Referat Toxoplasmosis Okuler.doc
-
Upload
ario-wahyu-pamungkas -
Category
Documents
-
view
104 -
download
4
description
Transcript of Referat Toxoplasmosis Okuler.doc
Referat
TOXOPLASMOSIS OKULER
Pembimbing :
Dr. Muhammad Edrial, Sp.M
Penyusun:
Ario Wahyu Pamungkas
030.08.041
Kepaniteraan Klinik Mata
Rumah Sakit Otorita Batam
Periode 10 juni 2013 – 13 juli 2013
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta
1
BAB I
PENDAHULUAN
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan adanya infeksi
oleh parasit Toxoplasma gondii. Parasit Toxoplasma gondii merupakan
golongan protozoa yang bersifat parasit obligat intraseluler.
Toksoplasmosis Okuler adalah kondisi medis yang ditandai dengan infeksi
parasit yaitu Toxoplasma gondii pada seseorang.
Diperkirakan 30-60% penduduk dunia terinfeksi oleh Toxoplasma
gondii. Menurut Rasmaliah (2003), infeksi ini tersebar di seluruh dunia,
dimana manusia berperan sebagai hospes perantara, kucing dan famili
Felidae. lainnya merupakan hospes definitif. Angka kejadian
toksoplasmosis di Indonesia ditunjukkan dengan adanya zat anti T. gondii,
pada manusia adalah 2-63%, pada kucing 35-73%, babi 11-36%, kambing
11-61%, anjing 75% dan pada ternak lain kurang dari 10% (Gandahusada,
2003). Menurut Ma’ruf dan Soemantri (2003), angka kejadian infeksi
toksoplasmosis di Sumatera Utara mencapai 69,86%. Infeksi penyakit ini
mempunyai prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada masyarakat
yang mempunyai kebiasaan makan daging mentah atau kurang matang.
Di Indonesia faktor-faktor tersebut disertai dengan keadaan sanitasi
lingkungan dan banyaknya sumber penularan terutama kucing dan famili
Felidae.
Dalam referat ini akan dijabarkan tentang infeksi parasit Toxoplasma
gondii yang merupakan infeksi pada sistemik dan infeksi pada mata
secara khusus (toksoplasmosis okuler).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Toksoplasmosis okuler merupakan infeksi parasit Toxoplasma gondii yang
menginvasi mata penderita. Infeksi ini dikenal dengan nama
Toksoplasmosis retino koroiditis yang merupakan bagian dari uveitis
posterior. 1,2
Uvea merupakan lapis vaskular mata yang terdiri dari iris, korpus siliaris
dan koroid. Uveitis ialah peradangan (inflamasi) pada uvea.
Uveitis atau peradangan uvea secara anatomi terbagi atas:
Uveitis anterior
o Iritis
Merupakan bentuk uveitis yang paling umum. Mempengaruhi
kinerja iris dan seringkali dihubungkan dengan kelainan-
kelainan autoimun seperti rheumatoid arthritis. Iritis mungkin
berkembang tiba-tiba dan mungkin berlangsung sampai 8
minggu, bahkan dengan perawatan.
o Iridoksiklitis
Inflamasi pada iridosiklitis terjadi pad iris dan pars plicata.
o Siklitis Anterior
Uveitis intermedia
o Siklitis posterior
o Hialitis
o Koroiditis
Peradangan pada lapisan di bawah retina. Kemungkinan juga
disebabkan oleh suatu infeksi seperti tubrkolosis.
o Korioretinitis
3
o Pars Planitis
Uveitis posterior
o Koroiditis Fokal, multifocal, atau difus
o Korioretinitis
o Retinokoroiditis
o Retinitis
Infeksi terjadi pada retina. Mempengaruhi belakang mata.
Perkembangan secara cepat sehingga mempersulit
perawatan. Biasanya disebabkan oleh virus shingles atau
herpes dan infeksi bakteri seperti syphilis atau toxoplasmosis.
o Neuroretinitis
Panuveitis
Infeksi pada panuveitis terjadi pada seluruh bagian uvea. 1,3
Uveitis anterior
Uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi pembuluh darah yang
akan menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal atau pericorneal
vascular injection).
Peningkatan permeabilitas ini akan menyebabkan eksudasi ke dalam
akuos humor, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi protein dalam akuos
humor. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai akuos
flare atau sel, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndal).
Kedua gejala tersebut menunjukkan proses keradangan akut.
