Refrat Patofisiologi Dka Edit

download Refrat Patofisiologi Dka Edit

of 22

Transcript of Refrat Patofisiologi Dka Edit

LEMBAR PENGESAHANREFERAT DENGAN JUDUL

Patofisiologi Dermatitis Kontak Allergi

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat guna mengikuti kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas KedokteranUniversitas Trisakti/Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal periode 5 September 2011 15 Oktober 2011

Tegal, September 2011 Pembimbing,

Dr Sri Primawati Indrawati, Sp KK

1

Kata Pengantar

Segala puji syukur bagi ALLAH, atas rahmat dan karunia-Nya jualah, akhirnya referatyang berjudul Patofisiologi Dermatitis Kontak Alergi ini dapat diselesaikan dengan baik. Referat ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian kepaniteraan klinik senior diBagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti/Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal. Ucapan dan rasa terima kasih yang sebanyak-banyaknya penulis sampaikan kepada . Dr. Sri Primawati , SpKK(K) selaku pembimbing dalam referat ini yang telah memberikan bimbingan dan banyak kemudahan dalam penyusunan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan penulis demi kebaikan di masa yangakan datang. Harapan penulis semoga referat ini bisa membawa manfaat bagi siapa saja yang membacanya.

2

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN

----------------------------------------------------------------------------- 1 ----------------------------------------------------------------------------- 2 ----------------------------------------------------------------------------- 3 ----------------------------------------------------------------------------- 4 5

BAB II. Dermatitis Allergi ---------------------------------------------------------------------------

I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. IX. X. XI.

Definisi 5 Epidemiologi 5 Etiologi 6 Patofisiologi 8

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------10

Reaksi Imunologis dan nonimunologis Diagnosis banding 11 Diagnosis Terapi 14 Pencegahan 15 Komplikasi Prognosis

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 12 --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 19 ----------------------------------------------------------------------- 19----------------------------------------------------------------------------- 20 -----------------------------------------------------------------------------

BAB III. KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

3

BAB I PENDAHULUAN

Dermatitis berasal dari kata derm/o-(kulit) dan it is (radang/inflamasi), sehingga dermatitis dapat diterjemahkan sebagai suatu keadaan di mana kulit mengalami inflamasi. Klasifikasi dermatitis saat ini masih beragam. Hal tersebut diakibatkan oleh penentuan etiologi dalam dermatitis belum cukup jelas. Namun, makalah ini cenderung untuk membagi klasifikasi dermatitis secara umum berdasarkan sumber agen penyebab dermatitis : dermatitis eksogen dan endogen. Hal tersebut sesuai dengan klasifikasi yang dikemukakan oleh Buxton (2005). Salah satu jenis dermatitis eksogen adalah dermatitis kontak. Dermatitis kontak merupakan inflamasi non-infeksi pada kulit yang diakibatkan oleh senyawa yang kontak dengan kulit tersebut (Hayawaka, 2000). Ciri umum dari dermatitis kontak ini adalah adanya eritema( kemerahan), edema (bengkak), papul (tonjolan padat diameter kurang dari 5 mm), vesikel ( tonjolan berisi cairan diameter lebih dari 5 mm), crust (Freedberg, 2003). Secara umum, dermatitis kontak dibagi menjadi @ : dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Walaupun demikian, beberapa pustaka lain ada yang memasukkan jenis dermatitis lainnya ke dalam kelompok dermatitis kontak, seperti fototoksik dermatitis, fotoalergi dermatitis, sindrom urtikaria kontak dan dermatitis tipe kontak sistemik ( Hayakawa 2000; Buxton 2005). Dermatitis kontak merupakan gangguan pada kulit yang paling sering terjadi. SElama perang dunia kedua, kantor The Surgeon General di Amerika Serikat melaporkan 75.371 kasus dermatitis kontak di rumah sakit. Bagi tentara Amerika yang sedang berperang, higienitas personal yang terbatas dan banyakna paparan iritan selama kegiatan perang membuat banyak tentara mengalami dermatitis kontak sehingga mengganggu tugas mereka.

