Rinitis Hormonal Case

download Rinitis Hormonal Case

of 15

description

Laporan Kasus tentang rinitis hormonal

Transcript of Rinitis Hormonal Case

Rinitis HormonalMulyaningrum

AbstrakEstrogen merupakan penyebab keluhan hidung tersumbat pada siklus menstruasi dan selama masa kehamilan. Estrogen meningkatkan jumlah asam hyaluronik dalam mukosa hidung, edema jaringan yang dihasilkan meningkat dan hidung tersumbat. Teori lain adalah alergi hormon, yaitu estrogen dapat memicu reaksi alergi lewat kerja pada reseptor alfa estrogen di sel mast. Hormon estrogen sebagai penyebab dari hidung tersumbat pertama kali diaplikasikan sebagai terapi estrogen topikal pada pasien hidung tersumbat dengan rhinitis atrofi. Melaporkan sebuah kasus rinitis hormonal pada seorang perempuan usia 35 tahun datang dengan keluhan hidung tersumbat, rinore serta bersin bersin setiap sedang masa menstruasi yang diberikan terapi cuci hidung dengan larutan natrium klorida 0,9% serta oksimethazolin sebagai dekongestan topikal.Kata Kunci: Rinitis hormonal, siklus menstruasi, hormon estrogenAbstractOestrogens have been considered to cause nasal congestion during menstrual cycle and pregnancy.Estrogen increased the amount of hyaluronic acid in nasal mucosa, therefore causing edema and nasal congestion. Another theory is hormonal allergy, estrogen can triggered allergic reaction through its action on alpha estrogen receptor in mast cell. Estrogen hormone as a cause of nasal congestion, firstly applied as topical estrogen therapy in patient with nasal congestion and atrophy rhinitis. One case of rhinitis hormonal in a 35 years old woman with complaint of nasal congestion, watery discharge from nose and frequent sneezing when in menstruation period which was treated with sodium chloride nasal irrigation and oxymethazoline as a topical decongestan.Keywords: Hormonal rhinitis, menstrual cycle, estrogen hormone

2

3

PENDAHULUANRinitis merupakan suatu inflamasi mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi oleh zat alergen dan reaksi iritasi oleh zat iritan yang menyebabkan gangguan atau kerusakan jaringan mukosa hidung didefinisikan sebagai penyakit yang mempunyai satu atau lebih gejala berikut: hidung tersumbat, rinore, bersin-bersin, hidung gatal serta adanya lendir di belakang tenggorok (post nasal drip) dan berlangsung selama lebih dari 2 hari berturut-turut dengan durasi lebih dari 1 jam setiap harinya. 1Rinitis kronik terdapat pada 80% pasien dengan sindrom kelelahan kronik. Sindrom ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Rinitis alergi (RA) dan rinitis non alergi (RNA) mempunyai tanda, gejala, serta tatalaksana yang sama. Pada beberapa kasus, sangat sulit dibedakan antara RA dan RNA. Gejala umum yang dirasakan pasien dengan rinitis kronik adalah rinore, hidung tersumbat, dan bersin berulang. Gejala ini dapat dirasakan pada pasien yang tidak punya riwayat alergi serta hasil tes cukit kulit dan sitologi hidung negatif. 2Rinitis kronik dapat disebabkan oleh sinusitis, polip hidung dan peradangan kronik, gangguan fungsi tuba serta laring, otitis media kronik, gangguan pendengaran dan penciuman, malaise serta kelelahan. 2Rinitis terbagi menjadi dua klasifikasi mayor yaitu rinitis alergi (RA) dan rinitis non alergi (RNA). Rinitis alergi adalah suatu bentuk rinitis non infeksi yang terjadi akibat respon imun terhadap alergen dengan perantara IgE. Rinitis alergi terjadi apabila suatu alergen berikatan dengan immunoglobulin E (IgE) spesifik di hidung. Rinitis non alergi terjadi apabila gejala gejala seperti hidung tersumbat dan rinore, berkaitan dengan faktor- faktor non alergi dan non infeksi seperti cuaca, aroma tertentu, asap rokok, perubahan tekanan, dan sebagainya serta reaksi alerginya tidak diperantarai oleh IgE. 1Rinitis non alergi dapat dibagi menjadi rinitis non alergi dengan eosinofl, rinitis medikamentosa, rinitis atrofi, rinitis akibat bahan iritan serta rinitis akibat kerja. 2Rinitis non alergi lebih jauh lagi dapat dibagi menjadi 5 subtipe menurut hasil pemeriksaan sitologi hidung, yaitu: (1) basophilic nonallergic rhinitis (BNAR), (2) neutrophilic nonallergic rhinitis (NNAR), (3) eosinophilic nonallergic rhinitis (ENAR), (4) mixed-type nonallergic rhinitis (MNAR), dan (5) nonallergic noninfectious rhinitis (sedikit mengandung sel inflamasi, NANIR). 3Canackcioglu dkk lewat penelitiannya dengan tes sitologi menyebutkan, adanya eosinofil yang mendukung diagnosis rinitis alergi. Subtipe rinitis non alergi yaitu NNAR, ENAR, MNAR dan NANIR merupakan yang paling sering ditemukan. Pada subtipe NANIR, ditemukan persentase sel goblet yang lebih tinggi pada pemeriksaan sitologi hidung. 3 Tabel 1. Klasifikasi Rinitis. 1Infeksi

