Rian Punya

35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Klasifikasi Status Fisik ASA Sistem klasifikasi status fisik ASA adalah sebuah sistem untuk menentukan kebugaran pasien sebelum operasi. Tujuan dari sistem pengklasifikasian ini adalah untuk menentukan derajat kesakitan atau status fisik pasien sebelum operasi. Data yang didapat digunakan untuk menyusun rencana anestesi dan operasi, dan komunikasi antara pelaksana operasi. Sistem ini tidak dimaksudkan untuk memprediksi hasil operasi. 2.1.1 Sejarah Klasifikasi Status Fisik ASA Pada 1940-1941, ASA meminta sebuah komite dari tiga dokter (Meyer Saklad, MD, Emery Rovenstine, MD, dan Ivan Taylor, MD) untuk mempelajari, meneliti, eksperimen dan merancang sebuah sistem untuk pengumpulan dan tabulasi data statistik dalam anestesi yang bisa berlaku dalam kondisi apapun. Usaha ini adalah yang pertama oleh khusus medis untuk mengelompokkan risiko untuk pasien. Sementara misi mereka adalah untuk menentukan prediktor untuk risiko operasi, mereka cepat-cepat menolak tugas ini karena tidak mungkin untuk merancang hal tersebut. Mereka menyatakan hal ini sebagai usaha untuk membakukan dan

Transcript of Rian Punya

Page 1: Rian Punya

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Klasifikasi Status Fisik ASA

Sistem klasifikasi status fisik ASA adalah sebuah sistem untuk

menentukan kebugaran pasien sebelum operasi. Tujuan dari sistem

pengklasifikasian ini adalah untuk menentukan derajat kesakitan atau status fisik

pasien sebelum operasi. Data yang didapat digunakan untuk menyusun rencana

anestesi dan operasi, dan komunikasi antara pelaksana operasi. Sistem ini tidak

dimaksudkan untuk memprediksi hasil operasi.

2.1.1 Sejarah Klasifikasi Status Fisik ASA

Pada 1940-1941, ASA meminta sebuah komite dari tiga dokter (Meyer

Saklad, MD, Emery Rovenstine, MD, dan Ivan Taylor, MD) untuk mempelajari,

meneliti, eksperimen dan merancang sebuah sistem untuk pengumpulan dan

tabulasi data statistik dalam anestesi yang bisa berlaku dalam kondisi apapun.

Usaha ini adalah yang pertama oleh khusus medis untuk mengelompokkan risiko

untuk pasien. Sementara misi mereka adalah untuk menentukan prediktor untuk

risiko operasi, mereka cepat-cepat menolak tugas ini karena tidak mungkin untuk

merancang hal tersebut. Mereka menyatakan hal ini sebagai usaha untuk

membakukan dan menetapkan apa yang sampai sekarang dianggap risiko operasi.

Skala yang mereka diusulkan hanya pada pra operasi pasien saja yaitu status fisik,

bukan prosedur pembedahan atau faktor lainnya yang dapat mempengaruhi hasil

bedah. (7)

Mereka kemudian membuat lima klasifikasi status fisik sebagai berikut.

Kelas I:

Tidak ada kelainan organik atau pasien dengan proses patologis

yang terlokalisir dan tidak menimbulkan gangguan atau kelainan

sistemik.

Contoh: Ini termasuk pasien yang menderita patah tulang kecuali

syok, kehilangan darah, emboli sistemik. Ini termasuk cacat bawaan

Page 2: Rian Punya

kecuali yang menyebabkan gangguan sistemik. Infeksi yang

terlokalisasi dan tidak menyebabkan demam, kelainan bentuk osseus

banyak, dan hernia tanpa komplikasi disertakan. Setiap jenis operasi

bisa jatuh di kelas ini karena hanya kondisi fisik pasien

dipertimbangkan.

Kelas II :

Gangguan sistemik moderat yang jelas, yang disebabkan baik oleh

kondisi yang harus diobati atau intervensi bedah atau gangguan yang

disebabkan oleh proses patologis lainnya yang ada, membentuk

kelompok ini.

Contoh: diabetes ringan, NYHA I atau Iia, asidosis ringan, anemia

sedang, Sinusitis kronis dan akut, infeksi kecil atau dangkal yang

menyebabkan reaksi sistemik. , adenoma tiroid non toksik yang

menyebabkan obstruksi pernapasan tetapi parsial, tirotoksikosisringan,

Osteomielitis kronis dan akut, TBC paru dengan keterlibatan jaringan

paru yang tidak menggangu aktivitas dan tanpa gejala lainnya.

