Respiratory Distress Syndrome
-
Upload
yadnyadewata -
Category
Documents
-
view
23 -
download
3
description
Transcript of Respiratory Distress Syndrome
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Respiratory Distres Sindroma (RDS) adalah suatu kondisi di mana paru-paru
tidak dapat menyediakan oksigen yang cukup. Ini adalah gangguan pernapasan
yang mempengaruhi bayi baru lahir dan sangat langka untuk ditemukan ketika
bayi baru lahir, penyakit ini lebih sering terjadi pada neonatus yang lahir
sebelum tanggal jatuh tempo atau tanggal lahir yang diusulkan dan juga disebut
sebagai preterms (1).
RDS selanjutnya diklasifikasikan menjadi berbagai sub jenis tapi pada
penjabaran akan fokus pada RDS yang mempengaruhi neonatus yaitu neonatal
respiratory distress syndrome NRDS. Ini mempengaruhi bayi yang baru lahir
yang lahir dimana paru-paru mereka belum dapat mengembang dengan
sepenuhnya, kondisi medis yang serius di mana paru-paru bayi yang baru lahir
tidak dapat memberikan tubuh mereka dengan oksigen yang cukup, juga dikenal
sebagai hyaline membrane disease (HMD) (2)
RDS adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature
dengan tanda-tanda takipneu (> 60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara
kamar dan menetap pada terapi oksigen yang disebabkan penurunan daya
pengembangan paru, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan
dengan adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan
adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya
hyaline membran pada saat otopsi .
Gangguan ini Merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan
perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam
paru. Gangguan ini biasanya dikenal dengan nama hyaline membrane desease
(HMD) atau penyakit membran hialin karena pada penyaakit ini selalu
ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli. (Marmi dan Kukuh
Rahardjo,2012)
Dalam keadaan normal, bayi mulai menghasilkan surfaktan pada minggu 24
atau 28 selama kehamilan dan pada minggu 34, cukup surfaktan yang dihasilkan
oleh mereka untuk bernapas lega [2]
1
2.2 Etiologi
Perkembangan paru pada bayi berasal dari pengembangan ‘embryonic
foregut’ di mulai dengan perkembangan bronki pada usia 3 minggu kehamilan.
Pertumbuhan paru ke arah kaudal ke mesenkim sekitar dan pembuluh darah, otot
halus, tulang rawan dan komponen fibroblast berasal dari jaringan ini. Secara
endodermal, epitelium mulai membentuk alveoli dab saluran pernafasan. Ada 4
periode perkembangan paru, yaitu:
1. Pseudoglandular (5 – 17 minggu)
Terjadi perkembangan percabangan hilus dan asiner.
2. Kanalikuler (16-26 minggu)
Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkim serta diferensiasi
penumosit alveolar tipe II sekitar 20 minggu
3. Sakuler (24 – 38 minggu)
Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga dada serta awal pembentukan
septum alveolar.
4. Alveolar (36 minggu – lebih dari 2 tahun setelah lahir)
Penipisan septum alveolar dan pembentukan alveolar baru.
RDS sering terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya
produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-
22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS.
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur,
asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksual sesaria. Surfaktan biasanya
didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong
alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana
surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru
kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul
segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru,
sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom neonatus yang terdiri:
a. Faktor Ibu
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah,
2
maupun penyakit pembuluh darah ibu yang menggangu pertukaran gas
janin seperti hipertensi, penyakit jantung,diabetes mellitus, dan lain-lain.
b. Faktor Plasenta
Faktor plasenta meliputi solusio plasenta,perdarahan plasenta, plasenta
kecil, plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya.
c. Faktor Janin
Faktor janin atau neonates meliputi tali pusat menumbung,tali pusat
melilit leher,kompresi tali pusat antara jaanin daan jalan lahir,gemeli
premature,kelainan kongenital, pada neonates dan lain-lain.
d. Faktor Persalinan
Faktor persalinan meliputi partus lama,partus dengan tindakan dan lain-
lain.
Sumber lain juga menyatakan bahwa satu masalah pada bayi dengan berat badan lahir rendah preterm yaitu respiratory distress syndrome, dimana sindroma ini merupakan penyebab terbanyak angka kesakitan dan kematian pada BBLR di dunia. Dimana di Negara maju seperti Amerika terjadi sekitar 20.000 – 30.000 pada bayi baru lahir setiap tahunnya (5).
