Resume Fix

download Resume Fix

of 35

Transcript of Resume Fix

PENDIDIKAN MORAL: KODE ETIK TOPIK I: PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS Pengambil keputusan tidak dapat dimulai sampai masalah yang ada teridentifikasi terlebih dahulu. Hal ini berarti juga mengenal lebih dalam prinsip etika professional secara umum dan prinsip spesifik dari disiplin professional. Menurut riset ada empat masalah yang paling sering menjadi sumber pelanggaran etika professional. Empat masalah tersebut antara lain :1. dual relationship yaitu hubungan antara professional dan klien yang

melebihi seharusnya mencakup hubungan finansial bahkan seksual;2. pelanggaran terhadap kepercayaan klien seperti tidak sengaja menceritakan

masalah klien kepada kerabat dan keluarga;3. memberikan treatment di luar kompetensi yang dimiliki; dan gagal

mengambil langkah dalam mencegah percobaan bunuh diri. 4. Pengambilan keputusan harus diawali dengan mengenali masalah yang ada terlebih dahulu (Steinman, 1998:17). Sarah O. Steinman dalam bukunya The Ethical Decision Making Manual for Helping Professionals menjelaskan proses terjadinya pengambilan keputusan. Proses tersebut digambarkan dengan tujuh tahap berikut: 1) Identifikasi standar etika Dalam melakukannya lebih baik bertanya dan mendiskusikannya dengan respected peer insting pribadi 2) Menetapkan kemungkinan jebakan etis 3) Membentuk respon awal Mendeskripsikan tindakan awal apa yang harus dilakukan berdasarkan analisis kode etik terkait sebelumnya. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah a) apa yang harus dilakukan menurut kode etik, b) apa yang atau asisten untuk menghindari penggunaan

harus dilakukan menurut hukum, c) apa pengaruh sistuasi terhadap respon, d) respon awal. 4) Mempertimbangkan konsekuensi Konsekuensi jangka pendek seperti pihak mana yang akan diuntungkan dan dirugikan? Kemudian apakah akan timbul konflik pada pihak tertentu? Selain itu pertimbangkan juga konsekuensi jangka panjang. Konsekuensi jangka panjang dapat berupa mempertimbangkan semua konsekuansi yang mungkin timbul, apakah keputusan akan menyebabkan terjadinya suatu hak yang tidak diinginkan pada pihak tertentu? Pertimbangan konsekuensi mungkin tidak merubah respon tapi dapat merubah detail respon tersebut. 5) Menyiapkan resolusi etis6) Memperoleh feedback

Setiap profesional membutuhkan feedback atau umpan balik sebelum menyelesaikan dilema etika. Memperoleh feedback dapat dilakukan dengan bertukar pikiran dan mengoreksi ulang tindakan yang akan dilakukan dengan supervisor atau rekan kerja. 7) Mengambil tindakan (Steinman, 1998: 18-19) PERAN KODE ETIK DALAM PENGAMBILAN DAN PENERAPAN

KEPUTUSAN ETIS Di era modern seperti ini, isu-isu etika semakin umum diperbincangkan. Banyak yang menilai bahwa teori-teori etika yang sudah dikemukakan sejauh ini perlu diterapkan pada berbagai macam bidang yang ada, terutama pada bidang yang menyangkut keberlangsungan hidup seseorang. Empat cabang etika terapan yang mendapat perhatian paling banyak adalah etika kedokteran, etika bisnis, etika tentang perang dan damai, serta etika lingkungan hidup (Bertens, 2007:270). Namun pada dasarnya suatu permasalahan tidak dapat dilihat dari satu sisi saja, tapi juga perlu ditinjau dari berbagi macam perspektif ilmu lainnya. Misalnya adalah kasus euthanasia, sekilas kasus ini mungkin terkesan berfokus pada etika kedokteran, akan tetapi kasus ini sebenarnya juga melibatkan aspek-aspek

psikologis dan hukum. Oleh karena itu etika psikologi dan hukum patut dipertimbangkan pula dalam melakukan pengambilan keputusan etis pada kasus euthanasia. Produk nyata dari etika terapan adalah kode etik, yaitu pedoman tingkah laku moral suatu kelompok khusus (Bertens, 2007:280). Kode etik ini berisi ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur kelompok tersebut untuk tetap berpegang teguh pada moralitas. Ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya merupakan hasil dari nilai dan cita-cita kelompok tersebut. Kelompok yang dimaksud di sini adalah mereka yang berasal dari suatu profesi dengan latar belakang pendidikan dan keahlian tertentu yang dimiliki secara tertutup oleh anggota dalam profesi tersebut. Dengan adanya kode etik ini, maka suatu profesi menjadi memiliki tanggung jawab khusus yang turut melindungi praktisi maupun klien. Melalui kode etik, klien pun akan semakin terjamin dari kecurigaan akan dipermainkan ketika meminta jasa suatu profesi. Kode etik dapat mengalami perubahan seiring dengan implikasi etis yang baru, sehingga dapat direvisi sewaktu-waktu. Agar kode etik ini berhasil, dibutuhkan pengawasan terus-menerus. Oleh karena itulah, biasanya kode etik diikuti sanksi-sanksi tertentu yang akan dikenai pada praktisi jika terjadi pelanggaran. Psikologi memiliki kode etik sendiri yang menjadi pedoman bagi para praktisi psikologi dalam melakukan praktek jasanya. Pengawasannya, untuk para praktisi psikologi Indonesia, dilakukan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Di dalam kode etik psikologi ini berisi empat belas bab, yaitu; I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. Pedoman Umum Mengatasi Isu Etika Kompetensi Hubungan antar Manusia Kerahasiaan Rekam dan Hasil Pemeriksaan Psikologi Iklan dan Pernyataan Publik Biaya Layanan Psikologi Pendidikan dan/atau Pelatihan

IX. X. XI. XII. XIII. XIV.

Penelitian dan Publikasi Psikologi Forensik Asesmen Intervensi Psikoedukasi Konseling Psikologi dan Terapi Psikologi Berdasarkan keempat belas bab di atas, dapat dilihat bahwa isi kode etik

psikologi telah berusaha untuk menjelaskan aturan-aturan praktisi psikologi secara lengkap. Hal ini tentunya sangat berperan besar dalam pengambilan keputusan etis dalam profesi bidang psikologi. Misalnya, seperti yang tertulis pada pasal 9 bahwa pengambilan keputusan harus berdasarkan pada pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang sudah teruji dan diterima secara luas atau universal dalam disiplin Ilmu Psikologi (Himpsi, 2010). Pengambilan keputusan yang dimaksud di sini tentunya termasuk keputusan yang etis, yang sesuai dengan kode etik psikologi. Berarti dalam pengambilan keputusan etis di profesi psikologi, harus memiliki dasar pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang sesuai dengan ilmu psikologi. Bayangkan saja jika suatu keputusan diambil hanya berdasarkan common sense dan tidak didukung oleh teori tentunya akan merugikan klien dan hal ini sudah melanggar pasal 9. Selain itu, dengan pertimbangan teori ilmiah yang sudah teruji maka praktisi psikologi dapat menganalisis dampak-dampak yang mungkin terjadi sehingga dapat mengambil keputusan yang etis dari pilihan-pilihan yang ada tersebut.

