Ringkasan Etika
-
Upload
yuki-ely-kawamura -
Category
Documents
-
view
595 -
download
4
Transcript of Ringkasan Etika
BAB I
APAKAH ETIKA ITU?
I.1. Istilah
A. Etika dan Moral
Etika = ethos = tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan,
adat; akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir
→ Secara etimologi: etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan/ ilmu
tentang adat kebiasaan
Moral = mores = kebiasaan, adat.
→ Secara etimologi etika dan moral sama: adat kebiasaan
B. Amoral dan Immoral
Amoral = unconcerned with, out of sphere of moral, non-moral
= tidak berhubungan dengan moral, di luar suasana moral/etis, non-moral
Immoral = opposed to morality; moral evil
= bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral buruk, tidak etis.
C. Etika dan Etiket
Etika = ethos = moral
Etiket = etiquette = sopan santun; secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan
barang
Persamaan :
1. Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia.
2. Baik etika maupun etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya
memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa
yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Mis: memberikan sesuatu
pada orang lain dianggap kurang sopan dengan tangan kiri.
Perbedaan:
1. Etiket menyangkut cara suatu perbuatan yang dilakukan manusia. Di antara
cara yang mungkin dilakukan etiket menunjukkan cara yang tepat.
2. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika di segala waktu dan tempat. Bila
tidak ada saksi mata maka etiket tidak berlaku. Mis: cara makan, duduk
3. Etiket bersifat relatif, dan etika bersifat mutlak; tidak sopan dalam suatu
kebudayaan bisa sopan dalam kebudayaan lain. Mis: makan dengan tangan.
Etika bersifat absolut/universal, misalnya: mencuri.
4. Etiket bersifat lahiriah, sedangkan etika menyangkut hati, dari segi dalam.
Orang dapat munafik untuk suatu etiket tetapi orang tidak demikian dari segi
etis: tidak membunuh.
I.2. Etika sebagai Cabang Filsafat
A. Moralitas: Ciri khas Manusia
Banyak filsuf berpendapat bahwa manusia adalah binatang plus, artinya binatang
yang ditambah suatu perbedaan yang khas, yaitu: rasio, bakat untuk menggunakan
bahasa, kesanggupan untuk tertawa, untuk membuat alat, bahkan memiliki kesadaran
moral.
Moralitas merupakan suatu ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada
makhluk di bawah tingkat manusiawi.
B. Etika: Ilmu tentang Moralitas
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas , mis: adat
kebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk, tindakan yang diperbolehkan/ tidak
diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu
tertentudalam kebudayaan atau subkultur yang terdapat dalam suatu periode
sejarah, karena etika deskriptif hanya melukiskan, tidak member penilaian
2. Etika Normatif
Etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dapat dipergunakan dalam praktek hidup. Tidak
bersifat netral, tapi menilai perilaku manusia; mis: menerima atau menolak
perilaku tertentu. Penilaian didasarkan pada norma-norma tertentu .
Disebut etika preskriptif (memerintahkan), tidak melukiskan tetapi
menentukan benar tidaknya anggapan moral; argumentasi perlu; alasan benar atau
salah; Argumentasi bertumpu pada norma/prinsip tidak dapat ditawar-tawar.
Etika Umum: apa itu moral, hak, kewajiban, norma dsb.
Etika Khusus: prinsip etis di wilayah perilaku khusus.
3. Metaetika
Tidak membahas moralitas secara langsung melainkan ucapan-ucapan kita
dibidang moralitas. Seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi dari perilaku etis,
bahasa etis. Yang dipersoalkan adalah: apakah ucapan normatif dapat diturunkan
dari ucapan faktual; apakah dari dua premis deskriptif dapat diturunkan ucapan
preskriptif.
C. Hakikat Etika Filosofis
Kita tidak dapat melepaskan diri dari menilai. Etika sebagai ilmu memiliki
kecenderungan yang sama. Etika mulai, bila kita merefleksikan pendapat-pendapat
spontan kita. Karena refleksi dilakukan dengan kritis, metodis, sistematis dan
dilakukan dari sudut noma-norma maka disebut “ilmu”. Ia bukan pengetahuan empiris
yang berhenti pada penyelidikan fakta-fakta. Ia bicara apa yang baik dan buruk.
I.3. Peranan Etika dalam Dunia Modern
Setiap masyarakat mengenal nilai-nilai dan norma-norma etis. Dalam norma itu
masyarakat tradisional dijalankan tanpa pertanyaan. Nilai dan norma itu dapat bersumber
dari kebudayaan/tradisi, agama, nasionalisme, kehidupan sosial dsb. Nilai dan norma itu
implisit dan menjadi eksplisit ketika dilanggar.
Tiga ciri situasi dalam dunia modern:
1. Adanya pluralisme moral
Pada era ini semua komunikasi dapat langsung dan segera. Di dalamnya ada yang
bersifat nilai dan norma yang baik, yang sejalan, ada juga yang bertentangan, semua
kita serap. Transportasi, sistem komunikasi, industri pariwisata ikut mempercepat.
2. Timbul masalah etis baru yang dulu tidak terduga
Terutama karena perkembangan ilmu dan teknologi, khususnya di bidang biomedis
dan computer: manipulasi genetis, transplantasi, reproduksi artifisial, abortus,
kejahatan lewat internet/ komputer.
3. Tampak suatu kepedulian etis yang universal
Globalisasi di bidang moral tidak dapat dihindarkan akibat tidak ada lagi batas
geografis pergaulan.
I.4. Moral dan Agama
Agama mengandung ajaran moral, yang dapat dipelajari secara metodis, kritis,
sistematis dengan tetap tinggal dalam konteks agama, disebut teologi moral. Jika agama
dan filsafat berbicara tentang hal-hal etis, sudut pandangnya berbeda. Namun perbedaan
itu dapat didekatkan. Dipandang dari sudut filasafat mau tidak mau orang dipengaruhi
oleh pandangan agamanya. Dipandang dari sudut agama orang akan berargumentasi, dan
terutama menggunakan cara-cara filsafat.
I.5. Moral dan Hukum
Hukum tidak berarti banyak kalau tidak dijiwai moralitas. Tanpa moralitas hukum
akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralitas. Hukum
harus selalu diukur dengan norma moral.
BAB II
HATI NURANI
II.1. Hati Nurani sebagai Fenomena Moral
A. Kesadaran dan Hati Nurani
Hati nurani dapat memerintahkan atau melarang kita untuk melakukan sesuatu. Ia
tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang situasi yang sangat konkret.
