Respiratory Distress Syndrome

26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Respiratory Distres Sindroma (RDS) adalah suatu kondisi di mana paru-paru tidak dapat menyediakan oksigen yang cukup. Ini adalah gangguan pernapasan yang mempengaruhi bayi baru lahir dan sangat langka untuk ditemukan ketika bayi baru lahir, penyakit ini lebih sering terjadi pada neonatus yang lahir sebelum tanggal jatuh tempo atau tanggal lahir yang diusulkan dan juga disebut sebagai preterms (1). RDS selanjutnya diklasifikasikan menjadi berbagai sub jenis tapi pada penjabaran akan fokus pada RDS yang mempengaruhi neonatus yaitu neonatal respiratory distress syndrome NRDS. Ini mempengaruhi bayi yang baru lahir yang lahir dimana paru-paru mereka belum dapat mengembang dengan sepenuhnya, kondisi medis yang serius di mana paru-paru bayi yang baru lahir tidak dapat memberikan tubuh mereka dengan oksigen yang cukup, juga dikenal sebagai hyaline membrane disease (HMD) (2) RDS adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipneu (> 60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar dan menetap pada terapi oksigen yang disebabkan penurunan daya pengembangan paru, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi . 1

description

semoga membantu

Transcript of Respiratory Distress Syndrome

Page 1: Respiratory Distress Syndrome

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Respiratory Distres Sindroma (RDS) adalah suatu kondisi di mana paru-paru

tidak dapat menyediakan oksigen yang cukup. Ini adalah gangguan pernapasan

yang mempengaruhi bayi baru lahir dan sangat langka untuk ditemukan ketika

bayi baru lahir, penyakit ini lebih sering terjadi pada neonatus yang lahir

sebelum tanggal jatuh tempo atau tanggal lahir yang diusulkan dan juga disebut

sebagai preterms (1).

RDS selanjutnya diklasifikasikan menjadi berbagai sub jenis tapi pada

penjabaran akan fokus pada RDS yang mempengaruhi neonatus yaitu neonatal

respiratory distress syndrome NRDS. Ini mempengaruhi bayi yang baru lahir

yang lahir dimana paru-paru mereka belum dapat mengembang dengan

sepenuhnya, kondisi medis yang serius di mana paru-paru bayi yang baru lahir

tidak dapat memberikan tubuh mereka dengan oksigen yang cukup, juga dikenal

sebagai hyaline membrane disease (HMD) (2)

RDS adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature

dengan tanda-tanda takipneu (> 60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara

kamar dan menetap pada terapi oksigen yang disebabkan penurunan daya

pengembangan paru, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan

dengan adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan

adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya

hyaline membran pada saat otopsi .

Gangguan ini Merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan

perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam

paru. Gangguan ini biasanya dikenal dengan nama hyaline membrane desease

(HMD) atau penyakit membran hialin karena pada penyaakit ini selalu

ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli. (Marmi dan Kukuh

Rahardjo,2012)

Dalam keadaan normal, bayi mulai menghasilkan surfaktan pada minggu 24

atau 28 selama kehamilan dan pada minggu 34, cukup surfaktan yang dihasilkan

oleh mereka untuk bernapas lega [2]

1

Page 2: Respiratory Distress Syndrome

2.2 Etiologi

Perkembangan paru pada bayi berasal dari pengembangan ‘embryonic

foregut’ di mulai dengan perkembangan bronki pada usia 3 minggu kehamilan.

Pertumbuhan paru ke arah kaudal ke mesenkim sekitar dan pembuluh darah, otot

halus, tulang rawan dan komponen fibroblast berasal dari jaringan ini. Secara

endodermal, epitelium mulai membentuk alveoli dab saluran pernafasan. Ada 4

periode perkembangan paru, yaitu:

1. Pseudoglandular (5 – 17 minggu)

Terjadi perkembangan percabangan hilus dan asiner.

