negatif herpes terhadap pergaulan dan hubungan dengan pasangan,

    sehingga serangan penyakit ini mengarah kepada gangguan psikologis. Penyakit

    herpes simpleks genitalis atau herpes simpleks labialis dikaitkan dengan perilaku

    seksual seseorang karena penyakit ini diyakini menular melalui hubungan seksual.

    Mengacu pada uraian sebelumnya, permasalahan dalam pencegahan

    penularan penyakit herpes dipengaruhi oleh karakteristik spesifik penderita

    herpes, yang diperburuk dengan minimnya informasi tentang herpes dari sumber-

    sumber informasi, termasuk informasi dari petugas kesehatan atau dari media,

    serta tekanan sosio-psikologis. Pemahaman masyarakat luas yang diduga belum

    baik menjadi alasan penting untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut.

    Pendekatan sosiologi kesehatan bisa digunakan untuk memahami perspektif

    masyarakat mengenai penyakit herpes. Adapun kajian tersebut dibutuhkan untuk

    memberikan gambaran yang mendasar dari aspek sosial mengingat individu dan

    lingkungan sosialnya memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi.

    Hasil kajian akan digunakan untuk memberikan informasi yang mendalam bagi

    pengembangan program-program pencegahan penyakit, khususnya program

    prevensi dan promosi kesehatan penyakit herpes.

    Pada September 2009, penulis berkesempatan mengunjungi Dusun

    Parangrejo. Dusun ini masuk dalam wilayah pelayanan Puskesmas Purwosari.

  • 8/10/2019 S2-2013-308464-chapter1

    4/12

    4

    Dalam pertemuan dengan kader kesehatan, penulis menemukan ada beberapa

    kader menderita penyakit herpes. Saat penderita diwawancarai secara singkat

    diketahui bahwa mereka sudah beberapa kali terkena penyakit herpes tersebut.

    Penderita tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki pada semua kelompok usia.

    Beberapa di antara mereka mengaku sudah terbiasa dengan rasa sakit penyakit ini.

    Saat dikonfirmasi dengan petugas kesehatan di Puskesmas Purwosari, dokter

    puskesmas mengatakan bahwa pada tahun 2009 terjadi wabah herpes di Dusun

    Parangrejo.

    Salah satu gambaran adalah hasil pengamatan yang dilakukan di

    Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa

    Yogyakarta (DIY). Masyarakat setempat mengenal penyakit herpes dengan istilah

    dompo. Menurut Hartadi dan Sumaryo (1988), nama dompo digunakan untuk

    menyebut penyakit herpes zoster. Masyarakat di Kecamatan Purwosari

    menggunakan kata herpes atau dompountuk menyebutkan penyakit herpes tanpa

    membedakan jenis penyakit herpes.

    Hasil penelusuran awal dengan pendekatan data sekunder oleh peneliti

    menemukan bahwa selama kurun waktu 2004-2011, penderita herpes simpleks di

    wilayah Puskesmas Purwosari (2011) Kabupaten Gunungkidul mengalami

    peningkatan setiap tahunnya dan setiap tahun ditemukan penderita baru. Sebagian

    besar penderita yang datang berobat ke Puskesmas Purwosari adalah pasien

    kambuhan dengan penderita terbanyak pada perempuan kelompok usia 20-44

    tahun. Dari 4 desa yang ada di Kecamatan Purwosari, penderita herpes simpleks

    paling banyak dilaporkan berasal dari Desa Giripurwo.

  • 8/10/2019 S2-2013-308464-chapter1

    5/12

    5

    Tabel 1. Kasus herpes simpleks di Kecamatan Purwosari tahun 2004-2011

    TahunJumlah penderita

    herpes simpleks

    Jumlah pasien yang

    berobat ke Puskesmas

    Purwosari

    Persentase penderita herpes

    simpleks dari total

    pasien/tahun

    2004 11 10375 0,106%

    2005 14 10327 0,136%

    2006 16 7545 0,212%

    2007 12 11835 0,101%

    2008 31 12769 0,243%

    2009 59 16359 0,361%

    2010 99 18943 0,523%

    2011 94 19159 0,491%

    TOTAL 336 107312 2,17%

    Sumber: Data Pasien Puskesmas Purwosari 2004-2011

    Menurut Kepala Puskesmas Purwosari, angka tersebut jauh dari angka

    sebenarnya, karena masih banyak penderita yang menganggap penyakit tersebut

    akan hilang begitu saja tanpa perlu diobati. Adanya anggapan penderita bahwa

    penyakit herpes merupakan penyakit yang umum dan biasa saja menjadi bukti

    awal adanya pemahaman tersendiri oleh penderita terhadap penyakit ini. Lebih

    lanjut disampaikan bahwa ada beberapa penderita yang karena alasan malu

    diketahui warga lain saat ingin berobat, mencari pengobatan di tempat lain seperti

