PENDAHULUAN A. Latar...

35
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diskursus mengenai kebebasan kehendak selalu menarik dan menantang, sebab persoalan kebebasan kehendak adalah salah satu tema yang penting dan esensial di dalam kehidupan manusia. Bertocci (1951: 234) menyebutkan bahwa jika tidak ada kebebasan kehendak maka “benar” dan “salah” menjadi tidak bermakna. Persoalan kebebasan kehendak menyentuh hampir seluruh hal-hal yang dekat dengan kehidupan manusia, baik secara sadar maupun tidak sadar. Meskipun demikian pemahaman umum bahwa manusia memiliki pilihan bebas terus memunculkan pertanyaan yang tidak pernah berakhir: apakah pilihan bebas benar-benar ada atau hanya sebuah ilusi? Apakah manusia bisa bertindak sesuai dengan apa yang ia kehendaki, atau ia hanya bertindak berdasarkan apa yang sudah terjadi pada dirinya? Jika takdir dan nasib itu ada, maka apakah manusia masih bisa dikatakan memiliki kehendak bebas? Jika Tuhan itu ada, maka apakah manusia bisa memperoleh kebebasan? Jika segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya maka apakah perbuatan manusia masih bermakna dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral? KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT AGAMA VICTOR DELVY TUTUPARY Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Transcript of PENDAHULUAN A. Latar...

Page 1: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diskursus mengenai kebebasan kehendak selalu menarik dan menantang,

sebab persoalan kebebasan kehendak adalah salah satu tema yang penting dan

esensial di dalam kehidupan manusia. Bertocci (1951: 234) menyebutkan bahwa

jika tidak ada kebebasan kehendak maka “benar” dan “salah” menjadi tidak

bermakna. Persoalan kebebasan kehendak menyentuh hampir seluruh hal-hal yang

dekat dengan kehidupan manusia, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Meskipun demikian pemahaman umum bahwa manusia memiliki pilihan bebas

terus memunculkan pertanyaan yang tidak pernah berakhir: apakah pilihan bebas

benar-benar ada atau hanya sebuah ilusi? Apakah manusia bisa bertindak sesuai

dengan apa yang ia kehendaki, atau ia hanya bertindak berdasarkan apa yang

sudah terjadi pada dirinya? Jika takdir dan nasib itu ada, maka apakah manusia

masih bisa dikatakan memiliki kehendak bebas? Jika Tuhan itu ada, maka apakah

manusia bisa memperoleh kebebasan? Jika segala sesuatu telah ditentukan

sebelumnya maka apakah perbuatan manusia masih bermakna dan dapat

dipertanggungjawabkan secara moral?

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 2: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

2

Ide tentang kebebasan kehendak bukan merupakan ide yang baru tetapi telah

diwariskan dari zaman kuno (Frede, 2011: 1). Ide tersebut dapat ditelusuri secara

historis mulai dari drama-drama tragedi Yunani kuno yang ditulis Homer dan

Sophocles; Plato dan Aristoteles; Stoisisme dan Epikureanisme; Agustinus,

Anselmus dan Thomas Aquinas pada abad pertengahan; Leibniz, Descartes, Hume

dan Kant; Schopenhauer dan Freud; Nietzsche, Kierkegaard dan filsuf

eksistensialisme seperti Sartre dan Camus; sampai pada filsuf kontemporer seperti

William James, Wittgenstein, Whitehead dan sebagainya, hingga filsuf muda

sekaligus ilmuwan ateis seperti Sam Harris.

Historisitas yang panjang tersebut menunjukkan bahwa perdebatan di seputar

persoalan kebebasan kehendak telah menjadi salah satu isu sentral di dalam

filsafat. Kebebasan kehendak, seperti beberapa isu sentral filsafat lainnya, bukan

merupakan isu tunggal yang berdiri sendiri. Persoalan kebebasan kehendak erat

kaitannya dengan persoalan-persoalan yang lain seperti moralitas, kosmologi,

politik, ekonomi, agama, psikologi, sains, bahkan hukum dan kriminologi. Hal ini

menunjukkan bahwa persolan kebebasan kehendak meliputi wilayah yang luas.

Misalnya, dalam kaitannya dengan moralitas, kebebasan kehendak berhubungan

erat dengan persoalan tanggung jawab moral; dalam kosmologi, kebebasan

manusia berhubungan dengan letak dan posisi manusia di dalam alam semesta dan

hukum fisika; kaitannya dengan psikologi, persoalan kebebasan berhubungan

dengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

sains, khususnya dalam neurologi, persoalan kebebasan berhubungan dengan

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 3: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

3

neuron-neuron yang ada di dalam otak manusia; di dalam agama, persoalan

kebebasan kehendak berkaitan dengan relasi antara manusia dengan Tuhan, juga

berhubungan erat dengan persoalan kejahatan.

Pada zaman pra-pencerahan, manusia percaya bahwa kebebasan adalah

rahmat yang diberikan Tuhan yang maha kuasa kepada manusia, seperti yang

tercermin dalam pemikiran Agustinus dan Anselmus. Pada zaman pencerahan,

kebebasan rasio telah menuntun manusia pada pencapaian-pencapaian baru dalam

ilmu pengetahuan, dan juga bebas dan merdeka dari segala macam otoritas. Pada

zaman kontemporer, kebebasan semakin terasa mendesak, sebab kebebasan tidak

hanya sekedar disadari sebagai bagian dari diri tetapi juga sebagai harapan dan

keinginan untuk membentuk kehidupan yang lebih bernilai. Kebebasan menjadi

identik dengan ideal tertinggi kemanusiaan. Kebebasan akhirnya tiada lain berarti

“tahap kemanusiaan tertinggi” alias humanum (Hans Kung); atau juga biasa

disebut “kematangan identitas” (Erik Erikson); “kesadaran moral universal”

(Kohlberg); “keutuhan kepribadian”, dan sebagainya (Sugiharto, 2000: 262).

Roth menyebutkan bahwa pada zaman kontemporer, kesadaran akan

kebebasan telah menjadi jantung pemahaman diri manusia. Terlepas dari segala

keterbatasan, manusia semakin memahami bahwa dunia yang ditempatinya adalah

sebuah dunia yang berubah dan berproses, yang mana manusia merupakan

kekuatan-kekuatan yang aktif dan bebas dalam menentukan arah dunia dan

kehidupan manusia itu sendiri (Roth, 2003: 19). Manusia kontemporer tidak

hanya menyadari kebebasan sebagai bagian integral di dalam dirinya yang

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 4: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

4

mengubah pandangannya terhadap dunia, tetapi juga menaruh kebebasan ke

dalam keinginan dan harapan yang utama. Harapan agar menjadi manusia yang

bebas, baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun hukum. Dengan demikian,

kebebasan telah menjadi common sense bagi manusia modern.

Harapan dan optimisme yang dihembuskan oleh angin kebebasan nyatanya

juga turut mengikutsertakan hal-hal yang justru bertentangan dengan prinsip-

prinsip kebebasan: Kolonialisme dan imperialisme, Perang Dunia I dan II,

Nazisme, Fasisme, Apartheid, Chernobyl, ancaman perang nuklir dan sebagainya.

Di dalam masyarakat modern, yang secara filosofis didasarkan oleh paradigma

individualistik dan dualisme-mekanistik, terbukti telah membawa krisis

multidimensi yang mendalam bagi peradaban manusia. Krisis global yang

menggelisahkan ini dilukiskan dengan baik oleh Fritjof Capra di dalam karyanya

The Turning Point:

Pada awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual (Capra, 1997: 3).

