Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

41
BAB I PENDAHULUAN Indonesia memiliki tujuan Millenium Development Goals (MDGs) keempat yang memuat tentang pengurangan angka kematian anak. Indonesia juga membuat program nasional untuk anak-anak berdasarkan isu kematian bayi dan balita. Program tersebut bertujuan menurunkan angka kematian bayi menjadi 19 per 1000 kelahiran. Target ini ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator yang umum untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat, baik pada tingkat nasional maupun propinsi. 1 AKB di Indonesia masih tergolong tinggi. AKB 1990 berkisar 70 per 1000 kelahiran, namun lima tahun kemudian tepatnya 1995 terjadi penurunan hingga 55 per 1000 kelahiran. AKB mengalami penurunan tajam pada periode tahun 1997 yaitu menjadi 50 bayi per 1000 kelahiran dan penurunan yang signifikan tercapai pada tahun 2003 yaitu menjadi 35 bayi per 1000 kelahiran. AKB pada periode 2003–2007 relatif stagnan di kisaran 34 per 1000 kelahiran. AKB di Indonesia ini masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan negara- negara anggota Assosiation East Asian Nation (ASEAN), yaitu 4,5 kali lebih tinggi dari Malaysia 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand. 2,3 1

description

Referat RDS

Transcript of Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

Page 1: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki tujuan Millenium Development Goals (MDGs)

keempat yang memuat tentang pengurangan angka kematian anak. Indonesia juga

membuat program nasional untuk anak-anak berdasarkan isu kematian bayi dan

balita. Program tersebut bertujuan menurunkan angka kematian bayi menjadi 19

per 1000 kelahiran. Target ini ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa

Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator yang umum untuk

menentukan derajat kesehatan masyarakat, baik pada tingkat nasional maupun

propinsi.1

AKB di Indonesia masih tergolong tinggi. AKB 1990 berkisar 70 per

1000 kelahiran, namun lima tahun kemudian tepatnya 1995 terjadi penurunan

hingga 55 per 1000 kelahiran. AKB mengalami penurunan tajam pada periode

tahun 1997 yaitu menjadi 50 bayi per 1000 kelahiran dan penurunan yang

signifikan tercapai pada tahun 2003 yaitu menjadi 35 bayi per 1000 kelahiran.

AKB pada periode 2003–2007 relatif stagnan di kisaran 34 per 1000 kelahiran.

AKB di Indonesia ini masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan negara-

negara anggota Assosiation East Asian Nation (ASEAN), yaitu 4,5 kali lebih

tinggi dari Malaysia 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina dan 1,8 kali lebih tinggi

dari Thailand.2,3

Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran

Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi

surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Manifestasi

dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan

selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga

menghambat fungsi surfaktan. Penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan

kematian pada bayi premature adalah Respiratory Distress Syndrome (RDS).

Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan (prematur), 50% pada bayi

dengan berat 501-1500 gram. Secara klinis, RDS diawali dengan gagal nafas aku

seperti sesak, sianosis, grunting, retraksi dan takipnea. Kegagalan respirasi dapat

1

Page 2: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

dikonfirmasikan mellaui pemeriksaan analisis gas darah dan foto sinar-X dengan

tampilan ‘‘ground glass’’ dan “air bronchograms”. 4,5

Perawatan suportif awal pada bayi BBLR terutama pada pengobatan

asidosis, hipoksia, hipotensi dan hipotermia mengurangi keparahan RDS.

Diperlukan pemantauan yang cermat terhadap frekuensi jantung dan pernafasan,

PO2, PCO2, pH, bikarbonat, elektrolit arteri, glukosa darah, hematokrit, tekanan

darah dan suhu. Manajemen yang paling baik dilakukan pada unit rumah sakit

yang mempunyai staf dan peralatan khusus dan kamar perawatan intensif

neonatus. Untuk itu perlu dilakukan pembahasan mendalam mengenai penyakit

ini.6

2

Page 3: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Anatomi dan Fisiologi Pernafasan

Fungsi primer dari sistem pernafasan adalah menghantarkan udara masuk

dan keluar dari paru sehingga oksigen dapat dipertukarkan dengan

karbondiaoksida. Sistem pernafasan atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus-

sinus, dan faring. Sistem pernafasan bawah meliputi trakhea, bronkus-bronkus,

dan paru. Struktur thoraks yang menyerupai sangkar atau tulang-tulang dada,

terdiri atas 12 vertebra thorakalis, 12 pasang tulang iga (costae), dan sternum.

Tulang iga dan sternum membentuk susunan yang menyokong rongga thoraks.

Ruang antara tulang-tulang iga disebut ruang interkostalis dan diberi nomor

berdasarkan tulang iga di atasnya (contoh: ruang interkostalis kedua berada di

bawah tulang iga kedua).7

Diafragma adalah otot yang memisahkan rongga thoraks dari abdomen

dan digunakan selama inspirasi. Seluruh sistem tubuh anak berkembang di dalam

kandungan. Sistem pernafasan, walaupun tidak berfungsi hingga anak itu lahir,

akan berkembang lebih lanjut selama masa kanak-kanak. Diameter dan panjang

saluran udara meningkat, begitu juga jumlah dan ukuran alveolus. Selain itu,

dada bayi bulat, sedangkan paru balita lebih oval, biasanya sudah mencapai

ukuran dewasa (yaitu diameter 1:2) saat berusia 5 tahun.7

3

Page 4: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

Gambar 2.1 Rongga Thoraks 8

Gambar 2.2 Percabangan Trakea dan bronkus 8

Rongga thoraks tersusun atas susunan tulang iga yang membatasi/rib cage

(sebagai “dinding”) dan diafragma (sebagai “lantai”) (Gambar 2.1). Mediastinum

4

Page 5: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

membagi dua rongga pleura. Tiap paru terletak di dalam satu rongga pleura, yang

dilapisi dengan membran serosa disebut pleura. Pleura parietal menutupi

permukaan dalam dinding thoraks dan meluas hingga diafragma dan

mediastinum. Pleura viseralis menutupi permukaan luar paru dan meluas hingga

fisura antara lobus. Membran pleura mensekresi cairan pleura dalam jumlah

sedikit, yang menciptakan kelembaban dan mantel licin untuk lubrikasi saat

bernafas. Paru terbagi atas beberapa lobus yang terpisah dengan jelas. Paru kanan

terdiri dari tiga lobus: lobus superior, media dan inferior. Paru kiri hanya

memiliki dua lobus: lobus superior, dan inferior. Dasar setiap paru terletak di atas

permukaan diafragma.7

Perkembangan paru normal dapat dibagi dalam beberapa tahap (Tabel 1).