    rumah sakit atau praktik swasta. Hal ini menunjukkan adanya stigmatisasi

    terhadap penyakit herpes. Terlihat ada permasalahan sosial berkaitan dengan

    penyakit herpes yang ditemukan di masyarakat.

    Masyarakat tradisional yang homogen potensial menghasilkan

    pemahaman-pemahaman yang sempit dalam merespon berbagai perbedaan yang

    dimiliki anggota masyarakatnya. Nilai-nilai konservatif dan norma-norma sosial

    dapat menyebabkan munculnya stigma. Penderita sudah terisolir secara sengaja

    dan terstruktur terhadap sumber-sumber dukungan psikologis, individu terisolirbahkan dari lingkungan sosialnya, sehingga memunculkan reaksi negatif seperti

    depresi, stres, atau menarik diri dari lingkungan sosial.

    Menurut Goffman (1963 dalam Yang, 2006), stigma muncul sebagai suatu

    perbedaan antara identitas sosial virtual dengan identitas sosial yang aktual.

    Dikaitkan dengan aspek kesehatan, stigma di masyarakat merupakan sebuah

  • 8/10/2019 S2-2013-308464-chapter1

    6/12

    6

    respon langsung terhadap perilaku individu (penderita) saat berinteraksi dengan

    lingkungan sosialnya. Pendapat yang tidak jauh berbeda disampaikan Link et al.

    (2004), yaitu keberadaan stigma berhubungan dengan empat hal. Pertama, orang

    membeda-bedakan dan memberi label terhadap perbedaan yang dimiliki

    seseorang. Kedua, kepercayaan berdasarkan budaya yang dominan memberi label

    kepada karakteristik yang tidak diinginkan, yang mengarah kepada stereotip

    negatif. Ketiga, orang yang terstigmatisasi tersebut berada dalam wilayah yang

    terpisah, dikelompokkan atau diisolasi dari lingkungan umum. Keempat, orang

    yang terstigmatisasi tersebut mulai merasakan kehilangan kepercayaan diri dan

    diskriminasi.

    Menurut Muzaham (1995), stigma muncul sebagai hasil persepsi

    masyarakat yang didasarkan atas pemahaman konsep sehat-sakit dan perilaku

    sakit. Konsep-konsep ini dipengaruhi oleh unsur pengalaman di masa lalu dan

    unsur sosial budaya di daerah tersebut. Penyakit-penyakit kronis dianggap

    mendatangkan aib bagi penderitanya. Penyakit yang mendatangkan aib dan

    berjangka panjang merupakan penyakit yang menimbulkan kerusakan fisik (yang

    terlihat secara kasat mata) tidak dapat diterima masyarakat.

    Adapun konsekuensi sosial sebagai akibat dari julukan yang diberikan

    oleh masyarakat umum (stigmatisasi) adalah perbedaan perilaku dan karakter pada

    penderitanya. Penderita kurang dapat mengontrol dampak negatif dari penyakit

    yang dideritanya. Menurut Corrigan dan Watson (2002), pada hakekatnya,

    perilaku yang terlihat oleh orang lain merupakan manifestasi penghargaan

    penderita terhadap dirinya sendiri. Apabila penderita menganggap dirinya lebih

    rendah dibandingkan dengan orang lain, maka ia memperkuat stigma yang ada,

    namun apabila individu tersebut menghargai dirinya sebagai seseorang yang

    walaupun memiliki hambatan fisik namun masih sanggup menjalankan fungsi-

    fungsi sosial yang diembannya, maka ia tidak memperkuat stigma yang ada.

