BAB II TINJAUAN PUSTAKA€¦ · TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ciri dan Klasifikasi Toxoplasma gondii...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA€¦ · TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ciri dan Klasifikasi Toxoplasma gondii...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ciri dan Klasifikasi Toxoplasma gondii
Toxoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang merupakan protozoa
intraseluler yang tergolong Apicomplexa sama seperti Plasmodium penyebab
malaria (Kavitha, 2012). Toxoplasma gondii merupakan parasit obligat
intraselular yang pertama kali ditemukan oleh Nicolle dan Manceaux pada tahun
1908. Parasit ini diisolasi dari sejenis tikus di Afrika Utara yaitu Ctenodactylus
gondi, sehingga diberi nama Toxoplasma gondii (Black dan Boothroyd, 2000).
Berdasarkan karakteristik polimorphismenya serta tingkat virulensinya di
laboratorium, Toxoplasma gondii dikelompokkan menjadi 3 strain. Perbedaan
yang dijumpai pada ketiga kelompok ini sekitar 1- 2% (Su, 2003; Saeij, 2005).
Tipe I T.gondii atau isolat RH sangat virulen pada tikus yang ditandai dengan
LD100 kurang dari 10 parasit sedangkan tipe II atau isolat NTE dan III virulensi
lebih rendah dengan LD100 lebih dari 1000 parasit (Kim dan Weiss, 2004; Han,
2012).
Toxoplasma gondii terdapat dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk
proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit) (Kasper,
2010). Takizoit memperbanyak diri secara cepat pada berbagai macam sel di
tubuh hospes antara dan sel epitelial intestinal dari hospes definitif. Takizoit
ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh. Bradizoit adalah
9
bentuk dari T. gondii yang memperbanyak diri secara lambat dalam kista
jaringan. Kista jaringan dapat ditemukan pada berbagai organ viseral misalnya
paru-paru, hepar, ginjal, namun lebih sering dijumpai pada jaringan saraf dan
otot misalnya otak, mata, otot skeletal dan myokardium. Kista jaringan utuh
umumnya tidak membahayakan dan dapat bertahan selamanya dalam tubuh
hospes tanpa menimbulkan respon inflamasi (Kasper, 2010; Schwartzman, 2006,
Dubey, 1998). Ookista yang terdapat dalam tinja kucing merupakan bentuk tidak
bersporulasi berbentuk spheris dan subspheris berukuran 10x12 µm, berisi dua
sporokista yang masing-masing mengandung empat sporozoit. Ookista
mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas
(Montoya, 2010).
Takizoit terdiri dari berbagai organela dan inclusion bodies yaitu pellicle
(lapisan luar), apical ring, polar ring, conoid, rhoptries, micronemes, micropore,
mitochondria, subpellicular micrutubulus, RE kasar dan halus, golgi complex,
ribosom, inti, granula padat, granula amylopectin apicoplast (multiple-
membrane-bound-plastid-like organela). Club-shaped organela yang disebut
rhoptries sebanyak 8-10 buah terdapat diantara inti dan anterior tip. Rhoptries
merupakan struktur ekskretori berbentuk kantung. Micronemes struktur
berbentuk batang yang terbentuk terutama pada ujung depan dari parasit. Fungsi
dari micronemes, rhoptries berkaitan dengan penetrasi ke dalam sel host dan
menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan
parasit. Rhoptries mempunyai fungsi sekresi yang berkaitan dengan penetrasi sel
host, mensekresikan enzim proteolitik (Ajioka, 2001).
