REVENUE CAPACITY PEMERINTAH KABUPATEN SE EKS …
Transcript of REVENUE CAPACITY PEMERINTAH KABUPATEN SE EKS …
i
REVENUE CAPACITY PEMERINTAH KABUPATEN SE EKS-KARESIDENAN PATI
TAHUN ANGGARAN 2008-2012
Oleh : MARIA DEVI KUNTISARI
NIM : 232010141
KERTAS KERJA
Diajukan kepada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Guna Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan-persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi
FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS
PROGRAM STUDI : AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA 2015
iv
HALAMAN MOTTO
“ Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan Kepadaku”
( Filifi 4 : 13 )
“ Karena masa depan sungguh ada, dan harapan tidak akan hilang “
( Amsal 23 : 18 )
“ Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah segala keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan
syukur “
( Filifi 4 : 6 )
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena Kasih dan Karunia
Nya yang tiada pernah berkesudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Tersusun dan terselesaikannya skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak,
maka dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak dan Ibu yang senantiasa mendoakan, mendukung, memotivasi, menemani serta
memberikan kasih sayang yang tulus dalam setiap langkahku.
2. Kakakku Monica dan Adi yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, perhatian, dukungan
serta semangat.
3. Buat Bulek Atik, makasih atas kasih sayang, perhatian, support dan kesabarannya selama ini.
4. Bapak Hari Sunarto, SE., MBA. PhD selaku Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana.
5. Bapak Marwata, SE., M.Si, Ph.D., Akt selaku pembimbing yang telah berkenan meluangkan
waktu untuk membimbing serta memberikan petunjuk serta saran-saran kepada penulis
dengan sabar dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.
6. Ibu Istiarsi Sapturi Sri Kawuryan, SE., MSP selaku wali studi yang telah membantu dan
mengarahkan penulis selama menempuh studi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW
Salatiga.
7. Seluruh staf pengajar FEB-UKSW yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan kepada
penulis selama menempuh studi.
8. Seluruh staf TU FEB-UKSW yang telah membantu penulis dalam penyusunan persyaratan
administrasi kertas kerja.
9. Teman-temanku Sela, Nenti, Retno, Fitri, Imel, Sari, Yuni, Vanny, terima kasih atas semua
masukan dan bantuan yang telah kalian berikan.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
vi
Akhir kata penulis berharap semoga Tuhan senantiasa mencurahkan berkat Nya serta selalu
menyertai setiap langkah kehidupan kita. Semoga yang terjadi adalah yang terbaik dan seturut
dengan kehendak Nya. Amin.
Salatiga, 01 Januari 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................ i
Pernyataan Keaslian Karya Tulis Kertas Kerja ................................................. ii
Halaman Persetujuan Skripsi ............................................................................ iii
Halaman Motto ................................................................................................ iv
Halaman Persembahan ..................................................................................... v
Daftar Isi .......................................................................................................... vii
Abstract ........................................................................................................... 1
1. Pendahuluan ....................................................................................... 3
2. Telaah Teoritis .................................................................................... 6
3. Metode Penelitian ............................................................................... 13
4. Temuan dan Pembahasan .................................................................... 14
A. Analisis Rasio Pajak ..................................................................... 14
B. Analisis Pajak Per Kapita ............................................................. 17
C. Analisis Ruang Fiskal ................................................................... 19
D. Analisis Ketergantungan Keuangan Daerah .................................. 21
E. Analisis Kemandirian Keuangan Daerah ....................................... 24
F. Analisis Derajat Desentralisasi ...................................................... 27
G. Analisis Rasio Efektivitas PAD .................................................... 29
H. Analisis Efisiensi PAD .................................................................. 31
I. Analisis Rasio Efektivitas Pajak Daerah ......................................... 34
J. Analisis Pertumbuhan Pendapatan ................................................... 36
5. Kesimpulan ,Saran dan Keterbatasan .................................................. 38
Daftar Pustaka .................................................................................................. 44
LAMPIRAN
1
ABSTRAK
Kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya dapat dilihat dari kemampuan daerah dalam menghasilkan revenue capacity (kapasitas pendapatan) melalui pengelolaan berbagai sumber daya yang dimilikinya, dengan demikian semakin baik suatu daerah dalam pengelolaan sumber daya yang dimilikinya maka akan berdampak pada semakin besar pendapatan yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Sebagai contoh daerah pada eks Karisidenan Pati, walaupun daerah-daerah tersebut memiliki kesamaan, dalam arti berada di dalam kabupaten atau kota yang sama dan berdekatan, namun demikian karena wilayah Eks Karisidenan Pati dikelola oleh masing-masing kepala daerah maka kemungkinan kemampuan masing-masing wilayah dalam menghasilkan pendapatan juga akan berbeda-beda. Sehingga penting untuk diketahui kemampuan masing-masing daerah dalam menghasilkan pendapatan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran revenue capacity (kapasitas pendapatan) Pemerintah Daerah Se Eks-Karesidenan Pati tahun anggaran 2008-2012. Tipe penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif kuantitatif dan deskriptif eksploratif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berbentuk data panel yang terdiri dari cross section dan time series berupa laporan realisasi APBD Kabupaten Eks-Karesidenan Pati dan Kabupaten di Eks-karesidenan Pati dalam angka tahun 2008-2012.
Hasil penelitian ini menunjukkan: 1) Kabupaten Pati adalah daerah yang memiliki rasio pajak paling tinggi, 2) Kabupaten Kudus adalah Kabupetan di Eks Karisidenan Pati yang memiliki pajak per kapita paling tinggi diantara daerah lainnya di Eks Karisidenan Pati, 3) Kabupaten Jepara dan Kabupaten Kudus adalah dua daerah paling menonjol dalam peningkatan alokasi belajanya, 4) Kabupaten Rembang adalah daerah yang memiliki rasio ketergantungan paling rendah, 5) Hasil perhitungan rasio kemandirian daerah menunjukkan, bahwa Kabupaten Pati, dan Kudus adalah daerah yang memiliki rasio ketergantungan daerah paling rendah, 6) Kabupaten Pati dan Kudus adalah daerah Kabupaten yang dinilai paling mandiri dibanding daerah-daerah lainnya, 7) Kabupaten Pati adalah daerah yang paling efektif dalam merencanakan pendapatannya,
Kata Kunci : Analisis Kapasitas Pendapatan
2
ABSTRACT
A region’s ability to regulate and foster its households can be seen from its ability to produce revenue capacity through managing various retainable resources. Thus, when a region can manage its resources well, it will have a greater effect on the revenue produced by that region. An example is seen in the former Pati Regency. Even though the areas have similarities, in terms of being located in the same city or regency and in the general vicinity, because the former Pati Regency is managed by respective regional heads, the possible abilities for each area to produce revenue are also different. Therefore, it is significant to discover the capability of the various regions to produce their own revenue.
The purpose of this research is to discover the revenue capacity of the former Pati Regency for the 2008-2012 fiscal years. This thesis uses a quantitative descriptive and explorative descriptive research. This research uses secondary data in the form of a panel that consists of a cross section and time series in the form of former Pati Regency Regional Spending and Revenue Budget Reports based on 2008-2012 figures.
The research results reveal that: 1) Pati Regency is a region with the highest tax ratio 2) Is in the sanctuary in which the pati karesidenan areas with the highest per capita in the rest of the region former karesidenan of starches 3) Jepara Regency and Kudus Regency show the largest increase in spending allocation 4) Rembang Regency has the lowest dependency ratio 5) the calculations of the regional independence ratio reveal that Pati Regency and Kudus Regency have the lowest regional dependence ratios 6) Pati Regency and Kudus Regency are the most self-sufficient regions compared with others and 7) Pati Regency is the most effective regency in its revenue planning.
Keywords: revenue capacity, revenue capacity analysis
3
PENDAHULUAN
Ukuran kemampuan keuangan suatu daerah dapat dicerminkan dari revenue capacity
(kapasitas pendapatan) yang dilihat dari hasil pemungutan pajak, restribusi pajak dan sarana
pemasukan daerah lainnya yang diterima daerah setiap tahunnya. Oleh karena itu revenue
capacity (kapasitas pendapatan) dianggap sebagai salah satu tolak ukur kemampuan keuangan
daerah dan sebagai potret kemandirian daerah (Veraningsih, 2009). Berdasarkan besarnya revenue
capacity (kapasitas pendapatan), daerah Indonesia membagi empat tingkatan revenue capacity (kapasitas
pendapatan) yaitu daerah berkapasitas fiskal sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah (Veraningsih, 2009).
Dengan diterapkannya otonomi daerah dan adanya kemampuan keuangan untuk masing-
masing daerah yang dilihat dari revenue capacity (kapasitas pendapatan) diharapkan pemerintah
daerah lebih bisa mandiri terutama dalam aspek keuangannya dengan cara mengurangi
ketergantungan terhadap pemerintah pusat terkait dengan pembiayaan dan pengelolaan keuangan
daerahnya, sehingga diharapkan pemerintah daerah nantinya bisa membiayai rumah tangganya
sendiri secara mandiri dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada publik (Harianto dan Adi,
2007). Undang-undang No 32 Tahun 2004 mendefinisikan otonomi daerah, yaitu hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Peningkatan revenue capacity (kapasitas pendapatan) untuk setiap daerah sebenarnya
tidak hanya menyangkut peningkatan PAD saja melainkan juga melalui peningkatan optimalisasi
sumber-sumber penerimaan daerah lainnya, karena bagaimanapun sulit bagi suatu daerah untuk
dapat membiayai seluruh pengeluaran rutinnya jika modalnya hanya bersumber dari PAD saja,
mengingat sumber-sumber PAD sangat kecil (Veraningsih, 2009). Selain itu peningkatan revenue
capacity (kapasitas pendapatan) bukan hanya dicerminkan dari anggaran pendapatan dalam
jumlah yang besar saja, sebab anggaran pendapatan yang besar bila tidak dikelola dengan baik
akan menimbulkan masalah seperti kebocoran anggaran. Sehingga, peningkatan optimalisasi
anggaran sangat penting karena peran pemerintah daerah nantinya bersifat sebagai fasilitator dan
motivator dalam menggerakkan pembangunan di daerah (Osborne and Gaebler, 1993) dalam
Veraningsih ( 2009).
Setiap tahunnya pemerintahan pusat, memberikan dana bantuan berupa Dana Alokasi
Umum (DAU) yang kemudian ditransfer ke pemerintah daerah, sebagaimana tercantum dalam
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah
4
yang kemudian diserahkan pada pemerintah daerah untuk mengelola dana tersebut sesuai dengan
kebijakan masing – masing daerah.
Peneliti memilih untuk meneliti dari segi pendapatan pada APBD untuk masing-masing
daerah saja, karena peneliti ingin fokus terhadap salah satu aspek yang ingin diteliti sehingga
diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam terkait revenue capacity
(kapasitas pendapatan) pada Pemerintah Kabupaten Se Eks-Karesidenan Pati. Kerasidenan Pati
dipilih karena Kabupaten yang terdapat di Eks Karesidenan Pati dalam Tipologi Klassen
sebagian besar termasuk daerah relative tertinggal (low growth and low income) namun ada juga
daerah yang masuk dalam daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh ( high growth and high income)
seperti kabupaten kudus, dengan adanya perbedaan tipologi klassen dalam satu wilayah Eks
Karesidenan Pati itulah maka Eks Karesidenan Pati menarik untuk diteliti. Analisis Tipologi
Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi
masing-masing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua
indikator utama yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah, lalu
daerah tersebut akan dibedakan menjadi 4 klasifikasi, yaitu daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh
(high growth dan high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah
berkembang cepat ( high growth but low income), daerah relative tertinggal (low growth and low
income) (Syafrizal, 1997:27-38; Kuncoro,1993; Hil,1989) (Aswandi dan Kuncoro,2002).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan kapasitas pendapatan (revenue
capacity) dalam APBD. Misalnya, Penelitian Harini (2013) yang membandingkan
perkembangan kemampuan keuangan antar daerah dengan PDRB tinggi dan daerah dengan
PDRB rendah di Jawa Barat dalam era otonomi daerah dengan menggunakan komparasi dari
perkembangan beberapa rasio sebagai pengukuran perkembangan kemampuan keuangannya.
Penelitian Mahdalena (2013) yang meneliti mengenai kinerja keuangan Provinsi Sumatera
Selatan dengan menggunakan analisis rasio. Penelitian Boedi (2012) yang meneliti analisis
kinerja keuangan pada APBD Pemerintah Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan.Penelitian pada
tingkat Eks Karesidenan juga sudah dilakukan misalnya penelitian Anggraheni (2014) yang
meneliti mengenai Revenue Capacity Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Eks Karesidenan
Semarang Tahun Anggaran 2008-2012. Penelitian Steviyani (2014) yang meneliti mengenai
Revenue Capacity Kabupaten/Kota Se-Eks Karesidenan Surakarta Tahun Anggaran 2008-2012
dan penelitian Dewi (2014) yang meneliti tentang Revenue Capacity Pemerintah Kabupaten/Kota
5
Se Eks Karesidenan Pekalongan Tahun Anggaran 2008-2012.Tetapi penelitian tentang revenue
capacity (kapasitas pendapatan) Pemerintah Kabupaten Se Eks Karesidenan Pati belum pernah
dilakukan, sehingga menarik peneliti untuk melakukan penelitian pada daerah tersebut.Sebab
wilayah Eks-Karesidenan Pati meliputi Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara,
Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang ini memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat karena
didukung oleh keadaan wilayah, dan topografi yang strategis, namun demikian karena wilayah
Eks Karesidenan Pati dikelola oleh masing-masing kepala daerah yang memiliki kemampuan
manajerial berbeda-beda maka kemampuan masing-masing daerah tersebut dalam menghasilkan
pendapatan juga berbeda-beda. Sehingga penting untuk diketahui kemampuan masing-masing
daerah dalam menghasilkan pendapatan.
Alasan lainnya, karena selama ini secara nasional pendapatan daerah masing-masing
kabupaten dianalisa seperti yang diteliti Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dalam
Deskripsi dan Analisis APBD setiap tahunnya, sehingga berdasarkan hasil analisa secara
nasional tersebut tidak dikaji pendapatan masing-masing daerah lebih mendalam karena hasil
analisa pendapatan yang didapat berdiri sendiri setiap tahunnya, sehingga tidak bisa
dibandingkan dari tahun ke tahun. Oleh karena itu peneliti ingin memberikan gambaran
kemampuan keuangan daerah yang lebih mendalam dan bisa dibandingkan dari tahun ke tahun
terutama kabupaten yang sama dan berdekatan, seperti halnya kabupaten Se-Eks Karesidenan
Pati. Sebab bagaimanapun juga dengan melakukan penelitian pada daerah yang sama dan
memiliki kedekatan akan memberikan suatu hal yang bermanfaat kepada daerah-daerah tersebut
yang merasa tertinggal untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang sama dengan daerah lainnya
yang dinilai telah mendapat penilian lebih maju.
Menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan tentang Analisis dan Deskripsi
APBD (2012) untuk memberikan gambaran terkait revenue capacity (kapasitas pendapatan)
suatu daerah setiap tahunnya terdapat empat rasio yang biasa digunakan yaitu rasio pajak (tax
ratio), rasio pajak perkapita (tax perkapita), ruang fiskal (fiscal space) , dan rasio ketergantungan
daerah, namun rasio yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan kurang
bisa memberikan gambaran secara spesifik mengenai revenue capacity (kapasitas pendapatan)
suatu daerah setiap tahunnya, sehingga peneliti menambahkan rasio kemandirian daerah, derajat
desentralisasi, rasio efektivitas dan efesiensi pendapatan asli daerah (PAD), rasio efektivitas dan
efesiensi pajak daerah dan analisis pertumbuhan pendapatan. Sehingga diharapkan agar hasil
6
penelitian yang dilakukan bisa benar-benar menggambarkan revenue capacity (kapasitas
pendapatan) untuk masing-masing daerah yang diteliti setiap tahunnya. Berdasarkan latar
belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana
Gambaran Revenue Capacity pada Pemerintah Kabupaten Se Eks-Karesidenan Pati Tahun
Anggaran 2008-2012?
TELAAH TEORITIS
Kapasitas Pendapatan ( revenue capacity )
Untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus
rumah tangganya dapat dilihat dari kemampuan daerah dalam bidang keuangannya (Harini,
2013). Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.02/2006 yang dimaksud dengan
kapasitas pendapatan (revenue capacity) adalah gambaran kemampuan keuangan daerah yang
dicerminkan melalui pendapatan daerah.
Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom.
Pertimbangan yang mendasari perlu diselenggarakannya otonomi daerah adalah sehubungan
dengan adanya perkembangan kondisi di dalam dan di luar negeri mengindikasikan bahwa rakyat
menghendaki keterbukaan dan kemandirian. (Sartika, 2011).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Definisi APBD pada era orde baru berdasarkan pasal 64 ayat (2) UU. No.5 tahun 1974
APBD dapat didefinisikan sebagai rencana operasional keuangan pemerintah daerah, dimana di
satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-
kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran tertentu, dan di pihak lain
menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi
pengeluaran-pengeluaran yang ada.
Pengertian APBD sekarang (pasca reformasi) menurut pasal 1 UU. Nomor 32 tahun
2004 APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan
peraturan daerah. Penyelenggaran urusan pemerintah yang menjadi kewenangan Daerah, didanai
7
dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), sementara penyelenggaraan
urusan pemerintah yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah, didanai dari dan atas beban
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) .
Pendapatan Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 disebutkan bahwa pendapatan
daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dalam
Deskripsi dan Analisis APBD tahun 2013, sumber-sumber pendapatan daerah secara nasional
dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu :
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 Bab V
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut Sariono dkk (2007)
pada umumnya Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, restribusi daerah, bagian dari
perusahaan daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah.
2. Dana Perimbangan
Menurut Sariono dkk (2007) Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari
penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan menurut Renyowijoyo (2007) terdiri dari
Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK).
3. Pendapatan lain-lain yang sah
Pendapatan lain-lain yang sah menurut Sariono dkk (2007) pendapatan daerah terdiri dari
hibah dan dana darurat. Menurut Renyowijoyo (2008) hibah merupakan bantuan berupa uang,
barang, dan atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri
dan luar negeri sedangkan pendapatan dana darurat merupakan bantuan pemerintah dari APBN
kepada pemerintah daerah untuk mendanai keperluan mendesak diakibatkan peristiwa tertentu
yang tidak dapat ditanggulangi APBD.
8
Analisis Rasio Keuangan
Analisis rasio keuangan adalah suatu cara untuk membuat perbandingan data keuangan,
sebagai dasar untuk mengetahui kinerja keuangan suatu lembaga (Samryn, 324) dalam
(Wardhani, 2012). Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan cara membandingkan
hasil yang dicapai dari suatu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui
bagaimana kecendurungan yang terjadi ( Wardhani, 2012).
Menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan tentang Deskripsi dan Analisis APBD
(2012) untuk memberikan gambaran terkait kapasitas pendapatan (revenue capacity) suatu
daerah setiap tahunnya terdapat empat rasio yang biasanya digunakan yaitu rasio pajak (tax
ratio), rasio pajak perkapita (tax per capita), ruang fiskal (fiscal space), rasio ketergantungan
daerah.
1.Rasio Pajak (Tax Ratio)
Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan jumlah
penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dalam satu tahun. Di
tingkat daerah, rasio pajak merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak daerah
dengan PDRB. Rasio pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat
dalam membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki.
PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah karena dapat menggambarkan kegiatan
ekonomi masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi daerah baik tentunya akan menjadi potensi
penerimaan pajak di wilayah tersebut. PDRB yang akan digunakan dalam analisis ini adalah
PDRB atas dasar harga berlaku yang merupakan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung
dengan menggunakan harga pada setiap tahun. Nilai PDRB ini pada umumnya digunakan untuk
melihat pergeseran struktur ekonomi yang terjadi di suatu wilayah. Perhitungan rasio pajak di
berbagai wilayah di Indonesia akan memberikan gambaran hubungan antara penerimaan pajak
daerah di wilayah tersebut dengan PDRB-nya, menilai kondisi suatu daerah, dan
membandingkannya dengan daerah lain.
2. Pajak per Kapita (Tax per Capita)
Pajak per kapita (tax per capita) merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan
pajak yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah penduduknya. Pajak per kapita menunjukkan
9
kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah. Menurut Gregory N. Mankiw , rasio pajak per
PDB merupakan ukuran yang paling umum digunakan. Namun, semakin tinggi tingkat
persentase pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga ukuran tersebut
dapat terlihat bias. Pajak per kapita dapat dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB
per kapita sehingga diperoleh pajak/PDRB x PDRB/personal = pajak / personal.
3. Ruang Fiskal (Fiscal Space)
Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang
dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang
menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah maka akan
semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan
belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah seperti pembangunan
infrastruktur daerah. Perhitungan ruang fiskal daerah yaitu total Pendapatan Daerah dikurangi
pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) serta belanja yang sifatnya
mengikat seperti Belanja Pegawai dan Belanja Bunga.
4. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Rasio ketergantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan suatu daerah
terhadap bantuan pihak eksternal, baik itu Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah lain. Rasio
ketergantungan keuangan daerah dirumuskan sebagai berikut :
Semakin besar angka rasio PAD maka ketergantungan daerah semakin kecil, Sebaliknya,
semakin besar angka rasio dana transfer, maka semakin besar tingkat ketergantungan daerah
terhadap bantuan pihak eksternal. Dengan demikian, daerah yang memiliki tingkat ketergantu
ngan yang rendah adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio dana
transfer yang rendah.
10
Menurut Mahmudi (2010) dalam laporan realisasi anggaran ada beberapa rasio yang
digunakan untuk menggambarkan kapasitas pendapatan (revenue capacity) suatu daerah setiap
tahunnya yaitu :
5. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana
eksternal Mahdalena (2013). Rasio kemandirian keuangan daerah dihitung dengan cara
membandingkan jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah dibagi dengan jumlah pendapatan
transfer dari pemerintah pusat dan propinsi serta pinjaman daerah. Rasio kemandirian keuangan
daerah dirumuskan sebagai berikut :
Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah
terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, dan
demikian pula sebaliknya. Suatu daerah sudah dapat dikatakan mandiri jika rasio
kemandiriannya mencapai 1% menurut Halim (2007) dalam Mahdalena (2013).
6. Derajat Desentralisasi
Derajat desentralisasi dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli
Daerah dengan total penerimaan daerah. Rasio ini menunjukkan derajat konstribusi PAD
terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi konstribusi PAD maka semakin tinggi
kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi. Rasio derajat
desentralisasi dirumuskan sebagai berikut :
11
7. Rasio Efektivitas dan Efesiensi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah menggambarkan kemampuan pemerintah
daerah dalam memobilisasi penerimaan PAD sesuai dengan yang ditargetkan. Rasio efektivitas
PAD dihitung dengan cara membandingkan realisasi penerimaan PAD dengan target penerimaan
PAD (dianggarkan). Rasio efektivitas pendapatan asli daerah (PAD) dirumuskan sebagai berikut
:
Berikut ini kategori yang digunakan dalam menentukan nilai efektivitas PAD :
Tabel 1 Kategori dalam menentukan nilai efektivitas PAD
Sumber : Mahmudi (2010)
Rasio Efesiensi Pendapatan Asli Daerah, rasio ini dihitung dengan cara membandingkan
biaya yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk memperoleh PAD dengan realisasi penerimaan
PAD. Untuk dapat menghitung rasio efesiensi PAD ini diperlukan data tambahan yang tidak
tersedia di Laporan Realisasi Anggaran, yaitu data tentang biaya pemungutan PAD. Rasio
efesiensi pendapatan asli daerah (PAD) dirumuskan sebagai berikut:
Semakin kecil nilai rasio ini maka semakin efesien kinerja pemerintah daerah dalam
melakukan pemungutan Pendapatan Asli Daerah. Berikut ini kategori yang digunakan dalam
menentukan nilai efesiensi PAD :
12
Tabel 2 Kategori dalam menentukan nilai efesiensi PAD
Kategori Efesiensi Presentase Efesiensi
Sangat Efisien
Efesien
Cukup Efesien
Kurang Efisien
Tidak Efesien
<10%
10%-20%
21%-30%
31%-40%
>40%
Sumber : Mahmudi (2010)
8. Rasio Efektivitas Pajak Daerah
Rasio Efektivitas Pajak Daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
mengumpulkan pajak daerah sesuai dengan jumlah penerimaan pajak daerah yang ditargetkan.
Rasio efektivitas pajak daerah dianggap baik apabila rasio ini mencapai angka minimal 1 atau
100%. Rasio efektivitas pajak daerah dirumuskan sebagai berikut :
9. Analisis Pertumbuhan Pendapatan
Analisis pertumbuhan pendapatan bermanfaat untuk mengetahui kinerja anggaran mengalami
pertumbuhan pendapat secara positif atau negatif. Analisis pertumbuhan pendapatan antaranya,
pertumbuhan pendapatan asli daerah (PAD), pertumbuhan pajak daerah, pertumbuhan retribusi
daerah, dan pertumbuhan pendapatan transfer. Rasio analisis pertumbuhan pendapatan dirumuskan
sebagai berikut :
13
METODE PENELITIAN
Objek Penelitian
Objek Penelitian dalam pokok permasalahan ini adalah Pemerintah Daerah pada Eks-
Karesidenan Pati yang meliputi lima kabupaten yaitu Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus,
Kabupaten Jepara, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang.
Jenis dan Sumber Data
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dan deskriptif eksploratif.
Sementara data yang digunakan adalah data sekunder, berbentuk data panel yang diperoleh dari
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) berupa Laporan Anggaran Pendapatan
Daerah dalam APBD tahun 2008-2012 dari Badan Pusat Statistik (BPS) meliputi Kabupaten
atau Kota di Eks-Karesidenan Pati dalam angka tahun 2008-2012, serta dari Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK RI) perwakilan Jawa Tengah tahun 2008-2012 berupa Laporan Realisasi APBD
dan situs internet resmi Pemerintah Daerah. Adapun alasan pemilihan data-data keuangan hasil
laporan dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) selama kurun waktu tahun
2008-2012, yaitu: 1) Data-data tahun 2008-2012 termasuk data-data yang baru sehingga mudah
dicari dinternet, 2) Mengevaluasi kinerja keuangan daerah menggunakan laporan keuangan
daerah merupakan masalah yang sulit sehingga dibutuhkan banyak ketelitian, mengingat hal
tersebut maka dalam penelitian ini hanya digunakan data selama 5 tahun.
Metode Pengumpulan Data
Studi dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan data tentang objek yang akan dieliti
berupa Laporan Anggaran Pendapatan Daerah dalam APBD tahun 2008-2012, Kabupaten atau
Kota di Eks-Karesidenan Pati dalam angka tahun 2008-2012, Laporan Realisasi APBD tahun
2008-2012.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini pendekatan deskriptif kuantitatif
dan deskriptif eksploratif yaitu mengumpulkan, mengolah, dan menginterpretasikan data yang
diperoleh yang didasarkan pada penggambaran yang mendukung analisis tersebut.Untuk
14
mengetahui gambaran kapasitas pendapatan (revenue capacity) pada Pemerintah Daerah Se Eks-
Karesidenan Pati 2008-2012 digunakan metode analisis sebagai berikut :
1. Rasio Pajak ( Tax Ratio ).
2. Pajak per Kapita (Tax per Capita).
3. Ruang Fiskal (Fiscal Space).
4. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah.
5 .Rasio Kemandirian Keuangan Daerah.
6. Derajat Desentralisasi.
7. Rasio Efektivitas dan Efesiensi Pendapatan Asli Daerah ( PAD ).
8. Rasio Efektivitas Pajak Daerah.
9. Analisis Pertumbuhan Pendapatan.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Rasio Pajak
Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan jumlah
penerimaan pajak dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Rasio pajak dapat
digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, mengukur
kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki. PDRB sangat erat kaitannya dengan
pajak daerah. PDRB menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang jika pertumbuhannya
baik akan menjadi potensi penerimaan pajak di wilayah tersebut.
PDRB yang akan digunakan dalam analisis ini adalah PDRB atas dasar harga berlaku.
PDRB atas dasar harga berlaku merupakan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan
menggunakan harga pada setiap tahun dan pada umumnya digunakan untuk melihat pergeseran
struktur ekonomi yang terjadi di suatu wilayah. Dari hasil perhitungan rasio pajak pada
Pemerintah Daerah Se Eks-Karesidenan Pati diperoleh data perhitungan sebagai berikut : Tabel 3
Hasil Analisis Rasio Pajak (tax ratio) Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012 Daerah 2008 2009 2010 2011 2012
Kabupaten Jepara 0,187 0,195 0,205 0,247 0,253 Kabupaten Pati 0,163 0,174 0,189 0,289 0,217 Kabupaten Kudus 0,058 0,068 0,069 0,108 0,099 Kabupaten Blora 0,193 0,203 0,211 0,230 0,216 Kabupaten Rembang 0,188 0,207 0,269 0,268 0,364 Rata-rata 0,158 0,170 0,188 0,228 0,230
Sumber: BPK PERWAKILAN JAWA TENGAH (Diolah)
15
Data-data rasio perpajakan di atas dapat digambarkan dalam bentuk gambar grafik di bawah ini:
Gambar 3.1
Trend Rasio Pajak (tax ratio) Antar Waktu Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Dari grafik tren rasio pajak antar waktu tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa secara
umum pertumbuhan rasio pajak di eks Karisidenan Pati telah menunjukkan arah yang positif, hal
tersebut dapat dilihat dari kecenderungan peningkatan angka rasio pajak pada masing-masing
daerah tersebut setiap tahunnya. Kemudian untuk melihat perbandingan rasio pajak antar daerah
di Eks Karidenan Pati dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
Gambar 3.2 Perbandingan Rasio pajak (tax ratio) Antar Daerah Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Dari grafik di atas terlihat bahwa Kabupaten Rembang adalah daerah di Eks-Karesidenan
Pati yang memiliki rasio pajak paling tinggi diantara daerah-daerah lainnya. Rasio pajak tertinggi
16
pada daerah tersebut dicapai pada tahun 2012, yaitu sebesar 0,364%. Sedang daerah Kabupaten
Kudus adalah daerah di Eks-Karesidenan Pati yang memiliki rasio pajak paling rendah di Eks
Karisidenan Pati.
