Refert hipoglikemia pada neonatus dan anak.rtf

download Refert hipoglikemia pada neonatus dan anak.rtf

If you can't read please download the document

description

laporan kasus morbili

Transcript of Refert hipoglikemia pada neonatus dan anak.rtf

Hipoglikemia pada bayi dan anakPage 1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hipoglikemia ialah suatu penurunan abnormal kadar glukosa darah1. Kadar glukosa darah yang normal terjadi karena adanya keseimbangan antara penyediaan glukosa dalam darah dengan pemakaiannya oleh tubuh. Bila terjadi gangguan pada keseimbangan ini, maka dapat terjadi penurunan kadar glukosa darah (hipoglikemia) atau sebaliknya peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia)2.

Glukosa merupakan sumber utama energi untuk menjalankan fungsi organ sebagaimana mestinya. Walaupun semua organ tubuh menggunakan glukosa, otak manusia menggunakannya hampir secara eksklusif sebagai substrat untuk metabolisme energi. Oleh karena penyimpanan glikogen otak terbatas, pengiriman glukosa yang adekuat ke otak merupakan fungsi fisiologis tubuh yang esensial. Sekitar 90 % dari glukosa darah total dikonsumsi oleh otak. Meskipun bahan bakar lain seperti asam laktat dan badan keton dapat digunakan sebagai substrat untuk memproduksi energi, akan tetapi respon yang masih imatur dari neonatus membuat penggunaan dari molekul-molekul tersebut tidak memungkinkan. Dengan demikian, neonatus sangat rentan terhadap kondisi-kondisi yang mengganggu pemeliharaan homeostasis glukosa selama masa transisi dari intrauterin ke kehidupan mandiri di luar rahim3.

Hipoglikemia merupakan masalah metabolik yang umum pada neonatus. Pada kebanyakan neonatus yang sehat, konsentrasi kadar glukosa darah yang rendah tidak menyebabkan masalah yang serius dan merupakan proses yang normal dari adaptasi metabolisme pada kehidupan ekstrauterin. Pada anak-anak kadar glukosa darah dibawah 40 mg/dL (2.2 mmol/L) menunjukan keadaan hipoglikemia. Dan pada neonatus kadar plasma glukosa kurang dari 30 mg/dL (1.65mmol/L) pada 24 jam pertama kehidupan menunjukkan keadaan hipoglokemia.13,14

Frekuensi penderita hipoglikemia pada bayi/anak belum diketahui pasti, di Amerika dilaporkan sekitar 14.000 bayi menderita hipoglikemia. Gutber-let dan Cornblath melaporkan frekuensi hipoglikemia 4,4/1000 kelahiran hidup dan 15,5/1000 BBLR. Angka ini berdasarkan observasi bahwa penderita hipoglikemia berjumlah 2-3 anak/1000 anak yang masuk rumah sakit, sedangkan anak yang dirawat berjumlah 80.000/tahun.15

Hipoglikemia erat kaitannya dengan kelompok usia tertentu dan tahap perkembangannya. Berbagai sindrom hipoglikemik ada kecenderungan terdapat pada umur-umur khusus1. Hipoglikemia merupakan salah satu gangguan metabolik yang sering terjadi pada bayi dan anak1,4,5. Dalam perbandingannya, hipoglikemia lebih sering terjadi pada neonatus daripada anak yang lebih besar2. Meskipun hipoglikemia merupakan gangguan yang paling sering terjadi, namun belum ada definisi yang diterima secara universal untuk gangguan ini1,4,5. Kerancuan timbul berdasarkan fakta bahwa rentang normal glukosa darah pada setiap neonatus berbeda dan bergantung pada beberapa faktor yaitu berat badan lahir, usia gestasi, body stores, riwayat makan, dan juga ada tidaknya penyakit lain5.

Hipoglikemia telah dihubungkan dengan outcome perkembangan neurologis yang buruk5. Terdapat bukti bahwa hipoksemia dan iskemia yang di akibatkan hipoglikemia, menyebabkan kerusakan otak yang mungkin mengganggu perkembangan neurologis secara permanen2. Ketika kadar glukosa darah rendah, sel-sel dalam tubuh terutama otak, tidak menerima cukup glukosa dan akibatnya tidak dapat menghasilkan cukup energi untuk metabolisme. Sel-sel otak dan saraf dapat rusak dan menyebabkan palsi serebral, retardasi mental, dan lain-lain6. Hipoglikemia pada manifestasi klinisnya yang ekstrim selain dapat mengarah pada terjadinya sekuele yang permanen juga dapat menyebabkan kematian7.

Penyebab hipoglikemia seringkali sangat kompleks4. Hipoglikemia terjadi pada beberapa macam kondisi neonatus antara lain prematuritas, retardasi pertumbuhan, dan diabetes gestasional5. Hipoglikemia dapat berdiri sendiri atau disertai oleh kelainan endokrin misalnya diabetes melitus1. Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi akut yang paling sering terjadi pada diabetes tipe I7. Penyebab hipoglikemia pada neonatus sedikit berbeda daripada bayi dan anak-anak. Hiperinsulinisme atau persistent hyperinsulinemic hypoglycemia of infancy (PHHI), adalah penyebab tersering dari hipoglikemia pada 3 bulan pertama kehidupan (ini biasa terjadi pada bayi dengan ibu yang menderita diabetes). Penyebab lainnya mencakup sepsis, syok, inborn error of metabolism, defisiensi hormon, puasa, kelaparan,dan lain-lain8.

