BAB I PENGANTAR A. Latar...

21
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Tujuan hidup tiap individu baik sedang sakit atau sehat adalah hidup bahagia. Kebahagiaan orang sakit adalah sembuh dari sakit, termasuk juga pasien kanker. Kanker adalah salah satu penyakit tidak menular yang menyebabkan kematian. Prevalensi kanker tergantung ras dan status negara, mayoritas terjadi pada negara berkembang yaitu sekitar 70% dari seluruh kejadian kanker di dunia (WHO, 2011). Sementara, di Indonesia kejadian penyakit kanker mencapai 4,3%. Data dari Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) 2007 menyatakan bahwa kanker adalah penyebab kematian terbesar ke-7 di Indonesia (Departemen Kesehatan, 2007). Prevalensi kanker dipaparkan oleh WHO dan RisKesDas, sebagai berikut: Tabel 1 Prevalensi kanker Sumber Tahun Keterangan WHO (2011) 2005 Hasil penelitian WHO dan Bank Dunia memperkirakan 12 juta orang di dunia mengalami kanker tiap tahun, akan terus meningkat hingga tahun 2030 dan diperkirakan mencapai 26 juta orang. 2010 Kanker adalah penyebab kematian ke-2 setelah penyakit kardiovaskular. Departemen Kesehatan (2007) 2007 Berdasarkan data RisKesDas, prevalensi tertinggi di D. I. Yogyakartaa, 9.6%, dengan rincian data demografi, wanita sebesar 5.7%, laki-laki hanya 2.9%. Tingginya jumlah kanker dialami oleh ibu rumah tangga, yaitu sekitar 8.2% dan mayoritas berusia lebih tua. Kejadian Kejadian kanker banyak terjadi pada usia lebih dari 75 tahun berkisar antara 9.4%

Transcript of BAB I PENGANTAR A. Latar...

Page 1: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Tujuan hidup tiap individu baik sedang sakit atau sehat adalah hidup

bahagia. Kebahagiaan orang sakit adalah sembuh dari sakit, termasuk juga

pasien kanker. Kanker adalah salah satu penyakit tidak menular yang

menyebabkan kematian. Prevalensi kanker tergantung ras dan status negara,

mayoritas terjadi pada negara berkembang yaitu sekitar 70% dari seluruh

kejadian kanker di dunia (WHO, 2011). Sementara, di Indonesia kejadian

penyakit kanker mencapai 4,3%. Data dari Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas)

2007 menyatakan bahwa kanker adalah penyebab kematian terbesar ke-7 di

Indonesia (Departemen Kesehatan, 2007). Prevalensi kanker dipaparkan oleh

WHO dan RisKesDas, sebagai berikut:

Tabel 1 Prevalensi kanker

Sumber Tahun Keterangan

WHO (2011)

2005

Hasil penelitian WHO dan Bank Dunia memperkirakan 12 juta orang di dunia mengalami kanker tiap tahun, akan terus meningkat hingga tahun 2030 dan diperkirakan mencapai 26 juta orang.

2010

Kanker adalah penyebab kematian ke-2 setelah penyakit kardiovaskular.

Departemen Kesehatan (2007)

2007

Berdasarkan data RisKesDas, prevalensi tertinggi di D. I. Yogyakartaa, 9.6%, dengan rincian data demografi, wanita sebesar 5.7%, laki-laki hanya 2.9%.

Tingginya jumlah kanker dialami oleh ibu rumah tangga, yaitu sekitar 8.2% dan mayoritas berusia lebih tua. Kejadian Kejadian kanker banyak terjadi pada usia lebih dari 75 tahun berkisar antara 9.4%

Page 2: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

2

Kanker merupakan kelompok besar penyakit yang dikarakteristikkan

dengan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol dan penjalaran sel abnormal.

Keterlambatan deteksi dini penyakit ini dapat meningkatkan kematian (Prokop,

Bradley, Burish, Anderson, & Fox, 1991; Sheridan & Radmacher, 1992). Tipe

kanker yang banyak terjadi adalah carcinoma, yaitu kanker pada sel jaringan

yang mencakup permukaaan internal maupun eksternal tubuh, terjadi sekitar 85 -

90% pada semua kanker. Salah satu tipe carcinoma adalah kanker payudara

(Sheridan & Radmacher, 1992).

Dewasa ini telah banyak teknologi untuk deteksi dini dan pengobatan

penyembuhan untuk mengatasi kanker, termasuk juga kanker payudara. Hal ini

menjadikan semakin banyaknya para wanita dapat hidup menghadapi kanker

payudara dalam jangka waktu yang lama. Mereka banyak yang menjadi survivor

kanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai berikut:

Tabel 2 Data tingkat survivor

Sumber Data tingkat survivor

Helgeson, Snyder, dan Seltman, 2004

Pasien kanker payudara yang terdiagnosa tahap awal, 95% survive dengan penyakit masih terbatas dan 78% survive dengan penyakit agak berat.

Allen, Savadatti, dan Levy , 2009

Prevalensi survivor tiap tahun akan meningkat, dari 160.000 perempuan yang terdiagnosa kanker payudara, 91% akan survive lebih dari 5 tahun.