2. Kanalikuler (16-26 minggu)

Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkim serta diferensiasi

penumosit alveolar tipe II sekitar 20 minggu

3. Sakuler (24 – 38 minggu)

Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga dada serta awal pembentukan

septum alveolar.

4. Alveolar (36 minggu – lebih dari 2 tahun setelah lahir)

Penipisan septum alveolar dan pembentukan alveolar baru.

RDS sering terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya

produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-

22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS.

Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur,

asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksual sesaria. Surfaktan biasanya

didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong

alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana

surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru

kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul

segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.

Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru,

sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom neonatus yang terdiri:

a.  Faktor Ibu

Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau

lebih dari 35 tahun, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah,

2

Page 3: Respiratory Distress Syndrome

maupun penyakit pembuluh darah ibu yang menggangu pertukaran gas

janin seperti hipertensi, penyakit jantung,diabetes mellitus, dan lain-lain.

b.  Faktor Plasenta

Faktor plasenta meliputi solusio plasenta,perdarahan plasenta, plasenta

kecil, plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya.

c.  Faktor Janin

Faktor janin atau neonates meliputi tali pusat menumbung,tali pusat

melilit leher,kompresi tali pusat antara jaanin daan jalan lahir,gemeli

premature,kelainan kongenital, pada neonates dan lain-lain.

d. Faktor Persalinan

Faktor persalinan meliputi partus lama,partus dengan tindakan dan lain-

lain.

Sumber lain juga menyatakan bahwa satu masalah pada bayi dengan berat badan lahir rendah preterm yaitu respiratory distress syndrome, dimana sindroma ini merupakan penyebab terbanyak angka kesakitan dan kematian pada BBLR di dunia. Dimana di Negara maju seperti Amerika terjadi sekitar 20.000 – 30.000 pada bayi baru lahir setiap tahunnya (5).

2.3 Patofisiologi

Pada RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan

kurangnya zat yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi

sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Sel tipe II ini sangat sensitive

dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal, dan

kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi,

IUGR dan kehamilan kembar. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24

minggu dan mencapai maksimal pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid

(75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan

permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa

udara fungsional pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan

terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.

RDS dapat menimbulkan dampak yang cukup berat bagi bayi berupa

kerusakan otak atau bahkan kematian. Akibat dari gangguan pada sistem

pernafasan adalah terjadinaya kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh bayi

3

Page 4: Respiratory Distress Syndrome

akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen dengan mengaktifkan

metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama,

metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat. (Marmi dan Kukuh

Rahardjo,2012)

Dengan memburuknya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak

maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain karena hipoksia dan iskemia.

Pada stadium awal terjadi hiperventilasi diikuti stadium apneu primer. Pada

keadaan ini bayi tampak sianosis, tetapi sirkulasi darah relative masih baik.

Curah jantung yang meningkat dan adanya vasokontriksi perifer ringan

menimbulkan peninggkatan tekanan darah dan reflek bradikardi ringan. Depresi

pernafasan pada saat ini dapat diatasi dengaan meningkatkan implus aferen

seperti perangsangan pada kulit. Apneu normal berlangsung sekitar 1-2 menit.

Apneu primer dapat memanjang dan diikuti dengan memburuknya sistem

sirkulasi. Hipoksia miokardium dan asidosis akan memperberat

bradikardi,vasokontraksi dan hipotensi. Keadaan ini dapat terjadi sampai 5menit

dan kemudian terjadi apneu sekunder. Selama apneu sekunder denyut jantung,

tekanan darah dan kadar oksigen dalam darah terus menurun. Bayi tidak bereaksi

terhadap rangsangan dan tidak menunjukkan upaya pernafasan secara spontan.

Kematian akan terjadi kecuali pernafasan buatan dan pemberian oksigen segera

dimulai.

Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris menyebabkan

transudasi kedalam alveoli sehingga terbentuk fibrin dan jaringan epitel yang

nekrotik yang membentuk lapisan membrane hialin.

