REFRAT 4 DISPEPSIA

25
DISPEPSIA PENDAHULUAN Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek klinis sehari-hari 1 . Istilah dispepsia mulai gencar dikemukan sejak akhir tahun 80-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala ( sindrom), yang terdiri dari nyeri atau rasa taknyaman di epigastrium, mual, muntah ,kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar ke dada. Sindrom atau keluhan ini dapat didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan penyakit maag / lambung 1 . Beberapa penyakit di luar system gastrointestinal dapat pula bermanisfestasi dalam bentuk sindrom dispepsia, seperti gangguan kardiak (iskemia inferior/infark miokard), penyakit tiroid, obat- obatan, dan sebagainya 1 . Melihat banyaknya penyakit dasar yang menuju gejala dalam bentuk keluhan dispepsia, diperlukan suatu perhatian pendekatan diagnostik yang baik terutama untuk meningkirkan atau menegakkan penyebab yang dapat menimbulkan morbiditas yang berat bahkan kematian 2 . Berbagai sarana penunjang digunakan untuk mencari penyebab dispepsia 3 . Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengekslusi gangguan organik atau biokimiawi 1 . 1

Transcript of REFRAT 4 DISPEPSIA

Page 1: REFRAT 4 DISPEPSIA

DISPEPSIA

PENDAHULUAN

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek klinis

sehari-hari1. Istilah dispepsia mulai gencar dikemukan sejak akhir tahun 80-an, yang

menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala ( sindrom), yang terdiri dari nyeri atau rasa

taknyaman di epigastrium, mual, muntah ,kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa,

regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar ke dada. Sindrom atau keluhan ini dapat didasari oleh

berbagai penyakit, tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan penyakit

maag / lambung1.

Beberapa penyakit di luar system gastrointestinal dapat pula bermanisfestasi dalam

bentuk sindrom dispepsia, seperti gangguan kardiak (iskemia inferior/infark miokard), penyakit

tiroid, obat-obatan, dan sebagainya1. Melihat banyaknya penyakit dasar yang menuju gejala

dalam bentuk keluhan dispepsia, diperlukan suatu perhatian pendekatan diagnostik yang baik

terutama untuk meningkirkan atau menegakkan penyebab yang dapat menimbulkan morbiditas

yang berat bahkan kematian2. Berbagai sarana penunjang digunakan untuk mencari penyebab

dispepsia3. Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengekslusi

gangguan organik atau biokimiawi1.

Luasnya lingkup manajemen pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan adanya

ketidakpastian dalam patogenesisnya2. Adanya respon plasebo yang tingi mempersulit untuk

mencari regimen pengobatan yang lebih pasti. Penjelasan kepada pasien mengenai latar belakang

keluhan yang dialaminya, merupakan langkah awal yang penting, mengingat dispepsia

merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh seseorang. Dispepsia

fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat, mempunyai

prognosis yang baik1.

1

Page 2: REFRAT 4 DISPEPSIA

DISPEPSIA FUNGSIONAL

II.1.Definisi

Dispepsia adalah kondisi yang umum dan bentuk yang paling sering dijumpai adalah

Dispepsia Non Ulkus (DNU). Setelah menyingkirkan kelainan organik, dokter dan pasien harus

menentukan bersama apakah dilakukan endoskopi awal untuk menegakkan diagnosis pasti

terlebih dahulu atau dicoba sebelumnya dengan terapi empirik. Antasid, Antagonis Reseptor H2

dan obat promotilitas efektif untuk beberapa pasien dan peranan HP dalam DNU masih sedang

dipelajari. Untuk membantu dokter dalam menghadapi pasien dispepsia dibentuk algoritma

pengobatan, walaupun masih banyak versi. Penanganan stres dan dibentuknya hubungan yang

baik antara dokter dan pasien juga memegang peranan penting terutama untuk pasien dengan

gejala yang kronis.

