Dka Case Report Kania

37
CASE REPORT IDENTITAS Nama : Ny.Y MR : 039177 Umur : 30 tahun Jenis kelamin : Perempuan Alamat : Way Halim Pekerjaan : IRT Status : menikah Suku : Jawa Tanggal periksa : 19 Maret 2015 ANAMNESIS Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa pada hari Kamis 19 Maret pada Pkl.13.00 wib di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSPBA. KELUHAN UTAMA Timbul bintik-bintik merah di pipi kanan dan kiri sejak 1 minggu yang lalu KELUHAN TAMBAHAN 1

description

ndkbkdbksfabbfkad

Transcript of Dka Case Report Kania

CASE REPORT

IDENTITAS

• Nama : Ny.Y

• MR : 039177

• Umur : 30 tahun

• Jenis kelamin : Perempuan

• Alamat : Way Halim

• Pekerjaan : IRT

• Status : menikah

• Suku : Jawa

• Tanggal periksa : 19 Maret 2015

ANAMNESIS

Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa pada hari Kamis 19 Maret pada Pkl.13.00 wib di

Poliklinik Kulit dan Kelamin RSPBA.

KELUHAN UTAMA

Timbul bintik-bintik merah di pipi kanan dan kiri sejak 1 minggu yang lalu

KELUHAN TAMBAHAN

Timbul bintik-bintik merah di pipi kanan dan kiri disertai dengan rasa gatal.

1

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 1 minggu SMRS

Timbul bintik-bintik kecil berwarna merah di daerah pipi sebelah kanan dan kiri,

Keluhan di sertai rasa gatal yang hilang timbul dan tidak bertambah saat berkeringat.

Os mengaku 2 hari sebelumnya mengenakan make-up berupa bedak, foundation,

blush on, eye shadow yang semuanya berasal dari jasa penata rias pengantin.

Os juga mengaku sebelumnya kulitnya tidak mudah berjerawat. Jerawat hanya

muncul sesekali pada saat-saat tertentu, misalnya pada saa menjelang menstruasi dan

jumlahnya tidak permah banyak.

Selama ini Os hanya menggunakan produk pembersih muka dan pelembab P*nds.

namun tidak pernah muncul keluhan apapun.

Sejak 4 hari SMRS

• Bintik-bintik dirasakan semakin banyak dan menyebar ke daerah pelipis dan semakin

gatal.

• Nyeri disangkal, pedih disangkal,dan tidak ada rasa terbakar dan tidak panas.

• Keluhan lain seperti demam disangkal

Sejak 2 hari SMRS

• Os belum pernah berobat dan menggunakan ataupun mengkonsumsi obat jenis

apapun (salep maupun obat minum) untuk meredakan keluhannya.

HMRS

• Os datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Pertamina Bintang Amin Lampung

untuk diperiksakan dengan keluhan timbul bintik-bintik merah di sekitar pipi kanan

dan kiri yang menyebar ke sekitar pelipis disertai rasa gatal sejak 1 minggu yang lalu

Riwayat penyakit dahulu :

Tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya

Riwayat alergi : gatal saat makan telur dan ikan asin

2

Riwayat penyakit keluarga :

Tidak ada yang menderita penyakit yang sama dengan pasien

Riwayat Sosial Ekonomi ;

Pasien tinggal didaerah tropis dan perumahan cukup padat

Riwayat Kontak dengan penderita dengan keluhan yg sama : (-)

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum:

Baik

Kesadaran:

compos mentis

Tanda vital : tidak dilakukan pemeriksaan.

Kepala : terdapat kelainan kulit

Mata : Dalam batas normal

THT : Dalam batas normal

Mulut : Dalam batas normal

GIT : Dalam batas normal

Leher : Dalam batas normal

Thorax : Dalam batas normal

Abdomen : Dalam batas normal

Sistem genetalia : Dalam batas normal

Ekstremitas atas : Dalam batas normal

Ekstremitas bawah : Dalam batas normal

3

STATUS DERMATOLOGIS

Ad Regio : Facialis

Efloresensi

Lokasi : daerah pipi kanan dan kiri menyebar ke pelipis

Distribusi : regional

Bentuk : bulat

Batas : tegas

Ukuran : miliar

Efloresensi : di regio facialis tampak papula eritematous berukuran miliar, berbentuk

bulat, berbatas tegas, diameter ± 0,5 mm tersebar hanya di daerah pipi dan

pelipis.