William, 2012 Data ISD Skotlandia 2011 menunjukkan bahwa antara tahun 1998-2008 tingkat kematian akibat kanker payudara menurun 17%, meski ada peningkatan diagnosa 8% dari 29% perempuan yang didiagnosa kanker

Hasil analisis para peneliti ditemukan berbeda bahwa dari 1000 wanita

yang didiagnosa menderita kanker payudara sejak tahun 1991, 214 kasus atau

sekitar 22,6 % tumor kembali tumbuh. Tumor payudara ini akan kambuh rata-rata

Page 3: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

3

3 sampai 4 bulan usai pengobatan, yang sayangnya 95% dari perempuan

dengan kanker yang kambuh hanya mampu bertahan hidup kurang dari 10

tahun. Namun hasil tersebut tidak didukung oleh hasil yang ditemukan dari studi

yang didanai Yayasan Kanker Macmillan bahwa 60% dari semua pasien yang

telah didiagnosis kanker payudara dapat bertahan hidup hingga 10 tahun

kemudian (Nurlaila, 2012).

Peningkatan jumlah survivor ini perlu menjadi perhatian terkait kualitas

hidupnya setelah menjadi seorang pasien. Sebagai individu yang pernah

mengalami kejadian yang mengancam hidupnya, yaitu terdiagnosis kanker dan

menjalani berbagai pengobatan, survivor harus menghadapi masa setelah tuntas

dari pengobatan. Tuntas dari pengobatan merupakan tahap transisi yang penuh

dengan berbagai tantangan. Selain harus menghadapi kondisi yang berkaitan

dengan kanker dan efek pengobatannya, survivor juga harus mampu kembali

menjalankan tugas peran sosialnya. Pasca pengobatan, kondisi survivor telah

berubah dari sebelum terdiagnosa kanker, di antaranya fisik mengalami

keterbatasan akibat tumor dan berbagai pengobatan yang sudah dijalani serta

informasi tentang kesehatan survivor berkurang karena sudah tidak menjalani

pemeriksaan rutin. Sementara terkait tugas peran sosial, survivor diminta untuk

mampu kembali bekerja, menjalankan tugas istri dan ibu bagi keluarga, berjuang

menghadapi masalah kesehatan yang umum terjadi seiring bertambahnya usia

(Hewitt, Greenfield, & Stovall, 2006).

Adanya Tantangan tersebut memunculkan reaksi psikologis pada survivor

yaitu survivor perlu memelihara body image, mempertahankan hubungan sosial,

dan menghadapi ketidakpastian, karena kondisi fisik, sosial, emosional, spiritual

atau keuangan yang berkaitan dengan kesakitan mempengaruhi

Page 4: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

4

kesejahteraannya. Kehidupan individu dari pasien ke survivor membutuhkan

adanya penyesuaian yang akan menjadi sumber penting dalam merespon

kesakitan dan peran sosialnya sehingga mempengaruhi kesejahteraannya.

Penyesuaian ini didapat dari penilaian positif atas kondisi/peristiwa yang dialami.

Keberhasilan penyesuaian dapat membantu para survivor ketika ia harus

mengatasi efek jangka panjang kanker dan pengobatannya, seperti kemungkinan

adanya kekambuhan kanker; kemungkinan munculnya kanker baru; fungsi fisik

yang lemah (lymphedema, terganggunggya fungsi reproduktif seperti menopause

dini dan gangguan seksualitas, meningkatnya berat badan, osteoporosis;

keluhan-keluhan musculoskeletal, adanya penyakit kardiovaskular,

keletihan/fatigue); adanya distress psikososial seperti menurunnya body image,

cemas kekambuhan, khawatir ketidakpastian masa depan, kehilangan dukungan,

tuntutan kembali ke peran fungsi sosial; efek kognitif yaitu mengalami distorsi

kognitif, seperti berkurangnya memori, konsentrasi, dan fungsi kognitif tertentu;

serta risiko kanker pada anggota keluarga (Hewitt, Greenfield & Stovall, 2006).

Dampak lain individu tidak mampu melakukan penyesuaian pada

kehidupan survivalnya adalah akan terkuras sumber psikologisnya yaitu

perasaan tidak berharga, mengalami depresi, kerusakan fungsi mental,

bertindak pada hal yang bersifat merusak diri (self-destructive), seperti ketika

survivor tidak mampu memonitoring kesehatannya sendiri (kurang olahraga, pola

makan sehat yang kurang terjaga, meniadakan check-up rutin ke dokter atau

meniadakan informasi mengenai kondisi kanker dan kesehatannya), berfokus

(preoccupation) pada hukuman dan kematian, mengalami kebosanan,

kehilangan minat serta seringkali merasa kesepian. Selain itu, survivor juga

mengalami kesulitan untuk berhubungan sosial karena merasa fisik terbatas dan

Page 5: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

5

adanya stigmatisasi buruk tentang kanker payudara sehingga minder dan menilai

penting pandangan orang lain, mengurangi berpartisipasi pada aktivitas di

masyarakat, dan menghindari perkumpulan yang berhubungan dengan kanker

karena merasa sudah tidak perlu (Zebrack, 2000). Sebagaimana yang

dinyatakan oleh survivor kanker payudara, Hardjanto (2013), bahwa banyak

survivor kanker yang merasa kesepian, padahal yang mengalami kanker bukan

hanya mereka saja. Kondisi ini disebabkan banyak penderita kanker payudara

yang ditinggalkan suami dan keluarganya. Indikasi ini menunjukkan survivor

belum sepenuhnya menerima kondisinya.

Semua efek samping ini dapat menjadi stresor dan adanya stresor dapat

memperparah kejadian kanker bahkan untuk yang tidak kuat dapat

menyebabkan kematian (Hayward, 2010) serta dapat mengganggu

kesejahteraan dan kualitas hidup survivor (Hewitt, Greenfield & Stovall, 2006).

