Artikel Jurnal - Arief Rian 070810663 (B)

22
WACANA KRITIS DISKRIMINASI RAS DALAM FILM AVATAR: THE LAST AIR BENDER Oleh: Arief Rian P (070810663) [email protected] ABSTRAK Penelitian ini adalah untuk menganalisis wacana (discourse analysis) diskriminasi ras dalam Film Avatar: Last Air Bender versi movie secara kritis deskriptif dan critical discourse analysis milik Norman Fairclough. Peneliti tertarik dengan kajian ini karena melihat terjadi banyak ketimpangan sosial antara ras satu dan ras lainnya dalam film ini. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, Ras ‘kulit putih’ digambarkan sebagai seorang tokoh yang identik dengan tokoh protagonist, pahlawan super (super hero) yang mempunyai Responsibility dan Power. Ras ‘Kulit Hitam’ dalam film ini tidak lagi digambarkan dengan sifat-sifat negatif yang biasanya kita temui pada film-film Hollywood, dapat dibilang mereka equal terhadap ras kulit putih. Identitas ‘India’ dalam film ini digambarkan sebagai tokoh antagonis, jahat, sombong, dan tamak. Ras Asia digambarkan dengan negatif: sebagai masyarakat minoritas yang tidak teratur dan sederhana. Korban dari penjajahan dan tidak bisa melawan penjajahan tanpa dibantu. Kata Kunci: Wacana, Diskriminasi, Film, Hollywood, Whiteness PENDAHULUAN Pemikiran mengenai perbedaan ras sebagai bentuk legitimasi supremasi “ras unggul” disumbangkan oleh Count Arthur de Gobenieau dalam bukunya berjudul Essai Sur l’Inegalite des Races Humanies (1855). Dalam karyanya tersebut, Gobineau berpendapat tentang doktrin abad ke- 18 tentang asal-usul bangsa perancis yang berasal dari keturunan budak-budak Gallo- Roman, kaum bangsawan adalah keturunan Jerman. Pemikiran Gobineau ini adalah awal dari suatu definisi tentang

description

my article

Transcript of Artikel Jurnal - Arief Rian 070810663 (B)

WACANA KRITIS DISKRIMINASI RAS DALAM FILM AVATAR: THE LAST AIR BENDEROleh: Arief Rian P (070810663) [email protected] ini adalah untuk menganalisis wacana (discourse analysis) diskriminasi ras dalam Film Avatar: Last Air Bender versi movie secara kritis deskriptif dan critical discourse analysis milik Norman Fairclough. Peneliti tertarik dengan kajian ini karena melihat terjadi banyak ketimpangan sosial antara ras satu dan ras lainnya dalam film ini. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, Ras kulit putih digambarkan sebagai seorang tokoh yang identik dengan tokoh protagonist, pahlawan super (super hero) yang mempunyai Responsibility dan Power. Ras Kulit Hitam dalam film ini tidak lagi digambarkan dengan sifat-sifat negatif yang biasanya kita temui pada film-film Hollywood, dapat dibilang mereka equal terhadap ras kulit putih. Identitas India dalam film ini digambarkan sebagai tokoh antagonis, jahat, sombong, dan tamak. Ras Asia digambarkan dengan negatif: sebagai masyarakat minoritas yang tidak teratur dan sederhana. Korban dari penjajahan dan tidak bisa melawan penjajahan tanpa dibantu.

Kata Kunci: Wacana, Diskriminasi, Film, Hollywood, WhitenessPENDAHULUAN

Pemikiran mengenai perbedaan ras sebagai bentuk legitimasi supremasi ras unggul disumbangkan oleh Count Arthur de Gobenieau dalam bukunya berjudul Essai Sur lInegalite des Races Humanies (1855). Dalam karyanya tersebut, Gobineau berpendapat tentang doktrin abad ke- 18 tentang asal-usul bangsa perancis yang berasal dari keturunan budak-budak Gallo-Roman, kaum bangsawan adalah keturunan Jerman. Pemikiran Gobineau ini adalah awal dari suatu definisi tentang penciptaan suatu elite yang dapat menggantikan aristokrasi. Sebagai ganti pangeran-pangeran, ia menyodorkan suatu konsep ras para pangeran, yaitu ras Arya.

Konsep ras memungkinkan pengorganisasian kepribadian mereka yang berbakat dari romantisme Jerman, menetapkan mereka sebagai anggota-anggota aristokrasi alamiah yang ditakdirkan untuk menguasasi semua ras lain

Stuart Hall (1997) berargumen bahwa ras selalu terbentuk dalam proses sosial dan pertarungan kekuatan politik. Sementara, Istilah Ras yang dalam bahasa Inggrisnya adalah Race, Coakley berpendapat bahwa:Race refers to a category of people regarded as socially distinct because they share genetically transmitted traits believed to be important by people with power and influence in a society.

Artinya bahwa, ras menunjuk pada kelompok orang yang dipandang berbeda secara sosial karena mereka membagi sifat-sifat yang disalurkan secara genetik dipercaya menjadi penting oleh orang dengan kekuatan dan berpengaruh dalam masyarakat. Kepercayaan terhadap sifat-sifat yang bawaan genetic tersebut pada akhirnya menimbulkan prejudice dan diskriminasi. Hal ini sejalan dengan seperti apa yang diungkapkan oleh McGuire menjelaskan bahwa: race also has its uses when discussing prejudice and discrimination.Diskriminasi terhadap suatu ras tidak semata-mata muncul begitu saja, tapi juga berhubungan dengan kepentingan politis yang ada sangkut pautnya dengan dominasi untuk membenarkan diskriminasi, opresi bahkan pemusnahan terhadap ras lain. Seperti yang diungkapkan oleh Adam Gay Griffin dalam karyanya yang berjudul Black Popular Culture bahwa budaya dan sejarah sesungguhnya dibentuk oleh kelompok dominan dalam suatu masyarakat.

