Refrat Graves Disease FIX BGT

54
Refrat GRAVE’S DISEASE Oleh: Cherelia Dinar P. A. G 9911112036 Nugroho Jati D. L. G 9911112109 Nursanti Setianadewi G 9911112116 Titis Ummi Nur J G 9911112135 Pembimbing Dr. Sugiarto, dr., Sp.PD-FINASIM KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

Transcript of Refrat Graves Disease FIX BGT

Page 1: Refrat Graves Disease FIX BGT

Refrat

GRAVE’S DISEASE

Oleh:

Cherelia Dinar P. A. G 9911112036

Nugroho Jati D. L. G 9911112109

Nursanti Setianadewi G 9911112116

Titis Ummi Nur J G 9911112135

Pembimbing

Dr. Sugiarto, dr., Sp.PD-FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2012

Page 2: Refrat Graves Disease FIX BGT

2

BAB I

PENDAHULUAN

Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun1830,

adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidise (produksi

berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves

disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk

pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan

atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa

bermacam-macam (Sjamsuhidajat dan Jong, 1996).

Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang

paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur,

sering ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves

yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus),

tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai

oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang (Subekti, 2001; Shahab,

2002; Price dan Wilson, 1995).

Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara

pasti. Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam

mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita

penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves

dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya

antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor

Antibody / TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi (Subekti, 2001; Shahab, 2002).

Diantara pasien-pasien dengan hipertiroid, 60 – 80% merupakan penyakit

grave, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi tiap

tahun pada wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7% per 1000. tertinggi pada

usia 40 – 60 tahun. Angka kejadian penyakit grave 1/5 – 1/10 pada laki-laki

maupun perempuan, dan tidak umum diapatkan pada anak-anak. Prevalensi

penyakit grave sama pada orang kulit putih dan Asia, dan lebih rendah pada orang

kulit hitam (Weetman, 2000).

Page 3: Refrat Graves Disease FIX BGT

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya

memiliki berat 15 - 20 gram. Tiroid mengsekresikan tiga macam hormon, yaitu

tiroksin (T4), triiodotironin (T3), dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid

merupakan kelenjar endokrin (tidak mempunyai ductus) dan bilobular (kanan dan

kiri), dihubungkan oleh isthmus (jembatan) yang terletak di depan trachea tepat di

bawah cartilago cricoidea. Kadang juga terdapat lobus tambahan yang

membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu lobus piramida.

Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:

1. A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis

2. A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia

3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari aorta

atau A. anonyma.

Page 4: Refrat Graves Disease FIX BGT

4

Kelenjar tiroid mempunyai 3 pasang vena utama:

1. V. thyroidea superior (bermuara di V. jugularis interna).

2. V. thyroidea medialis (bermuara di V. jugularis interna).

3. V. thyroidea inferior (bermuara di V. anonyma kiri).

Persarafan kelenjar tiroid:

1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior

2. Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang

N.vagus)

3. N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita

suara terganggu (serak/stridor)

Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid

1. Iodide Trapping, yaitu penangkapan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.

2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid

merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai

status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.

3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan

residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula

melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).

Page 5: Refrat Graves Disease FIX BGT

5

4. Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)

menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT

(monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini

diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.

5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi

dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada

dalam sel folikel.

6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.

Proses ini dibantu oleh TSH.

7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,

dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan

dalam proses ini.

8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan

kompleks golgi.

Pengangkutan Tiroksin dan Triiodotirosin ke Jaringan

Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik

secara cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan

kurang dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini

memang luar biasa mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan

hormon tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek.

Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:

1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55%

T4 dan 65% T3 yang ada di dalam darah.

2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik,

termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.

3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.

Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3

memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun,

sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi T3, atau

diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu yodium di hati dan ginjal. Sekitar

Page 6: Refrat Graves Disease FIX BGT

6

80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran

yodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid

yang secara biologis aktif di tingkat sel.

Fungsi Fisiologis Hormon Tiroid

1. Meningkatkan transkripsi gen ketika hormon tiroid (kebanyakan T3) berikatan

dengan reseptornya di inti sel.