Kesejahteraan subjektif merupakan kondisi seseorang mampu mengevaluasi

secara kognitif dan afektif kehidupannya. Evaluasi kognitif meliputi aspek

kepuasan hidup dan evaluasi afektif meliputi pengalaman emosi

menyenangkan/positif serta sedikitnya mood negatif (Diener, Lucas, & Oishi,

2002). Kesejahteraan subjektif berfokus pada kebahagiaan dan kepuasan hidup

yang secara luas digunakan untuk menilai kualitas hidup.

Zebrack (2000) mengungkapkan bahwa survivor dengan kualitas hidup

tinggi yaitu survivor yang mampu berekonsiliasi pada pengalaman ideal dan

aktualnya, mampu mencapai kesuksesan dalam menyelesaikan gangguan peran

tertentu pada fase sebagai survivor, dan mampu berinteraksi positif serta

mendapatkan penguatan positif dari orang lain. Kondisi ini juga menandakan

pasien kanker payudara menerima peran dan identitas baru, yakni sebagai

Page 6: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

6

survivor kanker, yang berarti individu mendapat nilai/ makna pada kondisi ideal

baru yang membentuk konsep diri yang dirasakan positif atau lebih baik dari

kehidupan sebelum mengalami kanker. Tanda bahwa survivor menerima adalah

mampu mengatur kesakitan (pain) dengan cara merubah gaya hidup jadi gaya

hidup sehat, mengatur efek pengobatan jangka panjang, berorientasi pada masa

depan dan pencapaian tujuan, coping positif berhasil, masuk kembali ke tempat

kerja, dan mampu mengatur diskriminasi asuransi kesehatan dan pekerjaan

serta mampu membuat keputusan akhir kehidupan (Zebrack, 2000).

Hasil penelitian Wildes, Miller, de Majors, Otto, dan Ramirez, (2011)

menunjukkan bahwa survivor kanker payudara dari Amerika Latin yang puas

dengan dokter perawatan kanker secara signifikan dan positif berhubungan

dengan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (kesejahteraan

fungsional). Kesejahteraan fungsional meliputi kemampuan survivor bekerja,

menemukan pemenuhan (fulfillment) di tempat kerja dan kehidupan, mampu

menikmati hidup, mampu tidur dengan baik dan menikmati aktivitas waktu luang,

serta mampu menerima kesakitannya. Beberapa survivor juga menyatakan

ketidak puasan, yaitu ketika mereka khawatir tidak mampu mendukung

keuangan keluarga dan cemas akan kehilangan pelayanan kesehatan.

Hasil wawancara dengan survivor T menyatakan bahwa dengan

kondisinya yang mengalami kanker payudara dan muncul kanker baru yaitu

kanker rahim membuat T khawatir dengan kondisi keuangan keluarga yang

berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah. Bahkan demi pengobatan T,

anak satu-satunya sampai putus sekolah dan hingga saat ini masih perlu

melunasi hutang yang digunakan untuk pengobatan dulu. Harapan satu-satunya

sekarang diberi kesehatan agar tidak menyusahkan keluarga (wawancara

Page 7: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

7

tanggal 31 Mei 2013). Kondisi survivor T ini mendukung hasil penelitian Wildes,

dkk (2011) bahwa dampak tumor dan pengobatannya akan memunculkan stres,

selain dari keadaan diri juga dari keadaan eksternal, seperti keluarga. Hal ini

yang membuat survivor meski sudah tuntas pengobatan masih belum mengalami

kepuasan hidup.

Hasil wawancara lain (wawancara tanggal 15 April 2013) dari salah satu

survivor kanker, yaitu survivor I menyatakan

“memang ketika mengalami sakit atau badan terasa sakit fikiran macam-macam, cemas dan khawatir akan kambuhnya kanker. Jangan-jangan kanker kambuh, menyebar ke mana-mana”. Berdasarkan hasil wawancara tersebut tampak bahwa memang kecemasan

kekambuhan akan muncul pada survivor terutama ketika mengalami sakit atau

badan terasa sakit. Selain itu, kondisi emosi tidak menyenangkan juga masih

dialami survivor I, yaitu ketika menceritakan pengalaman-pengalaman negatif

yang membuatnya stres sempat menyalahkan Tuhan, bahkan sampai sekarang

masih terganggu dengan kondisi anaknya yang belum menyelesaikan

sekolahnya. Kondisi ini juga membuktikan penelitian Wildes dkk. (2011) bahwa

tumor dan pengobatannya memberikan dampak terkait keterbatasn fisik dan

penyakit serta kondisi eksternal seperti keluarga dan hubungan sosial yang

menjadikan stres para survivor.

Pernyataan survivor I juga dikuatkan oleh berbagai hasil studi dan

analisis yang dilakukan oleh Allen, Savadatti, dan Levy (2009); Bellizzi dan

Blank, (2006); Helgeson, Snyder, dan Seltman (2004); serta William (2012) yang

menunjukkan bahwa pasien kanker payudara yang sudah mengakhiri periode

pengobatannya akan mengalami kesejahteraan hidup, namun ada juga yang

masih mengalami distress psikologis terbukti adanya kekambuhan, dan

Page 8: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

8

munculnya penyakit lain. Kemungkinan ini disebabkan oleh kondisi kenyataan

yang harus dihadapi setelah berakhirnya pengobatan. Sebutan survivor

menuntut para penderita kanker payudara untuk mampu menjadi “normal”

kembali, yaitu harus berfungsi pada keluarga, pekerjaan dan sosial lagi;

menuntut mereka untuk percaya diri akan body image yang baru; mereka juga

dituntut untuk optimis dan yakin bahwa kanker yang pernah dialaminya tidak

kambuh; serta dituntut untuk bergaya hidup lebih positif, seperti tidak merokok,

mengatur pola makan, dan berolahraga.