Tidak mengikuti hati nurani ini berarti menghancurkan integritas pribadi dan
mengkhianati martabat terdalam kita.
Hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai
kesadaran. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan manusia untuk mengenal
dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya.
B. Hati Nurani Retrospektif dan Hati Nurani Prospektif
Hati nurani retrospektif, memberikan penilaian tentang perbuatan yang telah
berlangsung di masa lampau, seakan melihat ke belakang dan menilai perbuatan yang
sudah lewat.
Hati nurani prospektif, melihat ke masa depan dan menilai perbuatan kita yang
akan datang, untuk mengajak kita atau dan melarang untuk melakukan sesuatu.
C. Hati Nurani Bersifat Personal dan Adipersonal
Bersifat personal artinya, selalu berkaitan erat dengan pribadi yang bersangkutan,
yang akan berkembang bersama dengan perkembangan seluruh kepribadian. Selain
bersifat pribadi, hati nurani juga seolah melebihi pribadi kita. Karena aspek
adipersonal itu, orang beragama sering mengatakan bahwa hati nurani adalah suara
Tuhan.
D. Hati Nurani sebagai Norma Moral yang Subyektif
Mengikuti hati nurani merupakan suatu hak dasar bagi setiap manusia. Tidak ada
orang lain yang berwenang untuk campur tangan dalam putusan hati nurani seseorang.
Akibatnya, Negara harus menghormati putusan hati nurani para warganya, bahkan
jika kewajiban tersebut menimbulkan konflik dengan kepentingan lain.
E. Pembinaan Hati Nurani
Kita tidak dapat melihat ke dalam hati nurani orang lain. Kita hanya tahu dengan
pasti hati nurani kita sendiri yang juga belum tentu benar. Hati nurani harus dididik,
dimulai dari tingkatan keluarga melalui hukuman, kemudian menanamkan kepekaan
batin terhadap yang baik.
II.2. Hati Nurani dan “Superego”
A. Pandangan Freud tentang Struktur Kepribadian
1. Id
Id merupakan lapisan paling dasar dalam susunan psikis manusia, meliputi segala
sesuatu yang bersifat impersonal atau anonym, tidak disengaja atau tidak disadari,
dalam daya-daya mendasar yang menguasai kehidupan psikis manusia.
2. Ego
Aktivitas ego bisa sadar (persepsi lahiriah), prasadar (fungsi ingatan), maupun tak
sadar (mekanisme pertahanan). Tugas ego untuk mempertahankan kepribadiannya
sendiri dan menjamin penyesuaian dengan alam sekitar, yang digunakan untuk
memecahkan konflik dengan realitas dan konflik dengan keinginan yang tidak
sesuai.
3. Superego
Superego adalah instansi yang melepaskan diri dari ego dalam bentuk observasi-
diri, kritik-diri, larangan dan tindakan refleksif lainnya. Superego dibentuk selama
masa anak-anak melalui jalan internalisasi dari faktor represif yang dialami
subyek sepanjang perkembangannya.
B. Hubungan Hati Nurani dengan Superego
Hati nurani dan superego tidak dapat disamakan, konteks pemakaian keduanya
sangat berbeda. Superego dimengerti sebagai dasar psikologis bagi hati nurani, atau
sebagai dasar psikologis bagi fungsi hati nurani yang etis.
II.3. L. Kohlberg tentang Perkembangan Kesadaran Moral
A. Maksud dan Metode Penelitian Kohlberg
Kasus-kasus tidak terjadi secara konkret, tapi pada prinsipnya bisa terjadi. Untuk
hal tersebut tidak tersedia pemecahan dalam lingkungan anak-anak sehingga mereka
harus mencari pemecahannya sendiri.
B. Enam Tahap dalam Perkembangan Moral
1. Tingkat Prakonvensional
Si anak mengakui adanya aturan-aturan dan baik serta buruk mulai memiliki arti,
tapi hal tersebut dikarenakan hubungan dengan reaksi orang lain.
a. Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan
Anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas konkret dan atas hukuman yang
akan menyusul bila tidak patuh.
b. Tahap 2 : Orientasi relativis instrumental
Perbuatan adalah baik jika dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang
juga kebutuhan orang lain. Anak mulai menyadari kepentingan orang lain
juga, tapi hubungan antar manusia dianggapnya hanya hubungan timbal balik.
2. Tingkat Konvensional
Perbuatan dinilai atas dasar norma-norma umum dan kewajiban serta otoritas
dijunjung tinggi.
a. Tahap 3 : Penyesuaian dengan kelompok
Anak cenderung mengarahkan diri kepada keinginan serta harapan dari para
anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah).
b. Tahap 4 : Orientasi hokum dan ketertiban
Tekanan diberikan pada aturan-aturan tetap, otoritas dan pertahanan ketertiban
social. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya, menghormati
otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang berlaku.
3. Tingkat Pascakonvensional
Hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas prinsip-
prinsip dasar yang dianut dalam batin.
a. Tahap 5 : Orientasi kontrak-sosial legalistis
Segi hukum ditekankan, tapi diperhatikan secara khusus kemungkinan untuk
mengubah hokum demi kepentingan sosial. Selain bidang hokum, persetujuan
bebas dari perjanjian adalah unsur pengikat bagi kewajiban.
b. Tahap 6 : Orientasi prinsip etika yang universal
Pengaturan tingkah laku dan penilaian morak berdasarkan hati nurani pribadi.
Pada dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu
satu sama lain, persamaan hak manusia dan hormat untuk martabat manusia
sebagai pribadi.
II.4. Shame Culture dan Guilt Culture
Shame culture : ditandai oleh rasa malu dan tidak dikenal rasa bersalah. Kebudayaan
dimana pengertian “hormat”, “reputasi”, “nama baik”, “status”, dan
“gengsi” sangat ditekankan
Guilt culture : terdapat rasa bersalah. Kebudayaan dimana pengertian “dosa”,
“kebersalahan”, dan sebagainya sangat dipentingkan.