Ada tiga kemungkinan penyebab tinggi ratio pajak di suatu daerah, yaitu tingginya
penerimaan pajak daerah, rendahnya PDRB, atau gabungan keduanya. Untuk kasus daerah
Rembang, tingginya rasio pajak disebabkan tingginya penerimaan pajak di daerah tersebut, dan
rendahnya PDRB daerah tersebut. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten
Rembang disatu sisi telah cukup berhasil dalam membina warganya untuk sadar dalam hal
membayar pajak. Namun disisi lainnya pemerintah Kabupaten Rembang belum cukup berhasil
dalam meningkatkan PDRB daerahnya. Untuk itu perlu adanya upaya yang signifikan dari
pemerintah Kabupaten Rembang untuk mendorong pertumbuhan sektor perdagangan, hotel,
restoran, juga sektor-sektor lainnya seperti: pengangkutan dan komunikasi, keuangan,
persewaan, dan jasa perusahaan, industri pengolahan, dan lain sebagainya. Untuk mendorong
tumbuhnya sektor tersebut tentu pemerintah perlu melakukan perbaikan-perbaikan terhadap
sarana prasarana fisik yang dimiliki, seperti: jalan, listrik, air dan sebagainya. Selain itu hal perlu
juga dilakukan adalah bagaimana menciptakan pelayanan publik secara lebih baik, misal
mempermudah perijinan usaha, dan mempermudah masyarakat untuk mendapatkan permodalan
dengan bunga rendah melalui PD BKK yang dikelola oleh pemerintah daerah. Dengan langkah-
langkah tersebut akan memberikan dorongan bagi masyarakat untuk meningkatkan
perekonomian secara mandiri, maupun menarik minat investor di luar daerah atau bahkan luar
negeri untuk melakukan investasinya di daerah tersebut. Hal tersebut juga dapat dilakukan oleh
daerah Kabupaten Jepara, Pati, dan Blora.
Sedang tiga kemungkinan penyebab rendahnya ratio pajak di suatu daerah, yaitu
rendahnya penerimaan pajak, tingginya PDRB atau gabungan keduanya. Untuk kasus daerah
Kabupaten Kudus, rendahnya ratio pajak lebih disebabkan oleh faktor tingginya PDRB daerah
tersebut dibanding penerimaan pajaknya. Tingginya PDRB Kabupaten Kudus terutama didukung
oleh tingginya penerimaan daerah tersebut dari sektor industri pengelolaan dan sektor
perdagangan, hotel dan restoran. Tingginya PDRB Kabupaten Kudus tersebut menunjukkan
bahwa pemerintah daerah Kabupaten Kudus secara umum dapat dikatakan cukup berhasil dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Namun demikian disisi lain pemerintah Kabupaten
Kudus belum mampu optimal dalam menggali pendapatannya dari sektor pajak, walaupun jika
17
dilihat dari data mengenai penerimaan pajaknya, pemerintah Kabupaten Kudus telah mampu
melampaui daerah-daerah lainnya. Akan tetapi jika melihat PDRB yang begitu besar
dibandingkan dengan pendapatan pajaknya menunjukkan bahwa masih ada ruang yang cukup
besar bagi pihak pemerintah kabupaten untuk meningkatkan jumlah penerimaan pajaknya.
Melihat kondisi tersebut maka pihak pemerintah perlu meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pajak dalam pembangunan melalui berbagai model komunikasi, misal: melakukan
penyuluhan langsung kepada masyarakat.
Tetapi fakta di atas juga dapat memberikan gambaran lain, yaitu selama ini pemerintah
Kabupaten Kudus kurang berhasil dalam mendorong masyarakatnya untuk meningkatkan
ekonominya secara lebih mandiri, artinya bahwa pajak yang diperoleh pemerintah Kabupaten
Kudus sebagian besar diperoleh dari sektor industri pengelolaan dan sektor perdagangan, hotel
dan restoran, sedang sumbangan pajak dari masyarakat sendiri sebenarnya relatif kecil, karena
sebagian besar masyarakat hanya bekerja sebagai buruh di tempat-tempat pengusaha tersebut,
maka dengan sendirinya kemampuan masyarakat dalam membayar pajakpun juga rendah karena
pendapatannya terbatas. Untuk itu, solusi yang perlu dilakukan adalah mendorong masyarakat
agar lebih produktif dalam meningkatkan ekonominya secara mandiri sebagai upaya untuk
meningkatkan jumlah penerimaan pajaknya. Sebab bagaimanapun juga semakin tinggi
penghasilan masyarakat, maka dengan sendirinya pajak yang diperoleh pemerintah dari
masyarakat akan semakin tinggi pula.
PAJAK PER KAPITA
Pajak per kapita (tax per capita), merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan
pajak yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah penduduknya. Pajak per kapita menunjukkan
kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah. Dari hasil perhitungan rasio pajak perkapita pada
Pemerintah Daerah Se Eks-Karesidenan Pati diperoleh data perhitungan sebagai berikut: Tabel 4 Hasil Analisis Rasio Pajak Per Kapita Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Daerah 2008 2009 2010 2011 2012 Kabupaten Jepara 12,780.22 14,463.21 17,044.65 22,257.80 24,835.71 Kabupaten Pati 10,728.65 12,414.73 14,856.83 25,237.14 20,707.84 Kabupaten Kudus 20,913.06 25,805.61 28,356.67 47,652.36 46,996.21 Kabupaten Blora 8,214.74 9,450.70 11,361.56 13,405.86 13,570.83 Kabupaten Rembang 12,993.88 15,670.26 22,512.50 24,391.99 36,135.40 Rata-rata 13,126.11 15,560.90 18,826.44 26,589.03 28,449.20
Sumber: BPK PERWAKILAN JAWA TENGAH (Diolah)
18
Mempermudah pembacaan data pada tabel di atas dijelaskan melalui grafik di bawah ini:
Gambar 4.1 Trend Rasio Pajak Per Kapita Antar Waktu Se Eks-Karesidenan Pati 2008-
2012
Dari grafik tren pajak per kapita antar waktu tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa
secara umum pajak per kapita di Eks Karisidenan Pati menunjukkan angka yang terus
meningkat. Kemudian untuk melihat perbandingan pajak per kapita antar daerah di Eks
Karisidenan Pati dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
Gambar 4. 2
Perbandingan Rasio Pajak Per Kapita Antar Daerah Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Dari grafik batang di atas dapat dijelaskan, bahwa Kabupaten Kudus adalah Kabupetan di
Eks Karisidenan Pati yang memiliki pajak per kapita paling tinggi, namun demikian pada tahun
2012 sedikit mengalami penurunan dibanding tahun 2011. Kondisi serupa juga dialami oleh
Kabupaten Blora, penerimaan pajak pada tahun 2012 mengalami penurunan dibanding tahun
19
2011. Selain itu, dari grafik tersebut di atas juga dapat dijelaskan bahwa Kabupaten Jepara,
Kabupaten Blora, dan Kabupaten Jepara adalah beberapa daerah di Eks Karisiedenan Pati yang
menunjukkan tren peningkatan penerimaan pajak daerah selama kurun waktu 2008 s/d 2012.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di ketiga kabupaten tersebut semakin sadar
untuk melakukan pembayaran pajak.
Adanya perbedaan jumlah penerimaan pajak di daerah Eks Karisidenan Pati disebabkan
oleh beberapa hal, yaitu tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar pajak yang berbeda, dan
rendahnya basis pajak dan potensi pajak yang dapat digali di wilayah kabupaten bersangkutan.
Sebagai contoh, Kabupaten Kudus adalah daerah industri sehingga wajar jika penerimaan
pajaknya lebih tinggi dibanding daerah kabupaten lainnya. Berkenaan dengan kondisi tersebut
maka daerah Kabupaten Blora, Pati, Kudus, dan Rembang perlu meningkatkan basis penerimaan
pajak dan potensi penerimaan pajaknya. Langkah yang dapat diambil berkenaan dengan hal
tersebut, yaitu: 1) Melakukan komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat,
sehingga masyarakat lebih sadar dalam hal membayar pajak, 2) Meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk lebih produktif dalam melakukan kegiatan ekonomi baik dalam bidang
produksi maupun jasa secara mandiri, 3) Menarik investor dari luar daerah guna menurunkan
pengangguran di wilayah kabupaten tersebut, sehingga memperluas potensi penerimaan pajak di
daerah tersebut.
RUANG FISKAL (FISKAL SCAPE)
Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang
dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang
menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah maka akan
semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan
belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah seperti pembangunan
infrastruktur daerah. Dari hasil perhitungan rasio ruang fiskal pada Pemerintah Daerah Se Eks-
Karesidenan Pati diperoleh data perhitungan sebagai berikut:
20
Tabel 5 Hasil Analisis Rasio Ruang Fiskal Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Daerah 2008 2009 2010 2011 2012 Kabupaten Jepara 299.071.424.691,00 281.077.739.862,00 266.819.419.136,00 377.272.915.660,00 418.398.516.437,00
Kabupaten Pati 283.999.539.974,01 280.783.990.185,54 186.103.163.373,11 214.368.556.544,00 360.655.079.047,00
Kabupaten Kudus 308.324.065.862,83 302.591.590.760,88 269.714.872.218,00 37.411.577.377,00 398.483.571.295,00
Kabupaten Blora 220.867.418.494,00 192.864.960.248,00 123.675.138.756,00 152.048.466.806,00 289.412.369.258,00
Kabupaten Rembang 197.884.708.494,00 195.482.180.202,00 130.071.021.650,62 184.075.841.354,62 267.103.451.625,86
Rata-rata 262.029.431.503,17 250.560.092.251,68 195.276.723.026,75 193.035.471.548,32 346.810.597.532,57
Sumber: BPK PERWAKILAN JAWA TENGAH (Diolah) Mempermudah pembacaan tabel pada data tersebut di atas berikut ditampilkan grafik di bawah
ini:
Gambar 5.1 Trend Rasio Ruang Fiskal Antar Waktu Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Dari grafik di atas dapat dijelaskan bahwa masing-masing daerah di eks Karisidenan Pati
terus melakukan penambahan alokasi belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas
daerah, dan bahkan pada tahun 2012 Pemerintah daerah Kabupaten Jepara dan Kabupaten Kudus
telah berhasil meningkatkan alokasi belanjanya sampai melebihi nilai rata-rata rasio ruang fiskal
di Eks Karisidenan Pati. Hal ini merupakan sinyal positif bahwa pada kedua daerah tersebut telah
memiliki kesadaran dengan lebih banyak menfokuskan pendapatan daerahnya untuk hal-hal yang
mendukung pertumbuhan ekonominya. Kemudian untuk melihat perbandingan rasio ruang fiskal
antar daerah dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
21
Gambar 5.2
Perbandingan Rasio Ruang Fiskal Antar Daerah Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Dari grafik di atas dijelaskan bahwa Kabupaten Blora merupakan daerah yang memiliki
rasio ruang fiskal paling rendah, sedang daerah Kabupaten Jepara adalah daerah yang memiliki
rasio ruang fiskal tertinggi. Tinggi ruang fiskal daerah Kabupaten Jepara dibanding daerah lain
di Eks Karisidenan Pati mengindikasikan bahwa daerah tersebut memiliki ruang yang cukup luas
dalam memenuhi kebutuhan daerahnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi. Sebaliknya daerah Kabupaten Blora yang memiliki ruang fiskal yang rendah
mengindikasikan bahwa daerah tersebut harus pandai memilih belanja yang tepat dalam
memanfaatkan ruang fiskal yang ada untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui perbaikan
berbagai sektor lapangan usaha yang ada, terutama sektor-sektor usaha yang dinilai masih
memberikan kontribusi penerimaan fiskal yang rendah, seperti: listrik, gas, dan air bersih,
pengangkutan dan komunikasi, serta pertambangan dan penggalian. Langkah lainnya adalah
dengan lebih mengoptimalkan lapangan usaha yang dinilai telah memberikan kontribusi besar
terhadap penerimaan fiskalnya, seperti: usaha pertanian. Selain itu hal yang tidak kalah penting
adalah mengurangi penggunaan anggaran bagi hal-hal yang sifatnya kurang memberikan
kontribusi produktif dalam penerimaan fiskal daerah.
KETERGANTUNGAN KEUANGAN DAERAH
Rasio ketergantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan suatu daerah
terhadap bantuan pihak eksternal, baik itu Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah lain. Makna
rasio transfer terhadap total pendapatan adalah sama dengan makna rasio dana perimbangan,
yaitu bahwa semakin besar rasio transfer maka semakin rendah kemandirian daerah. Sebaliknya,
22
semakin rendah angkanya akan semakin tinggi tingkat kemandirian daerah atau semakin rendah
tingkat ketergantungan daerah terhadap dana pusat.Dari hasil perhitungan ketergantungan
keuangan daerah untuk masing-masing daerah Eks Karesidenan Pati dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 6
Hasil Analisis Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Daerah 2008 2009 2010 2011 2012
Kabupaten Jepara 82,089 89,032 90,515 90,509 86,484 Kabupaten Pati 87,899 88,226 86,307 86,123 84,834 Kabupaten Kudus 86,573 83,920 84,373 82,532 85,436 Kabupaten Blora 91,002 93,119 91,902 90,507 85,730 Kabupaten Rembang 83,867 82,497 86,695 82,300 81,802 Rata-rata 86,286 87,359 87,958 86,394 84,857
Sumber: BPK PERWAKILAN JAWA TENGAH (Diolah) Mempermudah pembacaan data pada tabel di atas berikut akan disajikan dalam bentuk grafik di
bawah ini:
Gambar Grafik Garis 6.1 Trend Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Antar Waktu Se Eks-Karesidenan
Pati 2008-2012
Grafik di atas menjelaskan bahwa rasio ketergantungan daerah di eks Karisidenan Pati
berbeda-beda antar kabupaten. Namun demikian setiap daerah pada dasarnya terus berusaha
untuk mengurangi tingkat ketergantungannya. Hal tersebut dapat dilihat dari angka ratio
ketergantungan masing-masing daerah yang cenderung terus menurun (Jepara, Pati, Blora dan
Rembang), terkecuali untuk daerah Kabupaten Kudus yang malah mengalami peningkatan pada
tahun 2012.