Krisis multidimensional dalam skala global tersebut mengakibatkan manusia

kontemporer hidup dalam sebuah dunia yang ambigu di mana perasaan optimisme

dan harapan, yang ditumbuhkan oleh pengalaman dan keinginan akan kebebasan,

sering berbenturan dengan perasaan akan datangnya malapetaka, yang disebabkan

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 5: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

5

oleh pengalaman manusia mengenai kemungkinan kejahatan riil yang belum

pernah terjadi sebelumnya (Roth, 2003: 21). Ambiguitas manusia modern antara

kebebasan dan kejahatan, menandakan bahwa persoalan kebebasan kehendak

harus dikaji ulang.

Di dalam filsafat agama kontemporer, persoalan kebebasan kehendak dan

kejahatan adalah persoalan yang pelik dan membingungkan. Alasan adanya

kejahatan real yang semakin meningkat, membuat ateisme menolak

kemahakuasaan Tuhan, dan pada akhirnya menolak keberadaan Tuhan.

Bagaimana mungkin Tuhan yang Mahakuasa, Mahatahu, bisa membiarkan adanya

kejahatan di dunia? Jikalau apa yang diciptakan Tuhan itu baik adanya maka

mengapa ada kejahatan? Apabila kebebasan itu diberikan Tuhan kepada manusia

sebagai sesuatu yang baik, maka mengapa kebebasan manusia justru melahirkan

adanya kejahatan? Jika takdir Tuhan itu ada maka apakah kebebasan manusia

sesungguhnya adalah ilusi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa

persoalan kebebasan kehendak sesungguhnya mengemuka atau pertama kali

muncul dalam konteks agama (Kane, 2005: 147).

Persoalan kebebasan kehendak dalam konteks filsafat agama dan teologi telah

mulai dibahas sejak abad pertengahan oleh Agustinus dalam dua karyanya, On

The Free Choice dan On Grace and Free Choice. Sedangkan pada Anselmus,

terdapat pada dua karyanya, On Free Will dan On the Fall of the Devil. Pada

Agustinus dan Anselmus, juga pada Thomas Aquinas, kebebasan kehendak

manusia dilihat dalam hubungannya dengan sifat, kebebasan dan pra-pengetahuan

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 6: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

6

Tuhan. Namun, persoalan kebebasan kehendak berkembang sesuai dengan

perkembangan zaman. Apa yang menjadi perhatian Agustinus, Anselmus dan

Aquinas, pada zaman modern telah berkembang dalam bentuk yang semakin

kompleks dan multidimensional. Pada zaman modern, persoalan kebebasan

kehendak tidak hanya berhubungan dengan permasalahan teologis semata, tetapi

juga berpengaruh dan dipengaruhi oleh kemajuan sains. Kebebasan manusia tidak

selalu berhubungan dengan Tuhan, tetapi juga kepada sesama manusia dan

lingkungannya.

Apabila persoalan kebebasan kehendak ditarik ke dalam konteks agama,

maka perubahan-perubahan yang terjadi di dalam tubuh agama juga

mempengaruhi persoalan kebebasan kehendak. Di dalam masyarakat arkhais,

agama mengambil peranan penting untuk melindungi seseorang dari kekuatan

alam yang jahat. Seperti yang dikatakan Freud (1961: 21), bahwa ide-ide religius

pada awalnya lahir dari dorongan kebutuhan akan adanya pertahanan dalam diri

seseorang untuk melawan kekuatan alam yang menghancurkan. Tetapi, di era

modern, pandangan, konsep dan definisi agama mengalami perubahan seiring

dengan perkembangan sains dan perubahan sosial di dalam masyarakat. Terlepas

dari segala angin perubahan dan kemajuan yang menyertainya, modernisme

membawa sikap skeptisisme terhadap agama yang semakin memuncak dan tidak

terdamaikan. Hal ini jelas berpengaruh pada ide mengenai kebebasan kehendak.

Pada tahap awal modernisme, Galileo, Descartes, Newton telah menginisiasi

konsep ontologi dualistik. Dualisme membagi dunia ke dalam dua substansi,

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 7: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

7

yakni jiwa dan materi. Hanya substansi jiwa yang bebas, sedangkan substansi

materi bergerak secara mekanistik sesuai dengan hukum-hukum fisika. Dualisme

dalam perkembangannya bergeser kepada materialisme yang tidak lagi mengakui

adanya jiwa sebagai suatu substansi yang bebas. Jiwa, mental dan aspek non-

material lainnya hanya merupakan fenomena yang terjadi di dalam otak manusia.

Dengan demikian kebebasan manusia ditolak, sebab seperti halnya perilaku

sebuah materi, perilaku manusia telah dideterminasi sesuai dengan hukum-hukum

alam dan fisika yang dapat diprediksi. Dengan demikian, di abad modern, pada

satu sisi, manusia memercayai bahwa kebebasan adalah hal yang penting, namun

pada sisi lain kemajuan sains justru mengecilkan arti kebebasan pada manusia.

Griffin membenarkan hal tersebut, ia sependapat dengan Whitehead yang

menjelaskan bahwa di abad modern, sejak kelahirannya, terdapat dua intuisi yang

saling berkonflik yakni antara intuisi terhadap kebebasan dengan intuisi terhadap

determinisme. Griffin mengkategorikan intuisi terhadap kebebasan sebagai salah

satu dari apa yang disebut sebagai “hard-core commonsense”. Kebebasan yang

dimaksud Griffin adalah kebebasan dalam artian penentuan-diri (self-

determination) yang meliputi kemampuan untuk memilih di antara beberapa

alternatif, dan juga kemampuan untuk bertindak sebaliknya. Pada sisi lain, intuisi

terhadap determinisme digolongkan sebagai “soft-core commonsense”. Intuisi

tersebut berakar pada perkembangan ilmu fisika modern melalui observasi dan

eksperimentasi saintifik terhadap perilaku benda-benda – seperti bintang, laut,

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 8: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

8

lempengan tektonik, bola billiard dan komputer – yang sepenuhnya bersifat

deterministik dan dapat diprediksi.

Dua intuisi yang saling berkonflik tersebut memberikan warna yang unik

pada perdebatan di seputar persoalan kebebasan kehendak di abad modern, jika

dibandingkan dengan perdebatan di abad-abad sebelumnya. Hal ini disebabkan

karena pada zaman Yunani kuno hingga abad pertengahan, kemajuan ilmu

pengetahuan belum terlalu maju sehingga tidak cukup signifikan untuk

memengaruhi doktrin mengenai kebebasan kehendak.

Berdasarkan uraian di atas, penulis beranggapan bahwa persoalan kebebasan

kehendak di abad modern sangat menarik untuk diteliti. Ada beberapa alasan

mengapa pemikiran David Ray Griffin dipakai sebagai objek material dalam

penelitian ini. Pertama, pemikiran David Ray Grifiin menjadi sangat menarik

disebabkan pemikirannya tentang kebebasan kehendak disesuaikan secara

kontekstual dengan perkembangan ilmu pengetahuan seperti dalam ilmu fisika,

biologi dan psikologi.

Kedua, pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan kehendak

berdasarkan pada teologi postmodernisme rekonstruktif, yang disebut Griffin

(2005a: 18) sebagai teisme naturalistik yang berbeda dengan teisme

supernaturalistik dalam teologi zaman pramodern dan modern awal, juga berbeda

dengan naturalisme nonteistik dalam pandangan dunia modern akhir. Sehingga

konsep kebebasan kehendak yang dikemukakan Griffin adalah revisi terhadap

konsep kebebasan kehendak yang dikemukakan oleh pandangan supernaturalistik

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 9: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

9

zaman pramodern seperti dalam pemikiran Agustinus, Anselmus dan Thomas

Aquinas. Griffin mengubah pandangan mengenai sifat dan pengetahuan Tuhan

yang mahakuasa, sempurna dan mahatahu, yang berimbas pada nihilnya

kebebasan kehendak pada manusia dan menjadi awal dari persoalan kejahatan.

