makalah rinitis
-
Upload
nor-aliya-ayub -
Category
Documents
-
view
127 -
download
6
description
Transcript of makalah rinitis
Rinitis Alergi
1.Pendahuluan
Rinitis adalah keadaan di mana hidung bagian dalam mengalami peradangan sehingga
timbul gejala menyerupai flu seperti bersin-bersin, hidung gatal, tersumbat, dan berair. Salah satu
penyebab rinitis yang tersering adalah alergi. Namun, rinitis juga dapat timbul tanpa reaksi
alergi. Berbeda dengan rinitis alergi, rinitis non-alergi timbul tanpa reaksi alergi. Rinitis jenis ini
dapat timbul akibat infeksi virus, infeksi bakteri, dipicu oleh makanan dan alkohol, polutan
udara, perubahan hormonal, dan dipicu oleh beberapa jenis obat. Rinitis alergi disebabkan oleh
alergen yaitu zat yang dapat menimbulkan alergi. Zat tersebut tidak menimbulkan reaksi apapun
pada orang yang tidak alergi. Pada orang yang tidak alergi debu, paparan terhadap debu tidak
menimbulkan reaksi. Namun, paparan debu pada orang alergi debu dapat memicu reaksi
antibodi. Antibodi ini menyebabkan sel mengeluarkan zat kimia yang menyebabkan gejala
seperti hidung berair, gatal, hidung tersumbat, bersin-bersin, bahkan sesak napas.
2.Pembahasan
Kasus: seorang ibu berusia 42 tahun datang ke poli umum dengan keluhan hidung sering
tersumbat sejak 1 minggu yang lalu terutama pagi hari, sering bersin, kalau bersin sampai lebih
dari 5 kali, hidung gatal dan ingus encer.
2.1 Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi di hadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Perkara pertama yang dilakukan
1
oleh seorang dokter setiap kali pasien datang adalah melakukan anamnesis. Hal yang ditanya
antaranya adalah seperti berikut:1
Identitas: nama, tanggal dan tempat lahir, alamat, agama, umur, status perkahwinan, suku
bangsa, pekerjaan dan lain-lain.
Keluhan utama: apakah keluhan utama yang menyebabkan pasien datang berjumpa
dokter. Misalnya dalam kasus ini keluhannya adalah hidung sering tersumbat, sering
bersin, hidung gatal disertai ingus encer. Keluhan yang sering diutarakan oleh pasien
rhinitis adalah keluar ingus, rasa gatal, hidung tersumbat dan sering bersin. Untuk kasus
berkaitan hidung, keluhan utama yang sering diceritakan oleh pasien adalah sumbatan
hidung, sekret di hidung dan tenggorokan, bersin, rasa nyeri di daerah muka dan kepala,
perdarahan dari hidung dan gangguan penghidu.
Riwayat penyakit sekarang: tanyakan tentang onset dan durasi keluhan berlangsung,
intensitasnya bagaimana, adakah faktor pencetus atau pemberat, adakah keluhan terjadi
setelah terpapar terhadap debu, udara dingin, atau makanan tertentu, frekuensi dalam
sehari, atau adakah keluhan sampingan lain seperti sakit kepala, sesak nafas, demam,
sakit tekak atau batuk-batuk. Tentukan pola waktu dari gejala dan apakah gejala tersebut
terjadi secara konsisten dalam waktu tahunan (seperti rhinitis perennial), hanya terjadi
pada saat waktu atau musim tertentu (rhinitis musiman), atau kombinasi dari keduanya.
Selama periode eksaserbasi, tentukan apakah gejala tersebut terjadi secara harian atau
secara episodik. Tentukan juga apakah gejala berlangsung sepanjang hari atau hanya di
waktu tertentu dalam satu hari. Informasi ini dapat menolong dalam menegakan diagnosis
dan mentukan kemungkinan pencetus.
Riwayat penyakit dahulu: apakah pernah mengalami infeksi saluran pernafasan atas
(ISPA), apakah ada riwayat alergi terhadap makanan, obatan atau allergen spesifik lain,
apakah ada riwayat asma, apakah pernah dirawat di rumah sakit sebelum ini.
Riwayat penyakit keluarga: menanyakan jika terdapat ahli keluarga yang mempunyai
riwayat alergi. Oleh karena rhinitis alergi mempunyasi komponen genetik yang
2
signifikan,riwayat atopi dalam keluarga yang positif membuat diagnosis lebih mungkin.
