Refreshing meningitis pada anak

83
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam makalah refreshing ini kami akan membahas tentang kasus- kasus neuropediatri yaitu kejang demam, meningitis tuberkulosa, meningitis purulenta dan ensefalitis pada anak. Pemilihan kasus- kasus yang dibahas dalam refreshing ini didasari karena kasus-kasus tersebut adalah kasus dengan angka prevalensi maupun mortalitas yang tinggi pada anak. Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal > 38 o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Konsensus,2006). Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan-5 tahun. Pada anak yang sebelumnya pernah mengalami kejang tanpa demam dan kejang yang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam (IDAI, 2006).Kejang demam yang terjadi pada bayi dan anak memiliki tingkat kejadian sebesar 2,2-5% (Marliana,2006). Kejang demam terjadi pada 2-4% di Amerika serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat, sedangkan di Asia dilaporkan lebih tinggi angka kejadiannya (Selamihardja,2001). Meningitis adalah suatu radang yang mengenai sebagian atau semua lapisan selaput otak yang membungkus jaringan otak sampai sumsum tulang belakang yang terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater (Mansjoer,2000). Meningitis disebabkan oleh karena adanya infeksi bakteri spesifik/non spesifik atau virus 1

description

Meningitis pada anak

Transcript of Refreshing meningitis pada anak

Page 1: Refreshing meningitis pada anak

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam makalah refreshing ini kami akan membahas tentang kasus-kasus neuropediatri

yaitu kejang demam, meningitis tuberkulosa, meningitis purulenta dan ensefalitis pada anak.

Pemilihan kasus-kasus yang dibahas dalam refreshing ini didasari karena kasus-kasus tersebut

adalah kasus dengan angka prevalensi maupun mortalitas yang tinggi pada anak.

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal

> 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Konsensus,2006). Kejang demam

terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan-5 tahun. Pada anak yang sebelumnya pernah mengalami

kejang tanpa demam dan kejang yang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan

tidak termasuk dalam kejang demam (IDAI, 2006).Kejang demam yang terjadi pada bayi dan

anak memiliki tingkat kejadian sebesar 2,2-5% (Marliana,2006). Kejang demam terjadi pada 2-

4% di Amerika serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat, sedangkan di Asia dilaporkan lebih

tinggi angka kejadiannya (Selamihardja,2001).

Meningitis adalah suatu radang yang mengenai sebagian atau semua lapisan selaput otak

yang membungkus jaringan otak sampai sumsum tulang belakang yang terdiri dari Duramater,

Arachnoid dan Piamater (Mansjoer,2000). Meningitis disebabkan oleh karena adanya infeksi

bakteri spesifik/non spesifik atau virus (Saharso,2008).Meningitis dibagi menjadi dua golongan

berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis

purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai

cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman

Tuberculosis dan virus.Meningitis purulenta ialah radang selaput otak (arakhnoidea dan

piamater) yang menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh kuman non spesifik dan non

virus (Mansjoer,2000). Meningitis tuberkulosis (TB) adalah suatu peradangan pada selaput otak

(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Rahajoe et al., 2005).

Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer pada sistem saraf pusat yang banyak

ditemukan dimana angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi dan anak kecil

dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian jarang dibawah usia 3 bulan dan

mulai meningkat dalam usia 5 tahun pertama, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka

1

Page 2: Refreshing meningitis pada anak

kematian berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien

yang normal secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis tuberkulosis yang tidak

diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan

meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa (Pudjiadi et al,2010).

Ensefalitis adalah proses inflamasi pada jaringan otak yang berkaitan dengan adanya

proses patologis di dalam otak yang bermanifestasi dengan adanya disfungsi neurologis (Tunkel

et al.,2005; Solomon et al.,2011). Ensefalitis dapat disebabkan oleh adanya infeksi ke sistem

saraf pusat maupun disebabkan oleh agen non infeksi. Meliputi berbagai virus,bakteri

(khususnya bakteri intraseluler seperti mycoplasma pneumonia), parasit, dan jamur (Solomon et

al.,2011). Angka kematian masih tinggi, berkisar 35%-50%, dengan gejala sisa pada pasien yang

hidup cukup tinggi (20%-40%). Penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Berbagai macam

virus dapat menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas, akan tetapi

hanya ensefalitis herpeks simpleks dan varisela yang dapat diobati (Tunkel et al.,2005).

Pengetahuan yang benar mengenai kejang demam, meningitis purulenta, meningitis

tuberculosa, dan ensefalitis sangat diperlukan untuk mengurangi resiko komplikasi maupun

angka kematian penderita mengingat insiden dari keempat penyakit tersebut masih cukup tinggi

di masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah definisi kejang demam, meningitis purulenta, meningitis tuberkulosa, dan

ensefalitis?

2. Apakah penyebab kejang demam, meningitis purulenta, meningitis tuberkulosa, dan

ensefalitis?

3. Apa sajakah faktor resiko kejang demam, meningitis purulenta, meningitis

tuberkulosa, dan ensefalitis?

4. Bagaimanakan epidemiologi kejang demam, meningitis purulenta, meningitis

tuberkulosa, dan ensefalitis?

5. Bagaimanakah patomekanisme kejang demam, meningitis purulenta, meningitis

tuberkulosa, dan ensefalitis?

2

Page 3: Refreshing meningitis pada anak

6. Apa sajakah manifestasi klinis kejang demam, meningitis purulenta, meningitis

tuberkulosa, dan ensefalitis?

7. Bagaimanakah cara diagnosis kejang demam, meningitis purulenta, meningitis

tuberkulosa, dan ensefalitis?

8. Bagaimanakah penatalaksanaan pada kejang demam, meningitis purulenta, meningitis

tuberkulosa, dan ensefalitis?

9. Apa sajakah komplikasi yang mungkin ditimbulkan dari kejang demam, meningitis

purulenta, meningitis tuberkulosa, dan ensefalitis dan bagaimana prognosisnya?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan refreshing kali ini adalah:

1. Mengetahui definisi kejang demam, meningitis purulenta, meningitis tuberkulosa, dan

ensefalitis

2. Mengetahui penyebab kejang demam, meningitis purulenta, meningitis tuberkulosa,

dan ensefalitis

3. Mengetahui faktor resiko kejang demam, meningitis purulenta, meningitis

tuberkulosa, dan ensefalitis

4. Mengetahui epidemiologi kejang demam, meningitis purulenta, meningitis

tuberkulosa, dan ensefalitis

5. Mengetahui patogenesis kejang demam, meningitis purulenta, meningitis tuberkulosa,

dan ensefalitis

6. Mengetahui manifestasi klinis kejang demam, meningitis purulenta, meningitis

tuberkulosa, dan ensefalitis

7. Mengetahui cara diagnosis kejang demam, meningitis purulenta, meningitis

tuberkulosa, dan ensefalitis

8. Mengetahui managemen dan terapi pada kejang demam, meningitis purulenta,

meningitis tuberkulosa, dan ensefalitis

9. Mengetahui komplikasi yang mungkin ditimbulkan dari kejang demam, meningitis

purulenta, meningitis tuberkulosa, dan ensefalitis dan bagaimana prognosisnya?

3

Page 4: Refreshing meningitis pada anak

1.4 Manfaat

Melalui referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai kejang demam,

meningitis tuberkulosa, meningitis purulenta, dan ensefalitis pada anak serta dapat melakukan

diagnosis dan manajemennya sesuai dengan standar tatalaksananya.

4

Page 5: Refreshing meningitis pada anak

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kejang Demam

2.1.1 Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu

rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (IDAI, 2006). Menurut

National Institute of Health (NIH), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak,

yang biasanya terjadi pada usia 3 bulan sampai dengan 5 tahun, berhubungan dengan demam,

namun tanpa bukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu dari kejang. Menurut

International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam adalah bangkitan kejang yang

berhubungan dengan demam, tanpa adanya infeksi susunan saraf pada anak berusia lebih dari 1

bulan, yang tidak pernah mengalami kejang tanpa demam sebelumny (Kundu at all, 2010).

Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah

mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang

demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk kejang

demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang

didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan

terjadi bersama demam (Jones, 2007).

2.1.2 Epidemiologi

Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan - 5 tahun. Kejang demam

sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam, sedangkan 20% lainnya merupakan

kejang demam kompleks. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam, sedangkan kejang

berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam (IDAI,2006).

Kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4 tahun

yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam

pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6

5

Page 6: Refreshing meningitis pada anak

tahun pasien tidak kejang demam lagi/ namun, beberapa pasien masih dapat mengalami kejang

demam sampai umur lebih dari 5-6 tahun (Soetomenggolo, 1998).

Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak umur kurang

dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan sekitar 80-90%

dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Di Jepang angka kejadian kejang

demam adalah 9-10% (Kusuma dan Yuana, 2010). Kejang demam memiliki prognosis dengan

angka kematian hanya berkisar 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam

sembuh sempurna, sebagiannya lagi berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Kejang

demam juga dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan

pencapaian tingkat akademik (Fuadi, 2010).

2.1.3 Klasifikasi

Penggolongan kejang demam dikemukakan oleh berbagai pakar. Penggolongan tersebut

didasari oleh jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung,dan

lainnya (Lumbantombing, 2007).

1. Klasifikasi kejang demam menurut Livingston :

a. Kejang demam sederhana

a) Kejang bersifat umum

b) Lama kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)

c) Kejang demam pertama terjadi pada usia kurang dari 6 tahun

d) Frekuensi serangan kejang 1-4 kali dalam setahun

b. Epilepsi yang dicetuskan oleh demam

a) Kejang bersifat fokal

b) Kejang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)

c) Kejang demam pertama terjadi pada usia lebih dari 6 tahun

d) Frekuensi serangan kejang lebih dari 4 kali dalam setahun

2. Klasifikasi kejang demam menurut Fukuyama

Fukuyama membagi kejang demam menjadi:

a. Kejang demam sederhana

b. Kejang demam kompleks

6

Page 7: Refreshing meningitis pada anak

Kejang demam sederhana harus memenuhi semua kriteria berikut ini. Kejang demam yang tidak

memenuhi kriteria tersebut digolongkan sebagai kejang demam kompleks.

a. Tidak ada riwayat epilepsi dalam keluarga

b. Tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun

c. Serangan kejang pertama terjadi antara usia 6 bulan – 6 tahun

d. Lama kejang kurang dari 20 menit

e. Kejang bersifat umum (tidak bersifat fokal)

f. Tidak ada gangguan atau abnormalitas pasca kejang

g. Tidak ada abnormalitas neurologis

Klasifikasi kejang demam menurut Konsensus Kejang Demam

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure): yang berlangsung singkat, kurang dari 15

menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik atau klonik tanpa

gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.

2. Kejang Demam Kompleks (complex febrile seizure) :

Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut:

a. Kejang lama lebih dari 15 menit

b. Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial

c. Berulang atau lebih dari 1x dalam 24 jam

Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului kejang

parsial. Kejang berulang adalah kejang 2x atau lebih dalam kurun waktu 24 jam dan di antara 2

bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami

kejang demam.

2.1.4 Faktor Resiko

Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu: demam, usia,

riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil

primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia

7

Page 8: Refreshing meningitis pada anak

kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala)

(Kusuma, 2010; Fuadi, 2010).