Griffin juga mengkritik konsep-konsep modernisme seperti dualisme, deisme,

materialisme dan ateisme yang membawa pengaruh besar terhadap penolakan

terhadap kebebasan kehendak.

Ketiga, pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan kehendak tidak

hanya berhubungan dengan relasi antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga

berkaitan dengan relasi antara manusia dengan sesama manusia dan

lingkungannya. Pandangan ini didasarkan oleh keyakinan Griffin bahwa agama

selain bersifat individual tetapi juga memiliki visi pandangan dunia (worldview)

yang bersifat komunal. Worldview ini menunjukkan bahwa manusia adalah

makhluk yang religius, yang selalu berupaya untuk mencari makna (meskipun

secara tidak sadar), dan bahwa ini dilakukan dengan berusaha untuk bersikap

selaras dengan bentuk kenyataan dunia yang paling mendasar sejauh pemahaman

(Griffin, 2005b: 191). Dengan demikian agama tidak hanya sekedar iman

kepercayaan tetapi juga aksi praktis yang bermanfaat terhadap sesama manusia

dan lingkungan. Dengan landasan pemikiran tersebut, kebebasan kehendak tidak

hanya berhenti sebagai persoalan manusia dengan dirinya sendiri, kejahatan, atau

persoalan manusia dengan Tuhan, tetapi juga persoalan kebebasan manusia dalam

berkreativitas demi membangun sebuah dunia yang lebih baik di masa depan.

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 10: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

10

Alasan keempat, dalam rangka membangun sebuah dunia yang lebih baik di

masa depan, Griffin mengungkapkan arti pentingnya kebebasan kehendak dalam

hubungannya dengan pluralisme keberagamaan dalam tingkat global. Griffin

(2005c: 3-4) berpendapat bahwa pluralisme adalah salah satu hal yang vital dan

penting sebagai solusi atas krisis global yang terjadi sekarang seperti perang,

imperialisme, senjata penghancur massal, pelanggaran HAM, genocide, dan krisis

lingkungan.

Berdasarkan alasan-alasan seperti yang diuraikan di atas, peneliti

berasumsi bahwa pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan kehendak

sangat relevan dan mampu memberikan kontribusi penting bagi proses kehidupan

keberagamaan di Indonesia. Kenyataan menunjukkan bahwa kehidupan

keberagamaan di Indonesia tidak pernah lepas dari masalah, oleh sebab itu

peneliti berharap bahwa pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan

kehendak dapat memperluas khazanah pemikiran dalam mencapai solusi terbaik

dalam memecahkan masalah yang muncul dalam proses kehidupan keberagamaan

di Indonesia.

1. Perumusan Masalah

Masalah yang melatarbelakangi penelitian tesis ini dapat dirumuskan

sebagai berikut:

a. Bagaimana konsep umum mengenai kebebasan kehendak?

b. Apa pokok-pokok pemikiran David Ray Griffin?

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 11: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

11

c. Apa pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan kehendak?

2. Keaslian Penelitian

Diskursus mengenai kebebasan manusia adalah objek umum dalam ilmu

filsafat yang telah banyak diteliti sebelumnya. Dalam lingkungan akademik

Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, penulis menemukan beberapa peneliti

yang telah membahas kebebasan manusia dalam sudut pandang yang beragam,

antara lain:

“Refleksi tentang Kebebasan dalam Teologi Islam Rasional: Telaah

Filosofis Pemikiran Harun Nasution” (tesis, M. Baharudin, 2001). M.

Baharuddin menemukan bahwa dalam pemikiran Harun Nasution,

kebebasan yang dimiliki manusia tidak bersifat absolut, sebab kebebasan

manusia dibatasi oleh dua hal yaitu: unsur materi yang terdapat di dalam

diri manusia, dan sunnatullah. Harun Nasution juga menyatakan bahwa

Tuhan tidak memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak. Kemutlakan

Tuhan telah dibatasi oleh beberapa hal, yaitu: unsur materi yang terdapat

pada diri manusia yang sifatnya terbatas, pemikiran rasional dan

sunnatullah yang bersifat determinisme, serta kebebasan manusia.

Namun, menurut Harun Nasution hal-hal yang membatasi kekuasaan dan

kehendak Tuhan tersebut adalah atas kehendak Tuhan sendiri. Pemikiran

Harun Nasution tidak sejalan dengan konsep kebebasan Epikurus

maupun konsep kebebasan Jean-Paul Sartre yang menyingkirkan Tuhan,

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 12: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

12

namun paralel dengan aliran teologi Islam klasik Mu’tazilah dan

pemikiran pembaharauan Islam Muhammad Abduh.

“Makna Kebebasan Dalam Perspektif Filsafat Hannah Arendt” (tesis,

Ari Rohmawati, 2010). Ari Rohmawati menemukan bahwa dalam

pemikiran Hannah Arendt, kebebasan manusia bukan hal yang dapat

begitu saja dimiliki manusia. Kebebasan perlu diperjuangkan, dan salah

satu aktivitas manusia untuk mendapatkan kebebasan adalah dengan

tindakan politik yang dilakukan di dalam ruang publik dalam suatu badan

politik. Dengan demikian, hanya wilayah publik dalam suatu badan

politik yang mampu mewujudkan kebebasan manusia. Badan politik

yang dimaksud Arnedt adalah Negara yang memiliki badan hukum,

sehingga individu yang menjadi warga Negara akan mampu

merealisasikan dan kebebasannya

“Dimensi Ontologis Kebebasan Menurut Erich Fromm: Relevansinya

bagi Pengembangan Pers di Indonesia” (Disertasi, Nana Sutikna, 2013).

Nana Sutikna menemukan bahwa Erich Fromm memaknai kebebasan

sebagai orientasi struktur karakter dan sebagai kemampuan untuk

memilih. Erich Fromm mengkiritik bahwa manusia modern telah berhasil

meraih kebebasan negative (“bebas dari”), yakni bebas dari penentuan

naluri dan belenggu alam, namun belum mampu merealisasikan

kebebasan positif (“bebas untuk”), yakni untuk mencapai realisasi diri

yang produktif dan mandiri. Ada tiga dimensi ontologis dalam pemikiran

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 13: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

13

Erich Fromm mengenai kebebasan, yakni: (1) dimensi otonomi

kebebasan, (2) dimensi dinamika kebebasan, dan (3) dimensi materialitas

kebebasan. Dilihat dari dimensi pertama, kebebasan positif

mengimplikasikan prinsip bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi

daripada diri-individu yang unik. Dilihat dari dimensi kedua, kebebasan

berkembang sesuai dengan struktur karakter manusia/masyarakat. Dilihat

dari dimensi ketiga, kebebasan lebih berorientasi pada upaya pencapaian

kanikmatan materi dan penguasaan alam material.

Selain penelitian dalam bentuk tesis dan disertasi seperti yang telah

disebutkan di atas, penulis juga menemukan sebuah penelitian di dalam negeri

dalam bentuk buku yang ditulis oleh Dr. Nico Syukur Dister, berjudul Filsafat

Kebebasan (Kanisius, 1988). Buku tersebut membahas persoalan kebebasan

kehendak secara umum dengan mencoba menganalisis persoalan-persoalan

mendasar mengenai kebebasan kehendak, juga melihat perkembangan ide

mengenai kebebasan dalam lintasan sejarah. Namun, di dalam buku ini tidak satu

pun pemikiran David Ray Griffin disinggung.