Dari grafik perbandingan ketergantungan daerah antar daerah di Eks Karisidenan Pati
menunjukkan bahwa Kabupaten Rembang adalah daerah yang memiliki rasio ketergantungan
23
paling rendah, hal tersebut dapat dilihat dari rasio ketergantungan daerah per tahun yang
cenderung kecil dibanding daerah lainnya.Untuk melihat secara jelas kebupaten mana saja yang
memiliki rasio ketergantungan tinggi dan rendah secara jelas dapat dilihat pada grafik di bawah
ini :
:
Gambar 6.2
Perbandingan Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Antar Daerah Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Kondisi ini menggambarkan bahwa Kabupaten Rembang tersebut dinilai relatif mampu
menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah untuk menutup belanjanya. Namun demikian,
pemeritah Kabupaten Rembang tetap perlu menggali lebih jauh lagi sumber-sumber potensial
daerahnya, seperti: pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan air bersih, bangunan,
pengangkutan dan komunikasi agar kondisi baik yang telah dicapai tersebut dapat dipertahankan
atau bahkan lebih ditingkatkan dikemudian hari. Sebaliknya daerah yang paling memiliki rasio
ketergantungan tinggi adalah Kabupaten Blora yang ditunjukkan angka rasio ketergantungan
yang tinggi tiap tahunnya dibanding daerah-daerah lainnya. Sehingga daerah ini dinilai kurang
mampu menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah untuk menutup belanjanya. Untuk itu
Kabupaten Blora masih perlu lebih baik lagi dalam mengoptimalkan seluruh potensi-potensi
yang dimiliki untuk mengurangi ketergantungan daerahnya kepada pemerintah pusat. Selain
Kabupaten Rembang daerah lain yang juga dinilai memiliki nilai rasio ketergantungan daerah
24
yang rendah adalah daerah Kabupaten Kudus. Sedang daerah yang memiliki rasio
ketergantungan daerah cukup tinggi adalah Kabupaten Pati, dan Kabupaten Jepara.
KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana
eksternal. Rasio kemandirian keuangan daerah dihitung dengan cara membandingkan jumlah
penerimaan Pendapatan Asli Daerah dibagi dengan jumlah pendapatan transfer dari pemerintah
pusat dan propinsi serta pinjaman daerah.
Semakin besar angka rasio PAD maka kemandirian daerah semakin besar. Sebaliknya,
makin besar angka rasio transfer, maka akan semakin kecil tingkat kemandirian daerah dalam
mendanai belanja daerah. Oleh karena itu, daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang baik
adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio transfer yang rendah. Hasil
perhitungan rasio kemandirian daerah pada masing-masing daerah se Eks-KarisidenanPati tahun
2008-2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 7 Hasil Analisis Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Se Eks-Karesidenan Pati 2008-
2012
Daerah 2008 2009 2010 2011 2012 Kabupaten Jepara 10,978 10,030 9,290 8,740 11,288 Kabupaten Pati 10,354 11,057 13,016 12,705 13,059 Kabupaten Kudus 10,621 10,848 13,270 13,049 12,333 Kabupaten Blora 7,447 7,374 6,327 7,216 8,450 Kabupaten Rembang 9,653 10,790 11,007 9,915 12,156 Rata-rata 9,811 10,020 10,582 10,325 11,457
Sumber: BPK PERWAKILAN JAWA TENGAH (Diolah)
25
Penjelasan data rasio tersebut di atas akan lebih mudah dilihat melalui grafik di bawah ini:
Gambar 7.1 Trend Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Antar Waktu Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Grafik tren kemandirian daerah antar waktu di atas secara keseluruhan menjelaskan
bahwa kemandirian daerah di Eks-Karisidenan Pati dari tahun ke tahun menunjukkan kondisi
yang baik. Hal tersebut dapat dilihat pertumbuhan kemandirian daerah masing-masing kabupaten
yang menunjukkan angka kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Walaupun untuk
daerah Kabupaten Blora dan Japara rasionya masih di bawah nilai rata-rata ratio kemandirian
daerah di Eks Karisidenan Pati.
Grafik perbandingan rasio di bawah ini menunjukan ketergantungan daerah antar daerah
di Eks Karisidenan Pati tersebut di atas memperlihatkan bahwa daerah Blora adalah daerah yang
memiliki nilai rasio kemandirian daerah paling rendah di antara daerah lainnya, hal tersebut
dapat dilihat dari nilai perhitungan ratio selama 5 (lima) tahun, yaitu berada dikisaran nilai 7,26
s/d 13,049.
26
Gambar 7.2
Perbandingan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Rendahnya rasio kemandirian daerah untuk Kabupeten Blora menunjukkan bahwa daerah
tersebut masih banyak bergantung pada pemerintah pusat maupun dari dana-dana pinjaman yang
dilakukan oleh daerah tersebut. Untuk itu, langkah yang perlu diambil oleh pihak pemerintah
kabupaten adalah bagaimana mengoptimalkan berbagai sumber daya manusia maupun sumber
daya alam yang dimilikinya. Untuk mewujudkan hal tersebut dapat ditempuh dengan jalan lebih
berhati-hati dalam mengelola pendapatan daerahnya, misal dengan mengurangi belanja-belanja
daerah yang dipandang kurang produktif, seperti halnya pengeluaran untuk belanja pegawai,
untuk kemudian dialihkan untuk belanja modal, sehingga mampu memacu pertumbuhan sektor
ekonominya.
Kemudian untuk daerah yang dinilai telah memiliki tingkat kemandirian daerah dengan
kategori baik, ada baiknya untuk tetap meningkatkan kemandiriannya dengan lebih
mengoptimalkan sumber daya alam yang dimilikinya, maupun dengan mendorong kemandirian
ekonomi masyarakat. Kemandirian ekonomi masyarakat adalah hal yang sangat penting untuk
dilakukan sebab bagaimanapun juga masyarakat yang mandiri akan memberikan berbagai
dampak kemajuan ekonomi yang cukup signifikan terhadap upaya peningkatan ekonomi daerah,
artinya dengan masyarakat yang mandiri dengan sendirinya kekayaan atau sumber daya alam
yang dimiliki daerah akan dapat terkelola dengan baik, tanpa harus pemerintah daerah
27
menyediakan berbagai lapangan usaha dengan menarik investor luar daerah atau asing dalam
peningkatan ekonomi daerahnya.
DERAJAT DESENTRALISASI
Derajat desentralisasi dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli
Daerah dengan total penerimaan daerah. Rasio ini menunjukkan derajat konstribusi PAD
terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi konstribusi PAD maka semakin tinggi
kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi. Hasil perhitungan derajad
desentralisasi di daerah Eks Karesidenan Pati, berikut ini :
Tabel 8 Hasil Analisis Rasio Derajat Desentralisasi Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Sumber: BPK PERWAKILAN JAWA TENGAH (Diolah)
Mempermudah pembacaan data tersebut di atas berikut akan ditampilkan grafik tren derajat
desentralisasi antar waktu dan grafik perbandingan derajat desentralisasi antar daerah
Gambar 8.1 Trend Rasio Derajat Desentralisasi Antar Waktu Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Grafik tren derajat desentralisasi antar waktu tersebut di atas menunjukkan bahwa daerah
Kabupaten Pati, Kudus, Jepara dan Rembang adalah beberapa daerah di Eks Karisidenan Pati
yang memiliki derajat desentralisasi fisikal lebih baik dibanding daerah Kabupaten Blora, hal
Kabupaten 2008 2009 2010 2011 2012 Kabupaten Jepara 9,064 9,006 9,385 8,857 9,898 Kabupaten Pati 9,101 9,755 11,234 10,942 11,078 Kabupaten Kudus 9,233 9,157 11,228 10,789 10,548 Kabupaten Blora 7,054 6,881 5,819 6,650 7,273 Kabupaten Rembang 8,830 9,356 9,642 8,464 10,151 Rata-rata 8,656 8,831 9,462 9,141 9,790
28
tersebut dapat dilihat dari besarnya nilai derajat desentralisasi keempat daerah tersebut
cenderung di atas rata-rata ratio derajat desentralisasi Eks Karesidenan Pati.
Gambar 8.2
Perbandingan Rasio Derajat Desentralisasi Antar Darah Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Grafik perbandingan antar daerah di atas menunjukkan bahwa Daerah Kabupaten Pati
dan Kudus adalah daerah yang paling mandiri dibanding daerah-daerah lainnya. Hal tersebut
dapat dilihat bahwa selama kurun waktu 2008 s/d 2012 kedua daerah tersebut telah berhasil
mencapai nilai rasio lebih tinggi dibanding nilai rasio rata-rata di Eks Karisidenan Pati. Daerah
Kabupaten Rembang juga dapat dikatakan derajad desentralisasi yang baik, walaupun pada tahun
2011 nilai kemampuan daerah tersebut agak sedikit menurun. Namun demikian pada akhirnya
pada tahun 2012 kemampuan daerah tersebut kembali meningkat, begitu juga dengan Kabupaten
Pati. Kemudian daerah yang memiliki derajad desentralisasi paling rendah adalah daerah
Kabupaten Blora. Hal tersebut dapat dilihat bahwa selama kurun waktu 2008 s/d 2012 nilai
rasionya di berada bawah rata-rata nilai rasio derajad desentralisasi Eks Karisedenan Pati.
Tingginya nilai rasio derajad desentralisasi pada suatu daerah memberikan gambaran
bahwa daerah kabupaten bersangkutan lebih mandiri dalam membiayai setiap kebutuhan
daerahnya melalui PAD-nya, begitu pula sebaliknya jika daerah memiliki nilai rasio rendah
berarti PAD daerah bersangkutan tidak mampu untuk membiayai kebutuhan operasionalnya.
Sehingga daerah memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pendapatan transfer dari
29
pemerintah pusat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut tentu daerah perlu lebih kreatif dan
inovatif dalam menggali sumber-sumber daya yang dimilikinya. Misal dengan memprioritaskan
berbagai sektor yang menjadi potensi daerah yang selama ini belum optimal pengelolaannya,
atau meningkatkan kualitas pendidikan dari penduduk daerahnya.
RASIO EFEKTIVITAS PAD
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan
Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditentukan
berdasarkan potensi daerah. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif
apabila rasio yang dicapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100% (seratus persen). Semakin tinggi
rasio efektivitas, menggambarkan kemampuan keuangan daerah yang semakin baik. Secara
kongkrit penilaian efektivitas PAD dapat dilihat pada tabel kategori efektivitas di bawah ini:
Tabel 9 Kategori dalam menentukan nilai efektivitas PAD
Kategori Efektivitas Presentase Efektivitas
Sangat Efektif
Efektif
Cukup Efektif
Kurang Efektif
Tidak Efektif
>100%
100%
90%-99%
75%-89%
<75%
Sumber : Mahmudi (2010) Berdasarkan hasil perhitungan rasio efektivitas PAD masing-masing daerah di Eks
Karisidenan Pati diperoleh nilai rasio sebagai berikut:
30
Tabel 10 Hasil Analisis Rasio Efektivitas PAD Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Daerah 2008 2009 2010 2011 2012 Kabupaten Jepara 109,65 105,61 110,29 105,71 114,08 Kabupaten Pati 120,92 123,32 113,12 116,73 116,71 Kabupaten Kudus 120,72 112,67 101,94 94,95 104,20 Kabupaten Blora 110,64 99,39 83,34 115,36 133,53 Kabupaten Rembang 96,25 97,58 83,98 88,70 108,69 Rata-rata 111,637 107,714 98,5338 104,288 115,441
Sumber: BPK PERWAKILAN JAWA TENGAH (Diolah)
Mempermudah pembacaan tabel di atas, berikut ditampilkan grafik di bawah ini:
Gambar 10.1
Trend Rasio Efektivitas PAD Antar Waktu Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Grafik tren efektivitas PAD daerah antar waktu tersebut di atas menjelaskan bahwa
kemampuan masing-masing daerah di Eks Karisidenan Pati memiliki kemampuan yang berbeda-
beda dalam menentukan ketepatan dalam merencanakan pendapatannya. Namun demikian
daerah Jepara, Pati dan Kudus serta adalah daerah yang lebih mampu tepat dan realistis dalam
merencanakan pendapatannya dibanding daerah Kabupaten Rembang. Walaupun demikian pada
tahun 2012 Kabupaten Rembang telah menunjukkan kerja kerasnya sehingga perencanaan PAD-
nya lebih tepat dan realistis dibanding tahun-tahun sebelumnya.
31
.
Gambar 10.2
Perbandingan Rasio Efektivitas PAD Antar Daerah Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Pada grafik perbandingan efektivitas PAD antar daerah tersebut di atas dapat
dijelaskan bahwa Kabupaten Pati adalah daerah yang paling efektif dalam merencanakan
pendapatannya. Kemudian baru daerah Kabupaten Jepara, Kudus, Blora dan terakhir Rembang.
Penilaian efektivitas PAD masing-masing daerah tersebut berdansarkan pada tabel kategori
efektivitas yang telah disebutkan di atas.
Rendahnya kemampuan daerah Kabupaten Rembang dalam melakukan pengelolaan
PAD secara efektif dibanding daerah lainnya menunjukkan jika daerah tersebut belum mampu
secara optimal mengelola dana yang tersedia untuk dimanfaatkan sebaik mungkin dalam
menghasilkan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakatnya.
Namun demikian adanya upaya perbaikan pada tahun-tahun berikutnya yang akhirnya pada
tahun 2012 nilai rasionya menunjukkan angka yang sangat efektif, dapat dikatakan bahwa
pemerintah Kabupaten Rembang telah mampu menunjukkan kinerjanya yang lebih baik dalam
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakatnya.
RASIO EFISIENSI PAD
Rasio efisiensi bertujuan untuk menilai apakah sejauh mana efisensi pemerintah dalam
merealisasi pendapatan. Semakin kecil nilai rasio ini maka semakin efesien kinerja pemerintah
32
daerah dalam melakukan pemungutan Pendapatan Asli Daerah, berikut kategori penilaian rasio
efisiensi PAD:
Tabel 11 Kategori dalam menentukan nilai efesiensi PAD
Sumber : Mahmudi (2010)
Hasil perhitungan rasio efisiensi PAD pada daerah Eks Karisidenan Pati pada kurun
waktu tahun 2008 s/d 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 12
Hasil Analisis Rasio Efesiensi PAD Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Sumber : BPK PERWAKILAN JAWA TENGAH (Diolah)
Kategori Efesiensi Presentase Efesiensi
Sangat Efisien
Efesien
Cukup Efesien
Kurang Efisien
Tidak Efesien
<10%
10%-20%
21%-30%
31%-40%
>40%
Kabupaten 2008 2009 2010 2011 2012 Kabupaten Jepara 7,391 13,417 11,457 9,601 6,704 Kabupaten Pati 16,430 13,400 13,944 2,231 8,469 Kabupaten Kudus 6,253 12,976 3,949 2,760 7,547 Kabupaten Blora 6,253 12,976 3,949 2,760 7,547 Kabupaten Rembang 5,400 34,730 6,355 0,072 13,979 Rata-Rata 8,346 17,500 7,931 3,485 8,849
33
Penjelasan nilai rasio efisiensi tersebut di atas dapat dilihat secara jelas pada grafik di bawah ini:
Gambar 12.1 Trend Rasio Efesiensi PAD Antar Waktu Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Pada grafik tren efisiensi PAD daerah di Eks Karisidenan Pati menunjukkan bahwa
daerah Kabupaten Jepara, Pati, dan Kudus serta Blora adalah daerah yang dinilai mampu
mengelola PAD secara efisiensi selama kurun waktu tahun 2008 s/d 2012. Sedang daerah
Kabupaten Rembang adalah daerah yang dinilai kurang mampu mengelola PAD secara efisiensi,
itupun hanya disebabkan karena pada tahun 2009, nilai rasionya menunjukkan angka sebesar
34,730% yang dalam kriteria penilaian masuk dalam kategori kurang efisien.