Selama tahap awal embryonik paru2 berkembang diluar dinding ventral dari

primitive foregut endoderm. Sel epithel dari foregut endoderm bergerak di sekitar

mesoderm yang merupakan struktur teratas dari saluran napas.4

Tabel 1. Tahap pertumbuhan paru 4

Waktu (minggu)

Embrionik 3-7

Kanalikular 7-15

Pseudoglandular 15-25

Sakkular 25-35

Alveolar 35 minggu-2 tahun

Pertumbuhan post natal 2-18 tahun

Selama tahap canalicular yang terjadi antara 15 dan 25 minggu di uterus,

terjadi perkembangan lanjut dari saluran napas bagian bawah dan terjadi

pembentukan acini primer. Struktur acinar terdiri dari bronkiolus respiratorius,

duktus alveolar, dan alveoli rudimenter. Perkembangan intracinar capillaries

yang berada disekeliling mesenchyme, bergabung dengan perkembangan acinus.

Lamellar bodies mengandung protein surfaktan dan fosfolipid dalam pneumocyte

type II ,dapat ditemui dalam acinar tubulus pada stadium ini. Perbedaan antara

pneumocyte tipe I terjadi bersama dengan barier alveolar-capillary. Fase saccular

5

Page 6: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

dimulai dengan ditandai adanya pelebaran jalan napas perifer yang merupakan

dilatasi tubulus acinar dan penebalan dinding yang menghasilkan peningkatan

pertukaran gas pada area permukaan. 4

Lamellar bodies pada sel type II meningkat dan maturasi lebih lanjut

terjadi dalam sel tipe I. Kapiler-kapiler sangat berhubungan dengan sel tipe I ,

sehingga akan terjadi penurunan jarak antara permukaan darah dan udara Selama

tahap alveolar dibentuk septa alveolar sekunder yang terjadi dari gestasi 35

minggu sampai 24 bulan setelah lahir. Septa sekunder terdiri dari penonjolan

jaringan penghubung dan double capillary loop.13,14,15 Terjadi perubahan

bentuk dan maturasi alveoli yang ditandai dengan penebalan dinding alveoli dan

dengan cara apoptosis mengubah bentuk dari double capillary loop menjadi

single capillary loop . Selama fase ini terjadi proliferasi pada semua tipe sel . Sel-

sel mesenchym berproliferasi dan menyimpan matrix ekstraseluler yang

diperlukan. Sel sel epithel khususnya pneumocytes tipe I dan II, jumlahnya

meningkat pada dinding alveoli dan sel-sel endothel tumbuh dengan cepat dalam

septa sekunder dengan cara pembentukan berulang secara berkelanjutan dari

double capillary loop menjadi single capillary loop. Perkiraan jumlah alveolus

pada saat lahir dengan menggunakan rentang antara 20 juta – 50 juta sudah

mencukupi. Pada dewasa jumlahnya akan bertambah sampai sekitar 300 juta.4

2.1.1 Tes Kematangan Paru

Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah

Tes Kematangan Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang

mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya Neonatal Respiratory Distress

Syndrome (RDS). Tes tersebut diklasifikasikan sebagai tes biokimia dan

biofisika.4

a. Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)

Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah

fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai

tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan

sfingomielin dari cairan amnion.4

b. Test Biofisika :

6

Page 7: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

Test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat

dan menjaga agar gelembung tetap stabil . Dengan mengocok cairan amnion yang

dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur

yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak

bebas. Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan amnion dalam saline dengan 1

ml ethanol 95% dan dikocok dengan keras. Bila didapatkan ring yang utuh

dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion:ethanol) merupakan indikasi

maturitas paru janin. Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip

yang tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS .5

c. TDX- Maturasi paru janin (FLM II)

Yaitu tes lainnya yang berdasarkan prinsip teknologi polarisasi fluoresen

dengan menggunakan viscosimeter, yang mengukur mikroviskositas dari agregasi

lipid dalam cairan amnion yaitu mengukur rasio surfaktan-albumin. Tes ini

memanfaatkan ikatan kompetitif fluoresen pada albumin dan surfaktan dalam

cairan amnion. Bila lompatan fluoresen kearah albumin maka jaring polarisasi

nilainya tinggi, tetapi bila mengarah ke surfaktan maka nilainya rendah. Dalam

cairan amnion, polarisasi fluoresen mengukur analisa pantulan secara otomatis

rasio antara surfaktan dan albumin, yang mana hasilnya berhubungan dengan

maturasi paru janin. Menurut referensi yang digunakan oleh Brigham and

Women’s Hospital, dikatakan immatur bila rasio < 40 mg/dl; intermediet 40-59

mg/dl; dan matur bila lebih atau sama dengan 50 mg/dl. Bila terkontaminasi

dengan darah atau mekonium dapat menggangu interpretasi hasil test.5

Masalah pernafasan merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi

yang sering dihubungkan dengan kondisi respiratory distress syndrome

(RDS)/asfiksia neonatroum. Kondisi ini merupakan penyebab terbanyak dari

angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Bayi yang mengalami masalah