Selain buku karya Dr Nico Syukur Dister yang terbit di dalam negeri, secara

global sudah banyak sekali penelitian dalam bentuk jurnal maupun buku yang

membahas mengenai kebebasan kehendak. Beberapa buku tersebut, penulis pakai

sebagai referensi dalam penelitian ini yang dapat dilihat dalam daftar pustaka.

Sejauh yang ditelusuri, penulis belum menemukan di dalam penelitian-penelitian

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 14: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

14

tersebut yang secara khusus membedah pemikiran David Ray Griffin mengenai

kebebasan kehendak ditinjau dari perspektif filsafat agama. Akan tetapi, tidak

menutup peluang bahwa mungkin saja sudah ada penelitian mengenai subyek

tersebut di luar jangkauan pengetahuan penulis. Meskipun demikian, penulis

berkeyakinan bahwa penelitian ini bukan merupakan plagiasi atas karya penulis

yang lain.

3. Manfaat Penelitian

Penelitian filsafat tidak hanya sekedar petualangan intelektual belaka, tetapi

juga mampu menghembuskan angin perubahan sosial dalam kehidupan manusia.

Dengan demikian, filsafat tidak hanya sekedar menjadi metode berpikir kritis

tetapi juga sebagai jalan hidup (way of life). Filsafat tidak hanya berkenaan

dengan aspek teoritis abstrak, tetapi juga dapat membawa manfaat dalam hal

praksis. Berdasarkan harapan yang indah inilah peneliti mengharapkan penelitian

ini membawa manfaat sebagai berikut:

a. Bagi ilmu filsafat: Oleh karena persoalan kebebasan kehendak selalu

berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman maka

urgensi persoalan dan pemecahan masalah memiliki perbedaan penekanan

di tiap zaman. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan mampu

menyajikan pemikiran yang mendalam mengenai persoalan kebebasan

kehendak, khususnya ditinjau dalam perspektif filsafat agama. Secara

intelektual, penelitian ini juga diharapkan membawa manfaat dalam

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 15: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

15

memperkaya khazanah pemikiran dalam usaha untuk memecahkan

persoalan kehidupan keberagamaan di Indonesia.

b. Bagi bangsa dan negara: Penelitian ini diharapkan mampu membuka

wawasan pembaca dan masyarakat secara luas bahwa kebebasan kehendak

adalah ideal kemanusiaan yang harus diperjuangkan di dalam kehidupan

keberagamaan di tingkat global mau pun di Indonesia pada khususnya

dapat menjadi lebih baik dan berkualitas di tengah arus modernitas.

c. Bagi peneliti: Penelitian ini diharapkan memberikan pencerahan

intelektual bagi penulis, tidak hanya mengenai permasalahan kebebasan

kehendak, tetapi dalam tingkap-tingkap kehidupan yang lebih luas.

B. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah penelitian, maka penelitian ini bertujuan

untuk:

1. Mendeskripsikan persoalan kebebasan kehendak secara umum

2. Mendeskripsikan pokok-pokok pemikiran David Ray Griffin

3. Menganalisis pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan kehendak

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 16: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

16

C. Tinjauan Pustaka

David Ray Griffin adalah professor filsafat agama dan teologi di Sekolah

Teologi Claremont. Bersama dengan koleganya John B. Cobb Jr., ia mendirikan

Pusat Studi Proses yang khusus meneliti dan mengembangkan filsafat proses yang

dipelopori oleh Alfred North Whitehead dan Charles Hartshorne. Bahkan Griffin

(bersama Daniel W. Sherburne), mengedit karya utama Whitehead, Process and

Reality, terbitan Macmillan. Secara holistik, bisa dikatakan bahwa filsafat proses

adalah bagian integral yang menjadi fondasi bagi bangunan filsafat agama Griffin.

Oleh sebab itu Griffin digolongkan ke dalam kelompok postmodern yang

menggerakkan dan menjabarkan pemikiran-pemikiran Whitehead ke dalam

gambaran-dunia baru (Sugiharto, 1996: 31).

Dalam sebuah pengantar buku antologi “From Modernism to

Postmodernism”, Lawrence Cahoone menyebutkan nama David Ray Griffin dan

karya-karyanya masuk ke dalam keluarga besar postmodern di samping Jacques

Derrida, Michel Foucault, Gilles Deleuze, Jean-Francois Lyotard, Luce Irigaray,

Mark Taylor, Jean Baudrillard, Charles Jencks, Ihab Hasan, Henry Giroux,

Richard Rorty. David Ray Griffin ditempatkan sebagai filsuf postmodern yang

mengaplikasikan secara positif konsep postmodernism ke dalam kosmologi.

Berdasarkan pembacaan atas salah satu tulisan Griffin yang berjudul The

Reenchantment of Science, Cahoon menyebut Griffin telah membuat sebuah

varian baru di antara para pemikir postmodernis lainnya, yakni dengan

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 17: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

17

menampilkan filsafat postmodernisme yang spekulatif. Griffin mengembangkan

filsafat spekulatif ala Whitehead seperti yang dijelaskan dalam karya utama

Whitehead, Process and Reality, yakni sebagai upaya untuk membingkai suatu

sistem ide-ide umum yang bersifat koheren, logis dan pasti, yang dengan setiap

unsur pengalaman dapat ditafsirkan dan diterapkan secara adekuat (Whitehead,

1969: 5). Berbekal filsafat spekulatif inilah, Griffin mengkombinasikannya

dengan memakai strategi-strategi postmodern terhadap konsep filsafat modern

mengenai Tuhan dan alam (nature) untuk mengajukan konsepsi positif yang

disesuaikan dengan arah postmodernisme yang anti-dualistik (Cahoon, 1996:

271).

Cahoon (1996: 665) meneropong pemikiran Griffin lebih kepada

kontribusinya di dalam mengembangkan kosmologi postmodern. Kosmologi

postmodern Griffin dipengaruhi oleh dua hal yakni perkembangan sains abad 20

(relativitas umum, teori kuantum, “hipotesis Gaia”, pengetahuan tentang interaksi

pikiran-tubuh di dalam imunologi), dan filsafat organisme Whitehead. Kosmologi

Griffin menolak karakteristik kosmologi filsafat modern yang didasarkan pada

mekanisme, atomisme, determinisme, dan dualisme Cartesian mengenai pikiran-

tubuh. Sebagai alternatif, Griffin mengajukan konsep kosmologi postmodern yang

holistik dan indeterminis.

Dalam buku Where Writing Begins: A Postmodern Reconstruction, Michael

Carter menunjukkan bahwa cara terbaik untuk memahami postmodernisme

rekonstruksi Griffin adalah dengan melihat tulisan Griffin, “Postmodern Theology

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 18: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

18

and A/Theology: A Response to Mark C. Taylor,” yang merupakan tanggapan

terhadap karya Mark C. Taylor, Erring: A Post-modern A/Theology. Taylor, yang

dipengaruhi oleh Derrida, melakukan dekonstruksi terhadap empat fondasi utama

dalam pemikiran Barat: Tuhan, diri (self), sejarah, dan teks. Di tengah kekosongan

yang ditinggalkan oleh dekonstruksi, yang ada hanya tulisan, indeterministik,

perpindahan terus-menerus – sebuah permainan kata yang tiada akhir. Oleh sebab

itu, Taylor menawarkan dekonstruksi teologi yang tidak didasarkan pada tulisan.

Griffin tidak menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap model pemikiran

postmodern yang dekonstruktif. Sebab, menurut Griffin, ide rekonstruksi selalu

menyiratkan dua hal, yakni dekonstruksi dan rekonstruksi itu sendiri.

