Refleksi Kasus Mata One Eye
-
Upload
dito-trunogati -
Category
Documents
-
view
62 -
download
1
description
Transcript of Refleksi Kasus Mata One Eye
FORM REFLEKSI KASUSFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
_______________________________________________________________________________________
______
Nama Dokter Muda : Pranandito Trunogati NIM: 09711043
Stase : Ilmu Penyakit Mata
Identitas Pasien
Nama / Inisial : Tn. P No RM : 173990
Umur : 53 tahun Jenis kelamin : Laki-Laki
Diagnosis/ kasus : Katarak Traumatika (OS) dan Ptisis Bulbi (OD)
Pengambilan kasus pada minggu ke: 3
Jenis Refleksi:
a. Ke-Islaman*
b. Etika/ moral
c. Medikolegal
d. Sosial Ekonomi
e. Aspek lain
Form uraian
1. Resume Kasus
Seorang laki-laki 53 tahun datang dengan keluhan mata kiri kabur sejak
2 bulan yang lalu, selain kabur pasien merasa penglihatannya seperti berkabut,
dan mudah silau pada siang hari ataupun ketika melihat cahaya. Keluhan
dirasakan tidak memberat dibanding 2 bulan yang lalu, tapi tidak juga menjadi
lebih ringan. Beberapa bulan sebelumnya pasien mengaku mata kirinya tertusuk
ranting bambu. Mata kanan pasien sudah tidak dapat melihat sejak 1 tahun yang
lalu.
Pada pemeriksaan vital sign, didapat Tekanan Darah 130/70 mmHg,
Respirasi 17x/menit, dan Nadi 67x/menit. Pada pemeriksaan visus didapat visus
OS 1/300 dan OD 0, TIOS 20,6. Uji flouresin (OS) menunjukkan adanya sikatrik
makula pada mata kiri. Hasil pemeriksaan USG menunjukkan tampak kekeruhan
pada lensa mata kiri
2. Latar belakang /alasan ketertarikan pemilihan kasus
Yang melatarbelakangi pemilihan kasus ini adalah karena kondisi
Page 1
pasien dengan “one eye”, dikarenakan mata kanan mengalami ptisis bulbi
dengan visus 0 yang tidak mungkin reversibel, sedangkan mata kiri mengalami
katarak traumatika dengan visus 1/300 yang mungkin dengan tindakan operasi
visus mata kiri dapat diperbaiki. Pasien adalah orang tidak mampu yang biaya
pengobatannya menggunakan ASKIN. Pasien mengalami 2 kali operasi dalam 2
minggu, karena post operasi pertama ternyata masih tersisa masa lensa, dan
dokter spesialis mata yang menangani merasa bertanggung jawab sehingga
dilakukan operasi kedua untuk membersihkan sisa masa lensa.
Selama pengobatan, yang selalu menemani pasien adalah anak
perempuannya bahkan anak perempuannya tau persis obat-obat apa saja yang
diberikan, dan dialah yang selalu memberikan obat kepada pasien (menurut
pasien). Keadaan pasien ini lah yang membuat saya tertarik untuk
merefleksikannya sebagai sebuah kasus.
3. Refleksi dari aspek sosial ekonomi
Dari segi sosial ekonomi pasien termasuk kedalam golongan menengah
kebawah. Keadaan ekonomi pasien diperparah dengan keadaan pasien yang hanya
memiliki satu mata yang masih bisa digunakan meskipun dengan penurunan visus
berat sehingga menyebabkan pasien tidak dapat bekerja sejak 2 bulan terakhir.
Pasien mempunyai satu anak perempuan yang putus sekolah karena tidak
ada biaya untuk melanjutkan, sehingga kebutuhan hidup pasien ditanggung istri dan
anaknya yang masih usia SMP, yang membuat pasien secara langsung menjadi beban
keluarga. Pasien beruntung karena biaya pengobatannya ditanggung Pemerintah dan
memiliki keluarga yang telaten, yang setia mengantar pasien berobat.
4. Refleksi dari aspek Medikolegal
Komisi Etik yang ada di berbagai Negara yang memberikan pendapat dan
pegangan menggenai hak etika dalam ranah praktek kedokteran dengan
memperhatikan beberapa asas yaitu :
1. Yang pertama merupakan keinginan untuk bertindak yang didasarkan
untuk selalu berbuat baik (beneficence) yang berarti seorang dokter harus menyediakan
kemudahan bagi pasiennya dalam mengambil langkah positif.