pernafasan membutuhkan pemantauan oksigenasi yang akurat. Salah satu

pemantauannya adalah dengan memonitor saturasi oksigen bayi. Pulse oksimetry

merupakan salah satu alat pemantauan yang paling bermanfaat yang tersedia saat

ini dan menjadi metode pemilihan untuk pemantauan oksigenasi darah arteri.5

2.1.2 Peralihan Pernafasan Paru

7

Page 8: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

Keberhasilan tercapainya fungsi paru yang adekuat pada saat lahir

bergantung pada anatomi yang tidak obstruktif dan umur kehamilan serta

maturitas. Cairan yang mengisi paru janin harus dikeluarkan, kapasitas residu

fungsional pengisian udara (functional residual capacity (FCR)) tercapai dan

dipertahankan dan hubungan ventilasi perfusi yang berkembang akan

memberikan kemungkinan pertukaran oksigen dan karbondioksida secara optimal

antara alveoli dan karbondioksida secara optimal antara alveoli dan darah.6

2.1.3 Pernafasan Pertama

Selama persalinan melalui vagina, kompresi intermiten toraks

mempermudah pengeluaran cairan dari paru-paru. Surfaktan dalam cairan

memperbesar pengisian udara (aerasi) pada paru yang bebas gas dengan

mengurangi tegangan permukaan sehingga dapat menurunkan tekanan yang

diperlukan untuk membuka alveolus. Meskipun demikian, tekanan yang

diperlukan untuk mengembangkan paru yang tidak mengandung udara lebih

tinggi daripada tekanan yang diperlukan pada setiap masa kehidupan yang lain.;

tekanan ini berkisar antara 10-50 cmH2o selama interval 0,5 sampai 1,0 detik

disbanding dengan 4 cm untuk pernafasan bayi cukup bulan dan orang dewasa.

Kebanyakan bayi memerlukan kisaran tekanan permukaan yang lebih rendah.6

Tekanan yang lebih tinggi diperlukan untuk memulai pernafasan dalam

mengatasi gaya perlawanan tegangan permukaan (terutama pada jalan nafas

kecil) serta viskositas cairan yang tetap berada dalam jalan nafas, guna

memasukkan sekitar 30 mL udara ke paru dimana 20-30 mL dari volume tersebut

menetap sesudah pernafasan pertama dan menjadi FRC. Sebagian besar cairan

dalam paru diambil oleh sirkulasi paru yang bertambah beberapa kali lipat pada

saat lahir karena semua curah ventrikel kanan menyebar ke bantalan vaskular

paru. Sisa cairan dikeluarkan melalui saluran limfe paru, dihembuskan oleh bayi,

ditelan atau diaspirasi dari orofaring; pengeluaran cairan paru ini dapat terganggu

pada keadaan paska seksio sesarea, cedera sel endotel atau sedasi neonatus.7

Ada banyak ransangan untuk menimbulkan pernafasan pertama dan

kepentingan relatifnya belum pasti. Ransangan ini meliputi penurunan PO2 dan

pH serta peningkatan PCO2 akibat adanya gangguan pada sirkulasi plasenta,

8

Page 9: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

redistribusi curah jantung setelah tali pusat diklem, penurunan suhu tubuh, dan

berbagai ransangan taktil. Dibandingkan bayi cukup bulan, bayio BBLR yang

mempunyai dinding dada amat lemah mungkin tidak beruntung dalam

menyelesaikan pernafasan pertamanya. FRC terendah terdapat pada bayi imatur

yang dapat menyebabkan sindrom kegawatan pernafasan.6

2.1.4 Pola Pernafasan pada bayi Baru Lahir

` Selama tidur pada usia bulan pertama, bayi normal cukup bulan mungkin

kadang-kadang mengalami episode yaitu pernafasan teratur terganggu dan jedah-

jedah (penghentian-penghentian) pendek. Pola pernafasan periodic ini bergeser

dari irama teratur ke episode apnea intermiten siklik yang singkat, sering terjadi

pada bayi premature yang dapat mengalami jedah 5-10 detik diikuti dengan

frekuensi 50-50/menit selama 10-15 detik.6

Jarang disertai perubahan warna atau perubahan frekuensi jantung dan

sering berhenti tanpa alasan yang jelas. Pernafasan periodic intermiten biasanya

menetap sampai bayi premature berumur sekitar 35 minggu umur kehamilan. Jika

bayi hipoksik, penambahan kadar oksigen yang diinspirasi akan sering mengubah

pernafasan periodic menjadi pernafasan teratur. Transfusi sel darah merah atau

ransangan fisik eksterna juga dapat mengurangi jumlah episode apnea.

Pernafasan periodic tidak memberikan arti prognostic, hal ini merupakan suatu

karakteristik normal pada pernafasan neonatus.6

2.2 Respiratory Disstress Syndrome

2.2.1 Defenisi

Respiratory Disstress Syndrome disebut juga penyakit membran hialin.

RDS timbul saat lahir atau segera setelah lahir, prgresif dalam 48-72 jam, bayi

9

Page 10: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

letargi, terjadi edema perifer, pada foto roentgen tampak paru kecil (small lung)

dengan gambaran granular lapangan paru.9

Definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat (dyspnea ),

frekuensi napas meningkat (tachypnea), sianosis yang menetap dengan terapi

oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat alveolar

yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vaskular,

perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. Ada 4

faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu: prematur, asfiksia

perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory Distress.10

2.2.2 Epidemiologi

Respiratory Disstress Syndrome didapatkan pada 10% bayi prematur,

yang disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang lahir dengan masa gestasi

kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan

untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga

pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan

daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Gejala

tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.11,12

Keadaan ini merupakan penyebab utama kematian bayi baru lahir.