4

Dermatitis kontak ini memang sering dihubungkan dengan resiko dari suatu pekerjaan seperti nelayan, petugas kehutanan, polisi lalu lintas dan sebagainya (Keefner, 2004). Dermatitis kontak alergi pada lingkungan kerja terjadi lebih sedikit daripada dermatitis kontak iritan. Namun bila hanya ditinjau dari statistic yang ada hal ini belum valid karena sesungguhnya banyak dermatitis kontak alergi yang tidak terdiagnosis sehingga tidak dilaporkan. BAB II DERMATITIS KONTAK ALLERGIDEFINISI

Dermatitis merupakan epido-dermitis dengan gejala subyektif pruritus. Obyektif tampak inflamasi eritema, vesikulsi, eksudasi dn pembentukan sisik. Tanda-tanda polimorfi tersebut tidk selalu timbul pda saat yang sama. Penyakit bertendensi resisif dan menjadi kronis(Arief Mansjoer : 86. 2002) Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis atau peradangan kulit yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitasi(R.S. Siregar : 109. 2002). Dermatitis kontak alergi merupakan dermatitis kontak karena sensitasi alergi terhadap substansi yang beraneka ragam yang menyebabakan reaksi peradangan pada kulit bagi mereka yang mengalami hipersensivitas terhadap alergen sebagai suatu akibat dari pajanan sebelumnya Dermatitis adalah respons peradangan kulit ( epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh factor eksogen atau factor endogen yang menimbulkan kelainan kulit berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronik.

Epidemiologi

5

Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderitadermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). Dermatitis kontak iritan timbul pada 80% dari seluruh penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis kontak alergik kira-kira hanya 20%. Sedangkan insiden dermatitis kontak alergik terjadi pada 3-4% dari populasi penduduk. Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi namun dermatitis kontak alergik lebih jarang dijumpai pada anak-anak. Lebih sering timbul pada usia dewasa tapi dapat mengenai segala usia. Prevalensi pada wanita dua kali lipat dari pada lakilaki. Bangsa Kaukasian lebih sering terkena dari pada ras bangsa lain. Nampaknya banyak juga timbul pada bangsa Afrika-Amerika namun lebih sulit dideteksi. Jenis pekerjaan merupakan hal penting terhadap tingginya insiden dermatitis kontak. Angka kematian dermatitis kontak akibat kerja menurut laporan dari beberapa negara berkisar 20-90 dari penyakit kulit akibat kerja. Ada variasi yang besar oleh karena tergantung pada derajat dan bentuk industrialisasi suatu Negara dan minat dokter kulit setempat terhadap dermatitis kontak akibat kerja. Di Amerika Serikat penyakit kulit akibat kerja perseribu pekerja paling banyak dijumpai berturut-turut pada pekerja pertanian 2,8%, pekerja pabrik 1,2%, tenaga kesehatan 0,8% dan pekerja bangunan 0,7%. Menurut laporan Internasional Labour Organization terbanyak dijumpai pada tukang batu & semen 33%, pekerja rumah tangga 17% dan pekerja industri logam dan mesin 11% sedangkan tenaga kesehatan 1%. 15 Sejak tahuan 1974 insiden penyakit kulit akibat kerja telah menurun di Amerika Serikat, namun banyak kasus-kasus yang tidak pernah dilaporkan, baik akibat tidak terdiagnosis sebagai penyakit akibat kerja oleh dokter atau penderita atau telah diterapi sebagai dermatosis yang bukan disebabkan oleh pekerjaan. Kasus-kasus yang tidak dilaporkan ini diperkirakan mencapai 20-50 kali lipat dari jumlah yang dilaporkan. Di Eropa insiden juga tinggi seperti Swedia dermatitis kontak dijumpai pada 4,8% dari populasinya. Di Belanda 6%, di Stockholm 8% dan Bergen 12%. Di Indonesia terlihat bahwa frekuensi dermatitis kontak menunjukan peningkatan di tahun-tahun terakhir ini. Di bagian Alergi-Imunologi RSCM Jakarta tahun 1988 dilaporkan 35 kasus, berumur antara 6-67 tahun. 21 diantaranya dengan dugaan dermatitis kontak alergika yang tidak diketahui penyebabnya dan 14 orang dengan dermatitis kronis non spesifik yang penyebabnya tidak diketahui. Di Manado dari tahun 1988-1991 dijumpai 83 orang dengan dermatitis kontak (4,45%), di Singkawang Kalimantan Barat pada tahun 1991-1992 dermatitis kontak dijumpai sebanyak 73 orang (17,76%). Tahun 1992 di RS Dr. Pirngadi Medan Nasution malaporkan terdapat 301 pasien dermatitis kontak (laki-laki 109 orang dan wanita 192 orang), tahun 1993 sebanyak 332 orang (109 orang laki-laki dan 223 orang wanita), tahun 1994 dijumpai 427 kasus (122 orang lakilaki dan 305 orang wanita). Golongan usia tertinggi adalah 25-44 tahun 1992 dan 1994 adalah kelompok pelajar dan mahasiswa (27,24% dan 32,55%), sedangkan pada tahun 1993 adalah petani diikuti oleh penjual di pasar, tukang becak, pembantu dan pengangguran.