TOPIK II: ETIKA, MORAL DAN PERKEMBANGAN MORAL Etika Etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan . Etika berasal dari kata ethos , yaitu kebiasaan yang baik . Menurut KBBI (1988), etika adalah 1. Ilmu ttg apa yg baik & apa yg buruk dan ttg hak & kewajiban moral (akhlak) 2. Kumpulan asas atau nilai yg berkenaan dg akhlak 3. Nilai mengenai benar & salah yg dianut suatu golongan atau masyarakat Dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya. Berdasarkan uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa Etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Dalam etika, terdapat etika deskriptif, etika normatif dan juga metaetika. Sedangkan dalam etika normatif terdapat etika umum dan juga etika khusus. Etika termasuk salah satu cabang filsafat yang paling tua. Etika adalah sebuah ilmu, karena ia menjalankan refleksi kritis, metodis, dan sistematis tentang tingkah laku manusia yang berkaitan dengan norma. Etika disebut juga filsafat praktis karena cabang ini langsung berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia Moral Moral berasal dari bahasa latin yaitu mos (jamak mores) yang berarti juga adat kebiasaan. Dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.Moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Moral merupakan keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk (Bertens, 2002). Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda yakni segi batiniah dan segi lahiriah (Hadiwardoyo,1990)

Perkembangan Moral TINGKAT PERTUMBUHAN Tingkat Pramoral 0-6 th Tahap 0 Perbedaan antara baik dan buruk belum berdasarkan kewibawaan atau norma-norma Tingkat Konvensional Pra- Tahap 1 hukuman serta takut untuk berkuasa Tahap 2 Anak cenderung ego-sentris dan melakukan respon Tingkat Konvensional Tahap 3 Orang Tahap 4 Orang berpegang pada ketertiban moral dengan aturannya sendiri Pasca Konvensional Tahap 5 atau Berprinsip Persetujuan Tahap 6 Hati nurani pribadi , yang ditandai oleh prinsip-prinsip etis dan universalitas TOPIK III: TANTANGAN RELATIVISME BUDAYA/ KULTURAL TERHADAP ETIKA demokratis, kontrak konsensus bebas Penyesalan atau penghukuman sosial,diri karena tidak mengikuti hati nuraninya berpegang pada keinginan persetujuan dari orang lain Rasa bersalah pada orang lain jika dantidak mengikuti tuntutan-tuntutan lahiriah Takut untuk akibat-akibat negatif TAHAP PERTUMBUHAN PERASAAN

Anak cenderung patuh dan menghindaridari perbuatan

Tantangan Relativisme Budaya/Kultural terhadap Etika Moralitas berbeda-beda dalam masyarakat dan merupakan kesepahaman yang pas untuk kebiasaan-kebiasaan disepakati bersama-sama. 1. 2. Setiap Budaya Mempunyai Kode Moral yang Berbeda Relativisme Kultural Relativisme kultural memiliki pemikiran bahwa tidak ada hal yang disebut dengan kebenaran universal dalam etika. Yang ada hanya kode-kode budaya yang bermacam ragam. Terdapat tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh kaum relativis kultural. Tuntutan-tuntutan tersebut yaitu: 1. 2. Masyarakat berbeda mempunyai kode moral berbeda; Kode moral dari suatu masyarakat menentukan apa yang benar dalam

masyarakat itu. Artinya, jika kode moral dari suatu masyarakat mengatakan bahwa sesuatu tindakan adalah benar, maka tindakan itu memang benar, paling tidak untuk masyarakat itu sendiri; 3. 4. 5. 6. 3. Tidak ada standar objektif yang dapat digunakan untuk menilai sesuatu kode Kode moral dari masyarakat kita sendiri tidak mempunyai status istimewa Tidak ada kebenaran universal dalam etika yang berarti tidak ada Mengambil sikap toleransi terhadap praktek-praktek kebudayaan lain Argumentasi Perbedaan Kutural Relativisme kutural dalah teori tentang hakekat moralitas. relativisme kutural adalah sesuatu bentuk argumentasi. Dari fakta mengenai adanya perbedaan pandangan kutural menuju ke suatu kesimpulan mengenai status moralitas. Dan hal ini membuktikan bahwa: 1. 2. Kebudayaan berbeda mempunyai kode-kode moral berbeda; Oleh karena itu, tak ada kebenaran objektif dalam realitas. Benar atau masyarakat secara lebih baik dari yang lain; karena hanya merupakan salah satu dari antara yang banyak; kebenaran-kebenaran moral yang berlaku untuk semua orang dalam segala zaman; (Rachels, 2004: 46).

salah hanyalah soal pandangan, dan pandangan-pandangan itu bervariasi dari satu budaya ke budaya yang lain.

4.

Konsekuensi Dari Keyakinan Relativisme Kultural Hakikat Relativisme Kultural menurut William Graham Sumner adalah

bahwa tidak ada ukuran benar atau salah kecuali standar dari masyarakat itu sendiri. Adapun konsekuensi- konsekuensi dari relativime kultural adalah: 1. 2. Kita tidak dapat berkata bahwa adat kebiasaan lain lebih rendah derajat Kita dapat menilai apakah tindakan kita itu benar atau salah, cukup dengan moralnya dari adat kebiasaan masyarakat kita. mengukurnya dengan standard masyarakat kita. Relativisme kultural mengajukan tes sederhana untuk memutuskan manakah yang benar atau yang salah. 3. 5. Gagasan tentang kemajuan moral patut diragukan kemungkinannya. Ada Antara Kesan dan Kenyataan tentang Perbedaan Banyak faktor yang berperan bersama dalam menghasilkan adat kebiasaan sebuah masyarakat. Nilai-nilai masyarakat hanyalah satu dari antara factor tersebut. Hal-hal lain, seperti keyakinan-keyakinan religious dan factual yang dipegang oleh anggota-anggotanya dan lingkungan fisik di mana mereka harus hidup, juga penting. 6. Nilai-Nilai yang Sama Dalam Setiap Kebudayaan Ada aturan-aturan moral tertentu yang dianut secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat yang dikarenakan aturan-aturan tersebut sangat penting untuk kelestarian masyarakat. perubahan yang mengarah ke arah baik, dan ada pula yang ke arah buruk.

TOPIK IV: EGOISME PSIKOLOGI DAN EGOISME ETIS EGOISME PSIKOLOGIS

Intinya berpendapat bahwa kodrat manusia dalam kenyataannya secara psikologis cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri, dan termotivasi oleh kepentingan diri sendiri. Contohnya. Memang terlihat mementingkan orang lain dengan membantu orang tersebut menyebrang jalan, tetapi sebenarnya itu hanya merupakan sebuah kamuflase saja untuk mencari simpati atau pujian dar orang lain. Tindakan yang dilakukan tersebut merupakan perilaku menolong atau alturistik. Rachels dalam bukunya yang berjudul Filsafat Moral mengatakan bahwa perilaku alturistik dalam kenyataannya berkaitan dengan hal-hal seperti ini, hasrat untuk hidup yang lebih bermakna, hasrat untuk dikenal umum, perasaan kepuasan pribadi, dan harapan akan ganjaran surgawi. Thomas Hobes (1588-1679) dia membenarkan teori Egoisme Psikologis, serta dia berpendapat bahwa ada dua motif dalam diri manusia, yaitu: 1. Cinta Kasih, menurut Hobbes cinta kasih merupakan motif yang paling umum. Cinta kasih merupakan kesenangan yang diperoleh seseorang atau individu dalam memeperlihatakan kekuatan dirinya (eksisitensi). 2. Belas Kasih, dapat kita artikan dengan rasa simpati kita terhadap kemalangan orang lain. Tetapi menurut Hobes hal itu berbeda, alasan kita terganggu oleh kemalangan orang lain adalah karena kita diingatkan pada hal yang sama yang mungkin akan menimpa kita. EGOISME ETIS Egoisme Etis adalah pandangan yang radikal bahwa satu-satunya tugas adalah membela kepentingan dirinya sendiri dan hanya ada satu prinsip perilaku yang utama yaitu prinsip kepentingan diri, dan prinsip ini merangkum semua tugas dan kewajiban alami seseorang. Ayn Rand (1999) menyatakan bahwa ethical egoism ini merupakan hak asasi manusia, setiap orang mempunyai hak untuk memenuhi kepentingan terbaik mereka. Teori ini mengatakan bahwa seseorang seharusnya melakukan apa yang sesungguhnya paling menguntungkan bagi dirinya. Teori ini mendukung sikap selfishness, tetapi menolak foolishness.