Mereka yang mampu memenuhi kondisi sebagai survivor menandakan

sejahtera dan dapat mengambil makna dibalik pengalaman kanker payudara,

bahkan beberapa survivor mampu mengekspresikan apresiasi atas kemampuan

survivenya, yaitu dengan menjadi peer support pasien kanker payudara. Kondisi

berbeda terjadi pada beberapa orang yang tidak mampu memenuhi kondisi

sebagai survivor. Hal ini perlu menjadi perhatian karena mereka mengalami

penilaian negatif atas kondisi survivor (Allen, Savadatti, & Levy, 2009). Penilaian

negatif survivor berupa kecemasan kambuh yang berlebihan, kekhawatiran

kehilangan perhatian, kekhawatiran masa depan, dan keletihan akibat dari

ketidakmampuan individu menyesuaikan dengan identitas baru, yaitu sebagai

survivor kanker.

Penilaian negatif yang cenderung dilakukan survivor ini dapat

meningkatkan stres pada masa transisi sehingga mempengaruhi kesejahteraan

subjektifnya, karena kesejahteraan merefleksikan reaksi kognitif dan emosi

kondisi hidupnya. Stres juga merupakan suatu keadaan yang muncul akibat

interaksi kognitif dan emosi yang tidak stabil. Penilaian stres muncul dari

beberapa aspek, yaitu 1) emosi negatif yang dirasakan saat mengalami suatu

Page 9: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

9

peristiwa yang dapat mempengaruhi proses kognitif sehingga memunculkan

stres. 2) ketidakpastian, yaitu perasaan tidak berdaya yang menumpuk dan

mendorong reaksi stres. 3) hasil evaluasi peristiwa yang terjadi. Ketika skema

kognitif mendorong munculnya persepsi negatif individu atas peristiwa tersebut,

maka individu akan mengalami stres (Rice, 1999). Proses penilaian reaksi stres

ini dapat mempengaruhi sistem imun dalam tubuh seseorang. Aktivitas neural,

perilaku, mood, dan proses kognitif berubah secara dramatis dalam 1 sampai 3

jam mengikuti aktivasi sel imun oleh bakteri, virus, atau zat yang menstimulasi

sel imun (Maier & Watkins, 2000).

Aktivasi terus-menerus HPA (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal) axis dan

sistem saraf simpatetik dalam merespon stres kronis mempengaruhi kerusakan

respon imun dan berkontribusi pada perkembangan dan progresi beberapa tipe

kanker. Respon HPA mengeluarkan kortisol, dan respon simpatetik

mengeluarkan catecholamines. Keduanya berfungsi untuk memproduksi energi

tubuh, sementara banyak perubahan perilaku (perilaku yang menganggu)

mengurangi energi tersebut, seperti merokok, dsb

Perilaku mengganggu yang mengurangi energi ini berkaitan dengan

penurunan cytotoxic T-cell dan aktivitas sel pembunuh alami yang

mempengaruhi proses imun pengawas tumor, ketika kondisi ini masih dapat

dikendalikan tubuh secara alami, maka tumbuhnya sel kanker dapat terhindari.

Kondisi berbeda muncul ketika tubuh secara alami tidak mampu mengendalikan,

maka sel kanker berkembang (Maier & Watkins, 2000; Prokop, Bradley, Burish,

Anderson, & Fox, 1991; Reiche, Nunes, & Morimoto, 2004). Berdasarkan hal ini,

stres menjadi faktor penting risiko munculnya kanker. Sebagai survivor yang

pernah menjadi pasien, diharapkan mampu mengelola kehidupan survivornya

Page 10: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

10

agar tidak menimbulkan stres yang dapat memicu kekambuhan atau munculnya

kanker baru.

Sebagaimana telaah pustaka mengenai etiologi munculnya kanker, baik

itu kanker baru atau kekambuhan bisa dari berbagai faktor, yaitu faktor biologis

berupa oncogenes, faktor perilaku, psikologis, dan sosial berupa carcinogenes.

Faktor yang secara tidak langsung memicu risiko tinggi adanya kanker adalah

stres. Lazarus menyatakan bahwa stres adalah ketidakseimbangan antara

tuntutan dan sumber coping. Stres muncul ketika suatu keadaan dianggap

membahayakan fisik atau psikis, baik secara riil maupun imajinasi dan tidak

mampu direspon dengan efektif (Prokop, Bradley, Burish, Anderson, & Fox,

1991). Rice (1999) juga menyatakan bahwa stres secara tidak langsung dapat

memicu munculnya kanker.

Survivor yang cenderung menilai dan merasakan kehidupan survivornya

sebagai peristiwa negatif, sehingga dapat meningkatkan afek negatif survivor

lebih tinggi daripada afek positif yang memicu ketidak puasan dan ketidak

bahagiaan hidup, dan menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan subjektif.

Ozmete (2011) mengungkapkan bahwa komponen inti kesejahteraan subjektif

adalah afek seseorang, mencakup penilaian mood dan emosi menyenangkan

dan tidak menyenangkan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor yang

berkontribusi pada komponen kesejahteraan subjektif adalah kepribadian,

adaptasi, hubungan sosial, dan budaya (Biswas-Diener, Diener, & Tamir, 2004)

serta sipiritualitas dan religiusitas (Wills, 2009).