    Tidak dapat dipungkiri stigma membatasi penderita berinteraksi dengan

    lingkungan sosialnya dan menghalangi mencapai kualitas hidup yang selayaknya

    diperoleh. Persepsi masyarakat yang keliru dengan menciptakan teori kecacatan

    seseorang lebih merupakan hambatan sosial daripada hambatan fisik. Menjauhi

  • 8/10/2019 S2-2013-308464-chapter1

    7/12

    7

    penderita tanpa disadari sebenarnya lebih sebagai pernyataan secara langsung

    terhadap aib si penderita. Hal ini merupakan satu alasan seseorang tidak mencari

    pengobatan atas keadaan sakit yang dideritanya, karena keadaan sakitnya

    dianggap sebagai ancaman terhadap kehidupan sehari-hari dan mengganggu

    identitas sosial orang lain. Pemahaman masyarakat terhadap suatu penyakit

    berbeda-beda antara kelompok masyarakat. Oleh sebab itu perlu diselidiki

    persepsi masyarakat di Kecamatan Purwosari tentang penyakit herpes simpleks,

    untuk memahami penyebab persepsi tersebut berkembang.

    Disadari atau tidak, sangatlah penting bagi petugas kesehatan menyelidiki

    persepsi masyarakat di wilayah pelayanannya tentang konsep sehat-sakit,

    penyebab individu berperilaku sakit tertentu untuk mendukung usaha-usaha

    preventif. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa karena keterbatasan yang

    dimiliki pusat-pusat pelayanan kesehatan, mereka tidak mencoba mengerti

    penyebab persepsi tertentu berkembang di masyarakat, padahal hal ini sebenarnya

    adalah langkah awal untuk mengubah persepsi-persepsi keliru yang ada di

    masyarakat tersebut ke konsep yang lebih objektif. Petugas kesehatan masih

    mempraktikkan paradigma sehat-sakit dan perilaku sakit dengan sedapat mungkin

    menerapkan kriteria medis yang dianggap lebih objektif berdasarkan gejala yang

    tampak pada penderita dengan menerapkan diagnosis terhadap kondisi fisik

    pasiennya. Perbedaan persepsi antara petugas kesehatan dan masyarakat inilah

    yang menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan.

    Kembali ke konsep bahwa masyarakat mempunyai pendapat sendiri

    tentang suatu penyakit, adalah penting untuk melibatkan masyarakat dalam

    membentuk pemahaman yang benar tentang masalah-masalah kesehatan yang

    ditemukan di lingkungan sosialnya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa

    mengubah kepercayaan kelompok lebih sulit dibandingkan dengan kepercayaan

    individu, karena kepercayaan individu sifatnya lebih subjektif dan relatif

    dibandingkan dengan kepercayaan kelompok yang memiliki intensitas yang lebih

    kuat karena didukung oleh individu-individu yang lebih banyak, apalagi jika

    kepercayaan tersebut didukung oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat.

  • 8/10/2019 S2-2013-308464-chapter1

    8/12

    8

    Dukungan sosial sebenarnya dimulai dari lingkungan terdekat si penderita

    yaitu keluarga, kemudian bergerak keluar melibatkan anggota masyarakat atau

    bahkan teman-teman sesama penderita. Dukungan sosial akan membantu individu

    mengelola dan membentengi diri dari efek negatif stigma. Lingkungan yang

    suportif menerima penderita dengan menciptakan lingkungan yang positif akan

    merangsang penderita membangun rasa percaya diri dan kesanggupan diri

    sementara pada saat yang bersamaan berusaha mengatasi masalah psikologis

    akibat penyakit yang dideritanya. Keberadaan dukungan sosial yang positif

    meminimalisir stres yang disebabkan HIV (Vyavaharkar et al., 2010).

    Penelitian lain menemukan, keyakinan anggota keluarga dan perilaku

    mereka yang negatif terhadap anggota keluarga yang menderita penyakit tertentu,

    akan berkontribusi terhadap pembentukan konsep tentang makna memiliki

    penyakit tersebut dan pembentukan persepsi pada penderita tentang stigma terkait

    dengan penyakit yang dideritanya. Orangtua yang percaya bahwa anak-anak

    mereka yang menderita epilepsi akan terstigmatisasi, percaya bahwa epilepsi akan

    membatasi penderitanya, menghasilkan lebih banyak masalah terkait dengan

    perilaku anak-anak mereka sehari-hari dibandingkan dengan orangtua yang tidak

    menyampaikan kepercayaan mereka tersebut kepada anak-anaknya (Morrell,

    2002).