Faktanya,semakin besarnya resiko rhinitis alergi dapat terjadi bila kedua orang tua
mempunyai atopi dibandingkan salah seorang dari orang tua. Bila seorang anak
mempunyai seorang dari orang tuanya yang memiliki alergi, risiko untuk mendapatkan
rhinitis alergi sekitar 30%. Hal ini meningkat sampai 50-70% bila kedua orang tuanya
mempunyai alergi atau asma. Bagaimanapun, penyebab rhinitis alergi merupakan
multifaktorial dan seorang yang tidak mempunyai riwayat rhinitis alergi dalam keluarga
masih berisiko mempunyai rhinitis alergi.2
Riwayat pengobatan: obatan apa yang pernah digunakan sebelum ini, obat apa yang
membantu meringankan gejala tanpa menimbulkan efek samping.
Riwayat sosial: paparan dari lingkungan tempat kerja serta efek terhadap kualitas hidup
pasien. Apakah pasien merupakan seorang perokok atau peminum alcohol yang berat.
2.2 Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan hidung terdiri dari pemeriksaan luar dan dalam. Pemeriksaan hidung diawali
dengan melakukan inspeksi dan palpasi hidung bagian luar dan daerah sekitarnya. Inspeksi
dilakukan dengan mengamati ada tidaknya kelainan bentuk hidung, tanda-tanda infeksi dan
sekret yang keluar dari rongga hidung. Palpasi dilakukan dengan penekanan jari-jari telunjuk
mulai dari pangkal hidung sampai apeks untuk mengetahui ada tidaknya nyeri, massa tumor atau
tanda-tanda krepitasi.1
Pemeriksaan luar terdiri dari inspeksi hidung untuk melihat adanya pembengkakan,
trauma atau anomaly congenital. Ada 3 keadaan penting diperhatikan saat inspeksi hidung yaitu
kerangka dorsum nasi (batang hidung), adanya luka, warna, udem dan ulkus nasolabialis serta
bibir atas. Tiap pembengkakan atau deformitas harus dipalpasi untuk mencari nyeri tekan dan
konsistensinya. Palpasi di daerah sinus frontalis dan maksilaris dapat memperlihatkan adanya
nyeri tekan yang menunjukkan sinusitis. Seterusnya, dilakukan pemeriksaan dalam. Kunci untuk
berhasilya pemeriksaan dalam adalah posisi kepala yang tepat. Minta pasien untuk
menengadahkan kepalanya. Letakkan tangan kiri dengan kuat pada puncak kepala pasien dan
3
gunakan ibu jari kiri untuk mengangkat hujung hidung pasien. Dengan cara ini kita dapat
mengubah posisi kepala pasien untuk melihat struktur-struktur intranasal. Gunakan sumber
cahaya untuk menerangi struktur-struktur internal.1
- Periksa posisi septum terhadap tulang rawan lateral pada tiap sisi
- Periksa vestibulum untuk melihat adanya peradangan
- Periksan septum anterior untuk melihat jika ada deviasi atau perforasi
- Periksa warna membrane mukosa hidung. Normal, berwarna merah pudar dan lembab
serta mempunyai permukaan yang halus dan bersih. Mukosa hidung biasanya lebih gelap
berbanding mukosa mulut.
- Lihat jika ada kemungkinan terdapat eksudat, pembengkakan, perdarahan atau trauma
- Jika ada pengeluaran sekret, deskripsikan sifatnya samada purulen, encer dan jernih,
keruh atau berdarah.
Dengan lebih menengadahkan kepala kebelakang, periksalah septum posterior untuk melihat
adanya deviasi atau perforasi. Selain itu, ukuran dan warna konka inferior harus dicatat. Kedua
konka inferior jarang simetris. Begitu juga dengan konka media, periksalah ukuran, warna dan
keadaan mukosanya. Apakah terdapat polip, karena kebanyakan polip ditemukan di meatus
media.
4
Gambar 1: anatomi hidung
Pemeriksaan rongga hidung dilakukan melalui lubang hidung yang disebut dengan rhinoskopi
anterior dan yang melalui rongga mulut dengan menggunakan cermin nasofaring yang disebut
dengan rhinoskopi posterior.1.3
a) Rhinoskopi anterior.1
cara memegang spekulum hidung Hartmann sebaiknya menggunakan tangan kiri
dalam posisi horisontal. Tangkainya yang kita pegang berada di lateral sedangkan
mulutnya di medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke dalam kavum nasi
(lubang hidung) pasien.