- Virus

- Bakteri

Alergi

- Intermiten

- Persisten

Akibat kerja

- Intermiten

- Persisten

Akibat obat

- Aspirin

- Medikasi lain

Hormonal

Penyebab lain

- Rinitis non alergi dengan eosinofil

- Akibat bahan iritan

- Makanan

- Atrofi

Idiopatik

Rinitis hormonal didefinisikan sebagai peradangan mukosa hidung akibat dari ketidakseimbangan hormon. Estrogen diketahui mempengaruhi sistem saraf otonom dengan meningkatkan sejumlah faktor termasuk parasimpatik, asetil kolin transferase, dan konten asetil kolin dan juga meningkatkan penghambatan sistem simpatik.4Melalui efek langsung pada mukosa hidung, hormon dapat menyebabkan hiperreaktivitas kelenjar mucus dan menimbulkan gejala rinore. Hipotiroidisme dan akromegali merupakan kondisi yang terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan hormone dan sering dikaitkan dengan gejala rhinitis. Fluktuasi kadar hormone selama menstruasi dapat pula menyebabkan gejala-gejala rinitis. 5Rinitis selama masa kehamilan merupakan hal yang sudah dikenal luas, terjadi pada sekitar 22% wanita hamil. Angka ini akan meningkat menjadi 69% pada wanita hamil perokok. Gejala yang sering terjadi adalah hidung tersumbat dan rinore. Selama masa kehamilan, terjadi perubahan vaskuler dan peningkatan volume darah di sirkulasi sistemik yang mengakibatkan pada meningkatnya sirkulasi darah di hidung serta relaksasi otot polos akibat terinduksi oleh hormone progesterone, prolactin, dan pla Derajat keparahan bergantung dari kadar estrogen dalam darah. Efek pada mukosa hidung dari perubahan kadar estrogen, progesterone, prolactin dan placental growth hormone. 5Hubungan antara gejala hidung tersumbat telah banyak diteliti, dimulai dari Mortimer dkk seperti yang dikutip oleh Mabry, yaitu pada tahun 1936 dengan pemberian estrogen baik secara per oral maupun per injeksi intramuskuler pada kera betina atau jantan, menyebabkan edema perivaskuler. Menurut Taylor dikonfirmasi kembali bahwa pemberian estrogen implan maupun intramuskuler menyebabkan mukosa hidung pada tikus menjadi lebih tebal dan kaya akan pembuluh darah, baik secara makroskopis dan mikroskopis. 6Gejala hidung tersumbat pada saat menstruasi telah diteliti oleh Bresgen dkk, sebagaimana yang dikutip oleh Ellegard dkk, yaitu adanya edema, hiperemis serta hipersekresi kelenjar di hidung, tidak memerlukan konfirmasi lebih jauh lagi, meskipun penelitian ini telah gagal dalam membuktikannya. Sementara itu, menurut Mabry, gejala hidung tersumbat saat hamil, merupakan fenomena yang sudah lebih dikenal dengan angka kekerapan mencapai 30% pada wanita hamil. Estrogen sebagai faktor penyebab telah dibuktikan oleh Toppozada dkk pada wanita tanpa gejala rhinitis serta pengguna pil kontrasepsi dengan kandungan estrogen yang tinggi. Ditemukan adanya perubahan ultrastruktur serta histokimia, yaitu: metaplasia mukosa hidung, hiperreaktivitas kelenjar dan peningkatan kandungan asam mukopolisakarida serta aktivitas fagositik. 6Molteni dkk menyebutkan adanya reseptor estrogen di mukosa hidung, namun mekanisme lain dari aktivitas estrogen telah dikemukakan, yaitu pengeluaran histamine, produksi CAMP atau system reseptor eosinophil yang terpisah. 5

KEKERAPANRinitis kronik merupakan masalah serius bagi industri kesehatan; 10% dari populasi dipengaruhi oleh gejala hidung kronik atau berulang dengan perkiraan 17 sampai 19 juta warga Amerika dengan rinitis non alergi (RNA). Prevalensi pasien dengan RNA di pusat kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok (THT) serta alergi mencapai 28% sampai 60%, dan insidensinya meningkat seiring dengan berambahnya usia. Dari keseluruhan pasien di poliklinik THT, 50% diantaranya terdiagnosa dengan RNA. Dalam suatu survey pada 975 pasien dengan rhinitis kronik, 43% diantaranya dengan rhinitis alergi (RA), 23% dengan RNA, serta 34% merupakan gabungan antara RA dan RNA. Wanita lebih cenderung untuk terkena gejala rinitis, dengan satu penelitian menyatakan bahwa 70% wanita usia 50 sampai 64 tahun dapat mengalami gejala rinitis selama kurun waktu 1 tahun. 2Pada data kunjungan pasien ke poli Alergi dan Imunologi THT RSCM, didapatkan angka kekerapan untuk RNA pada tahun 2013 adalah 100 kasus dan untuk periode Januari hingga Juni 2014 adalah sebesar 44 kasus. Untuk data mengenai angka kekerapan rinitis hormonal di RSCM, sampai saat ini belum ditemukan karena sangat jarang di lapangan.