Gambar 12.2
Perbandingan Rasio Efesiensi PAD Antar Daerah Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Berdasarkan grafik perbandingan efisiensi PAD antar daerah tersebut di atas pada tahun
2008, hampir semua daerah masuk dalam kategori sangat efisien dalam pengelolaan PAD
kecuali Kabupaten Pati yang masuk kategori efisien. Pada tahun 2009, hampir semua daerah
34
masuk dalam kategori efisien kecuali Kabupaten Rembang yang masuk kategori tidak efisien,
pada tahun-tahun berikutnya semua daerah masuk dalam kategori efisien. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa daerah-daerah di Eks Karisidenan Pati telah mampu mengelola PAD-nya
secara efisien.
Kurang efisiennya Kabupaten Rembang dalam pengelolaan PAD nya pada tahun 2009
dibanding daerah kabupetan lainnya, disebabkan pada tahun 2009 Kabupaten Rembang
mengeluarkan pembiayaan yang cukup besar untuk membayar Pokok Hutang yang jatuh tempo
(Pemprov Jateng, Bank Jateng, Hutang Luar Negeri) serta memberikan pinjaman daerah kepada
masyarakat sebesar 1.5 milyar.
RASIO EFEKTIVITAS PAJAK DAERAH
Rasio Efektivitas Pajak Daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
dalam mengumpulkan pajak daerah sesuai dengan jumlah penerimaan pajak daerah yang
ditargetkan. Rasio efektivitas pajak daerah dianggap baik apabila rasio ini mencapai angka
minimal 1 atau 100%. Hasil perhitungan rasio pajak di daerah Eks Karesidenan Pati tahun 2008
s/d tahun 2012 adalah sebagai berikut:
Tabel 13 Hasil Analisis Rasio Efektivitas Pajak Daerah Se Eks-Karesidenan Pati
2008-2012
Sumber : BPK PERWAKILAN JAWA TENGAH (Diolah)
Kabupaten 2008 2009 2010 2011 2012 Kabupaten Jepara 105,50 114,12 114,43 108,66 121,73 Kabupaten Pati 105,96 109,00 107,17 133,69 110,46 Kabupaten Kudus 118,46 109,48 102,30 115,51 105,22 Kabupaten Blora 116,81 123,06 97,84 106,41 116,65 Kabupaten Rembang 107,88 106,68 102,40 98,10 127,12
Rata-rata 110,92 112,47 104,83 112,48 116,24
35
Memperjelas pembacaan tabel di atas, berikut data di atas ditampilkan dalam bentuk grafik di
bawah ini:
Gambar 13.1
Trend Rasio Efektivitas Pajak Daerah Antar Waktu Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Grafik tren rasio efektivitas pajak tersebut di atas memberikan gambaran jika pemerintah
kabupaten di Eks Karisidenan Pati secara keseluruhan telah mampu mengumpulkan pajak daerah
sesuai dengan jumlah penerimaan pajak daerah yang ditargetkan, bahkan dapat dikatakan
melebihi dari yang ditargetkan. Hal tersebut nampak dari angka rasio pajak masing-masing
daerah pada tahun 2008-2012 berkisar antara 98,10% s/d 133%.
Gambar 13.2
Perbandingan Rasio Efektivitas Pajak Daerah Antar Daerah Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
36
Berdasarkan pada grafik perbandingan rasio efektivitas pajak daerah tersebut di atas,
dapat dijelaskan bahwa Kabupetan Jepara, Pati dan Kudus adalah daerah-daerah yang secara
konsisten dapat dipandang sebagai daerah yang mampu melebihi target dalam mengumpulkan
pajak daerahnya. Sedang daerah Kabupaten Blora dan Rembang sebenarnya juga sudah dapat
dipandang baik dalam pengumpulan pajak daerahnya, namun karena pada tahun 2010, dan tahun
2011 pengumpulan pajaknya kurang dari 100% maka daerah tersebut dapat dikatakan kurang
konsisten, namun demikian pada dasarnya upaya pengumpulan pajak pada kedua daerah tersebut
dapat dikatakan sudah efisien.
ANALISIS PERTUMBUHAN PENDAPATAN
Analisis pertumbuhan pendapatan bermanfaat untuk mengetahui kinerja anggaran
mengalami pertumbuhan pendapatan secara positif atau negatif. Selain itu rasio pertumbuhan
juga menunjukan seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan
dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode. Analisis
pertumbuhan pendapatan antaranya, pertumbuhan pendapatan asli daerah (PAD), pertumbuhan
pajak daerah, pertumbuhan retribusi daerah, dan pertumbuhan pendapatan transfer. Berdasarkan
perhitungan rasio pertumbuhan pendapatan di daerah Eks Kabupaten Pati diperoleh hasil sebagai
berikut:
Tabel 14 Hasil Rasio Analisis Pertumbuhan Pendapatan Se Eks-Karesidenan Pati
2008-2012
2008 2009 2010 2011 2012 Kabupaten Jepara 8,76 6,47 13,06 29,61 11,44 Kabupaten Pati 14,19 4,85 7,77 22,70 20,26 Kabupaten Kudus 16,11 17,08 -7,66 20,03 14,13 Kabupaten Blora 10,53 1,48 12,04 24,54 11,85 Kabupaten Rembang 13,53 4,97 12,06 28,19 16,51 Rata-rata 12,62 6,97 7,46 25,01 14,84
Sumber: BPK PERWAKILAN JAWA TENGAH (Diolah)
37
Penjelasan pada tabel di atas akan mudah dipahami melalui gamba grafik di bawah ini:
Gambar 14.1
Trend Rasio Analisis Pertumbuhan Pendapatan Antar Waktu Se Eks-Karesidenan Pati 2008-2012
Dari grafik tren pertumbuhan pendapatan antar waktu di atas dapat dijelaskan bahwa setiap daerah menunjukkan rasio pertumbuhan yang positif, kecuali Kabupaten Kudus pada tahun 2010 yang mengalami pertumbuhan negatif.
Gambar 14.2 Perbandingan Rasio Analisis Pertumbuhan Pendapatan Antar Daerah Se Eks- Karesidenan Pati 2008-2012
Berdasarkan grafik perbandingan pertumbuhan pendapatan antar daerah, diketahui bahwa
Kabupaten Pati dan Rembang adalah daerah yang mengalami pertumbuhan pendapatan paling
baik diantara daerah lainnya, hal tersebut dapat dilihat bahwa kedua daerah tersebut
38
pertumbuhan pendapatannya cenderung terus di atas rata-rata daerah Eks Karisidenan Pati tiap
tahunnya. Baru kemudian daerah Kabupaten Blora dan Jepara. Terakhir adalah daerah
Kabupaten Kudus, sebab pada daerah tersebut pada tahun 2010 terjadi pertumbuhan yang
negatif.
Banyaknya daerah di Eks Karisidenan Pati yang memiliki angka rasio pertumbuhan
yang positif menunjukkan bahwa secara umum kinerja pengelolaan keuangan pada daerah-
daerah di wilayah tersebut adalah baik, sebab masing-masing pemerintah daerah di wilayah
tersebut mampu meningkatkan pertumbuhan pendapatan walaupun pertumbuhan yang
dicapainya kadang lebih rendah atau lebih tinggi dari tahun sebelumnya, namun kenyataan ini
memberikan gambaran bahwa masing-masing pemerintah daerah telah memiliki komitmen yang
baik dalam upaya meningkatkan pertumbuhan pendapatannya. di yang lebih tinggi dibanding
tahun sebelumnya.
Khusus untuk Kabupaten Kudus, walaupun pertumbuhan pendapatan tahun 2010
mengalami pertumbuhan yang negative namun pada tahun-tahun berikutnya pemerintah
Kabupaten Kudus mampu memperbaikinya sehingga pertumbuhan pendapatan kembali positif.
Fakta tersebut setidaknya mampu memberikan apresiasi kepada pemerintah Kabupaten Kudus
yang telah bekerja keras untuk memperbaiki pertumbuhan pendapatan menjadi lebih baik.
KESIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil perhitungan rasio pajak pada Pemerintah Daerah Se Eks-Karesidenan Pati
menunjukkan bahwa secara umum pertumbuhan rasio pajak di eks Karisidenan Pati
telah menunjukkan arah yang positif, dimana Kabupaten Pati adalah daerah yang
memiliki rasio pajak paling tinggi, dan Kabupaten Kudus adalah daerah yang memiliki
rasio pajak paling rendah.
2. Hasil perhitungan pajak per kapita (tax per capita) menunjukkan bahwa secara umum
pajak per kapita pada masing-masing daerah di Eks Karisidenan Pati menunjukkan
angka yang berfluktuasi, dan hanya Kabupaten Rembang saja yang menunjukkan tren
yang terus meningkat. Sedang daerah Kabupaten Jepara, Pati dan Kudus, dan terakhir
Kabupeten Blora adalah daerah-daerah Kabupaten yang memiliki rasio pajak per kapita
dibawah rata-rata pajak per kapita Eks Karisidenan Pati.
39
3. Hasil perhitungan ruang fiskal menunjukkan bahwa masing-masing daerah di eks
Karisidenan Pati secara konsisten terus melakukan penambahan alokasi belanjanya
pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Dimana Kabupaten Jepara dan
Kabupaten Kudus adalah dua daerah paling menonjol dalam peningkatan alokasi
belajanya, baru kemudian daerah Kabupaten Pati, Rembang, dan terakhir adalah
Kabupaten Rembang.
4. Hasil perhitungan ketergantungan keuangan daerah untuk masing-masing daerah Eks
Karisidenan Pati menunjukkan, bahwa rasio ketergantungan masing-masing daerah
berbeda-beda, namun demikian pada dasarnya setiap daerah di Eks Karisidenan Pati
terus berusaha untuk mengurangi tingkat ketergantungannya. Kabupaten Rembang
adalah daerah yang memiliki rasio ketergantungan paling rendah, baru kemudian
Kabupaten Kudus, berbeda dengan daerah Kabupaten Blora yang memiliki tingkat
ketergantungan yang paling tinggi. Sedang daerah yang memiliki rasio ketergantungan
daerah cukup tinggi adalah Kabupaten Pati, dan Kabupaten Jepara.
5. Hasil perhitungan rasio kemandirian daerah menunjukkan, bahwa secara umum
kemandirian daerah di Eks-Karisidenan Pati dari tahun ke tahun menunjukkan kondisi
yang lebih baik. Daerah Kabupaten Pati, dan Kudus adalah daerah yang memiliki rasio
ketergantungan daerah paling rendah, kemudian disusul oleh Daerah Kabupaten
Rembang dan Jepara, sedang Blora adalah daerah yang paling memiliki rasio
ketergantungan daerah paling tinggi.
6. Hasil perhitungan rasio derajat desentralisasi menunjukkan bahwa Kabupaten Pati dan
Kudus adalah daerah Kabupaten yang dinilai paling mandiri dibanding daerah-daerah l
lainnya, baru kemudian Kabupaten Jepara dan Rembang, dan terakhir adalah daerah
Kabupaten Blora.
7. Hasil perhitungan rasio efektivitas PAD menunjukkan bahwa secara umum masing-
masing daerah di Eks Karisidenan Pati memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam
menentukan ketepatan dalam merencanakan pendapatannya. Kabupaten Pati adalah
daerah yang paling efektif dalam merencanakan pendapatannya. Kemudian baru daerah
Kabupaten Jepara, Kudus, Blora dan terakhir Rembang.
8. Hasil perhitungan rasio efisiensi PAD menunjukkan bahwa pada tahun 2008, hampir
semua daerah masuk dalam kategori sangat efisien dalam pengelolaan PAD kecuali
40
Kabupaten Pati yang masuk kategori efisien. Pada tahun 2009, hampir semua daerah
masuk dalam kategori efisien kecuali Kabupaten Rembang yang masuk kategori tidak
efisien, pada tahun-tahun berikutnya semua daerah masuk dalam kategori efisien.
9. Hasil perhitungan rasio efektivitas pajak daerah dapat dijelaskan bahwa pada
umumnya pemerintah kabupaten di Eks Karisidenan Pati secara keseluruhan telah
mampu mengumpulkan pajak daerah sesuai dengan jumlah penerimaan pajak daerah
yang ditargetkan, bahkan dapat dikatakan melebihi dari yang ditargetkan. Kabupetan
Jepara, Pati dan Kudus adalah daerah-daerah yang secara konsisten dipandang mampu
melebihi target dalam mengumpulkan pajak daerahnya. Sedang daerah Kabupaten
Blora dan Rembang sebenarnya juga sudah dapat dipandang baik dalam pengumpulan
pajak daerahnya, namun karena pada tahun 2010, dan tahun 2011 pengumpulan
pajaknya kurang dari 100% maka daerah tersebut dapat dikatakan kurang konsisten,
namun demikian pada dasarnya upaya pengumpulan pajak pada kedua daerah tersebut
dapat dikatakan sudah efisien.
10. Hasil analisis pertumbuhan pendapatan menunjukkan bahwa bahwa Kabupaten Pati
dan Rembang adalah daerah yang mengalami pertumbuhan pendapatan paling baik
diantara daerah lainnya, baru kemudian daerah Kabupaten Blora dan Jepara. Terakhir
adalah daerah Kabupaten Kudus, sebab pada daerah tersebut pada tahun 2010 terjadi
pertumbuhan yang negatif.
Berkenaan dengan temuan-temuan dalam penelitian ini, maka saran yang diberikan
adalah sebagai berikut:
1. Berkenaan dengan rasio pajak, untuk daerah yang memiliki nilai rasio rendah, seperti
halnya Kabupaten Kudus maka kebijakan yang perlu dilakukan adalah mendorong
masyarakat agar lebih produktif dalam meningkatkan ekonominya secara mandiri.
Langkah tersebut dapat dilakukan dengan memberikan berbagai macam pelatihan-
pelatihan dengan bekerja sama dengan instansi Disnakertrans maupun desperindag
kepada masyarakat yang sudah terjun sebagai entrepreneur maupun yang akan terjun
sebagai entrepreneur. Selain itu yang tidak kalah penting adalah memberikan
dukungan dana melalui pemberian kredit lunak kepada masyarakat. Hal tersebut dapat
41
dilakukan dengan bekerjasama dengan PD. BPR BKK yang terdapat pada masing-
masing daerah.