Kelas III :

Gangguan sistemik berat dari setiap penyebab. Hal ini tidak

mungkin untuk menyatakan ukuran mutlak keparahan, karena ini

adalah masalah pertimbangan klinis.

Contoh: diabetes yang rumit atau berat, NYHA Iib, kombinasi

penyakit jantung dan penyakit pernapasan yang mengganggu fungsi

normal, TB paru yang telah menyebabkan dyspnea.

Kelas IV :

Gangguan sistemik yang telah menjadi ancaman hidup terlepas dari

jenis pengobatan.

Contoh: NYHA III, trauma parah, obstruksi usus lengkap yang

menyebabkan pasien lemah. Lengkapi obstruksi usus dengan durasi

lama pada pasien yang sudah lemah.

Page 3: Rian Punya

Kelas V :

Keadaan darurat yang seharusnya dapat dinilai dalam Kelas 1 atau

Kelas 2.

Kelas VI :

Keadaan darurat yang seharusnya dapat dinilai sebagai Kelas 3

atau kelas 4.

Pada tahun 1963 American Society of Anesthesiologists (ASA)

mengadopsi sistem klasifikasi status lima kategori fisik; sebuah kategori keenam

kemudian ditambahkan.

ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa

kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka

mortalitas 2%.

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan

sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses

patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas

harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam

jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :

insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka

mortalitas 68%.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan

operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup

dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka

mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil

(didonorkan)

Page 4: Rian Punya

Jika pembedahan darurat, klasifikasi status fisik yang diikuti dengan E

(untuk darurat) misalnya 3E. Kelas 5 biasanya keadaan darurat dan karena itu

biasanya 5E.

2.2. Anestesi dan Sistem Organ Manusia

Untuk menilai kebugaran fisik pasien yang akan menjalani operasi, ada

beberapa fungsi fisiologis tubuh yang diperhatikan. Selain untuk mempersiapkan

kondisi pasien, hal ini juga digunakan sebagai prediktor dampak post-operasi.

2.2.1. Sistem Pernapasan

Anestesi umum dapat menyebabkan penghambatan clearance

mukosiliar, peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler, penghambatan

pelepasan surfaktan, meningkat sintetase nitrat oksida, dan peningkatan

kepekaan pembuluh darah paru untuk mediator neurohumoral Tingkat

subanesthetic dari agen intravena atau volatile memiliki kemampuan untuk

menumpulkan respon ventilasi terhadap hipoksemia dan hiperkarbia. Evaluasi

pra operasi pasien mengenai penyakit paruyang sudah ada sebelumnya harus

mencakup penilaian terhadap jenis dan beratnya penyakit, serta reversibilitas.

Karena pengamatan klinis sering prediktor terbaik untuk pengembangan

komplikasi paru pasca operasi, sejarah yang cermat dan pemeriksaan fisik

adalah keharusan. Dokter ahli anestesi harus menanyakan tentang intoleransi

latihan, batuk kronis, atau dyspnea dijelaskan. Pada pemeriksaan fisik,

temuan mengi, ronki, penurunan suara nafas, kusam pada perkusi, dan fase

ekspirasi yang berkepanjangan adalah penting. Intervensi dini membantu

untuk memastikan bahwa status kesehatan pasien yang optimal sebelum

operasi.(2)morgan

a. Merokok

Penggunaan tembakau merupakan faktor risiko penting. Bahkan di

antara perokok yang belum berkembang menjadi penyakit paru-paru

kronis, merokok diketahui meningkatkan tingkat carboxyhemoglobin,

penurunan fungsi silia, dan meningkatkan produksi dahak, serta stimulasi

nikotin terhadap sistem kardiovaskular sekunder. Sementara penghentian

Page 5: Rian Punya

merokok selama 2 hari dapat menurunkan tingkat carboxyhemoglobin,

meniadakan efek nikotin, dan meningkatkan pembersihan lendir. Studi

prospektif menunjukkan bahwa berhenti merokok selama sedikitnya 4

sampai 8 minggu itu diperlukan untuk mengurangi tingkat komplikasi

paru pasca operasi. Karena perokok sering menunjukkan peningkatan

reaktivitas saluran napas bawah anestesi umum, hal ini berguna untuk

mengelola bronkodilator seperti albuterol sebelum operasi.(1)

b. Asma

Asma adalah salah satu penyakit yang paling umum yang dihadapi

ahli anestesi. Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi

oleh banyak faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik

adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan

agonis dari sel-sel inflamasi (histamin, triptase, prostaglandin). Kontraksi

otot polos saluran pernapasan diperkuat oleh penebalan dinding saluran

napas akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remondeling,

hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos, vaskuler dan sel-sel sekretori