2. Meningkatkan jumlah dan aktivitas mitokondria sehingga pembentukkan ATP

(adenosin trifosfat) meningkat.

3. Meningkatkan transfor aktif ion melalui membran sel.

4. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, terutama pada masa janin

B. Definisi Graves Disease

Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering

hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh

produksi autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid.

Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme

dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus,

oftamopati (eksoftalmus / mata menonjol) dan kadang-kadang dengan

dermopati (Subekti, 2001; Corwin, 2001; Stein, 2000; Harrison, 2000).

C. Etiologi Graves Disease

Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang

disebabkan thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan

mengaktifkan thyrotropin receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis

dan melepaskan hormon tiroid. Penyakit Graves berbeda dari penyakit imun

lainnya karena memiliki manifestasi klinis yang spesifik, seperti hipertiroid,

vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative dermopathy

(Karasek dan Lewinski, 2003).

Page 7: Refrat Graves Disease FIX BGT

7

Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15%

penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit

yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan

autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih

banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur.

Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun

(Shahab, 2002; Harrison, 2000).

Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis,

infeksi, faktor trauma psikis, iod Basedow, penurunan berat badan secara

drastis, chorionic gonadotropin, periode post partum, kromosom X, dan

radiasi eksternal (Moelyanto, 2007).

1. Faktor genetik

Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara

mengelompok dalam keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek

sehari-sehari sering ditemukan pengelompokkan penyakit graves dalam

satu keluarga atau keluarga besarnya dalam beberapa generasi.

Abnormalitas ini meliputi antibodi anti-Tg, respon TRH yang abnormal.

Meskipun demikian TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk penderita

penyakit gaves diturunkan lewat gen yang mengkode antigen HLA.

Setidaknya ada dua gen yang dipostulasikan berperan dalam

penyakit graves. Pertama gen dari HLA, yang kedua gen yang

berhubungan dengan alotipe IgG rantai berat (IgG heavy chain) yang

disebut Gm. Pada orang kulit putih (Eropa) hubungan erat terlihat antara

penyakit graves dan HLA-B8 dan HLA-D3 sedangakan pada orang Jepang

HLA-Bw35 dan DW13, untuk Cina HLA-BW 4 dan di Filipina seperti

dilaporkan oleh Pascasio erat dengan HLA-B13 dengan risk-ration 5,1.

Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut mampu

memproduksi immunoglobulin tertentu. Sehingga gen HLA berparan

dalam mengatur fungsi limfosit T-supresor dan T-helper dalam

memroduksi TSAb, dan Gm menunjukkan kemampuan limfosit B untuk

membuat TSAb.

Page 8: Refrat Graves Disease FIX BGT

8

2. Faktor imunologis

Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ

spesifik, yang ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar

tiroid (thyroid stimulating antibody atau TSAb).

Teori imunologis penyakit graves :

a. persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif

b. diwariskannya HLA khusus dang en lain yang berespon immunologic

khusus

c. rendahnya sel T dengan fungsi suppressor

d. adanya cross reacting epitope

e. adanya ekspresi HLA yang tidak tepat

f. adanya klon sel T atau B yang mengalami mutasi

g. stimulus poliklonal dapat mengaktifkan sel T

h. adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.

Ehrlich menyatakan bahwa dalam keadaan normal sistem imun

tidak bereaksi atau memproduksi antibodi yang tertuju pada komponen

tubuh sendiri yang disebut mempunyai toleransi imunologik terhadap

komponen diri. Apabila toleransi ini gagal dan sistem imun mulai bereaksi

terhadap komponen diri maka mulailah proses yang disebut autoimmunity.

Akibatnya ialah bahwa antibodi atau sel bereaksi terhadap komponen

tubuh, dan terjadilah penyakit. Toleransi sempurna terjadi selama periode

prenatal. Toleransi diri ini dapat berubah atau gagal sebagai akibat dari

berbagai faktor, misalnya gangguan faktor imunologik, virologik,

hormonal dan faktor lain, sedangkan faktor-faktor tersebut dapat berefek

secara tunggal maupun sinkron dengan faktor lainnya. Adanya

autoantibodi dapat menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan

sebaliknya seringkali autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan.

Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated

response, yang biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya

mencakup meningkatnya TSAb, Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi

Page 9: Refrat Graves Disease FIX BGT

9

terhadap jaringan orbita, TBII dan respons CMI (Cell Mediated

Immunoglobulin).

Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena TSAb.

Setelah terikat dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai agonis

TSH dan merangsang adenilat siklase dan cAMP. Diperkirakan ada seribu

reseptor TSH pada setiap sel tiroid. Kecuali berbeda karena efeknya yang

lama, efek seluler yang ditimbulkannya identik dengan efek TSH yang

berasal dari hipofisis. TSAb ini dapat menembus plasenta dan transfer

pasif ini mampu menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun neonatal,

tetapi hanya berlangsung selama TSAb masih berada dalam sirkulasi bayi.

Biasanya pengaruhnya akan hilang dalam jangka waktu 3-6 bulan.

Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum. Terbentuknya

TSAb dapat disebabkan oleh:

a. Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi

yang dapat bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan

yang banyak diteliti adalah organisme Yersinia enterocolica. Beberapa

subtipe organisme ini mempunyai binding sites untuk TSH, dan

beberapa pasien dengan penyakit graves juga menunjukkan antibodi

terhadap anti-Yersinia.

b. Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal

komponen tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi

antigenik, sehingga bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan

TSAb.

c. Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama

dirahim tidak deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb

harus dirangsang dan mengalami diferensiasi menjadi antibody-

secreting cells yang secara terus-menerus distimulasi. Aktivasi,

pengembangan dan kelanjutannya mungkin terjadi karena rangsangan

interleukin atau sitokin lain yang diproduksi oleh sel T helper inducer.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit graves adalah kondisi

autoimmun dimana terbentuk antibody terhadap reseptor TSH. Penyakit

Page 10: Refrat Graves Disease FIX BGT

10

graves adalah gangguan multifaktorial, susceptibilitas genetik berinteraksi

dengan faktor endogen dan faktor lingkungan untuk menjadi penyakit.

Termasuk dalam hal ini HLA-DQ dan HLA-DR juga gen non HLA seperti

TNF-β, CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen 4), dan gen reseptor

TSH. Penyakit graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya

dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti stress, merokok, dan beberapa

faktor infeksi.

2. Trauma Psikis

Pada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru menyebabkan

konversi dari T3 ke T4 terganggu, produksi TRH terhambat, dan akibatnya

produksi hormon tiroid justru turun. Secara teoritis stress mengubah

fungsi limfosit T supresor atau T helper, meningkatkan respon imun dan

memungkinkan terjadinya penyakit graves. Baik stress akut maupun

kronik menimbulkan supresi sistem imun lewat non antigen specific

mechanism, diduga karena efek kortisol dan CRH ditingkat sel immun.

3. Radiasi Tiroid eksternal

Dilaporkan kasus eksoftalmus dan tirotoksikosis sesudah

mengalami radioterapi daerah leher karena proses keganasan. Secara

teoritis radiasi ini yang merusak kelenjar tiroid dan menyebabkan

hipotiroidisme, dapat melepaskan antigen serta menyulut penyakit tiroid

autoimmun. Iradiasi memberi efek bermacam-macam pada subset sel T,

yang mendorong disregulasi imun.

4. Chorionic Gonadothropin Hormon

Hipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang dihasilkan oleh

jaringan trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan suatu IgG, tetapi

secara imunologik cross-react dengan TSH manusia. Diduga bahan ini

ialah hCG (yang mempunyai sub unuit alfa yang sama dengan TSH) atau

derivat hCG yang desialated. Efek yang menyerupai efek TSH pun

dikeluarkan oleh karsinoma testis embrional (seminoma testis). Secara

klinis gejala tirotoksikosis ini terlihat pada hyperemesis gravidarum,

dimana T4 dan juga T3 dapat meningkat disertai menurunnya TSH, kalau

Page 11: Refrat Graves Disease FIX BGT

11

hebat maka klinis terlihat tanda hipertiroidisme juga. Apabila muntahnya

berhenti maka kadar hormon tiroid diatas kembali normal.

