Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

19
Setiawan Putra Syah 2011 | 1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor REMAJA DAN KESEHATAN REPRODUKSI SETIAWAN PUTRA SYAH B251100011 PS Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor I. Pendahuluan Remaja yang dalam bahasa resminya disebut adolescenc berasal dari bahasa Latin (adolescere) yang berarti tumbuh mencapai kematangan (Prihatin 2007), merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa mencapai kematangan, dimana merupakan suatu tahapan psikologi perkembangan yang “rentan” dengan berbagai macam perubahan, baik secara fisik, psikis atau biologis. Psikolog Piaget, mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang tua atau setidaknya sejajar (Prihatin 2007). Masa remaja adalah suatu tahap antara anak anak dengan masa dewasa. Istilah ini menunjukkan dari awal pubertas sampai tercapainya kematangan, biasanya mulai dari usia 14 tahun pada pria dan 12 tahun pada wanita. Transisi kemasa depan bervariasi dari suatu budaya ke kebudayaan lain, namun secara umum di definisikan sebagai waktu dimana individu bertindak terlepas dari orang tua mereka. Definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah mereka yang berusia 10 sampai dengan 19 tahun dan belum menikah. Remaja memiliki peran besar dalam menentukan tingkat pertumbuhan penduduk yang diindikasikan dengan besarnya proporsi remaja (Indrawanti dan Sadjimin 2002). Menurut WHO (1995) seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berusia 10-19 tahun. Data profil kesehatan Indonesia tahun 2000, menyebutkan jumlah dan persentase penduduk golongan usia 10-24 tahun (definisi WHO untuk young people) adalah 64 juta orang atau sekitar 31% dari total seluruh populasi. Sedangkan untuk remaja usia 10-19 tahun (definisi WHO untuk adolesence) berjumlah 44 juta atau 21% dari total seluruh populasi (Prihatin 2007). Pada tahun 2004 Kitting melaporkan Sekitar 20% dari penduduk Indonesia adalah remaja

description

Membahas seputar prilaku dan penyimpangan kesehatan reproduksi remaja serta penananggulangannya

Transcript of Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

Page 1: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 1

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

REMAJA DAN KESEHATAN REPRODUKSI

SETIAWAN PUTRA SYAH B251100011

PS Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

I. Pendahuluan

Remaja yang dalam bahasa resminya disebut adolescenc berasal dari

bahasa Latin (adolescere) yang berarti tumbuh mencapai kematangan (Prihatin

2007), merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke masa

mencapai kematangan, dimana merupakan suatu tahapan psikologi perkembangan

yang “rentan” dengan berbagai macam perubahan, baik secara fisik, psikis atau

biologis. Psikolog Piaget, mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah

suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu

usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang tua

atau setidaknya sejajar (Prihatin 2007). Masa remaja adalah suatu tahap antara

anak – anak dengan masa dewasa. Istilah ini menunjukkan dari awal pubertas

sampai tercapainya kematangan, biasanya mulai dari usia 14 tahun pada pria dan

12 tahun pada wanita. Transisi kemasa depan bervariasi dari suatu budaya ke

kebudayaan lain, namun secara umum di definisikan sebagai waktu dimana individu

bertindak terlepas dari orang tua mereka. Definisi remaja yang digunakan oleh

Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah mereka yang berusia 10 sampai

dengan 19 tahun dan belum menikah.

Remaja memiliki peran besar dalam menentukan tingkat pertumbuhan

penduduk yang diindikasikan dengan besarnya proporsi remaja (Indrawanti dan

Sadjimin 2002). Menurut WHO (1995) seperlima dari penduduk dunia adalah remaja

berusia 10-19 tahun. Data profil kesehatan Indonesia tahun 2000, menyebutkan

jumlah dan persentase penduduk golongan usia 10-24 tahun (definisi WHO untuk

young people) adalah 64 juta orang atau sekitar 31% dari total seluruh populasi.

Sedangkan untuk remaja usia 10-19 tahun (definisi WHO untuk adolesence)

berjumlah 44 juta atau 21% dari total seluruh populasi (Prihatin 2007). Pada tahun

2004 Kitting melaporkan Sekitar 20% dari penduduk Indonesia adalah remaja

Page 2: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 2

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

berusia 15-24 tahun atau setara dengan 41,4 juta orang (Nursal 2008). Proporsi

yang besar pada usia ini mengindikasikan bahwa penduduk pada kelompok ini

memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan tingkat pertumbuhan suatu

negara. Besarnya proporsi penduduk berusia muda, secara teoritis mempunyai dua

makna, Pertama, besarnya penduduk usia muda merupakan modal pembangunan

yaitu sebagai faktor produksi tenaga manusia (human resources), apabila mereka

dapat dimanfaatkan secara tepat dan baik. Memanfaatkan mereka secara tepat dan

baik diperlukan beberapa persyaratan. Di antaranya adalah kemampuan keakhlian,

kemampuan keterampilan dan kesempatan untuk berkarya. Kedua, apabila

persyaratan tersebut tidak dapat dimiliki oleh penduduk usia muda, yang terjadi

adalah sebaliknya, yaitu penduduk usia muda justru menjadi beban pembangunan

(Laksmiwati 2000).