Oleh karena hipoglikemia mungkin saja asimptomatik, pemeriksaan yang rutin terhadap kondisi ini pada situasi yang berisiko tinggi direkomendasikan5. Penilaian yang teliti terhadap catatan glukosa darah akan membantu prognosis untuk kejadian hipoglikemia setidaknya sekitar 50 persen7.

Pemberian ASI dengan supervisi dapat saja menjadi salah satu pilihan terapi pada hipoglikemia yang asimptomatik. Akan tetapi, hipoglikemia simptomatik harus selalu diterapi dengan preparat dextrose parenteral5.

Pada neonatus, prognosis tergantung dari berat, lama, adanya gejala-gejala klinik dan kelainan patologik yang menyertainya, demikian pula etiologi, diagnosis dini dan pengobatan yang adekuat6.

Dalam referat ini dibicarakan mengenai masalah hipoglikemia pada bayi dan anak, beberapa penyebabnya, evaluasi dan pengobatannya, serta prognosis sesuai dengan morbiditas dan mortalitasnya sehingga dapat memberikan sumbangan pada pendekatan klinis untuk penatalaksanaan hipoglikemia pada bayi dan anak.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi dan Klasifikasi

II.1.1. Definisi

Hipoglikemia adalah suatu sindrom klinik dengan penyebab yang sangat luas, sebagai akibat rendahnya kadar glukosa plasma yang akhirnya menyebabkan neuroglikopenia. Definisi hipoglikemia pada neonatus masih tidak ada kesesuaian, baik dalam buku teks maupun dalam jurnal, sehingga definisinya dibuat dari berbagai sudut pandang4. Definisi dari hipoglikemia sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Ada beberapa pendapat yang menjabarkan definisi hipoglikemia, seperti di bawah ini : 14,16,17

Dulu terdapat 4 pendekatan untuk mendefinisikan hipoglikemia, yaitu :

Berdasar manifestasi klinisBerdasar epidemiologi yang didasarkan oleh kadar glukosaBerdasar perubahan akut pada metabolik dan dan respon endokrin juga fungsi neurologisBerdasar kelainan neurologis yang terjadi

Kini American Academy of Pediatrics memakai batasan kadar glukosa 10 U/ml pada keadaan hipoglikemia adalah abnormal, bahkan pada beberapa kasus kadar yang lebih kecil mungkin tidak sesuai dengan keadaan hipoglikemia yang ada dan menunjukan adanya sekresi otonom.

Banyak pasien yang pada saat bayi dikenal mengalami hipoglikemia idiopatik ternyata mengalami hiperinsulinisme. Hiperinsulinisme sebagai penyebab hipoglikemia berat, pada umumnya muncul pada bayi baru lahir sampai usia 3 bulan. Adanya hiperinsulinisme, hipoglikemia simptomatik timbul setelah puasa 36 jam dan disertai dengan rendahnya kadar beta-hidroksibutirat (benda-benda keton), FFA dan hiperinsulinemia relatif (> 12 mikro unit/ml). Respons hiperglikemia terhadap glukagon meningkat. Uji toleransi tolbutamid memberikan hasil reaksi yang hebat. Hiperinsulinisme, ada dua : 3

Hiperinsulinisme neonatal transien

Hiperinsulinisme sering didapatkan pada neonatus. Hal ini mungkin merupakan gambaran dari imaturitas regulasi sekresi insulin. Keadaan ini dapat terjadi pada bayi sakit, tetapi lebih jelas pada bayi yang asfiksia waktu lahir dan bayi-bayi kecil untuk masa kehamilan karena cadangan glikogennya lebih terbatas. Walaupun hiperinsulin ini hanya berlangsung sementara, namun penanganan yang cepat dan tepat harus segera diberikan agar tidak menimbulkan cacat otak yang menetap. Masalah ini sering terjadi sehingga pemantauan kadar glukosa darah pada jam-jam pertama harus selalu dilakukan untuk semua bayi dengan resiko.

Pemberian minum harus segera dimulai, bila perlu dengan glukosa intravena. Pada saat pemulihan, pemberian glukosa intravena dikurangi secara bertahap. Walaupun jarang, perlu diketahui hiperinsulinisme persisten yang memerlukan penanganan yang intensif.

Hiperinsulinisme persisten

Hiperinsulinisme persisten pada umumnya disebabkan oleh adanya defek dalam perkembangan sel beta yang menyebabkan timbulnya gangguan fungsi dan abnormalitas struktur insulin.

Defek pada pelepasan glukosa (defek siklus Krebs, defek respiratory chain). Kelainan ini sangat jarang, mengganggu pembentukan ATP dari oksidasi glukosa, disini kadar laktat sangat tinggi.Defek pada produksi energi alternative (defisiensi carnitine acyl transferase, defisiensi HMG CoA, defisiensi rantai panjang dan medium acyl-CoA dehydrogenase, defisiensi rantai pendek acyl-CoA dehyrogenase). Kelainan ini mengganggu penggunaan lemak sebagai energi, sehingga tubuh sangat tergantung hanya pada glukosa. Ini akan menyebabkan masalah bila puasa dalam jangka lama yang seringkali berhubungan dengan penyakit gastrointestinal.Sepsis atau penyakit dengan hipermetabolik, termasuk hipertiroidisme.