ANATOMI DAN FISIOLOGIRongga hidung terdiri dari vestibulum, septum nasi dan dinding lateral. Vestibulum dilapisi oleh epitel skuamosa yang berisi rambut hidung dan kelenjar sebaseus. Vestibulum merupakan area penyaring terdepan selama inspirasi. Septum nasi membentuk dinding medial (sekat) dari masing-masing rongga hidung dan meluas dari nares anterior sampai koana di posterior. Rongga nasofaring di sebelah posterior dari kavum nasi merupakan penghubung rongga hidung dengan orofaring dan terdapat adenoid serta muara tuba Eustachius. 6Dinding lateral rongga hidung terdiri dari konka, yang berfungsi untuk memperluas permukaan mukosa saluran napas. Mukosa kavum nasi memiliki fungsi untuk menghangatkan dan melembabkan udara pernapasan, metabolisme biokimia, serta mengalirkan partikel-partikel asing yang terhirup ke orofaring. Mukosa dilapisi oleh epitel toraks bertingkat yang dilengkapi dengan silia, sel goblet, sel basal serta kelenjar submukosa. Sel goblet dan kelenjar submukosa menghasilkan palut lendir IgA, laktoferin dan lisozim yang berfungsi menyaring partikel yang terhirup, pembersihan hidung dan sebagai pertahanan terhadap infeksi.Pada epitel toraks terjadi metabolism aktif, yang dilengkapi mitokondria dengan konsentrasi tinggi serta beberapa enzim yang dapat mencerna mediator endogen ataupun partikel terinhalasi yang bersifat toksik. 6Berbeda dengan saluran napas bawah, perubahan mukosa hidung lebih dipengaruhi oleh vaskularisasi daripada kerja otot polos. Patensi hidung dan respon sekretorik dipengaruhi oleh beberapa mediator endogen yang melalui mekanisme imunologis dan neurologis. 6Rongga hidung dipersarafi oleh dua struktur utama, yaitu nervus olfaktorius (CN.I) yang berfungsi untuk penghidu dan nervus trigeminus (CN.V) yang berfungsi sebagai reseptor sensasi iritasi. Selain itu, nervus glossofaringeus dan nervus vagus berfungsi sebagai reseptor sensasi iritasi di hipofaring dan laring. Dalam hal mengenali makanan yang melibatkan kombinasi sensai rasa dan bau, pengenalan berbagai zat inhalan juga melibatkan rangsangan nervus olfaktorius dan nervus trigeminus. Nervus trigeminus dapat memberikan sensai berupa rasa segar atau dingin (sebagai respon terhadap menthol) sampai rasa terbakar atau menyengat (misalnya ammonia dan klorin). Cabang terminal nervus trigeminus termasuk ion channel neuron nosiseptif diameter kecil (serabut C dan A) yang mengandung beberapa jenis ion channel. Serabut C juga megeluarkan neuropeptide vasoaktif yang selanjutnya dapat dilepaskan sebagau bagian dari refleks nosiseptif. 6Struktur luar hidung terdiri dari kerangka berbentuk piramida yang disokong oleh struktur tulang dan tulang rawan yang memberikan proyeksi hidung dari bidang wajah. Struktur ini sangat penting dalam mekanisme inspirasi normal. Melekat pada dinding lateral kavum nasi yang berupa struktur tambahan berlapis mukosa adalah konka. Ada tiga pasang konka yang melekat pada dinding lateral kavum nasi: konka inferior, yang berasal dari tulang maksila, serta konka media dan konka superior yang berasal dari tulang ethmoid. Struktur konka ini, terutama konka inferior mempunyai mekanisme pertahanan terhadap berbagai jenis agen alergik dan non alergik, serta rangsangan fisik. Jaringan mukosa ini akan mengalami proses vasodilatasi sebagai respon terhadap mediator inflamasi seperti histamine, sehingga menyebabkan konka membengkak serta hidung akan tersumbat. Lapisan mukosa dari bagian paling distal kavum nasi dilapisi oleh epitel skuamosa bertingkat berkeratin yang meluas sampai kedua vestibulum. Epitel skuamosa ini terdiri dari rambut halus yang disebut juga vibrissae, yang berperan sebagai penyaring partikel besar yang terhirup ke dalam hidung. Sisi proksimal dari vestibulum adalah area katup hidung, sangat penting sebagai saluran udara untuk mengalir masuk ke dalam faring. Tahanan aliran udara mencapai nilai maksimum di area ini. Terdapat peralihan lapisan mukosa di area antara vestibulum dan katup hidung yaitu menjadi epitel kolumner berlapis semu bersilia, yang mana melapisi sebagian besar area pernapasan atas dan bawah. Area ini mempunyai persamaan secara histologik dengan mukosa sinus paranasal dan paru, sehingga akan memberikan respon yang sama saat terpapar allergen dan bahan iritan. Mukosa hidung dipersarafi secara sensorik dan otonom. Persarafan otonom berperan dalam fisiologi keseimbangan aliran udara di hidung. Persarafan simpatik (adrenergic) dan parasimpatik (kolinergik) juga mempersarafi mukosa hidung. Rangsangan serabut saraf sensorik pada hidung, dapat menyebabkan efek iritatif yang sering terdapat di rhinitis, termasuk di antaranya bersin bersin serta hidung terasa gatal. Lapisan epitel hidung berada di atas lapisan dasar yang terdiri dari kolagen dan jaringan penyokong lainnya. Di bawah lapisan dasar ini adalah lamina propria yang kaya oleh suplai pembuluh darah kapiler pembuluh darah kapiler ini permukaannya berlubang lubang, sehingga memudahkan terjadinya transudasi cepat cairan ke dalam lamina propria dengan rangsangan oleh agen alergik maupun non alergik. Pada daerah lamina propria konka, kapiler kapiler ini saling terhubung oleh sinusoid vena kavernosus yang dapat dengan cepat bertambah besar.7