BAB III
KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB
III.1. Kebebasan
A. Beberapa Arti Kebebasan
1. Kebebasan Sosial Politik
Sebagian besar merupakan produk perkembangan sejarah, atau produk perjuangan
sepanjang sejarah. Dalam sejarah modern dapat dibedakan 2 bentuk, yaitu
tercapainya kebebasan politik rakyat dengan membatasi kekuasaan absolut para
raja, dan kemerdekaan yang dicapai oleh negara-negara muda terhadap penjajah.
a. Kebebasan Rakyat versus Kekuasaan Absolut
Kesadaran timbul karena kesusahan serta penderitaan rakyat akibat penindasan
raja-raja absolute (upeti, rodi, dll). Pengalaman pahit rakyat memperlihatkan
keyakinan bahwa kekuasaan tanpa batas dari monarki absolut tidak bisa
diterima, yang berdaulat adalah rakyat dan karena itu kekuasaan para raja
harus dibatasi serta dikontrol.
b. Kemerdekaan versus Kolonialisme
Di zaman modern timbul keyakinan bahwa tidaklah pantas suatu bangsa
dijajah oleh bangsa lain. Dan karena itu situasi kolonialisme tidak pernah
boleh terjadi lagi, kini system kolonialisme ditolak secara umum sebagai tidak
etis.
2. Kebebasan Individual
a. Kesewenang-wenangan
Kadang-kadang kebebasan dimengerti sebagai kesewenang-wenangan, orang
disebut bebas jika ia dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Disini
bebas dimengerti sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan.
b. Kebebasan Fisik
Disini bebas berarti tiada paksaan atau rintangan dari luar. Dalam pengertian
ini, orang menganggap dirinya bebas jika bisa bergerak kemana saja ia mau
tanpa hambatan apa pun.
c. Kebebasan Yuridis
Kebebasan yuridis sebenarnya merupakan sebuah aspek dari hak-hak manusia.
Kebebasan disini memiliki arti syarat-syarat fisis dan sosial yang perlu
dipenuhi agar kita dapat menjalankan kebebasan kita secara konkret, arti
lainnya adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar manusia dapat
mengembangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan semestinya.
- Kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hokum kodrat, dimaksudkan
semua kemungkinan manusia untuk bertindak bebas yang terikat erat
dengan kodrat manusia sehingga tidak boleh diambil dari masyarakat.
- Kebebasan-kebebasan yang didasarkan pada hukum positif yang
diciptakan oleh negara. Kebebasan ini merupakan buah hasil perundang-
undangan, yang merupakan penjabaran dan perincian kebebasan
didasarkan pada hokum kodrat.
d. Kebebasan Psikologis
Dengan kebebasan psikologis dimaksudkan kemampuan yang dimiliki
manusia untuk mengembangkan serta mengarahkan hidupnya. Kebebasan ini
berkaitan dengan manusia adalah makhluk berasio, yang dapat berpikir
sebelum bertindak.
e. Kebebasan Moral
Kebebasan moral berkaitan erat dengan kebebasan psikologis, kebebasan
psikologis berarti bebas begitu saja (free), sedangkan kebebasan moral berarti
sukarela (voluntary)
f. Kebebasan Eksistensial
Kebebasan eksistensial maksudnya adalah kebebasan menyeluruh yang
menyangkut seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek
saja. Ini merupakan bentuk kebebasan tertinggi.
B. Beberapa Masalah Mengenai Kebebasan
1. Kebebasan Negatif dan Kebebasan Positif
Kebebasan lebih mudah dimengerti dengan cara negatif. Demikian pula dalam
hidup sehari-hari “bebas” dipahami sebagai “terlepas”, “tidak ada”, “tanpa”. Jauh
lebih sulit untuk menjelaskan kebebasan secara positif.
2. Batas-batas Kebebasan
Sartre berpendapat bahwa tidak ada batas lain untuk kebebasan daripada batas-
batas yang ditentukan manusia sendiri.
a. Faktor dari dalam
Kebebasan dibatasi oleh faktor-faktor dari dalam, baik fisik maupun psikis.
Selalu terdapat suatu struktur badani tertentu yang sangat membatasi
kemungkinan-kemungkinan seseorang. Terdapat juga suatu struktur psikis
tertentu, seorang adalah inteligen atau kurang inteligen.
b. Lingkungan
Kebebasan dibatasi pula oleh lingkungan, baik alamiah maupun sosial.
c. Kebebasan orang lain
Kebebasan saya dibatasi oleh kebebasan orang lain, semua gerak-gerik saya
dibatasi oleh kebebasan teman-teman manusia. Tidak dibenarkan bahwa saya
begitu bebas sehingga tidak ada kebebasan lagi untuk orang lain. Inilah
pembatasan dengan kosekuensi paling besar bagi etika. Dan inilah alasan
utama mengapa diperlukan suatu tatanan moral di antara manusia.
d. Generasi-generasi mendatang
Kebebasan kita juga dibatasi oleh masa depan umat manusia atau oleh
generasi-generasi sesudah kita. Kebebasan kita dalam menguasai dan
mengeksploitasi alam dibatasi sampai titik tertentu, sehingga alam bisa juga
menjadi dasar hidup bagi generasi-generasi mendatang.
3. Kebebasan dan Determinisme
Determinisme dimaksudkan sebagai suatu sifat yang menandai alam, maksudnya
kejadian-kejadian di alam berkaitan satu sama lain menurut keterikatan yang
tetap, sehingga kejadian yang satu pasti mengakibatkan kejadian lain.
III.2. Tanggung Jawab
A. Tanggung Jawab dan Kebebasan
Dalam “tanggung jawab” terkandung pengertian “penyebab”. Orang bertanggung
jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Tanggung jawab dapat langsung atau
tidak langsung. Tanggung jawab bersifat langsung jika si pelaku sendiri bertanggung
jawab atas perbuatannya. Tapi kadang-kadang orang bertanggung jawab secara tidak
langsung. Baik untuk tanggung jawab retrospektif maupun prospektif, berlaku bahwa
tidak ada tanggung jawab jika tidak ada kebebasan.
B. Tingkat-tingkat Tanggung Jawab
Menentukan bertanggung jawab tidaknya seseorang adalah hal yang tidak mudah.
Hukum akan menentukan umur tertentu di mana seorang muda dianggap bertanggung
jawab. Sebenarnya hanya orang yang bersangkutan sendiri yang dapat mengetahui
bahwa dalam suatu kasus ia bertanggung jawab dan sejauh mana ia bertanggung
jawab. Namun demikian seringkali ada tidak nya tanggung jawab perlu dipastikan
juga oleh orang lain, khususnya pengadilan.