1. Faktor demam.

Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,8oC aksila atau di atas 38,3oC

rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang tersering pada anak

disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus merupakan penyebab terbanyak. Demam

merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang (Fuadi, 2010).

Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan

eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan

metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius

akan meningkatkan metabolisme karbohidrat sebesar 10-15%, sehingga meningkatkan

kebutuhan glukosa dan oksigen (Bahtera, 2006; Fuadi, 2010).

Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada

keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi sehingga menggangu fungsi normal pompa

Na+. Permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ meningkat, sehingga menurunkan nilai

ambang kejang dan memudahkan timbulnya bangkitan kejang. Demam juga dapat merusak

neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu (Bahtera, 2006).Bangkitan kejang

demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9°C-39,9°C (40 -56%).

Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37°C-38,9°C sebanyak 11% dan sebanyak 20%

kejang demam terjadi pada suhu tubuh di atas 40oC (Fuadi, 2010).

2. Faktor usia

Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu (Fuadi, 2010) :

1. Neurulasi

2. Perkembangan prosensefali

3. Proliferasi neuron

4. Migrasi neural

5. Organisasi

6. Mielinisasi.

Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural.

Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai tahun-tahun pertama

paskanatal. Kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap organisasi sampai

8

Page 9: Refreshing meningitis pada anak

mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami

bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi (Fuadi, 2010).

Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor untuk asam

glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai

inhibitor kurang aktif, sehingga pada otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding

inhibisi (Fuadi, 2010). Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid

eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di

hipokampus tinggi dan berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam

(Bahtera,2006).

Anak pada masa developmental window merupakan masa perkembangan otak fase

organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada masa ini, apabila anak

mengalami stimulasi berupa demam, maka akan mudah terjadi bangkitan kejang (Bahtera,

2006). Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus terjadi pada anak

antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan kejadian paling sering pada anak usia 18

sampai dengan 24 bulan (Fuadi, 2010).

3. Riwayat keluarga

Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam.

Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan sekitar 60-80%. Apabila

salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka anaknya beresiko sebesar 20-

22%. Apabila kedua orang tua mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka

resikonya meningkat menjadi 59-64%. Sebaliknya apabila kedua orangtuanya tidak

mempunyai riwayat kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan

kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah yaitu 27% berbanding 7% (Fuadi,

2010).

4. Faktor Prenatal dan Perinatal

Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai

komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan diantaranya hipertensi dan

eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan diantaranya trauma persalinan. Hipertensi

pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat

keterlambatan pertumbuhan intrauterin, prematuritas dan BBLR. Komplikasi persalinan

diantaranya partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia

9

Page 10: Refreshing meningitis pada anak

sehingga akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia mengakibatkan lesi pada daerah

hipokampus, rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga

mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai seperti demam (Fuadi, 2010).

5. Faktor Postnatal

Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan

berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis,

ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali

mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat penyebab yang paling umum

adalah virus Herpes simplex (tipe l) yang menyerang lobus temporalis. Selain infeksi,

ditemukan bukti bahwa cedera kepala memicu kejadian kejang demam pada anak sebesar

20,6% (Bahtera, 2006).

2.1.5 Patogenesis Kejang Demam

Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang

berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut, baik berupa fisiologi,

biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial

membran(Fuadi, 2010).Dalam keadaan istirahat, neuron memiliki membran potensial sebesar -70

mV. Membran potensial istirahat merupakan perbedaan muatan di dalam dan di luar sel akibat

pemisahan muatan positif dan negatif oleh membran sel (Barret K, at all, 2009). Menurut Fuadi

terdapat beberapa mekanisme terjadinya kejang, yaitu:

a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada

hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi

pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.

b. Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.

c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan

neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya

ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang.

Patogenesis terjadinya kejang demam secara pasti sampai saat ini belum dapat diketahui,

diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Untuk

mempertahankan kelangsungan hidup sel-sel neuron pada otak, diperlukan energi yang didapat

dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak adalah glukosa. Melalui proses oksidasi,

10

Page 11: Refreshing meningitis pada anak

glukosa dipecah menjadi CO2 dan H2O.Pada keadaan demam dengan kenaikan suhu 1OC akan

mengakibatkan kenaikan metabolisme basal sebesar 10-15% dan kebutuhan oksigen akan

meningkat 20%. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari

membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari K+ maupun Na+yang

mengakibatkan terjadinya pelepasan muatan listrik. Pelepasan muatan listrik ini sedemikian

besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan

bantuan neurotransmiter sehingga terjadi kejang (Rudolph, 2011).

Gambar 1. Patogenesis terjadinya kejang demam

2.1.6 Manifestasi Klinis

Anak dengan kejang demam memiliki perkembangan yang baik dan sehat secara

neurologis sebelum dan setelah kejang demam (Bauman 2012). Serangan kejang pada kejang

demam biasanya berkaitan dengan peningkatan suhu pusat (core temperature) yang tinggi (39°C

atau lebih) dan cepat.1 Umumnyaserangan kejang terjadi dalam 24 jam pertama timbulnya

demam (Lumbantombing, 2007) Sebagian besar serangan kejang demam berlangsung singkat

(kurang dari 15 menit) dengan sifat bangkitan kejang berbentuk umum.3 Umumnya kejang tidak

11

Page 12: Refreshing meningitis pada anak

berulang dalam 24 jam (Lumbantombing, 2007). Bangkitan kejang dapat berupa postur tonik

(kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang

kuat dan berirama), ataupun kejang fokal (Lumbantombing, 2007). Saat kejang anak tidak sadar

(Lumbantombing, 2007). Selain itu, mata dapat berputar-putar (sehingga hanya sklera yang

terlihat), mulut berbusa, lidah atau pipinya dapat tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat,

inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan,

apnea atau henti nafas, dan kulitnya menjadi kebiruan(Lumbantombing, 2007)Pada fase setelah

kejang (fase post-iktal), anak sadar kembali, namun biasanya tampak kelelahan atau tertidur. Hal

ini dapat terjadi hingga 15 menit atau lebih (Bauman, 2012)

Gambar 2. Jenis kejang pada kejang demam

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang (Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2006)

2.1.7.1 Anamnesis

Anamnesis yang baik dapat membantu menegakkan diagnosis kejang demam. Perlu

ditanyakan kepada orang tua/ pengasuh yang menyaksikan anak kejang mengenai kejang: jenis

12

Page 13: Refreshing meningitis pada anak

kejang, lama kejang, frekuensi dalam 24 jam, serta kondisi sebelum, diantara, dan setelah kejang

(termasuk kesadaran). Hal yang menyertai kejang seperti muntah, kelemahan anggota gerak,

kemunduran, dan lainnya juga perlu ditanyakan. Penting juga ditanyakan suhu sebelum/ saat

kejang.

Untuk demam, perlu ditanyakan pola demam (apakah mendadak tinggi atau perlahan-

lahan meningkat, apakah demam menetap atau hilang timbul, apakah membaik dengan

pemberian obat, dan lainnya). Selain itu, keluhan lain yang menyertai demam, seperti batuk,

pilek, sesak nafas, mual, muntah, diare, manifestasi perdarahan dan lainnya perlu ditanyakan.

Hal ini bertujuan mengidentifikasi sumber infeksi.

Pada riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah mengalami

kejang dengan demam atau tanpa demam. Ditanyakan pula apakah anak mengalami gangguan

neurologi sebelum demam. Penting juga ditanyakan apakah anak mengkonsumsi obat-obatan

anti kejang, atau obat-obatan lainnya. Selain itu, riwayat trauma kepala juga penting ditanyakan.

Pada riwayat penyakit keluarga perlu digali riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.

Pada riwayat kehamilan dan persalinan, perlu ditanyakan riwayat kehamilan ibu, apakah pernah

mengalami sakit selama kehamilan, apakah ibu merokok selama kehamilan.

Pada riwayat tumbuh kembang, perlu ditanyakan pola tumbuh kembang anak apakah

sesuai dengan usianya.

2.1.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, nilai keadaan umum dan kesadaran anak. Setelah itu dilakukan

pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan) dan status tumbuh

kembang anak. Pasien kejang seringkali mengalami hipertensi dan takikardi, yang akan pulih

menjadi normal kembali bila kejang sudah berhenti. Bradikardia, hipotensi, dan perfusi yang

buruk merupakan tanda yang buruk. Pada anak dengan kejang demam penting untuk melakukan

pemeriksaan neurologis, antara lain (Baumann, 2013):

a. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, kernig, laseque, brudzinsky I dan brudzinsky II.

b. Pemeriksaan nervus kranialis I-XII.

c. Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun-ubun membonjol, papiledema.

d. Pemeriksaan motorik: massa, tonus, kekuatan, dan refleks (fisiologis dan patologis).

e. Pemeriksaan sensorik: sensibilitias eksteroseptif, propioseptif, dan diskriminatif.

f. Pemeriksaan autonom .

13

Page 14: Refreshing meningitis pada anak

2.1.7.3 Pemeriksaan penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi kejang demam,

diantaranya sebagai berikut (Ojha and Aryal, 2013; Farell and Goldman, 2011; Subcomitee on

febrile seizure, 2011).

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat

dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya

gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan

misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.

2. Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0.6 -

6.7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakan atau menyingkirkan diagnosis meningitis

karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:

a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan untuk dilakukan.

b. Bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan.

c. Bayi > 18 bulan tidak rutin

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

3. Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau

memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya,

tidak direkomendasikan.

2.1.8. Tatalaksana

Apapun jenis dan etiologi kejang yang dihadapi, langkah penatalaksanaan kejang yang

harus dilakukan adalah (IDAI, 2006; Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2006; Steering

committee on quality improvement and management, 2008):

a. Manajemen jalan nafas, pernafasan, dan fungsi sirkulasi yang adekuat.

Bila anak datang dalam keadaan kejang, tanyakan beberapa hal penting saja agar tidak

membuang waktu sambil memeriksa fungsi vital dengan cepat. Anamnesis dan

pemeriksaan fisik lengkap dilakukan setelah kejang teratasi.

14

Page 15: Refreshing meningitis pada anak

b. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pasien diletakkan dalam posisi

miring agar tidak terjadi aspirasi bila muntah. Lendir dihisap, diberikan oksigen 100%.

Jangan memasukkan benda keras antara gigi yang sudah terkatup.

2.1.8.1 Penatalaksanaan saat kejang

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah

berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan

kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0.3-

0.5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/ menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan

dosis maksimal 20 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam

rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0.5-0.75 mg/kg atau

diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk anak

dengan berat badan lebih dari 10 kg. Diazepam rektal juga dapat diberikan dengan dosis 5 mg

untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7.5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan

penatalaksanaan kejang demam).

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan

cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemeberian

diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan

diazepam intravena dengan dosis 0.3-0.5 mg/kg.

Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal

10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang

berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan

fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang intensif. Bila kejang telah

berhenti, pemeberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam

sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

15

Page 16: Refreshing meningitis pada anak

16

Phenytoin :IV : 10-20 mg/kgBB/kali

Dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit

Kejang Berhenti ?