Asidosis akan menyebabkan terganggunya jantung, penurunan aliran darah ke

paru, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan

terjadinya atelektasis.

Secara singkat patofisiologinya dapat digambarkan sbb :

Atelektasis → hipoksemia →asidosis → transudasi → penurunan aliran darah

paru → hambatan pembentukan zat surfaktan → atelekstasis. Hal ini berlangsung

terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian.

4

Page 5: Respiratory Distress Syndrome

2.4 Klasifikasi

Tabel 1. Klasifikasi Gangguan Nafas

Frekuensi nafas Gejala tambahan

gangguan nafas

Klarifikasi

>60 kali/menit Dengan Sianosi sentral dan tarikan

dinding dada atau merintih

saat ekspirasi

Atau >90 kali/menit Dengan Sianosis sentral atau tarikan

dinding dada atau merintih

saat ekspirasi

Gangguan

nafas berat

Atau <30 kali/menit Dengan atau

tanpa

Gejala lain dari gangguan

nafas

60-90 kali/menit Dengan

terapi tanpa

Tarikan dinding dada atau

merintih saat ekspirasi

sianosis sentral

Atau >90 kali/menit Tanpa Tarikan dinding dada atau

merintih saat ekspirasi

sianosis sentral

Gangguan

nafas sedang

60-90 kali/menit Tanpa Tarikan dinding dada atau

merintih saat ekspirasi

sianosis sentral

Gangguan

nafas ringan

60-90 kali/menit Dengan

terapi tanpa

Sianosis sentral tarikan

dinding dada atau merintih

Kelainan

jantung

kongenital

Sumber: Kosim MS, Suryono A, Setyowati DS dkk

Tabel 2. Evaluasi Gawat Nafas dengan Downe Score

PemeriksaanSkor

0 1 2Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menitRetraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi beratSianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang

dengan 02

Sianosis menetap walaupun diberi O2

Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara

5

Page 6: Respiratory Distress Syndrome

udara masuk masukMerintih Tidak merintih Dapat didengar

dengan stetoskopDapat didengar tanpa alat bantu

Skor > 6 : Ancaman gagal nafas

2.5 Faktor Predisposisi

1. Bayi kurang bulan (BKB). Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara

biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang melapisi rongga

paru.

2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal,

aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi,dan hipertensi

pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah keluar dari paru.

3. Bayi dari ibu diabetes mellitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetesterjadi

keterlambatn pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi

4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar,berapa

pun usia gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru

(Transient Tachypnea of Newborn).

5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat

terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis.

6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium, mungkin mengalami aspirasi

mekonium.

2.6 Gejala Klinis

Gejala NRDS muncul dengan cepat setelah lahir. Gejala termasuk kulit

kebiruan berwarna dan selaput lendir, apnea, penurunan output urin, mendengus,

cuping hidung, cepat atau pernapasan dangkal (3)

Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama setelah lahir

terutama pada umur 6-8 jam. Gejala karakteristik mulai timbul pada usia 43-72

jam dan setelah itu keadaan bayi mungkin memburuk atau mengalami perbaikan.

Apabila membaik gejalanya akan menghilang pada minggu pertama. Perbaikan

sering ditunjukan dengan diuresis spontan dan oksigenasi bayi yang lebih rendah.

Kelemahan jarang terjadi pada hari pertama sakit biasanya terjadi pada hari ke 2

dan ke-3 disertai dengan kebocoran alveolar (emfisema intersisial, pneumotorak)

perdarahan paru atau interventrikuler. (5)(6).

6

Page 7: Respiratory Distress Syndrome

Gejala biasanya muncul segera setelah lahir, meskipun kadang-kadang juga

dapat muncul beberapa jam kemudian. Gejala tersebut antara lain (7)(8):

a. Sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan

takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung, retraksi dinding dada.

b. Sianosis pada kulit atau mukosa.

c. Terjadinya apneu.

d. Grunting ekspiratoar.

e. Nasal flaring.

f. Penurunan produksi urin.

Dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Kriteria diagnostik untuk RDS meliputi beberapa tes yang mengkonfirmasi dan

memberikan gambaran yang jelas tentang permasalah pernapasan pada bayi. Tes

meliputi dada x-ray yang memberikan gambaran radiografi paru-paru dan jantung

dan menunjukkan tanda-tanda NRDS. Tes darah lebih mungkin penting untuk

mengetahui bayi yang memiliki jumlah yang cukup menyediakan oksigen dalam

darah. Atau mungkin ada beberapa penyebab infeksi pada darah masalah

pernapasan. Echocardiography juga digunakan untuk pergi melalui gerakan

jantung dengan menggunakan gelombang suara untuk membangun hati bergerak

dan mencari tahu komplikasi jantung yang menyebabkan masalah pernapasan

(1).

Tabel 3. Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami Distress

Pernafasan

Pemeriksaan Kegunaan

Kultur darah Menunjukkan keadaan bakteriemia

Analisis gas darah Menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan asam basa

Glukosa darah Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat

menyebabkan atau memperberat takipnea

Rontgen toraks Mengetahui etiologi distress nafas

Darah rutin dan hitung

jenis

Leukositosis menunjukkan adanya infeksi

Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri

7

Page 8: Respiratory Distress Syndrome

Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis

Pulse oximetry Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen

Sumber: Hermansen18

Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :

I. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara.

II. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan

gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke

perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.

III. Alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat

lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram

udara lebih luas.

IV. Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat

dilihat.

Gambar 1. Gambaran radiologi bayi dengan RDS

2.8 Tatalaksana

1. Penatalaksanaan Non Respiratorik

Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan

neonatus yang mengalami distress pernafasan. Keadaan hipo maupun

hipertermi harus dihindari. Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang

36,5−37,5oC.

8

Page 9: Respiratory Distress Syndrome

Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress nafas

yang berat, dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk mencegah

keadaan hipoglikemia. Keseimbangan cairan, elektrolit dan glukosa harus

diperhatikan. Pemberian cairan biasanya dimulai dengan jumlah yang

minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose 10% atau ¾ dari

kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan dosis 6-8 ml/kgBB/hari

dapat ditambahkan pada infus cairan yang diberikan. Pemberian nutrisi

parenteral dapat dimulai sejak hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai

dari 3,5 g/kgBB/hari dan lipid mulai dari 3 g/kgBB/hari.

Gejala dan hasil pemeriksaan radiologis pada bayi yang mengalami distress

nafas sering tidak spesifik sehingga penyebab lain terjadinya distress nafas

seperti sepsis perlu dipertimbangkan, dan pemberian antibiotik spektrum luas

sedini mungkin harus dimulai sampai hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan

antibiotik inisial yang dianjurkan adalah ampicillin dan gentamicin.

2. Penatalaksanaan Respiratotik

Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas

dibersihkan dari lendir atau sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama

diperlukan, serta memastikan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat.

Monitoring saturasi oksigen dapat dilakukan dengan menggunakan pulse

oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan memulai intubasi dan

ventilasi. Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau tanpa

sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan

sebaiknya oksigen lembab dan telah dihangatkan.

Tabel 4. Panduan untuk Monitoring Oxygen dengan Pulse Oxymetri

> 95% Bayi aterm

88-94% Bayi pre term (28-34 minggu)

85-92% < 28 minggu

Sumber: Matha

Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin

kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang

9

Page 10: Respiratory Distress Syndrome

seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan menangani dan mengatasi

etiologi gagal nafas. Indikasi untuk memulai ventilasi mekanis pada pasien

yang mengalami gagal nafas biasanya didasari atas menetap atau

memburuknya keadan klinis akibat proses pertukaran gas di paru-paru yang

terganggu.

