resume

6

Click here to load reader

Transcript of resume

Page 1: resume

(Dewey in The Child and The Curriculum)

Apa itu pendidikan? Bagi John Dewey, pendidikan tidak lain adalah hidup itu sendiri.

Dan hidup ini bukan hanya perkara hidup personal tapi secara luas menyangkut kehidupan

masyarakat itu juga. Karena itu pendidikan adalah sebuah keniscayaan dan berlangsung

secara alami, berfungsi sosial lantaran berlangsung dalam masyarakat itu sendiri, memiliki

nilai dan makna membimbing lantaran kebiasaan hidup generasi lama yang berbeda dengan

generasi baru serta menjadi tanda perkembangan peradaban suatu masyarakat[1]. Pendidikan

tidak lain adalah usaha menjaga keberlangsungan masyarakat itu sendiri. Mengapa

masyarakat perlu mendidik dirinya sendiri?

Menurut Dewey, perubahan yang terjadi dalam masyarakat pasti ada dan tak terhindarkan.

Pandangan ini sebenarnya tidak terlepas dari pemikiran filsafatnya mengenai realitas yang

dipandangnya selalu mengalir. Tidak mengherankan jika Dewey berkata bahwa pendidikan

lantas menjadi sebuah proses pembaharuan terus-menerus demi kelangsungan masyarakat

dan anggota-anggotanya melalui keterampilan, tehnik, kreativitas, dan sebagainya. Sebuah

pembelajaran yang terus disampaikan, dikomunikasikan seturut dengan keadaan yang

dihadapi. Inilah yang membuat dia dikatakan sebagai seorang pemikir progresivisme.

Beberapa karyanya mengenai pendidikan antara lain, My Pedagogic Creed (1897), The

School and Society (1900), Child and Curriculum (1902), Democracy and Education (1916)

dan Experience and Education (1938). Keempat karya terakhir tampaknya merupakan uraian

Dewey sendiri atas apa yang diyakininya dalam My Pedagogic Creed. Dan perlu diingat

bahwa Dewey memikirkan pendidikan (baik formal maupun informal) selalu berada dalam

kerangka kebutuhan dan perkembangan masyarakat.

Pengalaman dan Pendidikan Anak

Mengapa Dewey memfokuskan diri pada pendidikan anak? Bagi Dewey, anak sesungguhnya

adalah salah satu pihak yang rentan terhadap penindasan. Bentuk penindasan ini tampak

dalam pendidikan. Karena itu, Dewey berupaya agar pendidikan sungguh-sungguh memberi

perhatian yang lebih besar kepada anak terutama dalam proses realisasi diri si anak. Dalam

proses pendidikan, Dewey melihat anak sebagai mahkluk yang belum dewasa, belum

berkembang. Di pihak lain, makna, nilai dan tujuan yang dihayati masyarakat berinkarnasi

dalam diri orang dewasa. Karena itu, letak proses pendidikan berada dalam interaksi dua

Page 2: resume

pihak ini. Dewey menyatakan hal ini berdasar pada penelitiannya atas pendidikan anak

sebelum dan adanya proses industri dalam masyarakat.

Penelitian Dewey mengenai pendidikan terhadap anak sebelum terjadinya industrialisasi di

kota-kota besar memperlihatkan bahwa pendidikan ini berlangsung di tengah keluarga.

Menurut Dewey, keseharian anak dalam keluarga sesungguhnya mengatakan dunia yang

mereka hayati dan hidupi. Jadi, waktu itu belum ada keterpisahan kebutuhan dalam situasi

keluarga dan masyarakat. Di dalam keluarga, anak-anak belajar apa yang dibutuhkan

masyarakat. Dan masyarakat secara tidak langsung mengajarkannya melalui orang tua[2].

Memang pengalaman si anak tidak langsung dari sendirinya menjelaskan apa yang

dibutuhkan masyarakat. Tapi, pengalaman mereka menandakan apa yang terjadi dan menjadi

kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat.