Kemampuan adaptasi individu menandakan bahwa individu tersebut

mampu menyesuaikan keadaan yang ada. Sebagaimana hasil wawancara

survivor I, yang mengatakan bahwa ketika ia merasa cemas, was-was akan

Page 11: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

11

kekambuhan kanker, maka ia mengembalikan pada acuan berfikir positif, yaitu

mengingat hasil diagnosa awalnya dulu bahwa kankernya tidak metastase,

stadium 1 dan melakukan pengaturan makanan sehat. Selain itu yang

menguatkan survivor untuk hidup positif adalah ibunya yang meski sudah berusia

83 tahun masih hidup dan pengalaman positif bertubi-tubi yang didapatnya

selama kehidupan setelah kanker. Hal inilah yang menambah rasa syukur dan

keyakinan pada Allah. Bahkan rasa syukur masih hidup sampai saat ini

diwujudkan dengan membantu menpsikoedukasi para pasien kanker payudara

yang tidak mau kemoterapi (Wawancara tanggal 15 April 2013).

Hal yang sama juga dilakukan oleh survivor T, ia mengatakan bahwa

bersyukur sampai usia 60 masih sehat, dapat kumpul dengan anak-cucu, dapat

ikut kegiatan di masyarakat lagi, seperti yasinan dan dia sekarang juga sama

sekali tidak memakan brutu, mie instan (wawancara tanggal 31 Mei 2013).

Kedua survivor, survivor I dan survivor T berusaha mempertahankan

kesejahteraannya yaitu berfikir positif serta bersyukur dengan memperkuat

hubungan interpersonal, berbuat kebaikan dan menjaga pola hidup.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Diener dan Seligman (2002)

menguatkan kondisi yang dirasakan survivor pada masa pasca pengobatan.

Mereka menemukan bahwa orang yang sangat bahagia dapat mengingat lebih

banyak peristiwa-peristiwa baik dalam hidupnya daripada peristiwa buruk, dan

melaporkan lebih banyak emosi positif daripada emosi negatif pada kehidupan

sehari-hari. Sebaliknya, orang yang tidak bahagia mengalami ketidakpuasan atas

dirinya sendiri, pada teman serta keluarga. Orang yang sangat bahagia memiliki

hubungan sosial yang berharga dan memuaskan, sedangkan orang yang tidak

bahagia memiliki hubungan sosial yang secara signifikan lebih buruk. Orang

Page 12: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

12

yang sangat bahagia mengalami sedikit emosi yang tidak menyenangkan, ini

berarti bahwa meski sering merasa bahagia, kemampuan merasakan emosi tidak

menyenangkan pada waktu tertentu tetap dialami.

Sesuai dengan pendapat Diener dan Seligman di atas, dikaitkan dengan

kondisi survivor T dan survivor I, mengindikasikan bahwa meski survivor merasa

sejahtera, namun masih mengalami ketidak puasan dan merasa negatif, yaitu

cemas kekambuhan, khawatir akan kondisi keluarga. Keadaan ini membutuhkan

hal yang dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif, yaitu merasakan

kepuasan, perasaan positif, dan mengurangi perasaan negatif. Salah satu aspek

yang berhubungan dengan kesejahteraan subjektif adalah kebersyukuran

(Watkins, 2004).

Rasa syukur didapat dari persepsi positif individu atas anugerah yang

diterimanya, bahwa sesuatu yang diterima atau terjadi pada dirinya adalah hal

yang berharga (Watkins, 2004). Syukur merupakan salah satu kekuatan individu

yang dapat dijadikan proteksi diri untuk mengurangi kondisi emosi dan psikis

yang bersifat patologis akibat dari suatu bencana (Bono, Emmons, &

McCullough, 2004). Pada penelitian ini, bencana (peristiwa traumatis) yang

dialami individu adalah akibat kanker payudara dan berbagai pengobatannya.

Perlu adanya usaha membentuk posttraumatic growth yang menghasilkan

kebahagiaan individu. Adanya rasa syukur menunjukkan unsur resiliensi pada

diri individu sehingga terbentuk posttraumatic growth (kekuatan psikologis yang

positif berhubungan dengan keadaan pasca bencana) dan berujung pada

kebahagiaan. Vernon, Dillon, dan Steiner, (2009) menemukan hubungan positif

antara syukur dan pertumbuhan, hubungan negatif dengan gejala PTSD pada

sampel wanita dengan riwayat trauma.

Page 13: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

13

McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) juga menemukan trait syukur

secara positif berhubungan dengan kepuasan hidup, kebahagiaan, optimisme,

harapan, dan afek positif, serta berhubungan negatif dengan kecemasan,

depresi, serta afek negatif. Hasil penelitian lain, subjek yang membaca dan

merespon gambaran skenario berbagai peristiwa bantuan, dengan motivasi

penolong tidak disengaja atau disengaja menunjukkan bahwa penerima

mengalami lebih banyak syukur atas penolong yang tidak disengaja (sukarela)

dan memprediksi sikap positif terhadap penolong, afek positif, dan perasaan

keterdekatan (Weinstein, DeHaan, & Ryan, 2010).