Kelainan yang menyebabkan kurangnya produksi glukosa :

Simpanan glukosa tidak akuat (prematur, bayi kecil masa kehamilan, disamping hipoglikemia akibat pemberian insulin pada diabetes. Hal ini dapat dibedakan dengan melihat keadaan klinis dan adanya hipoglikemia ketotik, biasanya terjadi akibat pada anak yang kurus, usia antara 18 bulan sampai 6 tahun. masukan makanan yang terganggu karena bermacam sebab. Penelitian terakhir mekanisme yang mendasari hipoglikemia ketotik adalah gagalnya glukoneogenesis.Kelainan pada produksi glukosa hepar antara lain defisiensi glucose-6-phosphatase (glycogen storage disease type I), defisiensi debrancher (glycogen storage disease type III), defisiensi phosphatase hepar (glycogen storage disease type VI, defisiensi glycogen synthase, defisiensi fructose 1,6 diphosphatase, defisiensi phospho-enol pyruvate, defisiensi pyruvate carboxylase, galactosemia, intoleransi fructose herediter, penyakit maple urine syrup). Kelainan ini menurunkan produksi glukosa melalui berbagai defek termasuk blokade pada pelepasan dan sintesis glukosa atau hambatan pada glukoneogenesis. Anak yang menderita penyakit ini akan dapat beradaptasi terhadap hipoglikemia karena penyakitnya bersifat kronik.

Glycogen storage disease, Type I

Penyakit ini merupakan penyebab tersering hipoglikemia. Penyebabnya adalah adanya defisiensi enzim hati (defisiensi glukose 6 fosfatase). Penyakit ini bisa menyebabkan penghambatan total, baik pada glukoneogenesis maupun glikogenolisis. Beberapa bayi memperlihatkan gejala hipoglikemia berat, asidosis, sedangkan yang lainnya dengan gejala gangguan pertumbuhan terutama pada bayi dan anak kecil. Adanya hepatomegali yang hebat menjadi penting untuk diagnostik, selain itu terjadi pembesaran ginjal. Bayi dan anak terlihat pendek yang disertai hipotoni. Meningkatnya jaringan lemak pada muka dan ekstremitas memberikan gambaran anak tersebut seolah-olah gizi baik.

Pada bayi baru lahir, penyebab hipoglikemia persisten atau berulang bisa didapat melalui anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik dan temuan laboratorium. Hipoglikemia yang berhubungan dengan intake makanan bisa dicurigai adanya kelainan pada salah satu glukoneogenesis. Apabila gejala terjadi 6 jam setelah makan dan apabila gejala terjadi segera setelah makan, kemungkinan adalah adanya galaktosemia atau intoleransi fruktosa, terdapatnya substansi yang tereduksi pada urin berulang kali memperkuat diagnosis ini.

Diagram 1. Alur diagnosis hipoglikemia berdasarkan pemeriksaan laboratorium

Kelainan hormonal (panhypopituitarisme, defisiensi hormon pertumbuhan, defisiensi kortisol dapat primer atau sekunder. Hal ini karena hormon pertumbuhan dan kortisol berperan penting pada pembentukan energi alternative dan merangsang produksi glukosa. Kelainan ini mudah diobati namun yang sangat penting adalah diagnosis dini.Toksin dan penyakit lain (etanol, salisilat, propanolol, malaria). Etanol menghambat glukoneogenesis melalui hepar sehingga dapat menyebabkan hipoglikemia. Hal ini khususnya pada pasien dengan diabetes yang diobati insulin yang tidak dapat mengurangi sekresi insulin sebagai respon bila terjadi hipoglikemia. Intoksikasi salisilat dapat menyebabkan hipoglikemia ataupun hiperglikemia. Hipoglikemia karena bertambahnya sekresi insulin dan hambatan pada glukoneogenesis.

II.5.Patofisiologi

Sebenarnya, pengaturan homeostasis pada janin dan bayi tidak sepenuhnya dapat dibuktikan, karena sebagian besar kesimpulan yang diambil adalah dari penelitian binatang percobaan. Walaupun demikian pada anak dan dewasa mempunyai substrat dan pengaturan metabolisme hormonal yang sama, namun homeostasis glukosa pada bayi gambarannya berbeda.

Bila seorang ibu hamil mendapatkan nutrisi yang adekuat, maka pada janin tidak akan terjadi glukoneogenesis dan ketogenesis.

Selama dalam kandungan, energi pokok yang digunakan janin adalah: glukosa, asam amino, dan laktat, glukosa merupakan 50% dari energi yang dibutuhkan. Glukosa ibu masuk melalui plasenta ke janin dengan difusi karena adanya perbedaan konsentrasi pada ibu dan plasma janin, kadar glukosa plasma janin 70-80% kadar dalam vena ibu. Glukosa yang masuk ke janin dalam jumlah yang proporsional untuk kebutuhan energi yang dibutuhkan janin dengan kecepatan 5-7 gram/kgBB/menit, sesuai dengan kecepatan produksi glukosa endogen setelah lahir. Sistem enzim yang terlibat dalam glukoneogenesis dan glukogenolisis sudah ada dalam hepar janin namun tidak aktif, kecuali apabila terangsang oleh ibu yang sangat kelaparan. Pada hewan aktivitas enzim untuk glukoneogenesis sangat penting, pada janin manusia tidak ada atau bila ada sangat rendah dan tidak meningkat sampai periode perinatal yang akan mencapai kadar dewasa hanya dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah kehidupan ekstrauterin. Untuk mempertahankan euglikemia, pada saat lahir tidak ada produksi glukosa oleh janin manusia, namun produksi glukosa hepar dan glukoneogenesis telah dibuktikan ada dalam beberapa jam setelah lahir, kecuali pada bayi yang prematur. Enzim yang dibutuhkan untuk glikogenolisis dan sintesis glikogen sudah ada pada hepar janin sejak lama sebelum terjadi akumulasi glikogen. Hanya pada anak dengan penyakit glycogen storage, dalam 3-4 minggu terakhir kehamilan, terjadi peningkatan cadangan glikogen hepar mencapai kadar saat lahir.