Those aspect of our culture and history that come most often to our attention, usually because they have been popularized by or expropriated by the dominant society, tend to line up along the side of assimilation and, as consequence, are available as vehicles for our oppression

Sebagai salah satu faktor pembentuk budaya dan pelanggeng supremasi kelompok dominan, film Hollywood mempunyai andil besar dalam menyusupkan ideologi-ideologi kelompok dominan mengingat film merupakan salah satu institusi media yang berfungsi sebagai penyaring dan penjaga gawang (gate keeper) informasi. Berkenaan dengan kelompok dominan, mengutip pernyataan Bonnie Kae Grover dalam Critical White Studies,

Whiteness means being dominant, and it stands to reason that if somebody's dominant, somebody else is down. It's delightful to be able to mindlessly enjoy "white" culture .

Menurut Theodorson & Theodorson, diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.

Imperialisme budaya menunjuk pada penyebaran nilai-nilai budaya, ide-ide, dan kebiasaan-kebiasaan demi menciptakan kembali superioritas budaya dominan tersebut

Sehingga, dari fenomena inilah yang kemudian menarik peneliti untuk melakukan penelitian dalam film Avatar: Last Airbender, mengusung sebuah wacana yang menekankan ras-ras kulit berwarna sebagai ras yang terdominasi atas supremasi ideologi dari ras kulit putih. Pertanyaan penelitian ini adalah Bagaimana identitas ras kulit putih dan ras lainnya diproduksi dalam film ini? Mengapa identitas kulit putih dan ras lainnya diproduksi sedemikian rupa? Dan, bagaimana diskriminasi kulit putih terhadap ras lain diproduksi dalam film ini?Ras dan Identitas: Konstruksi Realitas Sosial dalam Media MassaKonsep ras bisa diartikan sebagai asal-muasal dari terbentuknya suatu bangsa yang kemudian menjalin suatu hubungan dan ikatan yang didasari oleh kesamaan budaya untuk membentuk kerajaan atau negara.

The concept of race is socially and historically constructed in the particular context of each society. It has been utilized with other factors, such as gender and class, when a nation-state formed itself by defining who should be the authentic nation and who should not

Namun pemaparan-pemaparan ras berdasarkan ciri fisik di atas tersebut dibantah oleh Goodman, bahwa ras merupakan salah satu bentuk konstruksi sosial, hanya saja konstruksi sosial tersebut mengacu pada fakta biologis. Sehingga pada akhirnya, terbentuk dua teori besar dalam mengkategotikan jenis ras, yaitu ras secara biologis dan ras secara budaya. Istilah Konstruksi sosial atas realitas diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, yaitu menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Asal mula konstruksi sosial adalah dari filsafat konstruksivisme, dimulai dari gagasan konstruktif kognitif.

Sebagai sesuatu yang sifatnya fluid, identitas tidak pernah lepas dari permainan kekuasaan yang melingkupinya. Kekuasaan untuk mengkonstruksi identitas nasional dan kultural, termasuk mendefinisikan golongan yang ekslusi dan inklusi, biasanya berada di tangan para pembuat kebijakan. Identitas diri (self-identity), menurut Giddens (1991), merupakan pemahaman mengenai gambaran diri yang didasarkan pada kemampuan mempertahankan narasi tentang diri. Social identities....are associated with normative rights, obligations and sanctions which, within specific collectivities, form roles. The use of standardised markers, especially to do with the bodily attributes of age and gender, is fundamental in all societies, notwithstanding large cross-cultural variations which can be noted

Pada akhirnya, kemampuan media massa dalam mengkonstruksi realitas itulah yang mempengaruhi cara kita memandang apa yang terjadi di sekitar kita. Termasuk menimbulkan gambaran lingkungan sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat. Terjadilah apa yang disebut dengan stereotype. Prejudice dan stereotype saling erat berkaitan, baik secara logika maupun psikologis. Kedua hal itu ada pada semua ras, suku-bangsa, kepercayaan, pekerjaan maupun kebangsaan. Film: Media Komunikasi Massa, Ideologi, dan KekuasaanFilm merupakan salah satu alat komunikasi massa, tidak dapat kita pungkiri antara film dan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Film pada dasarnya memang mudah dipengaruhi oleh tujuan manipulatif, karena film memerlukan penanganan yang lebih sungguh-sungguh dan konstruksi yang lebih artificial pula (melalui manipulasi) daripada media lain

the film is intrinsically susceptible to manipulative purpose because it requires a much more conscious and artificial construction (i.e. manipulation) than other media.Antonio Gramci, filsuf Italia, melihat media, dalam hal ini film, sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, film bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Ini membuktikan bahwa peran media dalam mengkonstruksi realitas amat besar. Mengingat institusi media adalah penyaring dan penjaga gawang (gate keeper), maka otorisasi pengkonstruksian realitas seluruhnya ada di tangan media.