Dekonstruksi selalu tersirat di dalam rekonstruksi. Griffin setuju dengan

postmodernisme dekonstruktif Taylor dalam hal mengkritik modernitas yang telah

membunuh Tuhan pramodern dan memproyeksikan atribut-atribut yang

sebelumnya ada di dalam Tuhan ke dalam diri manusia dan masyarakat.

Akibatnya, di dalam modernisme akhir, meskipun sosok Tuhan telah dibuang,

namun atribut-atribut Tuhan tetap dipertahankan dan kemudian direpresentasikan

ke dalam totalitas ide dalam diri individu, kebenaran absolut dan dalam moralitas.

Totalitas kekuasaan Tuhan, sebagai pengatur dunia yang secara inheren terpisah

dari dunia, telah menjadi model bagi manusia modern.

Baik postmodernisme rekonstruktif maupun dekonstruktif setuju untuk

mengkritik konsep totalitas modernisme. Namun, solusi yang ditawarkan oleh

kedua kubu itu mengambil jalan yang berlainan. Terhadap visi totalitas

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 19: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

19

modernisme, kubu dekonstruksi mengeliminasi setiap kemungkinan yang

mengarah pada ketunggalan (oneness): tidak ada kebenaran dan diri yang tunggal;

tidak ada referensi linguistik di luar bahasa; tidak ada realitas di luar interpretasi;

tidak ada tujuan, maksud, atau makna di dalam sejarah; tidak ada kebaikan dan

kejahatan yang ultimate. Dengan demikian, kubu postmodernisme dekonstruksi

menolak adanya suatu pandangan dunia (antiworldview), sedangkan Griffin pada

kubu rekonstruktif menerima adanya pandangan dunia (worldview).

Perbedaan kedua antara kedua kubu ini adalah dalam menginterpretasi

modernitas, dan merespons kekeliruan yang dibawa oleh modernitas.

Dekonstruksi beroperasi dengan menggunakan asumsi-asumsi dasar, lalu

mendekonstruksi asumsi-asumsi tersebut secara ekstrim. Kubu dekonstruktif

mampu menyingkap aspek irasional di dalam modernitas, tetapi pada akhirnya

hanya berhenti di titik bahwa semua hanya permainan bahasa. Sehingga,

dekonstruksi postmodern justru menghasilkan kesimpulan yang absurd. Pada sisi

lain, postmodernisme rekonstruktif mengambil apa yang baik dari modernisme

dan membuang apa yang buruk.

Teolog Graham Ward (1997a: xl; 1997b: 588), meninjau Griffin sebagai

seorang teolog postmodern yang populer di Amerika Utara karena secara

sederhana mendahului kalangan teologi liberal yang menjadi mainstream saat itu

(tahun 1997), dengan mengelaborasi dua pemikir – Whitehead dan Hartshorne –

yang belum sepenuhnya dianggap sebagai filsuf postmodern. Griffin (2005: 15)

menolak teologi liberal modern, sebab teologi ini hanya menggunakan Tuhan

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 20: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

20

untuk memberi selubung religius pada cara pandang sekularisme terhadap realitas

nihilistik. Dalam beberapa hal, misalnya mengenai kehidupan setelah mati, Griffin

(2000: 238) menganggap teologi liberal modern terlalu mendasarkan diri pada

rasio dan bukti-bukti empiris.

Ward bahkan menyebut teologi yang diajukan Griffin lebih tepat disebut

sebagai animistic naturalistic theism, daripada disebut sebagai teologi

postmodern. Hal ini disebabkan karena Griffin percaya kepada energi kreatif yang

tidak hanya ada di dalam manusia tetapi juga ada di dalam setiap benda di dalam

dunia, termasuk batu.

Di dalam sebuah esai yang berjudul “David Ray Griffin and Constructive

Postmodern Communalism”, Terrence W. Tilley and Craig Westman (1995: 17-

27) melancarkan kritik yang berfokus pada pandangan Grifin mengenai

permasalahan ekologi dan agenda sosial. Mereka memberikan label kepada

Griffin sebagai seorang naturalistik, komunal, afirmatif, nondualistik,

antiantroposentris, nonmekanistik dan antiindividualistik. Rekonstruksi

postmodern ala Griffin menyediakan visi etika yang baru dengan tujuan untuk

mengubah dunia. Tilley dan Westman mengakui bahwa pemahaman Griffin

terhadap postmodern merupakan sesuatu yang unik, namun mereka masih

mempertanyakan apakah pemikiran Griffin dapat digolongkan sebagai

postmodern. Daripada postmodern, Tilley dan Westman justru malah

menggolongkan Griffin sebagai neoromantisme modern. Keraguan-raguan Tilley

dan Westman pada akhirnya mengarah pada bagaimana pemikiran Griffin tidak

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 21: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

21

hanya sekedar menginspirasi tetapi juga dapat dipraktekan. Jika tujuan Griffin

untuk mengubah dunia, maka Tilley dan Westman pesimis bahwa visi-visi yang

dikemukakan Griffin tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mengubah kultur

yang sudah mengakar kuat.

Carter (2003: 155) menyebutkan bahwa aspek terpenting dari rekonstruksi

postmodern Griffin bukan pada segi pengaruhnya, tetapi lebih pada perspektif

baru yang lebih segar dan radikal. Meskipun pemikiran Griffin tidak menjadi

kanon dalam pemikiran postmodern, namun Griffin telah membawa pengertian

atraktif dan berbeda mengenai bagaimana memahami diri sendiri, relasi antar

sesama, dan dengan alam. Selain itu, aspek terpenting dari filsafat rekonstruksi

postmodern Griffin adalah menjadi alternatif di antara dua ekstrim, yakni

fondasionalisme modernis dan antifondasionalisme dekonstruksi.

Di dalam Encyclopedia of Science and Religion terbitan Macmillan (2003:

340), Griffin secara umum digolongkan ke dalam deretan pemikir yang menjadi

pembela kebebasan kehendak (free will defense), dan secara khusus digolongkan

ke dalam essential free will theism atau yang dikenal juga sebagai free process

defense. Griffin mengusulkan konsep teisme yang mengakui kebebasan kehendak

dengan melihat Tuhan yang secara metafisis tidak sanggup mendeterminasi

keputusan makhluk ciptaannya secara sepihak.

Creatures possess self-determinative power that cannot be withdrawn or overridden by God, and the fact that individuals possess power for freedom is an eternal metaphysical law. God cannot circumvent these metaphysical laws of freedom, partly because God did not create them. God is not indictable for failing to prevent genuinely evil events from occurring because these

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 22: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

22

metaphysical laws prevent God from removing power and freedom away from creatures who misuse freedom (van Huyssteen, 2003: 340).

Konsep kebebasan kehendak yang dikemukakan Griffin dimaksudkan sebagai

solusi bagi persoalan kejahatan yang kerap kali digunakan oleh ateisme sebagai

alasan untuk menolak eksistensi Tuhan. Hipotesis yang dikemukakan Griffin

mendatangkan banyak kritikan dari para teisme lainnya, terutama mengenai figur

Tuhan yang bukan merupakan pencipta hukum-hukum dasar metafisika yang

menggerakan eksistensi aktual. Konsekuensi dari hipotesis tentang kreativitas

Tuhan dan kebebasan kehendak, membawa Griffin menolak doktrin creatio ex

nihilo yang dipercaya oleh Gereja. Sebab, Bagi Griffin (1998: 184; 2005a: 66;

1989: 114), doktrin creatio ex nihilo adalah nonsense, sebab dunia diciptakan dari

ketiadaan relatif bukan dari ketiadaan mutlak.