2. Berkenaan dengan pajak per kapita (tax per capita), bagi daerah kabupaten yang
memiliki rasio pajak per kapita rendah atau di bawah pajak per kapita Eks Karisidenan
Pati perlu menempuh kebijakan sebagai berikut: 1) Perlu adanya komunikasi yang baik
antara pemerintah dengan masyarakat, sehingga masyarakat lebih sadar dalam hal
membayar pajak, 2) Memperluas potensi penerimaan pajak itu sendiri, langkah
tersebut dapat dilakukan dengan cara, a) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
lebih produktif dalam melakukan kegiatan ekonomi baik dalam bidang produksi
maupun jasa secara mandiri, b) Menarik investor dari luar daerah guna menurunkan
pengangguran di wilayah kabupaten tersebut, sehingga memperluas potensi
penerimaan pajak di daerah tersebut.
3. Berkenaan dengan rasio ruang fiskal, bagi daerah-daerah di Eks Karisidenan Pati yang
memiliki rasio ruang fiskal rendah dapat menerapkan beberapa kebijakan sebagai
berikut, yaitu: 1) Memanfaatkan ruang fiskal yang ada untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi melalui perbaikan berbagai sektor lapangan usaha yang dinilai masih
memberikan kontribusi penerimaan fiskal yang rendah, 2) Mengoptimalkan lapangan
usaha yang dinilai telah memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan fiskalnya,
3) Mengurangi penggunaan anggaran bagi hal-hal yang sifatnya kurang memberikan
kontribusi produktif dalam penerimaan fiskal daerah.
4. Berkenaan dengan rasio ketergantungan daerah, bagi daerah yang memiliki rasio
ketergantungan daerah tinggi, maka pemerintah daerah perlu melakukan kebijakan
dengan mengoptimalkan seluruh potensi-potensi yang dimiliki daerah yang belum
optimal pengelolaannya untuk mengurangi ketergantungan daerahnya kepada
pemerintah pusat.
5. Berkenaan dengan kemandirian daerah, bagi daerah yang memiliki rasio kemandirian
daerah rendah seperti Jepara dan Blora, pemerintah daerah tersebut dapat menerapkan
beberapa kebijakan seperti: mengoptimalkan sumber daya manusia maupun sumber
daya alam yang dimilikinya. Untuk mewujudkan hal tersebut dapat ditempuh dengan
jalan, 1) Lebih berhati-hati dalam mengelola pendapatan daerahnya, misal dengan
mengurungi belanja-belanja daerah yang dipandang kurang produktif, seperti halnya
42
pengeluaran untuk belanja pegawai, untuk kemudian dialihkan untuk belanja modal,
sehingga mampu memacu pertumbuhan sektor ekonominya, 2) Memberikan dukungan
kepada UMKM, misal memberikan pelatihan-pelatihan manajerial, maupun
memberikan bantuan kredit lunak.
6. Berkenaan dengan derajad desentralisasi, bagi daerah yang memiliki derajad
desentralisasi rendah, maka terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh
pemerintah daerah bersangkutan, yaitu: daerah perlu lebih kreatif dan inovatif dalam
menggali sumber-sumber daya yang dimilikinya. Misal dengan memprioritaskan
berbagai sektor yang menjadi potensi daerah yang selama ini belum optimal
pengelolaannya, atau meningkatkan kualitas pendidikan dari penduduk daerahnya.
7. Berkenaan dengan rasio efektivitas PAD, rendahnya rasio efektivitas suatu daerah
menunjukkan bahwa daerah bersangkutan belum optimal mengelola dana yang
tersedia untuk dimanfaatkan sebaik mungkin dalam menghasilkan pelayanan dan
kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakatnya. Sehingga bagi daerah
yang dinilai masih memiliki rasio efektivitas PAD rendah maka pemerintah daerah
kabupaten bersangkutan perlu meningkatkan pengawasan terhadap instansi-instansi
yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan anggaran, langkah tersebut dapat
dilakukan dengan, 1) Menciptakan sistem pemerintahan yang lebih baik, misal dengan
menerapkan sistem e-gaverment, 2) Bekerjasama dengan DPRD untuk bersama-sama
ikut dalam mengawasi intansi yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan
anggaran, 3) Mengoptimalkan peran serta lembaga keswadayaan masyarakat dalam
memberikan pengawasan terhadap pengelolaan anggaran.
8. Berkenaan dengan rasio efisiensi PAD, untuk meningkatkan efisiensi dalam
pengeloaan PAD, maka kebijakan yang perlu diambil oleh pemerintah daerah adalah
1) Lebih realistis dalam menerapkan target pemungutan Pendapatan Asli Daerahnya,
2) Lebih realistis dalam mengeluarkan biaya untuk kebutuhan peningkatan
pendapatannya.
9. Berkenaan dengan efektivitas pajak daerah, hasil penelitian menunjukkan bahwa semua
daerah di Eks Karisidenan Pati telah dianggap mampu melakukan pemungutan pajak
secara efektif. Berkenaan dengan temuan tersebut maka saran yang dapat diberikan
adalah minimal mempertahankan kondisi seperti saat ini yang telah dinilai baik.
43
10. Berkenaan dengan analisis pertumbuhan pendapatan, pada dasarnya kinerja
pengelolaan keuangan pada daerah-daerah di wilayah tersebut adalah baik, berkenaan
dengan fakta tersebut maka langkah yang perlu diambil oleh masing-masing daerah
adalah minimal mempertahankan keberhasilan yang telah dicapai seperti saat ini.
Penelitian tentang revenue capacity (kapasitas pendapatan) ini memiliki keterbatasan,
yaitu:
1. Penelitian hanya dilakukan selama 5 tahun sehingga tidak dapat mencerminkan kondisi
keuangan daerah dalam waktu panjang.
2. Hasil penelitian hanya terbatas pada rasio pajak, pajak per kapita, ruang fiskal, rasio
ketergantungan keuangan daerah, rasio kemandirian keuangan daerah, derajat
desentralisasi, rasio efektivitas dan efesiensi PAD, rasio efektivitas pajak daerah, analisis
pertumbuhan pendapatan, sehingga kesimpulan yang didapat terbatas pada alat-alat
analisis tersebut yang digunakan untuk mengambarkan revenue capacity Pemerintah
Daerah se Eks Karesidenan Pati.
3. Setiap 4 tahun terjadi pergeseran atau perubahan dalam struktur manajemen keuangan
daerah, kondisi tersebut tentu menjadikan kebijakan-kebijakan keuangan yang ditempuh
oleh masing-masing daerah tesebut juga berbeda-beda, hal ini tentu akan mempengaruhi
pertumbuhan pendapatan di daerah tersebut.
44
DAFTAR PUSTAKA
Anggraheni, Wiwid. (2014). Revenue Capacity Pemerintah Kabupaten/Kota Se Eks
Karesidenan Semarang Tahun Anggaran 2008-2012. Fakultas Ekonomika Dan Bisnis.
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Aswandi, H & Kuncoro, M. (2002). Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan : Studi Empiris
Kalimantan Selatan 1993-1999. Jurnal Ekonomika dan Bisnis Indonesia.
Boedi, Soelistijono. (2012). Analisis Kinerja Keuangan Pada APBD Pemerintahan Kabupaten
Banjar Kalimantan Selatan. Jurnal Spread Vol. 2, No. 2, Oktober. STIE Indonesia,
Banjarmasin.
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, (2012). Deskripsi dan Analisis APBD 2012,
Jakarta.
Dewi, Candra, P . (2014). Revenue Capacity Pemerintah Kabupaten/Kota Se Eks Karesidenan
Pekalongan Tahun Anggaran 2008-2012. Fakultas Ekonomika Dan Bisnis.
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Harianto, D., dan P. Hari Adi (2007). Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal,
Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita. Jurnal Simposium Nasional
Akuntansi X. Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Universitas Kristen Satya
Wacana,Salatiga.
Harini, Dinny, N. (2013). Analisis Komparasi Perkembangan Kemampuan Keuangan Berbasis
Rasio Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Antara Daerah Dengan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tinggi dan Rendah Di Era Otonomi (Studi
Pada Kabupaten dan Kota Di Jawa Barat). Fakultas Ekonomi, Universitas Widyatama,
Bandung.
Mahdalena. (2013). Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan
Dengan Analisis Rasio. Fakultas Ekonomi, Universitas IBA, Palembang.
Mahmudi. (2010). Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Sekolah Tinggi Ilmu
Manajemen YKPN, Yogyakarta.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
45
Peraturan Menteri KeuEangan No. 73/PMK.02/2006. Tentang Peta Kapasitas Fiskal Dalam
Rangka Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah Kepada Daerah Dalam Bentuk Hibah.
Renyowijoyo, M. (2008). Akuntansi Sektor Publik Organisasi Non Laba. Mitra Wacana Media,
Jakarta.
Sariono, E., Subekti, S., dan Burhanuddin Usman , S. (2007). Manusia dan Perilaku Ekonomi.
Ganeca Exact, Jakarta.
Steviyani. (2014). Revenue Capacity Pemerintah Kabupaten/Kota Se Eks Karesidenan
Surakarta Tahun Anggaran 2008-2012. Fakultas Ekonomika Dan Bisnis. Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Sartika, Dewi. (2011). APBD Kabupaten Kota Di Wilayah Sumatera Bagian Selatan Era
Otonomi Daerah.Jurnal Akuntansi Vol. 2 No.3.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Pemerintah Di Daerah.
Undang – Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah.
Veraningsih, Etsie. (2009). Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Kapasitas Fiskal Di
Provinsi Jawa Timur. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Pembangunan Vol. 1, No.1,
November. Universitas Jember, Jember.
Wardhani, Anita, P. (2012). Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2005-
2010. Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
RASIO PAJAK Kabupaten Jepara Rp. %
2008 Penerimaan Pajak 13.941.162.661,00 0,187 PDRB 7.455.878.010.000,00
2009 Penerimaan Pajak 16.024.843.459,00 0,195
PDRB 8.206.221.970.000,00 2010 Penerimaan Pajak 18.702.755.639,00 0,205 PDRB 9.118.487.150.000,00 2011 Penerimaan Pajak 25.022.287.383,00 0,247 PDRB 10.119.549.880.000,00 2012 Penerimaan Pajak 28.434.798.831,00 0,253 PDRB 11.217.718.060.000,00
Kabupaten Pati Rp. %
2008 Penerimaan Pajak 12.569.740.710,80 0,163 PDRB 7.705.219.450.000 2009 Penerimaan Pajak 14.590.186.301,00 0,174 PDRB 8.386.572.240.000 2010 Penerimaan Pajak 17.694.377.277,00 0,189 PDRB 9.385.510.680.000 2011 Penerimaan Pajak 30.247.445.039,00 0,289
PDRB 10.456.446.850.000
2012 Penerimaan Pajak 25.002.619.458,00 0,217
PDRB 11.534.382.850.000
Kabupaten Kudus
Rp. %
2008 Penerimaan Pajak 15.745.884.037,00 0,058
PDRB 27.245.392.300.000,00
2009 Penerimaan Pajak 19.592.883.982,00 0,068
PDRB 28.946.886.480.000,00
2010 Penerimaan Pajak 21.681.679.660,00 0,069
PDRB 31.466.464.940.000,00 2011 Penerimaan Pajak 36.687.744.537,00 0,108
PDRB 33.848.973.320.000,00 2012 Penerimaan Pajak 36.659.444.000,00 0,099 PDRB 36.959.414.940.000
Kabupaten Blora Rp. %
2008 Penerimaan Pajak 7.008.511.926,00 0,193
PDRB 3.636.796.250.000,00
2009 Penerimaan Pajak 8.116.956.841,00 0,203
PDRB 3.993.823.810.000,00
2010 Penerimaan Pajak 9.427.005.382,00 0,211
PDRB 4.472.315.200.000,00
2011 Penerimaan Pajak 11.177.375.259,00 0,230
PDRB 4.868.973.890.000,00
2012 Penerimaan Pajak 11.486.783.665,00 0,216
PDRB 5.310.079.660.000,00
Kabupaten Rembang Rp. %
2008 Penerimaan Pajak 7.622.038.604,00 0,188 PDRB 4.064.237.920.000,00
2009 Penerimaan Pajak 9.242.620.000,00 0,207
PDRB 4.454.481.360.000,00
2010 Penerimaan Pajak 13.358.017.629,00 0,269
PDRB 4.969.778.940.000,00
2011 Penerimaan Pajak 14.568.408.017,00 0,268
PDRB 5.440.169.440.000,00
2012 Penerimaan Pajak 21.691.251.109,00 0,364
PDRB 5.951.888.890.000,00
PAJAK PER KAPITA
Kabupaten Jepara % 2008 Penerimaan Pajak 13.941.162.661,00 12780,220 1278022,024 Jumlah Penduduk 1.090.839,00 2009 Penerimaan Pajak 16.024.843.459,00 14463,208 1446320,755
Jumlah Penduduk 1.107.973,00
2010 Penerimaan Pajak 18.702.755.639,00 17044,652 1704465,190
Jumlah Penduduk 1.097.280,00
2011 Penerimaan Pajak 25.022.287.383,00 22257,802 2225780,165
Jumlah Penduduk 1.124.203,00
2012 Penerimaan Pajak 28.434.798.831,00 24835,707 2483570,745
Jumlah Penduduk 1.144.916,00
Kabupaten Pati %
2008 Penerimaan Pajak 12.569.740.710,80 10728,651 1072865,062
Jumlah Penduduk 1.171.605
2009 Penerimaan Pajak 14.590.186.301,00 12414,729 1241472,858
Jumlah Penduduk 1.175.232
2010 Penerimaan Pajak 17.694.377.277,00 14856,827 1485682,727
Jumlah Penduduk 1.190.993
2011 Penerimaan Pajak 30.247.445.039,00 25237,141 2523714,073
Jumlah Penduduk 1.198.529
2012 Penerimaan Pajak 25.002.619.458,00 20707,835 2070783,515
Jumlah Penduduk 1.207.399
Kabupaten Kudus %
2008 Penerimaan Pajak 15.745.884.037,00 20913,063 2091306,264
Jumlah Penduduk 752.921,00 2009 Penerimaan Pajak 19.592.883.982,00 25805,611 2580561,052
Jumlah Penduduk 759.249,00
2010 Penerimaan Pajak 21.681.679.660,00 28356,670 2835666,953
Jumlah Penduduk 764.606,00
2011 Penerimaan Pajak 36.687.744.537,00 47652,363 4765236,255 Jumlah Penduduk 769.904,00 2012 Penerimaan Pajak 36.659.444.000,00 46996,214 4699621,435 Jumlah Penduduk 780.051
Kabupaten Blora % 2008 Penerimaan Pajak 7.008.511.926,00 8214,740 821473,965 Jumlah Penduduk 853.163,00