Cara memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu mulutnya yang tertutup kita
masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Setelah itu kita membukanya
pelan-pelan di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.
5
Cara mengeluarkan spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam kavum nasi
(lubang hidung), kita menutup mulut spekulum kira-kira 90%. Jangan menutup mulut
spekulum 100% karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar.
Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang dilakukan, yaitu :
i. Pemeriksaan vestibulum nasi.
ii. Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.
iii. Fenomena palatum mole.
iv. Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.
v. Pemeriksaan septum nasi.
vi. Pemeriksaan Vestibulum Nasi pada Rinoskopia Anterior
Amati struktur yang terdapat di dalam rongga hidung mulai dari dasar rongga hidung,
konka-konka, meatus dan septum nasi. Perhatikan warna dan permukaan mukosa
rongga hidung, ada tidaknya massa , benda asing dan secret. Struktur yang terlihat
pertama kali adalah konka inferior. Bila ingin melihat konka medius dan superior
pasien diminta untuk tengadahkan kepala.
b) Rinoskopi posterior
Syarat-syarat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :
o Penempatan cermin: harus ada ruangan yang cukup luas dalam nasofaring untuk
menempatkan cermin yang dimasukkan melalui mulut pasien. Lidah pasien tetap
berada dalam mulutnya. tekan lidah pasien ke bawah dengan bantuan spatula
(spatel).
o Penempatan cahaya: harus ada jarak yang cukup lebar antara uvula dan faring
milik pasien sehingga cahaya lampu yang terpantul melalui cermin dapat masuk
dan menerangi nasofaring.
o Cara bernapas: pasien tetap bernapas melalui hidung.
Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu : Cermin kecil,
spatula, lampu spritus, solusio tetrakain (- efedrin 1%).
6
Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu: Cermin kecil kita
pegang dengan tangan kanan. Sebelum memasukkan dan menempatkannya ke dalam
nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan punggung cermin pada lampu spritus
yang telah kita nyalakan. Minta pasien membuka mulutnya lebar-lebar. Lidahnya ditarik
ke dalam mulut, jangan digerakkan dan dikeraskan. Bernapas melalui hidung.
Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung spatula ditempatkan pada punggung lidah
pasien di depan uvula. Punggung lidah ditekan ke bawah di paramedian kanan lidah
sehingga terbuka ruangan yang cukup luas untuk menempatkan cermin kecil dalam
nasofaring pasien. Masukkan cermin kedalam faring dan ditempatkan antara faring dan
palatum mole kanan pasien. Cermin lalu disinari dengan menggunakan cahaya lampu
kepala. Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan terlebih
dahulu tetrakain 1% sebanyak 3-4 kali dan tunggu sekitar 5 menit.
Ada 4 tahap pemeriksaan yang dilalui saat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :
Tahap 1 : pemeriksaan tuba kanan.
Tahap 2 : pemeriksaan tuba kiri.
Tahap 3 : pemeriksaan atap nasofaring.
Tahap 4 : pemeriksaan kauda konka nasi inferior.
2.3 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan IgE total
Seringkali menunjukkan nilai normal pada pasien rhinitis alergi kecuali bila tanda laergi pada
pasien lebih dari satu macam penyakit. Misalnya selain rhinitis alergi, pasien juga menderita
asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada
bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pesakit rinitis alergi
lebih cenderung untuk mempunyai tahap IgE yang tinggi berbanding daripada orang biasa,
Tetapi pemeriksaan kadar IgE ini tidak sensitif dan tidak khusus untuk rinitis alergi. Hal ini
karena seramai 50% daripada pesakit rinitis alergi mempunyai kadar IgE yang biasa, manakala
seramai 20% noneffected individu juga dapat menunjukkan kadar IgE yang tinggi. Oleh itu,
ujian ini amnya tidak digunakan secara bersendirian untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi,
tetapi hasil ini boleh membantu dalam beberapa kes apabila digabungkan dengan faktor-faktor
7
lain. Pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST(radio immuno sorbent test) atau ELISA(enzyme
linked immuno sorbent assay) lebih bermakna.1,3
Hitung eosinofil dalam darah tepi
Sepertimana jumlah serum IgE, kiraan eosinofil yang tinggi turut menyokong diagnosis rinitis