Watkins (2004) mengungkapkan bahwa kontribusi syukur pada

kebahagiaan dapat melalui berbagai cara, yaitu 1) ketika sesuatu yang

didapat/diterima individu dirasakan sebagai hadiah, maka individu tersebut akan

bersyukur dan merasa bahagia. Perasaan pengalaman positif sebagai sebuah

hadiah/anugerah ini membentuk penguatan kognitif yang dapat meningkatkan

emosi positif individu; 2) berdasarkan kemampuan individu beradaptasi. Individu

yang mampu beradaptasi dapat merasakan kepuasan dengan menyadari

besarnya keberuntungan atas kondisinya saat ini; 3) selanjutnya, syukur

berkontribusi pada kebahagiaan karena syukur sebagai mekanisme coping yang

efektif. Jika Individu cenderung memandang kehidupan sebagai sebuah hadiah,

maka ia akan mensyukuri hal itu, dengan bersyukur ia akan lebih mampu

menemukan kebaikan bahkan ketika dalam keadaan yang kurang

menyenangkan. Sikap bersyukur ini dapat menjadi coping keadaan stressful dan

mempromosikan kesejahteraan subjektif jangka panjang; 4) cara lainnya adalah

melalui mengingat dan mengoleksi peristiwa-peristiwa hidup yang

menyenangkan. Aspek penting kebahagiaan adalah pengaksesan informasi

Page 14: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

14

positif. Orang yang bersyukur akan merasa bahagia, sehingga lebih

memungkinkan untuk mencatat aspek positif dalam hidupnya dan meningkatkan

pengkodean pengalaman ini dalam memori. Berdasarkan hal ini, kesimpulannya

bahwa dengan mengekspresikan perasaan syukur dapat menimbulkan penilaian

yang positif dalam kehidupan. Intervensi syukur mampu meningkatkan

pengalaman bersyukur sehingga meningkatkan kesejahteraan.

Penelitian Emmons dan McCullough, (2003) yang berfokus pada studi

kebersyukuran, menunjukkan bahwa pelatihan dengan menggunakan self-guided

tentang perasaan bersyukur mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis

pada partisipan kelompok eksperimen dibandingkan kelompok kontrol yang fokus

pada perasaan hassles (kekecewaan) maupun fokus pada kejadian yang dialami

sehari-hari. Hasil penelitian menyatakan bahwa rasa syukur bermanfaat

meningkatkan kesejahteraan subjektif dengan cara menghitung berkah yang

diterima atau merefleksikan aspek-aspek kehidupan yang pantas disyukuri.

Penelitian ini direplikasi Froh, Sefick, dan Emmons, (2008) pada 221 pelajar

SMP. Hasil menyatakan bahwa kelompok eksperimen memiliki peningkatan rasa

optimis, kepuasan hidup, juga menurunkan afek negatif. Pada seting klinis teknik

ini efektif digunakan dalam treatment pada subjek dengan ketidak puasan tubuh

dan kekhawatiran yang berlebihan (Geraghty, Wood, & Hyland, 2010a; 2010b).

Studi selanjutnya dilakukan oleh Rash, Matsuba, & Prkachin, (2011)

menggunakan kontemplasi syukur untuk jangka panjang pada 56 orang

mahasiswa terdiri dari 30 laki-laki dan 26 perempuan di Kolumbia Inggris,

Kanada berusia rata-rata 22,5 tahun. Penelitian mereka dipengaruhi oleh

pernyataan bahwa ada hubungan fisiologis antara keadaan emosi dan fisik

seseorang, dan dengan memanipulasi keadaan emosi dapat memproduksi

Page 15: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

15

perubahan fisiologis. Hasil studi menunjukkan bahwa selama 4 minggu intervensi

kontemplasi syukur dapat memperbaiki kesejahteraan partisipan kelompok

eksperimen dalam jangka panjang dibandingkan kelompok kontrol. Bahkan

kelompok eksperimen melaporkan meningkat kepuasan dan harga dirinya.

Kebersyukuran menunjukkan inti dari perilaku positif, menjadi indikator

dari orientasi, memaknai, dan mengapresiasi kepositifan hidup. Individu yang

merasa lebih bersyukur memiliki pandangan yang lebih positif mengenai

lingkungan sosial, penggunaan strategi coping yang produktif, memiliki perilaku

yang positif, kualitas tidur lebih baik, fokus terhadap lingkungan secara positif,

dan memiliki apresiasi yang tinggi terhadap kehidupannya, seperti terjadinya

penurunan aspek negatif terkait diri, kehidupan dan masa depan (Wood, Joseph,

& Maltby, 2008). Efek perasaan bersyukur inilah yang menjadi alasan peneliti

untuk menggunakan program intervensi syukur dalam usaha meningkatkan

kesejahteraan subjektif survivor kanker payudara.

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat beberapa intervensi

untuk meningkatkan kesejahteraan individu, di antaranya adalah pelatihan

manajemen distress berbasis mindfulness (MDBM) terhadap peningkatan

kesejahteraan psikologis ODHA. Pelatihan ini efektif diberikan pada 10 ODHA, 3

laki-laki dan 7 perempuan. Bentuk perlakuan diberikan secara berkelompok yang

terdiri dari 9 sesi dan dilaksanakan dalam 5 kali pertemuan. Dalam MDBM

melibatkan teknik mindful yoga, psikoedukasi, meditasi duduk, nafas, makan dan

cinta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa MDBM mampu meningkatkan

kesejahteraan psikologis ODHA (Dewi, 2012).

Intervensi selanjutnya adalah pelatihan relaksasi untuk kesejahteraan

subjektif individu dengan HIV/AIDS (IDHA) oleh (Fikri, 2012). Jenis penelitian

Page 16: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

16

eksperimen dengan desain kasus tunggal (single case) ABAB. Kriteria subjek:

teinfeksi HIV/AIDS min. < 60 hari, terinfeksi karena penggunaan IDUs (Injection

Drug Uses), individu masih di tahap lini 1, meminum antiretroviral, jenis kelamin

laki-laki, usia 35 tahun, pendidikan min. D3. Hasil menyatakan Pelatihan

relaksasi khususnya relaksasi pernafasan yang dilakukan selama 3 bulan belum

mampu meningkatkan kesejahteraan subjektif dan menurunkan distress subjek

S.