TOPIK V: TEMA-TEMA ETIKA UMUM (HATI NURANI DAN MENJADI MANUSIA YANG BAIK) Hati Nurani

Secara sederhana, hati nurani dapat dinyatakan sebagai penghayatan tentang baik atau buruk yang berhubungan dengan tingkah laku kongkrit kita. Hati nurani bersifat memerintah atau melarang sebuah tindakan/perbuatan yang bersifat here and now (di sini dan saat ini). Berdasarkan dimensi waktu perbuatannya, hati nurani dibagi menjadi dua, yaitu: Hati Nurani Retrospektif Dinamakan retrospektif manakala penilaian berlaku pada perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan di masa lampau. Hati Nurani Prospektif Dinamakan prospektif manakala penilaian berlaku pada perbuatan-perbuatan yang akan datang. Dalam konteks ini, hati nurani terasa mengajak kita untuk melakukan suatu perbuatan baik. Adapun terhadap perbuatan tercela, hati nurani akan nelarang kita untuk melakukannya.

Terdapat dua sifat yang melekat pada hati nurani, yaitu personal dan adipersonal. Dikatakan bersifat personal, yaitu ketika hati nurani hanya berbicara atas nama personal (memberi penilaian tentang perbuatan diri sendiri). Sedangkan bersifat adipersonal, yaitu manakala suara hati nurani tersebut seolah-olah melebihi pribadi kita. Pada dasarnya, hati nurani tidak sama dengan superego. Adapun uraian mengenai perbedaan keduanya yaitu: Berdasarkan lingkup pembahasannya, hati nurani digunakan dalam konteks pembicaraan etis, sedangkan superego merupakan bahasan dalam konteks psikoanalisis. Berdasarkan keaktifannya, hati nurani hanya berfungsi dalam taraf kesadaran, sedangkan superego dapat berfungsi hingga dalam taraf ketidaksadaran. Meskipun hati nurani dan superego berbeda, namun keduanya memiliki hubungan. Menurut Sigmund Freud, superego bersifat lebih luas dari pada hati nurani. Oleh karena itu, superego meliputi fungsi-fungsi yang bermacam-macam, di antaranya fungsi observasi-diri, fungsi ideal dari aku, dan fungsi hati nurani. Dengan demikian, segala fenomena etis yang dinamakan hati nurani dapat dimengerti melalui aktivitas superego. Berbicara mengenai hati nurani pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks perkembangan seseorang. Lebih jelasnya, hal ini dijelaskan oleh Kohlberg tokoh perkembangan moral melalui teori perkembangan moralnya. Teori perkembangan moral Kohlberg terbagi menjadi tiga tingkatan yang masing-masing tingkatan terbagi menjadi dua tahap. Tingkat Prakonvensional Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan. Anak bersikap patuh untuk menghindari sebuah hukuman. Tahap 2 : Orientasi relatives instrumental. Anak mendasarkan diri atas egoism naf yang kadang-kadang ditandai relasi timbal balik. Tingkat Konvensional Tahap 3 : Penyesuaian dengan kelompok. Anak berpegang pada keinginan dan persetujuan dari lingkungannya.

Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban. Anak berpegang pada ketertiban moral dengan aturannya sendiri. Tingkat Pascakonvensional Tahap 5 : Orientasi kontrak-sosial legal. Orang berpegang pada persetujuan demokratis, kontrak social, dan konsensus bebas. Tahap 6 : Orientasi prinsip etika universal. Orang berpegang teguh pada hati nurani pribadi yang ditandai oleh universalitas. Menjadi Manusia yang Baik Kualitas moral perbuatan manusia dalam teori-teori tentang etika dibedakan menjadi tiga kategori perbuatan, yaitu (1) Perbuatan yang diharuskan, (2) Perbuatan yang dilarang, dan (3) Perbuatan yang dibolehkan. Maka, berbicara mengenai manusia yang baik dapat dijelaskan berdasarkan tiga karakter. Pertama, seseorang disebut orang kudus ketika seseorang tersebut melakukan hal yang tidak dilakukan orang lain karena orang lain terhambat dengan kepentingan sendiri atau keinginan yang tidak teratur. Kedua, pahlawan adalah ketika seseorang tersebut melakukan perbuatan dimana orang lain tidak melakuakannya karena terhambat oleh teror, ketakutan atau kecenderungan alamiah untuk mempertahankan hidupnya. Ketiga, seseorang disebut kudus atau pahlawan dengan keutamaan moral yang dia miliki. Seseorang akan disebut kudus atau pahlawan karena mekukan lebih dari apa yang diwajibkan, dengan catatan melakukannya karena dorongan alamiah atau karena suatu keterpaksaan karena tidak ada pilihan lain. Orang seperti ini telah melakukan suatu perbuatan supererogatoris. Biasanya orang demikian akan bersikap rendah hati. Hal ini mungkin disebabkan karena ia telah mengalami suatu kewajiban subyektif yang diperintahkan oleh hati nurani.

TOPIK VI: TEMA-TEMA ETIKA UMUM (SUNYEKTIVISME DALAM ETIKA, NILAI DAN NORMA) Subjektivisme dalam Etika Teori subjektivisme etis dimulai dari sebuah gagasan sederhana yang bermula dari kata-kata David Hume, bahwa moralitas itu merupakan soal perasaan saja dan merupakan sebuah fakta. Selanjutnya, gagasan Hume ini mengalami perkembangan lebih lanjut hingga pada akhirnya menjadi apa yang sekarang ini disebut sebagai subjektivisme sederhana. Subjektivisme sederhana mengartikan fakta moral sebagai kesan (perasaan) subjektif manusia. Dengan gagasan seperti ini, maka muncul beberapa keberatan dan penolakan dari pihak yang meyakini universalitas moral. Hal ini dikarenakan subjektivisme sederhana memiliki implikasi yang berlawanan dengan apa yang kita kenal sebagai kasus mengenai hakikat penilaian moral yang berlaku atas seluruh umat manusia secara universal. Selain itu, ada keberatan lain yang menyatakan bahwa subjektivisme sederhana tidak dapat menerangkan falibilitas (sifat salah yang melekat secara kodrati) manusia. Dengan kata lain, subjektivisme sederhana mengimplikasikan bahwa kita semua tidak bisa bersalah dalam putusan-putusan moral kita asalkan kita berbicara dengan tulus. Tetapi hal ini berlawanan dengan fakta bahwa tidak seorangpun dari kita tidak dapat tidak salah (infallible). Selain tidak dapat menerangkan falibilitas, subjektivisme sederhana juga tidak dapat menjelaskan fakta adanya perbantahan/ketidaksepahaman dalam etika. Pandangan lain tentang subjektivisme etika ialah emotivisme. Paham ini pertama kali dikembangkan oleh filsuf Amerika, Charles L. Stevenson. Emotivisme menganggap bahasa moral bukanlah bahasa yang menyatakan fakta karena tidak digunakan secara khusus untuk membawakan informasi, tapi sebenarnya bahasa moral digunakan untuk mempengaruhi perilaku seseorang. Bahasa moral juga digunakan untuk mengungkapkan bukan melaporkan perilaku seseorang. Paham emotivisme berbeda dari subjektivisme sederhana. Pertama, emotivisme tidak mengartikan putusan-putusan moral sebagai pernyataan yang benar ataupun salah sebagaimana paham subjektivisme sederhana. Dengan demikian, paham ini