Pada saat lahir kadar glukosa plasma umbilical 60-80% dari kadar glukosa vena ibu. Pada bayi aterm sehat yang sudah lepas dari ibunya dua jam pertama setelah lahir, kadar glukosa darahnya tidak pernah di bawah 40 mg/dL, pada usia 4-6 jam berkisar antara 45-80 mg/dL. Kadar glukosa dipertahankan segera setelah lahir dengan pemecahan glikogen hepar (glikogenolisis) karena pengaruh epinefrin dan glucagon, difasilitasi oleh turunnya kadar insulin. Namun dalam waktu 8-12 jam pertama glikogen berkurang, setelah itu kadar glukosa dipertahankan oleh sintesis glukosa dari laktat, gliserol, dan alanin (glukoneogenesis). Setelah mendapat makanan dan masukan karbohidrat adekuat, glukoneogenesis tidak dibutuhkan lagi. Hipoglikemia disebabkan oleh berkurangnya suplai glukosa atau meningkatnya konsumsi glukosa. Karena euglikemia pada mulanya tergantung pada glikogenolisis dan glikoneogenesis, bayi yang kekurangan substrat atau jalur metaboliknya tidak normal, terjadi hipoglikemia.

Pada orang sehat, kadar glukosa darah post absorbsi tetap dipertahankan dalam rentang yang sempit, antara 60-100 mg/dL. Setelah makan maka kadar glukosa akan meningkat sementara antara 120-140 mg/dL, setelah itu kembali ke kadar semula biasanya sekitar 2 jam setelah absorbsi karbohidrat terakhir. Insulin dan glukagon merupakan dua hormon yang sangat penting dalam sistem umpan balik glukosa, bila gula darah meningkat setelah makan, maka sekresi insulin meningkat dan merangsang hepar untuk menyimpan glukosa sebagai glikogen. Bila sel (khususnya hepar dan otot) kelebihan glukosa, maka kelebihan glukosa disimpan sebagai lemak. Bila kadar glukosa turun, fungsi sekresi glukagon adalah meningkatkan kadar glukosa dengan merangsang hepar untuk melakukan glikogenolisis dan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Pada keadaan kelaparan, hepar mempertahankan kadar glukosa melalui glukoneogenesis.

Gambar 2. Metabolisme Glukosa

Glukoneogenesis, adalah pembentukan glukosa dari asam amino dan gliserol yang merupakan bagian dari lemak. Otot memberikan simpanan glikogen dan memecah protein otot menjadi asam amino yang merupakan substrat untuk glikoneogenesis dalam hepar. Asam lemak dalam sirkulasi di katabolisme menjadi keton, asetoasetat dan beta hidroksi butirat yang dapat digunakan sebagai pembantu bahan bakar untuk sebagian besar jaringan, termasuk otak. Hipotalamus merangsang sistem saraf simpatis dan epinefrin yang disekresi oleh adrenal menyebabkan pelepasan glukosa oleh hepar. Bila hipoglikemia berkelanjutan, sampai beberapa jam atau hari, maka hormone pertumbuhan dan kortisol disekresi dan penurunan penggunaan glukosa oleh sebagian besar sel tubuh. Insulin merupakan hormone pengatur utama, bila tidak bekerja atau kurang maka terjadi hiperglikemia post absorbsi, jadi insulin mempertahankan euglikemia post absorbsi. Pada orang normal bila dibuat hipoglikemia dengan diberikan insulin, maka pertama kali hepar yang berperan secara fisiologis terjadi respon untuk mengatasi hipoglikemia dengan mengeluarkan glukosa yang disimpan sebagai glikogen dari sel hepatosit dan merubah laktat, gliserol, dan asam amino menjadi glukosa (glikoneogenesis), bila kadar glukosa darah tetap tidak mencukupi maka tubuh meningkatkan kadar glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan kortisol. Glukagon yang pertama kali mengatasi hipoglikemia, bila gagal, maka yang kedua adalah epinefrin, bila glukagon dapat mengatasi hipoglikemia, maka epinefrin tidak diperlukan, namun bila tidak ada glukagon maka epinefrin memegang peranan penting. Hormon pertumbuhan dan kortisol, walaupun berperan namun bekerjanya lebih lambat. Otak merupakan organ target khusus yang menggunakan glukosa dan atau keton sebagai sumber energi utama. Namun pada kenyataan glukosa merupakan sumber energi tunggal, pada organ ini masuknya glukosa ke dalam sel diperantarai oleh glut3 transporter yang mempertahankan suplai glukosa yang tetap pada sel otak sampai kadar glukosa sangat rendah. Sehingga untuk mempertahankan kadar gula darah normal tergantung pada: 1. sistem endokrin yang normal untuk integrasi dan modulasi mobilisasi substrat, interkonversi dan utilisasi. 2. Enzim untuk glikogenolisis, sintesis glikogen, glikolisis, glukoneogenesis, dan utilisasi bahan bakar metabolik lain dan penyimpanan yang berfungsi baik. 3. Suplai lemak endogen, glikogen, dan substrat glukoneogenik potensial (asam amino, gliserol, dan laktat) yang adekuat. Orang dewasa normal mampu mempertahankan kadar gula darah normal atau mendekati normal, kira-kira sampai seminggu, bahkan bila obesitas dapat sampai sebulan. Sebaliknya pada neonatus dan anak sehat, tidak dapat mempertahankan kadar gula darah normal bila dipuasakan dalam jangka pendek (24- 36 jam), setelah itu terjadi penurunan kadar glukosa plasma yang progresif sampai ke kadar hipoglikemia. Kelainan sekresi hormone, interkonversi substrat dan mobilisasi bahan bakar metabolik menyebabkan kelainan produksi dan utilisasi glukosa yang berakibat hipoglikemia pada anak.