2.3 Patofisiologi
Pada RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan
kurangnya zat yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi
sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Sel tipe II ini sangat sensitive
dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal, dan
kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi,
IUGR dan kehamilan kembar. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24
minggu dan mencapai maksimal pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid
(75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan
permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa
udara fungsional pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan
terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
RDS dapat menimbulkan dampak yang cukup berat bagi bayi berupa
kerusakan otak atau bahkan kematian. Akibat dari gangguan pada sistem
pernafasan adalah terjadinaya kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh bayi
3
akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen dengan mengaktifkan
metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama,
metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat. (Marmi dan Kukuh
Rahardjo,2012)
Dengan memburuknya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah ke otak
maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain karena hipoksia dan iskemia.
Pada stadium awal terjadi hiperventilasi diikuti stadium apneu primer. Pada
keadaan ini bayi tampak sianosis, tetapi sirkulasi darah relative masih baik.
Curah jantung yang meningkat dan adanya vasokontriksi perifer ringan
menimbulkan peninggkatan tekanan darah dan reflek bradikardi ringan. Depresi
pernafasan pada saat ini dapat diatasi dengaan meningkatkan implus aferen
seperti perangsangan pada kulit. Apneu normal berlangsung sekitar 1-2 menit.
Apneu primer dapat memanjang dan diikuti dengan memburuknya sistem
sirkulasi. Hipoksia miokardium dan asidosis akan memperberat
bradikardi,vasokontraksi dan hipotensi. Keadaan ini dapat terjadi sampai 5menit
dan kemudian terjadi apneu sekunder. Selama apneu sekunder denyut jantung,
tekanan darah dan kadar oksigen dalam darah terus menurun. Bayi tidak bereaksi
terhadap rangsangan dan tidak menunjukkan upaya pernafasan secara spontan.
Kematian akan terjadi kecuali pernafasan buatan dan pemberian oksigen segera
dimulai.
Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris menyebabkan
transudasi kedalam alveoli sehingga terbentuk fibrin dan jaringan epitel yang
nekrotik yang membentuk lapisan membrane hialin.
Asidosis akan menyebabkan terganggunya jantung, penurunan aliran darah ke
paru, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan
terjadinya atelektasis.
Secara singkat patofisiologinya dapat digambarkan sbb :
Atelektasis → hipoksemia →asidosis → transudasi → penurunan aliran darah
paru → hambatan pembentukan zat surfaktan → atelekstasis. Hal ini berlangsung
terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian.
4
2.4 Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi Gangguan Nafas
Frekuensi nafas Gejala tambahan
gangguan nafas
Klarifikasi
>60 kali/menit Dengan Sianosi sentral dan tarikan
dinding dada atau merintih
saat ekspirasi
Atau >90 kali/menit Dengan Sianosis sentral atau tarikan
dinding dada atau merintih
saat ekspirasi
Gangguan
nafas berat
Atau <30 kali/menit Dengan atau
tanpa
Gejala lain dari gangguan
nafas
60-90 kali/menit Dengan
terapi tanpa
Tarikan dinding dada atau
merintih saat ekspirasi
sianosis sentral
Atau >90 kali/menit Tanpa Tarikan dinding dada atau
merintih saat ekspirasi
sianosis sentral
Gangguan
nafas sedang
60-90 kali/menit Tanpa Tarikan dinding dada atau
merintih saat ekspirasi
sianosis sentral
Gangguan
nafas ringan
60-90 kali/menit Dengan
terapi tanpa
Sianosis sentral tarikan
dinding dada atau merintih
Kelainan
jantung
kongenital
Sumber: Kosim MS, Suryono A, Setyowati DS dkk
Tabel 2. Evaluasi Gawat Nafas dengan Downe Score
PemeriksaanSkor
0 1 2Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menitRetraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi beratSianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang
dengan 02
Sianosis menetap walaupun diberi O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
5
udara masuk masukMerintih Tidak merintih Dapat didengar
dengan stetoskopDapat didengar tanpa alat bantu
Skor > 6 : Ancaman gagal nafas
2.5 Faktor Predisposisi
1. Bayi kurang bulan (BKB). Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara
biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang melapisi rongga
paru.