Diperkirakan 30% dari semua neonatus diakibatkan oleh RDS atau

komplikasinya. RDS terutama terjadi pada 50-80% terjadi pada bayi yang umur

kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32 dan 35

minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih dari 37 minggu dan jarang pada bayi

cukup bulan. Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan umur dari ibu diabetes,

persalinan sebelum umur 37 minggu, kehamilan multijanin, persalinan seksio

sesarea, persalinan cepat, asfiksia, stress dingin, dan adanya riwayat bahwa bayi

sebelumnya terkena RDS. Insidens tertinggi pada bayi preterm kulit putih atau

laki-laki. 6

2.2.3 Etiologi dan Patofisiologi

Kegagalan mengembangkan kapasitas residu fungsional (FRC) dan

kecendrungan paru-paru terkena atelektasis memunyai korelasi dengan tegangan

10

Page 11: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

permukaan yang tinggi dan tidak adanya surfaktan. Unsur utama surfaktan adalah

dilpamitilfosfatidilkolin (lesitin), fosfatidilgliserol, apoprtotein (protein surfaktan

PS-A,B,C.D) dan kolsetreol. Dengan semakin bertambhannya kehamilan terjadi

penambahan jumlah fospolipid yang disintesis dan disimpan di dalam sel alveolar

tipe II. Agen aktif ini dilepaskan ke dalam alveoli untuk mengurangi tegangan

permukaan dan membantu mempertahankan stabilitas alveolar dengan jalan

mecegah kolapsnya ruang udara kecil pada akhir respirasi. Namun, karena

adanya imaturitas, jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak cukup

memenuhi kebutuhan paska lahir.Kadar tertinggi surfaktan terdapat dalam paru

janin yang dihomogenasi pada umur kehamilan 20 minggu, tetapi belum

mencapai permukaan paru sampai tiba saatnya. Surfaktan tampak dalam cairan

amnion antara 28 dan 32 minggu. Kadar surfaktan paru matur biasanya muncul

sesudah 35 minggu.6,12

Sintesis surfaktan sebagian besar bergantung pada pH, suhu dan perfunsi

normal. Asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya

dengan hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis suraktan.

Lapisan epitel paru juga dapat terkena jejas akibat kadar oksigen yang tinggi dan

pengaruh menejemen oleh operator respirasi mengakibatkan pengurangan

surfaktan lebih lanjut.6

Atelektasis alveolar, formasi membran hialin dan edema interstisial

membuat paru-paru kurang lentur, memerlukan tekanan yang lebih besar untuk

mengembangkan alveolus kecil dan jalan nafas. Pada bayi ini, dada bawah

tertarik ke dalam ketika diafragma turun dan tekanan intratoraks menjadi

negative. Dengan demikian, membatasi jumlah tekanan intratoraks yang

dihasilkan, akibatnya timbul kecendrungan atelektasis. Dinding dada bayi

preterm yang sangat lemah memberikan lebih sedikit tekanan daripada dinding

bayi yang matur terhadap kecendrungan alamiah paru untuk kolaps. Dengan

demikian, volume akhir respirasi, volume thoraks dan paru cenderung medekati

residu sehingga menyebabkan atelektasis.6

11

Page 12: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

Gambar 2.3 Faktor-faktor yang mendukung pada pathogenesis penyakit

Respiratory Disstress Syndrome (RDS)/Hyaline Membran Disease (HMD)

berpotensi menyebabkan hipoksia dan insufisiensi paru.6

12

Surfaktan kurang

Atelektasis progresif

hipoventilasi

↑ pCO2, ↓ pO2, ↓ pH

Syok hipotensi( (hip

ovolemia)

Vasokonstriksi paru

Hipoperfusi alveolus

Gangguan metabolisme

seluler

Page 13: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

Defisiensi sintesis atau pelepasan surfaktan bersama dengan agen unit

saluran pernafasan yang kecil dan dinding dada yang lemah mengakibatkan

atelektasis, mengakibatkan adanya perfusi pada alveolus tetapi tidak ada ventilasi

dan menyebabkan hipoksia. Pengurangan kelenturan paru, volume tidak yang

kecil dan kenaikan ruang mati fisiologis kenaikan kerja pernafasan dan ventilasi

alveolar yang tidak cukup akhirnya mengakibatkan hiperkarbia (peningkatan

karbondioksida). Kombinasi hiperkarbia, hiposia dan asiodis mneghasilkan

vasokonstriksi arteri pulmonalis dengan shunt dari kanan ke kiri melalui foramen

ovale, duktus arteriosus, dan dalam paru-paru itu sendiri. Aliran darah paru

berkurang dan jejas iskemik pada sel menghasilkan surfaktan dan terhadap

bantalan vaskular mengakibatkan efusi bahan proteinaseosa ke dalam ruang

alveolar.6

Faktor2 yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur

disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan

kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang

sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga

paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru

sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal,

pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi

hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.6,12

Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10%

protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga

agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak

berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru

memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara

histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal

menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga

menyebabkan deskuamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli,

tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan

adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan

toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel

jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang

13

Page 14: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu

setengah jam setelah lahir. 11,12

Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 35- 72 jam

setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur

dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan

chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).