serta deposisi matrik pada diding saluran respiratorik. Selain itu

hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat produksi sekret

yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa,

protein plasma yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan debris

seluler.3

Selama serangan asma, bronkokontriksi, oedem mukosa, dan sekresi

yang terjadi akan meningkatkan tahanan aliran gas disetiap tempat jalan

napas yang lebih rendah. Tahanan jalan napas kembali normal pertama

kali pada jalan napas yang lebih besar (bronki utama, lobar, segmental

dan sub segmental), kemudian baru perifer. Laju ekspirasi menurun

melampaui kapasitas vital paksa (force vital capacity) tetapi pada

pemulihan serangan laju rata-rata ekspirasi menurun hanya pada volume

paru rendah.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam anestesi pada pasien asma

adalah kombinasi tehnik epidural dan anestesi umum dapat menjamin

Page 6: Rian Punya

kontrol jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan

atelectasi. Bahan induksi yang paling disenangi untuk anestesi umum

adalah propofol, ketamin intramuskular atau intravenosa, atau inhalasi

halotan atau sevofluran. Bahan analgetik yang menyebabkan pelepasan

histamin, induksi dan pelumpuh otot hasilnya tidak jelek dan lebih aman.

Bahan anestetik volatile mengurangi bronkospasme dan biasanya

merupakan bahan utama untuk maintenance pada anestesi umum serta

pengobatan bronkospasme intraoperatif.

Untuk mencegah terjadinya asma intraoperatif, sangat penting

untuk memilih obat dan menyiapkan antisipasi bila saat operasi terjadi

serangan asma.

c. Penyakit Paru Obstruktif Kronis         

PPOK adalah gangguan paru yang paling umum ditemui dalam

praktek anestesi. Prevalensi meningkat dengan usia, sangat terkait

dengan merokok, dan memiliki dominasi laki-laki (yang mempengaruhi

hingga 20% pria). Secara tradisional, pasien telah diklasifikasikan

sebagai memiliki bronkitis kronis atau emfisema dan sebagian besar

pasien memiliki fitur dari kedua. Pada pasien dengan penyakit paru

obstruktif kronik (PPOK), hipoksemia kronis menyebabkan

erythrocytosis, hipertensi paru, dan akhirnya kegagalan ventrikel kanan

(cor pulmonale). Intervensi pra operasi pada pasien dengan PPOK

ditujukan untuk mengoreksi hipoksemia, mengurangi bronkospasme,

memobilisasi dan mengurangi sekresi, dan mengobati infeksi dapat

menurunkan kejadian komplikasi paru pasca operasi. Pasien yang

berisiko terbesar komplikasi adalah mereka dengan pra operasi

pengukuran fungsi paru kurang dari 50% dari yang diperkirakan.(1)

2.2.2 Sistem Kardiovaskular

a. Hipertensi

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa

sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk

Page 7: Rian Punya

dilakukannya penundaan anestesia dan operasi.12,13 Namun banyak

literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk

mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi

emergensi.18,19 Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur,

karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan

pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai

perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli

menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk

terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik.

Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi

yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya

stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua.

Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita

hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%,

infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan

sampai lebih dari 50%. Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol

TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus

hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu

dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik

yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap

kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri.

Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya

kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan

sebelum operasi. The American Heart Association / American College of

Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS _ 180 mmHg

dan/atau TDD _ 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan

operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang

sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai

beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid

acting.20

Page 8: Rian Punya

Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai

respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang

harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi.

Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan

respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi

preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan

mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak

dikontrol dengan baik..18-20

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama

pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang

terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode

intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada

periode preoperatif.10 Pada hipertensi kronis akan menyebabkan

pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada

penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral

dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka

panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva

autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa

mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang

sebaiknya diperhatikan,yaitu:

Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang

maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.

Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala

hipoperfusi otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka

kejadian stroke.

Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang

lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.

Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi

dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan.

Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O),

Page 9: Rian Punya

anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh

otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan

anestesia.3 Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik

anesthesia, namun perlu diingat bahwa anesthesia regional sering

menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada

pasien dengan keadaan hipovolemia.21

b. Penyakit jantung iskemik

Operasi besar akan menyebabkan stress pada system kardiovaskuler

pada periode perioperatif. Stres alan menyebankan meningkatnya cardiac

otput yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada

pasien dengan gangguan jantung. Kejadian postoperative yang dapat

terjadi meliputi infark miokardium, aritmia, dan multiple organ failure

sekunder akibat curah jantung yang rendah. Pasien dengan penyakit

jantung iskemik memiliki risiko infark miokardium yang lebih besar saat

operasi. Hal ini dapat terjadi jika “silent ischemia” muncul tanpa kita

sadari. Penyakit jantung iskemik terjadi jika pembuluh darah jantung

menyempit karena timbulnya plak pada lapisan endotel. Akbatnya suplai

darah koroner menjadi terhambat dan pada aktivitas yang berat suplai

darah koroner menjadi sangat berkurang yang akan menyebabkan angina.