Masa remaja diwarnai oleh pertumbuhan, perubahan, munculnya berbagai

kesempatan, dan seringkali menghadapi resiko-resiko kesehatan. Pada masa ini

terjadi perubahan fisik yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda seks primer

dan sekunder serta perubahan kejiwaan meliputi perubahan emosi menjadi sensitif

dan perilaku ingin mencoba hal-hal baru. Meskipun remaja sudah matang secara

organ seksual, tetapi emosi dan kepribadiannya masih labil karena masih mencari

jati dirinya, sehingga rentan terhadap berbagai godaan dalam lingkungan

pergaulannya. Remaja cenderung ingin tahu dan mencoba-coba apa yang dilakukan

oleh orang dewasa (Dewi 2009). Menurut Prihatin (2007), Perkembangan emosi

pada remaja ditandai dengan sifat emosional yang meledak – ledak, sulit untuk

dikendalikan. Disatu pihak emosi yang menggebu – gebu ini memang menyulitkan,

terutama untuk orang lain dalam mengerti jiwa remaja. Emosi yang tidak terkendali

disebabkan antara lain (termasuk orang tua) karena konflik peran yang sedang

dialami oleh remaja.

Apabila seorang remaja tidak berhasil mengatasi situasi - situasi krisis dalam

rangka mengatasi konflik peran dalam dirinya, karena ia terlalu mengikuti gejolak

emosinya, kemungkinannya dia akan terperangkap masuk ke jalan yang salah. Dari

sudut pandang kesehatan masyarakat, tindakan yang mengkhawatirkan adalah

masalah kesehatan reproduksi remaja. Gejolak-gejolak remaja yang telah

disebutkan diatas jika didorong oleh rangsangan seksual dapat membawa remaja

Page 3: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 3

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

pada perilaku yang dampaknya merugikan remaja itu sendiri. Kegiatan seksual

menempatkan posisi remaja pada tantangan resiko terhadap berbagai masalah

kesehatan reproduksi. Masalah yang berkaitan dengan seks bebas (unprotected

sexuality), penyebaran penyakit kelamin, kehamilan di luar nikah atau kehamilan

yang tidak dikehendaki (adolecent unwanted pragnancy) di kalangan remaja dapat

mengakibatkan penularan PMS dan HIV-AIDS, serta aborsi tidak aman. Pada

remaja sering terjadi penggunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif

lainnya) yang biasanya diikuti dengan hubungan seksual di luar nikah dengan

berganti-ganti pasangan yang meningkatkan risiko tertular PMS (Penyakit Menular

Seksual) dan HIV-AIDS (Nursal 2008).

II. Perilaku Seksual Remaja

Sejak remaja memasuki kehidupan sosialnya, seiring dengan perubahan

hormone dan kondisi fisik remaja pada masa awal pubertas, remaja mulai

mengalami ketertarikan kepada teman lawan jenisnya. Perkembangan sosial

individu dengan kelompoknya akan mempengaruhi seseorang untuk berinteraksi,

sehingga tidak dapat dipungkiri jika pertemanan antar lawan jenis bisa membuat

seseorang mengalami ketertarikan. Perilaku seksual adalah segala tingkah laku

yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan

sesama jenis. Prilaku seksual bagi remaja digolongkan dalam prilaku seksual

pranikah yang disebut pacaran. Gejala perilaku pacaran sudah sangat umum

dikalangan masyarakat Indonesia. Bahkan perilaku ini juga dilakukan oleh remaja

yang masih duduk di bangku sekolah menengah. Bisa diamati pula di berbagai

media massa yang membidik pasaran anak usia sekolah menengah sebagai target

pasar, banyak mengangkat tulisan mengenai hubungan antar lawan jenis yang

mereka sebut sebagai pacaran.

Pacaran merupakan proses mengenal dan memahami lawan jenisnya dan

belajar membina hubungan dengan lawan jenis sebagai persiapan sebelum menikah

untuk menghindari terjadinya ketidakcocokan dan permasalahan pada saat sudah

menikah. Masing-masing berusaha mengenal kebiasaan, karakter atau sifat, serta

reaksi-reaksi terhadap berbagai masalah maupun peristiwa (Dewi 2009). Pacaran

Page 4: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 4

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

merupakan kenangan yang sangat mengesankan bagi remaja pada kehidupannya

yang mendatang. Masa-masa pacaran dapat dijadikan proses pembelajaran akan

kemajemukan bahwa manusia diciptakan berbeda sehingga dapat menimbulkan

saling pengertian dan kasih sayang dan masa-masa pacaran seharusnya dapat

memperkaya wawasan orang yang sedang berpacaran akan kesehatan reproduksi.

Menurut Dewi (2009), pacaran memberikan kesempatan bagi remaja untuk

meningkatkan kemampuan sosial dan interpersonal mereka. Pacaran juga

mempersiapkan remaja untuk memilih pasangan hidup. Pada beberapa remaja

pacaran juga dimanfaatkan untuk melakukan percobaan aktivitas seksual.

Seksualitas sudah berkembang sejak usia kanak-kanak. Seksualitas para

remaja dimulai dari perubahan-perubahan tubuh faali yang menimbulkan tujuan baru

dari dorongan seksual, yaitu reproduksi. Dorongan seksual merupakan perasaan

erotik atau terangsang terhadap lawan jenis dengan tujuan akhir melakukan

hubungan seksual. Dorongan seksual dan perasaan cinta yang mulai muncul pada

remaja menimbulkan ekspresi seksual dalam bentuk perilaku seksual. Baik remaja

putra maupun putri akan merasakan adanya suatu dorongan seksual yang dapat

menyebabkan remaja ingin melakukan hubungan seksual pranikah (Dewi 2009).

Menurut Muss (1990), dacu dalam Dewi (2009) perilaku seks yang dilakukan

saat berpacaran dimulai dari ciuman selamat malam, berpelukan, ciuman yang

mendalam (ciuman di bibir dan leher), petting ringan sampai berat dan berhubungan

seks. Dalam berpacaran remaja melibatkan beberapa kontak fisik, mulai dari

berpegangan tangan, berciuman atau berpelukan, bahkan berhubungan seksual.