Ventilasi Mekanis

Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan

berbagai efek pada sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah

membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan pada

FiO2 (fractional concentration of inspired oxygen) yang minimal, serta

tekanan ventilator/volume tidal yang minimal.3 Derajat distress pernafasan,

derajat abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat

instabilitas kardiopulmonal serta keadaan fisiologis penderita harus ikut

dipertimbangkan dalam memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator

mekanik. Berbagai mode ventilasi mekanik dapat ditentukan oleh parameter

yang diatur oleh klinisi untuk menentukan karakteristik pernafasan mekanis

yang diinginkan.

Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) prolonged

apnea, (2) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan

disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2 lebih dari

60 mmHg dengan asidemia persisten, dan (4) bayi yang menggunakan

anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan ventilasi

mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea, (2) bayi yang

menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada pemberian surfaktan.

3. Surfaktan

NRDS merupakan Sindroma yang sering terjadi pada bayi premature, oleh

karena itu pengobatan dimulai segera setelah bayi lahir. Terapi penantian

surfaktan dapat menurunkan angka kematian hingga 50%, dimana terapi

surfaktan dilakukan di awal neonates, dapat mengurangi kebocoran udara

pada paru dan dibandingkan dengan terapi surfaktan selektif (4).

10

Page 11: Respiratory Distress Syndrome

Suatu bahan senyawa kimia yang memiliki sifat permukaan aktif.

Surfaktan pada paru manusia merupakan senyawa lipoprotein dengan

komposisi yang kompleks dengan variasi berbeda sedikit diantara spesies

mamalia. Senyawa ini terdiri dari fosfolipid (hampir 90% bagian), berupa

Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) yang juga disebut lesitin, dan

protein surfaktan sebagai SPA, SPB, SPC dan SPD (10% bagian). DPPC

murni tidak dapat bekerja dengan baik sebagai surfaktan pada suhu normal

badan 37°C, diperlukan fosfolipid lain (mis. fosfatidilgliserol) dan juga

memerlukan protein surfaktan untuk mencapai air liquid-interface dan untuk

penyebarannya keseluruh permukaan.

Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi

22-24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-26

minggu,yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu. Produksi

surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang

terdapat pada sel alveolus type II. Produksi surfaktan dapat dipercepat lebih

dini dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh

stres, atau oleh pengobatan deksamethason yang diberikan pada ibu yang

diduga akan melahirkan bayi dengan defisiensi surfaktan. Karena paru-paru

janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam

cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur

kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin/sfingomielin dari

cairan amnion. Sfingomielin adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan

tubuh lainnya kecuali paru-paru. Jumlah lesitin meningkat dengan

bertambahnya gestasi, sedangkan sfingomielin jumlahnya menetap. Rasio L/S

biasanya 1:1 pada gestasi 31-32 minggu, dan menjadi 2:1 pada gestasi 35

minggu. Rasio L/S 2:1 atau lebih dianggap fungsi paru telah matang

sempurna, rasio sejumlah 50% akan menjadi RDS, dan rasio kurang dari 1,5

sejumlah 73% akan menjadi RDS. Bila radius alveolus mengecil, surfaktan

yang memiliki sifat permukaan alveolus, dengan demikian mencegah

kolapsnya alveolus pada waktu ekspirasi. Kurangnya surfaktan adalah

penyebab terjadinya atelektasis secara progresif dan menyebabkan

meningkatnya distres pernafasan pada 24-48 jam pasca lahir.