C. Masalah Tanggung Jawab Kolektif
Suatu kelompok terikat karena adanya faktor-faktor afektif (keluarga atau bangsa
yang sama), karena solidaritas (mempunyai tujuan yang sama), dan karena faktor-
faktor sejarah serta tradisi. Karena itu suatu kelompok bisa merasa bertanggung jawab
atas perbuatan beberapa anggotanya, walaupun mereka sebagai kelompok tidak
terlibat
BAB IV
NILAI DAN NORMA
IV.1. Nilai pada Umumnya
Dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang
kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai, dan diinginkan. Nilai selalu
mempunyai konotasi positif, sebaliknya sesuatu yang yang membuat kita melarikan diri
seperti: penderitaan, penyakit, atau kematian adalah “non-nilai” atau disvalue. Nilai
memiliki 3 ciri:
1. Nilai berkaitan dengan subyek. Jika tidak ada subyek yang menilai, maka tidak ada
nilai juga.
2. Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, dimana subyek ingin membuat sesuatu.
3. Nilai-nilai menyangkut sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat yang
dimiliki oleh obyek.
IV.2. Nilai Moral
Nilai moral tidak terpisah dari nilai-nilai jenis lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh
suatu “bobot moral”, bila diikutsertakan dalam tingka laku moral. Kejujuran misalnya,
merupakan suatu nilai moral, tapi kejujuran itu sendiri “kosong”, bila tidak diterapkan
pada nilai lain, seperti nilai ekonomis. Jadi nilai yang disebut sampai sekarang bersifat
“pramoral”. Nilai-nilai tersebut mendahului tahap moral, tapi bisa mendapat bobot moral,
karena diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Berikut adalah ciri-ciri nilai moral.
A. Berkaitan dengan Tanggung Jawab Kita
Yang khusus menandai nilai moral ialah bahwa nilai ini berkaitan dengan pribadi
manusia yang bertanggung jawab. Nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang
bersalah atau tidak bersalah, karena ia bertanggung jawab.
B. Berkaitan dengan Hati Nurani
Semua nilai selalu minta untuk diakui dan diwujudkan. Nilai selau mengandung
semacam undangan atau himbauan. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa nilai
ini menimbulkan “suara” dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau
menentang nilai-nilai moral dan memuji bila mewujudkan nilai-nilai moral.
C. Mewajibkan
Nilai moral mewajibkan kita secara absolut dan dengan tidak bisa ditawar-tawar.
Kewajiban absolut yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan bahwa
nilai-nilai ini berlaku bagi manusia sebagai manusia. Dengan cara lain dapat
dikatakan juga bahwa kewajiban absolut yang melekat pada nilai-nilai moral berasal
dari kenyataan bahwa nilai-nilai ini menyangkut pribadi manusia sebagai
keseluruhan, sebagai totalitas. Kegagalan dibidang moral berarti kegagalan total
sebagai manusia.
D. Bersifat Formal
Nilai moral tidak merupakan suatu jenis nilai yang bisa ditempatkan begitu saja
disamping jenis-jenis nilai lainnya, walaupun nilai-nilai moral merupakan nilai
tertinggi yang harus dihayati diatas semua nilai lain, namun itu tidak berarti bahwa
nilai ini menduduki jenjang teratas dalam suatu hierarki nilai-nilai. Nilai-nilai moral
tidak memiliki “isi” tersendiri, terpisah dari dari nilai-nilai lain, tidak ada nilai moral
yang “murni” terlepas dari nilai-nilai lain.
IV.3. Norma Moral
Norma dimaksudkan adalah suatu aturan atau kaidah yang kita pakai sebagai tolok
ukur untuk menilai sesuatu. Ada banyak sekali macam norma, mis: ada norma yang
menyangkut benda (contoh: norma-norma yang menentukan kelayakan sebuah pesawat
terbang) dan norma lain yang menyangkut tingkah laku manusia. Norma yang
menyangkut tingkah laku manusia dibedakan menjadi norma umum yang menyangkut
tingkah laku manusia secara keseluruhan, dan norma khusus yang hanya menyangkut
aspek tertentu dari apa yang dilakukan manusia.
Norma moral menentukan apakah perilaku manusia kita baik atau buruk dari sudut
etis. Karena itu norma moral adalah norma tertinggi yang tidak dapat ditaklukkan pada
norma lain. Bahkan norma moral menilai norma-norma lain. Norma moral dapat
dirumuskan dalam bentuk positif atau negatif. Dalam bentuk positif, norma moral tampak
sebagai suatu perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, mis: kita harus
menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar. Dalam bentuk
negatif, norma moral tampak sebagai suatu larangan yang menyatakan apa yang tidak
boleh dilakukan, mis: jangan membunuh, jangan berbohong.
A. Relativisme Moral Tidak Tahan Uji
Norma moral tercantum dalam suatu sistem etis yang menjadi bagian suatu
kebudayaan. Namun ada banyak kebudayaan sehingga kebudayaan yang berbeda
dapat mempunyai moral yang berbeda pula. Norma moral dalam suatu kebudayaan
dapat didasarkan pada kodrat (physis) atau pada kebiasaan (nomos). Jika kodrat
menjadi dasarnya, maka nilai dan norma moral tidak bisa diubah. Sedangkan jika adat
kebiasaan menjadi dasarnya, nilai dan norma moral akan berubah sejauh kebiasaan
berubah.
Relativisme tidak tahan uji jika diperiksa secara kritis Kritik dapat dijalankan
dengan memperlihatkan konsekuensi yang mustahil, seandainya relativisme moral itu
benar.
1. Seandainya relativisme moral benar, maka tidak bisa terjadi bahwa dalam satu
kebudayaan mutu etis lebih tinggi atau rendah daripada dalam kebudayaan lain.
Setiap kebudayaan akan kebal terhadap kritik atas praktek-praktek moralnya, tidak
akan mungkin kita mengatakan bahwa praktek-praktek dalam dalam suatu lingkup
budaya tidak etis. Padahal, kita yakin bahwa kita berhak mengkritik masyarakat
lain yang menggunakan norma-norma moral yang kita tolak.
2. Seandainya relativisme moral benar, maka kita hanya perlu memperhatikan
kaidah-kaidah moral suatu masyarakat untuk mengukur baik tidaknya perilaku
manusia dalam masyarakat tersebut. Jika seperti itu maka norma moral dalam
setiap masyarakat harus dianggap sempurna. Tidak mungkin memperbaiki norma
moral dalam suatu masyarakat, padahal kita yakin bahwa kadang norma-norma
moral dalam suatu kebudayaan harus direvisi. Dari segi etis, tidak semua
kebudayaan sempurna.