Etiologi dan Klasifikasi

6

Kulit dapat mengalami suatu dermatitis bila terpapar oleh bahan-bahan tertentu, misalnya alergen, yang diperlukan untuk timbulnya suatu reaksi alergi. Hapten merupakan alergen yang tidak lengkap (antigen), contohnya formaldehid, ion nikel dll. Hampir seluruh hapten memiliki berat mo lekul rendah, kurang dari 500- 1000 Da. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit. Dupuis dan Benezra membagi jenis -jenis hapten berdasarkan fungsinya yaitu: 1. Asam, misalnya asam maleat. 2. Aldehida, misalnya formaldehida. 3. Amin, misalnya etilendiamin, para-etilendiamin. 4. Diazo, misalnya bismark-coklat, kongo- merah. 5. Ester, misalnya Benzokain 6. Eter, misalnya benzil eter 7. Epoksida, misalnya epoksi resin 8. Halogenasi, misalnya DNCB, pikril klorida. 9. Quinon, misalnya primin, hidroquinon. 10. Logam, misalnya Ni2+, Co2+,Cr2+, Hg2+. 11. Komponen tak-larut, misalnya terpentin

7

Patofisiologi

Dermatitis Kontak Alergi Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu : a.Fase Sensitisasi Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal), untuk mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang berada di epidermis, menjadi komplek hapten protein. Protein ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan dengan produk gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR). Pada sel penyaji antigen (antigen presenting cell). Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan ke parakorteks Limfonodus regional dan terjadilah proses penyajian antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan molekul CD3. CD4+berfungsi sebagai pengenal komplek HLADR dari sel Langerhans, sedangkan molekul CD3 yang berkaitan dengan protein heterodimerik Ti (CD3-Ti), merupakan pengenal antigen yang lebih spesifik, misalnya untuk ion nikel saja atau ion kromium saja. Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi pengenalan antigen (antigen recognition). Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1 (interleukin-1) yang akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk primed me mory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung

8

selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik.

b.Fase elisitasi Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis.Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan. Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi tipe IV. Reaksi hipersensititas di kullit timbulnya lambat (delayed hipersensivitas), umumnya dlam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen. Sebelum seseorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang terikat dengan protein,9

membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses oleh makrofag dan sel langerhans, selanjutnya dipresentasekan oleh sel T. Setelah kontak dengan ntigten yang telh diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdiferensisi dan berploriferasi memebneetuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Selsel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkab keadaan sensivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama sampai kulit menjdi sensitif disebut fase induksi tau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lemah seperti bahanbahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan. Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam(Djuanda, Adhi. 2004)

REAKSI IMUNOLOGIS DAN NON IMUNOLOGIS Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalahsuatu penyakit atopi.

Ekspresi sitokin Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.

10

Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat. Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA. Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya di epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema. Antigen Presenting Cells Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi. Faktor non imunologis Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kulit diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal. Diagnosis Banding Berbagai jenis kelainan kulit yang harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding adalah :

11

1.