Pemantauan : RR, TD, Nadi

Terapi Penyebab Atasi Penyulit

Posisi Semiprone Hindari Trauma

Pasang NGT

Pasang Infus D 10Injeksi Thiamin 25 mg/KgBB/kali

Injeksi Dexamethasone 0,5 mg/KgBB/kali

AirwayBreathing

Circulation

Ya

Midazolam : IV : Dosis awal 0,2

mg/KgBB (bolus dalam 2-5 menit)

IV : Dosis Rumatan 0,4-6 mcg/KgBB/jam

Tidak

Kejang Berhenti ?

Diazepam :IV :dosis maksimal 3

mg/kgBB/jam(awasi tanda depresi nafas)

Tidak Ya

Kejang Berhenti ?

Pindah ke ruang rawat intensif

Phenytoin :IV : 4-8 mg/kgBB/hari

Dimulai 12 jam setelah dosis awal

YaTidak

Anamnesis :Tipe kejang, riwayat kejang dalam

keluarga, riwayat persalinan, trauma kepala, obat-obatan yang sudah

diberikan selama kejang.

Pemeriksaan Fisik :Tanda-tanda peningkatan TIK, trauma kepala, transiluminasi,

rangsang meningeal, reflex patologis.

Pemeriksaan Laboratorium :Darah : DL, GDA, SE, BGA,

SGOT/SGPT.Urine : Urinalisis

CSS : Analisis dan Kultur.

Pemeriksaan Radiologis :Foto Rontgen Kepala dan Thoraks,

CT-Scan Kepala.

Diazepam :IV : 0,3-0,5 mg/kbBB/kali

(berikan 2x bila dalam waktu 5 menit anak tetap kejang)

AtauRektal : 0,5-0,7 mg/kgBB/kali

(berikan 2x bila dalam waktu 5 menit anak tetap kejang)

Cari PenyebabTindakan Suportif Penatalaksanaan Kejang

Tentukan Fase Status Konvulsi

Status Konvulsi

Pemeriksaan :Tanda-tanda vital, kejang, derajat gangguan kesadaran, tanda-tanda

fokal

Gambar 2. Tatalaksana Kejang Demam

Page 17: Refreshing meningitis pada anak

2.1.8.2 Pemberian obat pada saat demam

1. Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya

kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik

tetap dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15

mg/kg/kali deberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali,

3-4 kali sehari.

Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak

kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III,

rekomendasi E).

2. Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0.3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan

resiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0.5

mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38.5 derajat Celcius (level I, rekomendasi A). Dosis tersebut

cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.

Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah

kejang demam (level II, rekomendasi E)

3. Pemberian obat rumat

Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukan ciri sebagai berikut

(salah satu) :

a. Kejang lama > 15 menit

b. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya

hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus. Kelainan

neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan

merupakan indikasi pengobatan rumat

c. Kejang fokal. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukan bahwa anak

mempunyai fokus organik

d. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :

-Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

-Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.

-Kejang demam ≥ 4 kali per tahun.

17

Page 18: Refreshing meningitis pada anak

a. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

Pemberian fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan resiko

berulangnya kejang (level I). Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya

dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya

diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D). Pemakaian

fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-

50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang

berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis

asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2

dosis.

b. Lama pengobatan rumat

Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap

selama 1-2 bulan.

2.1.9 Prognosis

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.

Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya

normal. Terdapat kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi

pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal (IDAI,2010).

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Kematian

akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis

umumnya tetap normal pada pasien yang memang sebelumnya normal. Penelitian lain secara

retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus dan kelainan ini biasanya

terjadi pada kasus kejang yang lama atau kejang berulang baik fokal atau kejang umum

(Pusponegoro, 2006).

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya

kejang yaitu riwayat kejang demam dalam keluarga, usia saat kejang pertama < 12 bulan,

temperatur yang rendah saat kejang (<40°C) dan timbulnya kejang yang cepat setelah demam.

Bila semua faktor tersebut terpenuhi maka resiko berulangnya kejang demam 80 % sedangkan

bila tidak terdapat faktor tersebut resikonya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang paling

besar pada tahun pertama (Pusponegoro, 2006).

18

Page 19: Refreshing meningitis pada anak

2.2 Meningitis Tuberkulosa

2.2.1 Definisi

Meningitis tuberkulosis (TB) adalah suatu peradangan pada selaput otak (meningen) yang

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis TB merupakan salah satu

komplikasi TB pada sistem saraf pusat yang banyak ditemukan dan pada umumnya sebagai

penyebaran tuberkulosis primer dengan fokus infeksi di tempat lain. Penyakit ini juga dapat

merupakan reaktivasi fokus TB (TB pasca-primer) bertahun-tahun setelah pembentukannya

pada fase infeksi primer (Rahajoe et al., 2005).

2.2.2 Epidemiologi

Insiden dan prevalensi dari tuberkulosis (TB) di berbagai negara sangat bervariasi

bergantung pada tingkat sosio-ekonomi, kesehatan masyarakat, umur, status gizi serta faktor

genetik yang menentukan respon imun seseorang. Di negara berkembang, TB pada anak berusia

<15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah

yaitu 5-7%. World Health Organization (WHO) memperkirakan kasus baru TB akan meningkat

setiap tahunnya dan Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus baru TB setelah

India dan Cina.

Meningitis tuberkulosis merupakan komplikasi TB ekstrapulmonal yang sering ditemukan

dan lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa, terutama dalam 5

tahun pertama kehidupan. Anak-anak berusia 0-5 tahun lebih sering terkena meningitis TB

daripada kelompok usia lainnya dan jarang pada anak-anak usia kurang dari 6 bulan dan hampir

tidak pernah terdengar pada bayi yang lebih muda dari 3 bulan karena waktu kuman penyebab

TB untuk berkembang setidaknya 3 bulan.

Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi dan anak kecil dengan

kekebalan alamiah yang masih rendah terutama dalam 5 tahun pertama kehidupan. Angka

kejadian jarang dibawah usia 3 bulan, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka

kematian berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien

yang normal secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis tuberkulosis yang tidak

diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan

19

Page 20: Refreshing meningitis pada anak

meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa (Fenichel,2005 ; Pudjiadi,2010 ;

Ramachandran et al.,2013).

2.2.3 Etiologi

Penyebab terbanyak dari meningitis TB adalah Mycobacterium tuberculosis.

Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri aerob berbentuk batang pleomorfik gram positif,

berukuran 0,4 – 3 μ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam

keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan

salah satu jenis bakteri yang bersifat pathogen intraselular pada hewan dan manusia. Selain

Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah

Mycobacterium. bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti. Berikut adalah

bakteri penyebab meningitis pada anak sesuai usia ( Ramachandran et al.,2013; Tan, 2003).

Gambar 3. Etiologi meningitis pada anak

2.2.4 Faktor Risiko

Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya

penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor

risiko progresif infeksi menjadi penyakit.

1. Faktor risiko infeksi TB

20

Page 21: Refreshing meningitis pada anak

Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang

dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan

yang tidak sehat(higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum

seperti panti asuhan,penjara, dan tempat perawatan lain yang banyak terdapat pasien

TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan

terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif.

2. Faktor risiko sakit TB

Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Beberapa faktor

yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB:

Usia Anak berusia <5 tahun mempunyai risiko lebih besar karena imunitas

selulernya belum berkembang dengan sempurna. Risiko sakit TB ini akan

berkurang secara bertahap seiring bertambahnya usia.

Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif

menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais

(HIV, keganasan,transplantasi organ), DM , dan gagal ginjal kronis

Status sosioekonomi yang rendah, penghasilan kurang, kepadatan hunian,

pendidikan yang rendah.

Virulensi bakteri

(Rahajoe et al., 2005).

2.2.5 Patofisiologi

Meningitis tuberculosis pada umumnya sebagai penyebaran tuberculosis primer, dengan

fokus infeksi di tempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru, namun Blockloch

menemukan 22,8% dengan focus infeksi primer di abdomen, 2,1% di kelenjar limfe leher dan

1,2% tidak ditemukan adanya fokus infeksi primer. Dari fokus infeksi primer, basil masuk ke

sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional dan dapat menimbulkan

infeksi berat berupa tuberculosis milier atau hanya menimbulkan beberapa focus metastaseyang

biasanya tenang.

Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich pada tahun 1951,yakni

bahwa terjadinya meningitis tuberculosis adalah mula-mula terbentuk tuberkel di otak,selaput

21

Page 22: Refreshing meningitis pada anak

otak atau medulla spinalis, akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer atau

selama perjalanan tuberculosis kronik (walaupun jarang). Kemudian timbul meningitis akibat

terlepasnya basil dan antigennya dari tuberkel yang pecah karena rangsangan mungkin berupa

trauma atau faktor imunologis. Basil kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau

ventrikel. Hal ini mungkin terjadi segera setelah dibentuknya lesi atau setelah periode laten

beberapa bulan atau beberapa tahun. Bila hal ini terjadi pada pasien yang sudah tersensitisasi,

maka masuknya basil ke ruang subarachnoid menimbulkan reaksi peradangan yang

menyebabkan perubahan pada cairan cerebrospinal. Reaksi peradangan ini mula-mula timbul di

sekitar tuberkel yang pecah, tetapi kemudian tampak jelas di selaput otak pada dasar otak dan

ependim. Meningitis basalis yang terjadi akan menimbulkan komplikasi neurologis, berupa

paralisis saraf kranialis, infark karena penyumbatan arteria dan vena, serta hidrosefalus karena

tersumbatnya aliran cairan cerebrospinal. Perlengketan yang sama dalam kanalis sentralis

medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia (Saharso,1999). Secara

patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:

1. Araknoiditis proliferatif

Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang

melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut

di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di

basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan

nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan

mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan

mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian

III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf

kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur

bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII

akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.

2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi

membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya

radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan

sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri

cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila

22

Page 23: Refreshing meningitis pada anak

infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang

terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika

adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan

nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang

ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi

subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena

adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis

interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan

menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis

tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear

dan perubahan fibrin.

3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan

mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis. Adapun perlengketan yang

terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan

paraplegia (Rahajoe et al., 2005).

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari

studi Wallgren dan peneliti lain disusun suatu kalender perjalanan penyakit tuberkulosis di

berbagai organ. Meningitis TB dapat terjadi setiap saat tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6

bulan pertama setelah terinfeksi TB.

23

Page 24: Refreshing meningitis pada anak

Gambar 4. Kalender perjalanan penyakit tuberkulosis (Miller,1982).

2.2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis bisa bervariasi dalam beberapa gejala dan tanda dengan awal yang tidak

jelas. Gejala dan tanda tersebut antara lain adalah demam yang persisten, malaise, anoreksia,

berat badan menurun, fatigue, hepatomegali, splenomegali, limfadenopati generalisata,

penurunan kesadaran dan sensoris, stupor dan berbagai gejala neurologis lainnya.

Manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis dikelompokkan dalam tiga stadium:

1. Stadium I (stadium inisial/stadium non spesifik/fase prodromal)

Biasanya berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala tidak khas, timbul

perlahan-lahan, dan tidak ada gejala neurologis fokal maupun umum yang nampak. Gejala

yang muncul biasanya tidak spesifik, seperti demam yang tidak terlalu tinggi namun

menetap, malaise, anoreksia, berat badan menurun, fatigue, nyeri perut, sakit kepala, tidur

terganggu, mual, muntah, konstipasi, apatis, irritable.

Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering

ditemukan. Sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati

yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai

24

Page 25: Refreshing meningitis pada anak

demam. Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan

berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium III.

2. Stadium II (stadium transisional/fase meningitik)

Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak/meningen. Ditandai dengan

munculnya kaku kuduk, penurunan reflek tendon, lethargi, dan/atau kelemahan saraf

kranial. Meningitis TB biasanya menyerang nervus VI, menyebabkan kelemahan rectus

lateral. Hal ini disebabkan karena tekanan dari eksudat inflamasi basilar di saraf kranial

atau akibat hidrosefalus. Nervus III, IV, dan VII juga bisa terganggu. Perubahan pada

pemeriksaan funduskopi biasanya termasuk papilledema dan munculnya choroid tubercle,

yang harus dicari dengan pemeriksaan seksama.

Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,

sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit

kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun. Vaskulitis

menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Peradangan dan

penyempitan arteri di otak juga bisa menyebabkan disorientasi, bingung, kejang, tremor,

hemibalismus, hemikorea, hemiparesis/quadriparesis, penurunan kesadaran, dan gangguan

saraf kranial.

3. Stadium III (fase lanjut/fase paralitik)

Pada stadium ini merupakan kelanjutan proses penyakit dimana gangguan fungsi

otak menjadi semakin jelas yaitu kesadaran makin menurun sampai koma, otot ekstensor

menjadi kaku dan spasme sehingga seluruh tubuh menjadi kaku dan timbul opistotonus

oleh karena dekortikasi atau deserebrasi. Pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali,.

Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, timbul hiperpireksia dan akhirnya pasien

meninggal. Timbulnya gambaran klinis gangguan fungsi batak otak akibat lesi pembuluh

darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi.

Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang

lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal.

Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung selama 1 minggu. Hidrosefalus dapat

terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3

minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak adekuat (Rahajoe et al.,

2005). Dibandingkan dengan meningitis bakterial, pasien dengan meningitis TB biasanya

25

Page 26: Refreshing meningitis pada anak

sakit lebih lama, dan lebih sering mengalami kelemahan saraf kranial, serta jarang

memiliki peningkatan sel darah putih (Pudjiadi et al., 2010 ; Rahajoe et al., 2005 ;

Saharso,2008).

2.2.7 Diagnosis

Dasar diagnosis meningitis TB meliputi beberapa hal yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Dari anamnesis didaptkan adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung

stadium penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang

menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik),riwayat imunisasi BCG, adanya gambaran

klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada

neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas

minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40%

kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3% kasus).

2. Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan fisik tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen seperti kaku

kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui

pungsi lumbal . Pada pemeriksaan pungsi lumbal didapatkan cairan

cerebrospinalis berwarna jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-

batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung lama dan ada

hambatan di medulla spinalis.  Jumlah sel: 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel

polimorfonuklear dan limfosit sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel

polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada

fase akut dapat mencapai 1000 / mm3.Kadar protein meningkat (dapat lebih dari 200 mg /

mm3). Hal ini menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada

permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan tingginya

26

Page 27: Refreshing meningitis pada anak

kadar fibrinogen.  Kadar glukosa biasanya menurun dikenal sebagai hipoglikorazia. Adapun

kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis adalah ±60% dari kadar glukosa darah.

Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun. Darah lengkap

menunjukkan anemia ringan, peningkatan laju endap darah pada 80% kasus. Hiponatremia

akibat innapropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH) sering kali didapatkan.

Tabel 1 Interpretasi Analisis Cairan Serebrospinal (Saharso, 2008)

Tes Meningitis Bakterial Meningitis Virus Meningitis TB

Tekanan LP Meningkat Biasanya normal Bervariasi

Warna Keruh Jernih Xanthocrome

Jumlah Sel ≥ 1000/ml <100/ml Bervariasi

Jenis Sel Predominan PMN Predominan MN Predominan MN

Protein Sedikit Meningkat Normal/meningkat Meningkat

Glukosa Normal/menurun Biasanya normal Rendah

Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan kuman.

Pengecatan ini bisa mendeteksi hingga 80% kasus meningitis TB, sedangkan kultur memiliki

sensitifitas yang rendah, sekitar 40%-80. Sehingga hasil negative pada pewarnaan gram dan

kultur tidak pernah menyingkirkan diagnosis meningitis TB. Diagnosis meningitis TB sering

kali hanya dikerjakan berdasarkan gejala klinis dan karakteristik CSF tanpa menggunakan

hapusan atau kultur. Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi

lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil

pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga.

b. Uji Tuberkulin

Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada anak, uji tuberkulin merupakan

pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa

efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji

tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux,

dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium

27

Page 28: Refreshing meningitis pada anak

tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah

kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan

48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter daripembengkakan (indurasi) yang

terjadi. Jika pemeriksaan PPD wal menunjukkan hasil negatif, maka tes diulang dalam 5-7

hari.Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guérin) terjadi reaksi cepat

(dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi ≥ 5 mm, maka anak dicurigai telah

terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

c. Pemeriksaan Radiologi

Foto toraks dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis. Gambaran ini ditemukan

pada mayoritas anak-anak dengan meningitis TB dan hanya setengah dari orang dewasa. CT-

scan kepala dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan

luasnya hidrosefalus. Pemeriksaan radiologis yang paling baik untuk mendiagnosis

meningitis TB ini adalah dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala. Seiring

berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah

basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau

iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma, biasanya di

daerah korteks serebri atau talamus.

d. Pemeriksaan EEG (electroencephalography)

Pemeriksaan EEG menunjukkan kelainan kira-kira pada 80% kasus berupa kelainan difus

atau fokal.

(Garna et al., 2005 ; Rahajoe et al., 2005 ; Pudjiadi et al.,2010).

2.2.8 Terapi

Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi yang

sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus

segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis

(Saharso, 2008).

28

Page 29: Refreshing meningitis pada anak

1. Medikamentosa

Terapi medikamentosa diberikan sesuai rekomendasi American Academy of Pediatrics 1994,

yakni dengan konsep baku tuberkulosis yaitu fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5

obat anti tuberkulosis (OAT), yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan

etambutol. Kemudian terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan

rifampisin hingga 12 bulan.

Tabel 3. Terapi Obat pada Meningitis Tuberkulosis

Agen Anti-

TB

Rekomendasi

Dosis

(mg/kg/hr)

Dosis

Maksimum

(mg/hr)

Efek Samping Durasi

Terapi

Isoniazid 10-20 300 Hepatotoksik,

Neuropati Perifer

Minimal

1 tahun

Rifampisin 10-20 450(<50 kg)

600 (≥50 kg)

Hepatotoksik,

ruam, flu-like

syndrome,

multiple drug

interactions.

Minimal

9 bulan

Pyrazinamide 20-40 1500(<50 kg)

2000 (≥50 kg)

Hepatotoksik,

atralgia, GI upset,

anorexia, dan

fotosensitifitas

kulit

2 bulan

Ethambutol* 15–20 1600 untuk

dewasa 

(1000 untuk

anak-anak

dengan HIV (−)

dan 2500 in HIV

(+))

Neuritis optik,

neuritis perifer,

atralgia, GI upset

2 bulan

Streptomycin 20 1000 Nefrotoksik,

ototoksik, dan

2 bulan

29

Page 30: Refreshing meningitis pada anak

toksisitas

vestibular

Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan inflamasi dan edema serebri. Prednison

diberikan dengan dosis 1-2mg/kgBB/hari selama 6-8minggu. Adanya peningkatan tekanan

intrakranial yang tinggi dapat diberikan deksametasone dengan dosis 0,3-0,5mg/kgBB/hari.

Pada pasien dengan meningitis TB,terdapat stimuli nonosmotik untuk ekspresi hormon

antidiuretik (ADH), yang menyebabkan syndrome of inappropriate ADH (SIADH).

Walaupun ADH sendiri tidak bisa memperparah edema serebri, namun perkembangan akut

dari hiponatremi hipoosmotik bisa memperburuk edema serebri akibat perpindahan air dari

kompartemen intravaskular ke ekstravaskular otak. Intake air harus dibatasi sebagai terapi

SIADH, namun tetap harus menghindari hipovolemi, karena bisa menyebabkan penurunan

erfusi serebral dan akan melepas lebih banyak lagi ADH. Dengan demikian, status euvolemik

harus tetap dipertahankan demi menjaga perfusi serebral untuk mencegah hypovolemia-

induced ADH release. Jika simptomatik, hiponatremi akut tidak merespon terapi anti-TB dan

restriksi cairan, penggunaan V2 (ADH) receptor antagonist bisa dipertimbangkan untuk

diberikan dengan hati-hati karena belum ada rekomendasi penggunaan antagonis reseptor

ADH ini. Koreksi hiponatremi yang terlalu cepat bisa mengakibatkan osmotic demyelination

syndrome.

2. Operasi

Pada beberapa penelitian disebutkan 30% pasien membutuhkan VP-shunt akibat gagal

terapi dengan diuretic. Intervensi bedah ini hanya direkomendasikan pada hidrosefalus grade

2 dan 3 (normal atau penurunan sensoris ringan, mudah dibangunkan) karena peningkatan

mortalitas dan rendahnya keberhasilan operasi pada pasien dengan hidrosefalus meningitis

TB grade 4 (deeply comatose). Walaupun pada 33-45% pasien menunjukkan hasil yang

memuaskan dengan VP Shunt. Kemungkinan, kondisi neurologis yang buruk dari hasil

operasi ini berhubungan dengan usia dibawah 3 tahun dan lebih dari 3 hari munculnya gejala

(Pudjiadi et al., 2010).

30

Page 31: Refreshing meningitis pada anak

2.2.9 Komplikasi

Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa

neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan

sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia,

gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi

optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat

streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien

yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan

kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi

pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan

kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan

defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.

Secara keseluruhan, mortalitas pada meningitis TB ini sekitar 30%. Mortalitas tertinggi

ada pada pasien dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang rendah atau stadium yang sudah

tinggi ketika terdiagnosis. Mortalitas juga meningkat pada pasien dengan terapi yang tertunda

atau terputus. Gejala neurologis sisa termasuk hemiparesis, hemiplegi, paraplegi, visual atau

hearing loss, dan perubahan kepribadian juga ditemukan paling tinggi pada pasien dengan GCS

rendah atau presentasi awal di stadium yang tinggi dengan adanya gejala neurologis fokal.