John B. Thomson dan Jorge Larrain (dalam Kadri), istilah ideologi dapat digunakan dalam dua cara yang berbeda. Pertama, istilah ideologi digunakan oleh beberapa kalangan sebagai sebuah istilah yang murni deskriptif, yakni sebagai sistemberpikir, system kepercayaan, praktek-praktek simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Michel Foucault menjelaskan definisi fenomenal dari wacana beserta dengan potensi politis dan kaitannya dengan kekuasaan Diskursus atau wacana adalah elemen taktis yang beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan. Antara wacana dan kekuasaan memiliki hubungan timbal balik, seperti yang dikatakan Faucoult. Dari definisi yang diberikan Foucault, terungkap bahwa wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan. Distribusi wacana ketengah masyarakat pada era post-modern ini, dilaksanakan secara strategis melalui media, bahkan produsen Film sekalipun. Dalam kerangka discourse Foucault, power merupakan kata kunci yang harus diperhatikan dalam penelitian ini. Keberadaan kekuasaan menjadi penting karena menentukan dan mengkonstruksi adanya realitas-realitas yang diciptakan secara subyektif, untuk kepentingan dan tujuan dari power domination. Kekuasaan inilah yang kemudian nantinya menentukan proses-proses pola tingkah laku dan pendikte perilaku kita terhadap realitas yang sebenarnya merupakan intrik politik dari sebuah ideologi dominan.PEMBAHASAN

Kulit Putih sebagai Protagonis, Pahlawan, dan MessiahKarakter yang memulai aksi, karakter yang mempunyai rencana, karakter dimana dirinya-lah pusat dari suatu cerita didalam film disebut protagonis. Egri (1942) mendefinisikan protagonist dalam The Art of Dramatic Writing:

The pivotal character is the protagonist. The protagonist isone who takes the lead in any movement or cause . . . . The pivotal character is the one who creates conflict and makes the play move forward. Without him the story flounders . . . in fact there is no story. (p. 106)

Aang merupakan tokoh sentral dan utama dalam alur cerita ini. Aang bisa dikategorikan sebagai seorang pahlawan, mempunyai power dan responsibility.A superhero is a man or woman with powers that are either massive extensions of human strengths and capabilities, or fundamentally different in kind, which she or he uses to fight for truth, justice and the protection of the innocent. A substantial minority of people without powers as such share a commitment to the superhero mission, so they are generally regarded as superheroes in spite of the absence of such powers.

Menurut Kaveney dalam bukunya Superheroes: Capes and Crusaders in Comics and Films, Power disini bukan menjelaskan mengenai kekuasaan melainkan merupakan perluasan kekuatan dan kemampuan manusia yang membedakannya dari manusia pada umumnya, dimana kekuatan tersebut digunakan untuk bertarung atas nama keadilan dan kebenaran serta melindungi orang-orang yang lemah. Sebagai seorang titisan Avatar, Aang tentu tidak bisa terlepas dari kewajibannya (Responsbility) untuk membebaskan dunia dari perang yang dimulai oleh Negara Api. Pandangan mengenai bagaimana seorang kulit putih punya tanggung jawab untuk membantu orang lain, menyebarkan kebaikan dan membebaskan dunia dari kehancuran diambil dari konsep Whitemans Burden yang dipopulerkan oleh Rurdyard Kipling. Whitemans Burden sendiri merupakan landasan ideologi yang membenarkan imperialisme modern yang bermula setelah Revolusi Industri di Inggris tahun 1870-an. mereka menganggap bahwa sudah menjadi tugas suci agama untuk menyelamatkan manusia dari segala macam penindasan dan ketidakadilan terutama di negara-negara yang dianggap terbelakang sambil mencari wilayah jajahan sebagai wilayah penyuplai bahan baku dan juga sebagai daerah pemasaran hasil industri mereka.Whitemans burden contained two of the basic rationalizations used by European American imperialists as they spread their spheres of influence in the world. The phrase masks the colonizers self-interests by implying that colonial domination is a burdensome act undertaken on behalf of the needy. Moreover, this self-sacrifice can be assumed only by a whiteman because only Whites are viewed as civilized, as in a position to uplift others..

Ada karakteristik kulit putih lainnya yang terdapat dalam film ini, yaitu tidak ada protagonis kulit putih yang yang membunuh untuk membela kebaikan. Contoh paling mudah yang dapat di ambil dari film lainnya adalah Punisher; ia menggunakan peluru yang tidak mematikan ketika menembakkan senjata ke lawannya. Hal ini dilakukan karena permasalahan moral etik.

Generally speaking, the rule was that superheroes did not kill each other, and did not kill human beings; when it came to invading aliens or rampaging robots, the rules tended to be more permissive.

Tokoh berikut adalah putri dari Suku Air Selatan bernama Yue. Peran Putri Yue disini adalah sebagai tokoh pendukung dalam film ini. Jika menggunakan klasifikasi Putri yang dikemukakan oleh Hernandez (2009), maka Putri Yue adalah:

Symbol of all that is fair, all that is beautiful, all that transcends material existence

Cerita dalam film ini, Putri Yue tampil sebagai perempuan muda yang baik hati dan cantik. Selain itu, representasi Putri Yue dalam film ini merupakan tokoh putri ideal; memiliki kulit putih, mata biru, dan tubuh yang indah. Ciri-ciri fisik Putri Yue ini memiliki ciri fisik yang sama dengan mainan anak-anak, Barbie. Mary F Rogers (1999) mengatakan boneka yang menjadi piranti bermain gadis kecil menjadi sebuah mitos tentang kecantikan.Pemilihan kulit putih sebagai pemeran utama yang mempunyai peran sebagai messiah (juru selamat) bisa diinterpretasikan sebagai bentuk supremasi kulit putih terhadap ras lainnya. Ideologi yang berkaitan dengan supremasi kulit putih ini adalah Whiteness. Dalam sejarahnya, Amerika terbentuk berdasarkan superioritas dari kulit putih yang berasal dari Eropa terhadap non-whites, dimana latar belakang inilah yang membenarkan penjajahan dan pembunuhan masal terhadap pribumi dan orang-orang dari Afrika (kulit hitam). Kaum-kaum pribumi dan kulit hitam inilah yang dieksploitasi oleh bangsa eropa di Amerika dengan memperbudak mereka sehingga, dari perbudakan inilah Amerika Serikat mampu menjadi pusat ekonomi dari dunia industri seperti sekarang.