2. Tindakan yang dilakukan tidak bertujuan untuk kejahatan (non
maleficence) yaitu seorang dokter selalu memilihkan semua bentuk pengobatan yang
baik dan beresiko seminimal mungkin bagi pasiennya.
3. Menghargai kebebasan setiap orang agar selalu bisa menentukan
Page 2
nasibnya sendiri (autonomy) yaitu seorang dokter menghormati pasiennya sebagai satu
individu yang memiliki martabat dan berhak menentukan nasibnya sendiri.
4. Tindakan yang dilakukan sesuai dengan hukum dan norma yang telah
diakui di masyarakat (justice) yaitu seorang dokter memperlakukan semua pasiennya
sama rata dan sama adil. (Anonim, 2010)
Pada kasus Tn. P diatas etika yang digunakan merupakan asas non
maleficence. Tindakan agar keadaan Tn. P tidak bertambah parah telah dilakukan
dengan baik oleh dokter spesialis mata, terbukti dengan dilakukannya operasi ulang
untuk membersihkan sisa masa lensa pada mata kiri pasien, meskipun sebenarnya
pada operasi pertama, dokter spesialis mata yang menangani telah berusaha
semaksimal mungkin agar hasilnya baik.
Selain prinsip non maleficence, prinsip lain yang diterapkan pada kasus Tn. P
adalah prinsip beneficence yang terlihat pada saat planning terapi. Dimana dokter yang
bersangkutan berusaha untuk memotivasi dan mengedukasi pasien agar mata kiri
pasien yang katarak untuk dioperasi, karena mata yang tersisa untuk melihat, hanya
mata kiri saja dan itupun sudah mengalami penurunan visus berat.
Prinsip autonomy juga diterapkan dengan baik, dengan bukti adanya surat
pernyataan untuk dilakukan tindakan-tindakan tersebut. Meski planning terapi yang
dibuat untuk kepentingan Tn. P namun Tn. P berhak untuk menolak ataupun menerima
terapi tersebut. Pada saat yang sama Tn. P tidak mengalami gangguan fungsi luhur
sehingga pengambilan keputusan diserahkan kepada orang yang bersangkutan.
Prinsip justice juga terlaksana dengan baik. Pengobatan pasien ditanggung
ASKIN yangmana menyebabkan jasa dokter sering terhambat dan jarang “cair”, dokter
spesialis yang bertanggung jawab tetap menjalankan perannya dengan sangat baik
tanpa mempedulikan materi, sehingga pasien segera dapat dioperasi, padahal hari saat
pasien akan dioperasi, ternyata bahan yang dibutuhkan untuk operasi (viscoelastic) di
Rumah Sakit habis, dokter yang menangani bahkan tidak segan untuk menggunakan
uang pribadinya dengan menanggung/membelikan pasien bahan tersebut
(viscoelastic).
Jika dikaitkan dengan hukum, pelayanan kesehatan adalah hak warga negara.
Berdasarkan SK Menteri Kesehatan tahun 2007 dengan jelas mengatakan bahwa
semua pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu, komprehensif
dan holistik, maka diperlukan kebijakan pelayanan kesehatan di Indonesia yang
memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan
pelayanan pelayanan kesehatan (Depkes, 2007).
Dalam kasus ini, pasien telah mendapatkan haknya akan pelayanan yang
baik, tapi tentu saja dalam hal ini pemerintah juga harus berbenah, seperti
kewajibannya dalam membayarkan jasa dokter dan jasa pelayanan medis lainnya bagi
Page 3
peserta ASKIN atau JAMKESMAS agar tidak terhambat.
5. Refleksi ke-Islaman
World Health Organization (WHO) pada tahun 1984 (dalam Hawari, 2005)
menyatakan bahwa kesehatan manusia seutuhnya ditunjukkan oleh empat hal, yaitu
sehat secara biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Witmer dan Sweeney (dalam
Burke, Chauvin, & Miranti., 2005) menyatakan bahwa elemen spiritual dalam diri
manusia, mengintegrasikan dan mempersatukan elemen kebutuhan fsik, emosi, dan
intelektual di dalam tubuh manusia dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Selain
itu, Prest dan Keller (dalam Blume, 2006) menyatakan bahwa proses intervensi
terhadap klien yang mempertimbangkan keyakinan agama yang dianut menjadi
penting untuk menghindari resistensi apabila proses yang dilakukan dirasakan klien
sebagai suatu hal yang berbeda dengan aturan agama yang diyakininya.