Selain itu dalam berpacaran biasanya remaja juga melakukan necking dan petting.

Penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko (2007) tentang prilaku berpacaran remaja

di Kudus diketahui bahwa aktifitas yang dilakukan ketika pacaran sebanyak 33%

mengatakan ketika pacaran hanya berbagi cerita dengan pacarnya, 23% pergi

berduaan, 17% menyatakan mereka pegangan tangan, 9% memeluk pacarnya, 9%

mencium, 6% makan berduaan dan ada 3% yang melakukan hubungan suami istri.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Damayanti (2008), diacu dalam Nursal (2008)

terhadap remaja di SLTA Jakarta diperoleh hasil bahwa perilaku pacaran remaja

adalah mengobrol, pegangan tangan, berangkulan, berciuman pipi, berpelukan,

berciuman bibir, meraba-raba dada, meraba alat kelamin, menggesek kelamin, seks

Page 5: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 5

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

oral, dan hubungan seks. Penelitian yang dilakukan Neni (2004) diacu dalam Nursal

(2008) pada murid SMU 9 Padang menemukan 7,8% murid telah melakukan

hubungan seks. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perilaku seksual murid

SMU Negeri di Padang dan faktor-faktor yang berhubungan dengannya. Pada

tingkat SLTP dilaporkan oleh Indarsita (2006) bahwa prilaku kesehatan reproduksi

siswa SLTPN Medan pada tahun 2002 diperoleh 28% berprilaku kesehatan

reproduksi yang termasuk beresiko.

Perilaku seksual yang banyak dilakukan oleh remaja dapat menimbulkan

berbagai dampak, seperti yang dijelaskan dalam tabel berikut ini:

Tabel 1. Dampak Perilaku Seksual

PERILAKU ASIKNYA NGGAK ASIKNYA

Nggak disalurkan

• nggak merasa berdosa • nggak bakal hamil • diterima masyarakat

• nggak „greng‟

Pegangan tangan

• aman • nggak bakalan hamil • diterima masyarakat

• bosan • nggak seru

Ciuman • nggak hamil • romantis • bisa dinikmati

• malu kalo ketauan • merasa berdosa • bisa nularin penyakit

Masturbasi • Aman dari kehamilan • Bisa puas juga • aman dari PMS/AIDS

• merasa bersalah • merasa berdosa

Petting

• bisa puas juga • Kemungkinan hamil kecil (bukan berarti nggak bisa) • Lebih „greng‟ dibanding ciuman

• bisa menularkan PMS • bisa menimbulkan lecet di alat kelamin

Hubungan seks • paling “heboh” • variasi banyak • sensasi paling “greng”

• resiko hamil besar • Resiko tertular PMS • resiko dicela masyarakat

Sumber : Dewi 2009

Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting

dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis, seperti

Page 6: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 6

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

berpacaran. Informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan,

agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau dari sumber-sumber yang

tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali. Pemberian informasi masalah seksual

menjadi penting, mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif karena

berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak

memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri. Tentu

saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila tidak

memiliki pengetahuan dan informasi yang tepat.

III. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja

Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku

reproduksi remaja terdiri dari faktor di luar individu dan faktor di dalam individu.

Faktor di luar individu adalah faktor lingkungan di mana remaja tersebut berada.

Faktor lingkungan ini bervariasi macamnya, ada teman sepermainan (peer-group),

pengaruh media massa dan televisi, bahkan faktor orang tua sendiri (Taufik dan

Anganthi 2005). Sedang faktor di dalam individu yang cukup menonjol adalah sikap

permisif (sikap serba boleh) dari individu yang bersangkutan. Sementara sikap

permisif ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Laksmiwati 2000). Faktor lain yang

dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan seks bebas karena didorong oleh

rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui. Ini

merupakan ciri-ciri remaja pada umumnya. Remaja ingin mengetahui banyak hal

yang hanya dapat dipuaskan serta diwujudkannya melalui pengalaman mereka

sendiri (Taufik dan Anganthi 2005). Nursal (2008) menambahkan bahwa faktor yang

menyebabkan sehingga terjadinya perubahan pandangan perilaku seksual pada

remaja karena pengawasan dan perhatian orang tua dan keluarga yang longgar,

pola pergaulan bebas, lingkungan permisif, semakin banyaknya hal-hal yang

memberikan rangsangan seksual sangat mudah dijumpai dan fasilitas seringkali

diberikan oleh keluarga tanpa disadari.

Beberapa faktor lain yang disebutkan oleh Sarwono (2004) yang

mempengaruhi munculnya masalah kesehatan reproduksi remaja adalah ; a).

meningkatnya libido seksualitas, yang membutuhkan penyaluran dalam bentuk

Page 7: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 7

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

tingkah laku seksual, b). penundaan usia perkawinan, c). tabu larangan, berlakunya

norma-norma agama yang melarang sesorang melakukan hubungan seksual

sebelum menikah, bagi remaja yang tidak dapat menahan diri akan cenderung

melanggarnya. d). kurang informasi tentang seks, yaitu karena belum lengkapnya

informasi yang benar, ada kecendrungan meniru apa yang dilihat dan didengar dari

media massa. e). pergaulan yang semakin bebas, hal ini berkembang karena

meningkatnya peran wanita didalam masyarakat yang kedudukannya makin sejajar,

sehingga pergaulanpun makin bebas.