Setelah terjadinya industrialisasi, para orang tua harus bekerja. Implikasinya, pendidikan

anak diserahkan kepada mereka yang bertugas mengajari. Pada tahap ini mulai terjadi apa

yang disebut pendidikan formal, adanya sekolah, sebuah lingkungan khusus[3]. Tujuan

adanya sekolah adalah agar pengalaman keseharian yang diperoleh anak dapat membuat

mereka mampu tumbuh dan berkembang dalam situasi masyarakat di mana mereka hidup[4].

Namun, dengan semakin kompleksnya perkembangan masyarakat, tujuan ini semakin

menyimpang. Penyimpangan yang dapat dirasakan secara langsung adalah anak bukan lagi

menjadi pusat dan tujuan dari pendidikan. Anak digantikan oleh pelajaran-pelajaran yang

diberikan. Menurut Dewey, hal ini sangat berbahaya. Mengapa? Karena pelajaran-pelajaran

yang diberikan didasarkan pada satu prinsip pengetahuan yang dirumuskan dan

diinterpretasikan lepas dari pengalaman anak[5].

Pendekatannya kepada pendidikan seperti ini harus dilihat dari gagasan filsafat

instrumentalisnya. Dewey berpandangan bahwa realitas ini tidak pernah tetap, selalu

mengalir. Akal budi manusialah yang dapat menangkap perubahan ini. Akal budi ini

sekaligus menjadi instrumen untuk mencapai keadaan yang lebih baik dari sebelumnya.

Dalam pendidikan, kasus utamanya adalah anak. Apa yang dimengeri anak adalah apa yang

dijalani dalam keseharian hidupnya. Ia belajar dan berkomunikasi dari apa yang menjadi

pengalamannya. Ia berkembang dari apa yang ia pelajari itu. Karena itu, mengajari sesuatu

yang tidak pernah mencakup pengalamannya akan menjadi bahaya dan kesulitan untuk hidup

dengan lebih baik dalam masyarakat.

Page 3: resume

Pemahaman Dewey di atas membuat kita melihat bahwa Dewey lebih menekankan psikologi

anak dalam pendidikan. Hal ini tidak berlebihan jika menyimak apa yang dikatakan Dewey

sendiri yakni bahwa dunia anak pada dasarnya utuh, tidak terbagi, integral, dalam dunianya

mereka tidak terlalu memperhatikan fakta dan hukum-hukum kausalitas, bukan kebenaran

kepada fakta-fakta eksternal melainkan simpati dan afeksi yang menjadi kunci pemahaman di

sini[6]. Dari pengertian ini, maka pendidikan anak tidak dapat dipisah-pisahkan. Pendidikan

karena itu adalah proses yang bertujuan baik bagi anak dan sekaligus pula bagi kehidupan

sosial.

Lantas bagaimana dengan pendidikan di sekolah? Apa yang seharusnya diajarkan? Pada poin

inilah kita akan masuk ke dalam kurikulum dari pendidikan formal.

Kurikulum dan Pendidikan Anak

Dewey meyakini bahwa pusat dari kurikulum seharusnya mencakup pengalaman anak.

Kurikulum bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Jika kurikulum menjadi tujuan pendidikan,

itu berarti anak berhenti berpikir, berhenti merenungkan pengalamannya, dan pada akhirnya

kematian masyarakat itu sendiri. Pendidikan harus membawa konsep mengenai perubahan

dan perkembangan masyarakat. Menurut Dewey, sekolah dan kurikulumnya harus

mengajarkan hal-hal yang berguna bagi anak dalam kehidupan sehari-hari serta akhirnya

mampu menciptakan masyarakat yang lebih baik. Kurikulum harus mengabdi kepada anak

sehingga dengan bantuan kurikulum anak dapat merealisasikan dirinya, mewujudkan bakat-

bakat, nilai, sikap untuk hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, apa yang tersaji dalam

kurikulum adalah interaksi antar anak didik serta interaksi guru dan murid. Bukan relasi

menguasai atau pun relasi subjek-objek di mana anak adalah pihak yang harus menerima

tanpa bertanya. Interaksi ini bukan hanya persoalan interaksi fisik, tapi juga bersifat

sosiologis. Artinya, nilai, tujuan, sikap, makna telah termasuk di dalamnya. Seringkali, hal-

hal demikian disebut sebagai kurikulum tersembunyi.