2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal,
aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi,dan hipertensi
pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah keluar dari paru.
3. Bayi dari ibu diabetes mellitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetesterjadi
keterlambatn pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi
4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar,berapa
pun usia gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru
(Transient Tachypnea of Newborn).
5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat
terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis.
6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium, mungkin mengalami aspirasi
mekonium.
2.6 Gejala Klinis
Gejala NRDS muncul dengan cepat setelah lahir. Gejala termasuk kulit
kebiruan berwarna dan selaput lendir, apnea, penurunan output urin, mendengus,
cuping hidung, cepat atau pernapasan dangkal (3)
Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama setelah lahir
terutama pada umur 6-8 jam. Gejala karakteristik mulai timbul pada usia 43-72
jam dan setelah itu keadaan bayi mungkin memburuk atau mengalami perbaikan.
Apabila membaik gejalanya akan menghilang pada minggu pertama. Perbaikan
sering ditunjukan dengan diuresis spontan dan oksigenasi bayi yang lebih rendah.
Kelemahan jarang terjadi pada hari pertama sakit biasanya terjadi pada hari ke 2
dan ke-3 disertai dengan kebocoran alveolar (emfisema intersisial, pneumotorak)
perdarahan paru atau interventrikuler. (5)(6).
6
Gejala biasanya muncul segera setelah lahir, meskipun kadang-kadang juga
dapat muncul beberapa jam kemudian. Gejala tersebut antara lain (7)(8):
a. Sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan
takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung, retraksi dinding dada.
b. Sianosis pada kulit atau mukosa.
c. Terjadinya apneu.
d. Grunting ekspiratoar.
e. Nasal flaring.
f. Penurunan produksi urin.
Dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Kriteria diagnostik untuk RDS meliputi beberapa tes yang mengkonfirmasi dan
memberikan gambaran yang jelas tentang permasalah pernapasan pada bayi. Tes
meliputi dada x-ray yang memberikan gambaran radiografi paru-paru dan jantung
dan menunjukkan tanda-tanda NRDS. Tes darah lebih mungkin penting untuk
mengetahui bayi yang memiliki jumlah yang cukup menyediakan oksigen dalam
darah. Atau mungkin ada beberapa penyebab infeksi pada darah masalah
pernapasan. Echocardiography juga digunakan untuk pergi melalui gerakan
jantung dengan menggunakan gelombang suara untuk membangun hati bergerak
dan mencari tahu komplikasi jantung yang menyebabkan masalah pernapasan
(1).
Tabel 3. Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami Distress
Pernafasan
Pemeriksaan Kegunaan
Kultur darah Menunjukkan keadaan bakteriemia
Analisis gas darah Menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan asam basa
Glukosa darah Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat
menyebabkan atau memperberat takipnea
Rontgen toraks Mengetahui etiologi distress nafas
Darah rutin dan hitung
jenis
Leukositosis menunjukkan adanya infeksi
Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri
7
Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis
Pulse oximetry Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen
Sumber: Hermansen18
Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
I. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara.
II. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan
gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke
perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
III. Alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat
lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram
udara lebih luas.
IV. Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat
dilihat.
Gambar 1. Gambaran radiologi bayi dengan RDS
2.8 Tatalaksana
1. Penatalaksanaan Non Respiratorik
Monitoring temperatur merupakan hal yang penting dalam perawatan
neonatus yang mengalami distress pernafasan. Keadaan hipo maupun
hipertermi harus dihindari. Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang
36,5−37,5oC.
8
Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress nafas
yang berat, dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk mencegah
keadaan hipoglikemia. Keseimbangan cairan, elektrolit dan glukosa harus
diperhatikan. Pemberian cairan biasanya dimulai dengan jumlah yang
minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose 10% atau ¾ dari
kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan dosis 6-8 ml/kgBB/hari
dapat ditambahkan pada infus cairan yang diberikan. Pemberian nutrisi
parenteral dapat dimulai sejak hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai
dari 3,5 g/kgBB/hari dan lipid mulai dari 3 g/kgBB/hari.