II.2.Epidemiologi

Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh

seseorang. Diperkirakan hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60 % pada praktek

gastroenterologist merupakan kasus dyspepsia ini. Bedasarkan penelitian pada populasi umum

didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari

data negara barat didapatkan angka prevalensinya berkisar 7- 41 %, tapi hanya 10-20 % yang

mencari petolongan medis. Angka insiden dyspepsia diperkirakan antara 1-8 %. Belum ada data

epidemiologi di Indonesia1.

II.3.Etiologi

2

Page 3: REFRAT 4 DISPEPSIA

Istilah dispepsia mulai gencar di kemukakan sejak akhir 80an, yang menggambarkan

keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,

kembung, cepat kenyang , rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar

ke dada. Sindrom atau keluhan ini dapat di dasari atau dapat disebabkan oleh berbagai penyakit,

tentunya termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan oleh orang awan sebagai

maag/lambung. Penyakit hepato-pankreato-bilier (hepatitis, pancreatitis kronik, kolesistitis

kronik, dll) merupakan penyakit tersering setelah penyakit yang melibatkan gangguan patologis

pada esofago-gastro-duodenal (tukak peptic, gastritis, dll). Beberapa penyakit diluar system

gastrointestinal dapat pula bermanifestasi dalam bentuk sindrom dispepsi seperti gangguan

kardiak ( iskemia inferior/ infark miokard) penyakit tiroid, obat-obatan, dll.1

Esofago-gastro-duodenal Tukak peptic, gastritis kronis, gastritis

NSAID, keganasan

Obat-obatan Anti inflamasi nonsteroid, teofilin,

digitalis, antibiotic

Hepatobilier Hepatitis, kolesisititis, kolelitiasis,

keganasan, disfungsi sfingter odii

Pancreas Pancreatitis, keganasan

Penyakit sistemik Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal

ginjal, kehamilan, penyakit jantung

koroner/iskemik

Gangguan fungsional Dyspepsia fungsional ( stress

psikogenik, kecemasan, depresi),

irritable bowel syndrome

II.4.Patofisiologi

3

Page 4: REFRAT 4 DISPEPSIA

Patofisiologi DNU masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut mungkin berperan penting

(multifaktorial): (1,5,9,14)

• Sekresi asam lambung

Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung,

baik sekresi basal maupun dengan stimulus pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga adanya

peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di

perut.

• Ambang rangsang persepsi

Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor

mekanik, dan nociseptor. Berdasarkan studi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai

hipersensitivitas visceral terhadap distensi balon digaster dan duodenum. Bagaimana

mekanismenya masih belum dipahami. Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik

mendapat hasil pada 50% populasi dengan dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau

tidak nyaman diperut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan dengan

volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol.

• Disfungsi autonom

Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersesitivitas gastrointestinal pada

kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan

relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan

gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.

• Aktivitas mioelektrik lambung

Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastografi dilaporkan

terjadi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tapi ini bersifat inkonsisten.

• Hormonal

4

Page 5: REFRAT 4 DISPEPSIA

Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya

penurunan kadar hormone motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam

beberapa percobaan, progestron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos

dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.

• Abnormalitas Motorik Gaster

Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien DNU mempunyai

keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula pada studi monometrik

didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut

dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas.

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang “kaku” bertanggung jawab

terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat

mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari

corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa

pasien DNU, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu

cepat.

• Perubahan sensifitas gaster

Lebih 50% pasien DNU menunjukkan sensitifitas terhadap distensi gaster atau

intestinum, oleh karena itu mungkin diakibatkan oleh makanan yang sedikit mengiritasi seperti

makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini bagian

Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.

• Stres dan faktor psikososial

Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas psikiatri

lebih tinggi secara bermakna pada pasien DNU dari pada subyek kontrol yang sehat. Banyak

pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan

stress yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan

motilitas gaster.

Kepribadian DNU menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan dispepsia organik,

tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai

5

Page 6: REFRAT 4 DISPEPSIA

dengan keluhan non-gastrointestinal seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih.

Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai

fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan

orang normal. Gambaran psikologik DNU ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan

neurotik.