D. Patofisiologi Graves Disease

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap

antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan

merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut.

Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam

membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel

tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi

darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan

penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam

patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada

penyakit Graves (Shahab, 2002).

Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid

yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-

R). Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada

permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam

proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita

penyakit Graves (Shahab, 2002).

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas

dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan

mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II,

seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T (Shahab, 2002).

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer

cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang

berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola

mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan

menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan

pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.

Page 12: Refrat Graves Disease FIX BGT

12

Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi

sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan

terjadinya akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002).

Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan

katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya

hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena

terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung (Shahab,

2002).

Gambar 1: Patogenesis Penyakit Graves

Page 13: Refrat Graves Disease FIX BGT

13

E. Gambaran Klinis Graves Disease

1. Gejala dan Tanda

Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu

tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri

tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme

akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala

hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis

yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas,

keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun

walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan

kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati

dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.

Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai

dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag

(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan

kegagalan konvergensi (Price dan Wilson, 1995). Gambaran klinik klasik

dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter

difus dan eksoftalmus (Stein, 2000).

Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American

Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan

singkatan NOSPECS):

a. Tidak ada gejala dan tanda

b. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)

c. Perubahan jaringan lunak orbita

d. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)

e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular

f. Perubahan pada kornea (keratitis)

g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)

Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai

keadaan awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila

keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi

Page 14: Refrat Graves Disease FIX BGT

14

proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita. Kelas 2, ditandai

dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,

kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3,

ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel

exophthalmometer. Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata

berupa proses infiltratif terutama pada musculus rectus inferior yang akan

menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai

musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam

menggerakkan bola mata kesamping. Kelas 5, ditandai dengan perubahan

pada kornea (terjadi keratitis). Kelas 6, ditandai dengan kerusakan nervus

opticus, yang akan menyebabkan kebutaan (Shahab, 2002).

Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot

ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi

oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler

akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan

pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia.

Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT

scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior,

akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan

(Shahab, 2002).

Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang

umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek,

hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang

cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat

berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan

pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang (Shahab, 2002).

Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis

yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan

miopati, ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea d’effort, tremor,

nervous dan penurunan berat badan (Shahab, 2002).

Page 15: Refrat Graves Disease FIX BGT

15

Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang

relatif jarang ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000

kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita

penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan

hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi

iodine radioaktif atau karena pembedahan (Mansjoer et all., 1999).

Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak

juga dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks

newcastle yaitu sebagai berikut:

Tabel 1: Indeks Wayne

Indeks Wayne

NoGejala Yang Baru Timbul Dan

Atau Bertambah BeratNilai

1 Sesak saat kerja +1

2 Berdebar +2

3 Kelelahan +2

4 Suka udara panas -5

5 Suka udara dingin +5

6 Keringat berlebihan +3

7 Gugup +2

8 Nafsu makan naik +3

9 Nafsu makan turun -3

10 Berat badan naik -3

11 Berat badan turun +3

Page 16: Refrat Graves Disease FIX BGT

16

No Tanda Ada Tidak Ada

1 Tyroid teraba +3 -3

2 Bising tyroid +2 -2

3 Exoptalmus +2 -

4 Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 -

5 Hiperkinetik +4 -2

6 Tremor jari +1 -

7 Tangan panas +2 -2

8 Tangan basah +1 -1

9 Fibrilasi atrial +4 -

10

Nadi teratur

< 80x per menit

80 – 90x per menit

> 90x per menit

-

-

+3

-3

-

-

Hipertyroid jika indeks ≥ 20

2. Pemeriksaan Laboratorium

Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada

skema dibawah ini:

Page 17: Refrat Graves Disease FIX BGT

17

Gambar 2: Skema Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium

Autoantibodi tiroid, TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada

penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim)

lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien

dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral

tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas (Shahab, 2002).

Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit

Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme

umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar

tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-

tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan

dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4

rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar

hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun (Shahab, 2002).

Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di

membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon

tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi.

Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar

hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang

tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan

pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh

karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar

TSH sampai angka mendekati 0,05 mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik,

dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4) (Subekti, 2001; Shahab,

2002; Price dan Wilson, 1995).

3. Pemeriksaan Penunjang Lain

Diagnosis laboratorik :

a. Pemeriksaan metabolisme basal

pemeriksaan metabolisme basal bukan pemeriksaan diagnosis yang

baik, harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman.

b. Pemeriksaan kadar serum hormon dalam darah,

Page 18: Refrat Graves Disease FIX BGT

18

untuk memastikan diagnosis dan menilai berat ringan penyakit

(severity) serta merencanakan pengobatan. Meskipun pemeriksaan

tunggal FT4 atau TSH dirasakan cukup, tetapi karena masing-masing

mempunyai kelemahan maka banyak ahli menganjurkan untuk

menggunakan sedikitnya 2 macam pemeriksaan fungsi tiroid yang

tidak saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud tersebut,

penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.

c. Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher,

pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal,

lebih-lebih di daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena

pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s mudah dan dijalankan dimana-mana

maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan ini dianjurkan pada :

kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul dalam

jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat

keluarga, dan test antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat

dibedakan etiologi tirotoksikosis apakah morbus graves atau sebab lain

d. Sidik tiroid

jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba

atau teraba nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom

marine-lenhardt ditemukan waktu melakukan sidik tiroid, yang

ditanndai dengan satu atau lebih nodul (cold nodul) atas dasar kelenjar

toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada gondok non

toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk

menyingkirkan kemungkinan keganasan. Graves selalu dengan gondok

hyperthyroid diffuse, mengenai 2 lobus tiroid, TRAb dan TPOAb

e. Pemeriksaan terhadap antibodi.

Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan menurun

dengan pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun

meningkat sesudah pengobatan RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk

menggantikan anti-Tg-Ab, sebab hampir semua anti Tg-Ab positif juga

positif untuk anti TPO-Ab, tetapi tidak sebaliknya.

Page 19: Refrat Graves Disease FIX BGT

19

Dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan dengan cara

sebagai berikut:

1. Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis

2. Memastikan tirotoksikosis dengan FT4 tinggi dan TSHs tersupresi.

3. Menegakkan graves dengan menunjukkan adanya stimulator diluar TSH

yaitu TSAb (yang efeknya tidak berbeda dengan TSH, padahal TSHs

dalam sirkulasi justru rendah) atau dengan test tangkap radioaktif (RAIU)

yang meningkat.

4. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk

kearah diagnosis ini yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau

dibawah normal dan alkali fosfatase meningkat.

Page 20: Refrat Graves Disease FIX BGT

20

3. Diagnosis Banding

Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas

sehingga diagnosis kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas

dapat ditemukan pada miopati akibat penyakit Graves, namun harus

dibedakan dengan kelainan neurologik primer (Shahab, 2002).

Pada sindrom yang dikenal dengan “familial dysalbuminemic

hyperthyroxinemia “dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin

(albumin-like protein) didalam serum yang dapat berikatan dengan T4

tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan kadar

T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal. Disamping tidak

ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH

serum yang normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan

penyakit Graves (Shahab, 2002).

Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita

laki-laki etnik Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid

disertai hipokalemi. Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat

dicegah dengan pemberian suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan

ini dapat disembuhkan dengan pengobatan tirotoksikosis yang adekuat

(Shahab, 2002).

Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan

gejala-gejala kelainan jantung, dapat berupa:

- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin

- High-output heart failure

Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit

jantung sebelumnya, dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki

dengan pengobatan terhadap tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua

dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan, struma yang

kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis

dari manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini

dikenal dengan “apathetic hyperthyroidism” (Shahab, 2002).

Page 21: Refrat Graves Disease FIX BGT

21

4. Komplikasi

Krisis tiroid (Thyroid storm)

Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang

berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus

terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain:

- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.

- Terapi yodium radioaktif.

- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak

diobati secara adekuat.

- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma,

infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard.

Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda

hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:

- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai

41°C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.

- Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.

- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai

koma.

- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.

Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari

simpanan hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa

penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita

dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada

penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid (Shahab, 2002).

Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat

peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi

terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor

terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif

terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi (Shahab, 2002).

Page 22: Refrat Graves Disease FIX BGT

22

Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2%

dari seluruh kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu

terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian

intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan

preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung

kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir

rendah serta peningkatan angka kematian perinatal (Mansjoer, 1999).

F. Penatalaksanaan Graves Disease

Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom

penyakit Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama

ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal

ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves,

yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan

pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya

tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan

respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya

(Subekti, 2001; Shahab, 2002).

1. Obat – obatan

a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan

imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan

imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat

golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya

sama dengan metimazol.

Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.

Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi

biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat

oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin,

mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis

tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah

Page 23: Refrat Graves Disease FIX BGT

23

menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU,

tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi

T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang

memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan

kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon

lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis

tunggal.

Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai

dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT.

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU

dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang

biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah

pengobatan.

Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-

obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi

keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis

kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Dosis PTU dimulai dengan

100 – 200 mg/hari dan metimazol / tiamazol dimulai dengan 20 – 40

mg/hari dosis terbagi untuk 3 – 6 minggu pertama. Setelah periode ini

dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan

biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan

sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol / tiamazol 5 – 10

mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan

kadar FT4 dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum

memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan

bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-

faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas

fisis dan psikis

Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan

methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3,

Page 24: Refrat Graves Disease FIX BGT

24

sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase

akut dari penyakit Graves.

Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat

diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis

methimazole 40 mg setiap pagi selama 1 – 2 bulan, dilanjutkan dengan

dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari.

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan

timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai

efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati,

lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama

pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat

sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan

dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif..

Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,

dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.

Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian

terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik,

Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut.

Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum

memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk

leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-

bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping,

penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali

fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan

yang lain seperti radioiodine 131I atau operasi. Bila timbul efek

samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan

obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.

Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat

penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan

kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan

sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna

Page 25: Refrat Graves Disease FIX BGT

25

menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan

sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan

eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil

yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian

evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang

menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati

dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai

berikut:

1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.

2) Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian

Obat Anti Tiroid dosis rendah.

3) Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.

Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila

terdapat T3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang

memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah,

kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan

eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah

berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata (Subekti,

2001; Shahab, 2002).

b. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida,

sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis

tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas,

dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di

samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat,

meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya

terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya

berkisar 80 mg/hari (Price dan Wilson, 1995; Corwin, 2001).

Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat

beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan

Page 26: Refrat Graves Disease FIX BGT

26

nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40

mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol (Subekti, 2001;

Shahab, 2002).

Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik.

Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit

kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi

ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat

golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan

gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh

fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan

bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam

terapi penghambat monoamin oksidase (Subekti, 2001; Shahab, 2002).

c. Obat-obatan Lain

Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated

radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat,

meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi

jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit

Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis

tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium

radioaktif (Shahab, 2002).

Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia

muda dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang

ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan,

aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6

bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama

pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi

setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%.

Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama

pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan.

Page 27: Refrat Graves Disease FIX BGT

27

Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar

tiroid kurang sensitif terhadap OAT (Shahab, 2002).

2. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin

Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves

dengan cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada

tahun 1991 melaporkan bahwa angka kekambuhan rendah yaitu hanya

1,7% pada kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi

methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok

kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole (Subekti, 2001).

3. Pembedahan

Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita

dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam

keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu).

Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau

potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk

mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat

ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan

tiroid yangn harus diangkat (Subekti, 2001).

Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein

dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu

banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi

relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2 – 3 gram jaringan tiroid.

Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen

tiroid setelah mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves.

Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan

komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus

(Subekti, 2001).