11

Page 12: Respiratory Distress Syndrome

Sintesa dan Sekresi Surfaktan

Surfaktan paru disintesa dalam sel alveoli type II, satu dari dua sel yang

ada dalam epithel alveoli. Surfaktan fosfolipid terbugkus dengan surfaktan

protein B dan C dalam lamelar bodies yang disekresi dalam rongga udara

dengan cara eksositosis ( gambar 1 ). Secara ekstraseluler, fosfolipid dan

lamelar bodies berinteraksi dengan SP-A dan kalsium untuk membentuk

tubular myelin yang merupakan bentukan suatu bahan kaya lemak dari

lapisan tipis fosfolipid yang terdiri dari lapisan tunggal dan lapisan ganda

yang dihasilkan antara permukaan udaraair. Lapisan tipis monomolekuler

menurunkan kekuatan tegangan permukaan yang cenderung mambuat

kolapnya paru. Dalam kondisi normal, sebagian besar surfaktan berada dalam

rongga alveoli yang merupakan bentuk fungsional aktif dalam jumlah besar

( large aggregates (LA), dengan sisa yang ditemukan dalam bentuk kantong

surfaktan kecil atau dalam jumlah kecil (small aggregrates (LA) yang

mengandung bahan degradasi. Surfaktan dibersihkan dengan pengambilan

kembali oleh sel type II, kemudian keduanya akan mengalami degradasi oleh

marofag alveoli dan sebagian kecil berada dalam saluran pernapasan dan

melintasi barier epithelendothel. Lebih dari 40 tahun yang lalu, banyak

penelitian yang dilakukan untuk mengenali peranan surfaktan dalam

menurunkan tegangan permukaan antara udara-cairan dan perjalanan penyakit

RDS pada bayi prematur. Gejala defisiensi surfaktan ditandai adanya

atelektasis, kolaps alveoli, dan hipoksemia.

Pemberian secara intratrakeal surfaktan eksogen yang merupakan

campuran SP-B, SP-C, dan fosfolipid merupakan kriteria standard untuk

terapi bayi dengan RDS . Campuran surfaktan ini bekerja dengan cepat untuk

meningkatkan pengembangan dan volume paru, dengan hasil menurunnya

kebutuhan oksigen dan ventilasi tekanan positip. Keefektifan terapi surfaktan

kemungkinan disebabkan karena menurunnya tegangan permukaan dan

pengambilan kembali partikel surfaktan dari epitel saluran napas. Penggunaan

terapi surfaktan dalam jangka panjang dapat menurunkan angka kesakitan dan

angka kematian tetapi kurang signifikan untuk barotrauma dan penyakit paru

kronik.

12

Page 13: Respiratory Distress Syndrome

Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus dengan RDS

sejak awal tahun 1990 (Halliday,1997), dan merupakan campuran antara

fosfolipid, lipid netral, dan protein yang berfungsi menurunkan tegangan

permukaan pada air-tissue interface . Semua surfaktan derifat binatang

mengalami berbagai proses untuk mengeluarkan SP-A dan SP-D,

menurunkan SP-B dan SP-C, dan merubah fosfolipid sehingga berbeda

dengan surfaktan binatang (Bernhard et al, 2000).

Human surfaktan dibuat dari 100ml cairan amnion yang bersih (tidak

mengandung mekonium dan darah) yang diambil pada proses sectio sesar dan

dapat menghasilkan 1 gram surfaktan (Robertson,1987). Karena proses

pembuatannya yang sulit dan adanya resiko blood borne viruses maka

penggunaanya sangat terbatas. Hasil dari studi meta analisis dengan

Randomised Control Trial (Soll,2003) menunjukkan bahwa hampir 40%

menurunkan angka kematian dan 30-70% menurunkan insiden pneumothorax

pada RDS , akan tetapi surfaktan yang diberikan pada komplikasi prematur

(chronic lung disease, patent ductus arteriosus, retinopathy premature)

memberikan efek yang tidak memuaskan.

Semua golongan surfaktan secara in vitro menurunkan tegangan

permukaan, terutama terdapat pada surfaktan kombinasi protein, dapat

menurunkan pemakaian kebutuhan oksigen dan ventilator dengan cepat. Pada

suatu studi meta analisis yang membandingkan antara penggunaan surfaktan

derifat binatang dengan surfaktan sintetik bebas protein pada 5500 bayi yang

terdaftar dalam 16 penelitian random, 11 penelitian memberikan hasil yang

signifikan bahwa surfaktan derifat binatang lebih banyak menurunkan angka

kematian dan pneumothorak dibandingkan dengan surfaktan sintetik bebas

protein (Soll and Blanco, 2003).