Penelitian pelatihan pemaafan untuk meningkatkan kesejahteraan

subjektif pasutri Kristen protestan pada tahap awal pernikahan dilakukan oleh

Anakaka (2012). Pelatihan ini diberikan pada 6 pasutri. Pelatihan pemaafan

dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap awareness/exploration, tahap

goodwill to repair/remorse, tahap reframing/reparation, dan tahap transformation.

Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan subjektif

pasutri Kristen Protestan.

Sebagian besar intervensi kesejahteraan menggunakan pendekatan

kognitif karena perubahan emosi akan bersifat sementara dan rentan dalam

menghadapi peristiwa berikutnya yang dianggap menekan (Retnowati, 2002).

Perubahan kognitif juga terjadi melalui konsep mindfulness, sebagaimana yang

dilakukan pada penelitian ini. Selain itu peneliti menggunakan intervensi syukur

berupa daftar syukur, karena dengan mendata banyak pengalaman yang

disyukuri dapat meningkatkan referensi pengalaman positif dalam memori yang

dapat menjadi coping saat stressful, mempromosikan kesejahteraan subjektif

jangka panjang (Watkins, 2004), serta dapat menjadi unsur resiliensi (Vernon, et.

al., 2009) untuk survivor kanker payudara dalam menghadapi kejadian yang

dianggap menekan. Kegiatan ini dikenal dengan sebutan aktivitas intentional

Page 17: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

17

yang merupakan salah satu cara untuk meningkatkan fokus kesadaran (Toepfer,

Cichy, & Peters, 2012).

Kegiatan program intervensi syukur didasarkan pada prinsip intervensi

syukur yaitu upaya dan kontinuitas, self-concordance, bervariasi, perbandingan

anugerah diri dengan sosial, fokus perhatian pada anugerah, dan penerimaan.

Penjelasan prinsip bervariasi dapat berupa topik yang dihitung kebersyukurannya

bervariasi, mulai dari kesehatan, keluarga, pekerjaan, dsb. Variasi ini juga dapat

dimaksudkan bahwa intervensi syukur dapat dikombinasikan dengan teknik

intervensi lain serta bervariasi dari durasi waktu intervensi (Worthen & Isakson,

2007).

Alasan di atas lah yang mendorong penelitian ini akan dilakukan

menggunakan program intervensi syukur untuk meningkatkan kesejahteraan

subjektif pada survivor kanker payudara. Survivor sebagai orang yang pernah

mengalami sakit yang mengancam hidupnya, memiliki trauma atas pengalaman

tersebut dan mereka juga dituntut agar mampu kembali ke peran sosialnya, agar

pada kondisinya sebagai survivor mengalami kesejahteraan.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh program intervensi syukur pada kesejahteraan

subjektif survivor kanker payudara ?

C. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji bahwa program intervensi

syukur akan dapat meningkatkan kesejahteraan subjektif survivor kanker

payudara.

Page 18: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

18

D. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam :

1. Memberikan strategi prevensi untuk hidup lebih baik dan bahagia, baik pada

orang dengan penyakit kronis maupun orang normal pada umumnya.

2. Memperkaya kajian dunia psikologi, khususnya mengenai intervensi yang

lebih menekankan pada emosi positif, dan

3. Sebagai sumber informasi untuk memperdalam dan memperbanyak

penelitian lebih lanjut dalam bidang yang berkaitan, yaitu tentang komponen

kesejahteraan subjektif, syukur, dan intervensi syukur.

E. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya

Penelitian tentang kesejahteraan subjektif telah banyak dilakukan baik di

dalam maupun luar negeri. Baru-baru ini penelitian kesejahteraan subjektif di

UGM adalah pengaruh pelatihan relaksasi untuk kesejahteraan subjektif individu

dengan HIV/AIDS (IDHA) oleh Fikri (2012). Penelitian oleh (Darmayanti, 2012),

Model kesejahteraan subjektif remaja penyintas bencana tsunami Aceh 2004. Da

penelitian oleh Fitriasri (2013) yaitu hubungan antara varibel pemaafan dan

coping proaktif dengan kesejahteraan subjektif pada ibu tunggal karena

perceraian yang bekerja sebagai PNS pada Pem. Prov Jateng.

Penelitian intervensi atau treatment untuk kanker payudara juga telah

banyak dilakukan, di antaranya adalah treatment pemaafan untuk meningkatkan

penerimaan diri penderita kanker payudara. Subjek penelitian hanya 1 orang

wanita yang telah mengikuti 6 sesi treatment. Hasilnya ada peningkatan

pemaafan dan penerimaan diri (Rahmadani, 2011). Program lain dilakukan

Pamungkas (2011), adalah latihan pasrah diri terhadap perbaikan simtom

Page 19: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

19

depresi pasien kanker payudara. Latihan ini merupakan kombinasi dzikir dan

relaksasi yang dilakukan 2 kali sehari selama 3 minggu pada pasien rawat jalan

berjumlah 64 orang, 32 kelompok perlakuan dan 32 kelompok kontrol. Hasilnya

tidak ada pengaruh perbaikan skor depresi (BDI) pasca latihan pasrah diri.