• Gastritis HP

Gambaran gastritis HP secara histologik biasanya gastritis non-rosif non-spesifik. Di sini

ditambahkan non-spesifik karena gambaran histologik yang ada tidak dapat meramalkan

penyebabnya dan keadaan klinik yang bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastrtitis akibat

infeksi HP sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis

secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan

normal. Beberapa gambaran endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi HP

adalah (Malfertheimen, 1994):

a. Erosi kronik di daerah antrum.

b. Nodularitas pada mukosa antrum.

c. Bercak-bercak eritema di antrum.

d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus.

Peranan infeksi HP pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui, tetapi apakah HP dapat

menyebabkan DNU masih kontroversi. Pravelensi HP pasien DNU tidak berbeda dengan

kontrol. Di negara maju, hanya 50% pasien DNU menderita infeksi HP, sehingga penyebab

dispepsia pada DNU dengan HP negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa DNU

dengan HP positif. Bukti terbaik peranan HP pada DNU adalah gejala perbaikan yang nyata

setelah eradikasi kuman HP tersebut, tetapi ini masih dalam taraf pembuktian studi ilmiah.

Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat walaupun dengan pengobatan plasebo.

Studi “follow up” jangka panjang sedang dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.

• Kelainan GI fungsional

6

Page 7: REFRAT 4 DISPEPSIA

DNU cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan fungsional GI, termasuk di sini

Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80%

dengan Sindrom Kolon Iritatif menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan

dispepsia kronis juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti

ini sering ada gejala extra gastrointestinal seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan

ginekologi.

Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala Sindrom Kolon Iritatif seperti

nyeri abdomen mereda setelah defekasi, perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya

mengalami perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung.

Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut kembung diikuti oleh

masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang lebih parah. Ini

memerlukan perbaikan tingkah laku.

Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak selalu

muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang konsisten dari bermacam terapi yang

digunakan untuk terapi DNU mendukung keanekaragaman kelompok ini.

II.5.Diagnosis Dispepsia Fungsional

Diagnostic criteria for Fungsional dyspepsia Konsensus Roma III (2006)

At least 3 months,with onset at least 6 months previously, of 1 or more of the following:

Bothersome postprandial fullness

Early satiation

Epigastric pain

Epigastric burning, and

No evidence of structural disease (including at upper endoscopy) that is likely to

explain the symptoms

1. Anamnesis (history-taking)

Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas / kualitasnya pada setiap pasien, maka

disarankan untuk mengkalsifikasi dispepsia fungsional menjadi beberapa subgroup berdasarkan

pada keluhan yang paling mencolok atau dominan1.

7

Page 8: REFRAT 4 DISPEPSIA

Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari dikategorikan

sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia)

Bila kembung, mual,cepat kenyang merupakan keluhan yang sering dikemukan,

dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe dismotilitas (dismotility like dyspepsia)

Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan dikategorikan sebagai dispepsia non-

spesifik.

Seperti dalam algoritme penanganan dispepsia, bahwa ada alarm symptoms :

Penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang prominen, maka

merupakan penunjuk awal akan kemungkinan adanya penyebab organik uang

memerlukan pemeriksaan penunjang secara lebih intensif1.

Beberapa hal yang perlu untuk ditanyakan1-6 :

penggunaan obat-obatan,alkohol,kebiasaan merokok

rasa sakit akan berkurang dengan makan atau dengan obat-obatan seperti antasida

gejala ansietas atau depresi dan biasanya memiliki riwayat penggunaan obat-obatan

psikotropik.

rasa panas pada dada atau rasa tidak nyaman pada episgastrium penyakit reflux

gastroesophageal (gejala spesifik yang timbul pada 90% kasus).

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik biasanya dapat berguna. Tanda dari penyakit organik yang serius dapat

berupa conjuctiva anemis, penurunan berat badan disertai dengan organomegali, massa

pada abdomen dan adanya darah pada feces memerlukan pemeriksaan yang lebih lanjut

3. Pemeriksaan Penunjang

Pada dasarnya pemeriksaan penunjang adalah untuk mengekslusiganguan organik atau

biokimiawi.