Gejala dan hasil pemeriksaan radiologis pada bayi yang mengalami distress
nafas sering tidak spesifik sehingga penyebab lain terjadinya distress nafas
seperti sepsis perlu dipertimbangkan, dan pemberian antibiotik spektrum luas
sedini mungkin harus dimulai sampai hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan
antibiotik inisial yang dianjurkan adalah ampicillin dan gentamicin.
2. Penatalaksanaan Respiratotik
Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas
dibersihkan dari lendir atau sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama
diperlukan, serta memastikan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat.
Monitoring saturasi oksigen dapat dilakukan dengan menggunakan pulse
oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan memulai intubasi dan
ventilasi. Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau tanpa
sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan
sebaiknya oksigen lembab dan telah dihangatkan.
Tabel 4. Panduan untuk Monitoring Oxygen dengan Pulse Oxymetri
> 95% Bayi aterm
88-94% Bayi pre term (28-34 minggu)
85-92% < 28 minggu
Sumber: Matha
Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin
kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang
9
seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai dengan menangani dan mengatasi
etiologi gagal nafas. Indikasi untuk memulai ventilasi mekanis pada pasien
yang mengalami gagal nafas biasanya didasari atas menetap atau
memburuknya keadan klinis akibat proses pertukaran gas di paru-paru yang
terganggu.
Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan
berbagai efek pada sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah
membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan pada
FiO2 (fractional concentration of inspired oxygen) yang minimal, serta
tekanan ventilator/volume tidal yang minimal.3 Derajat distress pernafasan,
derajat abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat
instabilitas kardiopulmonal serta keadaan fisiologis penderita harus ikut
dipertimbangkan dalam memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator
mekanik. Berbagai mode ventilasi mekanik dapat ditentukan oleh parameter
yang diatur oleh klinisi untuk menentukan karakteristik pernafasan mekanis
yang diinginkan.
Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) prolonged
apnea, (2) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan
disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2 lebih dari
60 mmHg dengan asidemia persisten, dan (4) bayi yang menggunakan
anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan ventilasi
mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea, (2) bayi yang
menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada pemberian surfaktan.
3. Surfaktan
NRDS merupakan Sindroma yang sering terjadi pada bayi premature, oleh
karena itu pengobatan dimulai segera setelah bayi lahir. Terapi penantian
surfaktan dapat menurunkan angka kematian hingga 50%, dimana terapi
surfaktan dilakukan di awal neonates, dapat mengurangi kebocoran udara
pada paru dan dibandingkan dengan terapi surfaktan selektif (4).
10
Suatu bahan senyawa kimia yang memiliki sifat permukaan aktif.
Surfaktan pada paru manusia merupakan senyawa lipoprotein dengan
komposisi yang kompleks dengan variasi berbeda sedikit diantara spesies
mamalia. Senyawa ini terdiri dari fosfolipid (hampir 90% bagian), berupa
Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) yang juga disebut lesitin, dan
protein surfaktan sebagai SPA, SPB, SPC dan SPD (10% bagian). DPPC
murni tidak dapat bekerja dengan baik sebagai surfaktan pada suhu normal
badan 37°C, diperlukan fosfolipid lain (mis. fosfatidilgliserol) dan juga
memerlukan protein surfaktan untuk mencapai air liquid-interface dan untuk
penyebarannya keseluruh permukaan.
Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi
22-24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-26
minggu,yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu. Produksi
surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang
terdapat pada sel alveolus type II. Produksi surfaktan dapat dipercepat lebih
dini dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh
stres, atau oleh pengobatan deksamethason yang diberikan pada ibu yang
diduga akan melahirkan bayi dengan defisiensi surfaktan. Karena paru-paru
janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam
cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur
kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin/sfingomielin dari
cairan amnion. Sfingomielin adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan
tubuh lainnya kecuali paru-paru. Jumlah lesitin meningkat dengan
bertambahnya gestasi, sedangkan sfingomielin jumlahnya menetap. Rasio L/S
biasanya 1:1 pada gestasi 31-32 minggu, dan menjadi 2:1 pada gestasi 35
minggu. Rasio L/S 2:1 atau lebih dianggap fungsi paru telah matang
sempurna, rasio sejumlah 50% akan menjadi RDS, dan rasio kurang dari 1,5
sejumlah 73% akan menjadi RDS. Bila radius alveolus mengecil, surfaktan
yang memiliki sifat permukaan alveolus, dengan demikian mencegah
kolapsnya alveolus pada waktu ekspirasi. Kurangnya surfaktan adalah
penyebab terjadinya atelektasis secara progresif dan menyebabkan
meningkatnya distres pernafasan pada 24-48 jam pasca lahir.