Pada proses keradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-
sel radang di dalam BMD yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke
dalam BMD, dikenal dengan hifema.
Apabila proses radang berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-
sel radang dapat melekat pada endotel kornea, disebut sebagai keratic
precipitate (KP). Ada dua jenis keratic precipitate, yaitu :
mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen yang
difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.
4
punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat
pada jenis non granulomatosa.
Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses keradangan akan
berjalan terus dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan
fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian
anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang
disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil,
yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang,
disebut oklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan
tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran aquos
humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga aquos humor
tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang
tampak sebagai iris bombans. Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin
meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder.
Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa, yang
menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata. Apabila
keradangan menyebar luas, dapat timbul endoftalmitis (peradangan supuratif
berat dalam rongga mata dan struktur di dalamnya dengan abses di dalam
badan kaca) ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk
sklera dan kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera
ditangani, dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada mata sebelahnya yang
semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior yang terjadi
akibat trauma tembus, terutama yang mengenai badan silier.
Uveitis posterior
Uveitis posterior adalah proses peradangan pada segmen posterior uvea,
yaitu pada koroid, dan disebut juga koroiditis.3) Karena dekatnya koroid pada
retina, maka penyakit koroid hampir selalu melibatkan retina ( korioretinitis ).2)
Uveitis posterior biasanya lebih serius dibandingkan uveitis anterior.6)
Peradangan di uvea posterior dapat menyebabkan gejala akut tapi
biasanya berkembang menjadi kronik. Kedua fase tersebut ( akut dan kronik )
5
dapat menyebabkan pembuluh darah diretina saling tumpang tindih dengan
proses peradangan di uvea posterior.
Penyebab utama uvea posterior tidak berpengaruh pada faktor eksternal
dari uvea bagian posterior. Dengan pemeriksaan oftalmoskopi standar dan
lamanya peradangan penyakit secara lengkap dengan perubahan pada koroid
sudah dapat dilihat kelainan. Terjadinya perubahan elevasi yang memberi warna
kuning atau abu – abu yang dapat menutup koroid sehingga pada pemeriksaan
koroid tidak jelas.
Perdarahan diretina akan menutup semua area, pada beberapa kasus
terdapat lesi yang kecil disertai kelainan pada koroid tapi setelah beberapa
minggu atau bulan akan ditemukan infiltrat dan edema hilang sehingga
menyebabkan koroid dan retina atrofi dan saling melekat. Daerah yang atrofi
akan memberikan kelainan bermacam – macam dalam bentuk dan ukuran.
Perubahan ini akan menyebabkan perubahan warna koroid menjadi putih,
kadang pembuluh darah koroid akan tampak disertai karakteristik dari deposit
irregular yang banyak atau berkurangnya pigmen hitam terutama pada daerah
marginal.
Lesi bisa juga ditemukan pada eksudat selular yang berkurang di koroid
dan retina. Inflamasi korioretinitis selalu ditandai dengan penglihatan kabur
disertai dengan melihat lalat berterbangan ( floaters). Penurunan tajam
penglihatan dapat dimulai dari ringan sampai berat yaitu apabila koroiditis
mengenai daerah makula atau papilomakula.
Kerusakan bisa terjadi perlahan – lahan atau cepat pada humor vitreus
yang dapat dilihat jelas dengan fundus yang mengalami obstruksi. Pada
korioretinitis yang lama biasanya disertai floaters dengan penurunan jumlah
produksi air mata pada trabekula anterior yang dapat ditentukan dengan
pemeriksaan fenomena Tyndall. Penyebab floaters adalah terdapatnya substansi
di posterior kornea dan agregasi dari presipitat mutton fat pada kornea bagian
dalam. Mata merah merupakan gejala awal sebelum menjadi kuning atau putih
yang disertai penglihatan kabur, bila terdapat kondisi ini biasanya sudah
didapatkan atropi pada koroid, sering kali uveitis posterior tidak disadari oleh
penderita sampai penglihatannya kabur.
Gejala khas dari uveitis posterior adalah tajam penglihatan yang menurun,
floating spot dan skotoma. Karena terdapat banyak kelainan pada badan vitreus
6
sel yang disebabkan fokal atau multifokal retina dan koroid gambaran klinis bisa
juga secara bersamaan. Diagnosis banding tergantung dari lama dan penyebab
infeksi atau bukan infeksi. Infeksi bisa disebabkan oleh virus, bakteri, jamur,
protozoa, dan cacing non infeksi, bisa juga disebabkan oleh penurunan
imunologik atau alergi organ, bisa juga penyebabnya tidak diketahui setelah
timbul endoftalmitis dan neoplasma.