Gambar 1. Mukosa hidung.6

Siklus MenstruasiSiklus menstruasi dapat dibedakan menjadi 3 fase yakni fase folikular atau pre ovulasi, fase ovulasi, dan fase luteal atau post ovulasi. Fase folikular dimulai pada hari pertama menstruasi sampai sebelum kenaikan luteinizing hormone (LH) dan berlangsung selama 11 hari. Pelepasam gonadotropin releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus menstimulasi pertumbuhan folikel ovarium. Folikel ini dominan menghasilkan estrogen yang merangsang pertumbuhan endometrium. Sel stroma dan sel epitel berproliferasi dengan cepat sehingga memicu terjadinya ovulasi. Selama siklus haid pada masa reproduksi, kadar estradiol berkisar antara 40-80 pg/ml, pada pertengahan fase folikuler berkisar antara 60-100 pg/ml, pada akhir fase folikuler berkisar antara 100-400 pg/ml dan pada fase luteal berkisar antara 100-200 pg/ml. Kadar rata-rata estradiol selama siklus haid normal adalah 80 pg/ml sedangkankadar estron berkisar antara 40-400 pg/ml. 5Fase luteal atau sekresi disebut juga fase progesterone terjadi setelah ovulasi dan berlangsung selama 14 hari dan berakhir dengan dimulainya siklus menstruasi baru. Karakteristiknya dijumpai adanya korpus luteum. Korpus luteum ini mensekresi progesterone dalam jumlah yang banyak dan sedikit estrogen. Sekresi progesterone ini memicu pengeluaran ovum untuk pembuahan. Sekresi progesterone berlangsung sampai 8 hari setelah kenaikan LH. Progesterone bekerja berlawanan dengan efek estrogen, yakni menghambat proliferasi dan menghasilkan perubahan glandular untuk menerima implantasi dari ovum yang telah dibuahi. Bila tidak terjadi pembuahan dan produksi human chorionis gonadotropin (HCG) tidak terjadi korpus luteum, maka korpus luteum tidak akan bertahan. Regresi dari korpus luteum ini mengakibatkan penurunan progesterone dan estrogen yang memicu penipisan lapisan endometrium sehingga terjadi menstruasi.5

Gambar 2. Siklus menstruasi 5

Gambar 3. Fase dalam siklus menstruasi. 5

PATOGENESISSelama kehamilan, plasenta memproduksi estrogen dalam jumlah besar. Estrogen dikenal dapat memperburuk produksi lendir dan dapat menyebabkan lendir menjadi sangat kental atau sangat encer. Estrogen juga menyebabkan konka dalam hidung (kecil, bentuk tulang yang memegang mukosa) menjadi bengkak, yang dapat mengganggu pernapasan. Kejadian rhinitis yang sama juga dialami wanita yang memakai pil KB dan menjalani terapi hormon pengganti. 8Estrogen meningkatkan jumlah asam hyaluronik dalam mukosa hidung, edema jaringan yang dihasilkan meningkat dan hidung tersumbat. Peningkatan sekresi kelenjar lendir di hidung selama kehamilan, dengan peningkatan pada mukosa dan silia menurun. Selain itu, baik -estradiol dan progesteron memiliki reseptor di mukosa hidung faktor ini juga berkontribusi terhadap kongesti nasal di kalangan wanita hamil. 8Menurut Wallace dkk, rhinitis hormonal terkait dengan rhinitis pada siklus menstruasi dan saat kehamilan. Rhinitis hormonal ini sering dikategorikan sebagai rinitis vasomotor. Pada wanita hamil, terjadi peningkatan hormone progesterone, estrogen, prolaktin, serta placental growth hormone yang mana menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan volume darah di sirkulasi sistemik, serta relaksasi otot. Semua ini dapat mengakibatkan mukosa hidung membengkak dan muncul keluhan hidung tersumbat. Selain itu, dapat terjadi keluhan rinore sebagai akibat dari hiperaktivitas kelenjar mucus. 10Dari penelitian yang dilakukan oleh Paulson dkk terhadap perbandingan antara 26 wanita dan 8 orang wanita dengan siklus menstruasi teratur. Kedua kelompok ini tidak menggunakan pil kontrasepsi dan tidak ada riwayat alergi sebelumnya. Kelompok pertama dilakukan nasal peak expiratory flow setiap pagi dan sore yang diukur selama siklus reproduksi 28 hari serta kelompok kedua dilakukan acoustic rhinometry pada premenstrual period dan saat menstrual bleeding. Kedua kelompok ini juga dilakukan pengukuran kadar estrogen dan progesterone saat fase luteal dan fase menstruasi serta biopsi mukosa konka inferior hidung untuk mencari adanya reseptor estrogen dan progesterone. Hasilnya adalah tidak ada kaitan antara hormone estrogen dan progesterone terhadap mukosa hidung, dan tidak ditemukan adanya reseptor hormone padanya. 11Toppozada dkk melaporkan hasil dari studi penggunaan pil kontrasepsi yang mengandung hormon estrogen pada 25 wanita, didapatkan hasil positif yaitu adanya gejala rinitis, seperti hidung tersumbat, rinore, hidung gatal serta bersin berulang pada 25 wanita. Hasil ini dikonfirmasi dengan perubahan histologik pada mukosa hidung, yakni pada lapisan epitel, lamina basal, tunika propria, sel stroma, serta jaringan ikat. Perubahan sebagai akibat dari peningkatan hormon estrogen ini berupa metaplasia lapisan epitel skuamosa, hiperplasia kelenjar, proliferasi histiositik dan penebalan jaringan ikat. Perubahan histologi ini serupa dengan rinitis non alergi.12