Dalam keadaan normal tubuh mengatasi hipoglikemia dengan menurunkan sekresi insulin dan meningkatkan sekresi glukosa, epinefrin, hormone pertumbuhan, dan kortisol. Perubahan hormonal tersebut dikombinasi dengan meningkatnya keluaran glukosa hepar, bahan bakar alternative yang ada dan penggunaan glukosa menurun. Respon pertama kali yang terjadi adalah peningkatan produksi glukosa dari hepar dengan pelepasan cadangan glikogen hepar disertai penurunan insulin dan peningkatan glukagon. Bila cadangan glikogen habis maka terjadi peningkatan kerusakan protein karena kortisol meningkat, glukoneogenesis hepar diganti dengan glikogenolisis sebagai sumber produksi utama glukosa. Kerusakan protein tersebut digambarkan dengan meningkatnya kadar asam amino glukonegenik, alanin, dan glutamine dalam plasma. Penurunan kadar glukosa perifer pada keadaan awal menurunkan kadar insulin, yang kemudian diikuti peningkatan kadar epinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Ketiga kejadian di atas, meningkatkan lipolisis dan asam lemak bebas dalam plasma, yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternative tubuh dan menghambat penggunaan glukosa. Kenaikan keton urin dan plasma menunjukkan penggunaan lemak sebagai sumber energi. Asam lemak bebas plasma juga merangsang produksi glukosa.

Diagram 2. Mekanisme fisiologis tubuh terhadap keadaan hipoglikemia

Hipoglikemia terjadi bila satu atau lebih mekanisme keseimbangan di atas gagal, atau penggunaan glukosa yang berlebihan seperti pada hiperinsulinisme, atau produksi yang kurang seperti pada penyakit glycogen storage, atau kombinasi defisiensi hormon pertumbuhan dan atau kortisol.

II.6.Manifestasi Klinis

Berbeda dengan hipoglikemia kimiawi, maka hipoglikemia simptomatik paling banyak dijumpai pada bayi kecil menurut kehamilan. Bayi tersebut biasanya termasuk golongan (2) atau (3) berdasarkan pengelompokan patofisiologi dan beberapa diantaranya merupakan hipoglikemia neonatal idiopatik simtomatik sementara. Kejadian hipoglikemia simtomatik sukar diketahui karena gejalanya juga dijumpai bila disertai keadaan lain seperti infeksi terutama sepsis dan meningitis, kelainan perdarahan dan edema susunan saraf pusat, asfiksia, penghentian obat, apneu pada prematuritas, kelainan jantung bawaan, polisitemia, dan juga dapat dijumpai pada bayi sehat normoglikemik. Kejadian diduga berkisar 1-3/1000 kelahiran hidup, kira-kira 5-15% mempunyai berat badan lahir rendah; kejadian tertinggi pada bayi di bawah persentil 50 usia kehamilan.

Saat timbulnya gejala bervariasi dari beberapa hari sampai satu minggu setelah lahir. Berikut ini merupakan gejala klinis yang disusun mulai dari frekuensi tersering, yaitu gemetar atau tremor, serangan sianosis, apatis, kejang, serangan apneu intermitten atau takipneu, tangis yang lemah atau melengking, kelumpuhan atau letargi, kesulitan minum, dan terdapatnya gerakan putar mata. Dapat pula timbul keringat dingin, pucat, hipotermia, gagal jantung, dan henti jantung. Sering berbagai gejala muncul bersama-sama. Karena gejala klinis tersebut dapat disebabkan oleh bermacam-macam sebab, maka bila gejala tidak menghilang setelah pemberian glukosa yang adekuat, perlu dipikirkan penyebab lain.

II.7.Penegakan Diagnosis

Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia secara benar harus dipatuhi trias Whipple yaitu: 1. Manifestasi klinis yang khas, 2. Kejadian ini harus bersamaan dengan rendahnya kadar glukosa plasma yang diukur secara akurat dengan metode yang peka dan tepat, 3. Gejala klinis menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah euglikemia. Bila ketiganya dipenuhi, maka diagnosis klinis hipoglikemia dapat ditetapkan. Berdasarkan pada klinis, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lain untuk menetapkan etiologi. Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia asimtomatik lebih sulit, walaupun juga sebagai penyebab kerusakan otak. Dengan teknik pemeriksaan mikro untuk mengukur kadar hormon dan substrat dalam plasma, maka menjadi mungkin untuk memperluas definisi dan pengembangan protokol hipoglikemia dan mencari mekanisme yang mungkin menyebabkan turunnya gula darah. Jadi yang diukur adalah respon hormon yang meningkat saat terjadi hipoglikemia antara lain epinefrin, hormon pertumbuhan, kortisol, dan glukagon, bersama dengan substrat antara lain asam lemak bebas, gliserol, dan badan keton.

Hipoglikemia yang dipicu oleh komponen makanan tertentu dapat mengarahkan pada inborn error of metabolism seperti galaktosemia, penyakit maple syrup urine dan intoleransi fruktosa. Obesitas yang mencolok saat lahir menyokong kea rah hiperinsulinisme. Kolestasis dan mikropenis pada hipopituitarisme. Hepatomegali seringkali terjadi pada glycogen storage disease.