A. Pemeriksaan Laboratorium ( darah lengkap, gula darah, fungsi tiroid, fungsi

pangkreas, elektrolit) Lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan

penyebab organik lainnya seperti pankreatitis kronik. Biasanya pada dispepsia

fungsional hasil laboraturium dalam batas normal 1,4-5.

8

Page 9: REFRAT 4 DISPEPSIA

B. Pencitraan ( barium meal, USG) USG abdomen diindikasikan apabila terdapat

suspek penyakit pankreas atau traktus biliaris.6

C. Tes noninvasif untuk helicobacter pilori (IgG serologi atau tes urea breath)

Konsensus merekomendasikan tes noninvasif untuk helicobacter pilori (IgG

serologi atau tes urea breath) untuk pasien usia muda, dan untuk pasien dispepsia

tanpa komplikasi. Jika hasil tes negatif, maka pasien tersebut menderita dispepsia

fungsional atau reflux gastroesophageal dan dapat diterapi dengan antisekretorik

agent (H2 antagonis atau Proton Pump Inhibition) atau promotility agent

(contohnya cisapride) untuk 4-8 minggu. Jika terapi tidak berhasil atau timbul

kembali setelah obat diberhentikan maka direkomendasikan untuk dilakukan

pemeriksaan endoskopi. Sedangkan jika hasil tes positif, maka diperlukan terapi

untuk ulkus peptikum.Urea breath test adalah suatu metode diagnostik

berdasarkan prinsip bahwa urea diubah oleh H. Pulory dalam lambung menjadi

amoniak dan karbondioksida (CO2). CO2 cepat diabsorpsi melalu dinding

lambung dan dapat dideteksi dalam udara ekspirasi. Uji serologi dapat tetap

positif selama beberapa bulan setelah infeksi H.pylori tereradikasi. Dari

perbandingan, uji nafas urea merupakan uji non invasif yang paling efisien 1,4-5.

D. Endoskopi paling penting untuk ekslusi penyebab organiks ataupun

biokimiawi. Endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan salah satu pilihan

untuk mendiagnosa ulkus gastroduodenal, esofagitis erosif dan keganasan pada

bagian atas gastrointestinal. Pada dispepsia fungsional gambaran endoskopinya

normal atau sangat tidak spesifik1.

Indikasi Endoskopi saluran cerna bagian atas 6:

semua pasien dengan usia diatas 45 tahun dengan gejala dispepsia yang baru

timbul (new onset)

pada semua pasien dengan penurunan berat badan, disfagia, muntah yang

berulang, ada tanda perdarahan atau anemia.

untuk pasien yang cukup peduli dengan penyakit yang mendasari timbunya

sindrom dispepsia.

9

Page 10: REFRAT 4 DISPEPSIA

II.6.Diagnosis Banding

II.7.Terapi

Perbaikan kebiasaan sehari-hari, pasien harus mengerti bahwa gejala dispepsia bisa

kambuh kembali tetapi dapat dicegah melalui perubahan gaya hidup dan pemilihan jenis

makanan. Keluhan yang timbul setelah makan sebaiknya mencoba dengan makanan porsi kecil

dan rendah lemak. Kopi dan alkohol harus dihindari, demikian juga makanan tertentu yang

nampaknya mencetuskan gejala. Coba hentikan obat-obat tertentu terutama OAINS. (9)

Bila secara anamnesis ditemukan adanya stresor psikososial, ada baiknya diatasi dulu

faktor psikologiknya, kalau perlu dengan konseling ke psikiater. Bila dengan cara ini keluhan

berkurang atau hilang sama sekali, gastrokopi tidak diperlukan lagi.(7)

INTERVENSI OBAT

Sebenarnya banyak pasien Dispepsia tidak memerlukan pengobatan (bahkan “FDA”

Amerika sudah menyetujui), tetapi pada beberapa kasus pemakaian obat yang bijaksana dapat

membantu. Lebih dari 60% pasien menunjukkan perbaikan dengan terapi placebo. Oleh karena

itu, perbaikan gejala bisa merupakan akibat dan efek placebo atau manfaat hubungan pasien-

dokter.(9)

• Antasid dan obat anti sekresi

Efektifitas antasid untuk terapi Dispepsia tidak nampak dalam percobaan klinik terkontrol

tetapi karena sangat aman dan tidak mahal, bisa diteruskan untuk pasien yang berespon baik.