The united States was founded on an ideology of superiority of white european over non-whites that were used to justify the holocausts against indigeneous people and Africans, which created nation and propelled the United States economy inti the industrial world). Whiteness is an ideology which derived from the historical practice of white supremacy. Construction of whiteness is actions or processes constructing humanity through culture, norms, language, and appearance based on white race (Euro American) as superior race.Tokoh baik Kulit Hitam: Color Blindness dalam lingkup Whiteness

Cerita dalam film ini, hanya ada satu tokoh yang diperankan oleh aktor kulit hitam, yaitu Biksu Gyatso. Diceritakan bahwa biksu Gyatso merupakan biksu kepala dari Kuil Udara Selatan serta pengasuh dan guru pengendalian udara Aang. Dalam film ini, biksu gyatso digambarkan sebagai seorang laki-laki dewasa yang bijaksana, mampu mengayomi, melindungi, menyatukan perbedaan, mengabdi dan rela berkorban. Dapat diambil kesimpulan bahwa identitas kulit hitam yang direpresentasikan dalam film ini equal dengan representasi identitas kulit putih. Kulit hitam tidak lagi ditampilkan sebagai tokoh yang negatif.In recent hollywood movies, the negative racial representations are hardly found. We hardly see black as brutal buck, pickaninnie, mammy, coon and tom instead of the representation of blacks as equal to Whites in social class an affiliation.

Mengapa Kulit hitam direpresentasikan sebagai tokoh yang baik?Jika dilihat pada bagaimana kondisi politik yang terjadi di AS, maka peneliti bisa mengacu pada tanggal 20 Januari 2009, dimana terjadi perubahan besar dalam demokrasi AS. Obama dimana pada saat itu tampil menjadi calon presiden dari partai Demokrat memenangkan hati dari rakyatnya pada pemilu presiden AS. Obama yang merupakan keturunan dari Afrika-Amerika, melenggang menuju gedung putih sebagai presiden dari negara Paman Sam tersebut menggantikan presiden AS sebelumnya George Walker Bush..

White film industries appear to have merely created different racial representations by repackaged the old stereotypes into more acceptable forms in liberalist society. However, the representations are stull base on whites view of world. White people create the dominant images of the world and do not quite see that they thus construct in their image (Dyer, 9).

Walaupun ras kulit hitam ditampilkan dengan representasi yang baik, tetap saja konsep yang dipakai adalah konsep baik dari sudut pandang ideologi whiteness. Artinya bahwa kulit hitam ditampilkan baik dalam film-film hollywood sesuai dengan baik yang dipahami kulit putih yang melekat pada kulit hitam. Hal ini terjadi karena penerapan ideologi Whiteness sebagai norma dasar budaya kulit putih secara langsung menyebabkan adanya istilah color blindness. Dalam konteks ini color blindness bukanlah berarti bahwa kulit putih memandang semua manusia adalah sama, namun memandang bahwa semua manusia sama dengan diri mereka.

Therefore the installations of whiteness as norm into white culture is direct derivative of color blindness (powell, 20). Color blindeness in this context does not mean that whites see all people are the same, but rather whites see all people are as the same as themselves.

Demikian pula yang terjadi dalam film ini, karena kulit putih memandang bahwa putih memiliki hak istimewa dalam masyarakat sosial maka putih adalah suatu norma yang ecara tidak langsung merupakan hasil negatif dari adanya color blindess. Hal ini dijelaskan Frankenberg yang dikutip dalam Whiteness: A Review of Literature karya Elizabeth Schuelke:

According to white perception, privilege has become the norm. A significantly negative consequence of this color blindness is that inability to see the deep-rooted effects of racism on others India sebagai Antagonis: Whiteness, Negara Adidaya dan Authorship

Tokoh yang akan dibahas adalah Pangeran Zuko, karena Pangeran Zuko merupakan tokoh antagonis yang memegang peranan paling besar sebagai musuh Aang. Tidak seperti pangeran-pangeran yang dikisahkan dalam negeri dongeng, dalam film ini, Pangeran Zuko adalah pangeran yang terbuang dari negerinya. Ia dianggap sebagai pengkhianat bangsa karena dianggap menentang Ayahnya, Raja Api Ozai dalam suatu rapat strategi peperangan. Pangeran Zuko dalam cerita ini digambarkan sebagai seseorang yang sifat yang terobsesi untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai salah satu tujuan utama dalam hidup. Aktualisasi diri yang ingin diraih oleh Pangeran Zuko adalah agar dapat mengembalikan kehormatannya sebagai pangeran di mata ayah dan masyarakatnya. Untuk mengembalikan kehormatannya itulah ia terobsesi untuk mendapatkan Avatar hidup-hidup dengan menggunakan berbagai macam cara. Dari sifat yang menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan keinginannya inilah, maka Pangeran Zuko dikategorikan sebagai tokoh antagonis yang mencapai tujuan egonya dengan menghalalkan segala cara. Selain itu, biasanya tokoh antagonis juga diasosiasikan dengan karakter jahat (villain). Hal ini juga dijelaskan oleh Burke,

..These villains, so like the heroes in all aspects but one, hold up a distorted mirror to the central protagonists, helping define by their contrast the superhero.These villains are the protagonists darkest shadows, helping to sharpen our view of the hero by their contrast..

Sosok Pangeran Zuko yang individual akbiat keterasingannya dari Negara Api adalah satu ciri seorang antagonis,hal ini dijelaskan oleh Tami Cowden dalam bukunya Heroes and Villain yang dikutip dari Mark J. Stanziano,

The lonely outsider who wants desperately to belong. Tortured and unforgiving, he has been set off from others, and usually for good cause. He craves redemption, but is willing to gain it by sacrificing others. Waste no sympathy on him as he will have none for you.