4

` Gambar 1 Gambar 2

Gambar 1 Gambar 2

DIAGNOSA BANDING

– Dermatitis kontak alergik

– Dermatitis kontak Iritan

– Acne vulgaris

DIAGNOSA KERJA

“ Dermatitis kontak alergi e.c kosmetik”

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN USULAN

• Patch test

PENATALAKSANAAN

1. Medikamentosa

≥ Terapi sistemik :

- antihistamin loratadine tab 1x10 mg/ hari

≥ Terapi topikal

- Kortikosteroid topikal: Hidrocortison krim 2,5%

Oles tipis di daerah lesi 2-3x/hari

≥ pengobatan tambahan

○ vitamin C 3x1 tab/ hari

5

2. Nonmedikamentosa/ edukasi

a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis

kontak alergi

b. Menghindari substansi allergen

c. Memilah kosmetik yang akan digunakan secara teliti

d. Hindari pemakaian kosmetik secara bergantian.

e. Hindari pemakaian kosmetik pada wajah selama pengobatan berlangsung.

f. Mencuci muka dengan sabun yang lembut setelah pemakaian kosmetik dalam

jangka waktu yang lama

g. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang

berisiko terhadap paparan alergen

PROGNOSIS

- quo ad sanam : bonam

- quo ad vitam : bonam

- quo ad kosmetikum : dubia et bonam

- quo ad functionam : bonam

6

BAB i

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon

terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan

klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,

likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan,

bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan

menjadi kronis (Sularsito, dkk, 2011).

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi

yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu

dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA), keduanya dapat

bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit

nonimunologik, sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses

sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang yang telah

mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen (Sularsito, dkk, 2011).

Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit, karena

hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif). Diramalkan

bahwa jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya

jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun

informasi mengenai prevalensi dan insidensi DKA di masyarakat sangat sedikit,

sehingga berapa angka yang mendekati kebenaran belum didapat (Sularsito, dkk,

2011).

Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan

DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa

dermatitis kontak akibat alergi ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60

persen. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja

tiga kali lebih sering dari pada DKA akibat kerja (Sularsito, dkk, 2011). Usia tidak

mempengaruhi timbulnya sensitisasi, tetapi umumnya DKA jarang ditemui pada

anak-anak. Prevalensi pada wanita dua kali lipat dibandingkan pada laki-laki. Bangsa

kaukasian lebih sering terkena DKA dari pada ras bangsa lain (Sumantri, dkk, 2005).

7

Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul

umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan allergen yang belum diproses, disebut

hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga

mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam

timbulnya DKA, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis perunit area, luas daerah

yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan

pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum

korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit,

terpajan sinar matahari) (Sularsito, dkk, 2011).

Pentingnya deteksi dan penanganan dini pada penyakit DKA bertujuan untuk

menghindari komplikasi kronisnya. Apabila terjadi bersamaan dengan dermatitis yang

disebabkan oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau

psoriasis) atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari(misalnya

berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat pada lingkungan penderita)

dapat menyebabkan prognosis menjadi kurang baik. Oleh karena itu penting untuk

diketahui apa dan bagaiman DKA sehingga dapat menurunkan morbiditas dan

memperbaiki prognosis DKA.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang

timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).

B. Etiologi dan Predisposisi

1. Etiologi

Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa

bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut

bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi

sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).

Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-

tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap

tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison

sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly

antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan

logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),

formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet),

tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)

(Trihapsoro, 2003).

2. Predisposisi

Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya

antara lain:

a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):

1) Potesi sensitisasi allergen

2) Dosis per unit area

3) Luas daerah yang terkena

4) Lama pajanan

5) Oklusi

6) Suhu dan kelembaban lingkungan

7) Vehikulum

8) pH

b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):

9

1) Keadaan kulit pada lokasi kontak

Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum.

2) Status imunologik

Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar matahari.

3) Genetik

Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null

pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel (Thysen,

2009).

4) Status higinie dan gizi

Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang masing –

masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai contoh, saat

keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus higinienya baik dan

didukung status gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi allergen akan tereduksi dari

potensi yang seharusnya. Sehingga sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat

melakukan perbaikan bila dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi

individu yang rendah. Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang

menyebabkan kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit

terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).

C. Patofisiologi

Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang

oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif dan

seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia tersebut

bila terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam menembus

stratum corneum dan membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit.

Konjugat yang terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah

bening yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali konjugat

hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten

diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan memberikan

respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang

ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005).

Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi

yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan

mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα, leukotrien, IFNγ, dan sebagainya,

10

sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-

mediator tersebut akan menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama

seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen

selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa tahun

(Price, 2005).

Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan

penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang relatif

rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan jika mengenai

wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan

sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang berdekatan.

Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak

mata (Price, 2005).