Pada kondisi perioperatif, hal-hal yang menyebabkan suplai darah

koroner meningkat adalah pemberian stressor kepada pasien. Stresor

tersebut akan menyebabkan pelepasan adrenalin dan katekolamin yang

dapat menyebabkan takikardi, vasokonstriksi koroner dan agregasi

platelet. Stresor terebut dapat berupa intubasi trakea, analgesik yang

kurang, dan beberapa obat yang dapat menyebabkan suplai darah koroner

bertambah. Selain itu, juga diperlukan penilaian khusus yang salah

satunya tertuang dalam Goldman Cardiac Risk Index yang digunakan

untuk melihat risiko perioperatif pasien jantung, dan komplikasi

kardiovaskular yang timbul setelah operasi. Tes toleransi latihan juga biasa

digunakan untuk melihat keadaan fungsional jantung.22

Page 10: Rian Punya

2.2.3 Penyakit endokrin

a. Diabetes Mellitus

Stres perioperatif dapat meningkatkan konsentrasi glukosa serum

sekunder untuk pelepasan kortisol dan katekolamin. Sebagian besar

literatur yang ada menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang lebih baik

dapat membatasi morbiditas (panjang rumah sakit / biaya unit perawatan

intensif, tingkat infeksi, penyembuhan luka, hasil setelah stroke / MI) dan

kematian terutama pada pasien bedah jantung, pasien endarterektomi, dan

kritis sakit, meskipun sebuah penelitian eksperimental randomisasi

menemukan peningkatan kejadian kematian dan stroke perioperatif pada

pasien bedah jantung di mana upaya yang dilakukan untuk

mempertahankan glukosa antara 80 dan 100 mg/dL. studi Lebih banyak

diperlukan untuk menentukan apakah kontrol glikemik yang ketat akan

meningkatkan hasil di semua penderita diabetes yang menjalani operasi.

Karena bukti yang kurang baik untuk dapat menetapkan standar untuk

pengelolaan glukosa perioperatif dari pasien diabetes, minimal, upaya

harus dilakukan untuk mengontrol glukosa dalam kisaran 100 sampai 200

mg / dL, meskipun beberapa akan berpendapat bahwa lebih ketat kontrol

dengan batas atas 150 mg / dL dibenarkan. (1,2)

Tujuan pokok pengelolaan gula darah pasien adalah untuk

mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum

pembedahan, memberikan    kecukupan   karbohidrat   untuk    mencegah  

metabolisme katabolik   dan ketoasidosis, dan menentukan kebutuhan

insulin untuk mencegah hiperglikemia. Pembedahan pada penderita DM

tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya membutuhkan sedikit

perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Apakah untuk bedah yang

relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes oral kerja pendek pada

hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk

Page 11: Rian Punya

bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol

kadar gula darah dan glikosuria.5,6

b. Tiroid dan paratiroid

Penyakit tiroid dan paratiroid penyakit memiliki manifestasi klinis

yang penting untuk evaluasi pra operasi. Penyakit tiroid biasanya cukup

dinilai oleh sejarah klinis, walaupun tentu saja tes fungsi tiroid yang lebih

sensitif. Evaluasi pra operasi harus fokus pada penilaian terhadap tanda

dan gejala hipertiroidisme dan hipotiroidisme. Hypothyroidism dapat

menyebabkan pengembangan hipotermia, hipoglikemia hipoventilasi, dan

hiponatremia, serta kerentanan terhadap obat depresan. Ahli anestesi harus

waspada terhadap kemungkinan keadaan hipermetabolik badai tiroid pada

pasien dengan hipertiroidisme. Massa tiroid besar dapat mengganggu

saluran napas bagian atas, menghasilkan stridor inspirasi atau mengi,

terutama jelas dalam posisi terlentang. Dalam kasus ini, sebuah x-ray dada

harus diperoleh mencari bukti penyimpangan trakea atau penyempitan.