alergi, tetapi ia adalah tidak sensitif dan tidak khusus untuk diagnosis. Hasilnya kadang-kadang
boleh membantu apabila digabungkan dengan faktor-faktor lain.1,3
Pemeriksaan sitologi hidung
Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, ia tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Sampel sekret dan sel-sel dikikis dari permukaan mukosa hidung menggunakan sebuah prob
pensampelan khas. Jika ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan, jika basofil (>5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan. Manakala jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1,3
Tes kulit (skin prick test)
Yaitu memberikan berbagai jenis alergen pada kulit dan melihat apakah akan timbul reaksi
alergi, reaksinya hanya berupa sedikit kemerahan di kulit. Tes ini dilakukan apabila gejala tidak
dapat terkontrol dengan medika mentosa sehingga diperlukan kepastian untuk mengetahui jenis
allergen supaya di kemudian hari, allergen tersebut bisa dihindari.1,3,4
Persiapan skin prick test adalah seperti berikut:4
- Gunakan ekstrak allergen yang terstandarisasi
- Menghentikan pengobatan antihistamin 5-7 hari sebelum tes
- Menghentikan pengobatan antihistamin generasi baru paling tidak 2-6 minggu sebelun tes
- Pada bayi dan usia lanjut, tes kulit ini kurang memberikan reaksi
- Tidak boleh dilakukan pada penderita dengan penyakit kulit seperti urtikaria, SLE dan
jika ada lesi yang luas pada kulit
- Pada penderita dengan keganasan, limfoma, sarkoidosis, diabetes retinopati juga terjadi
penurunan terhadap reaktivitas terhadap tes kulit ini.
- Pemeriksa perlu memahami teknik dan ketrampilan agar tidak terjadi interpretasi salah
akibat teknik dan pengertian yang kurang difahami oleh pemeriksa
8
- Teknik menempatkan lokasi cukitan kerana terdapat tempat-temoat yang reaktivitasnya
tinggi dan ada yang rendah. Berurutan daari lokasi yang reaktivitasnya tinggi sampai
rendah: bagian bawah punggung > lengan atas > siku > lengan bawah sisi ulnar > sisi
radial > pergelangan tangan.
Prosedur skin prick test:4
- Tes ini sering dilakukan pada bagian volar lengan bawah.
- Lakukan desinfeksi dengan alcohol pada area volar dan ditandai dengan pulpen pada area
yang akan ditetesi dengan ekstrak allergen.
- Ekstrak allergen diteteskan satu tetes larutan allergen (histamine/control positif) dan
larutan control (buffer/control negative) menggunakan jarum ukuran 26 ½ atau G atau
blood lancet.
- Kemudian dicukitkan dengan sudut kemiringan 45° menembus lapisan epidermis dengan
ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini akan
mengakibatkan sejumlah allergen memasuki kulit.
- Tes ini dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai bentol yang timbul
Gambar 2: skin prick test
9
Interpretasi skin prick test:4
- Bentol histamine dinilai sebagai +++ (+3)
- Bentol larutan control dinilai negative (-)
- Derajat bentol + (+1) dan ++ (+2) digunakan bila bentol yang timbul besarnya antara
bentol histamine dan larutan control.
- Bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bentol histamine dinilai ++++
(+4)
Kesalahan yang sering terjadi pada skin prick test:
- Tes dilakukan pada jarak yang sangat berdekatan (< 2cm)
- Terjadi perdarahan, ini memungkinkan terjadi false positive
- Teknik cukitan yang kurang benar sehingga penetrasi ekstrak ke kulit kurang, ini
memungkinkan terjadinya false negative
- Menguap dan memudarnya larutan allergen selama test dijalankan
Pemeriksaan sekret hidung
Melihat warna sekret, kekentalan, pemeriksaan kuman dan kultur jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk melihat kemungkinan rhinitis akibat infeksi jamur, virus atau bakteri.1
2.4 Diagnosis
2.4.1 Diagnosis kerja
Pada kasus ini, berdasarkan anamnesis yang diterima, diagnosis kerja yang dapat dibuat adalah
rhinitis alergi. Pada pasien ini diagnosis rhinitis alergi ditegakkan karena berdasarkan data
anamnesis, pasien hidung tersumbat terutama pagi hari,sering bersin lebih dari 5 kali dan hidung
rasa gatal. Untuk menyingkir diagnosis banding yang lain seharusnya ditanyakan adakah
sebelumnya disertai demam dan nyeri kepala (rhinitis simpleks), adakah sebelumnya
menggunakan obatan vasokonstriktor topical seperti tetes hidung atau semprot hidung dalam
waktu lama dan berlebihan (rhinitis medika mentosa).
10
2.4.2 Diagnosis banding
Rinitis alergi
- Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya
sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut.