3. Seandainya relativisme moral benar, maka tidak mungkin terjadi kemajuan di
bidang moral. Kemajuan terjadi jika cara bertingkah laku yang buruk diganti
dengan cara bertingkah laku yang lebih baik.
Semua konsekuensi dari relativisme moral diatas tidak dapat diterima. Dan menurut
logika jika suatu pandangan membawa konsekuensi-konsekuensi yang tidak bisa
dibenarkan, itu berarti bahwa pandangan itu sendiri tidak benar. Kalau diselidiki
secara kritis, relativisme moral tidak tahan uji, karena itu hanya tinggal kemungkinan
bahwa norma moral adalah absolut.
B. Norma Moral Bersifat Obyektif dan Universal
1. Obyektifitas norma moral
Norma moral kita akui karena mewajibkan kita, karena secara obyektif
mengarahkan diri kepada kita. Kita harus taat pada norma moral. Walaupun
norma moral bersifat obyektif, hal tersebut tidak berarti bahwa kebebasan dengan
demikian ditiadakan. Obyektifitas norma tidak boleh dimengerti sebagai paksaan
yang menyingkirkan kebebasan kita, norma moral menjadi norma sungguh-
sungguh karena diterima dengan bebas.
2. Universalitas norma moral
Jika norma moral bersifat absolut, maka tidak boleh tidak norma itu harus juga
universal, artinya harus berlaku selalu dan dimana-mana. Tidak mungkin norma
moral yang berlaku di satu tempat tapi tidak berlaku di tempat lain.
C. Menguji Norma Moral
Benar tidaknya sebuah ungkapan tentang fakta hanya bisa dipastikan dengan
memandang kenyataan. Namun kebenaran norma moral tidak dapat diuji dengan cara
yang sama, kebenaran moral tidak tergantung pada kenyataan. Ada beberapa tes untuk
menguji kebenaran norma moral:
1. Konsistensi. Suatu norma moral harus konsisten, jika tidak pasti tidak dapat
berfungsi sebagai norma.
2. Generalisasi norma. Norma moral adalah benar jika dapat digeneralisasikan, dan
tidak benar jika tidak dapat digeneralisasikan. Menggeneralisasikan norma berarti
memperlihatkan bahwa norma itu berlaku untuk semua orang.
D. Norma Dasar Terpenting: Martabat Manusia
Manusia adalah pusat kemandirian, artinya manusia adalah satu-satunya makhluk
yang memiliki harkat intrinsik dan karena itu harus dihormati sebagai tujuan pada
dirinya. Martabat manusia selalu harus dihormati, tidak pernah manusia boleh
diperalat, tidak pernah manusia boleh dimanipulasi demi tercapainya tujuan yang
terletak di luar manusia tersebut.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN
V.1. Hakikat Hak dan Jenis-jenisnya
A. Hakikat Hak
Hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu terhadap
yang lain atau terhadap masyarakat. Hak adalah klaim yang sah atau klaim yang dapat
dibenarkan. Orang yang mempunyai hak bisa menuntut bahwa orang lain akan
memenuhi dan menghormati hak itu.
B. Hak Legal dan Moral
Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk. Hak
legal berasal dari undang-undang, peraturan, hokum atau dokumen legal lainnya. Jika
hak legal berfungsi dalam bidang hukum, maka hak moral berfungsi dalam sistem
moral. Hak moral didasarkan atas prinsip atau peraturan etis saja. Hak moral belum
tentu merupakan hak legal juga.
C. Beberapa Jenis Hak yang Lain
1. Hak Khusus dan Hak Umum
Hak khusus timbul dalam suatu relasi khusus antara beberapa manusia atau
karena fungsi khusus antara beberapa manusia atau karena fungsi khusus yang
dimiliki satu orang terhadap orang lain. Jadi hak ini hanya dimiliki oelh satu atau
beberapa manusia.
Hak umum dimiliki manusia bukan karena hubungan atau fungsi tertentu,
melainkan semata-mata karena ia manusia. Hak ini dimiliki oleh semua manusia
tanpa kecuali, yang kita kenal dengan istilah “hak asasi manusia”
2. Hak Positif dan Negatif
Suatu hak bersifat negatif, jika saya bebas untuk melakukan sesuatu atau
memiliki sesuatu, dalam arti: orang lain tidak boleh menghindari saya untuk
melakukan atau memiliki hal itu. Hak negatif sepadan dengan kewajiban orang
lain untuk tidak melakukan sesuatu, yaitu tidak menghindari saya untuk
melaksanakan atau memiliki apa yang menjadi hak saya. Contoh: hak atas
kehidupan, kesehatan, milik atau keamanan. Hak negatif dibagi menjadi hak
negatif aktif dan hak negatif pasif. Hak negatif aktif adalah hak untuk berbuat atau
tidak berbuat seperti orang kehendaki, orang lain tidak boleh menghindari saya
untuk melakukan sesuatu, atau dapat juga disebut hak kebebasan. Hak negatif
pasif adalah hak untuk tidak diperlakukan orang lain dengan cara tertentu, mis:
saya mempunyai hak bahwa orang lain tidak campur dalam urusan pribadi saya,
bahwa rahasia saya tidak dibongkar, bahwa nama baik saya tidak dicemarkan.
Suatu hak bersifat positif, jika saya berhak bahwa orang lain berbuat sesuatu
untuk saya. Contoh: hak atas makanan, pendidikan, pelayanan kesehatan.
3. Hak Individual dan Sosial
Hak individu terhadap negara adalah hak yang dimiliki setiap orang, negara tidak
boleh menghindari atau mengganggu individu dalam mewujudkan hak-hak ini,
seperti hak mengikuti hati nurani, hak beragama, hak mengemukakan pendapat.
Disamping itu ada pula hak yang dimiliki manusia bukan terhadap negara,
melainkan sebagai anggota masyarakat bersama dengan anggota-anggota lain.
Hak ini disebut hak sosial, contoh: hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan.
V.2. Ada Hak yang Bersifat Absolut
Suatu hak adalah absolut jika berlaku mutlak, tanpa pengecualian. Kita dapat
mengatakan juga bahwa suatu hak bersifat absolut jika berlaku selalu dan dimana-
man, tidak terpengaruhi oleh keadaan. Yang berpeluang lebih besar untuk dianggap
absolute adalah hak-hak negatif pasif, karena tidak perlu berkonflik dengan hak-hak
lain. Sedangkan hak-hak positif pasti tidak bersifat absolut, karena selalu bisa
berkonflik dengan hak orang lain.