sebenarnya mengatasi dikotomi kebenaran etik antara subjektivisme dan objektivisme (universalitas). Kedua, emotivisme menekankan lebih dari satu cara bagaimana orang berselisih. Hal ini mengingat emotivisme merupakan kumpulan kehendak-kehendak manusia yang sangat mungkin bertentangan satu dengan yang lainnya. Poin utama (point entry) untuk memasuki pembicaraan mengenai subjektivisme etik ialah pertanyaan mengenai keberadaan fakta moral. Melalui pengajuan pertanyaan adakah fakta moral?, akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa penalaran merupakan pertimbangan yang akan menghasilkan akibat yang diinginkan, yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku menurut cara yang diinginkan. Sehingga, setiap bentuk penalaran mengenai fakta moral pada akhirnya akan menghasilkan pertimbangan subjektif yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku yang hendak dimunculkan. Akhirnya, gagasan mengenai penalaran moral di atas akan menyeret pada pertanyaan selanjutnya mengenai pembuktian dalam bidang etika. Pembuktian dari kebenaran sebuah etika masih sukar dijelaskan, yaitu (1) jikalau bukti diminta, orang sering mempunyai standar yang tidak tepat dalam pikirannya, (2) Kedua, jikalau kita berpikir mengenai membuktikan pendapat etis kita sebagai yang benar, kita cenderung berpikir secara otomatis mengenai isu-isu yang sangat sukar. Dalam subjektivisme terdapat istilah subjektivisme sederhana yaitu gagasan dasar dari Subjektivisme Etis dalam suatu bentuk yang gamblang dan tidak rumit. Tetapi subjektivisme sederhana ini terbuka terhadap beberapa keberatan yang sedikit mencolok karena memiliki implikasi yang berlawanan dengan apa yang kita kenal sebagai kasus mengenai hakikat penilaian moral. Subjektivisme sederhana tidak dapat menerangkan falibiltas kita karena Subjektivisme sederhana mengimplikasikan bahwa kita semua tidak bisa bersalah dalam putusan-putusan moral kita asalkan kita berbicara dengan tulus. Tetapi hal ini berlawanan dengan fakta bahwa tidak seorangpun dari kita tidak dapat tidak salah (infallible).

Subjektivisme sederhana tidak dapat menjelaskan perbantahan maksudnya teori subjektivisme sederhana tidak dapat menjelaskan fakta bahwa ada ketidaksepahaman dalam etika. Perbedaan Antara Subjektivisme Sederhana Dan Emotivisme Subjektivisme Sederhana Emotivisme

Jika subjektivisme sederhana benar, maka emotivisme tidak mengartikan putusan-putusan kita tidak akan pernah salah dalam semua moral sebagai pernyataan yang benar ataupun putusan moral kita. Padahal itu berlawanan salah sehingga argumen yang sama tidak bisa dengan fakta bahwa kita tidak akan pernah melawannya. tidak salah, sehingga subjektivisme sederhana tidak bisa benar. Subjektivisme sederhana yang tidak dapat Emotivisme menekankan lebih dari satu cara menjelaskan perselisihan atau perbantahan. bagaimana orang berselisih.

Terjadi banyak perdebatan tentang apakah fakta moral itu benar-benar ada. Paham tentang penalaran yang tentu saja bersesuaian dengan ide dasar ini adalah bahwa penalaran merupakan pertimbangan yang akan menghasilkan akibat yang diinginkan, yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku menurut cara yang diinginkan. Pembuktian dari kebenaran sebuah etika masih sukar dijelaskan, beberapa hal dibawah ini merupakan buktinya:

Pertama, jikalau bukti diminta, orang sering mempunyai standar Kedua, jikalau kita berpikir mengenai membuktikan pendapat etis

yang tidak tepat dalam pikirannya. kita sebagai yang benar, kita cenderung berpikir secara otomatis mengenai isu-isu yang sangat sukar.

Nilai dan Norma

Menurut filsuf Jerman Amerika, Hans Jonas, nilai adalah the addressee of a yes, sesuatu yang ditujukan dengan ya kita. Nilai mempunyai konotasi positif, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya sesuatu yang baik. Sedangkan, kebalikannya disebut non nilai atau disvalue. Berdasarkan pengertian di atas, maka nilai mengandung tiga ciri umum, yaitu:1. Nilai berkaitan dengan subjek. Kalau tidak ada subjek maka suatu nilai tidak

akan pernah ada.2. Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, dimana subjek ingin membuat

sesuatu.3. Nilai-nilai menyangkut penambahan sifat oleh subjek pada sifat-sifat yang

dimiliki objek. Kaitannya nilai dengan moral, maka setiap nilai mendapat bobot moral jika disertai dengan tingkah laku moral. Misalnya, kesetiaan merupakan suatu nilai moral, tetapi kesetiaan itu sendiri kosong jika tidak diterapkan pada nilai-nilai umpamanya cinta antara dua sejoli. Adapun ciri-ciri nilai moral ialah sebagai berikut:1.

Berkaitan dengan tanggung jawab kita. Manusia bertanggung jawab Mewajibkan secara absolut, tidak bias ditawar. Nilai moral harus Berkaitan dengan hati nurani kita. Nilai selalu mengandung

karena ia bebas memilih.2.

diakui dan direalisasikan.3.

himbauan untuk diwujudkan. Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan himbauan suara hati nurani.4.

Bersifat Formal. Nilai-nilai moral tidak terpisah dengan nilai-nilai

lain (membonceng pada nilai-nilai lain) Selain berkaitan dengan nilai, moral juga berkaitan dengan norma. Norma moral berasal dari bahasa latin yang memiliki arti carpenters square, yaitu sikusiku yang digunakan tukang kayu untuk memastikan apakah benda yang dikerjakan sudah benar-benar lurus. Secara sederhana, norma moral dapat diartikan sebagai kaidah atau aturan yang dipakai sebagai tolok ukur menilai sesuatu. Berdasarkan cakupannya, norma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1.

Norma Umum. Norma umum terbagi menjadi tiga, yaitu (1) norma

kesopanan, misalnya menghormati orang yang lebih tua, menerima sesuatu dengan tangan kanan, tidak berkata-kata kotor/kasar/sombong, tidak menyela pembicaraan, dan sebagainya; (2) norma hukum, yaitu norma yang bersifat tegas karena setiap tindakan yang melanggar norma ini akan dikenai sanksi/hukuman, misalnya para pejabat negara yang melakukan praktik korupsi akan mendapat sanksi/hukuman karena bertentangan dengan hukum negara; (3) norma moral, misalnya tindakan membunuh orang lain tanpa alasan yang jelas adalah bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh seluruh umat manusia di dunia.2.

