Refleksi Kasus Dki Dka

14

Click here to load reader

description

DERMATITIS

Transcript of Refleksi Kasus Dki Dka

REFLEKSI KASUSILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMINRSUD WONOSARI

PEMBERIAN TERAPI ANTIBIOTIK GOLONGAN MAKROLIDA SEBAGAI AGEN ANTI INFLAMASI PADA DERMATITIS KONTAK

Diajukan kepada:Dr. Trijanto Agung N., M.Kes, Sp.KK

Oleh:Hilma Kholida A10/304831/KU/14175

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSTAS GADJAH MADA2014YOGYAKARTAPEMBERIAN TERAPI ANTIBIOTIK GOLONGAN MAKROLIDA SEBAGAI AGEN ANTI INFLAMASI PADA DERMATITIS KONTAKHilma Kholida ABagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan KelaminFakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUD WonosariYogyakartaLATAR BELAKANGSebagai organ tubuh yang terluas, kulit termasuk organ yang bersifat kompleks dan dinamis yang memiliki banyak peran dan fungsi, terutama sebagai barier imunologis terhadap lingkungan. Karena kulit merupakan pertahanan lini pertama terhadap paparan berbagai macam substansi kimia, seringkali terdapat gangguan pada sistem integumentum, salah satunya melalui paparan substansi tertentu secara langsung, yaitu dermatitis kontak. Dermatitis kontak adalah reaksi inflamasi akut ataupun kronis dari suatu zat atau substansi yang bersentuhan dengan kulit. Terdapat dua jenis dermatitis kontak, yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergi (DKA). DKI biasanya disebabkan oleh bahan kimia yang memang bersifat iritatif untuk kulit dan disertai dengan reaksi peradangan yang bersifat nonimunologik, sedangkan DKA disebabkan oleh hapten/allergen yang kemudian dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik, biasanya reaksi inflamasi bersifat lokal , berbatas tegas, dan tidak menyebar. Berbeda dengan DKA yang dapat menyebabkan spreading phenomenon (melibatkan kulit di sekitarnya).Kedua jenis dermatitis kontak ini secara klinis sulit untuk dibedakan karena terdapat banyak bahan kimia yang dapat bertindak sebagai allergen maupun iritan. Sehingga pemeriksaan penunjang seringkali diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik tentunya sangat diperlukan untuk dapat menentukan diagnosis dan terapi. Dan berdasarkan patofisiologi dari keduanya, dapat diketahui bahwa terjadinya manifestasi klinis disebabkan oleh reaksi inflamasi karena adanya antigen non infeksius, oleh sebab itu untuk terapi dermatitis lebih ditekankan pada terapi untuk mengatasi inflamasi yang ditimbulkan. terapi anti inflamasi seperti steroid seringkali banyak menimbulkan efek samping, sehingga pemberianya perlu diperhatikan. Namun ternyata beberapa jenis antibiotik memiliki sifat imunosupresif dan beberapa ahli dermatology telah menjadikan antibiotic, yaitu golongan makrolida, sebagai lini kedua pada pengobatan dermatitis untuk mengatasi efek samping yang ditimbulkan oleh steroid. Pada refleksi kasus kali ini, saya ingin sedikit membahas mengenai keefektifan pemberian antibiotik golongan makrolida sebagai agen anti inflamasi bila dibandingan dengan kortikosteroid, pada dermatitis kontak.KASUSPaseien Ny S, usia 28 tahun, datang ke poli kulit dan kelamin RSUD Wonosari dengan keluhan adanya sisik dan gatal pada sela-sela jari kedua tanganya. 1 bulan sebelum periksa ke rumah sakit, pasien mengeluhkan gatal pada sela-sela jari dan jari pada kedua tangan yang disertai timbulnya tonjolan-tonjolan kecil yang berisi air. Keluhan dirasakan makin parah ketika pasien mencuci baju dan sehari-hari pasien mencuci baju menggunakan tangan tanpa pelindung dan mencuci baju dilakukan hampir setiap hari, namun terkadang dua hari sekali. 2minggu sebelum periksa ke rumah sakit, pasien sempat meminum obat supertetra yang dibeli dari apotek dan pasien mengganti merk sabun cuci yang biasa digunakan dengan merk yang lain. Namun keluhan justru dirasakan makin berat, karena beberapa bagian jari mengalami pengelupasan, kemerahan, dan terasa lebih perih. Rasa perih pada jari makin terasa bila pasien mencuci baju, mencuci piring, dan terkena minyak telon. Pada hari periksa ke rumah sakit, keluhan masih menetap dan belum membaik. Pasien juga sudah mengurangi aktivitas mencuci baju dan piring.Pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit serupa, namun pasien mengaku sering gatal-gatal biduran bila suhu dirasa cukup dingin. Tidak terdapat riwayat dermatitis atopik, alergi, hipertensi, diabetes mellitus, ataupun asthma pada pasien. Riwayat penyakit serupa pada keluarga juga disangkal. Riwayat dermatitis atopik, asthma, alergi, hipertensi, dan diabetes mellitus juga tidak terdapat pada keluarga.Pada pemeriksaan fisik tampak keadaan umum pasien kompos mentis dan kesan gizi baik. Status dermatologi pada kedua tangan pasien tampak adanya beberapa lesi vesikel, batas tidak tegas, multipel, dan makula serta pacth eritem, ireguler dengan batas tegas tersebar di sekitar jari dan sela-sela jari. Pada jari kanan ke-IV tampak patch eritem, hiperkeratosis dengan skuama selapis , berbentuk ireguler dan berbatas tegas. Diagnosis banding yang diajukan adalah Dermatitis Kontak Iritan dan Dermatitis Kontak Alergi. Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan untuk kasus ini. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka diagnosis kerja yang diambil adalah dermatitis kontak iritan. Terapi yang diberikan adalah salep Fuladic 5gr, salep inerson 15 gr, antibiotik eritromisin 3x500mg selama 5 hari, metil prednisolon 8mg 1xsetiap pagi hari selama 5 hari. Pasien dianjurkan untuk kembali ke rumah sakit bila keluhan tidak membaik atau makin memburuk setelah obat konsumsi. Dan disarankan untuk mengurangi aktivitas mencuci baju, bila ingin mencuci baju, dapat menggunakan sarung tangan karet.

PEMBAHASANEPIDEMIOLOGIDermatitis kontak iritan dapat diderita oleh berbagai golongan ras, umur, dan jenis kelamin, sehingga penderita DKI diperkirakan lebih banyak dibandingkan dengan DKA. Hal tersebut disebabkan oleh DKI yang biasanya berkaitan dengan pekerjaan, terutama pekerjaan yang memiliki risiko tinggi kontak dengan bahan-bahan iritatif. Sedangkan DKA hanya diderita oleh subjek yang memiliki kepekaan kulit lebih tinggi (hipersensitif), sehingga jumlah penderita jauh lebih sedikit. Beberap penelitian menunjukan bahwa dibandingkan dengan laki-laki, prevalensi terjadinya DKA lebih tinggi pada perempuan. Namun hal tersebut masih menjadi kontroversi.ETIOLOGIPenyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, seperti bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Faktor yang mempengaruhi munculnya lesi adalah: ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, frekuensi dan durasi kontak, gesekan dan trauma pada kulit, ketebalan kulit, suhu serta kelembaban lingkungan. Oleh karena itu, respon inflamasi yang terjadi berbanding lurus dengan intensitas kontak terhadap bahan iritan.DKA biasanya disebabkan oleh bahan kimia sederhana yang memiliki berat molekul