Uveitis secara etiologi terbagi atas eksogen dan endogen.
Uveitis eksogen
Uveitis terjadi karena trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain
dari luar tubuh, karena trauma, operasi intraokuler, ataupun
iatrogenik.
Uveitis endogen
o Uveitis terjadi karena mikroorganisme atau agen lain dari
dalam tubuh
Berhubungan dengan penyakit sistemik, contoh:
ankylosing spondylitis
Infeksi
yaitu infeksi bakteri (tuberkulosis), jamur (kandidiasis),
virus (herpes zoster), protozoa (toksoplasmosis), atau
roundworm toksokariasis)
o Uveitis spesifik idiopatik
yaitu uveitis yang tidak berhubungan dengan penyakit
sistemik, tetapi memiliki karakteristik khusus yang
membedakannya dari bentuk lain (sindrom uveitis Fuch)
o Uveitis non-spesifik idiopatik
yaitu uveitis yang tidak termasuk ke dalam kelompok di atas. 1,3
7
Uveitis secara patologis terbagi atas uveitis non-granulomatosa dan
granulomatosa.
Uveitis non-granulomatosa
o Infiltrasi dominan limfosit pada koroid.
o Umumnya tidak ditemukan organism pathogen dan berespon
baik terhadap terapi kortikosteroid sehingga diduga
peradangan ini merupakan fenomena hipersensitivitas.
Uveitis granulomatosa
o Koroid dominan sel epiteloid dan sel-sel raksasa multinukleus.
o Umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh
organism penyebab. 1,3
Uveitis secara klinis terbagi atas akut, rekuren dan kronis
a) Uveitis akut
Karakteristik Episodenya: onset simptomatik yang tiba-tiba, durasi
≤3 bulan.
b) Uveitis rekuren
Episodenya berulang, dengan periode inaktivasi tanpa terapi ≥ 3
bulan.
c) Uveitis kronis
Uveitis berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun,seringkali
onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik, dengan relaps < 3 bulan
setelah terapi deihentikan. 1,3
Faktor Risiko terjadinya uveitis diantaranya:
a. Toksoplasmosis pada hewan peliharaan
b. Riwayat penyakit autoimun
c. Perokok
Berdasarkan penelitian dari University California San Francisco
menyatakan bahwa di dalam rokok ditemukan senyawa-senyawa
tertentu yang ditemukan dalam bagian air yang larut dalam asap
8
rokok meliputi oksigen radikal bebas, yang dapat menyebabkan
peradangan pembuluh darah. Mengingan bahwa uveitis adalah hasil
dari kekebalan disregulasi, maka masuk akal bahwa rokok dapat
berkontribusi pada patogenesis uveitis.
Koroiditis adalah peradangan lapisan koroid bola mata yang ada dalam
beberapa macam bentuk atau jenis, diantaranya:
a. Koroiditis anterior yang merupakan radang koroid perifer.
b. Koroiditis areolar merupakan oroiditis yang bermula di daerah makula
lutea dan menyebar ke perifer.
c. Koroiditis difusa yang disebut juga sebagai koroiditis diseminata
ditandai dengan adanya bercak peradangan koroid yang tersebar di
seluruh fundus okuli.
d. Koroiditis eksudatif merupakan koroiditis yang disertai dengan bercak-
bercak eksudatif.
e. Koroiditis juksta papil. 1
Toksoplasma retino koroiditis (Toksoplasmosis Okuler)
Toksoplasmosis Okuler adalah kondisi medis yang ditandai dengan infeksi
parasit yaitu Toxoplasma gondii pada seseorang. Toksoplasmosis Okuler
adalah salah satu penyebab paling sering dari terjadinya uveitis posterior,
yang merupakan peradangan pada bagian belakang bola mata.