Berdasarkan pustaka-pustaka yang telah ditinjau di atas, terdapat penekanan

yang berbeda-beda terhadap pemikiran David Ray Griffin: Cahoon menyorot

konsep-konsep kosmologi Griffin; Carter tertarik pada insiprasi dan kesegaran

alternatif di dalam rekontruksi postmodernisme yang ditawarkan Griffin; Ward

lebih cenderung membahas konsep teologi proses Griffin; Tilley dan Westman

mengkritik dalam nada pesimis aspek praktis dari konsep ekologi dan agenda

sosial; Encyclopedia Science and Religion menitikberatkan pada konsep Griffin

mengenai kebebasan kehendak (free will). Maka, penelitian ini ingin lebih

menyorot pemikiran Griffin mengenai kebebasan kehendak dalam perspektif

filsafat agama, dan relevansinya dengan proses keberagamaan di Indonesia.

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 23: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

23

D. Landasan Teori

Kebebasan kehendak (free will) adalah tema yang memiliki cakupan

pembahasan yang luas, maka untuk menjaga agar tema penelitian ini tidak

melebar, maka pisau analisis atau kerangka pendekatan yang akan digunakan di

dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan filsafat agama.

Sebelum sampai pada pembahasan mengenai metode dan objek penelitian

filsafat agama, perlu untuk diketahui apa yang menjadi perbedaan mendasar

antara filsafat dan agama. M. Rasjidi (1965: 3-4) menjelaskan bahwa perbedaan

antara filsafat dan agama tidak terletak dalam bidangnya tetapi dalam cara

menyelidiki. Filsafat lebih mengutamakan kegiatan berpikir dan memahami dalam

proses pemerolehan pengetahuan, dengan demikian, di dalam berfilsafat

seseorang tidak sekedar mengetahui tetapi juga berpikir dan memahami secara

kritis. Di dalam agama, seseorang mencari pengetahuan untuk mengabdikan diri,

sehingga pengetahuan adalah untuk beribadat. Perbedaan mendasar tersebut

menunjukkan bahwa agama lebih berhubungan dengan hati, sedangkan filsafat

dengan pikiran yang dingin dan tenang. Selanjutnya, masih menurut M. Rasjidi

(1965: 4-5), Agama, melalui pengabdian dan penyerahan diri, mampu

memberikan ketenangan kepada hati, sedangkan filsafat yang berbasis pada proses

berpikir yang kritis justru mengeruhkan pikiran, sebab di dalam penyelidikan

filsafat, seseorang kerap dihadapkan pada kekeliruan-kekeliruan dan kesulitan.

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 24: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

24

Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lantas menjadikan filsafat dan agama

tidak dapat bekerja sama. M. Rasjidi menyebutkan bahwa metode penyelidikan di

dalam filsafat justru sangat penting dalam mempelajari agama. Hal ini berkaitan

dengan proses membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan lain terhadap

jalan kebenaran melalui penyelidikan atas pengalaman-pengalaman keagamaan

yang berlainan. Melalui metode kritis dan dialektis, seseorang dapat melakukan

kritik yang simpatik terhadap agama.

Murray dan Rea (2008: xii) menjelaskan bahwa dua aktivitas di dalam

filsafat, yakni klarifikasi konseptual (conceptual clarification) dan justifikasi

proposional (propotional justification), melahirkan pertanyaan-pertanyaan kritis

dan mendasar mengenai klaim-klaim di dalam agama. Afirmasi-afirmasi di dalam

domain agama kembali dipertanyakan secara fundamental. Sebagai contoh,

seorang filosof agama akan mengeksplorasi secara persis apa yang dimaksud

dengan kata “Tuhan”. Apakah makna dari kata “Tuhan” itu koheren, dan apakah

iya atau tidak, menerima realitas Tuhan pada posisi yang utama.

Menurut John K. Roth (2003: 10-11), filsafat agama adalah sebuah konsep

yang fleksibel karena berkaitan dengan kategori umum yang mencakup pluralitas

penekanan. Maka, agar sesuai dengan kategori filsafat agama, ada dua batasan

yang perlu diperhatikan. Pertama, sebuah penyelidikan perlu mengemukakan

setidak-tidaknya salah satu dari persoalan di dalam agama, misalnya penyelidikan

yang terpusat pada tradisi agama tertentu; perbandingan agama; penyelidikan

mengenai mitos dan simbol dalam agama: verifikasi klaim yang berasal dari

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 25: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

25

tradisi agama; penyelidikan mengenai nilai doktrin agama tertentu; dan, penetapan

apa yang merupakan agama secara umum. Kedua, penyelidikan perlu dimulai dan

tetap terkait dengan klaim-klaim dari manusia (yang positif dan negatif) yang

berkenaan dengan pengalaman tentang apa yang suci, sakral, ilahi, berkekuasaan

dan bernilai puncak, dan hakikat dari wujud yang mungkin dianggap memiliki

sifat-sifat ini.

Dua batasan filsafat agama yang telah diuraikan di atas penting untuk

diperhatikan sebagai landasan untuk mengkaji pemikiran David Ray Griffin. Di

beberapa kesempatan di dalam karyanya, David Ray Griffin secara eksplisit

menyebut pemikirannya dengan sebutan “teologi postmodern”. Berkaitan dengan

batasan yang pertama, David Ray Griffin (2005a: 25) menjelaskan bahwa teologi

postmodern yang ia kembangkan memusatkan diri pada isu-isu sentral keagamaan

yang tidak secara eksklusif mengarah ke salah satu tradisi pengalaman religius

dengan mengesampingkan tradisi-tradisi religius lain. Sebab, pada prinsipnya,

teologi postmodern memberikan kerangka yang sedemikian rupa sehingga setiap

tradisi religius bisa menafsirkan tekanannya masing-masing. Berkaitan dengan

batasan yang kedua, David Ray Griffin (2005a: 24) menjelaskan bahwa teologi

postmodern yang ia kembangkan adalah sebuah teologi filosofis (teologi natural)

yang mempertahankan posisinya mengikuti kriteria-kriteria yang dipakai pada

penalaran ilmiah dan filosofis, yaitu konsistensi, kecocokan dengan fakta-fakta

yang relevan, yakni semua fakta dalam pengalaman, tanpa wahyu khusus untuk

mendukung klaim-klaimnya tentang kebenaran.

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 26: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

26

Melihat penjelasan David Ray Griffin mengenai teologi postmodern yang ia

kembangkan, maka David Ray Griffin dapat digolongkan sebagai seorang “teolog

filosofis.” Untuk mengetahui secara baik kedudukan teologi filosofis di dalam

filsafat agama, maka harus dimulai dengan penjelasan mengenai perbedaan

filsafat dan teologi. Menurut John K. Roth (2003: 15-18), filsafat dan teologi

berdiri pada dua titik ekstrem yang berbeda dalam sebuah spektrum. Filsafat

berdiri pada sebuah titik yang menanyakan persoalan tentang asumsi-asumsi

kehidupan dasar dan struktur-struktur realitas tanpa membicarakannya secara

khusus sebagai fenomena agama. Sedangkan pada titik yang lain, teologi bertugas

untuk menyingkapkan, mengklarifikasi dan menegaskan doktrin-doktrin sebuah

tradisi agama dan pandangannya tentang Tuhan tanpa memiliki perhatian khusus

terhadap persoalan yang luas dan kritis. Jadi, filsafat lebih dicirikan dengan

persoalan yang dikemukakannya, sedangkan teologi lebih dicirikan dengan pokok

masalah positif yang dengannya ia bekerja, yakni penegasan positif mengenai

Tuhan dan agama. Dalam spektrum dengan dua titik ekstrim tersebut, filsafat

agama berada di tengah-tengah dua titik ekstrim. Sehingga, filosof agama akan

merupakan filosof dan teolog, dan karyanya akan berisikan teologi dan filsafat.