Gambaran radiologi tampak adanya retikulogranular karena atelektasis,dan air

bronchogram Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah : 4

a) Takipnea diatas 50x/menit

b) Grunting ekspiratoar

c) Subcostal dan interkostal retraksi

d) Cyanosis

e) Nasal flaring

Pada bayi extremely premature (berat badan lahir sangat rendah) mungkin

dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka

surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur 35-48 jam. Gejala dapat

memburuk secara bertahap pada 24-35 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi

stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 50-72 jam. Dan sembuh pada

akhir minggu pertama.4

2.2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan

kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam

alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu:

adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan

takipnea (> 50 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding

dada, dan sianosis, rhonki halus dan gejala menetap dalam 48-95 jam pertama

setelah lahir. 13

Beberapa penderita memerlukan resusitasi pada saat lahir karena asfiksia

intrapartum atau karena adanya kegawatan pernafasan dini yang berat (bila berat

badan kurang dari 1000 gram). Jika dioabati tidak adekuat, tekanan darah dan

suhu tubuh dapat turun; kelelahan, sianosis dan pucat bertambah, serta dengkuran

14

Page 15: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

dapat bertambah atau berkurang karena keadaan semakin jelek. Apnea dan

pernafasan tidak teratur terjadi ketika bayi menjadi lelah dan dapat terjadi

campuran asidosis respiratorik metabolik, edema, ilues dan oligouria. Akan

terlihat tanda-tanda asfiksia akibat apnea atau kegagalan nafas parsial bila

penyakit memburuk dengan cepat. Pada bayi yang menderita serangan berat,

keadaan ini mengakibtkan kematian, tetapi pada kasus yang lebih ringan gejala

dan tanda-tanda dapat mencapai puncaknya dalam 3 hari sesudahnya terjadi

perbaikan secara perlahan-lahan. 6

Perbaikan dapat ditunjukkan dengan dieresis spontan dan kemampuan

oksigenasi bayi dengan kadar oksigen inspirasi yang lebih rendah. Kematian

jarang terjadi pada hari pertama sakit, biasanya terjadi antara hari ke 2 dan ke 7

dan disertai kebocoran udara alveolar (emfisema interstisial dan pneumothoraks)

dan perdarahan paru atau interventrikuler. Pada bayi yang menderita penyakit

mebran hialin berat dan diventilasi secara mekanis, mortalitas bisa ditunda

selama beberapa minggu atau beberapa bulan jika berkembang dysplasia

bronkopulmonal (DBP).13

2.2.5 Diagnosis

Perjalanan klinis, rontgen dada dan nilai gas darah serta asam basa

membantu menegakkan diagnosis klinis. Secara roentgen, paru-paru memnpunyai

kekhasan tetapi tidak patognomonis, meliputi granularitas parenkim retikuler

halus dan bronkogram udara yang sering menonjol pada awal di lobus bawah kiri

karena superimposisi bayangan jantung. Kadan-kadang rontgen awal normal,

hanya berkembnag gambaran khas pada 5-12 jam. Munkin banyak variasi pada

foto, bergantung pada fase pernafasan dan penggunaan CPAP sering

mnegakibatkan korelasi yang jelek antara rontgen dan perjalanan klinis.

Penemuan laboratorium awalnya ditandai dengan hipoksemia progresif,

hiperkarbia, dan berbagai asidosis metabolik. 6,13

Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu : 4

a) Stadium 1.

Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara,

b) Stadium 2.

15

Page 16: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan

gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke

perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.

c) Stadium 3.

Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru

terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,

bronchogram udara lebih luas.

d) Stadium 4.

Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat

Dilihat

Gambar 2.4 Gambaran paru bayi dengan RDS. Perhatikan paru yang

granular, bronkogram udara, ground glass appearance, ekspansi paru yang

buruk.6

16

Page 17: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

2.2.6 Diagnosis Banding

Pada diagnosis banding, sepsis streptokokus grup B mungkin tidak dapat

dibedakan dari RDS. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, rontgen dadanya

dapat identik dengan RDS. Apabila ditemukan kokus gram positif dalam

lambung atau aspirat trakea dan pulasan buffy coat serta uji urin positif untuk

antigen streptokokus dan adanya neutropenia yang mencolok dapat member

kesan diagnosis pneumonia. Penyakit jantung sianosis (misalnya anomaly total

muara vena pulmonalis), sirkulasi janin persisten, sindroma aspirasi,

pneumothoraks spontan, efusi pleura, elevasi diafragma dan anomaly kongenital

seperti malformasi adenomatoid kistik, limfangiektasia, hernia diafragmatika atau

emfisema lobaris harus dipikirkan dan memerlukan evaluasi dengan rontgen.

Proteinosis alveolar kongenital merupakan penyakit familial yang jarang, sering

muncul sebagai RDS yang berat dan mematikan.6,13

2.2.7 Komplikasi

Komplikasi jangka pendek (akut) dapat terjadi : 4

a) Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,

pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada

bayi dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis hipotensi,

apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.

b) Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang

memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni.

Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum

vena, kateter, dan alat2 respirasi.

c) Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: perdarahan

intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi

terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.

d) PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan

komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi

surfaktannya. Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas

oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan

kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ lain.

17

Page 18: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi : 4

a) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik

yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 35

minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang

digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi,

inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan

menurunnya masa gestasi.5

Dysplasia bronkopulmonum (DBP) akibat pemberian tekanan

positif akibat ketergantungan oksigen dan gagal perkembangan jantung

sisi kanan. Bayi yang beresiko DBP menderita kegawatan pernafasan

yang berat memerlukan ventilasi mekanis yang lama dan terapi oksigen.

Komplikasi DBP meliputi: gagal tumbuh, retardasi psikomotor

nefrolitiasis, osteopenia, dan stenosis subglotis

b) Retinopathy premature

Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang

berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi

intrakranial, dan adanya infeksi.

Komplikasi RDS akibat perawatan intensif yaitu: 6

a) Intubasi trakea dapat menyebabkan asfiksia karena obstruksi pipa, henti

jantung selama intubasi atau pengisapan, dan selanjutnya dapat

menyebabkan stenosis subglotis. Komplikasi lain meliputi perdarahan dan

trauma selama intubasi (ulserasi lubang hidung, ekstubasi yang sulit dan

membutuhkan trakeostomi, penyempitan permanen lubang hidung, erosi

palatum, penarikan plika vokalis, serak persisten, stridor, edema laring.

b) Kateterisasasi arteri umbilkalis dapat beresiko menyebabkan emboli

vaskular, thrombosis, spasme, perforasi, nekrosis iskemik dan infeksi

c) Ekstravasasi udara ekstrapulmonal

2.2.8 Tata Laksana

Perawatan suportif awal pada bayi BBLR terutama pada pengobatan

asidosis, hipoksia, hipotensi dan hipotermia mengurangi keparahan RDS.