Fourianalistyawati (2007) juga telah melakukan treatment transpersonal

untuk menurunkan depresi perempuan penderita kanker payudara. Treatment ini

terdiri dari visualisasi, afirmasi, dan release yang diberikan pada 8 orang pasien

berusia 35-50 tahun. Hasilnya ada perbedaan tingkat depresi sebelum dan

setelah treatment. Selanjutnya, treatment reiki menggunakan energi kehidupan

sebagai medianya, dilakukan pada 13 orang penderita kanker payudara. Hasil

menunjukkan treatment ini dapat menurunkan tingkat depresi (Sholichatun,

2004). Studi lain dilakukan oleh Desmaniarti (2003) yang menguji efektifitas

latihan relaksasi kesadaran indera menggunakan kaset dan liflet untuk

menurunkan kecemasan penderita kanker payudara. Latihan dilakukan selama

14 hari pada 15 orang, 7 orang kelompok kaset dan 8 orang kelompok liflet.

Hasilnya baik liflet maupun kaset efektif menurunkan kecemasan penderita

kanker payudara, namun tidak ada perbedaan efektifitas antara kaset dengan

liflet.

Penelitian intervensi untuk kanker payudara di atas, sebagian besar untuk

mengatasi psikopatologis, seperti depresi, kecemasan, subjeknya sebagian

besar adalah pasien kanker payudara. Masih sedikit penelitian pada subjek

sebagai survivor kanker payudara. Berdasarkan kajian kepustakaan, penelitian

tentang survivor kanker payudara masih butuh pengembangan. Studi kualitatif

dilakukan oleh Allen, Savadatti, dan Levy, (2009), The Transition from Breast

Cancer Patient to Survivor; studi oleh Bell, Lijovic, China, Schwarz, Fradkin,

Page 20: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

20

Bradbury dan Davis, (2010), Psychological Well-Being in a Cohort of Women

with Invasive Breast Cancer Nearly 2 Years after Diagnosis; studi oleh

Helgeson, Snyder, dan Seltman (2004), Psychological and Physical Adjustment

to Breast Cancer Over 4 Years : Identifying Distinct Trajectories of Change; dan

studi yang dilakukan Erika, Rebecca, Amelia, Lisa, dan Bettencourt (2010), The

feasibility and effectiveness of expressing writing for rural and urban breast

cancer survivor.

Penelitian tentang kebersyukuran pun juga telah banyak dilakukan, yang

sebagian besar dilakukan di luar negeri terutama oleh Emmons dan McCullough,

ada juga studi tentang syukur yang dilakukan oleh Ruini dan Vescovelli (2012),

The Role of Gratitude in Breast Cancer: Its Relationships with Post-traumatic

Growth, Psychological Well-Being and Distress. Studi intervensi syukur dilakukan

oleh Rash, Matsuba, dan Prkachin (2011), Gratitude and Well-Being: Who

Benefits the Most from a Gratitude Intervention?.

Di Indonesia, syukur dalam ranah Psikologi masih tergolong jarang,

seperti studi tentang hubungan bersyukur dan subjective well-being pada

penduduk miskin (Arbiyah, Imelda, & Oriza, 2008), perbedaan tingkat syukur

ditinjau dari kepribadian Big Five Personality (Qoyyimah, 2010). Intervensi syukur

yang telah dilakukan adalah treatment kognitif perilaku bersyukur untuk

menurunkan depresi pada remaja yang dilakukan oleh Mutia, Subandi, dan

Mulyati (2010). Alasan menggunakan pendekatan kognitif perilaku bahwa syukur

dapat dimunculkan dengan membiasakan perilaku positif sebagai balasan dan

wujud dari rasa terimakasih pada sumber yang mendatangkan kebaikan atau

nikmat, sehingga mereka menyimpulkan bahwa syukur dapat muncul melalui

proses berfikir dan membiasakan perilaku tertentu. Treatment kognitif perilaku

Page 21: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/80564/potongan/S2-2015-326042-chapter1.pdfkanker payudara. Beberapa sumber menyatakan tingkat survivor sebagai

21

bersyukur ini dilakukan sebanyak 6 sesi dengan adaptasi modul CBT dari

Retnowati, dkk pada tahun 2008. Treatment ini diberikan pada remaja berusia 13

-18 tahun dengan kategori depresi tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

treatment kognitif perilaku bersyukur terbukti dapat menurunkan atau

mengurangi depresi, ada perbedaan tingkat depresi setelah mendapat treatment

antara subjek kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dan ada perbedaan

tingkat depresi setelah follow-up 2 minggu pasca treatment.

Intervensi syukur juga telah dilakukan oleh Puspitasari (2012), yaitu

program kebersyukuran untuk mengatasi gejala gangguan stres pasca trauma

pada remaja penyintas erupsi merapi. Program ini dilakukan pada siswa SMPN 2

Cangkringan Yogyakarta dengan 24 partisipan, 12 kelompok eksperimen dan 12

kelompok kontrol. Metode program kebersyukuran dengan pendekatan kognitif

behavior yang mengacu dari Miller dan dilakukan berkelompok. Hasil dari

penelitian tidak terbukti secara signifikan adanya penurunan lebih tinggi

gangguan stress pasca trauma pada kelompok eksperimen dibandingkan

kelompok kontrol.

Karakteristik penelitian ini yang membedakan dengan penelitian syukur

yang sudah dilakukan di Indonesia adalah program intervensi syukur dengan

konsep mindfullness, yaitu mengoleksi pengalaman yang disyukuri pada buku

harian syukur dan adanya teknik mindufulness (meditasi) untuk memperkuat

kesadaran kebersyukuran. Selain itu subjek penelitian adalah survivor kanker

payudara dalam tahap transisi, yaitu pasca tumor dan serangkaian treatmentnya

yang masih jarang diteliti, sehingga penelitian pengaruh program intervensi

syukur pada kesejahteraan subjektif survivor kanker payudara dapat

dipertanggung jawabkan keasliannya.