Scan computed tomography jalan napas atas dan trakea akan memberikan

detil yang lebih baik dari setiap napas kompromi. Pasien dengan

hiperparatiroidisme sering memiliki hypercalcemia, menunjukkan

kebutuhan untuk penentuan pra operasi dari tingkat kalsium serum.(1)

2.2.4 Sistem Renal

Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR,  yang dapat

diketahui dengan kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit

tanpa adanya perubahan klinis pada fungsi ginjal. Walaupun pada pasien

dengan kreatinin klirens 40 -60 mL/menit umumnya asimtomatik. Pasien ini

hanya memiliki gangguan ginjal ringan namun harus dipertimbangkan

sebagai gangguan ginjal. Ketika kreatinin klirens mencapai 25 – 40 mL/menit

gangguan ginjal sedang dan pasien bisa disebut memiliki renal insufisiensi.

Azotemia yang signifikan selalu muncul, dan hipertensi maupun anemia

Page 12: Rian Punya

secara bersamaan. Manajemen anestesi yang tepat pada pasien ini sama

pentingnya pada pasien gagal ginjal yang berat. Yang terakhir ini terutama

selama prosedur yang berkaitan dengan insiden yang relatif tinggi dari gagal

ginjal postoperatif,  seperti pembedahan konstruktif dari jantung dan aorta.

Kehilangan volume intravaskular, sepsis, obstruktif jaundice, kecelakaan,

injeksi kontras dan aminoglikosid, angiotensin converting enzim inhibitor,

atau obat-obat terapi seperti NSAID sebagai resiko utama pada perburukan

akut pada fungsi ginjal. Hipovolemia muncul khususnya sebagai faktor yang

penting pada gagal ginjal akut postoperatif.

Kemudin yang harus dipertimbangkan adalah banyaknya obat-obatan

tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Sehingga modifikasi dosis

harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Efek

sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari

agen-agen ini. Observasi terakhir  bisa disebabkan menurunnya ikatan protein

dengan obat, penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada blood

brain barrier, atau efek sinergis dengan toxin yang tertahan pada gagal ginjal.

Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel dari

uremia harus dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari

sebelumnya dibutuhkan.

Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi jantung

dan pernafasan. Tanda–tanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat

diketahui. Kekurangan volume intravaskuler sering disebabkan oleh dialisis

yang berlebihan. Perbandingan berat pasien sebelum dan sesudah dialisis

mungkin membantu. Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi

hipoksemia dan mengevaluasi status asam-basa pada pasien dengan keluhan

sesak nafas. Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada

pasien dengan anemia berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan

darah sewaktu operasi diperkirakan. Terapi obat preoperatif diberikan secara

hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal. Penyesuaian dosis dan

pengukuran kadar darah (jika memungkinkan) dibutuhkan untuk mencegah

toksisitas obat. Penekanan manajemen pada pasien ini adalah pencegahan,

Page 13: Rian Punya

karena angka kematian dari gagal ginjal post operatif sebesar   50%–60%.(2)

ginjal

2.2.5 Sistem Hepatobilier

Pasien dengan hepatitis akut harus memiliki operasi elektif ditunda

sampai hepatitis akut telah teratasi, seperti yang ditunjukkan oleh tes-tes hati

normalisasi. Studi menunjukkan morbiditas perioperatif meningkat (12%) dan

kematian (sampai 10% dengan laparotomi) selama hepatitis virus akut.

Meskipun risiko hepatitis alkoholik mungkin tidak besar, toksisitas alkohol

akut sangat mempersulit manajemen anestesi. Selain itu, alkohol penarikan

selama operasi mungkin terkait dengan tingkat kematian mencapai 50%.

Hanya operasi benar-benar muncul harus dipertimbangkan dalam kasus

tersebut. Pasien dengan hepatitis beresiko untuk penurunan fungsi hati dan

perkembangan komplikasi dari gagal hati, seperti ensefalopati, koagulopati,

atau sindrom hepatorenal.

Evaluasi laboratorium harus mencakup urea nitrogen darah, elektrolit

serum, kreatinin, glukosa, transaminase, bilirubin, alkalin fosfatase, dan

albumin serta waktu protrombin (PT) dan jumlah platelet. Serum juga harus

diperiksa untuk HBsAg bila memungkinkan. Sebuah tingkat alkohol darah

berguna jika status sejarah atau mental kompatibel dengan intoksikasi.