Melalui penelitiannya terhadap pendidikan pada masyarakat industri, Dewey melihat sekolah

dan kurikulumnya memisahkan aspek-aspek pengalaman anak menjadi apa yang disebutnya

spesialisasi. Bagi Dewey, dengan pemisahan demikian anak seolah-olah dapat menjawabi

seluruh permasalahan. Dewey justru berpandangan sebaliknya. Pemisahan ini akan membawa

masalah serius di tataran praktis. Pengalaman si anak (brute experience) dikoyakkan dan

diatur menurut sebuah prinsip tertentu. Anak tercerabut dari dunianya. Dewey menyebutkan

3 akibat dari hal ini. Pertama, dunia pribadi anak berhadapan dengan dunia impersonal yang

Page 4: resume

sempit namun karena ditata berdasarkan prinsip tertentu, anak seolah berhadapan dengan

semua persoalannya. Kedua, keterpisahan integralitas hidup anak dan adanya spesialisasi dan

pembagian dalam kurikulum. Ketiga, prinsip klasifikasi yang logis berhadapan dengan ikatan

yang utuh dari hidup anak. Ketiga hal ini mau mengatakan bahwa anak dan kurikulum seperti

dua aspek yang sangat berbeda.

Sampai di sini kita telah melihat kritik Dewey atas kurikulum yang demikian. Tapi,

pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mengapa kurikulum tetap diperlukan dalam

pendidikan formal? Kurikulum tetap diperlukan lantaran kurikulum adalah mediasi dalam

pendidikan formal. Kurikulum bukanlah pengganti pengalaman anak. Kurikulum adalah

sebuah peta yang mengarahkan anak mencari jati dirinya[7]. Nilai dan makna kurikulum

hanya terletak dalam metodenya dan wawasan yang diberikannya. Karena itu, anak dan

kurikulum sesungguhnya menggambarkan dua sisi mata uang dari proses yang sama. Apa

yang dimaksud proses di sini. Dewey menggambarkannya dengan baik, “Fakta dan

kebenaran yang dihidupi dalam pengalaman keseharian anak, dan fakta dan kebenaran yang

termuat dalam mata pelajaran pada dasarnya adalah sebuah interaksi awal dan akhir dari satu

realitas.”[8] Dengan kata lain, dalam pandangan Dewey, pendidikan terhadap anak dan

kurikulum sesungguhnya tidaklah berbeda.

Dalam kurikulum tercakuplah pengalaman anak di mana pengalaman mengartikulasikan

keberlangsungan dan interaksi. Di satu sisi, keberlangsungan memaksudkan relasi dengan

dunia di sekitar mereka dan di sisi lain interaksi memaksudkan relasi pengaruh situasional

pribadi atas pengalamannya sendiri terhadap orang lain sampai baik pengalamannya sendiri

maupun orang lain menjadi milik bersama. Akhirnya, semuanya mengarah kepada realisasi

diri yang berguna baik bagi hidup personal maupun kehidupan masyarakat. Jadi,

sebagaimana dalam agama, demikian juga dalam pendidikan: Mendapatkan seluruh

pengetahuan tapi kehilangan jati dirinya adalah sesuatu yang memalukan.

Beberapa Catatan Kritis

John Dewey pada dasarnya adalah seorang filosof yang berpandangan bahwa realitas ini

dibangun melalui tindakan akal budi berdasarkan ingatan kita akan pengalaman masa lalu.

Akal budi menggunakan ingatan ini sebagai cara atau alat untuk menciptakan sesuatu yang

lebih baik lagi. Nilai sesuatu yang baru itu bisa ditemukan melalui sebuah tindakan

eksperimental atas apa yang kita lakukan dan perbuat. Akal budi yang dilihat sebagai cara

atau alat inilah yang menjadikan Dewey sebagai seorang filsuf intrumentalis. Melalui cara

Page 5: resume

berpikir yang demikian, Dewey berusaha mengaplikasikannya dalam bidang pendidikan.