- Berkaitan dengan insidens asma dan eczema atopic.5
- Respon alergi biasanya ditandai oleh bersin, kongesti hidung serta rinore yang encer dan
banyak. Tidak ada demam dan sekret biasanya encer sahaja.
- Sering terdapat riwayat alergi atau asma dalam keluarga
Rinitis simpleks/ common cold.
- Penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia. Ia berlangsung singkat dan
ringan.
- Gejala local terutama ditemukan pada saluran napas atas dengan predominan gejala-
gejala hidung
- Hampir 200 virus berbeda, tipe RNA maupun DNA telah dikaitkan dengan penyakit ini.
Virus yang paling penting adalah rhinovirus.
- Sangat menular dan gejala dapat timbul apabila kekebalan tubuh tidak ada atau akibat
menurunnya daya tahan tubuh ketika kedinginan, kelelahan, atau karena adanya penyakit
menahun dan lain-lain.
- Stadium prodromal berlangsung beberapa jam: rasa panas, kering dan gatal di dalam
hidung, timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat, ingus encer yang biasanya
disertai demam dan nyeri kepala. Mukosa hidung tampak merah dan membengkak.
Ingus/sekret menjadi mukopurulen apabila terjadi infeksi sekunder bakteri.1
Rinitis vasomotor
- Suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia,
perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid) dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, β-bloker, aspirin, klopromazin dan obat topical hidung dekongestan).1
11
- Gejala mirip rhinitis alergi, namun gejala dominan adalah hidung tersumbat, bergantian
kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Gejala memburuk pada pagi hari waktu
bangun tidur oleh kerana adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab juga oleh
kerana asap rokok dan sebagainya.
2.5 Manifestasi klinik
Gambar 3: rhinitis alergi
Serangan bersin berulang lebih dari 5 kali
Keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak
Hidung tersumbat
Hidung dan mata rasa gatal
Kadang-kadang disertai lakrimasi (banyak keluar air mata)
Awitan gejala dapat timbul cepat setelah paparan allergen, gejala berupa mata
atau palatum yang gatal dan berair.1
12
Ada gejala penyerta seperti mual, bersendawa, kembung, diare, somnolen atau
insomnia akibat kesan allergen yang ditelan. Hal ini dapat membedakan pasien-
pasien ini dari penderita rhinitis virus.
Rhinitis alergi umumnya berlangsung lebih lama dari rhinitis virus.3
Biasanya terlihat suatu pola musiman atau kaitan dengan bulu binatang, debu,
asap atau inhalan lain.
Klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi;1
o Intermitten: gejala kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang dari 4
minggu
o Persisten: gejala lebih dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4
minggu.
Gejala spesifik pada anak:1
o Allergic shiner: bayangan gelap di daerah bawah mata akibat stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung.
o Allergic salute: anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan
punggung tangan.
o Allergic crease: garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah
akibat menggosok hidung.
o Geographic tongue
o Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi
2.6 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak-anak. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.
13
a) Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis): di Indonesia tidak dikenal
rhinitis alergi musiman, tipe ini hanya berlaku pada tempat-tempat yang mempunyai 4
musim. Allergen penyebabnya spesifik yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur.1
b) Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial): ianya timbul intermitten atau terus- menerus
tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Antara penyebab alergi
perennial adalah debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.1 Penyebab yang paling sering adalah
allergen inhalan terutama pada orang dewasa dan allergen ingestan. Allergen inhalan
utama adalah allergen dalam rumah (indoor inhalan) dan allergen di luar rumah (outdoor
inhalan). Allergen ingestan sering menjadi penyebab pada anak-anak dan biasanya sering
disertai dengan gejala alergi lain seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada tipe perennial lebih ringan dibandingkan dengan tipe musiman tetapi
karena tipe perennial ini lebih persisten maka komplikasinya lebih sering diutamakan.5
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang
tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk
untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang
dan perubahan cuaca.
2.7 Patofisiologi
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri
dari:1
a) Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respon sekunder.
14
b) Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
c) Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gambar 4: mekanisme reaksi alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)
15
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam.1
Pada kontak pertama dengan alergen (tahap sensitisasi), makrofag/monosit yang berperan
sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian
APC akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4,
IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan
sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT
C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-
CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).1
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti
sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.