Gambar 4 Gambaran histologi pada rinitis hormonal.12Patogenesis lain yaitu tentang alergi hormon dikemukakan oleh Gaetjens dan dikutip oleh Shah. Alergi hormon merupakan reaksi alergi yang mana alergennya adalah hormon itu sendiri. Reaksi ini dapat mempengaruhi fungsi normal hormon. Hal ini dapat terjadi sebelum menstruasi pada wanita, yang variasi dalam siklus menstruasi. Semua hormone dapat menjadi alergen. Turunan yang berbeda dari estrogen dan progesterone berikatan dengan protein serum seperti bovine serum albumin, -estradiol-6-carboxymethyl-BSA, -estradiol-6- carboxymethyl-BSA, progesterone-11--BSA, progesterone- 7-BSA, progesterone-3-carboxymethyl-BSA, dan sebagainya.13Kastner dkk seperti yang dikutip oleh Shah mengemukakan mekanisme inflamasi pada alergi hormone serupa dengan reaksi alergi lain terhadap alergen. Estrogen dapat memicu reaksi alergi lewat kerja pada reseptor alfa estrogen di sel mast, yang dapat menjelaskan puncak reaksi alergi pada wanita saat menstruasi, kehamilan, dalam terapi kontrasepsi oral dan hormone replacement therapy. Beberapa reaksi imun dapat berperan dalam mekanisme alergi hormone. Hipotesis pertama adalah bahwa estrogen dan progesterone dapat berperan sebagai antigen setelah berikatan dengan protein yang berbeda sehingga memproduksi sel Th2, yang pada akhirnya mengatur sintesis IgE serta antibodi lainnya. Antibodi yang berikatan dengan sel mast beserta antigen yang sesuai (hormone atau metabolit) menimbulkan degranulasi sel mast atau basophil. Reaksi ini menyebabkan pengeluaran histamine, Th2 sitokin, dan leukotriene. Hipotesis kedua adalah setelah hormone berikatan dengan protein darah, limfosit yang berbeda akan bereaksi terhadap kompleks ikatan ini dan menyebabkan proliferasi limfosit dan produksi sitokin, yang merupakan reaksi alergi tipe IV atau reaksi hipersensitivitas tipe 1 dengan dominansi Th1. 13

DIAGNOSISDiagnosis rinitis hormonal ditegakkan melalui anamnesis yang menyeluruh, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penderita dengan gejala klinis yang dominan seperti hidung tersumbat, bersin berulang, rinore (anterior atau posterior), serta rasa gatal pada hidung, mata, mukosa rongga mulut dan wajah. Gejala-gejala ini agak sulit dibedakan baik pada rhinitis alergi maupun rhinitis non alergi. Faktor pencetus rinitis non alergi adalah perubahan cuaca, suhu, makanan, parfum, bau menyengat serta asap rokok. Keluhan penyerta konjungtivitis alergi (mata gatal, berair, kemerahan, serta bengkak), jarang dirasakan pada pasien rinitis non alergi.14Pemeriksaan fisik yang diperlukan adalah pemeriksaan kepala dan leher komprehensif yaitu dengan nasoendoskopi. Mukosa hidung biasanya terlihat membengkak dan diselimuti cairan bening. Dapat terlihat juga pembengkakan mukosa dan hiperplasia limfoid yang melibatkan tonsil, adenoid, dan dasar lidah. Peradangan serta sekret kental di meatus media dan resesus sfenoethmoid menandakan adanya infeksi aktif, Polip hidung merupakan tanda adanya peradangan kronik serta obstruksi. Atrofi mukosa dapat terlihat pada pasien tua, adanya riwayat pembedahan sebelumnya, dan konsumsi obat yang berlebihan. Obstruksi akibat variasi anatomi dapat ada pada septum deviasi, hipertrofi konka serta stenosis atau atrofi koana. Pemeriksaan nasofaring juga dapat dilakukan untuk mengidentifikasi hipertrofi adenoid. 14

GEJALA KLINISAnamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 70% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejalanya terdiri dari satu atau lebih dari hal berikut : rinorhea, bersin, gatal-gatal dan/atau sumbatan pada hidung yang menyebabkan penurunan dari indera penciuman.5Gejala yang paling umum didapati pada rhinitis hormonal ialah hidung tersumbat dan rinore. Gejala ini biasanya dialami oleh wanita saat kehamilan, menstruasi, pubertas dan pemakaian estrogen eksogen. Pada saat hamil, rinitis hormonal biasanya bermanifestasi pada bulan kedua dan akan terus berlanjut selama kehamilan. Dimana estrogen diketahui mempengaruhi sistem saraf otonom dengan meningkatkan skerja saraf parasimpatik, aktivitas asetil kolin transferase, dan asetilkolin, serta meningkatkan penghambatan sistem saraf simpatik melalui reseptor alfa-2 4Hipotiroid diketahui menyebabkan rhinitis hormonal. Pada hipotiroidisme, terjadi peningkatan pelepasan TSH menyebabkan edema dari konka. Hidung tersumbat dan pilek adalah gejala yang paling umum dari rhinitis hormonal. 4Tes Cukit KulitPemeriksaan ini untuk menguji reaksi alergi yang diperantarai oleh IgE pada kulit. Seperti yang direkomendasikan oleh The European Academy of Allergology and Clinical serta US Joint Council of Allergy Asthma and Immunology, merupakan penegakan guna diagnostik utama di bidang alergi.8Sitologi dan HistologiTujuannya adalah untuk mengevaluasi pola morfologi sel-sel mukosa hidung yang terlibat. Teknik untuk mendapatkan specimen yang akurat adalah kerokan, pembilasan, maupun biopsi. Berguna untuk membedakan lesi peradangan maupun yang bukan, lesi alergi dan non alergi, infeksi bakteri dan virus serta evaluasi rhinitis maupun responnya terhadap terapi yang diberikan.8Pemeriksaan ini penting dalam penegakan diagnosis rinitis non alergi, bila hasil tes cukit kulit negatif. Adanya sel eosinofil dalam jumlah banyak dapat menapis antara rinitis alergi dan rinitis non alergi dengan eosinofil serta tipe rinitis lainnya. Ditemukannya sel neutrofil dapat mendukung diagnosis ke arah rinosinusitis infeksi. Sehingga, adanya eosinofil serta sel sel lain seperti basofil, neutrofil, dan sel goblet dapat membantu dalam klasifikasi dan penegakan diagnosis rhinitis. 15Rinitis non alergi lebih jauh lagi dapat dibagi menjadi 5 subtipe menurut hasil pemeriksaan sitology hidung, yaitu: (1) basophilic nonallergic rhinitis (BNAR), (2) neutrophilic nonallergic rhinitis (NNAR), (3) eosinophilic nonallergic rhinitis (ENAR), (4) mixed-type nonallergic rhinitis (MNAR), dan (5) nonallergic noninfectious rhinitis (sedikit mengandung sel inflamasi, NANIR). 15Canackcioglu dkk mengemukakan hasil tes sitologi adanya eosinofil mendukung diagnosis rinitis alergi. Subtipe rinitis non alergi yaitu NNAR, ENAR, MNAR dan NANIR merupakan yang paling sering ditemukan. Pada subtipe NANIR, ditemukan persentase sel goblet yang lebih tinggi pemeriksaan sitologi hidung. 15