Karakter berikut yang jadi representasi India adalah Komandan Zhao. Dia digambarkan memiliki sifat sombong, tamak dan suka menggunakan berbagai cara agar menang dalam peperangan melawan Suku Air Selatan. Sebagai salah satu petinggi Negara Api, ia merupakan anak buah kesayangan dari Raja Api Ozai karena berkat Zhao lah Negara Api dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkannya untuk kepentingan imperialis.Seperti halnya dengan Pangeran Zuko, tokoh komandan Zhao difilm ini juga membawa sifat yang merupakan salah satu ciri-ciri dari Penjahat (villain).

The malevolent mastermind who loves to show off his superior intelligence. Intellectual inferiorsand thati ncludes nearly everyone are contemptible to him. Elaborate puzzles and experiments are his trademarks.

Alat-alat militer yang dimiliki oleh Negara Api adalah berkat usaha Zhao mencuri berbagai macam buku dari Great Library dan berkat itu pulalah Negara Api berhasil menguasai hampir seluruh wilayah di muka bumi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Foucault bahwa ilmu pengetahuan merupakan instrument kekuasaan dan dapat menimbulkanKnowledge of all sorts is thoroughly enmeshed in the clash of petty dominations, as well as in the larger battles which constitute our world. Knowledge is not external to these fights; it does not constitute a way out of, or above, the fray in the way Chomsky views it. Rather, for Foucault, the "will to knowledge" in our culture is simultaneously part of the danger and a tool to combat that danger.

India direpresentasikan sebagai tokoh antagonist, dan penjahat. Seperti yang terjadi pada representasi kulit putih dan kulit hitam dalam film ini, India juga dilatar belakangi oleh ideologi Whiteness. Tentu saja institusi yang punya andil besar dalam produksi film ini, Paramount Pictures, juga bertanggung jawab dalam representasi kelompok identitas sebagai kriminal dan merugikan orang banyak. Sejalan dengan apa yang dikutip dengan dibawah ini,

We might not see confederate flags flying in parks or signs relegating colored people to separate facilities, but we do see minorities cast as criminals and leeches to "white upper-class" America. It is the Paramount Pictures, NBC's, ABC's and Universal Studio's of the world that are the propagators of the negative stereotypes and inescapable stigmas that many thought were left behind once the shackles of segregation were broken.

Asia dan Whiteness: Whitewashing dan RacebendingHal yang pertama perlu dianalisis adalah bangsa Inuit karena representasi mereka dalam film ini muncul di awal cerita. Inuit adalah kelompok masyarakat adat budaya yang sama mendiami daerah Kutub Utara Greenland, Kanada, Amerika Serikat, dan bagian timur Siberia. Bangsa Inuit ini lebih kita kenal dengan bangsa Eskimo dengan ciri khas rumah Igloo dan mantel berburu mereka.So Inuit developed unique and remarkable skills associated with living off the land. Technologies include the igloo, kayak, ulu (womens knife), quilliq (small stone stove that was their only source of heat and light during the long winter), fur clothing and toggle-head harpoons. These are widely recognized as the very pinnacle of technology in the world of hunting peoples.

Cerita dalam film ini, bangsa Inuit direpresentasikan sebagai bangsa yang tidak modern dan terbelakang secara budaya. Dibandingkan dengan Suku Air Utara, Suku Air Selatan bisa dibilang lebih modern. Analisa ini menjadi bukti bahwa ras Asia di mata Hollywood tidak direpresentasikan dengan gambaran yang positif, seperti apa yang diungkapkan oleh Bello bahwa,

Traditionally, Hollywood has not offered very positive images of Asian or Asian-American people in its movies.

Gambaran yang paling menonjol adalah bagaimana kondisi masyarakat Kerajaan Bumi sebagai representasi dari Ras Asia. Dalam film ini kondisi masyarakat Kerajaan Bumi adalah sebagai korban dari penjajahan Negara Api. Mereka digambarkan sebagai masyarakat yang tidak bisa melawan penjajahan tersebut tanpa dipacu dan dibantu oleh Aang yang diperankan oleh tokoh kulit putih.

.. Though many people think that the Inuit and the Native Americans are closely related, it appears that their migration paths were quite different and that the Inuit are of more Asian origin than the Native Americans, though both probably came to the Americas through the Bering Strait. Differences in blood type, genes, language and physical features show the different origin.

Bangsa Asia di mata Amerika sebagai kelompok ras yang miskin, tradisional, tidak dapat mengambil inisiatif untuk berubah lebih baik, dan merupakan ras yang terjajah. Secara sederhana mereka bukan bagian dari suatu bangsa minoritas yang ideal hal ini diperjelas oleh kutipan dibawah ini.Nonetheless, it seems that even today Asian Americans are not considered real Americans by American society at large. Instead they are perceived as non-Americans and aliens who do not belong in America, and who are not and should not be part of the American Dream.

Keturununan Asia-Amerika dianggap sebagai 'non-Amerika' dan 'Asing yang 'tidak termasuk' di Amerika, dan seharusnya tidak menjadi bagian dari American Dream. James Truslow Adams pada tahun 1931 mendefinisikan American Dream sebagai, "hidup harus lebih baik dan lebih kaya dan lebih lengkap untuk semua orang, dengan kesempatan masing-masing sesuai dengan kemampuan atau prestasi".

Selain itu mengacu pada artikel penelitian karya Ji Hoon Park yang mengutip dari pernyataan Dyer, bahwa representasi negatife ras Asia yang muncul dalam film Hollywood diproduksi sedemikian rupa karena pada dasarnya audience kulit putih merasa nyaman dengan ideologi whiteness dalam film.We proposed that this is because White viewers were comfortably aligned with the dominant racial ideology that promotes White invisibility and minority stereotypes.