Seringnya, seseorang tidak menyadari bahwa bahwa mereka terkena
Toksoplasmosis Okuler karena gejalanya tidak spesifik, seperti gejala flu
biasa. Pada orang sehat, kondisi ini dapat disembuhkan. Akan tetapi, pada
ibu hamil yang sistem kekebalan tubuhnya melemah, Toksoplasmosis
Okuler dapat menyebabkan komplikasi, yang dapat berakibat cacat lahir
kongenital atau bahkan komplikasi yang mengancam jiwa. Secara umum,
terdapat dua tipe dari penyakit ini yang mengenai mata, Toksoplasmosis
Okuler kongenital dan didapat. Toksoplasmosis Okuler kongenital
merupakan tipe Toksoplasmosis Okuler yang paling sering dan biasanya
disebabkan karena infeksi pada ibu sewaktu hamil. Tergantung dari
trimester kehamilan, hal ini dapat menyebabkan efek sistemik yang
9
banyak pada bayi baru lahir, seperti jaringan parut pada retina kedua bola
mata. Di sisi lain, Toksoplasmosis Okuler didapat disebabkan karena
paparan kucing yang terinfeksi, menelan daging mentah yang
terkontaminasi atau transfusi darah. Hal ini sering terlihat pada
pemeriksaan mata rutin sebagai jaringan parut pada retina mata yang
terkena. Individu yang terkena direkomendasikan untuk segera mencari
nasihat dan penanganan medis.
Toxoplasma jarang sekali meninvasi korpus vitreum karena sifatnya yang
merupakan parasit intraseluler. Retina merupakan bagian yang paling
sering terinfeksi dan mengalami kerusakan terparah. Pengetahuan
mengenai sifat organisme maupun siklus hidupnya dapat membantu
menjelaskan perjalanan penyakit dan memudahkan seorang dokter untuk
menegakkan diagnosis. 1
Etiologi: Toxoplasma Gondii
Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada monosit dan sel-sel
endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma berbentuk bulat atau
oval yang ditemukan dalam jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti
pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, paru-paru, otak, ginjal, otot,
jantung dan otot lainnya. Toxoplasma gondii pada tahun 1908 ertama kali
ditemukan pada binatang mengerat yaitu Ctenodactylus gundi di
laboratorium di Tunisia dan pada seekor kelinci di Brazil oeh Nicole dan
Splendore. Pada tahun 1937 ditemukan pada neonatus dengan ensefalitis.
Pada tahun 1970 baru diketemukan daur hidup dari parasit ini setelah
diketahui fase seksualnya ada pada kucing. 2
Hospes definitif dari Toxoplasma gondii adalah kucing dan binatang
sejenisnya dalam famili Felidae. Hospes perantaranya adalah manusia,
mamalia dan burung. Parasit ini dapat menyebabkan toksoplasmosis
kongenital dan toksoplasmosis akuisita.
Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista,
dan ookista. Trofozoit yang membelah secara aktif disebut dengan
takizoit. Takizoid ditemukan pada saat infeksi akut dan dapat memasuki
10
setiap sel yang berinti. Takizoit berukuran 4-8 mikron, berinti dan
berbentuk sabit dengan satu ujung runcing dan ujung lainnya membulat.
Pada manusia, takizoit adalah parassit intraseluar obligat. Takizoit
berkembang biak dalam sel secara endiogeni dan ketika sel penuh
dengan takizoit sel akan pecah dan takizoit memasuki sel disekitar sel
yang pecah tersebut atau difagositosis oleh makrofag. Kista jaringan
dibentuk dalam sel hispes bila takizoit membelah dan membentuk
dinding. Ukuran kista berbeda-beda, dari yang kecil dan hanya
mengandung beberapa organisme hingga berukuran 200 mikron yang
berisi 3000 organisme. Kista jaringan dapat itemukan dalm hospes
seumur hidup terutama di otak, otot jantung dan otot lurik. Di otak kista
berbetuk bulat sedang di otot bentuknya mengikuti otot. Ookista
terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan
feces kucing. Ookista menghasilkan 2 sporokista yang masing-masing
mengandung 4 sporozoit. 2
Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni dan
siklus atau gametogeni dan sporogoni yang menghasilkan ookista dan
dikeluarkan bersama feces kucing. Kucing yang mengandung toxoplasma
gondii dalam sekali exkresi akan mengeluarkan jutaan ookista. Bila
ookista ini tertelan oleh hospes perantara seperti manusia, sapi, kambing
atau kucing maka pada berbagai jaringan hospes perantara akan dibentuk
kelompok-kelompok trofozoit yang membelah secara aktif. 2
Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk
stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makan tikus yang mengandung
kista maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus kucing
tersebut. Toxoplasmosis gondii yang tertelan melalui makanan akan
menembus epitel usus dan difagositosis oleh makrofag atau masuk ke
dalam limfosit akibatnya terjadi penyebaran limfogen. Toxoplasmosis
gondii akan menyerang seluruh sel berinti, membelah diri dan
menimbulkan lisis, sel tersebut destruksi akan berhenti bila tubuh telah
membentuk antibodi. 2
Jenis infeksi Toxoplasma gondii
11
a) Toksoplasmosis akuisita
Infeksi pada orang dewasa biasanya tidak diketahui karena jarang
menimbilkan gejala. Apabila seorang ibu hamil dengan infeksi
primer, maka anak yang dilahirkannya akan menderita
toksoplasmosis kongenital. Manifestasi klinis yang paling sering
ditemukan pada toksoplasmosis akuisita akut adalah limfadenopati
baik servikal, supraklavikular, axial, ingunal maupun oksipital. Selain
itu pasien mengeluh adanya rasa lelah, demam, neyri otot dab sakit
kepala. Gejala-gejala awal ini mirip dengan mononukleosis
infeksiosa. Terkadang dapat ditemukan adanya eksantem.