10
Gambar 2. 1. Takizoit Toxoplasma gondii (Ajioka,2001)
Toxoplasma gondii memiliki klasifikasi menurut International Code of
Zoological Nomenclature sebagai berikut:
Kingdom : Protista
Subkingdom : Protozoa
Phylum : Apicomplexa
Class : Sporozoasida
Order : Eucoccidiorida
Suborder : Eimeriorina
Family : Sarcocystidae
Subfamily : Toxoplasmatidae
Genus : Toxoplasma
Spesies : Toxoplasma gondii (Lavine 2008)
11
2.1.1. Strain dan Genom T. gondii
Sebagian besar strain T. gondii yang digunakan di laboratorium diisolasi dari
manusia dan hewan dengan Toxoplasmia encephalitis (TE). Strain tersebut terbagi
dalam 3 kelompok klon: tipe I, II dan III. Infeksi dengan dosis yang sangat
rendah strain tipe I hyper-virulent dapat menyebabkan pertumbuhan parasit
melimpah, produksi berlebihan sitokin pro-inflamasi sistemik dan kematian tikus
C57BL/6 mice, tipe II dan III dapat menyebabkan infeksi non letal dan
menyebabkan infeksi kronik yang laten pada otak dan otot (Han, 2012).
Toxoplasma gondii terdiri dari tiga genom yaitu: 87Mb genom inti, 6 kb
genom mitokondria dan 35 kb genom apikoplas. Toxoplasma gondii mempunyai
11 kromosom. Berdasarkan analisa genetik dari polimorfisme nukleotida,
T. gondii dikelompokkan menjadi 3 klon garis keturunan yang mempunyai
perbedaan fenotip. Masing-masing strain T. gondii memiliki kemampuan yang
berbeda dalam menyebabkan infeksi kronis (Ajioka, 2001).
Protein GRA merupakan kopi gen tunggal dan tidak memiliki intron
(kecuali GRA-2 memiliki 1 intron). Susunan motif heptanukleotida pada gen
GRA bervariasi baik dalam jumlah, posisi dan orientasi. GRA-1 memiliki
6 repeats sequence pada kedua arah dan inverted orientation yang dipisahkan
jarak berkisar 27 bp sampai 98 bp (Ajioka, 2001).
2.1.2. Siklus Hidup T. gondii
Siklus hidup T. gondii terbagi menjadi dua yaitu siklus hidup seksual
yang terjadi pada kucing dan hewan sebangsanya (feline) dan siklus hidup
12
aseksual yang terjadi pada beragam organisme selain kucing (Kasper, 2010;
Schwartzman 2006). Kucing merupakan hospes definitif karena dalam sel
epithelium usus halus kucing terjadi perkembangan stadium seksual maupun
aseksual (merogoni, gametogoni, dan sporogoni) (Farthing, 2003).
Siklus hidup seksual dimulai dari ookista maupun kista jaringan yang
menginvasi sel mukosa usus kecil kucing sehingga terbentuk schizont yang
kemudian berkembang menjadi gametosit. Setelah terjadi fusi antar gamet jantan
dan betina maka terbentuklah ookista yang kemudian keluar dari sel hospes
menuju ke lumen usus kucing dan dikeluarkan melalui feses kucing. Ookista
T. gondii ini infeksius bagi manusia dan resisten baik terhadap kekeringan dan
panas (Montoya, 2008; Schwartzman, 2001). Masing-masing ookista mengandung
2 sporokista dan setelah 48 jam akan terbentuk 4 sporozoit dari masing-masing
sporokista. Ookista dengan 8 sporozoit didalamnya jika tertelan kucing akan
mengulangi siklus hidup seksual dalam tubuh kucing (Kasper, 2008).
13
Gambar 2.2 Daur hidup Toxoplasma gondii (Hunter dan Sibley, 2012)
Ookista atau kista jaringan jika tertelan hospes intermediate seperti:
tikus, kambing, babi, burung dan juga manusia dapat terjadi siklus hidup aseksual.
Ookista terbuka dan mengeluarkan 8 sporozoitnya di dalam duodenum manusia
atau hewan, kemudian menembus dinding usus dan mengikuti sirkulasi darah dan
menginvasi berbagai sel terutama makrofag. Dalam makrofag, T. gondii
membentuk takizoit (Kasper, 2010; Montoya, 2008; Schwartzman, 2006).