Pemeriksaan ImunohistokimiaBowser melaporkan hasil penelitian seperti yang dikutip oleh Millas dkk yang menggunakan metode imnunohistokimia untuk menganalisis mukosa hidung dan mendeteksi reseptor estrogen yang tidak spesifik pada sitoplasma sel kelenjar seromusin dan kelenjar di mukosa konka inferior ibu hamil dan wanita pengguna kontrasepsi hormonal gejala rinitis. Balbani juga mendeteksi adanya reseptor estrogen dengan pemeriksaan yang sama pada sitoplasma kelenjar seromusin dari lamina propria konka inferior pada subjek pria dengan rhinitis kronik. 16

DIAGNOSIS BANDING DAN KOMPLIKASIRinitis medikamentosa merupakan salah satu diagnose banding, disebabkan penggunaan dekongestan topikal dalam jangka panjang serta kontrasepsi oral. 17Sinusitis dapat menjadi salah satu diagnose banding dan komplikasi pada rhinitis hormonal. Gejala dan tanda yang dirasakan adalah sensasi mencium bau busuk, nyeri unilateral serta produksi sekret purulent unilateral. Pada pemeriksaan nasoendoskopi dapat ditemukan adanya pus di meatus media. 17Nasal granuloma gravidarum merupakan komplikasi pada rhinitis kehamilan. Ini adalah tumor jinak yang pertumbuhannya cepat sehingga menimbulkan gejala hidung tersumbat. Tumor jinak ini Mempunyai gambaran histologi yang sama dengan granuloma piogenik. Lokasi selalu unilateral dan menyebabkan keluhan epistaksis berulang. Melalui pemeriksaan rinoskopi anterior dapat terlihat massa dengan vaskularisasi baik yang mudah berdarah. Dapat memenuhi kavum nasi hingga vestibulum sehingga mudah terlihat dari luar. Tatalaksana adalah dengan eksisi dalam anestesi local, namun lesi ini dapat hilang dengan sendirinya setelah persalinan. 17

PENATALAKSANAANNozard dkk menyebutkan bahwa rinitis hormonal umumnya tidak membutuhkan tatalaksana farmakologi yang spesifik dan penggunaan steroid intranasal telah terbukti tidak efektif. Terdapat bukti yang mendukung penggunaan ipraptropium bromide dan pseudoefedrin, walaupun penggunaan pseudoefedrin dihindari pada trimester pertama kehamilan dan wanita dengan hipertensi. Penatalaksanaan pada rhinitis hormonal biasanya tidak memerlukan intervensi farmakologis tertentu dan tatalaksananya terdiri dari cuci hidung dengan larutan isotonis yaitu natrium klorida. 19Cuci HidungCuci hidung dengan larutan isotonis telah terbukti sangat membantu karena dapat membersihkan mucus, meningkatkan pergerakan silia pada epitel mukosa hidung, serta melindungi mukosa hidung. Efek samping dari cuci hidung ini sendiri dilaporkan sangat minimal, yakni rasa panas dan mual. Dari telaah Cochrane tahun 2007 dengan metode randomized controlled trial, didapatkan kesimpulan bahwa cuci hidung sangat efektif sebagai terapi dengan efek samping sangat minimal serta dapat dimasukkan sebagai terapi tambahan untuk rinosinusitis kronis. 14

Dekongestan Dekongestan mempunyai efek kerja mengurangi keluhan hidung tersumbat. Jenis oral dan topical bekerja untuk menstimulasi reseptor - adrenergic yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga mengurangi suplai darah ke sinusoid. Dekongestan topikal dapat berupa derivate dari katekolamin (fenilefrin) dan imidazolin (xylometazolin dan oxymetazolin) serta mempunyai onset cepat dan efek kerja lebih kuat dibandingkan dekongestan sistemik. Dekongestan oral tidak mempuyai efek sistemik, namun dapat mempunyai fenomena rebound bila digunakan lebih dari 5 hari. 14Antikolinergik topikalAntikolinergik berguna untuk terapi pada pasien dengan keluhan utama berupa rinore. Ipraptropium bromide hampir tidak mempunyai efek sistemik ketika diaplikasikan secara intranasal dan sangat efektif dalam meringankan keluhan rinore , baik pada kasus rinitis alergi maupun rinitis non alergi. Farmakoterapi ini tidak mempunyai efek kerja terhadap keluhan bersin, hidung gatal maupun hidung tersumbat. 14

PROGNOSISPrognosis untuk kasus rinitis hormonal cukup baik dengan tatalaksana cuci hidung serta dekongestan topikal