Retinokoroiditis pada masa pubertas dan dewasa diduga sebagai
kelanjutan dari infeksi kongenital yang merupakan reaktivasi dari
infeksi laten. Toksoplasma juga menyebabkan infeksi oportunistik
yang disebabkan imunosupresif yang berhubungan dengan
transplantasi organ dan pengobatan keganasan. Enchepalitis pada
pasien dengan AIDS dan toksoplasma terjadi apabila CD4 kurang
dari 100 sel/mm3. Selain itu pada pasien AIDS dan toksoplasma,
dapat timbul korioretinitis dan toksoplasmosis paru yang
bermanifestasi sebagai pneumonia, konsolidasi dan efusi pleura. 2,3
b) Toksoplasmosis kongenital
Gambaran toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-macam
seperti prematuritas, retardasi pertumbuhan intrauterin, post-
maturitas, retinokoroiditis, strabismus, kebutaan, retatrdasi
psikomotorik, mirosefalus atau hidrosefalus, kejang, hipotonus,
ikterus, anemia dan hepatosplenomegali. Namun pada infeksi
toksoplasmosis, semakin muda usia janin, saat terjadinya infeksi,
semakin kecil presentasi janin tersebut terinfeksi. 2,3
Manifestasi Klinis
Infeksi Toxoplasma gondii secara umum ditandai dengan gejala sistemik
seperti demam, malaise, nyeri sendi, pembengkakan kelenjar getah
bening (toxoplasmosis limfonodosa acuta). Gejala mirip dengan
mononukleosis infeksiosa. 2
12
Pada infeksi akut Toxoplasma gondii di retina ditemukan peradangan
fokal dengan edema dan infiltrasi leukosit yang dapat menyebabkan
kerusakan total pada proses penyembuhan menjadi parut atau sikatriks
dengan atrofi dari retina dan koroid disertai dengan pigmentasi.1
Gambaran klinik toksoplasmosis okuler antara lain :
Gejala subyektif berupa :
1. Penurunan tajam penglihatan.
a. Lesi retinitis atau retinokoroiditis di daerah sentral retina yang
disebut makula atau daerah antara makula dan N. optikus
yang disebut papilomuskular/bundle.
b. Terkenanya nervus optikus.
c. Kekeruhan vitreus yang tebal. Edema retina
2. Biasa tidak ditemukan rasa sakit, kecuali bila sudah timbul gejala
lain yang menyertai yaitu iridosiklitis atau uveitis anterior yang juga
disertai rasa silau. Pada keadaan ini ,mata menjadi merah.
3. “Floaters” atau melihat bayangan-bayangan yang bergerak-gerak
oleh adanya sel-sel dalam korpus vitreus.
4. Fotopsia, melihat kilatan-kilatan cahaya yang menunjukkan adanya
tarikan-tarikan terhadap retina oleh vitreus.
Gejala obyektif berupa :
1. Mata tampak tenang. Pada anak-anak sering ditemukannya
strabismus. Ini terjadi bila lesi toksoplasmosis kongenital terletak di
daerah makula yang diperlukan untuk penglihatan tajam dan dalam
keadaan normal berkembang sejak lahir sampai usia 6 tahun. Akibat
adanya lesi, mata tidak dapat berfiksasi sehingga kedudukan bola
mata ini berubah ke arah luar.