Penjelasan diatas diperkuat dengan adanya whitewashing dimana tokoh-tokoh film yang seharusnya diperankan oleh aktor-aktor keturunan ras Asia, digantikan dengan aktor kulit putih karena tidak sesuai dengan standar whiteness. Selain itu ras Asia disini malah direpresentasikan sebagai ras yang diasosiasikan dengan sifat negative, miskin dan tidak berbudaya seperti halnya representasi kulit hitam yang negative dalam film, ras Asia juga mengalami hal yang sama.

Early yellowface featured white actors in the role of Asians, often with the use of eyelid prosthetics and makeup. Much like blackface, yellowface was used to impose a distorted illusion of Asian identity, to the point where actual Asian actors were seen as inauthentic.

KESIMPULANBerdasarkan analisis yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan bahwa identitas Ras kulit putih digambarkan sebagai seorang tokoh yang identik dengan tokoh protagonist, pahlawan yang mempunyai Responsibility dan Power, dan seorang penyelamat (messiah). Amerika Serikat, sebagai negara yang sejarah terbentuknya berdasarkan superioritas dari kulit putih (Whiteness) terhadap non-whites, dimana latar belakang inilah yang membenarkan penjajahan dan pembunuhan masal terhadap pribumi dan orang-orang dari Afrika (kulit hitam. Kepentingan Pasar yang digunakan sebagai landasan Industri film juga menggunakan sudut Whiteness sebagai standar global yang harus dipenuhi dan Paramount Pictures sebagai salah satunya. Tetap menggunakan ideologi Whiteness sebagai landasannya, maka akan didapati bagaimana ideologi dominan bekerja dalam suatu jaringan industri film (network) secara global, dan pasar (market).Ras Kulit Hitam dalam film ini tidak lagi digambarkan dengan sifat-sifat negatif yang biasanya kita temui pada film-film Hollywood, dapat dibilang mereka equal terhadap ras kulit putih. Namun, konsep baik yang direpresentasikan dalam tokoh Kulit Hitam pun tak lepas dari konsep baik ala kulit putih. Bagaimanapun juga industri film di AS saat ini masih dikuasai oleh kelompok kulit putih, oleh karena itu aktor-aktor kulit hitam hanya bisa mendapat sedikit tempat di dunia hiburan Hollywood.Identitas India dalam film ini digambarkan sebagai tokoh antagonis, musuh dari Avatar yang menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan sesuatu. Selain itu tokoh antagonis ini diasosiasikan dengan penjahat (Villains) sombong, dan tamak. Namun, ditemukan representasi lain yang berkaitan dengan wacana negara India sebagai negara Superpower berikutnya, karena sutradara dari film ini adalah seorang dengan keturunan india, M. Night Shyamalan. M. Night Shyamalan, uniknya, memilih aktor-aktor keturunan India untuk memerankan tokoh-tokoh antagonis. Ternyata dari analisis, Shyamalan mempunyai tujuan tertentu, yaitu terkait dengan wacana India sebagai The Next Superpower selain China dan Brasil, melihat perkembangan IPTEK dan sektor ekonominya pada saat itu. Hal tersebut direpresentasikan melalui teknologi-teknologi perang yang digunakan oleh Negara Api.Dan terakhir adalah, Identitas ras Asia yang diusung dalam film, di mata Hollywood tidak direpresentasikan dengan gambaran yang positif. Ras Asia digambarkan sebagai masyarakat minoritas yang tidak teratur dan sederhana. korban dari penjajahan dan tidak bisa melawan penjajahan tersebut tanpa dipacu dan dibantu oleh Aang. Dari representasi tersebut, diasumsikan bahwa, Asia merupakan ras yang dianggap 'Asing yang 'tidak termasuk' di Amerika, dan seharusnya tidak menjadi bagian dari American Dream.DAFTAR PUSTAKAAnggraeny Desy, 2009, The Construction of Whiteness through the representation of white and Black Americans in the Dark Blue Movie (Post Graduate Thesis, Universitas Airlangga.Arendt Hannah, 2004 The Origins of Totalitarianism, New York

Balsa, T. McGuire, 2001 Statistical discrimination in health care.Bungin M. Burhan, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat Jakarta: KencanaBurke Liam, 2008, Superhero Movies, Harpenden: Pocket Essentials, 2008

Chris Barker, 2001 Cultural Studies and Discourse Analysis, A Dialogue on Language and Identity ( Newyork: SAGE PublicationsCoakley J., 2004 Sports in Society: Issues and Controversies 8th edn, Boston: McGraw Hill

Donnarae Maccan, 1998, White Supremacy in Childrens Literature, Newyork: Routledge, 1998Foucault Michael, 1990, The History of Sexuality: An Introduction: Volume I (UK: Vintage Books

Fairclough Norman Fairclough, 1993, Discource and Social Change, Cambridge: Polity Press

Griffin, A.G., 2008, Seizing the Moving Image, M. Wallace and G. Dent (eds) Black Popular Culture, Seattle: Bay PressGrover Bonnie Kae, 1997, Growing Up White in America?,Critical White Studies ((eds) edited by Richard Delgado and Jean Stefancic, Philadelpia: Temple University Press, 1997G. A. Theodorson, 1993, A Modern Dictionary of Sociology Ardent Media Incorporated

Goodman Allan, 1995, The Problematics of Race in Contemporary Biological Anthropology Stanford UniversityGiddens Anthon, 1984, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration University of California Press