Hidrosefalus merupakan komplikasi umum dari meningitis TB; prevalensinya telah

didokumentasikan pada >75% penderita pada beberapa publikasi. Ventriculoperitoneal shunt

(VP-Shunt) dan endoscopic thrird ventriclostomy adalah teknik bedah yang telah dipraktikkan

untuk menurunkan tekanan intra kranial (TIK) pada meningitis TB dan memperbaiki kondisi

neurologis pasien. Anak-anak memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami hidrosefalus dan

penningkatan TIK (Ramachandran et al., 2013)

2.2.10 Prognosis

31

Page 32: Refreshing meningitis pada anak

Pasien meningitis tuberkulosa yang tidak diobati biasanya meninggal dunia. Prognosis

tergantung kepada faktor stadium penyakit ,umur penderita, berat ringan infeksi, lama sakit

sebelum mendapat pengobatan, kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan serta

penyulit dan penanganannya. Dengan diagnosis awal dan penanganan yang cepat, angka

kesembuhan bisencapai 90%. Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat

pasien didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya

Sebelum ditemukannya obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas meningitis tuberkulosis

hampir 100%. Dengan obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas dapat diturunkan walaupun

masihtinggi yaitu berkisar antara 10-20% kasus. Penyembuhan sempurna dapat juga terlihat.

Gejala sisa masih tinggi pada anak yang selamat dari penyakit ini, terutama bila datang berobat

dalam stadium lanjut. Gejala sisa yang sering didapati adalah gangguan fungsi mata

dan pendengaran. Dapat pula dijumpai hemiparesis, retardasi mental dan kejang.

Keterlibatanhipothalamus dan sisterna basalis dapat menyebabkan gejala endokrin. Saat

permulaan pengobatan umumnya menentukan hasil pengobatan (Saharso, 2008).

2.2.11 Pencegahan

Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 dan

untuk anak 0,1 ml diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan

lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak mengganggu struktur otot dan sebagai

tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia >3bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih

dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang

digunakan, pemberian vaksin,jarak pemberian vaksin, dan intensitas pemaparan infeksi.

Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi

BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, dan spondilitis TB pada anak.

Fakta di klinik, sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG.

Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara tetapi umumnya tidak dianjurkan di

banyak negara lain termasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek

samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis

dengan insidens (0,1-1%). Kontraindikasi imunisasi adalah kondisi imunokompromais, misalnya

defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, imunisasi BCG

ditunda hingga bayi mencapai BB optimal (Rahajoe et al.,2005).

32

Page 33: Refreshing meningitis pada anak

2.3. Meningitis Purulenta

2.3.1 Definisi

Meningitis adalah suatu radang yang mengenai sebagian atau semua lapisan selaput otak

yang membungkus jaringan otak sampai sumsum tulang belakang. Sedangkan, Meningitis

purulenta ialah radang selaput otak (arakhnoidea dan piamater) yang menimbulkan eksudasi

berupa pus, disebabkan oleh kuman non spesifik dan non virus (Gilroy,2000).

2.3.2 Etiologi

Kuman penyebab terbanyak meningitis purulenta ialah jenis Pneumokokus, Hemophilus

influenza, Staphylokokus, Streptokokus, E. Coli, Meningokokus dan Salmonella, Listeria,

Klebsiela (Mansjoer,2000). Agen etiologi meningitis purulenta pada neonatus paling banyak

adalah bakteri streptokokus grup B dan bakteri gram negative. Bakteri streptokokus merupakan

agen penting yang menyebabkan late-onset disease yang akan bermanifestasi sebagai meningitis.

Bakteri Escherichia colli dan bakteri gram negative lain seperti Klebsiella, Enterobacter, dan

Salmonella menyebabkan insiden meningitis yang sporadik pada negara berkembang

(Muller,2011).

Tabel. Etiologi Meningitis Purulenta

2.3.3 Epidemiologi

33

Page 34: Refreshing meningitis pada anak

Angka prevalensi meningitis purulenta adalah 5 : 100.000 dengan insiden tertinggi

meningitis purulenta terdapat pada anak usia 2 bulan hingga usia 2 tahun, dimana umumnya

banyak terjadi pada anak yang distrofik dengan daya tahan tubuh rendah (Gilroy,2000).

Meningitis Purulenta pada bayi dan anak di Indonesia, khususnya di Jakarta masih merupakan

penyakit yang belum mengurang. Angka kejadian tertinggi umur antara 2 bulan – 2 tahun.

Umumnya terdapat pada anak yangdistrofik, yang daya tahan tubuhnya rendah. Di negeri yang

sudah maju, angka kejadian sudah sangat berkurang (Mansjoer,2000).

Faktor predisposisi meningitis purulenta meliputi infeksi saluran pernafasan, infeksi

saluran pendengaran, riwayat cedera kepala, riwayat anestesi spinal, riwayat kontak dengan

penderita infeksi meningokal, dan menurunnya kondisi tubuh (Gilroy,2000).

2.3.4 Patogenesis

Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :

1. Aliran darah (hematogen) karena infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsilitis,

endokarditis, penumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan kuman

yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak

(Gilroy,2000).

2. Perluasan langsung dari infeksi (per kontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari

sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus kavernosus (Gilroy,2000).

3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, punksi lumbal, dan

mielokel (Gilroy,2000).

4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi karena :

Aspirasi dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau

oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir.

Infeksi bakterial secara transplantasi terutama listeria. (4)

Meningitis purulenta pada umumnya sebagai akibat komplikasi penyakit lain. Sebagian

besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyerangan hematogen. Pada neonates, pathogen

didapat dari sekresi genital maternal yang terinfeksi. Pada bayi dan anak-anak, infeksi saluran

napas merupakan port d’entree utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta (Bueno et

al.,2005). Inokulasi direct bacteria ke dalam CNS dapat diakibatkan karena trauma, skull defect,

congenital dura defect. Proses terjadinya diawali dengan perlekatan bakteri pada sel epitel

34

Page 35: Refreshing meningitis pada anak

mukosa nasofaring dan melakukan kolonisasi, kemudian menembus rintangan mukosa dan

memperbanyak diri dalam aliran darah dan menimbulkan bakteremia. Selanjutnya, bakteri masuk

ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri di dalamnya. Bakteri melepaskan

endotoksin dan sitokin-sitokin proinflamasi seperti TNF-a, IL-1, IL-6, IL-8, IL-10, MMP1,

MMP2, dan mediator-mediator lain sehingga menyebabkan respon inflamasi meningkat pada

piameter dan arachnoid sehingga terjadi kongesti dan produksi eksudat fibropurulen

(Gilroy,2000)

2.3.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis meningitis purulenta bergantung pada usia dari penderita. Demam,

kaku lehar, dan perubahan status mental ditemukan pada hamper 50% penderita, tanda kernig

sign positif dan brudzinki sign positif ditemukan hanya 5% pada pasien dewasa dengan

meningitis purulenta. Manifestasi klinis diatas lebih jarang didapatkan pada penderita meningitis

purulenta usia anak-anak. Tanda-tanda iritasi meningeal seperti kaku leher, tanda kernig dan

brudzinki pada anak-anak tidak dapat secara spesifik mengidentifikasi meningitis purulenta

(Fenichel,2005).

Secara garis besar manifestasi klinis meningitis purulenta dibagi menjadi 3 gejala besar

yakni :

1. Gejala infeksi akut

Anak menjadi lesu, mudah terangsang, panas muntah, anoreksia dan pada anak yang

besar mungkin didapatkan keluhan sakit kepala. Pada infeksi yang disebabkan oleh

meningokokus terdapat petekia dan herpes labialis (Gilroy,2000).

2. Gejala Tekanan intrakranial yang meninggi

Anak yang sering muntah, nyeri kepala (pada anak besar), moaning cry (pada neonatus)

yaitu tangis yang merintih. Kesadaran bayi/anakmenurun dari apatis sampai koma.

Kejang yang terjadi dapat bersifatumum, fokal atau. Ubun-ubun besar menonjol dan

tegang,terdapat gejala kelainan serebral lainnya seperti paralisis, strabismus,”Crack pot

sign” dan pernapasan Cheyne Stokes. Kadang-kadang padaanak besar terdapat hipertensi

dan ”Chocked disc” dari papila nervusoptikus (Gilroy,2000).

35

Page 36: Refreshing meningitis pada anak

3. Gejala rangsangan meningeal

Terdapat kaku kuduk, malahan dapat terjadi regiditas umum. Tanda-tanda spesifik seperti

kernig, brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas terjadi, sering

terdapat keluhan di daerah leher dan punggung. Bila terdapat gejala tersebut di atas,

selanjutnya dilakukan punksi lumbal untuk mendapatkan cairan serebrospinal

(Gilroy,2000).

Manifestasi klinis meningitis purulenta berdasarkan usia :

a. Neonatus : Gejala tidak khas, panas +, anak tampak malas, lemah, tidak mau minum,

muntah, dan kesadaran menurun. Ubun-ubun besar kadang tampak cembung, dan

pernafasan tidak teratur.

b. Anak-anak usia 2 bulan - 2 tahun : Gambaran klasik (-). Hanya panas, muntah, gelisah,

dan kejang berulang.

c. Anak umur > 2 tahun : panas menggigil, muntah, nyeri kepala, kejang, gangguan

kesadaran dan ditemukan tanda-tanda rangsang meningeal (Saharso,2008).

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang

1. Pungsi Lumbal

Lakukan punksi lumbal pada setiap pasien dengan kecurigaan meningitis. Meskipun

hasilnya normal, observasi pasien dengan ketat sampai keadaannya kembali normal. Punksi

lumbal dapat diulang setelah 8 jam bila diperlukan. Umumnya cairan serebrospinal berwarna

opalesen sampai keruh, tetapi pada stadium dini dapat dijumpai cairan yang jernih. Reaksi

Nonne dan Pandy umumnya positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik

cairan yang sebagian besar terdiri dari sel polimorfonukleus. Pada stadium dini didapatkan

jumlah sela hanya ratusan per milimeter kubik dengan hitung jenis lebih banyak limfosit

daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan demikian, punksi lumbal perlu diulangi

keesokan harinya untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan

pada stadium penyembuhan meningitis purulenta. Kadar protein dalam likuor meninggi.

Kadar gula menurun tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-

kadang merendah. Pengobatan antibiotik sebelumnya dapat mengqcaukan gambaran cairan

36

Page 37: Refreshing meningitis pada anak

serebrospinal. Pewarnaan gram cairan serebrospinal berguna untuk menentukan terapi awal.

Kultur dan uji resistensi dilakukan untuk menentukan terapi yang tepat.

2. Pemeriksaan Darah

Dari pemeriksaan sediaan langsung di bawah mikroskop mungkin dapat ditemukan

kuman penyebab (jarang). Diferensiasi kuman yang dapat dipercaya hanya dapat ditentukan

secara pembiakan dan percobaan binatang. Tidak ditemukan kuman pada sediaan langsung

bukanlah indikasi kontra terhadap diagnosis. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan

leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri. Umumnya terdapat anemia megaloblastik.

2.3.7 Diagnosis

Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

neurologi, dan pemeriksaan penunjang seperti lumbal pungsi. Pasien pada umumnya datang

dengan keluhan adanya demam, kaku pada bagian leher, dan perubahan status mental, bahkan

tidak terkecuali pasien datang dengan kejang. Pada pemeriksaan mungkin didapatkan adamya

fokus infeksi yang telah ada, seperti adanya infeksi pada traktus respiratori atau lainnya. Pada

pemeriksaan fisik, mungkin didapati penurunan kesadaran dari pasien, adanya tanda-tanda

meningeal yang positif dengan suhu aksila yang cenderung tinggi.. Pemeriksaan penunjang yang

dapat dilakukan seperti lumbar pungsi akan menampakkan hasil yang menunjang diagnosa dari

meningitis bakterial itu sendiri. Bila dibutuhkan dapat dilakukan pemeriksaan imaging yang ada

untuk melihat adanya fokus-fokus infeksi ditempat tertentu.