Kemudian takizoit ini berubah menjadi bradizoit yang memperbanyak diri lebih
14
lambat untuk membentuk kista jaringan yang menyebabkan stadium kronis
penyakit (Kasper, 2008).
Tertelannya ookista yang telah bersporulasi akan mengakibatkan
terjadinya ekskistasi yang menyebabkan keluarnya sporozoit. Sporozoit kemudian
menginfeksi sel epitel usus dari inang dan berubah menjadi takizoit untuk
mengawali perkembangan siklus seksual dan aseksual. Sporozoit yang
menginfeksi sel-sel berinti akan berkembang menjadi takizoit dalam kurun waktu
24 jam setelah infeksi. Selanjutnya takizoit tersebut membelah diri secara
endodiogoni (endodyogony) (Black dan Boothroyd 2000; Morrissette dan Sibley
2002; Dzierszinski, 2004, Subekti, 2008).
2.2. Epidemiologi Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii merupakan parasit zoonosis yang penyebarannya
sangat luas, hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia baik pada manusia
maupun pada hewan (Ramsewak, 2008). Toxoplasma gondii diperkirakan telah
menginfeksi 4-77% manusia (Tenter, 2000). Sekitar 30% penduduk Amerika
Serikat mempunyai antibodi terhadap T. gondii dalam tubuhnya, yang
menunjukkan pernah terinfeksi pada suatu saat dalam masa hidupnya (Lavine,
2008).
Toxoplasma gondii diperkirakan menginfeksi 30-50% penduduk dunia
(Hartati, 2014). Prevalensi antibodi terhadap T. gondii pada manusia dan hewan di
negara-negara Asia Tenggara berkisar 2-75% (Sundar, 2007). Seroprevalensi ini
dijumpai lebih tinggi pada populasi yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
daging mentah atau setengah matang (Terazawa, 2003). Seroprevalensi
15
toxoplasmosis pada darah donor di Bali adalah 35,9%, sedangkan pada wanita
adalah 63,9% (Laksmi, 2013).
Pandemi HIV/ AIDS yang melanda penduduk dunia saat ini, menyebabkan
toxoplasmosis menjadi new emerging diseases karena dapat berakibat fatal dan
mematikan (Sukthana, 2000; Kasper, 2008; Nissapatorn, 2008). Penelitian
serologi menunjukkan 15-68% orang dewasa di USA terinfeksi Toxoplasma, dan
90% di Eropa. Sekitar 20-47% dari semua pasien yg terinfeksi HIV akan
mengalami ensefalitis di USA sedangkan di eropa dan Africa sekitar 25-50%.
Risiko kerusakan CNS dan morbiditas pada pasien HIV yang mengalami
toxoplasmosis sangat tinggi sehingga perlu deteksi dini infeksi Toxoplasma pada
pasien HIV (Mohraz, 2010).
Toxoplasmosis sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang
penting di seluruh dunia baik di negara maju maupun negara berkembang dan
juga menyebabkan kerugian finansial pada peternakan terutama domba dan babi
(Verhelst, 2014).
Besarnya proporsi orang dewasa sehat yang telah terinfeksi T.gondii di
masing-masing tempat bervariasi tergantung pada beberapa faktor antara lain:
umur, kebiasaan lokal, kondisi geografis. Pada manusia prevalensi zat anti T.
gondii di berbagai negara adalah: USA 5-30%, Amerika tengah, Perancis, Turki
Brazil seroprevalensi lebih tinggi daripada USA (Kasper, 2010)
Prevalensi zat anti T. gondii pada beberapa hewan di Indonesia adalah
sebagai berikut: kucing 35-73%, babi 11-36%, kambing 11-61%, anjing 75%
dan pada ternak lain kurang dari 10%. Prevalensi toxoplasmosis di Indonesia
16
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 Durfee menjumpai
prevalensi toxoplasmosis 51 % di Jawa Barat, 20 % di Jawa Tengah dan 31% di
Kalimantan Selatan. Prevalensi toxoplasmosis di Obano, Irian jaya sebesar 34,6
% (Gandahusada, 1991).