A. Teman Sepermainan (peer-group)

Informasi mengenai kesehatan reproduksi dan hubungan seksual yang

diperoleh dari teman sebaya (peer) sedikit banyak telah memberikan dorongan

untuk menetukan prilaku seksual remaja dalam melakukan interaksi dengan

pasangan. Teori lain menyatakan dukungan teman menjadi salah satu motivasi

dan pembentukam identitas diri seorang remaja dalam melakukan sosialisasi,

terutama saat dia menjalin asmara dengan lawan jenis. Selanjutnya teman sebaya

dalam pergaulan kadangkala menjadi salah satu sumber informasi yang cukup

signifikan dalam membentuk pengetahuan seksual dikalangan remaja, bahakan

informasi teman sebaya bisa menimbulkan dampak negatif karena informasi yang

mereka peroleh hanya melalui tayangan media massa seperti; film, VCD,televisi

maupun pengalaman diri sendiri (Prihatin 2007).

Collins dan Loursen diacu dalam (Prihatin 2007) menyatakan remaja

cenderung lebih terbuka dalam menyelaisaikan masalah dengan kelompoknya, hal

ini karena adanya konflik atau perbedaan nilai yang dianut remaja dengan keluarga.

Dengan demikian peran teman sebaya bagi remaja sangat berarti dalam menjalin

informasi mengenai kesehatan reproduksi dan segala problematika seksual di

kalangan remaja.

B. Keluarga

Perubahan bentuk keluarga juga berakibat adanya perubahan dalam sifat

hubungan antara orang tua dengan anak-anak mereka, khususnya anak-anak

remaja. Perubahan tersebut adalah dalam arah semakin berkurangnya pengawasan

Page 8: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 8

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

orang tua terhadap anak-anaknya, dan semakin terpisahnya orang tua dan anak-

anak mereka ke dalam dua dunia yang berbeda. Peran orang tua dalam mendidik

anak sangat menentukan pembentukan karakter dan perkembangan kepribadian

anak. Selanjutnya hubungan komunikasi yang baik antara orang tua dan anak akan

menciptakan saling memahami terhadap masalah – masalah keluarga, khususnya

mengenai problematika remaja, sehingga akan berpengaruh terhadap sikap dan

perilaku yang dibawa anak yang sesuai dengan nilai – nilai yang ditanamkan kepada

anak oleh orang tua mereka (Davis 2006, diacu dalam Prihatin 2007). Pendapat lain

menyatakan bahwa orang tua memegang peranan penting untuk meningkatkan

pengetahuan anak remaja secara umum dan khususnya kesehatan reproduksi

(Hambali 2000).

Permasalahan yang sering muncul adalah bahwa sebagian orang tua dan

lingkungan masih menganggap tabu untuk membicarakan masalah seks. Adanya

anggapan bahwa membicarakan tentang kesehatan seksual adalah hal yang

memalukan dan tabu bagi keluarga dan masyarakat membuat remaja yang haus

informasi berusaha sendiri mencari informasi. Terkadang informasi yang di dapat

malah menyesatkan dan setengah-setengah. Menurut Surono (1997), diacu dalam

Nursal (2008) pengetahuan yang setengah setengah justru lebih berbahaya

ketimbang tidak tahu sama sekali, tetapi ketidaktahuan juga membahayakan.

Pengetahuan seksual yang hanya setengah-setengah tidak hanya mendorong

remaja untuk mencoba-coba, tapi juga bisa menimbulkan salah persepsi.

Komunikasi adalah inti suksesnya suatu hubungan antara orang tua dan remaja.

Hubungan komunikasi secara lancar dan terbuka harus selalu dijaga agar dapat

diketahui hal – hal yang diinginkan oleh remaja sehubungan dengan pertumbuhan

dan perkembangan remaja. Lebih jauh dikatakan bahwa orang tua harus dapat

menyediakan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan anak remaja di rumah

dan berbicara apasaja mengenai kehidupan yang berhubungan dengan remaja dan

jangan menggurui atau mengatakan ”tidak”, serta dapat menjadi teman yang baik

bagi remaja (Prihatin 2007).

Page 9: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 9

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

C. Media Massa

Selain melalui teman sumber informasi utama remaja tenang kesehatan

reproduksi pada umumnya adalah media massa (cetak dan elektronik). Indarsita

(2006) melaporkan, media cetak dan media elektronik masing-masing memiliki

19,5% dan 33,3% proporsi dalam meningkatkan prilaku kesehatan reproduksi

beresiko pada remaja. Dewasa ini rangsangan seksual melalui media visual (televisi,

bioskop, vcd, internet), media cetak (majalah, buku-buku stensilan, novel roman dan

koran) sangatlah terbuka dengan lebar dan mengglobal, sangatlah membuat was-

was banyak pihak dikarenakan ketidaktahuan remaja dalam memahami masalah

seks karena remaja membahasnya dengan teman-teman sebaya (peer- group) yang

tidak tahu secara benar apa sebetulnya seks itu (Widjanarko 2007). Menurut

Indarsita (2006) prilaku kesehatan reproduksi yang beresiko pada remaja banyak

disebabkan oleh karena informasi tentang kesehatan reproduksi terutama seks lebih

mudah diperoleh karena aksesnya banyak antara lain melalui media cetak (buku,

majalah, stensilan) dan elektronik (radio, televise, dan Internet). Dengan makin

seringnya remaja terpapar oleh hal-hal tersebut maka memungkinkan bagi mereka

untuk berperilaku kesehatan reproduktif yang beresiko.