V.3. Hubungan antara Hak dan Kewajiban
A. Dipandang dari Segi Kejiwaan
Berdasarkan teori korelasi, terdapat hubungan antara hak dan kewajiban, tapi
hubungan tersebut tidak dapat dikatakan mutlak dan tanpa pengecualian. Tidak selalu
kewajiban satu orang sepadan dengan hak orang lain. John Stuart Mill berpendapat
bahwa kewajiban sempurna selalu terkait dengan hak orang lain, sedangkan
kewajiban tidak sempurna tidak terkait dengan hak orang lain. Kewajiban sempurna
didasarkan atas keadilan, sedangkan kewajiban tidak sempurna tidak didasarkan atas
keadilan tapi memiliki alasan moral lain seperti berbuat baik atau kemurahan hati.
B. Dipandang dari Segi Hak
Korelasi hak dan kewajiban paling jelas dalam kasus hak-hak khusus, setiap kali
saya mempunyai hak terhadap seseorang maka orang itu mempunyai kewajiban
terhadap saya. Diluar kasus hak-hak khusus ini, sering juga ada hubungan timbale
balik antara hak dan kewajiban, tapi tidak selalu.
C. Kewajiban terhadap Diri Sendiri
Kewajiban terhadap diri sendiri tidak boleh dimengerti sebagai kewajiban semata-
mata terhadap diri kita sendiri, kita sebagai individu dengan banyak cara terjalin
dengan orang lain, kewajiban yang kita miliki terhadap diri kita sendiri tidak terlepas
dari hubungan kita dengan orang lain. Jika dikaitkan dengan agama, maka kewajiban
diri sendiri sebenarnya diartikan sebagai kewajiban terhadap Tuhan.
V.4. Teori tentang Hak dan Individualisme
Ada ketidaksetujuan terhadap teori tentang hak, yang mana teori tersebut
mengandung suatu arti individualisme yang merugikan solidaritas dalam masyarakat,
yang berarti menempatkan individu di atas masyarakat. Padahal manusia adalah anggota
masyarakat dan tidak dapat dilepaskan dari akar-akar sosialnya, karena dalam lingkungan
masyarakat manusia baru menjadi manusia dalam arti sepenuhnya. Hak-hak tidak
mengasingkan manusia dari kehidupan sosial, tapi merupakan syarat untuk membentuk
kehidupan sosial yang sungguh-sungguh manusiawi. Mengakui hak dan kebebasan setiap
orang tidak mengancam eksistensi masyarakat, tapi menjamin suatu masyarakat dimana
etika dan perikemanusiaan dijunjung tinggi.
V.5. Siapa yang Memiliki Hak
Hanya makhluk yang mempunyai kesadaran dan dapat menyebut dirinya “aku”
yang dapat dianggap sebagai pemilik hak, yang pada prinsipnya dapat menyadari
bahwa ia memiliki hak, sehingga ia juga bisa melepaskan haknya jika ia mau. Bukan
hanya orang dewasa yang memiliki hak, tapi anak-anak juga.
Kewajiban tidak selalu harus dikaitkan dengan hak, dapat pula dikaitkan dengan
tanggung jawab, karena tanggung jawab merupakan kerangka acuan untuk membahas
kewajiban.
BAB VI
MENJADI MANUSIA YANG BAIK
VI.1. Etika Kewajiban dan Etika Keutamaan
Kita dapat memandang perbuatan dan mengatakan bahwa perbuatan itu baik atau
buruk, adil atau tidak adil, jujur atau tidak jujur. Disini kita seolah-olah “mengukur” suatu
perbuatan dengan norma atau prinsip moral, jika perbuatan itu sesuai dengan prinsip
bersangkutan maka kita menyebutnya baik, adil, jujur, dsb. Selain itu ada cara
penilaian lain lagi yang tidak terlalu memandang perbuatan melainkan keadaan pelaku
sendiri. Disini kita menunjuk bukian kepada prinsip atau norma, melainkan kepada sifat
atau akhlak yang dimiliki atau tidak dimiliki orang itu.
Terdapat dua tipe teori etika yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari yaitu etika
kewajiban dan etika keutamaan. Etika kewajiban mempelajari prinsip-prinsip dan aturan-
aturan moral yang berlaku untuk perbuatan kita, etika ini menunjukan norma-norma dan
prinsip-prinsip yang perlu diterapkan dalam hidup kita, dan urutan pentingnya. Jika
terjadi konflik antara dua prinsip moral yang tidak dapat dipenuhi sekaligus maka etika
ini mencoba menentukan yang mana harus diberi prioritas.
Etika keutamaan mempunyai orientasi yang lain. Etika ini tidak terlalu melihat
perbuatan satu demi satu apakah sesuai dengan norma moral atau tidak, tapi lebih
menekankan pada manusia itu sendiri. Etika ini mempelajari keutamaan, artinya sifat
watak yang dimiliki manusia. Etika ini tidak menyelidiki apakah perbuatan kita baik atau
buruk, melainkan apakah kita sendiri orang baik atau buruk.
VI.2. Keutamaan dan Watak Moral
Keutamaan adakah disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan
memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.
1. Keutamaan adalah suatu disposisi, artinya suatu kecenderungan tetap, yang berarti
bahwa keutamaan tidak dapat hilang. Keutamaan adalah sifat watak yang ditandai
stabilitas. Keutamaan adalah sifat baik yang mendarah daging pada seseorang, tapi
tidak semua sifat baik adalah keutamaan.
2. Keutamaan berkaitan dengan kehendak. Keutamaan adalah disposisi yang membuat
kehendak mengarah ke arah tertentu. Karena berkaitan dengan kehendak, maka
adanya motivasi pelaku menjadi sangat penting, karena untuk mengarahkan
kehendak.
3. Keutamaan diperoleh melalui jalan membiasakan diri dan merupakan hasil latihan.
Keutamaan tidak dimiliki manusia sejak lahir. Keutamaan terbentuk dari suatu proses
pembiasaan dan latihan yang cukup panjang, dimana pendidikan juga berperan
penting.