Norma Khusus. Norma khusus cakupannya lebih spesifik dari pada

norma umum. Norma khusus terdiri dari dua macam, yaitu norma agama dan norma kesusilaan. Norma agama berkaitan dengan keyakinan masing-masing individu atas ajaran agama yang dianutnya, misalnya larangan memakan sapi bagi umat beragama Hindu. Sedangkan norma kesusilaan bersifat lebih spesifik karena ia berkaitan dengan hati nurani masing-masing individu. Misalnya, setiap orang yang berbohong pada dasarnya ia pasti tidak membenarkan kebohongan yang dilakukannya. Pelanggaran norma kesusilaan akan mendatangkan penyesalan bagi individu yang bersangkutan. Dalam hal ini, pembahasan akan lebih dikhususkan pada norma moral. Norma moral merupakan norma tertinggi, tidak bisa ditakhlukkan norma lain, bahkan norma moral-lah yang pada dasarnya menjadi pijakan untuk melakukan penilaian atas norma-norma lain. Berdasarkan ketentuan di atas, maka apabila ada sopansantun (etiket) yang melanggar norma moral maka etiket tersebut harus ditinjau kembali. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa norma moral bersifat objektif, absolut, dan universal. Norma moral yang objektif mengandaikan adanya kebebasan manusia dalam perbuatannya. Karena itu, meskipun norma mengandung unsur subjektifitas (karena ada subjek moral yang berupa manusia), tapi bukan berarti subjek (manusia) dapat sesuka hati memilih apa yang baik atau buruk baginya. Dengan kata lain, bukan manusia sendiri yang menentukan norma moral bagi

dirinya. Akan tetapi, harus disesuaikan pula dengan keberadaan manusia lain sehingga tercipta kebaikan bersama. Adapun norma moral bersifat universal, berarti norma moral tersebut berlaku selalu dan di manapun tempatnya. Misalnya, norma kejujuran diterima di manapun manusia berada. Contoh yang lain, misalnya tindakan terorisme tidak akan dapat dibenarkan sampai kapanpun. Pada umumnya orang tidak mempertanyakan norma moral, tetapi terkadang timbul masalah ketika norma hendak diterapkan. Ada kasus kongkrit tetapi apakah norma moral harus diterapkan untuk kasus tersebut? Misalnya, orang terpaksa mencuri karena kelaparan. Ada dilema moral untuk kasus tertentu (konflik dua norma), misalnya seorang pemuda pergi berperang membela negara atau menunggui ibunya yang sakit. Sehubungan dengan masalah di atas, maka terdapat dua cara yang dapat digunakan untuk menguji setiap norma moral yang hendak diterapkan, yaitu:1. 2.

Melihat konsistensinya tidak kontradiktif. Generalisasi norma dasar bagi aturan emas (the golden rule):

Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan atau Jangan berbuat terhadap orang lain apa yang Anda sendiri tidak inginkan diperbuat terhadap diri Anda Untuk menyelidiki keabsolutan norma moral maka ada yang disebut relativisme moral Adapun bagian terpenting dari norma moral ialah kewajiban menghormati martabat manusia. Hal ini berdasarkan apa yang dinyatakan oleh filsuf moral Jerman, Immanuel Kant, yaitu Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka. Misalnya, kita menggunakan jasa pembantu rumah tangga atau semua orang yang bekerja untuk kita. Tetapi, di samping menggunakan jasanya, kita juga harus menghormati mereka sebagai persona (pribadi manusia bermartabat) memberi haknya, berlaku sopan, tidak merendahkan, tidak menghina. Pada dasarnya, tindakan menghormati martabat manusia mencakup tiga hal, yaitu:1.

Martabat orang lain

2.Martabat diri sendiri 3.Martabat alam

TOPIK VII: TEMA-TEMA ETIKA UMUM (KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB, HAK DAN KEWAJIBAN) Kebebasan dan Tanggung Jawab

Tidak diketahui secara pasti apa pengertian sebenarnya dari kebebasan. Hal ini dikarenakan pembicaraan mengenai kebebasan tidak dapat terlepas dari pengalaman orang yang berbeda-beda. Misalnya, kebebasan yang ada di negaranegara timur tentunya sangat berbeda dengan negara-negara di barat. Meskipun tidak dapat diartikan secara pasti, namun arti dari pada kebebasan di atas dapat ditentukan berdasarkan pembagian sebagai berikut. Kebebasam Sosial-Politik. Yaitu kebebasan dalam ranah hubungan sesama manusia dalam konteks sosial-politik. Misalnya, kebebasan menyuarakan aspirasi di ranah publik. Kebebasan Individual. Yaitu kebebasan yang dimiliki individu sebagai makhluk yang otonom atas keberadaan diri sendiri. Kebebasan ini terbagi menjadi enam macam, yaitu kebebabasan kesewenang-wenangan, kebebasan fisil, kebebasan yuridis, kebebasan psikologis, kebebasan moral, dan kebebasan eksistensial. Kebebasan dan determinisme. Yaitu kebebasan yang masih terikat oleh ketentuan-ketentuan hukum tertentu yang melandasi setiap variasi tindakan kebebasan. Kebebasan ini umumnya banyak terdapat pada ajaran timur yang mempercayai adanya takdir dan garis nasib. Pada dasarnya, semua manusia pasti mendambakan akan sebuah kebebasan. Pada saat manusia sudah menggapai kebebasan tersebut, ia akan dihadapkan pada sejumlah persoalan. Kebebasan yang telah berada dalam genggamannya dapat berarti positif dan negatif. Kebebasan bermakna positif apabila digunakan untuk tujuan kebaikan dalam rangka mengembangkan potensi dirinya sehingga menjadi lebih kreatif, produktif, inovatif, dan sebagainya. Namun, kebebasan juga dapat berarti negatif. Kebebasan berarti negatif manakala digunakan tanpa mengenal batas-batas yang intrinsik dalam kebebasan itu sendiri. Batas-batas kebebasan terdiri dari empat hal, yaitu (1) faktor dari dalam (baik secara fisik maupun psikis); (2) lingkungan (baik lingkungan alamiah ataupun sosial); (3) kebebasan orang lain dan menghormati hak-hak orang lain; (4) tanggung jawab terhadap generasi masa depan yang akan menanggung segala dampak perbuatan yang dilakukan oleh generasi sekarang.

Oleh karena itulah, berbicara kebebasan selalu mengandaikan adanya tanggung jawab. Sebuah tindakan dikatakan bertanggung jawab manakala dapat dimintai penjelasan berkaitan dengan tingkah laku tersebut, sedangkan jawaban tersebut bukan sekedar asal bias menjawab saja melainkan juga tidak boleh mengelak bila dimintai penjelasan yang sebenarnya. Tanggung jawab dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tanggung jawab retrospektif dan tanggung jawab prospektif. 1.Tanggung jawah retrospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dan segala konsekuensinya. 2. Tanggung jawab prospektif adalah tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang. Dalam hidup sehari-hari kita lebih banyak mengalami tanggung jawab retrospektif, karena biasanya tanggung jawab baru dirasakan betul-betul, bila kita berhadapan dengan konsekuensinya. Sebelum perbuatan dilakukan, pelaku bersangkutan tentu sudah bertanggung jawab (dalam arti prospektif), tapi saat itu tanggung jawabnya masih terpendam dalam hatinya dan belum berhadapan dengan orang lain. Terdapat beberapa tingkatan dalam hal tanggung jawab. Sehingga setiap perbuatan seseorang dapat diketahui penyebabnya berdasarkan tingkat-tingkat tanggung jawab tersebut. Tentang perbuatan sejenis yang dilakukan oleh beberapa orang, bisa saja bahwa satu orang lebih bertanggung jawab daripada orang lain. Kita bisa membayangkan kasus-kasus berikut ini, lalu mempelajari derajat tanggung jawabnya. Misalnya tindakan mencuri yang dilakukan atas dasar penyebab yang berbeda-beda. Contohnya sebagai berikut: (a) Ali mencuri, tapi ia tidak tahu bahwa a mencuri. (b) Budi mencuri, karena dia seorang kleptoman. (c) Cipluk mencuri, karena dalam hal ini ia sangka Ia boleh mencuri. (d) Darso mencuri, karena orang lain memaksa dia dengan mengancam nyawanya. (e) Eko mencuri, karena a tidak bisa mengendalikan nafsunya. Selain itu, tanggung jawab juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu tanggung jawab secara pribadi dan tanggung jawab kolektif. Tanggung jawab pribadi misalnya tanggung jawab seorang anak atas izin pulang malam yang diberikan