Paparan informasi seksual melalui media massa tidak begitu banyak

memberikan kontribusi positif bagi remaja. Tidak jarang informasi yang yang

diperoleh hanya berupa alternatif pemecahan masalah bagi mereka yang pernah

mempunyai masalah kesehatan reproduksi, seperti konsultasi seksologi di beberapa

majalah atau Koran. Rubrik konsultasi seperti tersebut biasanya diikuti oleh mereka

yang sudah berumah tangga atau mereka yang berperilaku tidak sehat. Keadaan

pengetahuan seperti ini menjadi faktor penting yang menyebabkan mereka semakin

permisif melakukan hubungan seks pranikah (Laksmiwati 2000). Mudahnya remaja

mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dari berbagai media tanpa adanya

batasan atau sensor, apalagi saat mendapatkan informasi tersebut tidak didampingi

oleh keluarga sehingga remaja tersebut menerima sesuai dengan alur pikirnya

sendiri, mengakibatkan tidak jarang terjadinya penyimpangan seksual akibat media

massa (Indarsita 2006).

Page 10: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 10

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

IV. Kesehatan Reproduksi Remaja

Definisi kesehatan reproduksi dalam konfrensi kependudukan di Kairo 1994,

dilandaskan pada definisi sehat menurut WHO, yaitu keadaaan sehat secara

menyeluruh baik aspek fisik, mental, maupun sosial, dan bukan semata-mata

terbebas dari penyakit dan kecacatan yang berkaitan dengan sistem reproduksi,

fungsi dan prosesnya (ICPD 1994, diacu dalam Purwanto 2000). Kesehatan

reproduksi mencakup tiga komponen yaitu; kemampuan (ability), keberhasilan

(success), dan keamanan (safety). Kemampuan berarti dapat bereproduksi.

Keberhasilan berarti dapat menghasilkan anak sehat yang tumbuh dan berkembang.

Keamanan berarti semua prosess reproduksi termasuk hubungan seks, kehamilan,

persalinan, kontrasepsi dan abortus seyogianya bukan merupakan aktifitas yang

berbahaya (Affandy 1997).

Kesehatan reproduksi remaja mencakup tiga hal (Indrawanti dan Sadjimin

2002), yaitu; 1). Kesehatan masa remaja, ketika secara biologis kehidupan

seksualnya mulai aktif, dan ketika kaum wanita mulai mengalami haid. Haid seperti

juga hamil adalah proses wajar yang terjadi pada kaum wanita, tetapi dapat juga

mempengaruhi kesehatannya. Masalah bahaya penyakit kelamin AIDS juga mulai

diperhatikan dan disarakan sejak usia ini karena dampaknya data berkelanjutan

sampai mereka tua. 2). Kesehatan sewaktu masa usia produktif, yang mencakup

hamil dan sewaktu tidak hamil, ataupun ketidak mampuan untuk hamil. deteksi dini

terhadap keganasan dan kelaianan-kelainan yang secara kronis dapat

mempengaruhi kesehatan sampai tua harus mendapat perhatian sejak manusia

dalam usia produktif. 3). Kesehatan masa menopause

Menurut Purwanto (2000), Agar seseorang dapat melalui fungsi

reproduksinya secara sehat, kesehatan harus dijaga sejak masih berusia remaja,

bahkan sejak masih usia anak-anak. Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan yaitu;

1. Menjaga agar baik laki-laki maupun perempuan berproduksi dalam

keadaan sehat, serta mampu mengasuh anak-anaknya secara

bertanggung jawab, sehingga merekapun kelak akan mampu menjalani

tugas reproduksinya secara sehat pula.

Page 11: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 11

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2. Menjamin bahwa mereka akan melewati masa reproduksinya secara

aman, tanpa komplikasi baik secara fisik, mental maupun sosial.

3. Menjamin bahwa setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang

sama untuk mencapai semua itu.

Berbicara mengenai kesehatan reproduksi remaja, dewasa ini kebanyakan

dari perilaku seksual remaja telah banyak mengalami penyimpangan Berbagai

macam penelitian yang dilakukan terhadap para remaja menunjukkan

kecenderungan perubahan perilaku seksual remaja. Dari beberapa penelitian

tentang kesehatan reproduksi remaja yang telah dilakukan, menunjukkan tingkat

permisivitas (sikap serba boleh) remaja di Indonesia cukup memprihatinkan. Seperti

hasil penelitian yang dilakukan oleh Gatra bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI) menjaring

800 responden remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta, Yogyakarta, Medan,

Surabaya, dan Ujungpandang menjelang akhir 1997. Penelitian itu dimaksudkan

untuk mengetahui perhatian dan sikap para remaja terhadap masalah seks, sosial

politik, ekonomi, nilai-nilai agama, dan berbagai masalah aktual. Dari hasil penelitian

dapat diketahui bahwa responden menunjukkan sikap yang makin permisif (sikap

serba boleh) terhadap perilaku seks gaya modern. Sebanyak 45,9% (367

responden) memandang berpelukan antarlawan jenis adalah hal wajar, 47,3% (378

responden) membolehkan cium pipi, 22% tak menabukan cium bibir, 11% (88

responden) membolehkan necking atau cium leher atau cupang, 4,5% (36

responden) tak mengharamkan kegiatan raba-meraba, 2,8% (22 responden)

menganggap wajar melakukan petting (saling menggesek-gesekkan alat kelamin),

dan 1,3% (10 responden) tak melarang sanggama di luar nikah (Dewi 2009).

Perilaku seksual yang menyimang tersebut tersebut dapat ditimbulkan

karena berbagai macam kondisi. Seperti pada masa sekarang ini, terjadi kemajuan

yang sangat pesat dalam hal teknologi. Alat yang digunakan untuk mempermudah

komunikasi dan mencari informasi seperti telepon seluler (ponsel) dan internet

sudah banyak digunakan. Akan tetapi kecanggihan teknologi ini banyak disalah

gunakan oleh remaja, misalnya untuk mengakses situs porno, menyimpan video

porno, dan mengabadikan perilaku seksual yang mereka lakukan. Bila hal tersebut

diperparah dengan adanya informasi dan pengetahuan tentang kesehatan

Page 12: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 12

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

reproduksi dan HIV/AIDS yang tidak tepat, maka remaja yang sedang berada dalam

masa pubertas dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dapat melakukan hubungan

seks yang tidak aman yang akan mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan,

HIV/AIDS maupun Infeksi Menular Seksual (IMS).