LAPORAN KASUSSeorang wanita usia 35 tahun datang ke poliklinik Alergi THT pada 15 Juli 2014 dengan keluhan hidung tersumbat, lendir di belakang tenggorok, serta bersin berulang bila sedang menstruasi. Keluhan tersebut diakui muncul baru sejak 3 tahun yang lalu saat sedang hamil anak ketiga. Mempunyai riwayat keluar cairan dari kedua telinga sekitar 10 tahun yang lalu dan tidak diobati. Saat ini tidak ada keluhan keluar cairan dari telinga, penurunan pendengaran maupun nyeri telinga.Pasien mempunyai riwayat haid pertama kali (menarche) yaitu pada usia 12 tahun dengan siklus haid teratur setiap bulan dan lama 7 9 hari, 2 hari peertama ada flek, kemudian banyak 4 hari, kemudian diakhiri flek selama 3 hari. Riwayat ganti pembalut 3x/hari. Nyeri saat menstruasi diakui. Pasien mempunyai riwayat obstetrik yaitu G3P2A1 dengan persalinan normal pada hamil anak pertama serta lewat section cesaria pada hamil kedua dan ketiga. Riwayat infertilitas primer selama 6 tahun. Riwayat pemakaian kontrasepsi oral, implan maupun yang berupa intrauterine device (IUD) disangkal. Pasien mempunyai riwayat toksoplasma dan meminum obat isoprinosin pada kehamilan pertama dan kedua. Pada tahun 2013, pasien didiagnosa mioma intramural kecil. Gejala klinis seperti keluhan hidung tersumbat, lendir di belakang tenggorok bersin berulang, serta hidung terasa gatal mulai muncul sejak setelah persalinan anak ke-3 yaitu setiap saat menstruasi. Pada pemeriksaan fisik pada kedua telinga ditemukan liang telinga lapang, secret dan serumen tidak ada, serta membran timpani intak dan ada bekas perforasi. Pada pemeriksaan fisik hidung menggunakan nasoendoskopi, pada hidung kanan ditemukan kavum nasi sempit, konka inferior hipertrofi, terdapat sekret serous, serta septum deviasi setinggi konka media. Pada hidung kiri didapatkan hal yang sama namun dengan septum deviasi setinggi konka inferior sampai konka media. Struktur nasofaring ditemukan dalam batas normal serta terdapat post nasal drip berupa sekret serous. Pasien dilakukan pemeriksaan cukit kulit dan didapatkan hasil yang negatif terhadap 16 jenis allergen yang diujicobakan. Diagnosa di poli Alergi Imunologi THT adalah rhinitis kronis non alergi suspek hormonal. Pasien diberikan terapi cuci hidung dengan larutan Natrium Klorida 0,9% 3 x 30 cc serta dekongestan topical Afrin (Oxymethazolin) 2 x 2 semprot pada setiap kavum nasi. Pasien diedukasi agar control kembali saat periode menstruasinya sudah selesai.Pasien kontrol ke poli Obstetri Ginekologi divisi Endokrinologi pada 25 Juli 2014 guna evaluasi mengenai keluhan rhinitis dan korelasinya dengan tes hormon. Dari sana, pasien mendapatkan terapi pil kontrasepsi YAZ yang berisi etinil estradiol dan drospirenon untuk regulasi haidnya. Pasien mulai meminum pil kontrasepsi YAZ tersebut pada 28 Juli 2014.Pasien kembali kontrol ke poli Alergi Imunologi THT pada 13 Agustus 2014 untuk dilakukan pemeriksaan kerokan konka inferior hidung guna pemeriksaan sitologi. Dilanjutkan keesokan harinya pada 14 Agustus 2014 dilakukan pemeriksaan kadar hormone estrogen di laboratorium terpadu FKUI. Hasil dari pemeriksaan sitology hidung adalah eosinophil sebanyak 0%, neutrophil segmen sebanyak 40% dan limfosit sebanyak 60%. Sedangkan, hasil dari tes hormone estradiol 17-B adalah 44 pg/ml. Pasien juga sempat dilakukan pemeriksaan nasoendoskopi di poli THT dengan hasil kedua kavum nasi lapang, konka inferior eutrofi, meatus medius terbuka dan tidak tampak sekret dan septum deviasi.Pada 25 Agustus 2014, yaitu pada hari ke-3 menstruasi pasien, dilakukan kembali pemeriksaan sitology hidung dan tes hormone estradiol 17-B. Saat itu, pasien kembali mengalami gejala rhinitis yaitu berupa hidung tersumbat, hidung gatal, bersin berulang dan pilek. Hasil dari tes sitology adalah eosinophil sebanyak 0%, neutrophil segmen 50% serta limfosit sebanyak 50%. Lalu, hasil dari tes hormone estradiol adalah 92,1 pg/ml. Pasien kembali dilakukan nasoendoskopi dengan hasil kedua kavum nasi sempit, konka inferior hipertrofi, tampak produksi sekret serous, meatus medius terbuka serta septum deviasi.