2.3.8 Diganosis Banding

Gejala awal yang tidak khas menyebabkan pasien diduga menderita demam tifoid atau

sakit dengan penyebab panas yang lain . Diagnosis banding untuk meningitis purulenta juga

adalah meningitis tuberkulosa dan meningitis virus (Saharso,2008).

2.3.9 Komplikasi

Ventrikulitis, efusi subdural, gangguan cairan dan elektrolit, meningitis berulang, abses

otak (gejala neurologik fokal, leukositosis), paresis/paralisis, ataksia, tuli, hidrosefalus, retardasi

mental, epilepsi,syok septik, trombosis sinus vena (gangguan kesadaran) (Mansjoer,2000 ;

Krawinkel,2001).

Ventrikulitis

37

Page 38: Refreshing meningitis pada anak

Infeksi pada system ventrikel primer atau sekunder penyebaran mikroorganisem dari ruang

subaraknoid karena pasang surut CSS atau migrasi kuman yang bergerak. Komplikasi sering

terjadi pada neonates, pernah dilaporkan sampai 92% pada bayi dengan meningitis purulenta.

Apabila ventrikulitis disertai obstruksi aquaductus Sylvii, maka infeksinya menjadi stempat

(terlokalisasi) seperti abses, dengan peningkatan tekanan intracranial yang cepat dan dapat

menyebabkan herniasi. Pada ventrikulitis perlu pengobatan dengan antibiotic parenteral secara

massif, irigasi dan drainase secara periodic.

Efusi Subdural

Kemungkinan adanya efusi subdural perlu dipikirkan apabila demam tetap ada setelah 72 jam

pemberian antibiotic dan pengobatan suportif yang adekuat, ubun-ubun besar tetap memnonjol,

gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang fokal atau umum, timbul kelainan neurologis

fokal atau muntah-muntah. Diagnosis ditegakkan dengan transiluminasi kepala atau pencitraan.

Transiluminasi kepala dinyatakan positif bila daerah translusenasimetri, pada bayi berumur

kurang dari 6 bulan daerah trasnlusen melebihi 3cm, dan padabayi berumur 6 bulan atau lebih

daerah trasnslusen melebihi 2 cm. selanjutnya efusi subdural mempunyai 4 kemungkinan: a.

kering sendiri, bila jumlahnya sedikit; b.menetap ataubertambah banyak; c. membentuk

membrane yang berasal dari fibrin; d. menjadi empiema. Pengobatan efusi subdural masih

controversial, tetapi biasanya dilakukan tap subdural apabila terdapat penenkanan jaringan otak,

demam menetap, kesadaran menurun tidak membaik, peningkatan tekanan intracranial menetap,

dan empiema. Dilakukan tap subdural tiap 2 hari (selang sehari) sampai kering. Kalau dalam 2

minggu tidak kering dikonsulkan ke Bagian Bedah Saraf untuk dikeringkan. Kalau lebih dari 2

minggu tidak kering akan terbentuk membrane yang berasal dari fibrin dan dapat menghalangi

pertumbuhan otak. Membrane akan membentuk neovaskular yang ujungnya menempel di

korteks serebri dan dapat merupakan focus iritatif akan timbulnya epilepsy di kemudian hari.

Pengeluar cairan satu kali tap maksimal 30ml pada kedua sisi. Cairan yang keluar pada

permulaan berwarna xantokrom, tapi setelah beberapa kali menjadi kuning muda.

Gangguan cairan dan elektrolit

Pada pasien meningitis bacterial kadang disertai dengan hipervolemia (edema), oliguria, gelisah,

iritabel, dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena SIADH, sekresi ADH berlebihan. Diagnosis

38

Page 39: Refreshing meningitis pada anak

ditegakkan dengan meninmbang ulang pasien, memeriksa elektrolit serum, mengukur volume

dan osmolaritas urin dan mengukur berat jenis urin. Pengobatan dengan restriksi pemberian

cairan, pemberian diuretic (furosemid). Pada pasien berat dapat diberikan sedikit natrium.

Tuli

Kira-kira 5-30% pasien meningitis bacterial mengalami komplikasi tuli terutama apabila

disebabkan oleh S.penumoniae. Tuli konduktif disebabkan oleh karena infeksi telinga tengah

yang menyertai meningitis. Yang terbanyak tuli sensorineural. Tuli sensorineural lebih sering

disebabkan oleh karena sepsis koklear daripada kelainan N.VIII. Gangguan pendengaran dapat

dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan BAEP. Biasanya penyembuhan terjadi pada akhir

minggu ke-2, tetapi yang berat menetap. Pemberian deksametason dapat mengurangi komplikasi

gangguan pendengaran apabila diberikan sebelum pemberian antibiotic dengan dosis

0,6mg/kgBB/hari intravena dibagi 4 dosis selama 4 hari.

2.3.10 Penatalaksanaan

Penanganan penderita meningitis meliputi :

1. Farmakologis :

Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik untukneonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut (Pusponegoro,2004):· Umur 0-7 hari

1. Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau

2. Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau3. Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari setiap 12

ajm IV.

· Umur >7 hari1. Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari2. setiap 12 jam IV atau3. Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau4. Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.

Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan anak dengan meningitis bakterial sebagai berikut :

· Usia 1 – 3 bulan :

39

Page 40: Refreshing meningitis pada anak

1. Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau

2. Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis

· Usia > 3 bulan :1. Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau2. Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau3. Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol 100

mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis

Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil kultur dan resistensi.

Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of bacterial meningitis adalah sebagai berikut :· N meningitidis - 7 hari· H influenzae - 7 hari· S pneumoniae - 10-14 hari· S agalactiae - 14-21 hari· Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu· L monocytogenes - 21 hari atau lebih

Pada neonatus pengobatan selama 21 hari, pada bayi dan anak 10 – 14 hari (Saharso,2003 ;

Behrmann,2003)

2. Pengobatan Simptomatis :

Menghentikan kejang :

Diazepam 0,2-0,5mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rectal suppositoria,

kemudian dilanjutkan dengan :

Phenitoin 5mg/kgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau

Phenobarbital 5-7mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis

Menurunkan Panas :

o Antipiretik : Paracetamol 10mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10mg/KgBB/dosis PO

diberikan 3-4x sehari.

o Kompres air hangat atau biasa

3. Pengobatan Supportif :

Cairan intravena, koreksi gangguan asam basa dan elektrolit, oksigenasi

(Saharso,2003)

40

Page 41: Refreshing meningitis pada anak

Tabel : Terapi Antibiotik untuk meningitis purulenta (Krawinkel,2001)

2.3.11 Prognosis

Berat ringannya penyakik.t ini tergantung pada umur (makin muda makin berat), jenis

kuman, berat ringannya infeksi, lama sakit sebelum diobati, kepekaan kuman terhadap antibiotik

(sering jenis kuman tidak teridentifikasi) dan komplikasi yang timbul. Prognosis buruk pada usia

lebih muda, infeksi berat yang disertai DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)

(Mansjoer,2000)

2.4. Ensefalitis

2.4.1Definisi

Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak yang dapat disebabkan oleh

berbagai macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa) (Tunkel et al.,2008 ;

Solomon et al.,2011).

Gejala ensefalitis yang muncul dapat berupa disfungsi neurologis yang bersifat fokal atau

menyeluruh. Terkadang peradangan ensefalitis tidak hanya terjadi pada parenkim otak saja,

tetapi juga pada meningen. Keadaan ini disebut meningoensefalitis. Ensefalitis dapat dibedakan

dengan meningoensefalitis bila ditemukan tanda dan gejala inflamasi meningen dari pemeriksaan

fisik.

41

Page 42: Refreshing meningitis pada anak

Ensefalitis juga harus dibedakan dari cerebritis yang merupakan suatu kondisi pembetukan abses

akibat infeksi bakteri yang bersifat destruktif pada jaringan otak. Ensefalitis bersifat akut dan

lebih sering disebabkan karena infeksi virus. Kerusakan parenkim otak pada ensefalitis bervariasi

dari ringan sampai dalam.

Ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus dan kelainan autoimun. Insiden

ensefalitis pada populasi di Amerika Serikat adalah 1:200.000 diakibatkan oleh infeksi virus

herpes simpleks. Pada kasus ensefalitis yang bersifat sub akut dan kronik, atau pada penderita

dengan imunodefisiensi, penyebab paling sering adalah infeksi toksoplasmosis.

Sebagian besar kasus tidak dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi,

berkisar 35%-50%, dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup tinggi (20%-40%).

Penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Berbagai macam virus dapat menimbulkan

ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas, akan tetapi hanya ensefalitis herpeks

simpleks dan varisela yang dapat diobati. Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk

primer dan bentuk sekunder. Ensefalitis primer melibatkan infeksi virus langsung 

dari otak dan sumsum tulang belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama

terjadi di tempat lain ditubuh dan kemudian ke otak (Tunkel et al.,2005).

2.4.2 Epidemiology

Insiden ensefalitis tergantung pada virus tertentu yang memiliki prevalensi tinggi

penyebab ensefalitis. Studi prospektif yang dilakukan Koskiniemi et al (2001) menemukan

bahwa insiden ensefalitis secara keseluruhan adalah 10,5 di 100 000 anak per tahun, dengan

angka tertinggi pada anak-anak muda dari usia 1 tahun (18,4 dalam 100.000 anak-tahun). Para

agen penyebab yang paling sering diidentifikasi adalah VZV, virus pernafasan, enterovirus,

adenovirus, EBV, HSV, rotavirus dan HHV-6 (Koskiniemi et al.,2001). Untuk orang dewasa dan

anak-anak, herpes simplex virus (HSV) merupakan penyebab terbanyak ensefalitis dengan

kejadian dari 1 dalam 250 000-500 000, tetapi sekitar 10% disebabkan HSV-2 yang umumnya

menyebabkan ensefalitis pada pasien dewasa dengan immunocompromised dan neonatus, dimana

(Koskiniemi et al.,2001; Whitley,2005;Solomon,2011).

Individu pada usia muda seperti bayi baru lahir memiliki resiko yang tinggi pada infeksi HSE.

HSE neonatal merupakan manifestasi infeksi diseminata tipe 1 dan 2. Sedangkan pada bayi, anak

dan dewasa dapat mengalami infeksi CNS.

42

Page 43: Refreshing meningitis pada anak

Etiologi

Penyebab paling sering dari ensefalitis adalah virus. Virus seperti HSV tipe 1 dan 2, sering

muncul pada neonates dibanding dewasa. Selain itu ensefalitis juga disebabkan karena penularan

virus dari penderita dengan infeksi VZV, EBV, virus measles (SSPE dan PIE), virus mumps dan

virus rubella. CDC telah membuktikan adanya penularan MNV akibat transplantasi organ dan

tranfusi darah.

Vector yang berperan dalam penyebaran virus adalah nyamuk dan Tick, yang merupakan hewan

yang menginokulasi arbovirus, dan mamalia berdarah hangat, yang menjadi vector rabies dan

lymphocytic choriomeningitis (LCM).