V. Berbagai Resiko Kesehatan Reproduksi

Pengetahuan remaja yang rendah dan tidak memadai akan kesehatan

reproduksi akan membuat remaja cenderung bersikap negatif tentang seksualitas.

Kajian yang dilakukan oleh Suryoputro et al. (2006) memperilahatkan temuan yang

mengejutkan bahwa pengetahuan responden remaja di jawa tengah tentang

kesehatan reproduksi pada umumnya “sangat rendah” (lebih dari 75% responden).

Tidak ada perbedaan yang bermakna antara mahasiswa yang berpendidikan lebih

tinggi dengan buruh pabrik yang berpendidikan lebih rendah. Hasilnya bahkan lebih

buruk pada variabel pengetahuan mereka mengenai PMS dan HIV/AIDS, dimana

seluruh reponden (100%) mempunyai tingkat pengetahuan yang “sangat rendah”.

Hal ini mengindikasikan adanya kekurangan informasi dan pendidikan yang

berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi yang diperlukan bagi

masyarakat remaja di Jawa Tengah. Jika keadaan tersebut berlangsung terus,

akibat negatif yang berkaitan dengan perilaku seksual remaja yang berisiko,

dikhawatirkan akan meningkat diwaktu mendatang.

Penyimpangan seksualitas dari remaja tersebut dapat menimbulkan berbagai

resiko diantaranya resiko kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual, kekerasan

seksual, dan lainnya yang dapat menjerumuskan remaja kedalam keterpurukan.

Prihatin (2007) menambahkan resiko dari penyimpangan seksual remaja dapat

berupa; a). kehamilan tak diinginkan, b). terkena penyakit menular dan HIV/AIDS,

c). infeksi saluran reproduksi, d). aborsi dengan segala resikonnya, e). hilangnya

keperawanan dan keperjakaan; f). ketagihan, g). gangguan fungsi seksual, h).

perasaan malu, bersalah dan berdosa, dan perasaan tak berharga.

A. Kehamilan

Di berbagai dunia, wanita menikah dan melahirkan dimasa remaja

kebanyakan disebabkan keterpaksaan, salah satu diantaranya yaitu hamil diluar

nikah (kehamilan yang tidak diinginkan). Kehamilan dan persalinan membawa

Page 13: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 13

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

resiko morbiditas dan mortalitas yang lebih besar pada usia remaja dibandingkan

pada wanita yang telah berusia 20 tahunan, terutama diwilayah dimana pelayanan

medis sangat langkah atau tidak tersedia. Remaja putrid yang berusia kurang dari

18 tahun mempunyai 2 sampai 5 kali resiko kematian (maternal mortality)

dibandingkan dengan wanita yang telah berusia 18 – 25 tahun akibat persalinan

lama dan persalinan macet, perdarahan maupun faktor lain. Kegawatan darurat

yang berkaitan dengan kehamilan, misalnya tekanan darah tinggi (hipertensi) dan

anemia juga lebih sering terjadi pada ibu-ibu berusia remaja, terutama pada daerah

dimana kekurangan gizi merupakan endemis.(Kilbourne & Brook 2000).

B. Aborsi yang Tidak Aman

Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja sering kali berakhir dengan

aborsi. Banyak survey yang telah dilakukan di Negara-negara berkembang

menunjukkan bahwa hamper 60% kehamilan pada wanita dibawah umur 20 tahun

adalah kehamilan yang tidak diinginkan atau salah waktu. Pada akhir tahun 1980-an

di Kanada, Inggris, Selandia Baru dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa 50%

lebih dari semua aborsi terjadi pada wanita dibawah umur 25 tahun. Dibanyak

Negara berkembang, mahasiswa atau pelajar yang hamil diluar nikah seringkali

mencari pelayanan aborsi agar mereka tidak dikeluarkan dari sekolah (Zabin &

kiragu 1998).

Aborsi yang disengaja (induced abortion) seringkali beresiko lebih besar

pada remaja putrid dibandingkan pada wanita yang lebih tua. Remaja cenderung

menunggu lebih lama sebelum mencari bantuan karena tidak dapat mengakses

pelayanan kesehatan, atau bahkan mungkin mereka tidak sadar atau tidak tahu

bahwa mereka hamil. Di berbagai Negara, seperti di Indonesia, rsiko ini menjadi

berat dimana aborsi hanya tersedia dalam keadaan yang tidak aman, karena

merupakan suatu aib (rahasia) yang harus ditutupi. Di Nigeria 50-70% wanita yang

masuk rumah sakit akibat komplikasi aborsi yang disengaja, umumnya mereka yang

berusia dibawah 20 tahun. sebuah telaah yang dilaksanakan di sana selama 13

tahun, menemukan bahwa 72% kematian ibu di sebuah rumah sakit di Universitas,

terjadi pada wanitadi bawah usia 19 tahun dan disebabkan oleh komplikasi akibat

aborsi yang tidak aman (Kilbourne & Brook 2000).

Page 14: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 14

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

C. Penyakit Menular Seksual (PSM) dan HIV-AIDS

Infeksi PMS dapat menyebabkan masalah kesehatan seumur hidup,

termasuk kemandulan dan rasa sakit kronis, serta meningkatkan resiko penularan

HIV-AIDS. Sekitar 333 juta kasus PMS yang dapat disembuhkan terjadi setiap

tahunnya. Data-data yang ada menunjukkan bahwa sepertiga dari infeksi PMS

dinegara-negara berkembang terjadi pada mereka yang berusia 13-20 tahun.