Bagi umat Muslim, keimanan yang penting salah satunya adalah percaya
pada wahyu Allah sebagai sumber pengetahuan yang sempurna (Hasan, 2006).
Maka, setiap orang memiliki kebutuhan spiritual.
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau
mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk
mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa
percaya dengan Tuhan (Carson, 1992). Maka dapat disimpulkan kebutuhan spiritual
merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai
dan dicintai serta rasa keterikatan dan kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan
maaf.
Adapun adaptasi spiritual adalah proses penyesuaian diri dengan melakukan
perubahan perilaku yang didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki
sesuai dengan agama yang dianutnya (Asmadi dalam Assidiqiy, 2001).
Individu sebagai makhluk spiritual mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
diciptakan Tuhan dalam bentuk yang sempurna dibanding makhluk ciptaan lainnya,
memiliki rohani/jiwa yang sempurna (akal, pikiran, perasaan dan kemauan), dan
individu diciptakan sebagai khalifah (penguasa dan pengatur kehidupan) dimuka bumi.
Mengingat Pasien hanya memiliki satu mata yang masih dapat melihat
meskipun sudah mengalami penurunan visus berat karena katarak, maka penderita
diharapkan memiliki kekuatan yang ekstra untuk menerima keadaan yang tidak lagi
normal dan mau terus berusaha untuk mendapatkan pengobatan. Rasulullah pernah
memaparkan perihal berobat dalam beberapa haditsnya. Di antaranya:
1. Dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwa Rasulullah bersabda:
Page 4
“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan
penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah.” (HR. Muslim)
2. Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Tidaklah Allah
menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Dari Usamah bin Syarik Z, bahwa beliau berkata: Aku pernah berada di
samping Rasulullah. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka
bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab:
“Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah tidaklah
meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya,
kecuali satu penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau
menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul
Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa
hadits ini hasan shahih. Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
menshahihkan hadits ini dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shahih mimma
Laisa fish Shahihain, 4/486).
4. Dari Ibnu Mas’ud z, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah
tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula
obatnya. Obat itu diketahui oleh orang yang bisa mengeta-huinya dan
tidak diketahui oleh orang yang tidak bisa mengetahuinya.” (HR. Ahmad,
Ibnu Majah, dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh
Adz-Dzahabi. Al-Bushiri menshahihkan hadits ini dalam Zawa`id-nya.
Lihat takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad, 4/12-13.
Dari penjelasan tersebut, maka telah jelas Islam memerintahkan agar berobat
pada saat ditimpa penyakit. Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis
tentang keharusan berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari Al Quran
dan hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam upaya kesehatan dan pengobatan.
Al-Quran menegaskan bahwa, "Barang siapa yang menghidupkan
seseorang, maka dia bagaikan menghidupkan manusia semuanya..." (QS Al-
Maidah [5): 32). Menghidupkan di sini bukan saja yang berarti memelihara kehidupan,
tetapi juga dapat mencakup upaya memperpanjang harapan hidup dengan cara apa
pun yang tidak melanggar hukum. Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa
obat dan upaya hanyalah sebab, sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab
atau upaya itu adalah Allah SWT , seperti ucapan Nabi Ibrahim A.S. yang diabadikan
Al-Quran dalam surat Al-Syu'ara' (26): 80 : ”Apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang
menyembuhkan aku.”
Selain berobat, Islam juga mengajarkan untuk selalu bersabar dalam
menghadapi segala cobaan.. Ajaran untuk selalu bersabar terdantum dalam AI Qufan
Page 5
Sural AI Baqoroh ay at 115-157 yang artinya ."Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-
buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar...". Ketabahan
Tn. P dan kesabaran keluarganya adalah sesuatu yang baik dan mencerminkan
spiritualitas yang baik pula.
Umpan balik dari pembimbing
…………………………….,
…………………...
TTD Dokter Pembimbing TTD Dokter Muda
----------------------------------- --------------------------------
Page 6