Sumbangan Dewey pada pendidikan terkenal dengan nama pendidikan yang berpusat kepada

anak. Meskipun demikian, pemikiran Dewey dalam pendidikan ternyata memiliki beberapa

kekurangan.

Pertama, penekanan Dewey terhadap akal budi sebagai alat dan sarana untuk mencapai

kehidupan personal dan masyarakat yang lebih baik didasarkan pada pengalaman sebagai

pengetahuan masa lalu. Ini mengakibatkan makna dan tujuan hidup seseorang bahkan

masyarakat kehilangan pendasarannya. Mengapa? Karena usaha menentukan tujuan yang

tertata dengan baik kehilangan dasar rasional. Pemahaman ini menghantar pada kekurangan

kedua, yakni bagaimana peran pendidik dipikirkan di sini sebagai orang dewasa di mana

nilai, tujuan, makna berinkarnasi di dalam mereka. Kesulitan ini terjadi karena masyarakat

terus berevolusi (progresif) ke arah bentuk yang lebih baik. Bentuk itu disebut Dewey sebagai

masyarakat demokratis. Cuma dasar bagi masyarakat ini ternyata kabur jika mengandalkan

pada pengalaman semata. Ketiga, ketika Dewey menggambarkan masyarakat industri di

Amerika melumpuhkan fungsi intelek dalam sekolah, ia melupakan fakta bahwa sekolah juga

melumpuhkan fungsi intelek dengan membiarkan pembelajaran menjadi tanggung jawab si

anak.

Sumbangsih bagi Pendidikan di Indonesia

Dari apa yang dibahas di atas, kita tahu bahwa gagasan pendidikan John Dewey sebenarnya

menekankan pendidikan yang berbasis pada pengalaman (experiential education) di mana

anak mempertanyakan segala sesuatu yang dialaminya, memikirkannya dan mencari solusi

untuk masalah yang dihadapi. Dalam konteks Indonesia, penerapan gagasan ini dapat

dilakukan dengan memanfaatkan monumen atau candi yang ada untuk pelajaran sejarah.

Kunjungan ke kebun binatang atau cagar alam untuk memahami alam lingkungan ini beserta

isinya. Pembelajaran kinestetik, penggunaan laboratorium, dan sebagainya.

Sejauh ini pendidikan kita memang masih menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Sebagai pendidikan yang berbasis kompetensi, itu berarti skill, kemahiran, kebiasaan

diharapkan dapat dihasilkan dari pendidikan itu. Harapan ini memang berdasar pada

kebutuhan masyarakat kita sendiri. Tapi, proses yang berlangsung seringkali dilumpuhkan

oleh sistem pendidikan yang mekanis. Nilai dan ijazah menjadi dua hal penting dibandingkan

dengan skill, bakat, minat dan keterampilan. Harus diakui masyarakat kita memang sedang

menuju masyarakat industri walaupun sebagian besar masih berkarakter agrikultural dan

Page 6: resume

malahan sangat multikultural. Inilah tantangan kita bersama dalam menetapkan arah

pendidikan yang sesuai dengan masyarakat kita.

Daftar Pustaka

Dewey, John. Democracy and Education. Diakses dari http://www.gutenberg.org.

…………… Schools and Society. Diakses

darihttp://www.brocku.ca/MeadProject/Dewey/Dewey_1907.html.

…………… The Child and The Curriculum. Diakses dari http://www.gutenberg.org.

[1] Democracy and Education bab 1 – 4.

[2] “The child’s life is an integral, a total one…The things that occupy him are held together

by the unity of the personal and social interests which his life carries along”. The Child and

The Curriculum. Diakses dari http://www.gutenberg.org

[3] The School and Society diakses

darihttp://www.brocku.ca/MeadProject/Dewey/Dewey_1907.html; lih. juga Democracy and

Educationbab 2 bagian 4.

[4] “Since what is required is a transformation of the quality of experience till it partakes in

the interests, purposes, and ideas current in the social group”. Democracy and Education bab

2 bagian 1.

[5] Dewey adalah seorang anti-metafisika. Ia mencoba mendasarkan realitas ini pada

pengalaman keseharian.

[6] The Child and Curriculum.

[7] Idem

[8] Idem