Patogen bacterial, seperti spesies Mycoplasma dan penyebab penyakit rickettsial atau catscracth

disease, jarang menyebabkan inflamasi parenkim otak.

Selain itu, parasit dan jamur penyebab ensefalitis seperti toxoplasma gondii sering terjadi pada

penderita dengan imunodefisiensi.

Penyebab noninfeksi yang lain adalah karena terjadinya proses demyelinating akut diseminata

ensefalitis.

Ensefalitis arboviral : west nile encephalitis, st. Louis encephalitis (Flaviviridae), California

encephalitis (Bunyviridae), western equine encephalitis, eastern equine encephalitis (Togavirus),

Colorado tick fever (Reoviridae), Venezuelan equine encephalitis (alphavirus, togaviridae).

Genus Virus dan penyakitnya Vector Distribusi geografis

Flaviviru

s

Japanesse encephalitis Culex tritaeniorhynchus Asia/jepang sampai

Sri Lanka

Murray valley

encephalitis

Culex annulisrostris Australia timur

Rocio Psorophora dan aedes Sao Paula, Brazil

West nile Culex Eropa – Australia

Tick borne encephalitis Ixodes ricinus, ixodes

persulcatus

Eropa, Rusia

Togaviru

s

Venezuellan equine

encephalitis

Culex dll Amerika selatan

bagian utara

43

Page 44: Refreshing meningitis pada anak

2.4.3Patogenesis

Virus masuk ke tubuh pasien melalui beberapa jalan. Beberapa virus penyebab ensefalitis

masuk ke tubuh penderita karena tertular dari luar. Tetapi pada kasus HSE dapat disebabkan

karean reaktivasi virus herpes simpleks yang berdormansi di ganglia trigeminal. Penularan virus

arbovirus dan rabies disebabkan karena paparan sekret serangga seperti nyamuk yang membawa

arbovirus. Pada penderita inmunodefisiensi infeksi virus varisela zoster dan cytomegalovirus,

dapat mengakibatkan gejala ensefalitis.

Virus bereplikasi diluar CNS dan masuk ke CNS melalui penyebaran hematogen atau melalui

jalur saraf (rabies, HSV, VZV). Etiologi dari infeksi virus lambat seperti yang terjadi pada

measles-related subavute sclerosing panencephalitis dan progressive multifocal

leukoencephalopathy (PML), masih belum diketahui.

Setelah menembus Blood Brain Barrier, virus memasuki sel saraf, dan menyebabkan kerusakan

fusngi sel, kongesti perivaskuler, perdarahan dan respon inflamasi yang luas yang menyebabkan

perubahan batas regio white matter dan gray matter.

Tropisme regional berhubungan dengan beberapa virus karena teradapat sel yang memiliki

reseptor spesifik pada membrannya, sehingga ditemukan focus patologi pada area tersebut.

Contohnya pada infeksi HSV yang memiliki predileksi pada lobus temporal inferior dan medial.

Berbeda dengan virus yang menginfeksi gray matter secara langsung, ensefalitis akut diseminata

dan postinfectious encephalomyelitis (PIE) sering disebabkan oleh infeksi measles dan

berhubungan dengan Epstein-barr virus. Infeksi CMV, merupkana proses yang dimediasi sistem

imun, menyebabkan demyelinasi multifocal pada area perivenous white matter.

Tempat permulaan masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran

pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh virus tersebut akan menyebar ke seluruh tubuh

dengan beberapa cara :

Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ

tertentu.

Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke

organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.

Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertama kali

masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke organ lain.

44

Page 45: Refreshing meningitis pada anak

Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput lendir dan

menyebar melalui sistem saraf.

Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien, tetapi belum terdapat kelainan

neurologis. Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan

akhirnya diikuti oleh kelainan neurologis. Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh :

Invasi dan pengerusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang

berkembang biak.

Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi,

kerusakan vaskular dan para vascular. Sedangkan virusnya sendiri sudah tidak ada

dalam jaringan otak.

Reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat laten (Solomon et al.,2005)

2.4.4Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat.

Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan.

Masa prodormal berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai dengan demam, sakit kepala,

pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat. Kemudian diikuti

oleh tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung dari distribusi dan luasnya lesi pada

neuron. Gejala-gejala tersebut berupa pasien gelisah, iritabel, screaming attack, perubahan dalam

perilaku, gangguan kesadaran dan kejang. Kadang-kadang dapat juga disertai tanda neurologis

fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia, dan paralisis saraf otak. Tanda rangsang

meningeal dapat terjadi bila peradangan mencapai meningen. Ruam kulit kadang didapatkan

pada beberapa tipe ensefalitis misalnya pada enterovirus, varisela dan zoster (Tunkel et al.,2005).

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :

- Ruam - exanthems (banyak virus), misalnya tangan, kaki dan mulut, penyakit (EV71),

purpura ruam (meningitis meningokokus);

- Meningisme atau fotofobia : dapat terlihat dengan memeriksa kekakuan leher dan Tanda

Kernig

- Tanda-tanda tekanan intrakranial (RICP) : peningkatan tekanan darah, bradikardia,

perubahan pola pernapasan, postur yang abnormal (mengulit atau decerebrate),

papilloedema

45

Page 46: Refreshing meningitis pada anak

- Tanda-tanda neurologis fokal : hemiplegia, neuropati kranial, sikap yang abnormal

- deviasi mata tonik, nistagmus, gerakan klonik halus wajah atau jari - halus bermotor

Status epileptikus

- Neuropati kranial yang lebih rendah : rhomboencephalitis / basal meningoencephalitis

(enterovirus atau listeria, tuberkulosis) (Tunkel et al.,2005).

2.4.5Diagnosis

Di negara-negara berkembang diagnosis spesifik untuk mengetahui penyebab ensefalitis

tidak mudah oleh karena terbatasnya fasilitas yang tersedia. Di Amerika Serikat sampai 1978

lebih dari 50% kasus ensefalitis tidak diketahui penyebabnya. Untuk memastikan diagnosis

ensefalitis didasarkan atas gambaran klinis, pemeriksaan virologis dan patologi anantomi.

a. Anamnesis

Berdasarkan anamnesa penyebab ensefalitis dapat diketahui berdasarkan riwayat

gigitan nyamuk atau tick, dan mamalia yang berkaitan dengan infeksi rabies.

Gejala prodromal dapat dialami selama beberapa hari, yaitu demam, nyeri kepala,

mual, muntah, myalgia dan kelemahan. Gejala prodromal yang spesifik disebabkan

oleh infeksi virus varicella-zoster, Epstein-barr, cytomegalovirus, measles, dan

mumps adalah ruam kemerahan, limfadenopati, hepatosplenomegali dan pembesaran

parotis. Keluhan dysuria dan pyuria dapat jadi pada ensefalitis st. Louis. Kelemahan

yang berat sering terjadi pada west nile encephalitis (WNE).

Gejala ensefalitis akibat infeksi herpes simplekspada neonates, terdiri dari lesi di

kulit, mata dan mulut. Penurunan kesadaran, iritabilits, kejang, dan penurunan nafsu

makan.

Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia.

Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh nyeri kepala,

ensefalopati, kejang, dan kesadaran menurun.

Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivus. Dapat ditemukan

sejak awal ataupun kemudian dalam perjalanan penyakitnya.

Paralisa flaccid

b. Pemeriksaan fisik

46

Page 47: Refreshing meningitis pada anak

Tanda dan gejala akibat ensefalitis dapat bersifat fokal atau menyeluruh. Beberapa

gejala klinis yang dapat ditemukan adalah:

Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun sampai koma dan kejang.

Kejang dapat berupa status konvulsivus.

Ditemukan gejala peningkatan tekanan intracranial.

Sering ditemukan perubahan kepribadian, gangguan konsentrasi.

Gangguan motoric seperti pada st. Louis encephalitis, eastern equine encephalitis

(EEE), western equine encephalitis (WEE).

Ataxia

Disfagia, terutama karena infeksi rabies.

Disfungsi sensorimotor unilateral (PIE).

Pada bayi, frontanela menonjol.

Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper motor

neuron (spastic, hiperefleks, reflex patologis, dan klonus).

Untuk penegakkan diagnosis ensefalitis akibat infeksi virus, perlu dilakukan evaluasi

lain yang mendukung. Contohnya, pada infeksi HSV pada neonates, selain gejala

ensefalitis, sering ditemukan lesi herpetic di kulit, keratokonjungtivits, infeksi di

orofaring terutama di mukosa bukal dan lidah

Infeksi toksoplasma sering terjadi pada penderita imunodefisiensi.

c. Pemeriksaan penunjang

Ensefalitis dapat disebabkan karena infeksi bakteri, jamur, gangguan autoimun dan

virus. Karena itu, pemeriksaan darah lengkap dan urnin, perlu dilakukan untuk

mengidentifikasi penyebab ensefalitis.

Darah perifer lengkap, ensefalitis akibat virus sering menunjukkan gambaran

leukositosis ringan atau pleocytosis. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit dilakukan

jika ada indikasi.

Serum elektrolit, Blood Urea Nitrogen, dapat dilakukan untuk emnilai status

dehidrasi, SIADH sering terjadi pada ensefalitis st. Louis. Faal hati dievaluasi untuk

menentukan regimen terapi antimikroba.

Pemeriksaan Radiologi: CT scan, MRI dan EEG.

47

Page 48: Refreshing meningitis pada anak

o Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan sebelum pungsi lumbal, terutama bila

ditemukan gejala peningkatan tekanan intracranial, hidrosefalus obstruktif, atau

efek massa akibat infeksi jaringan otak.

o Berdasarkan pemeriksaan MRI, ensefalitis yang menunjukkan adanya

peningkatan intenstas pada gambaran T2 di lobus temporal dan inferior frontal

gray matter adalah tanda dari infeksi HSE. Pada CTscan, ditemukan edema dan

perdarahan petekial.

o Gambaran MRI ensefalitis EEE dan tick-borne, menunjukkan peningkatan

insentras pada basal ganglia dan thalamus.

o Gambaran CT scan dengan kontras pada infeksi toksoplasmosis menunjukkan lesi

penyangatan berbentuk cincin dan nodular. Gambaran ini mungkin tidak tampak

bila dilakukan CTscan tanpa kontras.

o Gambaran EEG pada HES, menunjukkan karakteristik PLEDs, paroxysmal lateral

epileptiform discharge, bahkan sebelum terjadi perubahan gambaran radiologi.

Tetapi gambaran PLEDs tidak spesifik pada HES.

Pungsi lumbal : pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) bias normal atau

menunjukkan abnormalitas ringan sampai sedang :

- peningkatan jumplah sel 50-200/mm3.

- hitung jenis didominasi sel limfosit

- protein meningkat tapi tidak melebihi 200mg/dl

- glukosa normal

- pencitraan (computed tomography/CT scan atau magnetic resonance

imaging/MRI kepala) menunjukkan gambaan edema otak baik umum atau fokal

- Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang

sangat penting pada beberapa pasien, umumnya didapatkan gambaran

perlambatan atau gelombang epileptiform baik umum maupun fokal

- Dengan asumsi bahwa biopsi otak tidak meningkatkan morbiditas dan mortalitas,

apabila didapatkan lesi fokal pada pemeriksaan EEG atau CT scan, pada daerah

tersebut dapat dilakukan biopsi, tetapi apabila pada pemeriksaan CT scan dan

EEG tidak didapatkan lesi fokal, biopsi tetap dilakukan dengan melihat tanda

klinis fokal. Apabila tanda klinis fokal tidak didapatkan maka biopsy dapat

48

Page 49: Refreshing meningitis pada anak

dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi tempat predileksi

virus Herpes Simplex, dimana sering ditemukan HSC cowdry tipe A inclusion

dengan nekrosis perdarahan. Pada infeksi rabies dapat ditemukan Negri Bodies

pada hippocampus dan serebellum.