Demikian pula efektifitas penggunaan Antagonis Reseptor H2 ( ARH2 ) seperti : cimetidine,

ranitidine dan famotidine belum terbukti. Beberapa studi mengenai obat anti sekresi ini

10

Page 11: REFRAT 4 DISPEPSIA

menyimpulkan bahwa penggunaannya paling efektif untuk dispepsia tipe refluks (penyakit

refluks gastroesofageal) dan tipe ulkus. Obat ini jarang menimbulkan efek samping. Pasien yang

berespon sebaiknya diterapi selama 2-4 minggu. Terapi jangka panjang dengan ARH2 sebaiknya

dihindari kalau penghentian obat gejala muncul kembali.(9,16)

Obat penyekat pompa proton (PPP) seperti Omeprazole dan Lansoprazole tidak

memberikan perbaikan gejala yang lebih besar pada pasien Dispepsia dibanding ARH2, sehingga

tidak direkomendasikan karena harganya lebih mahal.(9). Obat ini sangat efektif untuk terapi

refluks gastroesofageal melebihi ARH2.( 8)

• Obat promotilitas

Obat seperti Metoclopramide, Cisapride dan Domperidone sangat baik mengobati pasien

dispepsia yang disertai atau disebabkan gangguan motilitas (Dispepsia tipe dismotilitas). (7,9).

Metoclopramide dan domperidone keduanya bekerja pada antagonis reseptor D2-dopomine yang

meningkatkan motilitas gaster dan mengurangi mual. Metoclopramide melewati sawar darah

otak sehingga efek samping: anxietas, mengantuk, agitasi, disfungsi motor extrapyramidal dan

dyskinesia tarda terjadi pada kurang lebih 20%-30% pasien. Untuk penggunaan lama hati-hati

pada pasien tua.

Domperidone tidak melewati sawar darah otak sehingga efek samping seperti di atas

tidak timbul. Cisapride adalah agonis 5-HT4 serotonin bekerja meningkatkan motilitas

esophagus dan gaster. Efek samping jarang dilaporkan.(9,12)

Penelitian lebih lanjut obat promotilitas untuk Dispepsia masih diperlukan. Data saat ini

menunjukan bahwa terapi cisapride setiap hari selama 2-4 minggu lebih mahal dibanding

pengobatan yang diperlukan selama eksaserbasi gejala saja.(9)

ERADIKASI HP

Hasil percobaan klinik yang ada sekarang masih belum bisa membuktikan apakah

eradikasi HP berakibat perbaikkan gejala secara bermakna pada pasien Dispepsia. Nampaknya

hanya sebagian kecil saja pasien Dispepsia mengambil manfaat dari eradikasi kuman HP,

sebagian besar masih belum(9). Bahkan ada beberapa ahli berpendapat bahwa HP saja tidak cukup

menyebabkan gejala karena dispepsia dapat terjadi pada pasien tanpa infeksi HP, dan infeksi HP

dapat terjadi tanpa gejala dan mereka juga mempertanyakan dan memperdebatkan bukti

11

Page 12: REFRAT 4 DISPEPSIA

penelitian yang mendukung hipotesis bahwa HP merupakan etiologi dari Dispepsia (15).

Berdasarkan “konsensus Maastricht” (12-13 September 1996) pada pertemuan “Eropean

Helicobacter Pylori Study Group” disepakati bahwa eradikasi HP pada pasien Dispepsia hanya

disarankan (bukan sangat dianjurkan seperti misalnya pada tukak lambung/duodenum) oleh

karena tidak berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang nyata.(7)

Sampai saat ini masih terdapat perbedaan strategi dalam hal kapan sebaiknya test serologi

HP dikerjakan pada pasien dengan kecurigaan Dispepsia, apakah sebelum terapi empiris

diberikan atau setelah terapi empiris dinyatakan gagal. Kelompok studi HP Indonesia (KSHPI)

merekomendasikan test serologi sebelum terapi empiris diberikan dan terapi eradikasi HP

dikerjakan hanya pada penderita dispepsia dengan HP positif pada test serologi dan pada

pemeriksaan Rapid Urea Test (CLO), Patologi Anatomi atau Kultur (HP) yang diperoleh secara

endoskopi sedikitnya salah satu positif. KSHPI juga berpendapat bahwa eradikasi HP pada

dispepsia hanya dianjurkan (bukan sangat dianjurkan) dan terutama untuk tipe ulkus.