2009 Penerimaan Pajak 8.116.956.841,00 9450,696 945069,573 Jumlah Penduduk 858.874,00 2010 Penerimaan Pajak 9.427.005.382,00 11361,561 1136156,112 Jumlah Penduduk 829.728,00
2011 Penerimaan Pajak 11.177.375.259,00 13405,858 1340585,782
Jumlah Penduduk 833.768,00
2012 Penerimaan Pajak 11.486.783.665,00 13570,829 1357082,868
Jumlah Penduduk 846.432,00
Kabupaten Rembang %
2008 Penerimaan Pajak 7.622.038.604,00 12993,876 1299387,577
Jumlah Penduduk 586.587,00
2009 Penerimaan Pajak 9.242.620.000,00 15670,265 1567026,495
Jumlah Penduduk 589.819,00
2010 Penerimaan Pajak 13.358.017.629,00 22512,501 2251250,106
Jumlah Penduduk 593.360,00
2011 Penerimaan Pajak 14.568.408.017,00 24391,989 2439198,880
Jumlah Penduduk 597.262,00
2012 Penerimaan Pajak 21.691.251.109,00 36135,403 3613540,267
Jumlah Penduduk 600.277,00
RUANG FISKAL
Kabupaten Jepara 2008 Total Pendapatan 750.047.469.500,00 299.071.424.691,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya) a. DAK 61.272.000.000,00 b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian -
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah) -
a. Belanja Pegawai 389.704.044.809,00
b. Belanja Bunga -
2009 Total Pendapatan 798.597.312.970,00 281.077.739.862,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 76.104.000.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian -
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 441.415.573.108,00
b. Belanja Bunga -
2010 Total Pendapatan 902.872.340.359,00 266.819.419.136,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 64.454.400.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 47.252.742.400,00
c. Pendapatan Hibah 9.002.728.320,00
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 515.343.050.503,00
b. Belanja Bunga -
2011 Total Pendapatan 1.170.172.671.250,00 377.272.915.60,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 70.691.600.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 140.958.459.240,00
c. Pendapatan Hibah 930.466.763,00
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 580.319.229.587,00
b. Belanja Bunga -
2012 Total Pendapatan 1.304.004.470.978,00 418.398.516.437,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 76.460.530.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 116.288.445.000,00
c. Pendapatan Hibah 47.168.818.092,00
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 645.688.161.449,00
b. Belanja Bunga -
Kabupaten Pati
2008 Total Pendapatan 886.445.867.243,01 283.999.539.974,01
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 66.068.000.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 25.471.217.200,00
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat 8.000.000.000,00
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 502.907.110.069,00
b. Belanja Bunga -
2009 Total Pendapatan 929.443.296.777,54 280.783.990.185,54
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 75.860.000.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 25.613.403.000
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 547.185.903.592,00
b. Belanja Bunga -
2010 Total Pendapatan 1.001.675.112.579,11 186.103.163.373,11
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 66.729.600.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 74.205.533.426,00
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 674.636.815.780,00
b. Belanja Bunga -
2011 Total Pendapatan 1.229.009.231.288,00 214.368.556.544,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 65.371.600.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 184.299.039.960,00
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah) a. Belanja Pegawai 764.970.034.784,00
b. Belanja Bunga -
2012 Total Pendapatan 1.477.993.189.757,00 360.655.079.047,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 80.449.020.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 174.374.050.000,00
c. Pendapatan Hibah 96.775.000,00
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 862.418.265.710,00
b. Belanja Bunga -
Kabupaten Kudus
2008 Total Pendapatan 774.638.582.965,83 308.324.065.862,83
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 47.293.000.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 40.954.256.777,00
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat 8.500.000.000,00
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 369.455.721.326,00
b. Belanja Bunga 111.539.000,00
2009 Total Pendapatan 906.929.401.736,88 302.591.590.760,88
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 59.851.000.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 120.661.104.847,00
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat 14.868.876.000,00
(Belanja Daerah) a. Belanja Pegawai 408.861.689.620,00
b. Belanja Bunga 95.140.509
2010 Total Pendapatan 837.477.196.522,00 269.714.872.218,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 30.502.200.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 44.505.022.000,00
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 492.670.189.937,00
b. Belanja Bunga 84.912.367,00
2011 Total Pendapatan 1.005.232.562.979,00 37.411.577.377,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 38.321.100.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 106.558.786.500,00
c. Pendapatan Hibah 2.000.000.000,00
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 820.870.297.722,00
b. Belanja Bunga 70.801.380,00
2012 Total Pendapatan 1.147.302.763.565,00 398.483.571.295,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 58.346.760.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 88.545.748.000,00
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 600.872.030.740,00
b. Belanja Bunga 1.054.653.530,00
Kabupaten Blora
2008 Total Pendapatan 711.701.566.955,00 220.867.418.494,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 56.700.000.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 7.924.316.400,00
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat 3.000.000.000,00
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 423.140.432.044,00
b. Belanja Bunga 69.400.017,00
2009 Total Pendapatan 722.238.085.646,00 192.864.960.248,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 52.242.000.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 14.375.625.000,00
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 462.694.455.358,00
b. Belanja Bunga 61.045.040
2010 Total Pendapatan 809.229.173.421,00 123.675.138.756,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 82.515.300.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 61.039.289.200,00
c. Pendapatan Hibah 562.618.000,00
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 541.381.534.397,00
b. Belanja Bunga 55.293.068,00
2011 Total Pendapatan 1.007.775.882.838,00 152.048.466.806,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 77.094.400.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 166.799.485.080,00
c. Pendapatan Hibah 257.071.750,00
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 611.532.249.402,00
b. Belanja Bunga 44.209.800,00
2012 Total Pendapatan 1.127.245.001.473,00 289.412.369.258,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 53.989.760.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 105.770.570.000
c. Pendapatan Hibah 1.511.525.750,00
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 676.524.892.037,00
b. Belanja Bunga 35.884.428,00
Kabupaten Rembang 2008 Total Pendapatan 579.272.806.693,00 197.884.708.494,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 51.071.000.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 5.929.952.600,00
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 323.905.308.100,00
b. Belanja Bunga 481.837.499,00
2009 Total Pendapatan 608.044.827.149,00 195.482.180.202,00
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya) a. DAK 56.633.000.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian -
c. Pendapatan Hibah -
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 354.548.978.593,00
b. Belanja Bunga 1.380.668.354
2010 Total Pendapatan 681.400.890.462,62 130.071.021.650,62
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 48.878.400.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 63.527.474.400,00
c. Pendapatan Hibah 1.099.042.917,00
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 437.783.561.426,00
b. Belanja Bunga 41.390.069,00
2011 Total Pendapatan 873.464.930.507,62 184.075.841.354,62
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 62.327.200.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 113.035.151.300,00
c. Pendapatan Hibah 831.235.340,00
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 513.159.175.138,00
b. Belanja Bunga 36.327.375,00
2012 Total Pendapatan 1.017.711.677.635,86 267.103.451.625,86
(Pendapatan yang sudah ditetapkan
Penggunaannya)
a. DAK 78.350.660.000,00
b. Dana Otonomi Khusus/penyesuaian 96.417.785.000,00
c. Pendapatan Hibah 680.367.844,00
d. Pendapatan Dana Darurat -
(Belanja Daerah)
a. Belanja Pegawai 575.137.030.254,00
b. Belanja Bunga 22.382.912,00
KETERGANTUNGAN KEUANGAN DAERAH
Kabupaten Jepara Rp. %
2008 Pendapatan Transfer 615.704.970.161,00 0,821 82,089
Total Pendapatan 750.047.469.500,00
2009 Pendapatan Transfer 649.650.620.070,00 0,813 81,349
Total Pendapatan 798.597.312.970,00
2010 Pendapatan Transfer 670.274.785.673,00 0,742 74,238
Total Pendapatan 902.872.340.359,00
2011 Pendapatan Transfer 727.835.169.770,00 0,622 62,199
Total Pendapatan 1.170.172.671.250,00
2012 Pendapatan Transfer 853.435.775.057,00 0,654 65,447
Total Pendapatan 1.304.004.470.978,00
Kabupaten Pati Rp. % 2008 Pendapatan Transfer 779.173.680.901,00 0,879 87,899 Total Pendapatan 886.445.867.243,01 2009 Pendapatan Transfer 820.013.223.639,00 0,882 88,226 Total Pendapatan 929.443.296.777,54
2010 Pendapatan Transfer 745.708.224.518,00 0,744 74,446
Total Pendapatan 1.001.675.112.579,11
2011 Pendapatan Transfer 809.997.548.224,00 0,659 65,907
Total Pendapatan 1.229.009.231.288,00
2012 Pendapatan Transfer 1.253.844.354.226,00 0,848 84,834
Total Pendapatan 1.477.993.189.757,00
Kabupaten Kudus Rp. % Total Pendapatan 774.638.582.965,83 2009 Pendapatan Transfer 761.091.341.480,00 0,839 83,920
Total Pendapatan 906.929.401.736,88 2010 Pendapatan Transfer 706.608.044.696,00 0,844 84,373 Total Pendapatan 837.477.196.522,00 2011 Pendapatan Transfer 829.640.920.314,00 0,825 82,532
Total Pendapatan 1.005.232.562.979,00
2012 Pendapatan Transfer 980.207.641.692,00 0,854 85,436
Total Pendapatan 1.147.302.763.565,00
Kabupaten Blora Rp. %
2008 Pendapatan Transfer 6.047.663.147.705,00 8,497 849,747
Total Pendapatan 711.701.566.955,00
2009 Pendapatan Transfer 672.541.434.937,00 0,931 93,119
Total Pendapatan 722.238.085.646,00
2010 Pendapatan Transfer 743.695.142.362,00 0,919 91,902
Total Pendapatan 809.229.173.421,00
2011 Pendapatan Transfer 912.112.701.186,00 0,905 90,507
Total Pendapatan 1.007.775.882.838,00
2012 Pendapatan Transfer 966.382.423.390,00 0,857 85,730
Total Pendapatan 1.127.245.001.473,00
Kabupaten Rembang Rp. %
2008 Pendapatan Transfer 485.820.547.535,00 0,839 83,867
Total Pendapatan 579.272.806.693,00
2009 Pendapatan Transfer 501.618.169.784,00 0,825 82,497
Total Pendapatan 608.044.827.149,00
2010 Pendapatan Transfer 590.740.740.551,00 0,867 86,695
Total Pendapatan 681.400.890.462,62
2011 Pendapatan Transfer 718.862.694.237,00 0,823 82,300
Total Pendapatan 873.464.930.507,62
2012 Pendapatan Transfer 832.503.969.811,00 0,818 81,802
Total Pendapatan 1.017.711.677.635,86
KEMANDIRIAN DAERAH
Kabupaten Jepara Rp. %
2008 PAD 67.984.834.230,00 0,101 10,079
Transfer 670.943.149.857,00
Pinjaman 3.597.267.661,00
2009 PAD 71.919.859.343,00 0,100 10,030
Transfer 711.007.253.627,00
Pinjaman 6.005.721.625,00
2010 PAD 84.734.935.696,00 1,500 150,047
Transfer 47.252.742.400,00
Pinjaman 9.219.342.444,00
2011 PAD 103.642.014.200,00 0,662 66,161
Transfer 140.958.459.240,00
Pinjaman 15.693.408.400,00
2012 PAD 129.076.570.089,00 0,113 11,288
Transfer 1.127.759.082.797,00
Pinjaman 15.693.408.400,00
Kabupaten Pati
2008 PAD 80.677.766.092,01 0,104 10,354
Transfer 779.173.680.901,00
Pinjaman -
2009 PAD 90.667.623.138,54 0,111 11,057
Transfer 820.013.223.639,00
Pinjaman -
2010 PAD 112.526.536.706,11 0,130 13,016
Transfer 864.513.707.873,00
Pinjaman -
2011 PAD 134.475.561.623,00 0,127 12,705