DISKUSIRinitis hormonal merupakan penyakit dengan penegakan diagnosa yang cukup sulit, karena membutuhkan banyak pemeriksaan penunjang dan tidak adanya standar baku emas dalam penegakannya. Rinitis hormonal dapat disebabkan oleh perubahan mukosa hidung yang sering dikaitkan dengan fluktuasi kadar hormon estrogen pada wanita. Siklus menstruasi ditandai oleh rendahnya kadar plasma estradiol dan progesterone. Setelah hari ketujuh, kadar estradiol meningkat dan puncaknya adalah saat ovulasi. Hal ini masih menjadi perdebatan dalam penelitian. Menurut Paulson dkk11, tidak ada kaitan antara hormone estrogen dan progesterone terhadap mukosa hidung, dan tidak ditemukan adanya reseptor hormone padanya. Hal ini bertentangan dengan hasil dari penelitian Toppozada dkk12, yang menyebutkan peningkatan hormon estrogen ini berupa metaplasia lapisan epitel skuamosa, hiperplasia kelenjar, proliferasi histiositik dan penebalan jaringan ikat. Perubahan histologi ini serupa dengan rinitis non alergi.Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan modal dasar dalam penegakan diagnosis, yaitu seperti yang disebutkan menurut Ellegard17, bahwa diagnosa rinitis hormonal dapat ditegakkan, ketika wanita pada saat menstruasi maupun saat kehamilan mengeluh adanya hidung tersumbat dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Pada pasien ini ditemukan adanya keluhan hidung tersumbat, lendir di belakang tenggorok, serta bersin berulang bila sedang menstruasi dan pada pemeriksaan lewat nasoendoskopi ditemukan kavum nasi sempit, konka inferior hipertrofi, terdapat sekret serous, serta septum deviasi. Pasien juga dilakukan tes cukit kulit dengan hasil negatif. Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari The European Academy of Allergology and Clinical serta US Joint Council of Allergy Asthma and Immunology.14 Selanjutnya, pasien dilakukan pemeriksaan sitologi hidung dengan hasil tidak didapatkan adanya peningkatan kadar eosinophil baik sebelum menstruasi maupun saat menstruasi. Hasil ini sesuai dengan studi oleh Canackcioglu dkk15, yang menyebutkan adanya sel eosinofil dalam jumlah banyak dapat menapis antara rinitis alergi dan rinitis non alergi dengan eosinophil serta tipe rinitis lainnya. Lalu, pada pemeriksaan kadar hormon estrogen pada sebelum dan saat menstruasi ditemukan adanya peningkatan, namun masih dalam batas normal. 15Penatalaksanaan pasien dengan rinitis hormonal menurut Nozard dkk19, umumnya tidak membutuhkan tatalaksana farmakologi yang spesifik dan penggunaan steroid intranasal telah terbukti tidak efektif. Pada pasien ini dberikan terapi cuci hidung dengan larutan Natrium Klorida 0,9% yang sesuai dengan telaah Cochrane tahun 2007 dengan metode randomized controlled trial, didapatkan kesimpulan bahwa cuci hidung sangat efektif sebagai terapi dengan efek samping sangat minimal serta dapat membersihkan mukus, meningkatkan pergerakan silia pada epitel mukosa hidung, serta melindungi mukosa hidung.19 Selanjutnya, pasien juga diberikan terapi dekongestan topikal yang mempunyai efek kerja mengurangi keluhan hidung tersumbat, namun dapat mempunyai fenomena rebound bila digunakan lebih dari 5 hari. 14

DAFTAR PUSTAKA1. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A et al. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008 update in collaboration with The World Health Organization. Allergy 2008; 63(86): 8-160 (1)2. Schrorer B, Pien L. Nonallergic rhinitis: common problem, chronic symptoms. Cleveland Clinic Journal of Medicine 2012; 79(4):258-933. Mabry RL. Rhinitis of pregnancy. Southern Medical Journal 1986; 79(8): 960-9714. Ramakhrisnan VR, Meyers AD. Pharmacotherapy for nonallergic rhinitis. Available from: http://www/emedicine.medscape.com. Accessed July, 2014.5. Farage MA, Neill S, Maclean AB. Physiological changes associated with the menstrual cycle. CME Review Article 2009; 64(1): 58-606. Anggraini D. Prevalensi rhinitis akibat kerja dan faktor risiko yang berhubungan pada pekerja pabrik bahan kimia surfaktan PT X. Usulan Penelitian. Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia; 2008. p.128-1297. Krouse JH. Allergic and nonallergic rhinitis. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & neck surgery- Otolaryngology 4th edition.8. Bousquet J, Cauwenberge P, Khaltaev N. Allergic rhinitis and its impact on asthma. The Journal of Allergy and Clinical Immunology 2001; 108(5):1729. Philadelphia.: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 352-6310. Wallace D, Dykewicz M. The diagnosis and management of rhinitis: an updated practice parameter. Journal Allergy Clinical nal of Immunology 2008; 122(2):1311. Paulson B, Gredmark T, Burian P, Bende M. Nasal mucosal congestion during menstrual cycle. The Journal of Laryngology and Otology 1997; 111: 337-33912. Toppozada H, Toppozada M, Ghazzawi E, Elwany S. The human respiratory nasal mucosa in females using contraceptive pills. The Journal of Laryngology and Otology 1984; 98: 43-5113. Shah S. Hormonal link to autoimmune allergies. International Scholarly Research Network 2012; 1-514. Joe AS, Patel S. Nonallergic rhinitis. In: Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins T et al, editors. Cummings otolaryngology head & neck surgery. Philadelphia. Mosby Inc; 2010. P. 694-70215. Canackcioglu S, Tahamiler R, Saritzali G, Alimoglu Y, Isildak H, Guvenc MG et al. Evaluation of nasal cytology in subjects with chronic rhinitis: a 7-year study. Journal of Otolaryngology-Head and Neck Medicine and Surgery 2009; 30: 312-31716. Millas I, Liquidato BM, Dolci JEL, Macea JR, Fregnani JHTG. Immunohistochemical evaluation of estrogen receptors alpha and beta in normal inferior turbinate mucosa. Int. J. Morphol 2010; 28(1):143-15017. Ellegard E, Karlsson G. Nasal congestion during menstrual cycle. Clinical Otolaryngology 1994; 19: 400-40318. Rebar RW, Erickson GF. Reproductive endocrinology and infertility. In: Goldman L, Schafer A. Goldmans cecil medicine 24th ed. New York: Elsevier Inc; 2012. p.109-2219. Nozard CH, Michael ML, Lew BL, Michael CF. Nonallergic rhinitis: a case report and review. Journal of Clinical and Mollecular Allergy 2010; 8:1