4. Keutamaan berbeda dengan ketrampilan
- ketrampilan hanya memungkinkan orang untuk melakukan jenis perbuatan
tertentu, sedangkan keutamaan tidak terbatas pada satu jenis perbuatan saja.
- keutamaan dan ketrampilan berciri korektif, artinya keduanya membantu untuk
mengatasi kesulitan awal. Pada ketrampilan kesulitan yang timbul bersifat teknis,
sedangkan pada keutamaan kesulitan yang timbul bersifat kehendak.
VI.3. Keutamaan dan Ethos
Keutamaan membuat orang menjadi baik secara pribadi. Pada umumnya ethos suatu
profesi sebagian besar tercermin dalam kode etik untuk profesi yang bersangkutan.
VI.4. Orang Kudus dan Pahlawan
Teori-teori etika biasanya membedakan tiga kategori perbuatan. Pertama, ada
perbuatan yang merupakan kewajiban begitu saja dan harus dilakukan. Kedua, ada
perbuatan yang dilarang secara moral dan tidak boleh dilakukan. Ketiga, ada perbuatan
yang dapat diijinkan dari sudut moral, dalam arti tidak dilarang dan tidak diwajibkan.
BAB VII
BEBERAPA SISTEM FILSAFAT MORAL
VII.1.Hedonisme
Hedonisme diartikan sebagai apa yang memuaskan keinginan kita, apa yang
meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita. Pada dasarnya
setiap kesenangan dapat dinilai baik, namun tidak berarti setiap kesenangan harus
dimanfaatkan pula. Untuk itu kesenangan dibagi menjadi 3 macam keinginan: keinginan
alamiah yang perlu (mis: makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (mis: makanan
yang enak), dan keinginan yang sia-sia (mis: kekayaan). Hanya keinginan pertama yang
harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas akan menghasilkan kesenangan paling
besar.
VII.2.Eudemonisme
Dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Seringkali kita mencari
suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan yang lain. Menurut Aristoteles, tujuan tertinggi
manusia adalah kebahagiaan. Namun pengertian tentang kebahagiaan berbeda-beda bagi
masing-masing orang, ada yang mengatakan bahwa kesenangan adalah kebahagiaan, ada
yang berpendapat uang dan kekayaan adalah inti kebahagiaan, dan ada pula yang
menganggap status sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan.
VII.3.Utilitarisme
A. Utilitarisme Klasik
Utilitarisme dimaksudkan sebagai dasar etis untuk memperbaharui hukumdi
inggris, khususnya hukum pidana, dengan maksud adalah untuk memajukan
kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau
melindungi hak-hak kodrati. Salah satu kekuatan utilitarisme adalah bahwa mereka
menggunakan sebuah prinsip yang jelas dan rasional. Dengan mengikuti prinsip ini
pemerintah mempunyai pegangan jelas untuk membentuk kebijakannya dalam
mengatur masyarakat.
B. Utilitarisme Aturan
Utilitarisme aturan merupakan sebuah varian dari utilitarisme yang bertujuan
untuk meloloskan diri dari banyak kesulitan pada utilitarisme klasik. Namun,
utilitarisme ini sendiri juga tidak lepas dari kesulitan juga. Kesulitan utama timbul
jika terjadi konflik antara dua aturan moral.
VII.4.Deontologi
Sistem etika ini tidak mengukur baik tidaknya suatu perbuatan berdasarkan hasilnya,
melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan
tersebut.
A. Deontologi Menurut I.Kant
Sebagai pencipta sistem moral ini, Kant berpendapat bahwa yang bisa disebut baik
dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik
secara terbatas atau dengan syarat, contoh: kesehatan, kekayaan, atau inteligensi
adalah baik jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia, tapi jika dipakai oleh
kehendak yang jahat semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Menurut Kant kehendak
menjadi baik jika bertindak karena kewajiban, jika perbuatan dilakukan dengan suatu
maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa disebut baik betapapun luhur atau
terpuji motif itu.
B. Pandangan W.D.Ross
Dari kesimpulan deontologi menurut Kant, timbul penilaian moral yang umum,
saya tidak perlu atau malah tidak boleh membiarkan konsekuensi jelek dari perbuatan
yang sebenarnya baik, jika saya mempunyai kemungkinan untuk mencegahnya. Ross
mengusulkan jalan keluar dari kesulitan tersebut dengan menambahkan sebuah
nuansa yang penting. Kewajiban selalu merupakan kewajiban prima facie, artinya
suatu kewajiban untuk sementara dan hanya berlaku sampai timbul kewajiban yang
lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban awal. Berikut kewajiban prima facie:
1. Kewajiban kesetiaan: kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas.
2. Kewajiban ganti rugi: kita harus melunasi utang moril dan materiil.
3. Kewajiban terimakasih: kita harus berterimakasih kepada orang yang berbuat baik
kepada kita.
4. Kewajiban keadilan: kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai
dengan jasa orang-orang yang bersangkutan.
5. Kewajiban berbuat baik: kita harus membantu orang lain yang membutuhkan
bantuan kita
6. Kewajiban mengembangkan diri: kita harus mengembangkan dan meningkatkan
bakat kita dibidang keutamaan, inteligensi, dsb.
7. Kewajiban intuk tidak merugikan: kita tidak boleh melakukan sesuatu yang
merugikan orang lain.
Menurut Ross, setiap manusia memiliki intuisi tentang kewajiban-kewajiban tersebut
artinya semua kewajiban itu berlaku bagi kita. Tapi kita tidak memiliki intuisi tentang
apa yang terbaik dalam situasi konkrit, untuk itu perlu dipergunakan akal budi. Kita
harus mempertimbangkan dalam setiap kasus mana kewajiban yang paling penting,
jika tidak mungkin memenuhi semua kewajiban sekaligus.
BAB VIII
MASALAH – MASALAH ETIKA TERAPAN
DAN TANTANGANNYA BAGI ZAMAN KITA
VIII.1. Etika Sedang Naik Daun
Perkembangan pesat di bidang ilmu dan teknologi menimbulkan banyak persoalan
etis yang besar, khususnya dalam sector ilmu-ilmu biomedis. Saat ini filsafat moral
mengalami suatu masa kejayaan. Di banyak tempat di seluruh dunia setiap tahun
diadakan kongres dan seminar tentang masalah-masalah etis. Pentingnya etika terapan
saat ini juga tampak karena tidak jarang jasa ahli etika diminta untuk mempelajari
masalah-masalah yang berimplikasi moral, hal itu terutama terjadi jika pemerintah suatu
negara ingin membuat peraturan hukum tentang suatu masalah baru atau mengubah
ketentuan hukum yang berlaku.