11
Sintesa dan Sekresi Surfaktan
Surfaktan paru disintesa dalam sel alveoli type II, satu dari dua sel yang
ada dalam epithel alveoli. Surfaktan fosfolipid terbugkus dengan surfaktan
protein B dan C dalam lamelar bodies yang disekresi dalam rongga udara
dengan cara eksositosis ( gambar 1 ). Secara ekstraseluler, fosfolipid dan
lamelar bodies berinteraksi dengan SP-A dan kalsium untuk membentuk
tubular myelin yang merupakan bentukan suatu bahan kaya lemak dari
lapisan tipis fosfolipid yang terdiri dari lapisan tunggal dan lapisan ganda
yang dihasilkan antara permukaan udaraair. Lapisan tipis monomolekuler
menurunkan kekuatan tegangan permukaan yang cenderung mambuat
kolapnya paru. Dalam kondisi normal, sebagian besar surfaktan berada dalam
rongga alveoli yang merupakan bentuk fungsional aktif dalam jumlah besar
( large aggregates (LA), dengan sisa yang ditemukan dalam bentuk kantong
surfaktan kecil atau dalam jumlah kecil (small aggregrates (LA) yang
mengandung bahan degradasi. Surfaktan dibersihkan dengan pengambilan
kembali oleh sel type II, kemudian keduanya akan mengalami degradasi oleh
marofag alveoli dan sebagian kecil berada dalam saluran pernapasan dan
melintasi barier epithelendothel. Lebih dari 40 tahun yang lalu, banyak
penelitian yang dilakukan untuk mengenali peranan surfaktan dalam
menurunkan tegangan permukaan antara udara-cairan dan perjalanan penyakit
RDS pada bayi prematur. Gejala defisiensi surfaktan ditandai adanya
atelektasis, kolaps alveoli, dan hipoksemia.
Pemberian secara intratrakeal surfaktan eksogen yang merupakan
campuran SP-B, SP-C, dan fosfolipid merupakan kriteria standard untuk
terapi bayi dengan RDS . Campuran surfaktan ini bekerja dengan cepat untuk
meningkatkan pengembangan dan volume paru, dengan hasil menurunnya
kebutuhan oksigen dan ventilasi tekanan positip. Keefektifan terapi surfaktan
kemungkinan disebabkan karena menurunnya tegangan permukaan dan
pengambilan kembali partikel surfaktan dari epitel saluran napas. Penggunaan
terapi surfaktan dalam jangka panjang dapat menurunkan angka kesakitan dan
angka kematian tetapi kurang signifikan untuk barotrauma dan penyakit paru
kronik.
12
Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus dengan RDS
sejak awal tahun 1990 (Halliday,1997), dan merupakan campuran antara
fosfolipid, lipid netral, dan protein yang berfungsi menurunkan tegangan
permukaan pada air-tissue interface . Semua surfaktan derifat binatang
mengalami berbagai proses untuk mengeluarkan SP-A dan SP-D,
menurunkan SP-B dan SP-C, dan merubah fosfolipid sehingga berbeda
dengan surfaktan binatang (Bernhard et al, 2000).
Human surfaktan dibuat dari 100ml cairan amnion yang bersih (tidak
mengandung mekonium dan darah) yang diambil pada proses sectio sesar dan
dapat menghasilkan 1 gram surfaktan (Robertson,1987). Karena proses
pembuatannya yang sulit dan adanya resiko blood borne viruses maka
penggunaanya sangat terbatas. Hasil dari studi meta analisis dengan
Randomised Control Trial (Soll,2003) menunjukkan bahwa hampir 40%
menurunkan angka kematian dan 30-70% menurunkan insiden pneumothorax
pada RDS , akan tetapi surfaktan yang diberikan pada komplikasi prematur
(chronic lung disease, patent ductus arteriosus, retinopathy premature)
memberikan efek yang tidak memuaskan.