orangtua padanya. Adapun tanggung jawab kolektif misalnya tanggung jawab kesebelasan tim sepak bola atas kekalahan dari tim yang lain. Kekalahan tersebut merupakan tanggung jawab seluruh pemain, mulai dari kipper hingga striker kepada pelatihnya. Hak dan Kewajiban Hak berasal dari bahasa latin Ius Iuris yang berarti hukum yang objektif. Pada akhir abad 17, muncul pengertian hak dalam arti modern. Pada dasarnya, hak merupakan klaim yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Adapun klaim tersebut bisa bersifat sah dan tidak sah. Hak yang sah inilah yang kemudian disebut dengan istilah hak yang legal. Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum misalnya undang undang dan aturan aturan yang legal secara hukum. Hak legal ini lebih banyak berbicara tentang hukum atau sosial. Misalnya, mengeluarkan peraturan bahwa veteran perang memperoleh tunjangan setiap bulan, maka setiap veteran yang telah memenuhi syarat yang ditentukan berhak untuk mendapat tunjangan tersebut. Hak legal harus dibedakan dari hak moral. Adapun hak moral merupakan hak yang didasarkan pada prinsip dan peraturan etis saja. Hak moral lebih bersifat soliderisasi atau individu. Misalnya, jika seorang majikan memberikan gaji yang rendah kepada wanita yang bekerja di perusahaannya padahal prestasi kerjanya sama dengan pria yang bekeja di perusahaannya. Dengan demikain majikan ini melaksanakan hak legal yang dimilikinya tapi dengan melnggar hak moral para wanita yang bekerja di perusahaannya. Dari contoh ini jelas sudah bahwa hak legal tidak sama dengan hak moral. Sehubungan dengan hak moral ini, ada beberapa tokoh yang menolak keberadaannya. Di antaranya seperti, Jeremy Bentham (hak harus diakui secara sosial & dipaksakan) dan Maclntyre (hak moral hanya khayalan dan fiksi belaka). Terdapat dua kemungkinan dalam hubungan antara hak legal dan hak moral, yaitu (1) hak moral belum tentu bersesuaian dengan hak legal; (2) hak moral bersesuaian dengan hak legal, sedangkan kesesuaian antara keduanya inilah kondisi yang paling ideal.

Selain hak legal dan hak moral, terdapat juga istilah hak konvensional. Pada umumnya, hak ini muncul karena manusia tunduk pada aturan-aturan dan konvensikonvensi yang disepakati bersama. Hak konvensional berbeda dengan hak moral karena hak tersebut tergantung pada aturan yang telah disepakati bersama anggota yang lainnya. Dan hak ini berbeda dengan hak Legal karena tidak tercantum dalam sistem hukum. Contoh hak konvensional, jika saya menjadi mahasiswa psikologi Unair, maka saya memiliki hak yaitu mendapat pengajaran dari dosen. Selanjutnya, hak dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Berikut akan disajikan pembagian jenis hak.1.

Hak khusus dan hak umum. Hak khusus adalah hak yang diperoleh

karena ada relasi khusus serta memiliki fungsi yang khusus pula. Sedangkan hak umum adalah hak yang dimiliki oleh semua orang (Hak Asasi Manusia).2.

Hak Positif dan negatif. Hak bersifat negatif jika kita bebas

melakukan sesuatu atau memiliki sesuatu tanpa larangan orang lain. Sedangkan hak bersifat positif jika seseorang memiliki hak untuk dibantu oleh orang lain. Dalam hal ini, hak negatif dibedaka menjadi dua, yaitu (1) negatif aktif (hak kebebasan), (2) negatif pasif (hak keamanan).3.

Hak individual dan hak sosial. Hak Individu ialah hak yang dimiliki

individu individu terhadap negara (negatif). Sedangkan hak sosial adalah hak yang dimiliki manusia bukan terhadap negara, melainkan justru sebagai anggota masyarakat bersama anggota anggota lain (positif). Setelah kita melihat dan membaca mengenai penjelasan hak serta jenisjenisnya, sekarang apakah ada hak yang bersifat absolut? Hak yang bersifat absolut adalah suatu hak yang bersifat mutlak tanpa pengecualian, berlaku dimana saja dengan tidak dipengaruhi oleh situasi dan keadaan. Namun ternyata hak tidak ada yang absolute. Menurut ahli etika, kebanyakan hak adalah hak prima facie atau hak pada pandangan pertama yang artinya hak itu berlaku sampai dikalahkan oleh hak lain yang lebih kuat. Setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan merupakan hak yang sangat penting. Manusia mempunyai hak untuk tidak dibunuh namun ini tidak berlaku dalam segala keadaan tanpa alasan yang cukup kuat. Seseorang yang membela diri akan penyerangan terhadap dirinya memiliki hak untuk membunuh

jika tidak ada cara lain yang harus dilakukan. Salah satu contoh lain adalah warga masyarakat yang mendapat tugas membela tanah air dalam keadaan perang. Kedua contoh tersebut adalah contoh dimana hak atas kehidupan yang seharusnya penting dan dapat dianggap sebagai hak absolute namun ternyata kalah oleh situasi, keadaan, alasan yang cukup. Dalam konteks demikian, maka berbicara mengenai hak selalu mengandaikan adanya kewajiban. Hubungan antara hak dan kewajiban dijelaskan sebagai berikut:1.

Dipandang dari segi kewajiban. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh

filsuf Inggris abad ke19, John Stuart Mill yang membedakan menjadi dua, yaitu (1) duties of perfect obligation (kewajiban sempurna). Menurut Mill kewajiban sempurna selalu terkait dengan hak orang lain, didasarkan atas keadilan; (2) duties of imperfect obligatio, (kewajiban tidak sempurna). Sedangkan kewajiban tidak sempurna tidak terkait dengan hak orang lain, dan tidak didasarkan oleh keadilan. 2.Dipandang dari segi hak, maka dapat dibagi menjadi dua jenis hak, yaitu (1) Hak negatif. Hak ini hampir selalu sesuai dengan kewajiban pada orang lain untuk tidak mengganggu atau campur tangan bila seseorang menjalankan hakhaknya; (2) Hak positif. Pembahasan hak ini lebih rumit dari pada hak negatif. Contoh hak positif di antaranya seperti, hak atas pekerjaan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Sebagaimana dijelaskan di atas, pembicaraan mengenai hak tidak dapat dilepaskan dari kewajiban. Kewajiban tersebut di antaranya seperti kewajiban terhadap diri sendiri. Kita memiliki kewajiban terhadap diri kita sendiri. Misalnya, kita wajib mempertahankan kehidupan kita. Orang yang membunuh diri ataupun menyia-nyiakan bakat yang dimilikinya karena lebih suka bermalas malasan termasuk orang yang melanggar kewajibannya terhadap dirinya sendiri. Namun, terdapat dua catatan penting mengenai kewajiban terhadap diri sendiri ini, yaitu: 1.Kewajiban terhadap diri kita tidak boleh dimengerti semata mata hanya kewajiban bagi diri kita sendiri. 2.Kewajiban terhadap diri sendiri sebenernya juga sebagai kewajiban kepada Tuhan.