Dipedesaan di Kenya misalnya, 41% wanita berusia 15-24 tahun yang mengunjungi

klinik Kesehatan Ibu-Anak & KB (KIA/KB) terinfeksi PMS dibanding 16% dari seluruh

wanita usia produktif (Kilbourne & Brook 2000).

Resiko remaja untuk tertular HIV-AIDS juga meningkat. Perkiraan terakhir

memperhitungkan bahwa 40% dari infeksi HIV terjadi pada kaum muda berusia

15024 tahun, 7.000 dari 16.000 kasus infeksi baru yang terjadi setiap hari. Infeksi

baru pada kelompok wanita jauh lebih tinggi dibandingkan pada pria, dengan rasio

2:1 (Kilbourne & Brook 2000). Di Denpasar sendiri, menurut guru besar Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana, per November 2007, 441 wanita dari 4.041 orang

dengan HIV/AIDS. Dari 441 wanita penderita HIV/AIDS ini terdiri dari pemakai

narkoba suntik 33 orang, 120 pekerja seksual, 228 orang an baik. Karena keadaan

wanita penderita HIV/AIDS mengalami penurunan sistem kekebelan tubuh

menyebabkan 20 kasus HIV/AIDS menyerang anak dan bayi yang dilahirkannya

(Muzayyanah 2009).

Kaum muda cenderung lebih beresiko tertular PMS, termasuk HIV-AIDS

karena berbagai sebab. Seringkali hubungan seksual terjadi tanpa direncanakan

atau tanpa diinginkan. Walaupun hubungan seksual dilakukan atas keinginan

bersama. Seringkali remaja tidak merencanakan lebih dahulu sehingga tidak siap

dengan kondom maupun alat kontrasepsi lain, dan mereka yang belum

berpengalaman berKB cenderung menggunkan alat kontrasepsi tersebut secara

tidak benar, sehingga resiko terjangkit PMS dan HIV-AIDS lebih tinggi. Remaja putri

mempunyai resiko lebih tinggi terhadap infeksi dibandingkan wanita lebih tua karena

belum matang sistem reproduksi mereka (Kilbourne & Brook 2000).

Page 15: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 15

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

VI. Upaya-upaya Penanggulangan Penyimpangan Kesehatan Reproduksi Remaja

Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyimapngan-

penyimpangan seksual yang terjadi pada remaja seperti diantaranya yaitu dengan

melaksanakan pendidikan kesehatan reproduksi remaja di setiap jenjang sekolah

lanjutan di mulai pada tingkat pertama (SMP) sederajat, sekolah menengah atas

(SMA) (Prihatin 2007; Nursal 2007; Widjanarko 2007) dan kalau perlu pada jenjang

pendidikan tinggi atau diploma, baik sekolah negeri atau swasta melalui metode

peer education yang bersifat youth freendly (ramah terhadap remaja) artinya tidak

hanya memberi materi melauli proses belajar mengajar di kelas, tetapi

dikembangkan dengan metode lain seperti pemasangan mading, poster tentang

kesehatan reproduksi (Gambar 1), pembentukan Kegiatan ekstrakurikuler dengan

memasukkan materi-materi kesehatan reproduksi di dalamnya (Dewi 2009; Taufik

dan Anganthi 2005) seperti acara kesenian sekolah atau drama teater, dan lain –

lain, yang memuat materi dasar kesehatan reproduksi yang proporsional seperti: 1)

fungsi organ sistem reproduksi manusia yang mencangkup pemahaman remaja

tentang perubahan fisik anak laki – laki dan perempuan saat menjadi remaja,

mengenal masa subur, terjadinya proses kehamilan; 2) metode kontrasepsi KB; 3)

pencegahan penyakit menular seksual; 4) prilaku seksual yang sehat dan

bertanggung jawab; 5) Akibat dari kehamilan tak dikehendaki (Prihatin 2007).

Petuga kesehatan sebaiknya dapat melakukan kunjungan ke sekolah –

sekolah untuk memberikan informasi dasar kesehatan reproduksi dan seksualitas

yang proporsional sesuai dengan pemahaman dan tingkat pendidikan remaja serta

tidak menganggap tabu untuk membicarakan permasalahan kesehatan reproduksi

dan seksualitas serta penerapan program reproduksi secara benar dan

berkelanjutan (Widjanarko 2007; Prihatin 2007).

Page 16: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 16

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

Gambar 1. Poster yang diproduksi oleh Pusat Program Kesehatan

Reproduksi Wanita Rusia, punya pesan sederhana

berbunyi; “Masa Muda sungguh indah jangan bergantung

pada kesempatan. Gunakan kontrasepsi”. (Kilbourne &

Brook 2000)

Taufik dan Anganthi (2005) menambahkan beberapa hal yang dapat

dilakukan untuk menaggapi sikap dan prilaku reproduksi remaja antara lain yaitu;