Dermatitis atopik : erupsi kulit yang bersifat kronik residif, pada tempat -

tempat tertentu seperti lipat siku, lipat lutut dise rtai riwayat atopi pada penderita atau keluarganya. Penderita dermatitis atopik mengalami efek pada sisitem imunitas seluler, dimana sel TH2 akan memsekresi IL-4 yang akan merangsang sel Buntuk memproduksi IgE, dan IL-5 yang merangsang pembentukan eosinofil. Sebaliknya jumlah sel T dalam sirkulasi menurun dan kepekaan terhadap alergen kontak menurun.2.

Dermatitis numularis : merupakan dermatitis yang bersifat kronik residif

dengan lesi berukuran sebesar uang logam dan umumnya berlokasi pada sisi ekstensor ekstremitas.3.

Dermatitis dishidrotik : erupsi bersifat kronik residif, sering dijumpai pada Dermatomikosis : infeksi kulit yang disebabkan oleh jamur dengan Dermatitis seboroik : bila dijumpai pada muka dan aksila akan sulit Liken simplek kronikus : bersifat kronis dan redisif, sering mengalami

telapak tangan dan telapak kaki, dengan efloresensi berupa vesikel yang terletak di dalam.4.

efloresensi kulit bersifat polimorf, berbatas tegas dengan tepi yang lebih aktif.5.

dibedakan. Pada muka terdapat di sekitar alae nasi, alis mata dan di belakang telinga.6.

iritasi atau sensitisasi. Harus dibedakan dengan dermatitis kontak alergik bentuk kronik.

Diagnosis Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik diperlukan anamnesis yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji tempel. Anamnesis ditujukan selain untuk menegakkan diagnosis juga untuk mencari kausanya. Karena hal ini penting dalam menentukan terapi dan tindak lanjutnya, yaitu mencegah kekambuhan. Diperlukan kesabaran, ketelitian, pengertian dan kerjasama yang baik dengan pasien. Pada anamnesis perlu juga ditanyakan riwayat atopi, perjalanan penyakit, pekerjaan, hobi, riwayat kontaktan dan pengobatan yang pernah diberikan oleh dokter maupun dilakukan sendiri, obyek personal meliputi pertanyaan tentang pakaian baru, sepatu lama, kosmetika, kaca mata, dan jam tangan serta kondisi lain yaitu riwayat medis umum dan mungkin faktor psikologik. Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula disusul dengan pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis yang membasah. Lesi pada

12

umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian tubuh yang lain maka predileksi regional diagnosis regional akan sangat membantu penegakan diagnosis. Alergi kontak dapat dibuktikan dengan tes in vivo dan tes in vitro. Tes in vivo dapat dilakukan dengan uji tempel biasa dan uji tempel dengan pra-perlakuan (pre - treatment). Uji tempel biasa digunakan untuk alergen dengan BM rendah yang dapat menembus stratum korneum yang utuh (membran barier kulit yang intak).Sedangkan uji temple pra-perlakuan digunakan untuk alergen dengan BM yang besar seperti protein dan glukoprotein yang dapat menembus stratum korneum kulit jika barier kulit tidak utuh lagi. Untuk itu maka sebelum melakukan uji tempel, sebagian stratum diangkat dengan stripping. Tes in vitro menggunakan transformasi limfosit atau inhibisi migrasi makrofag untuk pengukuran dermatitis kontak alergik pada manusia dan hewan. Namun hal tersebut belum standar dan secara klinis belum bernilai diagnosis. Meskipun anamnesis dari pasien didapatkan kemungkinan adanya alergi, bukti yang nyata didapatkan dari hasil uji kulit yang positif. Tujuan uji tempel adalah mencari atau membuktikan penyebab dermatitis kontak alergik. Kriteria diagnosis dermatitis kontak alergik adalah :1.

Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan satu kali tetapi lama, beberapa Terdapat tanda-tanda dermatitis terutama pada tempat kontak. Terdapat tanda-tanda dermatitis disekitar tempat kontak dan lain tempat

kali atau satu kali tetapi sebelumnya pernah atau sering kontak dengan bahan serupa. 2.3.

yang serupa dengan tempat kontak tetapi lebih ringan serta timbulnya lebih lambat, yang tumbuhnya setelah pada tempat kontak. 4. 5. Rasa gatal Uji tempel dengan bahan yang dicurigai hasilnya positif.