2. Pada pemeriksaan oftalmoskop tampak gambaran sebagai berikut :
a. Retinitis atau retinikoroiditis yang nekrotik. Lesi berupa fokus
putih kekuningan yang soliter atau multipel, yang terletak
terutama di polus posterior, tetapi dapat juga di bagian perifer
retina.
13
b. Papilitis atau edema papil. Kelainan vitreus atau vitritis
Pada vitritis yang ringan akan tampak sel-sel. Sering
sekali vitritis begitu berat, sehingga visualisasi fundus
okuli terganggu.
c. Uveitis anterior atau iridosiklitis, dan skleritis
Gejala ini dapat mengikuti kelainan pada segmen
posterior mata yang mengalami serangan berulang
yang berat. 1,4,5
Patofisiologi
Setelah invasi di usus, parasit memasuki sel berinti atau difagositosis atau
berkembangbiak di dalam sel. Perkembangbiakan dalam sel
menyebabkan pecahnya sel dan parasit dapat menginvasi dan menyerang
sel-sel lain. Dengan adanya parasit dalam makrofag dan limfosit, maka
penyebaran parasit toksoplasma terjadi secara limfogen dan hematogen
ke seluruh tubuh. Parasitemia dapat terjadi selama beberapa minggu.
Semua sel dalam tubuh hospes dapat diinfeksi oleh parasit toksoplasma
namun tidak dengan sel darah merah yang tidak berinti. 2
Kista jaringan terbentuk apabila sudah ada kekebalan dan dapat
ditemukan di berbagai organ dan jaringan. Kerusaan pada jaringan tubuh
bergantung pada usia dimana usia bayi kerusakan yang didapatkan lebih
berat dibandingkan orang dewasa, virulensi, jumlah parasit dan organ
yang diserang.
Diagnosis
Menegakkan diagnosis tokoplasmosis sulit dilakukan karena gejala
klinisnya yang tidak selalu jelas, dan bahkan banyak yang tidak
menimbulkan gejala. Beberapa metode pemeriksaan telah dikembangkan
untuk mendiagnosa toksoplasmosis tetapi hasilnya masih kurang
memuaskan disamping biayanya masih sangat mahal. Sampai saat ini
penyaringan serum toksoplasmosis prenatal masih belum dapat dilakukan
karena kesulitan teknik dalam menginterpretasikan hasilnya. 2
14
Salah satu cara menegakkan diagnosis toksoplasmosis adalah dengan
cara isolasi parasit yang diambil dari darah, cairan serebrospinal atau
biopsi yang kemudian diinokulasikan ke dalam peritoneum tikus, hamster
atau kelinci yang bebas dari infeksi toksoplasma. Diagnosis prenatal
dapat dilakukan dengan Chorionic Villus Sampling ( CVS ), kordosintesis,
amniosintesis yang kemudian dari hasil sampling tersebut dilakukan
inokulasi pada peritoneum tikus mencit untuk menemukan toksoplasma.
Metode isolasi ini sekarang sudah jarang dilakukan karena membutuhkan
waktu yang lama dan kebanyakan laboratorium rumah-sakit tidak
mempunyai fasilitas untuk melakukan pemeriksaan tersebut.
Pada pemeriksaan secara makroskopis, plasenta yang terinfeksi biasanya
membesar dan memperlihatkan lesi yang mirip dengan gambaran khas
dari eritroblastosis fetalis. Villi akan membesar, oedematus dan sering
immatur pada umur kehamilan. Secara histopatologis yang ditemukan
tergantung pada stadium parasit dan respon imun dari penderita.
Gambaran yang ditemukan dapat berupa gambaran normal sampai pada
gambaran hiperplasia folikel, dimana ditemukan peningkatan limfoblas
retikuler ( sel imunoblas besar ), sering didapatkan normoblas pada
pembuluh darah, infiltrat sel radang subakut yang bersifat fokal maupun
difus, small clumps histiosit yang dapat ditemukan pada daerah tepi dari
sel-sel yang terinfeksi, menunjukkan gambaran agregasi, gambaran folikel
yang khas yang berhubungan dengan kenaikan titer serologi. Pada
beberapa kasus dapat ditemukan gambaran proliferatif dan nekrotik dari
peradangan villi. Kadang-kadang peradangan villi ditemukan dengan
adanya limfosit, sel plasma, dan fibrosis.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran organisme dalam
sel. Organisme sulit ditemukan pada plasenta, tetapi bila ditemukan
biasanya terdapat dalam bentuk kista di korion atau jaringan subkorion.