18

Page 19: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

Diperlukan pemantauan yang cermat terhadap frekuensi jantung dan pernafasan,

PO2, PCO2, pH, bikarbonat, elektrolit arteri, glukosa darah, hematokrit, tekanan

darah dan suhu. Kateterisasi arteri umbilikalis kadang diperlukan. Karena

kebanyakan kasus RDS dapat sembih sendiri maka tujuan pengobatan adalah

meminimalkan variasi kelainan fisiologis dan masalah iatrogenic. Manajemen

yang paling baik dilakukan pada unit rumah sakit yang mempunyai staf dan

peralatan khusus dan kamar perawatan intensif neonatus. 6,13

Prinsip umum perawatan pendukung setiap bayi BBLR harus diatasi dan

diataati sesuai dengan menejemen. Untuk menghindari kedinginan dan konsumsi

oksigen seminimal mungkin, bayi harus dipertankan pada suhu 35,5-370C. Kalori

dan cairan harus diberikan secara intravena. Untuk 24 jam pertama, 10% glukosa

dan air harus diinfuskan melalui vena perifer dengan keecpatan 55-75 mL/kg/24

jam. Selanjutnya elektrolit harus ditambahkan dan volume cairan ditambahkan

sedikit demi sedikit sampai 120-150 mL/kg/24 jam. Cairan yang berlebihan dapat

menyebabkan berkembangnya paten duktus arteriosus (PDA). 6,13

Oksigen hangat yang dilembabkan harus diberikan pada kadar yang

cukup, pada mulanya untuk mempertahankan tekanan arteri antara 55 dan 70

mmHg dengan tanda-tanda vital yang stabil dan mempertahankan oksigenasi

jaringan yang normal, sekaligus meminimalkan resiko toksisitas oksigen. Jika

tekanan oksigen arteri tidak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg pada kadar

oksigen inspirasi 70%, pemakaiana CPAP pada tekanan 5-10 cm H2O melalui

lubang hidung merupakan indikasi, yang biasanya menghasilkan kenaikan tajam

tekanan oksigen arteri. Jumlah tekanan yang diperlukan biasanya menurun secara

mendadak pada sekitar 72 jam dan bayi dapat disapih dari CPAP segera

sesudahnya. Jika bayi pada CPAP yang bernafas dengan oksigen 100% tidak

dapat mempertahankan tekanan oksigen arteri di atas 50 mmHg, maka diperlukan

ventilasi bantuan.6

Bayi dengan RDS berat atau mereka berkembang komplikasi akibat apnea

terus-menerus memerlukan bantuan ventilasi mekanis. Indikasi yang sesuai

penggunaannya adalah 6

1) pH darah arteri kurang dari 7,20

2) PCO2 darah arteri 50 mmHg atau lebih

19

Page 20: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

3) PO2 darah arteri 50 mmHg atau kurang pada kadar oksigen 70-100%

4) Apnea menetap

Bantuan ventilasi dengan tekanan melalui pipa endotrakeal juga dapat

mencakup tekanan akhir repirasi positif (positive end expiratory pressure/PEEP).

Tujuan ventilasi mekanis adalah memperbaiki oksigenasi dan

mengeliminasi karbondioksida tanpa menyebabkan barotraumas paru yang

belebihan atau toksisitas oksigen. Kisaran nilai gas darah yang dapat diterima,

yang menyeimbangkan resiko hipoksia dan asidosis dengan resiko ventilasi

mekanis, adalah PaO2 55-70 mmHg; PCO2 35-55 mmHg, dan pH 7,25 – 7,45.

Selama ventilasi mekanis, oksigenasi diperbaiki dengan menambah tekanan rata-

rata jalan nafas (FIO2) dengan cara menambah tekanan puncak inspirasi, aliran

udara, rasio inspirasi terhadap ekspirasi atau PEEP. PEEP yang berlebihan dapat

menyebabkan pneumothoraks atau menghalangi aliran balik vena, menurunkan

curah jantung walaupun ada perbaikan PaO2 dan dengan demikian mengurangi

hantaran oksigen. PEEP H2O 4-5 cm biasanya aman dan efektif. Eliminasi

karbondioksida dicapai dengan menambah tekanan puncak inspirasi (volume

tidal) atau frekuensi ventilator. Pada saat dilakukan pemasangan ventilator

sebaiknya penderita dalam posisi telungkup (prone). 6,9

Kisaran ventilasi ventilator konvensioanl adalah 10-50 pernafasan/menit;

ventilasi pancaran frekuensi tinggi (High frequency jet ventilation (HFJV) adalah

150-500/menit dan osilator adalah 300-1800/menit. HFJV dan osilator dapat

memperbaiki eliminasi karbondioksida, menurunkan tekanan rata-rata jalan nafas

dan memperbaiki oksigenasi penderita RDS, emfisema interstisial,

pneumothoraks multipel, atau pneumonia aspirasi mekonium yang tidak

memberikan respon terhadap ventilator konvensional. HFJV dapat menyebabkan

cedera trakea nekrotikans, terutama bila ada hipotensi atau kelembapan jelek, dan

terapi osilator telah dihubungkan dengan resiko kebocoran udara, perdarahan

intraventrikuler, dan leukomalasia periventrikuler. Kedua metode ini dapat

menyebabkan udara terperangkap.6

Komplikasi intubasi endotrakea (penyumbatan pipa, ekstubasi, granuloma

subglosis dan stenosis) dan ventilasi mekanis (pneumothoraks, emfisema

interstisial, curah jantung menurun) dapat ditangani di unit perawatan intensif.6