Perlu dipahami lebih lanjut bahwa di dalam filsafat agama terdapat dua

kecenderungan karakter yang pada akhirnya mengambil arah yang berlainan.

Yang pertama, apa yang disebut Roth sebagai “filosof agama”, yakni mereka

yang melihat agama dan teologi secara analitis dan kritis, dan sampai pada

kesimpulan bahwa agama itu penuh dengan masalah dan kesulitan, dan bahwa

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 27: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

27

manusia mungkin akan lebih baik bila terlepas dari agama dan menggantikannya

dengan suatu pandangan yang non-teologis. Seorang “filosof agama”

menggabungkan filsafat dan teologi di dalam karyanya, tetapi ia akan jatuh lagi ke

dalam arah spektrum filsafat yang ekstrem, karena ia pada akhirnya akan menolak

setiap identifikasi yang positif dengan sebuah tradisi agama. Yang kedua, apa

yang disebut Roth sebagai “teolog filosofis”, yakni mereka yang menanyakan

persoalan-persoalan kritis yang merupakan karakteristik filsafat, tetapi usahanya

untuk menjawab persoalan ini, bersamaan dengan kesimpulan akhirnya, tetap

menempatkannya di dalam hubungan yang positif dengan sebuah tradisi agama.

Seorang teolog filosofis melakukan klarifikasi, menjelaskan, menyusun kembali

atau secara radikal mengubah sebuah pandangan agama atau filsafat yang telah

mapan, tetapi tanpa menolak semua tradisi yang dipersoalkan atau

merekomendasi sesuatu untuk menggantikannya. Kecenderungan filosofis seorang

“teolog filosofis” memustahilkannya untuk menerima batasan tradisi tertentu

tanpa modifikasi. Tetapi, pada saat yang sama, ia bekerja dengan kategori dan

konsep sebuah tradisi, sehingga dapat dipertahankan keberlanjutan yang positif.

Berdasarkan pada uraian ini, maka dapat diketahui dengan jelas posisi dan arah

pemikiran Griffin sebagai seorang teolog filosofis di dalam wilayah filsafat

agama.

Penjelasan Roth mengenai pengertian dan kedudukan filsafat agama

merupakan eksplanasi yang masih bersifat umum. Sebab, meskipun baru disadari

keberadaannya secara khsusus pada pertengahan abad kedua puluh, filsafat agama

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 28: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

28

telah mengalami perkembangan yang cepat dan melahirkan banyak varian

pendekatan. Pada abad kedua puluh tercatat ada beberapa pendekatan utama

filsafat agama, antara lain pendekatan filsafat analitik yang menggantikan

idealisme abad kesembilan belas. Lalu, ada pula pendekatan “filsafat proses” yang

dipelopori oleh Whitehead sebagai alternatif atas idealisme dan filsafat analitik.

Selain dua pendekatan tersebut, juga terdapat lima perkembangan penting yang

patut diperhatikan dalam filsafat agama, yakni: pertama, pengaruh dari para

teolog seperti Karl Barth dan Paul Tillich; kedua, pengaruh dari kubu

eksistensialis religius yang berusaha menggali kembali pemikiran Kierkegaard,

juga pemikiran dari filsuf kontemporer seperti Gabriel Marcel dan Martin Buber;

ketiga, pembaharuan filsafat Thomisme seperti yang dilakukan oleh Jacques

Maritain dan Etienne Gilson; keempat, munculnya fenomenologi religius seperti

yang terdapat dalam pemikiran Rudolf Otto; kelima, pengaruh dari filsuf-filsuf

seperti Dewey, yang memiliki ketertarikan terhadap perasaan dan dorongan

religius, dan juga skeptis terhadap aspek metafisis religiusitas agar supaya

memperoleh sesuatu yang betul-betul bernilai dan membuang apa yang tidak

berguna (Wainwright, 2005: 5). Di luar yang telah diuraikan di atas, tidak

menutup kemungkinan masih banyak pendekatan-pendekatan lain di dalam

filsafat agama kontemporer.

Salah satu dari sekian persoalan di dalam filsafat agama, adalah persoalan

kebebasan. Persoalan kebebasan kehendak bahkan kerap disebutkan sebagai

persoalan yang sentral di zaman modern (Roth, 2003: 19; Kane, 2005: 2). Keith E.

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 29: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

29

Yandell, dalam karyanya Philosophy of Religion: a Contemporary Introduction

memasukan persoalan kebebasan kehendak sebagai bagian dari persoalan agama

dan moralitas. Menurut Yandell (1999: 306-337), dalam filsafat agama terdapat

tiga aliran yang memiliki perbedaan pendapat mengenai persoalan kebebasan

kehendak, yakni monoteistik determinisme, monoteistik libertarianisme, dan

monoteistik kompatibilisme. Dalam skema filsafat agama, debat di antara ketiga

pandangan tersebut berimplikasi pada konsep mengenai pra-pengetahuan Tuhan

dan kebebasan manusia.

Monoteistik determinisme percaya bahwa sifat Tuhan yang mahakuasa

membawa konsekuensi bahwa Tuhan menetapkan atau menentukan segala sesuatu

yang terjadi di dunia. Sedangkan kemahatahuan Tuhan berkonsekuensi bahwa

Tuhan berada di luar waktu sehingga Tuhan memiliki kemampuan untuk

mengetahui apa yang ada di masa lalu, sekarang maupun apa yang akan terjadi di

masa depan, sehingga masa depan telah ditetapkan oleh Tuhan. Pada

perkembangannya, dalam menolak kebebasan kehendak, determinisme tidak

hanya bersandar kepada kemahakuasaan dan kemahatahuan Tuhan, tetapi juga

pada hukum alam.

Monoteistik libertarianisme menolak apa yang dikemukakan oleh

determinisme. Manusia memilliki kebebasan kehendak. Kebebasan diberikan

Tuhan kepada manusia sebagai rahmat dan anugerah yang mampu membawa

manusia menuju kebaikan. Kejahatan muncul karena manusia menyalahgunakan

kebebasan yang ia miliki. Sedangkan kubu Kompatibilisme meyakini bahwa baik

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 30: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

30

determinisme dan kebebasan kehendak sama-sama membingungkan, dan

sesungguhnya antara determinisme dan kebebasan kehendak terdapat kecocokan

(Harris, 2012: 16). Kompatibilisme berusaha melakukan rekonsiliasi antara

determinisme dan kebebasan kehendak. Dengan kata lain, kompatibilisme

meyakini bahwa takdir ilahi (divine predestination) yang dipercaya oleh

determinisme kompatibel dengan kebebasan manusia. Kompatibilis Jonathan

Edward, seorang teolog Calvinis dari Amerika, berargumen bahwa

…we could have such freedom to do as we want even if everything in the world was determined by the foreordaining acts of God. Though God has created the good or corrupt natures from which we act, Edwards argued, our acts are nonetheless our free acts, imputable to us, since they flow without impediments from our natures (dalam Kane, 2005: 148).

Berdasarkan uraian di atas, penulis akan mengacu pada ketiga pandangan

tersebut untuk menganalisis pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan

kehendak. Alasan menggunakan ketiga pandangan tersebut adalah karena David

Ray Griffin dalam merumuskan pemikirannya mengenai kebebasan kehendak

banyak dipengaruhi oleh persoalan-persoalan yang muncul dari perdebatan di

antara ketiga pandangan tersebut.