Identifikasi sering sulit, sebab sinsitium yang mengalami degenerasi
sering mirip dengan kista.
15
Pada neonatus dapat ditemukan gambaran seperti pada hepatitis, berupa
gambaran nekrosis sel hati, Giants cell, hematopoesis ekstranoduler,
nekrosis adrenal. Pada susunan syaraf pusat dapat ditemukan nodul
mikroglial dengan takizoit, ulkus ependymal, radang soliter akuaduktus
dan atau ventrikel.
Pemeriksaan serologi saat ini merupakan metode yang sering digunakan.
Meskipun demikian pemeriksaan serologi untuk toksoplasma cenderung
mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Beberapa metode
pemeriksaan yang pernah dilakukan antara lain Sabin-Feldman dye test,
indirect fluorescent assays (IFA), indirect hemagglutination assays (IHA),
dan complement fixation test (CFT). Cara pemeriksaan yang baru dan saat
ini sering digunakan adalah dengan enzyme-linnked immunosorbent
assay (ELISA). Kebanyakan laboratorium saat ini sudah tidak
menggunakan Sabin-Feldman dye test. Pemeriksaan – pemeriksaan yang
sering digunakan adalah dengan mengukur jumlah IgG , IgM atau
keduanya. Ig M dapat terdeteksi lebih kurang 1 minggu setelah infeksi
akut dan menetap selama beberapa minggu atau bulan. IgG biasanya
tidak muncul sampai beberapa minggu setelah peningkatan IgM tetapi
dalam titer rendah dapat menetap sampai beberapa tahun. 2
Secara optimal, antibodi IgG terhadap toksoplasmosis dapat diperiksa
sebelum konsepsi, dimana adanya IgG yang spesifik untuk toksoplasma
memberikan petunjuk adanya perlindungan terhadap infeksi yang
lampau. Pada wanita hamil yang belum diketahui status serologinya,
adanya titer IgG toksoplasma yang tinggi sebaiknya diperiksa titer IgM
spesifik toksoplasma. Adanya IgM menunjukkan adanya infeksi yang baru
saja terjadi, terutama dalam keadaan titer yang tinggi. Tetapi harus
diingat bahwa IgM dapat terdeteksi selama lebih dari 4 bulan bila
menggunakan fluorescent antibody test , dan dapat lebih dari 8 bulan bila
menggunakan ELISA.
Diagnosis prenatal dari toksoplasmosis kongenital dapat juga dilakukan
dengan kordosintesis dan amniosintesis dengan tes serologi untuk IgG
16
dan IgM pada darah fetus. Adanya IgM menunjukkan adanya infeksi
karena IgM tidak dapat melewati barier plasenta sedangkan IgG dapat
berasal dari ibu. Meskipun demikian antibodi IgM spesifik mungkin tidak
dapat ditemukan karena kemungkinan terbentuknya antibodi dapat
terlambat pada janin dan bayi.Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan
IgG avidity untuk melihat kronisitas infeksi, dimana semakin tinggi kadar
afinitas semakin lama infeksi telah terjadi.
Pedoman yang dapat digunakan dalam menilai hasil serologi :
1. Infeksi primer akut dapat dicurigai bila
a. Terdapat serokonversi IgG atau peningkatan IgG 2-4 kali lipat
dengan interval 2-3 minggu.
b. Terdapatnya IgA dan IgM positif menunjukkan infeksi 1-3
minggu yang lalu.
c. IgG avidity yang rendah.
d. Hasil Sabin-Feldman / IFA > 300 IU/ml atau 1 : 1000. IgM-IFA 1
: 80 atau IgM-ELISA 2.600 IU/ml
2. IgG yang rendah dan stabil tanpa disertai IgM diperkirakan
merupakan infeksi lampau.
a. Ada 5 % penderita dengan IgM persisten yang bertahun-tahun
akan positif.
b. Satu kali pemeriksaan dengan IgG dan IgM positif tidak dapat
dipastikan sebagai infeksi akut dan harus dilakukan
pemeriksaan ulang atau pemeriksaan lain. 2
Komplikasi
Toksoplasmosis Okuler dapat menyebabkan komplikasi sebagai berikut:
Kehilangan penglihatan
Kerusakan otak
Menyebabkan kematian dini
Resiko yang lebih tinggi untuk tuli
Penatalaksanaan
17
Obat yang dipakai sampai saat ini hanya untuk memberantas stadium
takizoid dari parasit Toxoplasma gondii dan tidak dapat digunakan untu
stadium kista. Sehingga obat-obatan yang digunakan hanya untuk
mengatasi stadium awal atau akut dari infeksi parasit toksoplasma dan
tidak untuk stadium menahun atau kronis.