2.3. Cara Infeksi dan Gejala Klinis Toxoplasmosis
Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara. Penularan
toxoplasmosis umumnya terjadi melalui rute oral yaitu secara tidak sengaja
menelan ookista dari tanah yang terkontaminasi misalnya melalui sayur atau
buah-buahan yang tidak dicuci, sumber air minum yg terkontaminasi ookista, susu
yang tidak dipasteurisasi, tidak mencuci tangan setelah kegiatan berkebun. Selain
melalui ookista, manusia juga dapat terinfeksi melalui kista jaringan pada daging
yang tidak dimasak dengan baik (Dubey, 2014; Kasper, 2008).
Toxoplasma ditemukan dalam intermediate host dalam 2 bentuk yaitu:
bradizoit dan takizoit. Bradizoit merupakan bentuk dormant, pertumbuhan
lambat, dapat ditularkan, berupa kista. Pada saat manusia memakan daging
setengah matang berisi kista yang mengandung bradizoit, dinding kista akan
pecah di dalam lambung host dan bradizoit yang tahan terhadap peptidase
lambung dilepaskan dan menginvasi usus halus (Romero, 2012; Kasper, 2010).
Bradizoit akan mengalami transformasi menjadi takizoit, bentuk yang membelah
dengan cepat, menyebabkan penyakit karena dapat merusak semua sel berinti,
bereplikasi di dalam vakuola parasitophorus, menghancurkan sel (egress) dan
menginfeksi sel tetangga yang sehat (Romero, 2012).
17
Penularan toxoplasma dapat terjadi secara langsung melalui transfusi
darah atau transplantasi organ, karena takizoit maupun bradizoit dapat dikultur
dari darah yang diletakkan pada pendingin atau dibekukan, hal ini merupakan
sumber infeksi bagi individu yang mendapat transfusi darah. Infeksi toxoplasma
juga pernah dilaporkan terjadi pada penerima transplantasi ginjal dan jantung
yang sebelumnya tidak terinfeksi (Kasper, 2008). Toxoplasma gondii juga dapat
ditularkan secara transplasental dari ibu hamil kepada janin yang kandungnya
(Jones, 2003).
Manifestasi klinis dari toxoplasmosis dibagi menjadi 4 kategori yaitu
toxoplasmosis akut pada immunocompetent, toxoplasmosis kongenital, ocular
toxoplasmosis dan toxoplasmosis pada immunocompromised (Troyo 2003;
Schwartzman, 2001). Infeksi T. gondii pada individu yang sehat umumnya
asimptomatik, namun pada individu immunocompromised sering kali
menyebabkan encephalitis yang mengancam jiwa. Infeksi T. gondii pada
nonimmune hospes saat kehamilan dapat menyebabkan penularan kongenital
sehingga menimbulkan kelainan janin atau bayi baru lahir yang serius. Kejadian
infeksi kongenital T.gondii berkisar 0,1% kelahiran hidup (Ajioka, 2001).
Dampak infeksi kongenital terhadap janin tergantung pada stadium (trimester)
kehamilan pada saat infeksi akut terjadi. Akibat infeksi T. gondii selama
kehamilan berupa abortus spontan, kelainan neurologis misalnya kebutaan,
retardasi mental (Black dan Boothroyd, 2000).
Pada individu sehat, respon imun secara efisien akan mencegah
penyebaran takizoit yang menimbulkan kerusakan langsung, sedangkan pada
18
individu immunocompromised reaktivasi infeksi tidak terdeteksi sehingga
menyebabkan rekrudesensi yang berat dan fatal (Montoya, 2008). Toxoplasma
gondii merupakan infeksi opportunistic pada CNS yang paling penting pada
pasien AIDS (Nissapatorn, 2008). Meningkatnya kasus HIV/AIDS menjadikan
toxoplamosis sebagai new emerging Disease yang membutuhkan penanganan dan
penanggulangan yang tepat (Sukthana, 2003). Toxoplasmosis merupakan satu-
satunya infeksi parasit dan merupakan penyebab utama lesi intraserebral pada
pasien AIDS (Nissapatorn, 2008).