Transfer 1.058.454.984.665,00
Pinjaman -
2012 PAD 163.733.665.531,00 0,131 13,059
Transfer 1.253.844.354.226,00
Pinjaman -
Kabupaten Kudus
2008 PAD 71.520.067.976,83 0,106
Transfer 670.628.672.993,00
Pinjaman 2.741.531.627,30
2009 PAD 83.045.780.415,88 0,108
Transfer 761.091.341.480,00
Pinjaman 4.482.736.077,31
2010 PAD 94.032.742.826,00 0,133
Transfer 706.608.044.696,00
Pinjaman 2.005.626.851,13
2011 PAD 108.458.832.665,00 0,130
Transfer 829.640.920.314,00
Pinjaman 1.498.114.366,44
2012 PAD 121.017.026.873,00 0,123
Transfer 980.207.641.692,00
Pinjaman 1.021.865.935,47
Kabupaten Blora 2008 PAD 50.203.912.750,00 0,0745 7,447
Transfer 672.541.434.937,00 Pinjaman 1.589.156.126,00 2009 PAD 49.696.650.709,00 0,0737 7,374 Transfer 672.541.434.937,00
Pinjaman 1.376.499.113,54
2010 PAD 47.087.584.059,00 0,0633 6,327
Transfer 743.695.142.362,00
Pinjaman 554.410.219,00
2011 PAD 67.021.769.902,00 0,0722 7,216
Transfer 912.112.701.186,00
Pinjaman 16.675.367.632,69
2012 PAD 81.987.007.133,00 0,0845 8,450
Transfer 966.382.423.390,00
Pinjaman 3.876.942.460,00
Kabupaten Rembang
2008 PAD 51.150.558.424,00 0,0965 9,653
Transfer 511.060.604.019,00
Pinjaman 18.846.765.583,23
2009 PAD 56.887.895.318,00 0,1079 10,790
Transfer 526.713.981.831,00
Pinjaman 533.982.665,23
2010 PAD 65.699.258.994,62 0,1101 11,007
Transfer 590.740.740.551,00
Pinjaman 6.138.298.029,57
2011 PAD 73.931.945.930,62 0,0992 9,915
Transfer 718.862.694.237,00
Pinjaman 26.771.593.298,23
2012 PAD 103.304.514.980,86 0,1216 12,156
Transfer 832.503.969.811,00
Pinjaman 17.327.790.151,87
DERAJAT DESENTRALISASI
Kabupaten Jepara Rp. %
2008 PAD 67.984.834.230,00 0,091 9,064
Total Pendapatan 750.047.469.500,00
2009 PAD 71.919.859.343,00 0,090 9,006
Total Pendapatan 798.597.312.970,00
2010 PAD 84.734.935.696,00 0,094 9,385
Total Pendapatan 902.872.340.359,00
2011 PAD 103.642.014.200,00 0,089 8,857
Total Pendapatan 1.170.172.671.250,00
2012 PAD 129.076.570.089,00 0,099 9,898
Total Pendapatan 1.304.004.470.978,00
Kabupaten Pati Rp. % 2008 PAD 80.677.766.092,01 0,091 9,101 Total Pendapatan 886.445.867.243,01
2009 PAD 90.667.623.138,54 0,098 9,755
Total Pendapatan 929.443.296.777,54
2010 PAD 112.526.536.706,11 0,112 11,234
Total Pendapatan 1.001.675.112.579,11
2011 PAD 134.475.561.623,00 0,109 10,942
Total Pendapatan 1.229.009.231.288,00
2012 PAD 163.733.665.531,00 0,111 11,078
Total Pendapatan 1.477.993.189.757,00
Kabupaten Kudus Rp. %
2008 PAD 71.520.067.976,83 0,092 9,233
Total Pendapatan 774.638.582.965,83
2009 PAD 83.045.780.415,88 0,092 9,157 Total Pendapatan 906.929.401.736,88
2010 PAD 94.032.742.826,00 0,112 11,228
Total Pendapatan 837.477.196.522,00
2011 PAD 108.458.832.665,00 0,108 10,789
Total Pendapatan 1.005.232.562.979,00
2012 PAD 121.017.026.873,00 0,105 10,548
Total Pendapatan 1.147.302.763.565,00
Kabupaten Blora Rp. %
2008 PAD 50.203.912.750,00 0,071 7,054
Total Pendapatan 711.701.566.955,00
2009 PAD 49.696.650.709,00 0,069 6,881
Total Pendapatan 722.238.085.646,00
2010 PAD 47.087.584.059,00 0,058 5,819
Total Pendapatan 809.229.173.421,00
2011 PAD 67.021.769.902,00 0,067 6,650
Total Pendapatan 1.007.775.882.838,00
2012 PAD 81.987.007.133,00 0,073 7,273
Total Pendapatan 1.127.245.001.473,00
Kabupaten Rembang Rp. %
2008 PAD 51.150.558.424,00 0,088 8,830
Total Pendapatan 579.272.806.693,00
2009 PAD 56.887.895.318,00 0,094 9,356
Total Pendapatan 608.044.827.149,00
2010 PAD 65.699.258.994,62 0,096 9,642
Total Pendapatan 681.400.890.462,62
2011 PAD 73.931.945.930,62 0,085 8,464
Total Pendapatan 873.464.930.507,62
2012 PAD 103.304.514.980,86 0,102 10,151
Total Pendapatan 1.017.711.677.635,86
RASIO EFEKTIVITAS PAD
Kabupaten Jepara Rp. %
2008 Realisasi PAD 67.984.834.230,00 1,096 109,646
Target PAD 62.003.754.000,00
2009 Realisasi PAD 71.919.859.343,00 1,056 105,612
Target PAD 68.098.430.000,00
2010 Realisasi PAD 84.734.935.696,00 1,103 110,286
Target PAD 76.832.316.000,00
2011 Realisasi PAD 103.642.014.200,00 1,057 105,713
Target PAD 98.041.215.000,00
2012 Realisasi PAD 129.076.570.089,00 1,141 114,075
Target PAD 113.150.581.000,00
Kabupaten Pati Rp. %
2008 Realisasi PAD 80.677.766.092,01 1,209 120,923
Target PAD 66.718.048.500,00
2009 Realisasi PAD 90.667.623.138,54 1,233 123,318
Target PAD 73.523.592.000,00
2010 Realisasi PAD 112.526.536.706,11 1,131 113,116
Target PAD 99.478.926.000,00
2011 Realisasi PAD 134.475.561.623,00 1,167 116,731
Target PAD 115.201.507.000,00
2012 Realisasi PAD 163.733.665.531,00 1,167 116,706
Target PAD 140.295.358.000,00
Kabupaten Kudus Rp. %
2008 Realisasi PAD 71.520.067.976,83 1,207 120,723
Target PAD 59.243.316.000,00
2009 Realisasi PAD 83.045.780.415,88 1,127 112,666
Target PAD 73.709.952.000,00
2010 Realisasi PAD 94.032.742.826,00 1,019 101,942
Target PAD 92.241.864.000,00
2011 Realisasi PAD 108.458.832.665,00 0,949 94,946
Target PAD 114.232.379.000,00
2012 Realisasi PAD 121.017.026.873,00 1,042 104,200
Target PAD 116.138.722.000,00
Kabupaten Blora Rp. %
2008 Realisasi PAD 50.203.912.750,00 1,106 110,637
Target PAD 45.377.229.000,00
2009 Realisasi PAD 49.696.650.709,00 0,994 99,393 Target PAD 50.000.000.000,00
2010 Realisasi PAD 47.087.584.059,00 0,833 83,341
Target PAD 56.500.000.000,00
2011 Realisasi PAD 67.021.769.902,00 1,154 115,356
Target PAD 58.100.000.000,00
2012 Realisasi PAD 81.987.007.133,00 1,335 133,529
Target PAD 61.400.000.000,00
Kabupaten Rembang Rp. % 2008 Realisasi PAD 51.150.558.424,00 0,963 96,255
Target PAD 53.140.716.000,00 2009 Realisasi PAD 56.887.895.318,00 0,976 97,581
Target PAD 58.298.074.000,00
2010 Realisasi PAD 65.699.258.994,62 0,840 83,985
Target PAD 78.227.428.000,00
2011 Realisasi PAD 73.931.945.930,62 0,887 88,695 Target PAD 83.354.852.000,00
2012 Realisasi PAD 103.304.514.980,86 1,087 108,694
Target PAD 95.041.791.800,00
RASIO EFESIENSI PAD
Kabupaten Jepara Rp. %
2008 Pembiayaan 5.024.954.000,00 0,074 7,391
Realisasi PAD 67.984.834.230,00
2009 Pembiayaan 9.649.750.000,00 0,134 13,417
Realisasi PAD 71.919.859.343,00
2010 Pembiayaan 9.707.868.416,00 0,115 11,457
Realisasi PAD 84.734.935.696,00
2011 Pembiayaan 9.950.941.000,00 0,096 9,601
Realisasi PAD 103.642.014.200,00
2012 Pembiayaan 8.653.543.951,00 0,067 6,704
Realisasi PAD 129.076.570.089,00
Kabupaten Pati Rp. %
2008 Pembiayaan 13.255.500.450,00 0,164 16,430
Realisasi PAD 80.677.766.092,01
2009 Pembiayaan 12.149.570.295,00 0,134 13,400
Realisasi PAD 90.667.623.138,54
2010 Pembiayaan 15.690.578.000,00 0,139 13,944
Realisasi PAD 112.526.536.706,11
2011 Pembiayaan 3.000.000.000,00 0,022 2,231
Realisasi PAD 134.475.561.623,00
2012 Pembiayaan 13.866.000.000,00 0,085 8,469
Realisasi PAD 163.733.665.531,00
Kabupaten Kudus Rp. %
2008 Pembiayaan 4.472.157.736,00 0,063 6,253
Realisasi PAD 71.520.067.976,83
2009 Pembiayaan 10.776.297.736,00 0,130 12,976
Realisasi PAD 83.045.780.415,88
2010 Pembiayaan 3.713.157.736,00 0,039 3,949
Realisasi PAD 94.032.742.826,00
2011 Pembiayaan 2.993.173.736,00 0,028 2,760
Realisasi PAD 108.458.832.665,00
2012 Pembiayaan 9.132.657.736,00 0,075 7,547
Realisasi PAD 121.017.026.873,00
Kabupaten Blora Rp. %
2008 Pembiayaan 2.552.402.958,00 0,051 5,084
Realisasi PAD 50.203.912.750,00
2009 Pembiayaan 3.977.782.958,00 0,080 8,004
Realisasi PAD 49.696.650.709,00
2010 Pembiayaan 1.215.957.957,00 0,026 2,582
Realisasi PAD 47.087.584.059,00
2011 Pembiayaan 3.482.657.958,00 0,052 5,196
Realisasi PAD 67.021.769.902,00
2012 Pembiayaan 19.931.167.624,00 0,243 24,310
Realisasi PAD 81.987.007.133,00
Kabupaten Rembang Rp. %
2008 Pembiayaan 2.762.306.842,00 0,054 5,400
Realisasi PAD 51.150.558.424,00
2009 Pembiayaan 19.757.282.842,00 0,347 34,730
Realisasi PAD 56.887.895.318,00
2010 Pembiayaan 4.175.435.482,00 0,064 6,355
Realisasi PAD 65.699.258.994,62
2011 Pembiayaan 53.450.842,00 0,001 0,072
Realisasi PAD 73.931.945.930,62
2012 Pembiayaan 14.440.865.413,00 0,140 13,979
Realisasi PAD 103.304.514.980,86
RASIO EFEKTIVITAS PAJAK DAERAH
Kabupaten Jepara Rp. %
2008 Realisasi Pajak 13,941,162,661.00 1.055 105.497
Target Pajak 13,214,801,000.00
2009 Realisasi Pajak 16,024,843,459.00 1.141 114.122
Target Pajak 14,041,890,000.00
2010 Realisasi Pajak 18,702,755,639.00 1.144 114.425
Target Pajak 16,344,983,000.00
2011 Realisasi Pajak 25,022,287,383.00 1.087 108.658
Target Pajak 23,028,465,000.00
2012 Realisasi Pajak 28,434,798,831.00 1.217 121.726
Target Pajak 23,359,752,000.00
Kabupaten Pati Rp. %
2008 Realisasi Pajak 12,569,740,710.80 1.060 105.958
Target Pajak 11,862,899,000.00
2009 Realisasi Pajak 14,590,186,301.00 1.090 109.004
Target Pajak 13,385,000,000.00
2010 Realisasi Pajak 17,694,377,277.00 1.072 107.172
Target Pajak 16,510,320,000.00 2011 Realisasi Pajak 30,247,445,039.00 1.337 133.695
Target Pajak 22,624,249,000.00
2012 Realisasi Pajak 25,002,619,458.00 1.105 110.460
Target Pajak 22,635,000,000.00
Kabupaten Kudus Rp. %
2008 Realisasi Pajak 44,428,917,000.00 1.185 118.463
Target Pajak 37,504,446,000.00
2009 Realisasi Pajak 19,592,883,982.00 1.095 109.478
Target Pajak 17,896,612,000.00
2010 Realisasi Pajak 21,681,679,660.00 1.023 102.297
Target Pajak 21,194,751,000.00
2011 Realisasi Pajak 36,687,744,537.00 1.155 115.514
Target Pajak 31,760,386,000.00
2012 Realisasi Pajak 38,572,029,915.00 1.052 105.217
Target Pajak 36,659,444,000.00
Kabupaten Blora Rp. %
2008 Realisasi Pajak 7,008,511,926.00 1.168 116.809
Target Pajak 6,000,000,000.00
2009 Realisasi Pajak 8,116,956,841.00 1.231 123.061
Target Pajak 6,595,900,000.00
2010 Realisasi Pajak 9,427,005,382.00 0.978 97.840
Target Pajak 9,635,100,000.00
2011 Realisasi Pajak 11,177,375,259.00 1.064 106.415
Target Pajak 10,503,616,000.00
2012 Realisasi Pajak 11,486,783,665.00 1.167 116.654
Target Pajak 9,846,848,000.00
Kabupaten Rembang Rp. %
2008 Realisasi Pajak 7,622,038,604.00 1.079 107.884
Target Pajak 7,065,000,000.00
2009 Realisasi Pajak 9,859,879,106.00 1.067 106.678
Target Pajak 9,242,620,000.00
2010 Realisasi Pajak 13,358,017,629.00 1.024 102.400
Target Pajak 13,045,000,000.00
2011 Realisasi Pajak 14,568,408,017.00 0.981 98.104
Target Pajak 14,850,000,000.00
2012 Realisasi Pajak 21,691,251,109.00 1.271 127.119
Target Pajak 17,063,722,000.00
ANALISIS PERTUMBUHAN PENDAPATAN
Kabupaten Jepara Rp. %
2008 Pendapatan t 750,047,469,500.00 0.088 8.757
Pendapatan t-1 689,656,990,657.00
2009 Pendapatan t 798,597,312,970.00 0.065 6.473
Pendapatan t-1 750,047,469,500.00
2010 Pendapatan t 902,872,340,359.00 0.131 13.057
Pendapatan t-1 798,597,312,970.00
2011 Pendapatan t 1,170,172,671,250.00 0.296 29.606
Pendapatan t-1 902,872,340,359.00
2012 Pendapatan t 1,304,004,470,978.00 0.114 11.437
Pendapatan t-1 1,170,172,671,250.00
Kabupaten Pati Rp. %
2008 Pendapatan t 886,445,867,243.01 0.142 14.192
Pendapatan t-1 776,279,067,879.40
2009 Pendapatan t 929,443,296,777.54 0.049 4.851
Pendapatan t-1 886,445,867,243.01
2010 Pendapatan t 1,001,675,112,579.11 0.078 7.772
Pendapatan t-1 929,443,296,777.54
2011 Pendapatan t 1,229,009,231,288.00 0.227 22.695
Pendapatan t-1 1,001,675,112,579.11
2012 Pendapatan t 1,477,993,189,757.00 0.203 20.259
Pendapatan t-1 1,229,009,231,288.00
Kabupaten Kudus Rp. %
2008 Pendapatan t 774,638,582,965.83 0.161 16.110
Pendapatan t-1 667,161,323,657.48
2009 Pendapatan t 906,929,401,736.88 0.171 17.078
Pendapatan t-1 774,638,582,965.83
2010 Pendapatan t 837,477,196,522.00 -0.077 -7.658
Pendapatan t-1 906,929,401,736.88
2011 Pendapatan t 1,005,232,562,979.00 0.200 20.031
Pendapatan t-1 837,477,196,522.00
2012 Pendapatan t 1,147,302,763,565.00 0.141 14.133
Pendapatan t-1 1,005,232,562,979.00
Kabupaten Blora Rp. %
2008 Pendapatan t 711,701,566,955.00 0.105 10.530
Pendapatan t-1 643,901,838,064.00
2009 Pendapatan t 722,238,085,646.00 0.015 1.480
Pendapatan t-1 711,701,566,955.00
2010 Pendapatan t 809,229,173,421.00 0.120 12.045
Pendapatan t-1
722,238,085,646.00
2011 Pendapatan t 1,007,775,882,838.00 0.245 24.535
Pendapatan t-1 809,229,173,421.00
2012 Pendapatan t 1,127,245,001,473.00 0.119 11.855
Pendapatan t-1 1,007,775,882,838.00
Kabupaten Rembang Rp. %
2008 Pendapatan t 579,272,806,693.00 0.135 13.527
Pendapatan t-1 510,249,537,172.00
2009 Pendapatan t 608,044,827,149.00 0.050 4.967
Pendapatan t-1 579,272,806,693.00
2010 Pendapatan t 681,400,890,462.62 0.121 12.064
Pendapatan t-1 608,044,827,149.00
2011 Pendapatan t 873,464,930,507.62 0.282 28.187
Pendapatan t-1 681,400,890,462.62
2012 Pendapatan t 1,017,711,677,635.86 0.165 16.514
Pendapatan t-1 873,464,930,507.62