Pemeriksaan secara endoskopi wajib dikerjakan sebelum dilakukan terapi eradikasi HP.(11). Strategi lain untuk pertimbangan biaya efektivitas diusulkan oleh Fredrick, Silverstein dan

Ofman. Mereka berpendapat terapi eradikasi HP pada pasien dengan kecurigaan Dispepsia bisa

langsung dimulai begitu test serologi HP positif tanpa menunggu pemeriksaan endoskopi.

Pemeriksaan endoskopi baru dikerjakan kalau eradikasi HP gagal menghilangkan dispepsia atau

dispepsia kambuh kembali.(9)

Marshall berpendapat bahwa untuk melakukan eradikasi HP pada penderita Dispepsia

diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: (14)

• keluhan berlangsung cukup lama dan mengganggu penderita

• faktor penyebab lain dapat disingkirkan (misalnya OAINS)

• terapi konvensional (antasid, ARH2) tidak menolong

Pilihan utama di negara maju adalah kombinasi: Penyekat Pompa Proton +

Clarithromycin + Metronidazole atau Amoxicillin. Jika gagal dipertimbangkan dengan

pemberian empat macam obat yaitu menambahkan Bismuth. Untuk di Indonesia banyak para

peneliti melaporkan angka kekebalan yang tinggi terhadap Metronidazole dan Amoxicillin. Di

samping itu kendala lain adalah efek samping Metronidazole. Menurut pengalaman penderita-

penderita Indonesia yang mendapat terapi Metronidazole untuk penyakit lain kurang dapat

mentolerir Metronidazole. Apalagi untuk penderita dispepsia yang sering kali memang sudah

12

Page 13: REFRAT 4 DISPEPSIA

mengeluh mual, sehingga banyak penderita tidak dapat menyelesaikannya karena angka efek

samping yang tinggi.(2,11,14)

Rekomendasi Pengobatan Anti Hp

OBAT DOSIS DURASI ERADIKASI

Kelompok 1 (3 jenis obat):

- Bismuth

- Tetracycline

- Metronidazole 4 x II tablet

4 x 500 mg

4 x 250 mg 14 hari 88% - 90%

Kelompok 2, 3 dan 4 (3 jenis obat):

- Penyekat pompa proton

- Clarithromycin atau

Amoxicillin

- Metronidazole atau

Amoxicillin 2 x I kapsul

2 x 500 mg

2 x 1000 mg

2 x 500 mg

2 x 1000 mg 10-14 hari 86% - 91%

Catatan:

Bismuth: Colloidal Bismuth Subcitrate 60 mg atau Bismuth Subsalicylate 60 mg

Penyekat Pompa Proton:Omeprazole 20 mg, Lanzoprazole 30mg atau Pantoprazole 40mg

Metaanalisis pada percobaan klinik yang sudah diseleksi menunjukkan bahwa 20% pasien

Dispepsia akan mengambil keuntungan terhadap eradikasi Hp.(16)

Penanganan Penderita dengan Gejala Refrakter

Sebagian kecil pasien tidak berespon terhadap pengobatan yang diberikan sehingga mengganggu

aktivitas sehari-hari. Pasien ini dianjurkan “check up” teratur untuk mengungkapkan keluhannya

dan status kesehatannya. Jika tidak ada perubahan secara klinik sebaiknya dihindari pemeriksaan