Heider Karl G., 2004, Seeing Anthropology: Cultural Anthropology Through Film, Boston:Pearson EducationKadri, 2006, Ideologi dan Media Massa: mengungkap praktek ideologi dalam media massa (Jurnal Ilmiah Communique, Vol. 2Kaveney R., 2008, Superheroes: Capes and Crusaders in Comics and Film London: I.B. TaurisLowrey William, 2011, People Painted Over: White washing of MinorityActors in Recent Film, Palm Beach State CollegeMartin, James G, 1973, Minority Group Relations, Ohio: ColumbusMills Sara, 2004, Discourse London: Routledge.Rakhmat Jalaludin, 2007, Psikologi Komunikasi Edisi Revisi, Bandung: Remaja RosdakaryaRobinow Paul, 1982, Foucault Reader, Newyork: PhanteonInuit Way: a Guide to Inuit Culture, Pauktuutitinuit Women Of CanadaYulianto Vissia Ita, 2007 Pesona Barat: analisa ktiris-historis tentang kesadaran warna kulit di Indonesia Yogyakarta: JalasutraJurnalGoldberg dalam Araki, Keiko, 2007,Building a New Racial World Order: Intersection of Pan-Asianism and Pan-Africanism in the Post-WWI World. G-SEC WORKING PAPER no. 15

Hoon Park Ji, 2006, Naturalizing Racial Differences Through Comedy: Asian, Black, and White Views on Racial Stereotypes in Rush Hour (Journal of Communication, University of Pennsylvania, Philadelphia

Schuelke Elizabeth, 2007, Whiteness: A Review of Literature, Journal, Department of International Studies, College of Arts and Science & Honors College

Viruega Iria Mara Bello, 2008 Re-presenting Asian Stereotypes in Hollywood Cinema: an Analysis of Race and Gender Representations in Memoirs of a Geisha, University of A Corua

Website

Mass Communication Theory, Mc Quail, http://www.intcul.tohoku.ac.jp/~holden/MediatedSociety/Readings/2004_05/McQuail_10_15_04.html (diakses pada tanggal 2 Desember 2012)http://id.wikipedia.org/wiki/Barack_Obama (diakses pada tanggal 15 Desember 2012)Kartosen Reza A, Screening Asian Americans: The construction of Asian Americans (non-)Americanness in contemporary popular American cinema (Post Graduate Thesis, University of Amsterdam), hlm.1.http://en.wikipedia.org/wiki/American_DreamHorton Yurii, Portrayal of Minorities in the Film, Media and Entertainment Industries, dalam situs: http://www.stanford.edu/class/e297c/poverty_prejudice/mediarace/portrayal.htm (diakses pada tanggal 1 Desember 2012)The Big Myth: Inuit Culture, Distant Train, inc., hlm 1 (dapat diunduh di: http://www.bigmyth.com/fullversion/password033/download/INUIT_CULTURE.pdf )Stanziano Mark J., Archetypes And How To Use Them, hlm.2, dapat diunduh di: www.persuasionthroughmagic.com/Archtypes_PTM.pdf>Hernandez Prisco R, Leadership Review: Jung's Archetypes as Sources for Female Leadership, dapat diunduh di: www.leadershipreview.org/2009spring/article2.pdf (diakses pada tanggal 2 Desember 2012) Hannah Arendt. HYPERLINK "http://en.wikipedia.org/wiki/The_Origins_of_Totalitarianism" \o "The Origins of Totalitarianism" The Origins of Totalitarianism (New York: Schocken, 2004), hlm. 97.

J. Coakley. Sports in Society: Issues and Controversies 8th edn, ( Boston: McGraw Hill, 2004), hlm. 243

A. Balsa, T. McGuire, Statistical discrimination in health care. (Journal of Health Economics 20 (6), 2001), hlm. 140

Karl G. Heider, Seeing Anthropology: Cultural Anthropology Through Film (Boston:Pearson Education, 2004), hlm. 52

Ellis Cashmore, Americas Paradox (Popular Culture, London: Sage Publishing, 2009), hlm. 159. (Dikutip dari: Griffin, A.G., Seizing the Moving Image, (M. Wallace and G. Dent (eds) Black Popular Culture, Seattle, Wa: Bay Press), hlm. 231)

Bonnie Kae Grover, Growing Up White in America?,Critical White Studies ((eds) edited by Richard Delgado and Jean Stefancic, Philadelpia: Temple University Press, 1997), 34-35 (hlm. 34)

G. A. Theodorson, & A. G.Theodorson , A Modern Dictionary of Sociology (Ardent Media Incorporated, 1993), hlm. 115-116

Ibid, hlm. 258 112

Goldberg dalam Araki, Keiko, Building a New Racial World Order: Intersection of Pan-Asianism and Pan-Africanism in the Post-WWI World. (G-SEC WORKING PAPER no. 15, 2007), hal. 5

Allan Goodman, The Problematics of Race in Contemporary Biological Anthropology (Stanford University, 1995), hlm.202

M. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana), hlm. 189.