    Tenaga kesehatan juga perlu diedukasi terkait dengan persepsi-persepsi

    negatif akibat suatu penyakit. Petugas kesehatan atau orang-orang yang

    berhubungan dengan merawat penderita perlu memahami bahwa dukungan yang

    negatif terhadap stigma dan akibat dukungan sosial terhadap penderita akan

    mengurangi masalah-masalah sosial penderita, sehingga mereka perlu menjalin

    ikatan emosional dengan penderita, tidak hanya fokus pada upaya kuratif.

    Dukungan positif dapat dimulai dengan melakukan upaya-upaya yang bersifat

    promosi kesehatan.

    Kegiatan promosi kesehatan yang dilaksanakan oleh Puskesmas Purwosari

    dalam upaya pemberantasan penyakit herpes masih dalam bentuk saran dari

    petugas kesehatan kepada penderita ketika berobat ke puskesmas. Tidak ada

    program promosi kesehatan terkait dengan herpes yang dilaksanakan di

  • 8/10/2019 S2-2013-308464-chapter1

    9/12

    9

    kecamatan ini. Sebenarnya, kegiatan promosi kesehatan diperlukan untuk

    mendorong individu yang terkena atau belum terkena penyakit mengenali gejala

    dari herpes, segera mencari pengobatan apabila individu atau orang lain di

    sekitarnya terlihat menderita kelainan pada kulit serta menemukan saran untuk

    mencegah penularannya. Menurut petugas surveilans Puskesmas Purwosari, tidak

    adanya program khusus bagi penderita herpes disebabkan oleh kurangnya jumlah

    petugas di puskesmas tersebut. Hal ini dianggap sebagai salah satu faktor

    penyebab kegiatan pemberantasan penyakit menular di wilayah Puskesmas

    Purwosari tidak maksimal.

    Kendala lain adalah kurangnya keahlian petugas kesehatan dalam

    menentukan diagnosis penyakit. Menurut dokter umum di Puskesmas Purwosari,

    beberapa petugas kesehatan yang ada (bidan dan perawat) masih mengalami

    kesulitan dalam mendiagnosis penyakit herpes. Hal ini terlihat dari keputusan

    mengelompokkan herpes, herpes simpleks, dan herpes zoster ke dalam klasifikasi

    herpes simpleks. Keahlian dalam menentukan diagnosis dibutuhkan untuk

    mendukung ketepatan dalam pemberian obat yang sesuai bagi penderita.

    Keterbatasan keahlian dalam menentukan diagnosis oleh petugas medis

    perlu diketahui untuk dicarikan jalan keluar, agar petugas medis tidak merasa

    kurang maksimal dalam melaksanakan tugasnya dan memiliki kompetensi,

    setidaknya keahlian dasar yang diperlukan dalam menentukan diagnosis yang

    tepat dan perangkat yang mereka butuhkan dalam mendukung tugas mereka.

    Pemberdayaan keahlian petugas medis tidak hanya dari segi keilmuan penyakit,

    namun juga keterampilan dalam merancang dan melakukan kegiatan promosi

    kesehatan untuk menolong masyarakat mengenal penyakit herpes, termasuk cara

    penularan dan pencegahannya. Kenyataan bahwa penyakit infeksi sulit dieliminasi

    menjadi tantangan berat bagi ilmu kesehatan. Kegiatan promosi kesehatan sebagai

    benteng utama untuk mencegah penularan penyakit herpes harus didukung oleh

    peningkatan ketahanan masyarakat terhadap permasalahan-permasalahan

    kesehatan yang ada di lingkungannya.

    Minimnya informasi tentang herpes, belum maksimalnya usaha

    pencegahan penularan, dan stigmatisasi terhadap penderita, menunjukkan adanya

  • 8/10/2019 S2-2013-308464-chapter1

    10/12

    10

    isu kesehatan yang berhubungan dengan interaksi perilaku dengan lingkungan

    fisik dan sosial budaya di masyarakat yang perlu diintervensi oleh petugas

    kesehatan melalui upaya-upaya promosi kesehatan. Keterbatasan-keterbatasan

    sumber daya penyedia layanan kesehatan dalam melaksanakan program promosi

    kesehatan mengisyaratkan perlunya melibatkan masyarakat di wilayah

    layanannya.

    B.

    Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai

    berikut: Bagaimana persepsi, stigma dan dukungan sosial dikaitkan dengan

    perilaku pencegahan penularan penyakit herpes di Desa Giripurwo, Kecamatan

    Purwosari?

    C.

    Tujuan Penelitian

    1.