Semua golongan surfaktan secara in vitro menurunkan tegangan
permukaan, terutama terdapat pada surfaktan kombinasi protein, dapat
menurunkan pemakaian kebutuhan oksigen dan ventilator dengan cepat. Pada
suatu studi meta analisis yang membandingkan antara penggunaan surfaktan
derifat binatang dengan surfaktan sintetik bebas protein pada 5500 bayi yang
terdaftar dalam 16 penelitian random, 11 penelitian memberikan hasil yang
signifikan bahwa surfaktan derifat binatang lebih banyak menurunkan angka
kematian dan pneumothorak dibandingkan dengan surfaktan sintetik bebas
protein (Soll and Blanco, 2003).
Terapi surfaktan sangat penting utnuk tatalaksana RDS. Terapi surfaktan
dapat mengurangi kematian sebesar 30-50%, tetapi belum dapat mengurangi
angka progresivitas dari RDS menjadi BPD. Surfaktan dapat diberikan pada 6
sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami respiratory distress
syndrome yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya
13
4-6 jam) setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan
tambahan oksigen 30% atau lebih.
Tabel 5. Dosis surfaktan yang direkomendasikan untuk terapi.
Nama Produk Dosis Awal Dosis TambahanGalfactant 3 ml/KgBB Dapat diulang sampai 3 kali
pemberian dengan interval tiap 12 jam
Beractant 4 ml/KgBB Dapat diulang setelah 6 jam, sampai total 4 dosis dalam 48 jam
Colfosceril 5 ml/KgBB diberikan dalam 4 menit
Dapat diulang setelah 12 dan 24 jam
Porcine 2,5 ml/KgBB Dosis 1,25 ml/KgBB dapat diberikan tiap 12 jam
Sumber: Nuccio P, Pantano C
Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan
menggunakan nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT
memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian perifer
paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang dapat
ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan
menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit),
dilanjutkan dengan postural drainage, tetapi hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian surfaktan dengan cara ini kurang efektif karena volume
surfaktan yang sampai kedalam paru-paru lebih sedikit.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara lain,
bradikardi, hipoksemia, hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi,
hipoksemia dan sumbatan pada endotracheal tube (ETT) dapat terjadi pada
saat pemberian surfaktan dilakukan. Perubahan perfusi serebral dapat terjadi
pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang mendadak dari aliran
darah paru kedalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping tersebut dapat
diatasi dengan menghentikan pemberian surfaktan dan meningkatkan aliran
oksigen dan ventilasi.
2.3 Komplikasi
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi:
14
1. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada
bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis
hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang
memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni.
Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum
vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan
komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi
surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan
yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang
menuju ke otak dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik
yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36
minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang
digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi,
inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan
menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy premature. Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-
70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia,
komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
Faktor resiko respiratory distress sindroma pada bayi yaitu berat badan lahir rendah. Bayi kurang bulan, usia maternal lebih dari sama dengan 32 tahun, ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan yaitu ibu dengan
15
penderita diabetes milletus, hipertensi, toksemia, hipotensi atau perdarahan antepartum, seelumnya melahirkan dengan respiratory distress syndrome, metode persalinan dengan seksio sesaria dan bayi laki-laki. Dimana sinroma ini diperberat dengan afiksia perinatal, infeksi dan bayi kembar (9).
2.4 Prognosis
a. Prognosis tergantung pada latar belakang etiologi.b. Prognosis baik apabila nafas akut dan tidak berhubungan dengan keadaan
hipoksemia yang lama.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. U.S. Department of Health & Human Services. Explore Respiratory Distress
Syndrome. National Heart, Lung and Blood Institute NIH, 2012
2. GOV.UK. Neonatal Respiratory Distress Syndrom NRDS. NHS Choices, 2013.
3. National Library of Medicines U.S. Neonatal respiratory distress syndrome. Medline Plus, 2013.
4. Yousuf R. Abbas A, The Pharmacoterapy of Neonatal Respiratory Distress Syndrome (NRDS), International Journal of Pharmacotherapy, University Sunderland: England, 2014.
5. Rosario, santos and cua. 2005. Neonatal Assessment of Respiratory Distress Sindrome.
17