TERAPI

13

Dermatitis atopik umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Sebagian penderita mengalami perbaikan sesuai dengan bertambahnya usia. Langkah yang penting adalah menjalin hubungan baik dengan orang tua penderita, menjelaskan mengenai penyakit tersebut secara rinci, termasuk perjalanan penyakit, dampak psikologis, prognosis, dan prinip penatalaksanaan. Langkah pertama dalam penatalaksanaan penderita DA adalah menghindari atau sedikitnya mengurangi faktor penyebab, misalnya eliminasi makanan, faktor inhalan, atau faktor pencetus sel Walaupun masih kontroversial ternyata bayi yang memperoleh air susu ibu lebih jarang menderita DA dibandingkan bayi yang memperoleh pengganti air susu ibu. Penghindaran faktor alergen pada bayi berumur kurang dari l tahun akan mengurangi beratnya gejala. DA. Maka dianjurkan agar bayi dengan riwayat keluarga alergi memperoleh hanya ASI sediIkitnya 3 bulan, bila mungkin 6 bulan pertama dan ibu yang menyusui dianjurkan untuk tidak makan telur, kacang tanah, terigu, dan susu sapi. Susu sapi diduga merupakan alergen kuat pada bayi dan anak, maka bagi mereka yang jelas alergi terhadap susu dapat dipergunakanbangkan untuk menggantinya dengan susu kedelai, walaupun kemungkinan alergi terhadap susu kedelai masih ada. \60% penderita DA di bawah usia 2 tahun memberikan reaksi positif pada uji kulit terhadap telur, susu, ayam, dan gandum. Reaksi positif ini akan menghilang dengan bertambahnya usia. Walaupun pada uji kulit positif terhadap antigen makanan tersebut di atas, belum tentu mencerminkan gejala klinisnya. Demikian pula hasil uji provokasi, sehingga membatasi makanan anak tidak selalu berhasil untuk mengatasi penyakitnya.

Membutuhkan terapi yang integral dan sistemik, meliputi hidrasi kulit, terapi topikal, identifikasi dan eliminasi faktor penyebab dan pencetus dan bila perlu terapi sistemik. Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa berupa perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi faktor-faktor pencetus kekambuhan. Perawatan Kulit ( Hidrasi ) adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan

14

moisturizers disarankan Setelah mandi memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik. Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-in-oil moisturizers sediaan lactic acid. Pengobatan topikal adalah untuk mengatasi kekeringan kulit dan peradangan. Mengatasi kekeringan kulit atau memelihara hidrasi kulit dapat dilakukan dengan mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi. Meskipun mandi dikatakan dapat memperburuk kekeringan kulit, namun berguna untuk mencegah terjadi infeksi sekunder. Jangan menggunakan sabun yang bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau pembersih yang mempunyai pH 7,0. Pemberian pelembab kulit penting untuk menjaga hidrasi antara lain dengan dasar lanolin, krim air dalam minyak, atau urea 10% dalam krim. Untuk mengatasi peradangan dapat diberikan krim kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat sebaiknya berhati-hati dan tidak digunakan di daerah muka. Apabila dermatitis telah teratasi maka secepatnya pengobatan dialihkan pada penggunaan kortikosteroid golongan lemah atau krim pelembab. Untuk daerah muka sebaiknya digunakan krim hidrokortison 1%. Dengan pengobatan topikal yang baik dapat dicegah penggunaan pengobatan sistemik. Karena perjalanan penyakit DA adalah kronik dan residif, maka untuk pemakaian kortikosteroid topikal maupun sistemik untuk jangka panjang sebaiknya diamati efek samping yang mungkin terjadi. Bila dengan kortikosteroid topikal tidak adekuat untuk menghilangkan rasa gatal dapat ditambahkan krim yang mengandung mental, fenol, lidokain, atau asam salisilat. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka dapat dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik. Kortikosteroids topikal Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi dari hypothalamicpituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi pemakaian diturunkan dan diganti dengan

15

yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan terapi difokuskan pada hidrasi.