Hipokalemia dan alkalosis metabolik yang tidak biasa dan biasanya akibat

muntah. Hypomagnesemia bersamaan dapat hadir pada pecandu alkohol

kronis dan predisposisi untuk aritmia. Elevasi pada transaminase serum tidak

selalu berkorelasi dengan jumlah nekrosis. Para serum alanine

aminotransferase (ALT) umumnya lebih tinggi dari serum aspartat

aminotransferase (AST) kecuali pada hepatitis alkoholik, di mana sebaliknya

terjadi. Bilirubin dan fosfatase alkali biasanya hanya cukup meningkat,

kecuali dengan varian kolestasis hepatitis. PT adalah indikator terbaik dari

fungsi hati sintetis. Perpanjangan persisten lebih dari 3 s (rasio normalisasi

internasional [INR]> 1,5) setelah pemberian vitamin K merupakan indikasi

dari disfungsi hati berat. Hipoglikemia yang tidak biasa.(1)

Page 14: Rian Punya

2.2.6 Sistem Imun

Pasien dengan riwayat dermatitis, urtikaria, rhinitis alergi, memiliki

sistem imun yang berlebihan yang sering disebut hipersensitivitas. Beberapa

penelitian mendapatkan adanya hubungan antara hipersensitivitas tipe I (IgE)

dengan kejadian anafilaksis intraoperatif. Terjadinya anafilaksis selama

anestesi umum adalah perhatian utama, karena ada kekurangan informasi

yang relevan yang menjadi dasar strategi untuk mendiagnosa dan mencegah

anafilaksis. Semua obat anestesi saat ini digunakan selama anestesi dapat

memicu reaksi alergi. Studi awal tentang mekanisme anafilaksis selama

anestesi umum berfokus pada pengeluaran nonspesifik histamin sebagai efek

farmakologis agen hipnosis. Pada tahun 1970 perhatian mulai diberikan pada

mekanisme imunologi, seperti reaksi alergi IgE, dan peran neuromuscular

blocking agent (NMBAs) di anafilaksis perioperatif. Hal ini penting untuk

dapat menentukan penyebab reaksi dan untuk menentukan langkah yang tepat

untuk pengobatan dan pencegahan berikutnya.

Sejak tahun 1980, lebih dari 4.500 kasus perianaesthetic anafilaksis telah

dilaporkan oleh penulis Perancis dan Inggris. Obat yang paling sering

bertanggung jawab untuk reaksi anafilaksis dalam survei epidemiologi

Prancis itu NMBAs (54%), lateks (22,3%), antibiotik (14,7%), agen opioid

(2,4%), agen hipnotis (0,8%), koloid (2,8% ) dan lainnya (3%). Jadi,

meskipun NMBAs bertanggung jawab untuk kebanyakan kasus, agen

hipnotis atau antibiotik diberikan untuk tujuan preventif sekali-sekali telah

terlibat. Oleh karena itu, kewaspadaan munculnya kejadian anafilaksis sangat

diutamakan.23-25

Page 15: Rian Punya

2.3 Status Fisik ASA dan Implikasi Klinis

Telah disinggung sebelumnya bahwa klasifikasi status fisik ASA

digunakan untuk menentukan status fisik seseorang sebelum menjalani

operasi untuk menetukan rencana anestesi. Oleh karena itu, dengan

mengetahui status fisik pasien, kita dapat memutuskan untuk menunda

operasi elektif jika kondisi pasien tidak optimal dan membutuhkan pemulihan

kondisi.

Pasien dengan riwayat perokok aktif disarankan untuk berhenti

merokok selama sedikitnya 4 sampai 8 minggu untuk menurunkan tingkat

carboxyhemoglobin, meniadakan efek nikotin, dan meningkatkan

pembersihan lendir.

Untuk mencegah terjadinya asma intraoperatif, sangat penting untuk

memilih obat dan menyiapkan antisipasi bila saat operasi terjadi serangan

asma.

Pasien dengan diabetes mellitus dilakukan upaya untuk mengontrol

glukosa dalam kisaran 100 sampai 200 mg / dL, meskipun beberapa ahli

berpendapat bahwa lebih ketat kontrol dengan batas atas 150 mg / dL

dibenarkan. Tujuan pokok pengelolaan gula darah pasien adalah untuk

mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan,

memberikan    kecukupan   karbohidrat   untuk    mencegah   metabolisme

katabolik dan ketoasidosis.

Pasien dengan hipertensi derajat 2 dianjurkan untuk distabilkan

tekanan darahnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari perubahan

hemodinamik yang susah dikontrol, dan akhirnya menyebabkan kerusakan

organ.

Pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemik harus diberikan

perlakuan meliputi premedikasi, manajemen anestesi yang bertujuan untuk

Page 16: Rian Punya

mengurangi stressor yang dapat menyebabkan suplai darah koroner

bertambah.