Beberapa macam obat yang digunakan adalah:
1. Pirimetamin dan Sulfonamid
Kedua obat ini bekerja secara sinergistik dan digunakan dalam
bentuk kombinasi. Pirimetamin menekan hemopoiesis dan
menyebabkan trombositopenia dan leukopenia. Sedangkan
sulfonamid menyebabkan terjadinya trombositopenia dan
hematuria. Untuk mencegah efek ini, diberikan asam folinat atau
ragi. Pirimetamin bersifat teratogenik sehingga dikontraindikasikan
dengan ibu hamil
2. Makrolid:
o Spiramisin
Merupakan makrolid yang tidak menembus plasenta.
Digunakan untuk ibu hamil dengan infeksi primer untuk
mencegah transmisi parasit kedalam tubuh janin. Bila janin
telah terinfeksi, diberikan kombinasi pirimetamin, sulfonamid
dan asam folinat setelah kehamilan mencapai minggu ke 12
atau 18.
o Klindamisin
Terbukti efektif untuk pengobatan toksoplasmosis, namun
efek samping kurang disukai. Yaitu kolitis
pseudomembranosa, kolitis ulserativa, sehingga tidak
dianjurkan untuk pengobatan bayi dan ibu hamil.
o Klaritromisin dan Azitromisin
Merupakan obat golongan makrolid lain yang dapat diberikan
pada pasien dengan infeksi parasit Toxoplasma gondii.
Diberikan pada pasien yang terinfeksi AIDS serta ensefalitis
toksoplasmik dan dikombinasi dengan pirimetamin.
18
3. Golongan Hidroksinaftokuinon
Atovakuone merupakan obat baru yang dikombinasikan dengan
sulfadiazin atau obat lain yang aktif terhadap Toxoplasma gondii,
dan dalam penelitian dapat membunuh stadium kista jaringan pada
mencit.
Untuk peradangan pada mata, dapat diberikan kortikosteroid untuk
mengurangi terjadinya inflamasi. Namun kortikosteroid tidak dapat
diberikan sebagai obat tunggal. 2
Pencegahan
Hindari kontak langsung dengan kucing liar karena mereka dapat
membawa parasit toxoplasma
Hindari memakan makanan mentah atau belum matang
Hindari meminum susu dan produk susu yang belum dipasteurisasi
Hindari paparan terhadap kotoran kucing
Mempraktekkan kebersihan pribadi yang baik. 2
Prognosis
Toksoplasmosis akut biasanya tidak fatal. Gejala klinis dapat dihilangkan
dengan pengobatan yang adekuat. Namun bila parasit menginvasi
jaringan dalam fase kista jaringan, maka parasit tidak dapat dibasmi dan
dapat menyebabkan eksaserbasi akut. Toksoplasmosis kongenital pada
neonatal, bila toksoplasmosis berat biasanya meninggal. Bila tidak, akan
tetap hidup dengan infeksi menahun dan gejala sisa yang sewaktu-waktu
dapat mengalami eksaserbasi akut. Pengobatan spesifik hanya untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut dan bukan untuk menghilangkan gejala
sisa. Ibu dengan toksoplasmosis dan telah melahirkan anak dengan
toksoplasmosis kongenital, untuk selanjutnya akan melahrikan anak yang
normal karena sudah memiliki zat anti. 2
19
Daftar Pustaka
1. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010.
2. Sutanto I, Ismid IS, Sjariffudin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitologi
kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
3. Zierhut M,Deuter C,Murray PI. Clasiffication of uveitis – current
guidelines. 2007. Diunduh dari:
http://www.touchophthalmology.com/system/files/private/articles/367/
pdf/zierhut.pdf.
4. Kadarisman, Rumita S. Gambaran klinik toksoplasmosis kongenital.
Dalam: Kumpulan makalah simposium toksoplasmosis. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 1990.
5. Morosidi SA, Paliyama MF. Ilmu penyakit mata. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Ukrida; 2011.
20