Skema Patogenesis DKA

11

Kontak Dengan Alergen secara Berulang

Alergen kecil dan larut dalam lemak disebut

hapten

Menembus lapisan corneum

Difagosit oleh sel Langerhans dengan

pinositosis

Hapten + HLA-DR

Membentuk antigen

Sel langerhans keluarkan sitokin

IL-1, ICAM-1, LFA-3,B-7, MHC I dan II

Sitokin akan memproliferasi sel T

dan menjadi lebih banyak dan memiliki

sel T memori

Sitokin akan keluar dari getah bening

12

Dikenalkan ke limfosit T melalui CD4

Beredar ke seluruh tubuh

Individu tersensitisasi

Fase Sensitisasi (I)

2-3 mingguFase Elitisasi (II)

24-48 jam

Pajanan ulang

Sel T memori

Aktivasi sitokin inflamasi lebih kompleks

Proliferasi dan ekspansi sel T di kulit

IFN – γ → keratinosit → LFA -1, IL-1, TNF-α

Eikosanoid (dari sel mast dan keratinosit

Dilatasi vaskuler dan peningkatan

permeabilitas vaskuler

Molekul larut (komplemen dan klinin) → ke epidermis

dan dermis

Faktor kemotaktik, PGE2 dan OGD2, dan leukotrien B4 (LTB4) dan eiksanoid

menarik → neutrofil, monosit ke dermis

Respons klinis DKA

D. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesa

Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan

pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal (Sularsito,

2010).

Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit

berukuran numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi,

dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai

kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data

yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal

yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui

menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari

yang bersangkutan maupun keluarganya (Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat

pada DKA didasarkan pada beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1

berikut.

Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).

2.

2.

2.

2.

2.

2.

2.

2.

2.

2.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola

kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai

lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh

deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh

13

Demografi dan riwayat

pekerjaan

Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status

pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,

paparan berulang dari alergen yang didapat saat

kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.

Riwayat penyakit dalam

keluarga

Faktor genetik, predisposisi

Riwayat penyakit

sebelumnya

Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-

obat yang digunakan, tindakan bedah

Riwayat dermatitis yang

spesifik

Onset, lokasi, pengobatan

sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang,

pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-

sebab endogen (Sularsito, 2010).

Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).

Lokasi Kemungkinan Penyebab

Tangan Pekerjaan yang basah (‘Wet Work’) misalnya

memasak makanan (getah sayuran, pestisida)

dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.

Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu

semen, dan tanaman.

Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada

di pakaian.

Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,

alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai

kacamata).

Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.

Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep

mata.

Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai

kacamata, obat topikal, gagang telepon.

Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat

warna pakaian.

Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet

(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut

atau pewangi pakaian.

Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,

pembalut wanita, alergen yang berada di

tangan, parfum, kontrasepsi.

Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,

sepatu/sandal.

14

Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati

beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau bula.

Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar berikut :

a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena alergi

terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada lokasi kontak

langsung dengan nikel (lesi eksematosa dan terkadang popular). Lesi

eksematosa berupa papul-papul, vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi

kontak langsung.

b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick. Pasien

hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir

c. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis

kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata,

cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat

mengandung akrilak, bahan plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting

yang menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel

dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi

15

pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak

kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian leher.

Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastik

d. Badan. Dermatitis kontak di badandapatdisebabkanolehtekstil,

zatwarnakancinglogam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen,

bahanpelembutataupewangipakaian. Dermatitis

kontakpadaperutkarenapasienalergipadakaretdari celananya.

Terlihatadanyaeritema yang berbatastegassesuaidengandaerah yang

terkenaalergen.

e. Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom, pembalut

wanita alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Dermatitis

kontak yang terjadi pada daerah vulva karena alergi pada cream yang

mengandung neomisin, terlihat eritema

16

f. Paha dantungkaibawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh

tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen,

sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis kontakalergi yang terjadi karena

Quaternium-15,bahan pengawet pada pelembab.Kaki mengalami skuama,

krusta

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Uji Tempel

Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik

yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis,

dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang utama ialah

dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI). Dalam keadaan ini pemeriksaan uji

tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut

karena kontak alergi (Sularsito, 2010).

Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan

yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik,

17

pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung digunakan apa

adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk

membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih dahulu.

Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin

atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen,

hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu,

atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan

dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang

tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan

memakai Finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat

bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10

orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi (Sularsito, 2010).

Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel

(Sularsito, 2010):

1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut

atau berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau ‘excited skin’ reaksi

positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya

semakin memburuk.

2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian

kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel

dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20 mg/hari atau

dosis ekuivalen kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi

18

negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil

tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.