- Pemeriksaan Tzanck smear bila dicurigai adanya infeksi virus herpes simpleks.

- Pewarnaan gram dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis meningitis bakteri.

- Kultur LCS atau kultur darah.

- Uji serologi dan PCR pada infeksi arbovirus, ensefalitis st. Louis, japanesse

encephalitis, dan WNE, toksoplasmosis dan EBV.

- Adanya data epidemiologi dapat membantu menentukan uji serologis yang perlu

dilakukan untuk menegakkan diagnosis.

2.4.6Diagnosis banding

Kelainan-kelainan yang merupakan diagnosis banding adalah meningitis TBC, sindrom

Reye, abses otak, tumor otak dan ensefalopati (Suharso,2008).

Penyakit catscratch, hypoglycemia, leptospirosis pada manusia, status epileptikus, perdarahan

subarachnoid akibat trauma kepala, systemic lupus erythematosus,

2.4.7 Penatalaksanaan

a. Medikamentosa

Penatalaksanaan penderita dengan ensefalitis terdiri dari terapi suportif seperti

manajemen peningkatan tekanan intracranial dan hidrosefalus, terapi komplikasi sistemik

dan terapi empiric.

Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.

Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah

mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien

koma yaitu mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral

atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan

asam basa darah serta terapi suportif yang lain berupa tatalaksana pada peningkatan

tekanan intracranial dan kejang (Tunkel et al.,2005)

49

Page 50: Refreshing meningitis pada anak

Manajemen peningkatan tekanan intracranial dan hidrosefalus, teradi dari

pemberian antipiretik, analgesic, control batuk, pencegahan kejang dan hipotensi

sistemik. Komplikasi sistemik yang dapat terjadi adlaah syok, hipoksemia, hiponatremia

dan eksaserbasi penyakit kronik lainnya.

Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti

epilepsy, kadang diberikan kortikosteroid. Bila kejang dapat diberikan diazepam 0,3-0,5

mg/kgBB IV dilanjutkan dengan fenobarbital. Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres

dingin dapat diberikan apabila pasien panas. Selain itu, yang dapat dilakukan adalah

elevasi kepala dan pemantauan status neurologis. Pemberian diuresis, furosemide 20 mg

IV, dapat dilakukan untuk menjaga volume tidak meningkat. Deksamethason 10mg IV

setiap 6 jam untuk mengurangi edema disekitar lesi. Hiperventilasi dapat menyebabkan

penurunan cerebral blood flow, sehingga dapat digunakan untuk menurunkan tekanan

intracranial pada kondisi emergensi. Apabila didapatkan tanda kenaikan intrakranial

dapat diberi deksametason 1 mg/kgBB/kali dilanjutkan dengan pemberian 0,25-0,5

mg/kgBB/hari. Pemberian deksametason tidak diindikasikan pada pasien tanpa tekanan

intracranial yang meningkat atau keadaan umum telah stabil. Mannitol juga dapat

diberikan dengan dosis 1,5-2g/kgBB IV dalam periode 8-12 jam (Pusponegoro, 2002).

Perawatan yang baik berupa drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodic

pada pasien ensefalitis yang mengalami gangguan menelan, akumulasi lendir pada

tenggorokan serta adanya paralisis pita suara atau otot-otot pernapasan. Pada pasien

herpes ensefalitis dapat diberikan Adenosine Arabinose 15 mg/kgBB/hari IV diberikan

selama 10 hari (Pusponegoro, 2002).

Pada anak dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi, dan acute

disseminated encephalomyelitis (ADEM) dapat diberikan kortikosteroid selama 2

minggu. Diberikan dosis tinggi metilprednisolon 15 mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam

selama 3-5 hari dan dilanjutkan prednisone oral 1-2 mg/kg/hari selama 7-10 hari (Tunkel

et al.,2005).

Pengobatan empiric pada ensefalitis berdasarkan etiologinya. Pemberian acyclovir

10mg/kg setiap 8 jam selama 14-21 hari dilakukan untuk terapi ensefalitis akibat virus

herpes simpleks dan varicella-zoster pada anak dan dewasa. Pada neonates, pemberian

acyclovir 10-15mg/kg IV setiap 8 jam.

50

Page 51: Refreshing meningitis pada anak

Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan penglihatan, palsi serebral,

epilepsi, retardasi mental maupun gangguagn perilaku. Pasca rawat pasien memerlukan

pemantauan tumbuh-kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke

departemen terkait sesuai indikasi (Tunkel et al.,2005)

2.4.8Komplikasi

Komplikasi yang dapat disebabkan karena ensefalitis adalah kejang, syndrome of

inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH), peningkatan tekanan intracranial, dan

koma. Kesadaran pasien sewaktu keluar dari rumah sakit bukan merupakan gambaran penyakit

secara keseluruhan karena gejala sisa kadang-kadang baru timbul setelah pasien pulang.

Beberapa kelainan yang mungkin dapat dijumpai antara lain retardasi mental, iritabel, emosi

tidak stabil, sulit tidur, halusinasi, enuresis, dan lainnya. Adanya gangguan motorik dan epilepsi

tidak jarang didapatkan pada pasien (Tunkel et al.,2005)

51

Page 52: Refreshing meningitis pada anak

b. Pemantauan pasca rawat

Skema dalam Management Viral Encephalitis (Solomon et al.,2012).

Daftar Pustaka

Bahtera, T., (2006), Pengelolaan Kejang Demam, Neurologi Anak, FK UNDIP, Jawa Tengah.

Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong’s Review of Medical Physiology. Edisi ke-23. Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2010.

52

Page 53: Refreshing meningitis pada anak

Baumann R. Febrile Seizures. Online. http://emedicine.medscape.com. Diakses pada tanggal 18Juli 2013 pukul 17.00 WIB.

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo. Pediatric Neurology and Neuroemergency in Daily Practice. .Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006.

Farrell Kevin, Goldman R. The Management of Febrile Seizures. British Columbia Medical Journal 2011; 53(6): 268-273.

Fuadi, F., (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak,(Tesis), Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.

Fenichel GM.2005. Clinical Pediatric Neurology 5th ed. Philadelphia : Elsevier saunders.

Garna, et.al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD.

GilroyJ.2000. Basic Neurology 3rd edition. USA : McGraw-Hill.

Howes et al. 19 Maret 2013. Encephalitis. http://emedicine.medscape.com/article/791896-overview. diakses pada tanggal 28 Juli 2013 pukul 17.00.

Jones, T. and Jacobsen, S.J. (2007) Childhood febrile seizures: overview and implications. International Journal of Medical Sciences4(2), 110-114.

Koskiniemi et al. Clinical Report – Infection of the Central Nervous System of Suspected Viral Origin: A Collaborative Study from Finland. Journal of Neurovirologi, 7:400-4008, 2001.

Krawinkel,M.2001. Praktik kedokteran di Negara Berkembang. Edisi I. Jakarta : Widya Medika.

Kundu G, Rabin F, Nandi E, Sheikh N, Akhter S. Etiology and Risk Factors of Febrile Seizure – An Update. Bangladesh Journal Child Health 2010; 34(3): 103-112.

Kneen et al. Management of Suspected Viral Encephalitis in Adult – Association of British Neurologist and British Infection Association National Guidelines. J. infect. 2012 Apr;64(4):347-73.

Kusuma, D., Yuana I., (2010), Korelasi antara Kadar Seng Serum dengan Bangkitan Kejang Demam, (Tesis), Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1, Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.

Lumbantobing S. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

53

Page 54: Refreshing meningitis pada anak

Mangunatmadja, I., Widodo, D.P., (2011), Simposium dan Workshop Tata Laksana Terkini Kejang Demam dan Epilepsi pada Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Kalimantan Barat.

Mansjoer Arif.2000. Kapita SelektaKedokteran Jilid 2. Jakarta : EGC.

Ministry of Health Service, (2010), Guidelines and Protocols : Febrile seizures, British Columbia Medical Assosiation.

Miller FJW. 1982. Tuberculosis in children: Tuberculosis of the central nervous system. 1st ed. Edinburgh: Churchil Livingstone.

Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis.http://emedicine.medscape.com/article/061497-overview. Diakses tanggal 24 Juli 2013.

Murray et al. Risk Factor for Encephalitis and Death from West Nile Virus Infection. Epidemiol. Infect. 2006. 134;1325-1332.

Ojha A, Aryal U. Leucocytosis in Febrile Seizure. Journal of Nepal Pediatric Society 2011; 31(3): 188-191.

Pudjiadi AH,dkk.2010. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Pusponegoro HD, dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI : 200 – 208.

Pusponegoro, H.D., Widodo, D.P., Ismael, S., (2006), Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam, Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Ramachandran TS. Tuberculous Meningitis. Last Updated 4 December 2008. Availablefrom http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview.

Rahajoe N, Basir D, dkk. 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak, UnitKerja Pulmonologi PP IDAI, Jakarta.

Rudolph C, Rudolph A, Lister G, First L, Gershson A. Rudolph’s Pediatrics.Edisi ke-22. Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2011.

Saharso D, dkk.2003.Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta : BP IDAI.

Saharso D, dkk. 1999. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI.

Scheffer, I.E., Sadleir, L.G., (2007), Febrile Seizures, BMJ;334;307-311.

54

Page 55: Refreshing meningitis pada anak

Soetomenggolo, T.S., (1998), Kejang Demam dalam Buku Ajar Neurologi,IDAI, Jakarta.

Srinivasan, J., Wallace, K.A., Scheffer, I.E., (2005), Febrile Seizures, Australian Family Physician, Vol. 34, No. 12: 1021-1025.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI.1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta:Bagian Kesehatan Anak FKUI.

Steering committee on quality improvement and management, subcommittee on febrile seizures. Febrile Seizures: Clinical Practice Guideline for the Long-term Management of the Child with Simple Febrile Seizure. Pediatrics 2008; 121: 1281-1286.

Subcommitee on febrile seizures. Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child with a Simple Febrile Seizure. Pediatrics 2011; 127: 389-394.

Suharso, Darto. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya.

Tan TQ. Meningitis. 2003. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting. PediatricHospital Medicine, textbook of inpatient management. Philadelphia : LippincottWilliams & Wilkins.

Tunkel et al. The Management of Encephalitis Clinical Practice Guideline by the Infectious Disease Society of America. Clinical Infectious Diseases 2008;47:303-27.

Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Indonesia 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI); 2006.

Whitley RJ, et al. Herpes Simplex Encephalitis: Children and Adolescents. Pediatric Infection Disease 2005 Jan;16(1):17-23.

Wolf, P., Shinnar, S., (2005), Febrile Seizures in Current Management in Child Neurology, Third Edition. BC Decker Inc.

55