13

Page 14: REFRAT 4 DISPEPSIA

diagnostik lebih jauh karena mahal dan akan merusak kepercayaan pasien terhadap diagnosis

yang telah dibuat. Perhatian pasien perlu diarahkan dari menemukan “penyebab” ke

pembentukan strategi positif untuk melawan gejala-gejala kronik tersebut. Konsultasi ke

psikologi atau psikiater penting untuk pasien dengan gejala refrater. Antidepressant trisiklik tidak

direkomendasikan karena dapat memperlambat pengosongan gaster (terutama untuk pasien

gastroparesis). Sebaliknya Serotonin Reuptake Inhibitor dapat menyebabkan mual pada beberapa

pasien.(9)

II.8.Pencegahan

Modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia bahkan

memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung (Ariyanto, 2007). Berikut ini adalah

modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola dan mencegah timbulnya gangguan

akibat dispepsia 8 :

Atur pola makan seteratur mungkin.

Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat,

keju, dan lain-lain).

Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon,

semangka dan lain-lain).

Hindari makanan yang terlalu pedas.

Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.

Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat anti-inflammatory, misalnya

yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen. Acetaminophen adalah

pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pada dinding

lambung.

Kelola stress psikologi se-efisien mungkin.

Jika anda perokok, berhentilah merokok.

Jika anda memiliki gangguan acid reflux, hindari makan sebelum waktu tidur.

Hindari faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu, seperti makan terlalu banyak,

terutama makanan berat dan berminyak, makan terlalu cepat, atau makan sesaat sebelum

olahraga.

Pertahankan berat badan sehat

14

Page 15: REFRAT 4 DISPEPSIA

Olahraga teratur (kurang lebih 30 menit dalam beberapa hari seminggu) untuk

mengurangi stress dan mengontrol berat badan, yang akan mengurangi dispepsia.

Ikuti rekomendasi dokter Anda mengenai pengobatan dispepsia. Baik itu antasid, PPI,

penghambat histamin-2 reseptor, dan obat motilitas

15

Page 16: REFRAT 4 DISPEPSIA

KESIMPULAN

Diagnosis dyspepsia fungsional didasarkan pada keluhan / gejala/ sindrom dyspepsia

dimana pemeriksaan penunjang baku dapat disingkirkan penyebab organic/ biokimiaw, sehingga

masuk dalam kelompok penyakit gastrointestinal fungsional(berdasarkan criteria Roma II). Ada

criteria terbaru untuk dyspepsia fungsional yang dituangkan dalam Konsensus Roma III (2006).

Dyspepsia fungsional mempunyai patofisiologi yang kompleks dan multifaktorial,

dimana tampaknya berbasiskan gangguan terhadap motilitas atau hipersensitivitas visceral.

Modalitas pengobatanyapun menjadi luas, berdasarkan kompleksitas patogenesisnya, serta lebih

kea rah hanya untuk menurunkan/menghilangkan gejala. Pilihan pengobatan berdasarkan

pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih dapat diperdebatkan

manfaatnya.

16

Page 17: REFRAT 4 DISPEPSIA

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Setiati Siti.Buku ajar ilmu penyakit dalam

Jilid 1. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. h. 335-348,352-4.

2. Rani AA, Soegondo Sidartawan, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer Arif. PB

PAPDI:Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam

indonesia.Jakarta:Interna Publishing; 2009. h. 299-301.

3. Tierney Lawrence M, Mcphee Stephen J, Papadakis MA. Current diagnosis & treatment

adult ambulatory and inpatient management. New York: The McGraw- Hill Companies;

2008. h. 614-26.

4. Kee Joyce Lefever. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Edisi keenam.

Jakarta: EGC; 2008. h. 230-40.

5. Price SA, Wilson Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi

ke 6. Jakarta: EGC; 2006. h. 422-32.

6. Kasper, Dennis L; Fauci, Antony S; Longo, Dan L; Braunwald, Eugene; Hauser,Stephen;

Jameson, Larry S : Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th edition, 2005.

7. WM Wong, BC Wong, WK HungY, et al. Double blind,randomized.placebo controlled

study of four weeks of lansoprazole for treatment of functional dyspepsia in Chienese

patients: a case repport 2002 Dec;51:502-6.

8. http://diassetiawan.blog.uns.ac.id/

17