20

Page 21: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

Adapun tata laksana dapat dilakukan dengan: 13,14

a) Rawat incubator, pertahankan suhu tubuh (aksila) 35,5-37,50C (bayi

preterm) dan 35-370C (bayi aterm)

b) Oksigenasi untuk mempertahankan saturasi O2

Berat badan < 1000 gram : 85-92%

Berat badan 1000-2500 gram : 92-95%

Berat badan > 2500 gram : 95-98%

c) Puasa peroral, berikan cairan parenteral dengan dekstrose 10% mulai 50

mL/hari

d) Bila hipoperfusi berikan larutan isotonis (NaCl 0,9%) atau volume

ekspander 10 ml/kg/kali dalam waktu 30 menit (dapat diulang samapi 2

kali). Pertimbangan obat-obatan inotropik bila pemberian cairan gagal

e) Berikan antibiotika + “septic work up” sampai terbukti bukan sepsis.

septic work up terdiri atas septic marker (jumlah leukosit, jumlah

trombosit, CRP/C reactive protein dan IT rasio) dan kultur darah. Hitung

Leukosit normal (500ul-30.000/ul), trombosit normal (>150.ooo/ul), IT

rasio nomal (rasio neutrofil imatur engan neutrofil total <0,2 dan CRP

normal 1,0 mg/L.

f) Cari etiologi: riwayat ante perinatal, pemeriksaan fisik, rontgen dada,

peemriksaan lab (analisis gas darah dan elektolit dan gula darah)

2.3 Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur dengan Respiratory Distress

Syndrome

2.3.A Surfaktan

Suatu bahan senyawa kimia yang memiliki sifat permukaan aktif.

Surfaktan pada paru manusia merupakan senyawa lipoprotein dengan komposisi

yang kompleks dengan variasi berbeda sedikit diantara spesies mamalia.

Senyawa ini terdiri dari fosfolipid (hampir 90% bagian), berupa

Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) yang juga disebut lesitin, dan protein

surfaktan sebagai SPA, SPB, SPC dan SPD (10% bagian). DPPC murni tidak

dapat bekerja dengan baik sebagai surfaktan pada suhu normal badan 37°C,

21

Page 22: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

diperlukan fosfolipid lain (mis. fosfatidilgliserol) dan juga memerlukan protein

surfaktan untuk mencapai air liquid-interface dan untuk penyebarannya

keseluruh permukaan.11,12

Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi

22-24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-25

minggu,yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32-35 minggu. Produksi

surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang

terdapat pada sel alveolus type II. Produksi surfaktan dapat dipercepat lebih dini

dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh stres, atau

oleh pengobatan deksamethason yang diberikan pada ibu yang diduga akan

melahirkan bayi dengan defisiensi surfaktan. Karena paru-paru janin

berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion

dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru,

dengan cara menghitung rasio lesitin/sfingomielin dari cairan amnion.11,12

Sfingomielin adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan tubuh lainnya

kecuali paru-paru. Jumlah lesitin meningkat dengan bertambahnya gestasi,

sedangkan sfingomielin jumlahnya menetap. Rasio L/S biasanya 1:1 pada gestasi

31-32 minggu, dan menjadi 2:1 pada gestasi 35 minggu. Rasio L/S 2:1 atau lebih

dianggap fungsi paru telah matang sempurna, rasio 1,5-1,9 sejumlah 50% akan

menjadi RDS, dan rasio kurang dari 1,5 sejumlah 73% akan menjadi RDS. Bila

radius alveolus mengecil, surfaktan yang memiliki sifat permukaan alveolus,

dengan demikian mencegah kolapsnya alveolus pada waktu ekspirasi. Kurangnya

surfaktan adalah penyebab terjadinya atelektasis secara progresif dan

menyebabkan meningkatnya distres pernafasan pada 24-48 jam pasca lahir.11,12

2.3.B Fungsi Surfaktan

Surfaktan merupakan suatu komplek material yang menutupi permukaan

alveoli paru, yang mengandung lapisan fosfolipid heterogen dan menghasilkan

selaput fosfolipid cair, yang dapat menurunkan tegangan permukaan antara air-

udara dengan harga mendekati nol, memastikan bahwa ruang alveoli tetap

terbuka selama siklus respirasi dan mempertahankan volume residual paru pada

saat akhir ekspirasi. Rendahnya tegangan permukaan juga memastikan bahwa

22

Page 23: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

jaringan aliran cairan adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial. Kebocoran

surfaktan menyebabkan akumulasi cairan ke dalam ruang alveoli. Surfaktan juga

berperan dalam meningkatkan klirens mukosiliar dan mengeluarkan bahan

particulate dari paru. 11,12

2.4 Pencegahan

Yang paling penting adalah pencegahan prematuritas, termasuk

menghindarkan seksio sesarea yang tidak perlu atau kurang sesuai waktu,

manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran beresiko tinggi dan

perkiraan serta kemungkinan pengobatan imaturitas paru dalam uterus. 12

Pemberian deksametason atau betametason pada wanita 48-72 jam

sebelum persalinan janin dengan umur kehamilan 32 minggu atau kurang sangat

mempengaruhi insiden dan moratlitas RDS. Sangat tepat memberikan

kosrtikosteroid intramuskular pada wanita hamil yang lesitin dalam cairan

amnionnya menunjukkan imaturitas paru janin dan yang mempunyai

kemungkinan bersalin dalam 1 minggu atau yang kelahirannya tertunda 48 jam

atau lebih. Terapi glukokortikoid ini mengurangi keparahan RDS dan

mengurangi insidensi komplikasi prematuritas lainnya seperti perdarahan

intraventrikuler, duktus arteriosus paten, pneumothoraks, dan enterokolitis

nekrotikans tanpa mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan kerja atau

pertumbuhan paru neonatus atau insiden infeksi. Glukokortikoid prenatal dapat

bekerja sinergis dengan surfaktan eksogen paska lahir. Pemberian satu dosis

surfaktan ke dalam trakea bayi premature segera setelah lahir atau selama

berumur 24 jam mengurangi mortalitas RDS tetapi tidak mengubah insiden

DBP.6,13

Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan

pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan,

yaitu natural surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas

protein, dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif. Adanya

perkembangan di bidang genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara aktif

surfaktan sintetik. Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus dengan