Terapi surfaktan sangat penting utnuk tatalaksana RDS. Terapi surfaktan

dapat mengurangi kematian sebesar 30-50%, tetapi belum dapat mengurangi

angka progresivitas dari RDS menjadi BPD. Surfaktan dapat diberikan pada 6

sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami respiratory distress

syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya

13

Page 14: Respiratory Distress Syndrome

4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan

tambahan oksigen 30% atau lebih.

Tabel 5. Dosis surfaktan yang direkomendasikan untuk terapi.

Nama Produk Dosis Awal Dosis TambahanGalfactant 3 ml/KgBB Dapat diulang sampai 3 kali

pemberian dengan interval tiap 12 jam

Beractant 4 ml/KgBB Dapat diulang setelah 6 jam, sampai total 4 dosis dalam 48 jam

Colfosceril 5 ml/KgBB diberikan dalam 4 menit

Dapat diulang setelah 12 dan 24 jam

Porcine 2,5 ml/KgBB Dosis 1,25 ml/KgBB dapat diberikan tiap 12 jam

Sumber: Nuccio P, Pantano C

Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan

menggunakan nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT

memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian perifer

paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang dapat

ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan

menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit),

dilanjutkan dengan postural drainage, tetapi hasil penelitian menunjukkan

bahwa pemberian surfaktan dengan cara ini kurang efektif karena volume

surfaktan yang sampai kedalam paru-paru lebih sedikit.

Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara lain,

bradikardi, hipoksemia, hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi,

hipoksemia dan sumbatan pada endotracheal tube (ETT) dapat terjadi pada

saat pemberian surfaktan dilakukan. Perubahan perfusi serebral dapat terjadi

pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang mendadak dari aliran

darah paru kedalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping tersebut dapat

diatasi dengan menghentikan pemberian surfaktan dan meningkatkan aliran

oksigen dan ventilasi.

2.3 Komplikasi

Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi:

14

Page 15: Respiratory Distress Syndrome

1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,

pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada

bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis

hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.

2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang

memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni.

Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum

vena, kateter, dan alat-alat respirasi.

3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan

intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi

terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.

4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan

komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi

surfaktannya.

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan

yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang

menuju ke otak dan organ lain.

Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :

1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik

yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36

minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang

digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi,

inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan

menurunnya masa gestasi.

2. Retinopathy premature. Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-

70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia,

komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

Faktor resiko respiratory distress sindroma pada bayi yaitu berat badan lahir rendah. Bayi kurang bulan, usia maternal lebih dari sama dengan 32 tahun, ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan yaitu ibu dengan

15

Page 16: Respiratory Distress Syndrome

penderita diabetes milletus, hipertensi, toksemia, hipotensi atau perdarahan antepartum, seelumnya melahirkan dengan respiratory distress syndrome, metode persalinan dengan seksio sesaria dan bayi laki-laki. Dimana sinroma ini diperberat dengan afiksia perinatal, infeksi dan bayi kembar (9).

2.4 Prognosis

a. Prognosis tergantung pada latar belakang etiologi.b. Prognosis baik apabila nafas akut dan tidak berhubungan dengan keadaan

hipoksemia yang lama.

16

Page 17: Respiratory Distress Syndrome

DAFTAR PUSTAKA

1. U.S. Department of Health & Human Services. Explore Respiratory Distress

Syndrome. National Heart, Lung and Blood Institute NIH, 2012

2. GOV.UK. Neonatal Respiratory Distress Syndrom NRDS. NHS Choices, 2013.

3. National Library of Medicines U.S. Neonatal respiratory distress syndrome. Medline Plus, 2013.

4. Yousuf R. Abbas A, The Pharmacoterapy of Neonatal Respiratory Distress Syndrome (NRDS), International Journal of Pharmacotherapy, University Sunderland: England, 2014.

5. Rosario, santos and cua. 2005. Neonatal Assessment of Respiratory Distress Sindrome.

17