1). Perlunya informasi mengenai kesehatan reproduksi remaja buat orang tua agar

orang tua bisa mengikuti perkembangan seksualitas anaknya. Pentingnya

meningkatkan peran orang tua dan guru sebagai sumber informasi tentang

kesehatan reproduksi bagi remaja dengan cara membekali dengan pengetahuan

yang benar tentang kesehatan reproduksi (Gambar 2), 2). Peningkatan peranan

orang tua dan guru dapat dilakukan dengan membuat pertemuan rutin (semacam

parenting class) bagi remaja, 3). Menjalin kerja sama dengan stasiun radio atau

televisi untuk membuat paket acara yang berisi informasi tentang kesehatan

reproduksi remaja. Hal ini mengingat radio dan televisi adalah media yang paling

diminati oleh remaja sementara informasi tentang kesehatan reproduksi di radio dan

televisi sangat minim. Acara-acara yang patut dipertimbangkan adalah acara seperti

talk show dan curhat remaja yang bersifat interaktif. 3). Lebih mengoptimalkan peran

masjid atau musholla serta tempat-tempat ibadah agama lain di sekolah sebagai

pusat kegiatan siswa, agar siswa lebih dekat dengan kegiatan ibadah dan aktivitas-

Page 17: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 17

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

Gambar 2. Poster dari Tanzania ini menekankan tanggung jawab

orang tua untuk mendidik anak-anak mereka mengenai

kesehatan reproduksi. Dari FAmili Planning Association

of Tanzania, 1995 (Kilbourne & Brook 2000).

aktivitas lainnya yang lebih terkontrol, misalnya dengan membentuk kelompok-

kelompok pengajian (halaqah), dll.

KESIMPULAN

Remaja memiliki peran besar dalam menentukan tingkat pertumbuhan

penduduk yang diindikasikan dengan besarnya proporsi remaja di dunia sehingga

perhatian terhadap remaja perlu ditekankan, terutama dalam hal masalah kesehatan

reproduksi remaja. Kesehatan reproduksi remaja sampai sekarang ini masih sangat

memperihatinkan dan sangat berpotensi menyebabkan berbagai resiko seperti,

kehamilan yang tak diinginkan, terkena penyakit menular seksual dan HIV/AIDS,

infeksi saluran reproduksi, aborsi, dll. yang dapat mengakibatkan keterpurukan dan

hilangnya produktifitas dari remaja. Dengan melakukan upaya-upaya seperti

melaksanakan pendidikan kesehatan reproduksi remaja di setiap jenjang sekolah,

pembentukan kegiatan ekstrakurikuler dengan memasukkan materi-materi

kesehatan reproduksi di dalamnya, meningkatkan peran orang tua dan guru sebagai

Page 18: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 18

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

sumber informasi kesehatan reproduksi bagi remaja, tidak menganggap tabu untuk

membicarakan permasalahan kesehatan reproduksi, serta menjalin kerja sama

dengan stasiun radio atau televisi untuk membuat paket acara yang berisi informasi

tentang kesehatan reproduksi remaja. Hal-hal tersebut diharapkan mampu

memberikan pendidikan kepada remaja seputar masalah kesehatan reproduksi

sehingga mereka dapat mengerti dan dapat terhindarkan dari prilaku penyimpangan

seksual dengan berbagai resiko yang dapat ditimbulkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Affandy B.1997. Kesehatan Reproduksi, Hak Reproduksi, dan Realitas Sosial. Popoluasi 8(2):25-28.

Dewi INCT. 2009. Pengaruh Faktor Personal dan Lingkungan Terhadap Perilaku Seksual Pra Nikah pada Remaja di SMA Negeri 1 Baturaden dan SMA Negeri 1 Purwokerto. tesis]. Semarang : Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro.

Hambali. 2000. Mensosialisasikan Pendidikan Seks Untuk Remaja, Jender dan Kesehatan. Berita Berkala. 6:29-30.

Indarsita D. 2006. Hubungan Faktor Eksternak dengan Perilaku Remaja dalam Hal

Kesehatan Reproduksi di SLTPN Medan Tahun 2002. Jurnal Ilmiah PANNMED 1(1):14-19.

Indrawanti R dan T Sadjimin. 2002. Pengetahuan Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kotamadya Yogyakarta mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja. Berkala Ilmu Kedokteran 34(4):257-268

Kilbourne M, Brook. 2000. Kesehatan Reproduksi Remaja : Membangun Perubahan yang Bermakna. OutLook Volume 16.

Laksmiwati IAA. 2000. Transformasi Sosial dan Perilaku Reproduksi Remaja. Artikel Ilmiah.

Muzayyanah SN. 2009. Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja: Bagaimana

Menyikapinya? http://poltekestniau.ac.id/node/15. [19 April 2011].

Nursal DGA. 2008. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seksual Murid Smu Negeri di Kota Padang Tahun 2007. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(2):175-180

Page 19: Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Adolescent and Reproduction Health)

S e t i a w a n P u t r a S y a h 2 0 1 1 | 19

Ilmu Kesehatan Masyarakat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

Prihatin TW. 2007. Analisis Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Sikap Siswa SMA terhadap Hubungan Seksual (intercourse) Pranikah di Kota Sukoharjo Tahun 2007. [tesis]. Semarang : Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro.

Purwanto E. 2000. Perbandingan Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Siswa Sekolah Menengah Umum di Pedesaan dan Perkotaan. [tesis]. Semarang : ProgramPendidikan Dokter Spesialis I, Universitas Diponegoro.

Sarwono S W 2004. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Suryoputro A. Nicholas JF, Shaluhiyah Z. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah: Implikasinya Terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Makara, Kesehatan 10(1): 29-40

Taufik, NRN Anganthi. 2005. Seksualitas Remaja: Perbedaan Seksualitas antara Remaja yang Tidak Melakukan Hubungan Seksual dan Remaja yang Melakukan Hubungan Seksual. Jurnal Penelitian Humaniora 6(2):115-129.

Widjanarko M. 2007. Perilaku Seks Remaja Kudus. ISSN : 1979-6889.

Zabin L, K Kiragu. 1998.Healt Consequences of Adolescens sexuality and Vertility Behavior in sub-Sahara Afrika. Studies in Family Planning 29(2):210-232.