Diagram 3. Pendekatan diagnosis hipoglikemia pada anak

II.7.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Pada bayi yang berusia lebih dari 2 bulan, anak dan dewasa, penurunan gula darah kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapat menimbulkan rasa lapar dan merangsang pelepasan epinefrin yang berlebihan sehingga menyebabkan lemah, gelisah, keringat dingin, gemetar, dan takikardi. Gejala adrenergik cenderung terjadi pada hipoglikemia postprandial. Sebaliknya, pada hipoglikemia karena kelaparan umumnya bertahap namun progresif dan menyebabkan gejala neuroglikopenia. Gejala hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu: berasal dari sistem saraf otonom dan berhubungan dengan kurangnya suplai glukosa pada otak (neuroglikopenia). Gejala akibat dari sistem saraf otonom adalah berkeringat, gemetar, gelisah, dan nausea. Akibat neuroglikopenia adalah pusing, bingung, rasa lelah, sulit bicara, sakit kepala, dan tidak dapat berkonsentrasi. Kadang disertai rasa lapar, pandangan kabur, mengantuk, dan lemah. Pada neonatus tidak spesifik antara lain tremor, peka rangsang, apneu, sianosis, hipotonia, sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat, dan pucat. Namun hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang tidak hipoglikemia, misalnya kelainan bawaan pada susunan saraf pusat, cedera lahir, mikrosefali, perdarahan, dan kernikterus. Demikian juga dapat terjadi akibat hipoglikemia yang berhubungan dengan sepsis, penyakit jantung, distress pernapasan, asfiksia, anomali kongenital multipel atau defisiensi endokrin. Kadang hipoglikemia juga asimtomatik misalnya pada glycogen storage disease tipe I.

II.7.2. Pemeriksaan Laboratorium

Skrining hipoglikemia direkomendasikan pada bayi berat lahir sangat rendah, bayi prematur, bayi kecil masa kehamilan dengan berat badan lahir kurang dari persentil 10, bayi dengan ibu diabetes (tipe I atau II), bayi besar masa kehamilan dengan berat badan lahir lebih dari persentil 90, bayi dengan penyakit inkompatibilitas rhesus-hemolitik, bayi yang lahir dari ibu yang mendapat terapi terbutaline/propoanolol/agen hipoglikemik oral, neonatus dengan asfiksia perinatal, polisitemia, sepsis, syok, distress pernapasan, hipotermia, bayi dengan retardasi pertumbuhan. Termasuk juga ke dalamnya bayi dengan berat lahir di antara persentil 10-90 dengan manifestasi klinis janin kurang asupan nutrisi dalam bentuk kulit yang terkelupas, tidak punya lipatan kulit, dan defisiensi lemak subkutan pada regio buccalis, dan pada bayi dengan pemberian nutrisi parenteral total dan cairan intravena3.

Skrining hipoglikemia tidak direkomendasikan pada bayi aterm yang sesuai dengan masa kehamilan dan sedang menyusu ASI. Namun, bayi aterm dengan intake sulit, terdapat tanda-tanda laktasi yang inadekuat atau tanda-tanda hipotermia harus dilakukan pemeriksaan hipoglikemia3.

Metode pengukuran glukosa dapat melalui 2 cara antara lain pengukuran glukosa oksidase (strip reagen) dan pemeriksaan laboratorium. Pengukuran glukosa dengan cara strip reagen walaupun digunakan secara umum, akan tetapi tidak akurat khususnya pada saat level glukosa darah kurang dari 40-50 mg/dL. Pengukuran dengan cara ini berguna untuk tujuan skrining, namun jika nilainya rendah harus selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium sebelum diagnosis hipoglikemia ditegakkan3.

Metode lainnya yaitu dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini merupakan metode yang paling akurat. Dalam pemeriksaan laboratorium, glukosa darah diukur dengan cara kalorimetrik atau dengan cara elektroda (glucose electrode method)3.

Pemeriksaan laboratorium yang dikombinasi dengan riwayat klinis sangat penting untuk menegakkan diagnosis hipoglikemia. Pemeriksaan kadar gula darah pertama yang diambil pada saat ada gejala atau kecurigaan hipoglikemia, dan pemeriksaan yang lain adalah: beta hidroksi butirat, asam laktat, asam lemak bebas, asam amino (kuantitatif) dan elektrolit (untuk melihat anion gap). Pemeriksaan hormonal: insulin, kortisol, hormon pertumbuhan. Pemeriksaan faal hepar. Pemeriksaan urin: keton dan asam amino (kuantitatif).

Apabila ada pemeriksaan awal tidak terdiagnosis atau pasien asimtomatik, maka dilakukan pemeriksaan lanjutan. Bila berhubungan dengan puasa, maka pasien dipuasakan dan dipantau dalam 24 jam selama puasa, atau bila ada indikasi puasa dapat diperpanjang. Pemeriksaan ini harus dengan rawat inap, dipasang akses intravena dan diberikan heparin pada jalur intravenanya untuk pengambilan sampel darah dan bila perlu untuk pemberian dextrose 25% bila timbul gejala hipoglikemia. Diambil plasma darah secara sekuensial untuk pemeriksaan glukosa plasma, beta hidroksibutirat, dan insulin pada jam 8, 16, dan 20, kemudian diberikan glukagon 30-100 pg/kgBB intramuskuler. Sampel diambil setiap jam sampai pemeriksaan berakhir. Sampel pertama dan terakhir harus diperiksa kadar hormon pertumbuhan dan kortisol. Bila dicurigai defek pada enzim tertentu, maka diperlukan pemeriksaan analisa asam organik plasma dan atau urin.

Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah tes stimulasi glukagon, tes toleransi leucine untuk menemukan diet dikemudian hari dilakukan setelah pasien euglikemi, tes toleransi tolbutamide nilainya kurang untuk menemukan adenoma pankreas, pemeriksaan fungsi adrenal.

II.7.3. Pencitraan

Pada persisten hipoglikemi hiperinsulinisme, maka dilakukan pemeriksaan USG abdomen, CT Scan, dan MRI untuk membantu dalam membedakan bentuk fokal dan difus. Bila dicurigai hipopituitarisme, tumor pada hipofisis atau hipotalamus, atau mungkin ada kelainan bawaan, maka dilakukan MRI kepala. Bilamana pemeriksaan non-invasif tidak berhasil maka dapat dilakukan pemeriksaan invasif dengan endoskopi ultrasonik, namun hasilnya bergantung pada operatornya. Bila masih belum berhasil untuk menegakkan diagnosis, dapat dilakukan transhepatic venous sampling.

II.8.Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan hipoglikemia adalah secepat mungkin mengembalikan kadar gula darah kembali normal, menghindari hipoglikemia berulang sampai homeostasis glukosa normal dan mengkoreksi penyakit yang mendasari terjadinya hipoglikemia. Sehingga harus diketahui status klinis dan penyebab hipoglikemia.

Medikamentosa

Bila pasien tidak ada kelainan neurologik yang mengganggu proses menelan, hipoglikemia simtomatik diberikan karbohidrat oral dengan hasil yang memuaskan dan tidak ada perbedaan bermakna dengan yang diberikan dextrose intravena. Bila tidak dicurigai intoleransi fruktosa herediter dapat diberikan sari jeruk ditambah sukrosa (dua sendok teh setiap gelas) biasanya efektif. Bila perlu dapat diberikan dextrose 15-20% intravena secara cepat, dengan dosis 0,25-0,5 gram/kgBB. Karena dapat terjadi rebound hipoglikemia maka harus dilakukan pemberian rumatan dextrose 4-6 mg/kgBB/menit sampai pasien stabil euglikemia.

Pada neonatus, bila hipoglikemia terjadi pada bayi aterm simtomatik, berikan larutan glukosa atau susu formula, bila memungkinkan minum ASI, bila tidak dapat minum jangan berikan dengan pipa nasogastrik, berikan akses intravena. Terapi pertama yang dianjurkan adalah pemberian infuse glukosa intravena 1 gram/kgBB (glukosa 50% 2 mL/kgBB), diikuti dengan 10 mg/kgBB/menit (glukosa 30%, 50 mL/kgBB/24 jam). Dosis ini merupakan dosis perkiraan sehingga glukosa darah harus dipantau terus menerus paling sedikit selama 24 jam setelah gula darah stabil, walaupun umumnya hipoglikemia pada bayi baru lahir sebagian besar transient. Kemudian infus glukosa diturunkan perlahan-lahan sesuai dengan meningkatnya kemampuan minum peroral. Bila glukosa dihentikan secara mendadak mungkin dapat terjadi hipoglikemia berulang. Infus jangka lama dengan glukosa tersebut dapat menyebabkan komplikasi trombosis dan masukan cairan yang berlebihan, sehingga pemberian cairan juga harus diperhatikan. Bila dengan terapi diatas tidak berhasil, banyak penulis menganjurkan diberikan hidrokortison 5 mg/kgBB/24 jam dalam dosis terbagi, dapat pula diberikan glukagon secara intramuskuler 50 g/kgBB setiap 4 jam karena dapat meningkatkan enzim phosphoenolpyruvate carboxykinase.

Bila terjadi hipoglikemia akut, diberikan bolus intravena dextrose 10%, 2,5 mL/kgBB, diikuti dengan pemberian infus intravena sesuai dengan produksi glukosa hepar. Pada bayi, kira-kira 5-8 mg/kgBB/menit, pada anak 3-5 mg/kgBB/menit. Dengan cara ini dapat mempertahankan kadar glukosa plasma di atas 2,5 mmol/L. Anak dengan hiperinsulinemia kebutuhannya lebih tinggi. Pengobatan jangka panjang pada anak hipoglikemia bervariasi tergantung etiologinya.

Hipoglikemia ketotik, kelainan glycogen storage, defek pada metabolisme asam lemak bebas, dan hiperinsulinisme ringan, hipoglikemia dapat dicegah dengan pemberian makan yang berkala dengan diet yang dirancang khusus dan dapat diberikan dextrose parenteral yang dapat memberikan respon cepat bila makan kurang adekuat atau problem gastrointestinal atau penyakit yang lain. Untuk defisiensi fructose diphosphatase, hindarkan diet yang mengandung fruktosa.

Pendekatan bertahap digunakan dalam penatalaksanaan hipoglikemia pada hiperinsulinisme. Tahap pertama biasanya dengan pemberian makan yang sering. Tahap selanjutnya dengan diberikan diazoxide (15-20 mg/kgBB/hari). Octreotide (25-100 g/kgBB/hari) merupakan obat pilihan kedua. Nifedipine juga dapat digunakan. Pembedahan direkomendasikan jika pengobatan gagal atau dicurigai adanya tumor yang memproduksi insulin. Hormon pertumbuhan dan atau kortisol merupakan pengobatan spesifik untuk anak hipoglikemia dengan hipopituitarisme atau insufisiensi adrenal. Bayi yang lahir prematur dan kecil masa kehamilan harus diberikan secara intravena atau peroral segera setelah lahir untuk mencegah hipoglikemia.