Page 28: Refrat Graves Disease FIX BGT

28

4. Terapi Yodium Radioaktif

Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I) telah dikenal sejak

lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida 131I akan mengablasi kelenjar

tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2

mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang

berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti

dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan

fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat

tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas

kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid

dini (dalam waktu 2 – 6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. 131I

dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk

kemudian dengan cepat pula terakumulasi di dalam kelenjar tiroid.

Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman,

tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun

teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari

ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif (Shahab, 2002).

Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil

atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan

yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak

hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut

pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi

diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan

yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme

anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh

dengan OAT (Shahab, 2002).

Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat

jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah

terjadi karena massa yodium dalam dosis 131I yang diberikan sangat kecil,

hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu,

dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium

Page 29: Refrat Graves Disease FIX BGT

29

radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau OAT. Respons

terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh

besarnya dosis 131I dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis

kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari (Shahab,

2002).

Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif

adalah hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh

besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin

tinggi angka kejadian hipotiroidisme (Shahab, 2002).

Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat

jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10%

dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek

samping lain yang perlu diwaspadai adalah:

1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya

antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH),

dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian

I131

2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya

sangat jarang terjadi)

3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)

4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara

mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk

mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT

terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi

jantung.

Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau

selama 3 sampai 6 bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi

tiroid cukup dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk

mendeteksi adanya hipotiroidisme (Shahab, 2002).

Page 30: Refrat Graves Disease FIX BGT

30

5. Pengobatan Oftalmopati Graves

Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan

oftalmologis dalam menangani Oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia,

iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata

atau lubricating ointments, untuk mencegah dan mengobati keratitis. Hal

lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan merokok,

menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata

gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema

periorbital. Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-

obat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti

kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT sendiri dan hormon tiroid.

Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti

dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata

(Shahab, 2002).

Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan

pada pasien yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-

TPO atau antibody antireseptor TSH dalam serum dapat membantu

memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT scan atau MRI digunakan untuk

menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan orbita lainnya (Shahab,

2002).

6. Pengobatan Krisis Tiroid

Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap

hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan

hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian

kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi

dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan

mengatasi faktor pemicu (Shahab, 2002).

Page 31: Refrat Graves Disease FIX BGT

31

7. Penyakit Graves Dengan Kehamilan

Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai

keadaan hipertiroidismenya diobati dengan adekuat, karena angka

kematian janin pada hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila

ternyata hamil juga dengan status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu

diberikan obat antitiroid dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar

FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi.

PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan

hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit,

dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak

dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di

samping karena sebagian tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat

menyebabkan hipotiroidisme (Shahab, 2002).

Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama

pada trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang dengan

mekanisme yang belum diketahui terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan

peningkatan kadar thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan

keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat antirioid dapat

dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid,

tetap dapat menyusui bayinya dengan aman (Subekti, 2001).

Page 32: Refrat Graves Disease FIX BGT

32

BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Graves (goiter difusa toksika) yang merupakan penyebab tersering

hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai

predisposisi genetik yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita

dibanding pria, terutama pada usia 20 – 40 tahun.

Gambaran klinik klasik dari penyakit graves adalah tri tunggal

hipertiroidisme, goiter difus dan eksoftalmus. Pada anak-anak, terjadi peningkatan

pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Pada penderita usia tua

(>60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi

kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea d’effort,

tremor, nervous dan penurunan berat badan.

Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH.

Bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya

ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.

Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) jarang

dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid (Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut yang

dapat mengancam jiwa penderita hipertiroidisme.

Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves,

yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dengan Tiroidektomi dan Terapi Yodium

Radioaktif dengan (I131). Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap

hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon

dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat

beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatik (koreksi cairan,

elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.

Page 33: Refrat Graves Disease FIX BGT

33

DAFTAR PUSTAKA

Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 – 265

Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi

1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281

Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H.

Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 – 2151

Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Grave’s Disease,

Majalah Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 – 64

Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media

Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 – 598

Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 – 778

Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa

Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 – 1058, 1070 – 1080

Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan

Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi

Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 – 18

Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.

Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3,

EGC, Jakarta, 2000: hal 606 – 630

Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan

Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 – 5

Weetman P. A., Grave’s Disease. The New England Journal of Medicine.

Massachusetts Medical Society. 2000.