Untuk lebih jelasnya silahkan membaca: Chan Yau Hoon , Assimilation, multiculturalism, hybridity: the dilemmas of ethnic chinese in post-Suharto indonesia (Singapore Management University, 2006), hlm. 11

HYPERLINK "https://www.google.com/search?hl=en&client=firefox-a&hs=vix&tbo=d&rls=org.mozilla:en-US:official&tbm=bks&q=inauthor:%22Anthony+Giddens%22&sa=X&psj=1&ei=HILcUKHSI4PJrAfavIGwBQ&ved=0CDcQ9AgwAA" Anthony Giddens, HYPERLINK "http://books.google.com/books?id=cV8xnSIa0-IC&pg=PA282&lpg=PA282&dq=Social+identities....are+associated+with+normative+rights,+obligations+and+sanctions+which,+within+specific+collectivities+giddens&source=bl&ots=Aw4c-h8uZc&sig=TpiKrjtAxsQdPmKvrviAwOyVZ1c&hl=en&sa=X&ei=HILcUKHSI4PJrAfavIGwBQ&ved=0CDYQ6AEwAA" The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (University of California Press, 1984), hlm 282-283

Jalaludin Rakhmat: Psikologi Komunikasi Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosdakarya 2007), hlm. 225

Martin, James G and Clyde W.Franklin, Minority Group Relations (Ohio: Columbus, 1973), hlm 152-153

Mass Communication Theory, Mc Quail, HYPERLINK "http://www.intcul.tohoku.ac.jp/~holden/MediatedSociety/Readings/2004_05/McQuail_10_15_04.html" http://www.intcul.tohoku.ac.jp/~holden/MediatedSociety/Readings/2004_05/McQuail_10_15_04.html (diakses pada tanggal 2 Desember 2012)

Detail lihat di: Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001) hlm. 29.

Kadri, Ideologi dan Media Massa: mengungkap praktek ideologi dalam media massa (Jurnal Ilmiah Communique, Vol. 2, 2006), 32-41 (hlm. 33)

Michael Foucault, The History of Sexuality: An Introduction: Volume I (UK: Vintage Books, 1990) Halaman 102

Dikutip dari : Vicci Lovette Saunders, Race and the American Movie Ticket Buyer, Journal of Black Studies38(2008), 622- 640 (hlm. 626)

R. Kaveney, Superheroes: Capes and Crusaders in Comics and Film (London: I.B. Tauris, 2008), hlm 4

Donnarae Maccan, White Supremacy in Childrens Literature (Newyork: Routledge, 1998), hlm. 144

R. Kaveney, Superheroes: Capes and Crusaders in Comics and Film (London: I.B. Tauris, 2008), Hlm. 116

Prisco R. Hernndez , Leadership Review: HYPERLINK "http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCoQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.leadershipreview.org%2F2009spring%2Farticle2.pdf&ei=0njJUJmJAsP9rAfwnoCQCg&usg=AFQjCNHDaX40srDrhN0zL0Lz-7NZ_y1uwA&bvm=bv.1355272958,d.bmk" Jung's Archetypes as Sources for Female Leadership, dapat diunduh di: HYPERLINK "http://www.leadershipreview.org/2009spring/article2.pdf" www.leadershipreview.org/2009spring/article2.pdf , hlm. 52 (diakses pada tanggal 2 Desember 2012)

Rogers dalam Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme| Rogers menghubungkan antara faktor fisik boneka Barbie yang memiliki mata biru, kulit putih, dan tubuh yang proporsional merupakan ikon kecantikan khas Amerika. Barbie adalah ikon rasisme, seksisme, konsumerisme, dan materialisme.

Desy Anggraeny, The Construction of Whiteness through the representation of white and Black Americans in the Dark Blue Movie (Post Graduate Thesis, Universitas Airlangga, 2009), hlm. 44

Ibid. 44

HYPERLINK "http://id.wikipedia.org/wiki/Barack_Obama" http://id.wikipedia.org/wiki/Barack_Obama (diakses pada tanggal 15 Desember 2012)

ibid

Elizabeth Schuelke, Whiteness: A Review of Literature, ( Journal, Department of International Studies, College of Arts and Science & Honors College, 2007), hlm. 5

Liam Burke, Superhero Movies (Harpenden: Pocket Essentials, 2008), hlm. 20-21

Mark j. Stanziano, Archetypes And How To Use Them, hlm.2, dapat diunduh di: HYPERLINK "http://www.persuasionthroughmagic.com/Archtypes_PTM.pdf" www.persuasionthroughmagic.com/Archtypes_PTM.pdf>

Mark j. Stanziano, Archetypes And How To Use Them, hlm.2, dapat diunduh di: HYPERLINK "http://www.persuasionthroughmagic.com/Archtypes_PTM.pdf" www.persuasionthroughmagic.com/Archtypes_PTM.pdf>

Paul Rabinow, Foucault Reader (Newyork: Phanteon,1982), hlm. 6

Yurii Horton, Portrayal of Minorities in the Film, Media and Entertainment Industries, dalam situs: HYPERLINK "http://www.stanford.edu/class/e297c/poverty_prejudice/mediarace/portrayal.htm" http://www.stanford.edu/class/e297c/poverty_prejudice/mediarace/portrayal.htm (diakses pada tanggal 1 Desember 2012)

Inuit Way: a Guide to Inuit Culture (Pauktuutitinuit Women Of Canada, 2006) hlm. 8

Iria Mara Bello Viruega, Re-presenting Asian Stereotypes in Hollywood Cinema: an Analysis of Race and Gender Representations in Memoirs of a Geisha, (University of A Corua, 2008) hlm. 1

The Big Myth: Inuit Culture, Distant Train, inc., hlm 1 (dapat diunduh di: http://www.bigmyth.com/fullversion/password033/download/INUIT_CULTURE.pdf )

Reza A Kartosen, Screening Asian Americans: The construction of Asian Americans (non-)Americanness in contemporary popular American cinema (Post Graduate Thesis, University of Amsterdam), hlm.1.

http://en.wikipedia.org/wiki/American_Dream

Hoon Park Ji, Naturalizing Racial Differences Through Comedy: Asian, Black, and White Views on Racial Stereotypes in Rush Hour (Journal of Communication, University of Pennsylvania, Philadelphia, 2006), hlm. 169

William Lowrey, People Painted Over: White washing of MinorityActors in Recent Film (Palm Beach State College, 2011), hlm. 2