TOPIK VIII: HEDONISME DAN EUDEMONISME Hedonisme Hedone dalam arti kata berarti nikmat atau kegembiraan . Aritippos berpendapat bahwa tujuan terakhir bagi kehidupan manusia atau apa yang sungguhsungguh baik bagi manusia adalah kesenangan (Badani, Aktual dan Individual). Hal itu terbukti karena sudah sejak kecil manusia merasa tertarik akan kesenangan dan bila telah tercapai dia tidak mencari sesuatu yang lain lagi, dan manusia selalu menjauh dari ketidaksenangan . Mengenai gerak itu Arittipos membedakan tiga kemungkinan: gerak yang kasar

-

gerak yang halus tiadanya gerak

Epikuros menyatakan bahwa Kesenangan sebagai tujuan kehidupan manusia. Ada kesenangan rohani dan memandang kesenangan secara keseluruhan (tdk aktual saja) Dengan menggunakan Pola hidup sederhana atau ataraxia yang memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk juga masa lampau dan masa depan . Dalam hal ini pentinglah pembedaan yang diajukan Epikuros antara tiga macam keinginan: 1. Keinginan alamiah yang perlu (seperti makanan) Keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti makanan yang enak) Keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan) Argumentasi hedonisme terdapat loncatan yang tidak dapat

Kritik hedonisme oleh bartens dipertanggungjawabkan. Hedonisme menyetarafkan kesenangan dengan moralitas yang baik 2. Hedonisme memiliki pandangan yang salah tentang kesenangan. Mereka berfikir sesuatu yang baik adalah kerena hal itu disenangi 3. Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam: manusia pada kodratnya mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan 4. Hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya saja. Eudemonisme Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aristoteles (348-322 S.M). Dalam bukunya Ethika Nikomakheia, mulai dengan menegaskan bahwa setiap manusia mengejar suatu tujuan dalam kegiatannya . Semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi, dalam terminologi modern kita dapat mengatakan: makna terakhir hidup manusia, adalah kebahagiaan (eudomonisme) Menurut Aristoteles ada dua macam keutamaan yaitu: 1. Keutamaan intelektual, yaitu menyempurnakan langsung rasio itu sendiri

2. Keutamaan moral , yaitu Pilihan-pilihan yang perlu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari Seseorang mencapai tujuan akhir dg menjalankan fungsinya dg baik. Jika manusia menjalankan fungsinya sbg manusia dg baik, ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan . Keutamaan yang mengutamakan jalan tengah itu oleh Aristoteles disebut phronesis (kebijaksanaan praktis). manusia adalah baik dalam arti moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yg tepat dlm perbuatan2 moralnya & mencapai keunggulan dlm penalaran intelektual. Orang seperti itu adalah bahagia. Kebahagiaan itu akn disertai kesenangan jg, walaupun kesenangan tdk merupakan inti yg sebenarnya dr kebahagiaan Kritik terhadap eudemonisme oleh Bartens 1. Daftar keutamaan yang disebutkan Aristoteles tidak dapat berlaku untuk masyarakat sekarang di dalam lingkungan yang sifatnya heterogen 2. Belum memahami tentang persamaan hak yang dimiliki oleh seluruh manusia 3. Keutamaan-keutamaan tidak memiliki peran yang besar untuk mengatasi dilemadilema moral yang ada pada jaman sekarang

TOPIK IX: TEORI- TEORI ETIKA (UTILITARIANISME DAN DEONTOLOGI) Utilitarianisme Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest happiness of the greatest number). Paham utilitarianisme sebagai berikut: 1. Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak. 2. dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan 3. kesejahteraan setiap orang sama pentingnya. Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat.

Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut (kepentingan orang banyak). Kritik terhadap teori utilitarianisme: a. Utilitarianisme hanya menekankan tujuan/mnfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek rohani. b. Utilitarianisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu /minoritas demi keuntungan mayoritas orang banyak. Deontologi Paradigma teori deontologi saham berbeda dengan paham egoisme dan utilitarianisme, yang keduanya sama-sama menilai baik buruknya suatu tindakan memberikan manfaat entah untuk individu (egoisme) atau untuk banyak orang/ kelompok masyarakat (utilitarianisme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu tindakan merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat, maka tindakan tersebut dikatakan tidak etis. Teori yang menilai suatu tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut menilai disebut teori teleologi. Sangat berbeda dengan paham teleologi yang etis atau tidaknya suatu tindakan berdasarkan hasil, tujuan, atau tujuan, pandang kepentingan orang banyak

konsekuensi dari tindakan tersebut, paham deontologi justru mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan boleh menjdi pertimbangan untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Kant berpendapat bahwa kewajiban moral harus dilaksanakan demi kewajiban itu sendiri, bukan karena keinginan untuk memperoleh tujuan kebahagiaan, bukan juga karena kewajiban moral iu diperintahkan oleh Tuhan. Moralitas hendaknya bersifat otonom dan harus berpusat pada pengertian manusia berdasarkan akal sehat yang dimiliki manusia itu sendiri, yang berarti kewajiban moral mutlak itu bersifat rasional. konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu tindakan tidak

Walaupun teori deontologi tidak lagi mengkaitkan kriteria kebaikan moral dengan tujuan tindakan sebagaimana teori egoisme dan tlitarianisme, namun teori ini juga mendapat kritikan tajam terutama dari kaum agamawan. Kant mencoba membangun teorinya hanya berlandaskan pemikiran rasional dengan berangkat dari asumsi bahwa karena manusia bermartabat, maka setiap perlakuan manusia terhadap manusia lainnya harus dilandasi oleh kewajiban moral universal. Tidak ada tujuan lain selain mematuhi kewajiban moral demi kewajiban itu sendiri.

TOPIK X: MASALAH-MASALAH ETIKA TERAPAN DAN TANTANGANNYA DI ZAMAN KITA Etika terapan merupakan suatu ilmu yang menerapkan prinsip etika dalam kehidupan sehari-hari. Etika terapan merupakan cabang etika yang berisi analisis moral yang bersifat spesifik dan kontroversial. Sebagai contohnya, apakah melakukan aborsi merupakan tindakan yang tidak bermoral? Sekarang telah banyak kita temui bentuk-bentuk etika terapan, seperti etika kedokteran, etika bisnis, etika lingkungan, etika psikologi dan lain-lain. Prinsip Normatif dalam Etika Terapan Prinsip normatif yang digunakan untuk membahas etika terapan ada 3, yaitu.

1. Prinsip konsekuensi Prinsip ini berhubungan dengan akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindakan. Misalnya, akibat yang berupa manfaat pribadi individu (menghasilkan manfaat/kebaikan bagi individu) dan manfaat sosial (menghasilkan manfaat bagi kelompok atau masyarakat). 2. Prinsip etika kewajiban Prinsip etika kewajiban mengandung lima prinsip, yaitu prinsip kebajikan (misalnya, membantu orang lain yang lebih membutuhkan), prinsip perwalian (misalnya membantu seseorang yang kesulitan untuk mendapatkan yang terbaik bagi dirinya), prinsip kerugian (tidak merugikan orang lain), prinsip kejujuran (bertindak apa adanya, tidak dibuat-buat) dan prinsip kesesuaian hokum (tidak melanggar ketentuan hukum). 3. Prinsip hak moral Prinsip ini terbagi menjadi tiga prinsip, yaitu prinsip otonomi (penghargaan atas hak-hak pribadi), prinsip keadilan (menghargai hak pribadi untuk mendapatkan keadilan), dan hak-hak asasi (penghargaan terhadap hak hidup seseorang beserta kehidupannya).