Untuk pasien gagal ginjal, direkomendasikan untuk melakukan

hemodialisa guna membersihkan hasil metabolism yang tidak dapat

dikeluarkan ginjal. Obat-obat yang digunakan juga disesuaikan karena obat

yang dimetabolisme diginjal akan mengalami pemanjangan efek.

Seiring dengan kondisi fisik pasien yang dapat berubah, klasifikasi

status fisik ASA seseorang juga dapat berubah.

2.4 Status Fisik ASA sebagai Prediktor Hasil Operasi

Sejak dibuat pada tahun 1941 dan direvisi tahun 1963, telah banyak

penelitian yang mencoba mencari hubungan antara sistem klasifikasi status

fisik ASA dengan dampak post operasi. Salah satunya adalah Wolters dkk

(1996) yang mencoba menjadikan ASA sebagai salah satu prediktor post

operative outcome. Dari beberapa variabel seperti durasi operasi, kehilangan

darah intraoperasi, ventilasi post operasi, perawatan ICU, komplikasi paru

dan jantung, serta angka mortalitas, didapatkan korelasi yang signifikan

terhadap klasifikasi ASA. (9)

Tabel 1. Hubungan klasifikasi ASA dan post operative outcome

Page 17: Rian Punya

Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian Stelner (2003)10 dan Voney G

dkk (2007)11. Mereka sepakat bahwa klasifikasi ASA dapat membantu kita untuk

menilai risiko pasca operasi.

Namun demikian, variasi dalam alokasi klasifikasi ASA telah dilaporkan

dalam studi sebelumnya tidak mempertimbangkan umur pasien, jenis kelamin,

berat, dan kehamilan maupun sifat dari operasi yang direncanakan, keahlian para

dokter anestesi atau dokter bedah, tingkat praoperasi persiapan atau fasilitas untuk

perawatan pasca operasi.12

Keats telah cermat mengamati perjalanan aneh status fisik ASA.(8)

Saklad, Rovenstein, dan Taylor pertama menggambarkan sebuah "penilaian

pasien untuk prosedur bedah" pada tahun 1941 (7). Skala yang mereka usulkan

mencakup status pra operasi pasien saja, bukan prosedur bedah atau faktor lain

yang dapat mempengaruhi hasil pembedahan. Mereka berharap ahli anestesi dari

semua bagian negara akan mengadopsi "terminologi umum," mereka membuat

perbandingan statistik dari morbiditas dan mortalitas mungkin dengan

membandingkan hasil untuk prosedur operasi dan kondisi pra operasi pasien. Ini

adalah kondisi pra operasi yang kita istilahkan status fisik.

Tomoaki Higashizawa yang menyatakan hal diatas menyatakan bahwa

definisi ini didasarkan pada keparahan penyakit dan dapat menyebabkan aplikasi

tidak konsisten. Ukuran kompleksitas operasi dalam sistem klasifikasi ASA

kurang jelas. Istilah kecil, menengah dan besar yang digunakan untuk

mengkategorikan kompleksitas operasi. Namun, asumsi adalah bahwa definisi-

definisi yang intuitif dan jelas. Sistemik dalam klasifikasi ASA menciptakan

banyak kebingungan. Misalnya, serangan jantung (infark miokard), meskipun

fatal, adalah penyakit 'lokal' dan bukan 'sistemik' penyakit, Demikian pula, sirosis

asma, PPOK hati, parah, peri-nephric abses, luka parah terinfeksi, perforasi usus,

patah tulang tengkorak, yang bukan merupakan penyakit sistemik. 12

Beberapa peneliti juga menyampaikan ketidaksepakatannya terhadap

penggunaan klasifikasi ASAyang sekarang. Chijiiwa menyatakan bahwa skor

ASA pra operasi tidak ditemukan memiliki kualitas prediksi terhadap morbiditas

dan mortalitas setelah pembedahan perut besar [13]. Dr Owens menjelaskan

Page 18: Rian Punya

mengapa sistem klasifikasi ASA tidak memprediksi risiko, “Risiko operasi

berbeda karena operasi, namun kondisi fisik pasien sebelum operasi adalah sama.”

[14]

2.2.3 Modifikasi Klasifikasi Status Fisik ASA

Karena pengenalan nilai ASA ini, beberapa penelitian telah menyoroti

perbedaan pendapat dan inkonsistensi penilaian, sementara yang lain mencoba

untuk menemukan modifikasi untuk meningkatkan konsistensi peringkat. Atilio

dan rekan telah menyarankan penambahan pengubah untuk kehamilan terhadap

klasifikasi saat ini. [15] Sebagai pasien hamil menyajikan gangguan fisiologis

yang dapat meningkatkan risiko anestesi dan memerlukan perhatian khusus dalam

manajemen anestesinya. Faktor-faktor ini tidak termasuk dalam penyakit

stratifikasi status. Mereka mengevaluasi penggunaan pengubah G mirip dengan

pengubah E untuk kasus-kasus darurat dan menemukan bahwa sejumlah

anaesthesiologists mengurangi kelas ketika diberi pilihan untuk pengubah G.