3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua

dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.

4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel

menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil

negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48

jam, dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji

tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.

5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita

yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticaria

type), karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi

anafilaksis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur

khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas.

Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan

bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti

berikut (Sularsito, 2010):

1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)

2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)

3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)

4 = meragukan : hanya makula eritematosa

5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)

6 = reaksi negatif (-)

7 = excited skin

8 = tidak dites (NT=non tested)

19

Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi,

biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk

membantu membedakan antara respons alergik atau iritasi, dan juga

mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat

bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien

untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi

(Sularsito, 2010).

Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi

dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik biasanya menjadi lebih

jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++

bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon iritan cenderung

menurun (reaksi tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).

b. Pemeriksaan Histopalogi

Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:

1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan

cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.

2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal

tidak perlu diikutsertakan.

3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi

primer yang belum mengalami garukan atau infeksi sekunder.

4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.

20

T.R.U.E. Test® (Mekos Laboratories, Hillerod, Denmark) patch-test.

A. Hasil uji positif terhadap picaridin (KBR) 2,5%.

B. Hasil uji positif terhadap methyl glucose diolate (MGD) 10%.

5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih

baik biopsi lebih dari satu.

6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan

subkutis.

7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya

formalin 10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya

mati.

8) Lalu dikirim ke laboratorium

9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-Eosin(HE).

Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.

10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan

11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan hendaknya tebal

jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum

dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi

dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis

epidermis. Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak spesifik (Sularsito,

2010).

1) Epidermis (Sularsito, 2010):

a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum.

b) Hiperplastik, akantosis yang luas.

c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai dengan

penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.

d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.

2) Dermis (Sularsito, 2010):

a) Limfosit perivesikuler

b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi

c) Edema

21

Histopatologik dermatitis kontak alergi

Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal, spongiosis

sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis yang dinyatakan lewat

infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan beberapa eosinofil, serta elongasi

dari papila epidermis(Sularsito, 2010).

4. Gold Standard Diagnosis

Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu dilakukan uji

tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk

melakukan uji tempel diperukan antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn

Chamber System Kit dan T.R.U.E Test. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen

bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran

yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada

sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun

jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu, bila

menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus berhati-

hati sekali. Jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak diketahui

(Sularsito, 2010).

E. Penatalaksanaan

1. Non medikamentosa

a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek serta

tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi (Morgan, dkk, 2009)

22

b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis

kontak alergi

c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang

bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)

d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris,

pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi

2. Medikamentosa

a. Simptomatis

Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 3-

4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali

untuk anak – anak untuk menghilangkan rasa gatal

b. Sistemik

1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali

2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari

3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin

atau eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari, selama 5 hingga 7

hari

c. Topikal

1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari

3. Pencegahan

Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri, dkk,

2005). :

h. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis

kontak alergi

i. Menghindari substansi allergen

j. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen

k. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika tidak ada

sabun bilas dengan air

l. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen

m. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian lain

n. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen

23

o. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang

berisiko terhadap paparan alergen

F. Prognosis

Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya

dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan

dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis

numularisatau psoriasia) (Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat

prognosis kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya

berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan

penderita(Djuanda, 2005).

G. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri

terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks.

Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong

kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri

atau jamur. Selain itu dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan

menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis

(lichen simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).

24

BAB III

KESIMPULAN

1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul

setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.

2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia

dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia

sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen,

derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.

3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai dengan

bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel,

vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,

likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak jelas.

4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji tempel (patch

test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil positif.

5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta nonmedikamentosa.

Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk mengurangi reaktivitas sistim imun

dengan terapi kortikosteroid, mencegah infeksi sekunder dengan antiseptik dan

terutama untuk mengurangi rasa gatal dengan terapi antihistamin. Sedangkan untuk

nonmedikamentosa adalah dengan menghindari alergen.

25

DAFTAR PUSTAKA

Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an update.

Tersedia dalam : http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical

%20guidelines/contact%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf.

Diakses pada tanggal 22 November 2012

Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: FK

UI

Morgan, Geri, Hamilton, Carole. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik Edisi 2.

Jakarta : EGC

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta :

EGC.

Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC

Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5.

Jakarta : FKUI

Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI

Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Jakarta : FKUI.

Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T. 2005. Dermatitis Kontak. Yogyakarta : Fakultas

Farmasi UGM

Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of Contact Allergy in

the Adult General Population. Denmark : National Allergy Research Centre,

Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital, University of Copenhagen .

Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP Haji

Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan. Tersedia dalam :

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada tanggal 11 November

2012.

26