RDS sejak awal tahun 1990 dan merupakan campuran antara fosfolipid, lipid

23

Page 24: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

netral, dan protein yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan pada air-

tissue interface . Semua surfaktan derifat binatang mengalami berbagai proses

untuk mengeluarkan SP-A dan SP-D, menurunkan SP-B dan SP-C, dan merubah

fosfolipid sehingga berbeda dengan surfaktan binatang.11,12

Dosis yang digunakan bervariasi antara 100mg/kg sampai 200mg/kg.

dengan dosis 100mg/kg sudah dapat memberikan oksigenasi dan ventilasi yang

baik, dan menurunkan angka kematian neonatus dibandingkan dosis kecil, tapi

dosis yang lebih besar dari 100mg/kg tidak memberikan keuntungan tambahan.

Sampai saat ini surfaktan diberikan secara injeksi bolus intratrakeal, karena

diharapkan dapat menyebarkan sampai saluran napas bagian bawah. Penyebaran

surfaktan kurang baik pada lobus bawah sehingga dapat menyebabkan

penyebaran yang kurang homogen. Dengan pemberian secara bolus dapat

mempengaruhi tekanan darah pulmonar dan sistemik secara fluktuatif.

Pemberian secara perlahan-lahan dapat mengurangi hal tersebut tapi dapat

menyebabkan inhomogen yang lebih besar dan memberikan respon yang kurang

baik, pemberian surfaktan secara nebulasi mempunyai beberapa efek samping

pada jantung dan pernapasan tetapi kurang dari 15% dosis ini akan sampai ke

paru-paru.12,13

Dosis diberikan secara terbagi menjadi 4 dosis supaya pemberiannya

homogen sampai ke lobus paru bagian bawah. Setiap seperempat dosis diberikan

dengan posisi yang berbeda. Sebelum surfaktan dimasukkan ke dalam ETT

melalui NGT pastikan bahwa ETT berada pada posisi yang benar dan ventilator

di atur pada kecepatan 50x/menit, waktu inspirasi 0,5 detik, dan FiO21,0. ETT

dilepaskan dari ventilator dan kemudian: 4,11,12

a) Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah kepala menoleh ke

kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis pertama melalui NGT

selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual

untuk mencegah sianosis selama 30 detik,

b) Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah kepala menoleh ke

kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis kedua melalui NGT selama 2-

3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk

mencegah sianosis selama 30 detik,

24

Page 25: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

c) Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke atas kepala menoleh ke

kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis ketiga melalui NGT selama

2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk

mencegah sianosis selama 30 detik,

d) Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke atas kepala menoleh ke kiri,

masukkan surfaktan seperempat dosis keempat melalui NGT selama 2-3

detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk

mencegah sianosis selama 30 detik. Pemberian dosis dapat diulang

sebanyak 4x dengan interval 5 jam dan diberikan dalam 48 jam pertama

setelah lahir.

2.4.A Profilaksis surfaktan dan terapi

Surfaktan merupakan terapi yang penting dalam menurunkan angka

kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Sampai saat ini masih ada

perbedaan pendapat tentang waktu pemberian surfaktan, apakah segera setelah

lahir (pada bayi prematur) atau setelah ada gejala Respiratory Distress Syndrome.

Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian profilaksis

berhubungan dengan epithel paru pada bayi prematur akan mengalami kerusakan

dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi. 4

Hal ini menyebabkan kebocoran protein pada permukaan sehingga

mengganggu fungsi surfaktan. Beberapa penelitian dengan binatang

menyebutkan bahwa terapi surfaktan yang diberikan segera setelah lahir akan

menurunkan derajat beratnya RDS dan kerusakan jalan napas, meningkatkan gas

darah, fungsi paru dan kelangsungan hidup. Beberapa percoban klinik

menunjukkan bahwa terapi surfaktan untuk bayi prematur sangat bermanfaat dan

aman. Sepuluh pusat penelitian dari ALEC menggunakan surfaktan sebagai terapi

profilaksis, dan disebutkan terjadi penurunan insiden RDS sebanyak 30%

dibandingkan kontrol dan menurunkan angka kematian sebasar 48% tanpa efek

samping.4,11

25

Page 26: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

2.5 Prognosis

Prognosis sangat bergantung pada fasilitas intensif neonatus dan praktisi

kesehatan yang berpengalaman dalam mengatasi dan memberikan pertolongan

adekuat. Keseluruhan mortalitas bayi BBLR yang dirujuk ke pusat perawatan

intensif menurun sekitar 70 % bertahan hidup pada bayi < 1000 gram, 95%

bertahan hidup pada bayi >2500 gram. Prognosis jangka panjang untuk mencapai

fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi RDS yang bertahan hidup adalah

sangat baik. Namun, bayi yang berhasil bertahan hidup dari kegagalan pernafasan

neonatus yang berat dapat mengalami ganguan paru dan perkembangan saraf

yang signifikan.6,13.

26

Page 27: Respiratory Distress Syndrome pd Neonatus

BAB III

KESIMPULAN

Respiratory Distress Syndrome (penyakit membran hialin) merupakan

penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur.9,13

Hal ini disebabkan adanya defisiensi surfaktan yang menjaga agar kantong

alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana

surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang

dan bayi akan mengalami sesak napas.11 Pemberian surfaktan merupakan salah

satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS.12 Penatalaksaan

RDS dilakukan secara komprehensif, dimulai dari pengaturan suhu, saturasi

oksigen ,antibiotic dan nutrisi yang adekuat.14

27