Selain itu, pengubah memungkinkan penilai untuk berkonsentrasi hanya pada

penyakit seiring dengan nifas, serta untuk berkomunikasi tentang status

preoperatif pasien dan memungkinkan klasifikasi yang lebih tepat dari kelompok

pasien untuk analisis statistik atau hasil. [15]

Pada tahun 1996, Tomoaki Higashizawa dan Yoshihisa Koga mencoba

membuat modifikasi klasifikasi ASA menjadi 7 kelas, dimana kelas I dan Kelas II

dibagi menjadi 2 kelas.12

Page 19: Rian Punya

Tabel 2. Modifikasi Klasifikasi ASA

Hasilnya, jumlah pasien dalam klasifikasi direvisi secara bertahap

menurun dari kelas 1a sampai 3. Sebaliknya, jumlah pasien dalam klasifikasi ASA

tidak merata di kelas 1 sampai 3. Tidak ada pasien dengan kelas 4 dan 5 di kedua

ASA dan klasifikasi direvisi.

Page 20: Rian Punya

Tabel 3. Perbedaan klasifikasi ASA konvensional dan modifikasi

Insiden di komplikasi (%) pada kedua ASA dan klasifikasi direvisi secara

bertahap meningkat dari kelas 1 sampai 3 dan 1a ke 3, masing-masing. Namun,

jumlah terbesar pasien di ASA dan klasifikasi revisi dibagikan dalam 1b kelas 2

dan kelas dan 2a, masing-masing.12

Penggunaan klasifikasi modifikasi ini juga didukung oleh Daabiss (2011).

Ia menyatakan bahwa klasifikasi ini direvisi praktis dan masuk akal, karena

prediksi komplikasi intra dan pasca operasi dengan penilaian ini lebih akurat

dibandingkan dengan klasifikasi ASA konvensional. Selain itu, klasifikasi ini bisa

diterima untuk sebagian besar praktisi, karena secara prinsip didasarkan pada

status fisik ASA.16

Selain itu, beberapa lembaga medis di seluruh dunia telah menetapkan

metode mereka sendiri penilaian rinci untuk penggunaan praktis.. Terutama,

Goldman dkk. Yang menbuat indeks risiko jantung untuk pasien berisiko tinggi

jantung, dan kemudian Silverman-Holt Aggregate Preoperative Evaluation yang

memasukkan varibel risiko bedah sebagai alat bantu prediktor post operative

Page 21: Rian Punya

outcome. Namun, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menentukan metode

yang paling baik dalam memprediksi dampak post operasi.17

Tabel 4. Tabel evaluasi Silverman-Holt

Page 22: Rian Punya

BAB III

KESIMPULAN

Status ASA sistem klasifikasi fisik adalah suatu sistem untuk menilai

kesehatan pasien sebelum operasi. ASA bertujuan untu menentukan derajat

kesakitan atau status fisik pasien sebelum operasi. Data yang didapat digunakan

untuk menyusun rencana anestesi dan operasi, dan komunikasi antara pelaksana

operasi. Sistem ini tidak dimaksudkan untuk memprediksi hasil operasi. Pada

tahun 1963 American Society of Anesthesiologists (ASA) mengadopsi sistem

klasifikasi status lima kategori fisik; sebuah kategori keenam kemudian

ditambahkan.

ASA I : Pasien normal sehat,

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan

sedang

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas

harian terbatas.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam

jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan didonorkan.

Jika pembedahan darurat, klasifikasi status fisik yang diikuti dengan E

(untuk darurat)

Pada tahun 1996, Tomoaki Higashizawa dan Yoshihisa Koga mencoba

membuat modifikasi klasifikasi ASA menjadi 7 kelas, dimana kelas I dan Kelas II

dibagi menjadi 2 kelas, yaitu kelas 1a dan kelas 1b serta kelas IIa dan kelas IIb.

Kelas asa pada setiap pasien ada yang dapat berubah, misalnya seorang

pasien dengan asa II dapat berubah menjadi asa 1, contohnya pada seorang pasien

yang menderita anemia kemudian dilakukan tranfusi darah, kelas asa pada pasien

tersebut dapat berubah jika kadar Hb kembali menjadi normal kembali.