Antihistamin Untuk mengurangi rasa gatal dapat diberikan antihistamin (H1) seperti difenhidramin atau terfenadin, atau antihistamin nonklasik lain. Kombinasi antihistamin H1 dengan H2 dapat menolong pada kasus tertentu. Pada bayi usia muda, pemberian sedasi dengan kloralhidrat dapat pula menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium kromoglikat untuk menstabilkan dinding sel mast dapat memberikan hasil yang memuaskan pada 50% penderita. Penggunaan kortikosteroid oral sangat terbatas, hanya pada kasus sangat berat dan diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam waktu 4 hari.Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal pada DA bisa tak terkait dengan histamin. Tars Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal pada manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis kontak. Antibiotik sistemik Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA yang luas dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin, sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin Infeksi di curigai bila ada krusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.. Dari hasil pembiakan

16

dan uji kepekaan terhadap Staphylococcus aureus 60% resisten terhadap penisilin, 20% terhadap eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan tidak ada yang resisten terhadap sefalosporin Imunoterapi dengan ekstrak inhalan umumnya tidak menolong untuk mengatasi DA pada anak.

Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi Sabun dan baju yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat dapat juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi alergen makanan, binatang dan debu rumah. Selain manajemen dasar dilaksanakan pada DA berat terapi imunomodulasi sudah harus dilaksanakan. Kortikosteroid sistemik. Efek perbaikannya cepat, tetapi flare yang parah sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila tetap harus diberikan, tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan. Thymopentin. Untuk dapat mengurangi gatal-gatal dan eritem digunakan timopentin subkutan 10 mg/ dosis 1 kali/hari selama 6 minggu, atau 3 kali/minggu selama 12 minggu. Interferon-gamma. Telah terbukti bahwa IFN- dapat menekan sintesis IgE dan menghambat fungsi serta proliferasi sel Th2. Beberapa percobaan menunjukan terapi IFN- dapat menurunkan derajat penyakit dan jumlah eosinofil dalam darah. Dosis yang digunakan g /m2/ hari subkutan diberikan selama 12 minggu.ug-100uantara 50 Siklosporin A / Fk 205 . Obat imunosupresi yang poten, bekerja langsung pada sel T dengan menekan transkripsi sitokin. Secara in vitro CsA dapat menekan produksi IL- 5 dan menurunkan produksi eosinofil. FK 205 merupakan imunosupresi dengan spectrum aktivitas sama dengan CsA dalam bentuk ointment ( tacrolimus ). Pada percobaan awal obat ini dapat mengurangi gatal dalam waktu 3 hari dan pada biopsy

17

infiltrasi sel T dan eosinofil pada dermis berkurang secara nyata. Pemberian per oral 5 mg/kg/hari selama 6 minggu. Dapat pula diberikan secara topikal dalam bentuk salep atau gel 5%. Anti- sitokin. Anti IL- 5, pada percobaan binatang dapat mencegah infiltrasi sel eosinofil sehingga akumulasi sel ini terhambat sampai 3 bulan. Obat ini berperan penting pada DA kronik karena pada inflamasi kronik didominasi ekspresi IL- 5 dan infiltrasi eosinofil. Reseptor IL- 4 yang larut ( soluble IL- 4 reseptor ), obat ini efektif mengikat IL- 4 sehingga menekan IL- 4 sehingga menekan fungsi sel B yang diperantai IL- 4. sIL- 4R juga menghambat produksi IgE spesifik ( terhadap paparan allergen). Tacrolimus. Digunakan takrolimus 0,1 % dan 0,03 % topikal dua kali sehari. Obat ini umumnya menunjukan perbaikan pada luasnya lesi dan rasa gatal pada minggu pertama pengobatan. Tacrolimus tidak mempengaruhi fibroblasts sehingga tidak menyebabkan atropi kulit. Pimecrolimus Pemakaian pimecrolimus 1,0 % mereduksi gejala sebesar 35 %. Gammaglobulin Bekerja sebagai antitoksin, antiinflamasi dan anti alergi. Pada DA Gammaglobulin intravena (IVIG) adalah terapi yang sangat mahal, namun harus dipertimbangkan pada kasus kasus khusus. Probiotik Lactobacillus rhamnosus GG 1 kapsul (109) kuman/dosis dalam 2 kali/hari memperbaiki kondisi kulit setelah 2 bulan. Secara konvensional pengobatan DA kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut ( Menurut Boguniewicz & Leung 1996 ) : Menghindari bahan iritan Mengeliminasi allergen yang telah terbukti Menghilangkan pengeringan kulit ( hidrasi ) Pemberian pelembab kulit (moisturizing ) Kortikosteroid topical Pemberian antibiotic Pemberian antihistamin