Untuk pasien hipoglikemia dan diabetes, pengobatan tergantung dari kesadaran penderita. Jika pasien dalam keadaan sadar, berikan 15 gram karbohidrat dengan tambahan protein (roti, biskuit, dll) mungkin dapat membantu. Bila kesadaran pasien menurun, maka harus hati-hati terjadi aspirasi, pengobatan tergantung pada keadaan pasien.

Bila di rumah, glukagon intramuskuler merupakan pengobatan pilihan, keluarga atau orang terdekat dengan pasien diabetes yang diberikan insulin harus dapat melakukan hal ini. Bila di rumah sakit, maka diberikan larutan dextrose 25%. Dextrose tidak menyebabkan mual dan muntah seperti pada pemberian glukagon. Glukagon harus diberikan ketika akses intravena mengalami kesulitan. Setelah pengobatan hipoglikemia maka perlu diperhatikan diet dan pola aktivitas untuk menentukan penyebabnya agar tidak terjadi hipoglikemia berulang.

Pengobatan hormonal diberikan untuk terapi pengganti bilamana defisiensi hormonal, kortisol, hormon pertumbuhan, atau untuk menekan produksi hormon yang berlebihan, yaitu dengan somatostatin (Octreotide). Octreotide merupakan peptida yang memiliki kerja farmakologik sama dengan somatostatin yaitu menghambat sekresi insulin. Nifedipine, salah satu calcium channel blocker, mempunyai efek menurunkan sekresi insulin.

Pembedahan untuk hiperinsulinisme biasanya dilakukan bilamana terapi medikamentosa gagal atau bilamana pasien anak dengan kemungkinan tumor yang memproduksi insulin. Biasanya angka keberhasilan operasi pankreatektomi pada bayi dengan persistent hypoglycemia hyperinsulinism sekitar 89-95%. Jika dengan operasi tidak berhasil, maka ditambahkan dengan obat-obatan atau dengan cara pengangkatan pankreas total. Pada anak dengan tumor yang memproduksi insulin, hanya tumor saja yang diangkat.

Dietetik

Terapi dietetik pada pasien hipoglikemia tergantung pada etiologinya. Pada pasien dengan penyakit metabolik, hindari bahan spesifik yang dapat menyebabkan hipoglikemia. Pada pasien dengan hipoglikemia ketotik, penyakit glycogen storage, dan penyakit lain yang tidak boleh puasa, harus dihindarkan dari puasa dalam jangka waktu yang lama dan disediakan makanan yang berbasis karbohidrat.

Ulang GD tiap 2-4 jam, 15 menit sebelum jadwal minum berikut, sampai 2 kali berturut-turut normal

Hitung glucose Index rate (GIR) 6-8 mg/kg/menit untuk mencapai gula darah maksimal, dapat dinaikan sampai 10-15 mg/kg/menit.Bila dibutuhkan >15 mg/kg/menit, pertimbangkan obat-obatan (glukagon, kortikosteroid konsul.Bila ditemukan hasil GD 36 - < 47 mg/dl 2 x berturut-turut, berikan IVFD dekstrose 10% sebagai tambahan asupan per oral

II.9.Prognosis

Prognosis tergantung penyebab yang mendasarinya. Untuk penyakit inborn errors of metabolism dan defisiensi hormonal membutuhkan pengobatan seumur hidup, sebaliknya pada hipoglikemia ketotik umumnya menghilang sekitar umur 5 tahun bila anak diberikan nutrisi yang adekuat untuk mencegah hipoglikemia. Untuk hiperinsulinemia tergantung pada derajat penyakit, respon terhadap pengobatan, dan lesinya fokal atau difus. Pada lesi fokal umumnya dapat diobati dengan pembedahan. Hiperinsulinisme ringan yang memberikan respon dengan diazoxide membutuhkan pengobatan jangka panjang tetapi anak dapat hidup normal. Pada lesi difus yang tidak memberikan respon dengan pengobatan, tidak sepenuhnya dapat diobati dengan pankreatektomi dan akan timbul problem hipoglikemia dan gangguan perkembangan yang berkelanjutan.

BAB III

KESIMPULAN

Hipoglikemia merupakan masalah metabolik yang umum pada neonatus. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada bayi baru lahir dibandingkan anak yang lebih besar. Kadar glukosa darah yang normal terjadi karena adanya keseimbangan antara penyediaan glukosa dalam darah dengan pemakaiannya oleh tubuh. Bila terjadi gangguan pada keseimbangan ini, maka dapat terjadi hipoglikemia atau sebaliknya hiperglikemia. Hipoglikemia pada neonatus dapat bersifat sementara dan menetap atau berulang. Hipoglikemia disebabkan oleh kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan dan atau produksi glukosa kurang.

Hipoglikemia adalah kadar glukosa plasma yang kurang dari 45 mg/dl pada bayi atau anak-anak, dengan atau tanpa gejala, hipoglikemia neurofisiologik pada kadar 50 70 mg/dL, definisi hipoglikemia berat bila kadar kurang dari 40 mg/dL, dan terapi berhasil bila kadar glukosa lebih dari 60 mg/dL. Untuk neonatus aterm berusia kurang dari 72 jam digunakan batas kadar glukosa plasma 35 mg/dl. Sedangkan untuk neonatus prematur dan KMK (Kecil Masa Kehamilan) yang berusia kurang dari 1 minggu disebut hipoglikemia bila kadar glukosa plasma kurang dari 25 mg/dl (3). Hipoglikemia adalah kadar glukosa serum