VIII.2. Beberapa Bidang Garapan bagi Etika Terapan
Etika terapan dapat menyoroti suatu profesi atau suatu masalah. Dari sedemikian
banyak cabang-cabang etika terapan itu, yang paling banyak mendapat perhatian sekarang
ini adalah etika kedokteran, etika bisnis, etika tentang perang dan damai, dan etika
lingkungan hidup. Keempat cabang tersebut menjadi menarik karena di bidang-bidang
tersebut berlangsung perkembangan yang paling pesat, sehingga banyak persoalan-
persoalan etis yang perlu segera ditangani dan dicarikan pemecahannya.
VIII.3. Etika Terapan dan Pendekatan Multidisipliner
Salah satu ciri khas etika terapan sekarang ini adalah kerjasama erat antara etika dan
ilmu-ilmu lain. Etika terapan tidak dapat dijalankan dengan baik tanpa kerjasama
tersebut, karena ia harus membentuk pertimbangan tentang bidang-bidang yang sama
sekali diluar keahliannya. Karena itu pelaksanaan etika terapan minta suatu pendekatan
multidisipliner, suatu pendekatan yang melibatkan pelbagai ilmu sekaligus.
VIII.4. Pentingnya Kasuistik
Kasuistik dimaksudkan usaha memecahkan kasus-kasus konkrit dibidang moral
dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum, jadi kasuistik ini sejalan dengan
maksud umum etika terapan. Salah satu cabang dimana kasuistik paling banyak
dipergunakan adalah etika biomedis. Yang menarik ialah praktek kasuistik cocok sekali
dengan bidang kedokteran, yang juga memiliki tradisi menerapkan prinsip-prinsip
ilmiahnya pada kasus-kasus konkret. Kasuistik menarik karena mengungkapkan sesuatu
tentang kekhususan argumentasi dalam etika, penalaran moral ternyata berbeda dengan
penalaran matematis yang selalu dilakukan dengan cara yang sama, kapan saja, dan
dimana saja.
VIII.5. Kode Etik Profesi
Profesi adalah suatu moral community yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama,
mereka membentuk suatu profesi yang disatukan dengan latar belakang pendidikan yang
sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan
demikian profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dan
karena itu memiliki tanggung jawab khusus juga. Dengan adanya kode etik, kepercayaan
masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat karena setiap klien mempunyai kepastian
bahwa kepentingannya akan terjamin. Kode etik menunjukan arah moral bagi suatu
profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi tersebut dimata masyarakat.
VIII.6. Etika di Depan Ilmu dan Teknologi
A. Ambivalensi Kemajuan Ilmiah
Kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya
disamping banyak akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif. Tidak dapat
disangkal, berkat adanya ilmu dan teknologi manusia banyak memperoleh banyak
kemudahan dan kemajuan. Mula-mula perkembangan ilmiah dan teknologi dinilai
sebagai kemajuan belaka, orang hanya melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang
terbuka luas bagi manusia. Disamping kemajuan yang luar biasa, timbul pula banyak
kesulitan-kesulitan baru, dan kesulitan ini sering mempunyai konotasi etis. Kesadaran
akan aspek-aspek negatif yang melekat pada ilmu dan teknologi mungkin dirasakan
dengan jelas pada saat bom atom dijatuhkan pertama kali di Hiroshima.
B. Masalah Bebas Nilai
Ilmu dan moral merupakan dua kawasan yang sama sekali asing satu sama
lainnya, tapi terdapat persamaan dari keduanya. Pada saat tertentu dalam
perkembangan ilmu dan teknologi bertemu dengan moral.
C. Teknologi yang Tak Terkendali
Di situasi sekarang ini, sering dikemukakan bahwa perkembangan ilmu dan
teknologi merupakan proses yang seakan berlangsung secara otomatis, tidak
tergantung dari kemauan manusia. Padahal fungsinya pada dasarnya bersifat
instrumental, artinya menyediakan alat-alat bagi manusia.
D. Tanda-tanda yang menimbulkan harapan
Batas bagi yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan ilmu dan teknologi harus
ditentukan berdasarkan kesadaran moral manusia. Pemikiran etis hanya menyusul
perkembangan ilmiah-teknologis. Baru sesudah masalah-masalah etis timbul, etika
sebagai ilmu mulai diikutsertakan.
VIII.7. Metode Etika Terapan
A. Sikap Awal
Dalam usaha membentuk suatu pandangan beralasan tentang masalah etis apapun,
kita tidak pernah bertolak dari titik nol. Selalu ada suatu sikap awal. Kita mulai
dengan mengambil suatu sikap tertentu terhadap masalah yang bersangkutan. Pada
mulanya kita belum berpikir mengapa kita bersikap demikian. Peristiwa atau keadaan
tertentu dapat menjadi masalah yang membutuhkan pemikiran moral, dengan itu
refleksi etis memulai perjalanannya. Hal tersebut dapat berlangsung dalam hidup
pribadi seseorang yang berpikir tentang salah satu masalah etis.
B. Informasi
Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang dibutuhkan adalah informasi.
Hal itu terutama mendesak bagi masalah etis yang terkait dengan perkembangan ilmu
dan teknologi. Bisa saja terjadi sikap awal yang pro atau kontra yang sebenarnya
masih sangat emosional atau sipengaruhi oleh faktor subyektif yang tidak sesuai
dengan kenyataan obyektif.
C. Norma-norma moral
Unsur berikutnya adalah norma-norma moral yang relevan untuk topik atau
bidang yang bersangkutan. Norma-norma moral itu sudah diterima dalam masyarakat,
tapi harus diakui juga sebagai relevan untuk topic atau bidang yang khusus ini.
Penerapan norma-norma moral ini merupakan unsure terpenting dalam metode etika
terapan.
D. Logika
Uraian dalam etika terapan harus bersifat logis juga. Hal ini tentu tidak merupakan
tuntutan khusus bagi etika saja, sebab berlaku untuk setiap uraian yang mempunyai
pretense rasional. Logika dapat memperlihatkan bagaimana dalam suatu argumentasi
tentang masalah moral berkaitan dengan kesimpulan etis, dan juga apakah
penyimpulan itu tahan uji jika diperiksa secara kritis menggunakan aturan-aturan
logika.