18

Mengurangi stress Memberikan edukasi pada penderita maupun keluarganya Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat. Penentuan gradasi berat-ringannya DA dapat mempergunakan kriteria Rajka dan Langeland sebagaimana tabel berikut : I. Luasnya lesi kulit Fase anak / dewasa 36 % luas tubuh 3 Fase infantile 54 % luas tubuh 3 II. Perjalanan penyakit Remisi > 13 bulan / tahun Remisi < 23 bulan / tahun III. Intensitas penyakit Gatal ringan, gangguan tidur 1 2Gatal sedang, gangguan tidur Gatal berat, gangguan tidur 3 Penilaian skor ringan3-4 sedang5-7 berat8-9 KOMPLIKASI Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes). Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal. Pada penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus aureus.

19

PROGNOSIS Penderita dermatitis atopic yang bermula sejak bayi, sebagian ( 40 % ) sembuh spontan, sebagian berlanjut ke bentuk anak dan dewasa. Ada pula yang mengatakan bahwa 40- 50% sembuh pada usia 15 tahun. Sebagian besar menyembuh pada usia 30 tahun. Secara umum bila ada riwayat dermatitis atopic di keluarganya bersamaan dengan asma bronchial, masa awitan lambat, atau dermatitisnya berat, maka penyakitnya lebih persisten.

BAB III

KESIMPULAN

Kejadian dermatitis kontak yang disebabkan oleh iritan maupun alergi memiliki hubungan dengan suatu pekerjaan, sehingga orang- orang yang memilih bekerja di suatu aktivitas yang memiliki resiko tersebut harus tersebut mempersiapkan dirinya agar terhindar dari dermatitis kontak. Pada dermatitis kontak iritan, iritan yang kuat seperti asam kuat atau basa kuat dapat mengakibatkan dermatitis kontak iritan akut, sedangkan iritan yang lemah seperti seperti deterjen keras memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengakibatkan dermatitis kontak iritan kronik. Dermatitis kontak alergik merupakan jenis dermatitis kontak terbesar kedua setelah dermatitis kontak iritan. Penanganan diaper dermatitis pada bayi memerlukan perhatian yang khusus sebab bayi memiliki daya tahan yang masih lemah. Farmasis diharapkan mampu tidak hanya menentukan terapi farmakologi yang tepat, melainkan juga mampu member edukasi kepada pasien untuk menghindari dan mencegah terjadinya pemaparan yang dapat menyebabkan dermatitis kontak. Tahap pertama yang penting dilakukan untuk memberikan terapi yang tepat adalah dengan berupaya menggali informasi mengenai kemungkinan penyebab dari timbulnya dermatitis kontak tersebut.

20

DAFTAR PUSTAKA

Kariosentono, harijono. Dermatitis atopik ( Eksema ) Dari gejala klinis, Reaksi atopik, Peran eosinofil, Tungau debu rumah, Sitokin sampai kortikosteroid pada penatalaksanaannya. UNS Press, Solo.2006.

Djuanda, adi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi IV. Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 1999. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. EGC, Jakarta, 2004. Judarwanto, widodo dr. Dermatitis atopik. Childrens Allergy Clinic. http // www. childrenallergyclinic. Wordpress. Com.

Kuncoro,

wahyudi

dr.

Dermatitis

atopic.

http//

www.

dermatitis

atopik.com

http://www.aaia.ca/. Hayakawa,R., 2000, Contact Dermatitis, Nagoya J. Med. Sci 64.83-90 Keefner, DM., dan Curry, CE., 2004, Contact Dermatitis dalam Handbook of nonprescription Drugs, 12th edition, APHA, Washngton D.C Kariosentono, harijono. Dermatitis atopik ( Eksema ) Dari gejala klinis, Reaksi atopik, Peran eosinofil, Tungau debu rumah, Sitokin sampai kortikosteroid pada penatalaksanaannya. UNS Press, Solo.2006

21

22