16
Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban
udara yang tinggi
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler
dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa
dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.1
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk pasien rhinitis alergik dapat dibagi kepada dua cara yaitu secara
non-medika mentosa dan medika mentosa. Tindakan non-medika mentosa yang dapat dilakukan
adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya. Dalam hal alergi serbuk
bunga, pasien harus mengadakan perubahan lingkungan yang sesuai seperti mencegah paparan
yang tak perlu terhadap serbuk rumput-rumputan. Jika menggunakan AC di rumah atau di
kenderaan, penggunaan filter udara listrik dapat sangat membantu. Pasien yang peka terhadapa
debu harus hidup dalam lingkungan sebersih mungkin, setiap ruangan harus dipastikan bersih
dan bebas dari benda-benda pengumpul debu seperti karpet dan gorden. Pasien yang peka
terhadap kapang harus menghindari tidur di tempat yang lembab seperti kamar tidur di lantai
bawah tanah. Jendela harus tertutup pada malam hari karena udara malam hari sering
mengandung kapang. Pasien yang peka terhadap asap harus menghindari ruangan penuh asap
serta menghindari hubungan dengan perokok dalam ruangan tertutup seperti mobil.
17
Berikut adalah pengobatan secara medika mentosa:
Antihistamin
- Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif
pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi
atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2
golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif).
- Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Contohnya,
difenhindramin, klorfeniramin, prometasin, siprohetadin, sedangkan yang dapat diberikan
secara topical adalah azelastin.1
- Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk
mengatasi gejala pada respon alergi fase cepat (RAFC) seperti rinore, bersin, gatal tetapi
tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada reaksi alergi fasa lambat
(RAFL).1
- Antihistamin generasi 2 yaitu yang nonsedatif dapat dibagi menjadi 2 kelompok
mengikut batas keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung ini dapat mengakibatkan
henti jantung dan bahkan kematian mendadak. Obat kelompok ini sudah ditarik dari
pengedaran. Kelompok kedua dari AH generasi 2 ini adalah loratadin, setirisin,
fexofenadin, desoratadin dan levosetirisin.1
Obat simpatomimetik
- Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi antihistamin atau topikal. Namun pemakaian
secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.1
Kortikosteroid
- Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase
lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan
triamsinolon)1,3
18
- Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa
hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas
limfosit dan mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsive terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon fase cepat dan
lambat).
Antikolinergik topical
- antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore,
karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.1,5
Terapi bedah: tindakan pembedahan tidak diindikasikan untuk rinitis alergi tetapi boleh
diindikasikan apabila disertai komplikasi atau kondisi komorbid lain, seperti sinusitis kronik,
deviasi septal yang teruk (menyebabkan obstruksi yang teruk), polip hidung, atau lain-lain
kelainan anatomi.3
2.9 Komplikasi1
Polip hidung: penelitian menunjukkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan
ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut
akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan
menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh
mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP).
19
2.10 Prognosis
Prognosis untuk rinitis alergi ini baik apabila sumber alergen dapat dihindari. Kebanyakan gejala
rinitis alergi boleh dirawat. Pada kasus berat memerlukan suntikan alergi. Pada beberapa orang
terutamanya kanak-kanak boleh mengatasi alergi apabila sistem imun menjadi kurang sensitif
terhadap alergen. Walau bagaimanapun, sekali bahan yang menyebabkan alergi, ia biasanya terus
mempengaruhi seseorang dalam tempoh jangka panjang.
Penutup
Kesimpulannya, rhinitis alergi lebih sering terjadi pada individu yang mempunyai riwayat alergi
dalam keluarga. Gejala yang khas adalah sering bersin lebih dari 5 kali, mata dan hidung berair,
sekret hidung yang banyak dan encer serta rasa gatal pada hidung dan mata.
Daftar pustaka
1. Efiaty Arshad, Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashiruddin, Ratna Dwi Restuti. Rinitis alergi.
Dlm: Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke-6.
Jakarta: FKUI; 2010.h. 128-40.
2. Steven D. Ehrlich. Allergic rhinitis [Artikel elektronik]. 7 January 2011. Diunduh dari
http://www.umm.edu/altmed/articles/allergic-rhinitis-000003.htm#ixzz1ot9aBfoa, pada
11 Maret 2012.
3. Javed Sheikh. Allergic rhinitis. 2 September 2011. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/, pada 11 Maret 2012.
4. Pawarti. Tes kulit. In: Diagnosis Rinitis Alergi. Media Perhati; 2004; 10(3): 18-23.
5. Stuart I. Henochowicz. Allergic rhinitis. 10 Januray 2011. Diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm, pada 12 Maret 2012.
20