Etika Sedang Naik Daun Etika terapan sebenarnya bukan merupakan hal baru karena sebelumnya telah ditekankan sejak masa Plato dan Aristoteles, bahwa etika merupakan filsafat praktis. Filsafat praktis merupakan filsafat yang ingin memberikan gambaran kepada perilaku manusia dengan memperlihatkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang. Pada zaman modern, muncul etika khusus (ethica specialis) yang pokok bahasannya mengenai masalah etis pada suatu bidang tertentu (seperti: keluarga). Hal ini menandakan kajian etika mengalami perkembangan yang pesat. Adapun perkembangan kajian etika tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat terutama di bidang biomedis menimbulkan banyak persoalan etis yang besar; (2) Tercipta semacam iklim moral yang mengundang minat baru pada penerapan etika secara actual, seperti,

maraknya perjuangan-perjuangan hak pada golongan tertentu (misal: persamaan hak bagi golongan kulit hitam). Beberapa Bidang Garapan bagi Etika Terapan Etika terapan menyoroti dua wilayah besar, yaitu: 1.Wilayah profesi, seperti etika psikolog, etika kedokteran dan sebagainya. 2.Wilayah umum, seperti penggunaan tenaga nuklir, pencemaran lingkungan dan sebagainya. Etika terapan juga dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1.Makroetika. Etika terapan jenis ini membahas masalah moral pada skala besar (seluruh permasalahan pada suatu bangsa atau umat). Misalnya, tentang alokasi pelayanan kesehatan gratis pada warga masyarakat. 2.Mikroetika. Etika terapan jenis ini berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan etis di mana individu terlibat, seperti kewajiban psikolog dengan kliennya. 3.Mesoetika. Etika terapan ini menyoroti tentang masalah-masalah etis yang berkaitan dengan suatu kelompok atau profesi, misalnya kelompok psikolog. Selain kedua pembagian di atas, etika terapan juga dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu etika sosial dan etika individual. Namun pembagian seperti ini tidak begitu relevan. Hal ini dikarenakan penamaan etika individual tidak memiliki dasar yang kuat mengingat manusia adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari konteks sosialnya. Etika Terapan dan Pendekatan Multidisipliner Pelaksanaan etika terapan memiliki kerja sama erat antara etika dengan ilmuilmu lain agar mampu berjalan dengan baik. Berdasarkan ketentuan di atas, maka etika terapan dapat diupayakan melalui dua macam pendekatan, yaitu pendekatan multidisipliner dan interdisipliner. Pendekatan multidisipliner merupakan usaha pembahasan yang sama tentang berbagai macam ilmu, sehingga semua ilmu saling memberi kebermanfaatan antara satu dengan yang lain. Meski demikian, perspektif setiap ilmu pengetahuan tidak melebur dengan perspektif ilmu yang lain. Sedangkan pendekatan interdisipliner dijalankan melalui satu tema yang sama

untuk menghasilkan sebuah pemikiran yang terpadu. Sehingga semua ilmu yang ikut serta meninggalkan sudut pandang yang terbatas, dan turut melebur ke dalam satu pandangan yang menyeluruh. Pentingnya Kasuistik Kasuistik adalah usaha memecahkan kasus-kasus konkret di bidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum. Dalam etika biomedis saat ini, kasuistik merupakan yang paling banyak dipergunakan. Dalam bidang ini, kedokteran menerapkan prinsip-prinsip ilmiahnya dalam kasus konkret. Seperti dari langkah awal seorang dokter menentukan apa penyakit pasien, menentukan diagnosis, sampai memastikan diagnosis yang tepat untuk pasien. Kode Etik Profesi Kode etik adalah ketentuan-ketentuan tertulis yang berusaha dibuat untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat. Sedangkan profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Profesi terbentuk dari latar belakang pendidikan yang sama dan sama-sama memiliki keahlian tertentu. Misalnya, ilmu psikologi memiliki keprofesian yang disebut psikolog. Dalam hal penerapan kode etik profesi ini, harus diperhatikan ketentuan-ketentuan berikut: 1.Kode etik ada selalu didampingi oleh refleksi etis (dinilai, ditinjau ulang, dan dievaluasi, dan disesuaikan terus-menerus dengan perkembangan zaman). 2.Kode etik dibuat oleh orang-orang dari profesi ilmu itu sendiri berdasarkan cita-cita dan pesan moral yang terkandung dalam bidang keprofesian. 3.Pelaksanaan kode etik juga harus diawasi terus menerus agar berjalan secara optimal. 4.Pelanggaran terhadap kode etik akan dikenakan sanksi agar anggota profesi benar-benar memiliki niat dan berkomitmen dengan profesinya. Etika dalam Ilmu dan Teknologi

Aspek yang paling berpengaruh terhadap etika terapan adalah IPTEK modern. IPTEK tidak hanya memberi pengaruh positif pada kehidupan, namun juga memberi masalah, diantaranya: 1. Ambivalensi Kemajuan Ilmiah. Misalnya penemuan kloning di bidang kedokteran. Selain didapatkan manfaat positif, tapi penemuan ini dianggap bertentangan dengan ajaran agama (mendahului kehendak Tuhan). Bahkan, tidak menutup kemungkinan kloning juga dapat diterapkan pada manusia. Hal ini tentunya tidak dapat dibenarkan menurut ajaran agama. 2. Masalah Bebas Nilai. Meskipun ilmu pengetahuan bersifat bebas nilai untuk ketentuan ilmiahnya, namun temuannya bisa tidak bebas nilai lagi. Misalnya ketika bom atom ditemukan pertama kali yang selanjutnya itu digunakan saat perang dunia untuk membom suatu wilayah dan membunuh banyak orang. Apakah itu bebas nilai? Tidak. Banyak nilai yang tercakup di dalamnya terlebih nilai moral karena ada banyak nilai moral yang dikesampingkan. 3. Teknologi yang Tidak Terkendali. Perkembangan IPTEK memang berkembang pesat, namun kemajuan tersebut seringkali tanpa kendali dan bahkan mengancam keberadaan manusia. Misalnya, penemuan mesin awalnya mempermudah kerja manusia, namun lama kelamaan terjadi mekanisasi yang berlebihan hingga akhirnya mengancam keberadaan pekerja kasar. Banyak pemilik industri yang memPHK karyawannya karena penggunaan mesin lebih murah dan efisien dibandingkan menggunakan tenaga kerja manusia (buruh). Metode Etika Terapan Metode etika terapan berupa unsur-unsur yang melatarbelakangi pemikiran etis yang sejalan dengan terbentuknya pertimbangan moral pada umumnya. Unsurunsur tersebut antara lain: 1. Dari Sikap Awal Menuju Refleksi.

Ketika bertemu suatu masalah awalnya selalu terjadi sikap pro atau kontra atau bahkan bisa netral dan tak acuh pada hal tersebut. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh faktor pendidikan, kebudayaan, agama, pengalaman pribadi, dan lain-lain. Namun, dalam keadaan tertentu sikap awal itu akan berubah menjadi refleksi. Misalnya di negara kita freesex itu dilarang, namun ketika kebudayaan barat masuk, maka lambat-laun akhirnya pandangan orang akan terpengaruh sehingga ia lebih permisif terhadap freesex. Tentunya perubahan itu tidak dapat disikapi secara sederhana, tapi membutuhkan refleksi yang mendalam. 2. Informasi. Sikap awal kita belum cukup untuk menilai pemikiran etis karena subyektif, sehingga membutuhkan tambahan informasi-informasi pendukung yang diutamakan berasal dari seseorang yang ahli dan berpengetahuan luas. Misalnya penggunaan energi nuklir tidak bisa langsung disimpulkan baikburuknya, tapi harus dilengkapi informasi yang relevan agar penggunaan nuklir tersebut disertai tanggung-jawab. 3. Norma-norma Moral. Norma moral yang digunakan sebagai unsur dari metode etika terapan harus bersifat (1) Sesuai dengan konteks permasalahan, (2) Norma moral harus diterima oleh masyarakat, (3) Norma moral yang ada ini bukan secara instan diterapkan namun juga melalui berbagai proses. Contoh pembuatan norma yang berhasil adalah penghapusan perbudakan sedangkan yang tidak berhasil adalah kapitalisme. 4. Logika. Logika juga berperan dalam metode etika terapan. Logika berperan dalam suatu proses argumentasi dengan memperlihatkan bagaimana masalah moral berkaitan dengan kesimpulan etis yang didapat dan apakah penyimpulan tersebut dapat bertahan jika diperiksa secara kritis dengan aturan logika.