E. Cara Penelitian

1. Materi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang dilakukan dengan

cara membaca, menelaah pustaka-pustaka berupa buku, jurnal majalah yang

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 31: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

31

berkaitan dengan rumusan masalah penelitian. Bahan dan materi kepustakaan

dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yakni:

Pertama, Materi Primer meliputi buku-buku karya David Ray Griffin

sejauh berhubungan kebebasan kehendak, misalnya:

God and Religion in the Postmodern World

Unsnarling the World-Knot: Consciousness, Freedom, and the Mind-Body

Problem

Spirituality and Society: Postmodern Visions

Religion and Scientific Naturalism

Evil Revisited: Responses and Reconsiderations

Kedua, pustaka sekunder yang meliputi beberapa buku seperti buku karya

Robert Kane, A Contemporary Introduction to Free Will, dan pustaka lainnya

mengenai problematika kebebasan kehendak dari beberapa pemikir seperti

Agustinus, Anselmus, Thomas Aquinas, Martin Luther, John Calvin, Luis de

Molina, dan sebagainya

.

2. Jalan Penelitian

Proses penelitian dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut:

a. Inventarisasi data. Pada tahap ini penulis mengumpulkan data yang dapat

dibagi menjadi dua bagian yang besar berdasarkan objek formal dan

material penelitian. Data yang pertama berisi pustaka mengenai filsafat

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 32: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

32

agama. Data yang kedua berisi tentang pustaka mengenai pemikiran

Griffin yang terdapat dalam karyanya. Data-data tersebut dikumpulkan

sebanyak mungkin melalui penelusuran di berbagai perpustakan maupun

melalui penelusuran internet.

b. Pengklasifikasian data. Jika pada tahap pengumpulan data penulis

mengumpulkan data sebanyak mungkin, maka pada tahap ini data-data

yang telah diperoleh mulai diklasifikasikan dan dipilah-pilah berdasarkan

bab dan sub-sub bab yang telah penulis susun sesuai dengan rencana dan

kebutuhan.

c. Analisis data. Data yang telah diklasifikasikan mulai dianalisis sesuai

dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

d. Penyajian data, yaitu memaparkan hasil analisis secara sistematis dan

teratur berdasarkan sub-sub bab yang telah ditentukkan. Penyajian data

diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar

dan sederhana, kemudian menuju pada pokok pembahasan yang lebih

rumit.

3. Analisis Hasil

Data-data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan metode sebagai

berikut:

a. Interpretasi: Secara mendasar analisis hasil di dalam penelitian ini

menggunakan interpretasi penulis atas pemikiran David Ray Griffin

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 33: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

33

sebagai topik utama dalam penelitian ini, maupun interpretasi atas

pemikiran-pemikiran lainnya menyangkut objek formal penelitian.

b. Holistika, metode ini digunakan untuk melihat pemikiran David Ray

Griffin mengenai kebebasan kehendak sebagai bagian integral dari

keseluruhan pemikirannya.

c. Kesinambungan historis, berdasarkan asumsi bahwa pemikiran filsafati

yang lahir dari seorang pemikir tidak pernah terlepas dari sejarah

pemikiran yang ada sebelumnya. Maka, penulis mencoba menganalisis

pemikiran David Ray Griffin sebagai reaksi atas sejarah pemikiran yang

telah ada sebelumnya. Kesinambungan historis dapat menunjukkan

mengapa dan bagaimana Griffin menyusun bangunan filsafatnya

sedemikian rupa sebagai koreksi dan kritik atas pemikiran terdahulu untuk

mencapai solusi di masa yang akan datang.

d. Heuristika, metode ini digunakan untuk menemukan suatu paradigma baru

dari pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan kehendak bagi

kehidupan keberagamaan di Indonesia.

F. Sistematika Penulisan

Pembahasan dalam penelitian ini akan dipaparkan sesuai dengan

sistematika berikut:

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 34: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

34

Bab I, memaparkan latar belakang penelitian; perrumusan masalah;

keaslian penelitian; manfaat dan tujuan penelitian; tinjauan atas kepustakaan

penelitian sebelumnya; landasan teori dan cara penelitian.

Bab II, memaparkan secara umum mengenai persoalan umum kebebasan

kehendak. Penulis menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebebasan dan

kehendak, kemudian menjelaskan mengenai konsep kebebasan sebagai kebebasan

kehendak. Selanjutnya penulis menjelaskan mengenai determinisme. Kemudian,

menguraikan mengenai perdebatan kebebasan kehendak versus determinisme

yang melahirkan dua pendapat utama yakni kompatibilisme (beranggapan bahwa

kebebasan kehendak dan determinisme adalah kompatibel), dan inkompatibilisme

(kebebasan kehendak dan determinisme tidak kompatibel). Inkompatibilisme

terdiri dari dua kubu yang berseberangan yakni libertarianisme (kebebasan

kehendak benar), dan determinisme keras (determinisme benar). Pada bagian

selanjutnya, penulis menunjukkan letak persoalan kebebasan kehendak sebagai

bagian dari persoalan filsafat agama; kemudian melakukan eksplorasi umum

mengenai perdebatan di seputar kebebasan kehendak terutama yang dipaparkan

oleh beberapa filsuf seperti Augustinus, Anselmus, Thomas Aquinas, Martin

Luther, John Calvin dan Luis de Molina.

Bab III, mendeskripsikan pokok-pokok pemikiran Griffin yang meliputi

biografi intelektual David Ray Griffin; latar belakang pemikiran Griffin dan para

filsuf yang memengaruhi pemikirannya. Pada bagian ini penulis juga menjabarkan

secara garis besar beberapa pokok pemikiran Griffin mengenai teologi proses,

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Page 35: PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68711/potongan/S2-2014-322937-chapter1.pdfdengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam

35

terutama pandangan mengenai Tuhan dan konsep-konsep dasar teologi proses.

Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai teologi postmodern, yang

berisi kritik-kritik Griffin terhadap modernisme dan visi baru postmodern

rekonstruktif.

Bab IV, memaparkan pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan

kehendak, yang meliputi dua aspek kebebasan yang saling berkaitan erat, yakni

kebebasan kosmologis, kebebasan teologis, dan kebebasan aksiologis. Kebebasan

kosmologis diawali dengan uraian mengenai kontribusi persoalan jiwa-tubuh bagi

persoalan kebebasan kehendak. Kemudian menjelaskan solusi yang diberikan oleh

interaksionisme dualistik dan identisme nondualistik berikut kelemahan dan

kekurangannya. Pembahasan ini diakhiri dengan konsep Griffin mengenai

interaksionisme nondualistik sebagai inti dari kebebasan kosmologis. Kebebasan

teologis meliputi pembahasan mengenai persoalan kejahatan dan kebebasan

kehendak; sifat Tuhan yang tidak memaksa tetapi membujuk; spiritulitas

kreativitas versus spiritualitas kepatuhan; dan persoalan pra-pengetahuan ilahi dan

kebebasan kehendak. Penulis akan menjelaskan pemikiran Griffin mengenai

kebebasan aksiologis pada sub bab yang terakhir. Bagian ini terdiri dari

pembahasan mengenai kebebasan dan simpati, pluralism komplementer, dan

relevansi pemikiran Griffin dalam konteks kehidupan keberagamaan di Indonesia.

Bab V, merupakan bab penutup yang berisi rangkuman sejumlah

kesimpulan umum, dan mengusulkan beberapa saran oleh peneliti.

KEBEBASAN KEHENDAK (FREE WILL) DAVID RAY GRIFFIN DALAM PERSPEKTIF FILSAFATAGAMAVICTOR DELVY TUTUPARYUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/