    Tujuan umum

    Mendapatkan informasi tentang persepsi, stigma dan dukungan sosial

    menurut orang yang hidup dengan herpes (people living with herpes/PLWH),

    masyarakat dan petugas kesehatan berkaitan dengan penyakit herpes dalam

    rangka meningkatkan peran serta masyarakat dan tenaga kesehatan terhadap

    upaya-upaya promosi kesehatan untuk mencegah penularan penyakit herpes.

    2. Tujuan khusus

    a. Mengetahui persepsi PLWH, masyarakat di Desa Giripurwo dan petugas

    kesehatan tentang penyakit herpes serta dampak infeksi herpes terhadap

    kualitas hidup penderitanya.

    b.

    Mengetahui stigma dan dukungan sosial yang ada di masyarakat dan

    petugas terhadap penderita penyakit herpes.

    c.

    Mengetahui bentuk promosi kesehatan yang mengadopsi kearifan lokal

    dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dan petugas kesehatan

    berkaitan dengan perilaku pencegahan penularan penyakit herpes.

  • 8/10/2019 S2-2013-308464-chapter1

    11/12

    11

    D. Manfaat Penelitian

    1.

    Bagi puskesmas

    Sebagai masukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, kegiatan

    promosi kesehatan dan pencegahan penyakit herpes di Desa Giripurwo

    (khususnya) dan masyarakat Kecamatan Purwosari (umumnya), mengingat

    setiap tahun jumlah penderita penyakit ini meningkat namun tidak termasuk

    dalam penyakit yang harus dilaporkan secara rutin.

    2.

    Bagi institusi pendidikan

    Menambah literatur tentang penyakit herpes di Indonesia demi

    pengembangan ilmu kesehatan masyarakat di bidang ilmu perilaku dan

    promosi kesehatan.

    3.

    Bagi penulis

    Sebagai upaya pembelajaran dalam rangka meningkatkan pengalaman

    penemuan kasus di lapangan dan mengkaji dari perspektif ilmu perilaku dan

    promosi kesehatan.

    E. Keaslian Penelitian

    Penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap herpes di Kecamatan

    Purwosari Kabupaten Gunungkidul, sepengetahuan penulis, belum pernah

    dilakukan. Beberapa penelitian tentang persepsi penyakit infeksi di antaranya

    penelitian yang dilakukan oleh:

    1. Suryanda (2006) tentang persepsi masyarakat terhadap penyakit kusta,

    suatu studi kasus di Kecamatan Cambai Pramubulih, bertujuan

    memperoleh gambaran tentang persepsi masyarakat dan petugas kesehatan

    dan penderita/mantan penderita kusta dalam upaya meningkatkan peran

    serta masyarakat terhadap pemberantasan kusta. Persamaan dengan

    penelitian ini pada jenis penelitian, yaitu kualitatif dengan rancangan studi

    kasus deskriptif. Perbedaannya pada jenis penyakit yang diteliti, lokasi

  • 8/10/2019 S2-2013-308464-chapter1

    12/12

    12

    penelitian, masalah penelitian, tujuan penelitian dan landasan teori yaitu

    health belief model(HBM).

    2.

    Duana (2011) tentang persepsi masyarakat Bali terhadap penyakit rabies.

    Penelitian tersebut dilakukan bertujuan untuk mendapatkan gambaran

    yang mendalam mengenai persepsi masyarakat Bali terhadap penyakit

    rabies, upaya pencegahan dan penanggulangannya. Persamaan dengan

    penelitian yang dilakukan ini pada jenis penelitian, yaitu kualitatif dengan

    pendekatan fenomenologi dan mempertimbangkan aspek budaya dalam

    pembentukan persepsi masyarakat terhadap topik yang diteliti.

    Perbedaannya terletak pada jenis penyakit yang diteliti, lokasi penelitian,

    masalah penelitian, tujuan penelitian dan landasan teori yang digunakan.

    3. Gamelia (2008) yaitu persepsi masyarakat tentang malaria dalam

    hubungannya dengan perilaku pencegahan malaria di wilayah kerja

    Puskesmas Kemranjen I Kabupaten Banyumas. Perbedaan dengan

    penelitian yang dilakukan ini pada jenis penyakit yang diteliti, lokasi

    penelitian, jenis penelitian yaitu observasional dengan pendekatan cross

    sectional, masalah penelitian dan tujuan penelitian. Persamaannya pada

    landasan teori yang digunakan, yaitu HBM.