2.4. Patogenitas, Respon Imunitas dan Vaksin terhadap Toxoplasmosis
Penelitian untuk membuat vaksin T. gondii telah dilakukan. Protein sitoskeleton
T. gondii dengan L. casei sebagai adjuvant dapat digunakan sebagai kandidat
vaksin yang potensial (Gomez, 2009). Inokulasi tunggal dari T.gondii uracil
auxotroph strain cps-1-1 hidup yang dilemahkan memberikan efek perlindungan
panjang terhadap infeksi berat dan mematikan T.gondii strain RH hipervirulent,
namun mekanisme perlindungan ini yang tanpa disertai replikasi parasit masih
belum dapat dijelaskan (Gigley, 2009).
Toxovax® adalah satu satunya vaksin toxoplasma yang berlisensi
merupakan live-attenuated T. gondii S48 (Zhang, 2013). Penelitian di lapangan
menunjukkan vaksin dari strain toxovax S48 dan T-263 T. gondii
menyebabkan kontaminasi lingkungan oleh ookista menurun sehingga
menurunkan infeksi pada babi. Semua vaksin memberikan level perlindungan
pada kucing, namun masih diperlukan usaha untuk membuat vaksin rekombinan
atau vaksin dari komponen yang mati yang dapat digunakan sebagai model vaksin
19
pada manusia. Masalah lain dalam pengembangan vaksin T. gondii adalah vaksin
rekombinan yang efektif terhadap stadium seksual dan aseksual T.gondii mampu
ditujukan terhadap ketiga target yaitu ookista, bradizoit, takizoit. Pengembangan
vaksin memerlukan standar panduan minimal, pembentukan kekebalan dilakukan
dengan menggunakan setidaknya 2 klon garis keturunan paralel. Perlindungan
terhadap genotip patogenitasnya lebih rendah tidak dapat memberikan
perlindungan yang cukup untuk genotip lainnya (Verma, 2013).
Infeksi akut berkaitan dengan bentuk parasit yang sangat aktif membelah
yaitu takizoit sedangkan fase kronis berkaitan dengan kista jaringan yang
mengandung bentuk parasit yang lebih lambat membelah. Kista jaringan ini dapat
bertahan terus-menerus dalam tubuh hospes tanpa menimbulkan gejala apapun
pada individu sehat (Ajioka, 2001).
Infeksi toxoplasma menjadi kronis karena Toxoplasma mampu secara
berimbang mempertahankan kemampuan untuk menginvasi dan menghindari
sistem imunitas hostnya (Lavine dan Arrizabalaga, 2008; Romero, 2012).
Penyebaran resistensi terhadap obat-obat anti Toxoplasma terjadi karena
patogenesis infeksi toxoplasma pada manusia terjadi secara tidak langsung akibat
adaptasi infeksi pada host selain manusia, serta kemampuannya menimbulkan
infeksi kronis (Romero, 2012).
Proses penetrasi T. gondii ke dalam tubuh host merupakan proses yang
aktif, kompleks, sangat singkat berbeda dengan patogen lain serta melibatkan
tiga tahapan yang berjalan secara integratif yaitu perlekatan, penetrasi invaginasi
dan pembentukan vakuola parasitophorus (Black dan Boothroyd 2000;
20
Haekansson, 2001). Proses invasi melibatkan beberapa molekul permukaan
parasit seperti laminin, molekul lektin, organela apical complex yaitu rhoptries
dan micronemes, protein permukaan parasit, serta reseptor-reseptor pada sel
hospes (Zhou, 2005). Masuknya takizoit ke dalam sel target hanya memerlukan
waktu sekitar 15-30 detik (Black dan Boothroyd 2000; Huynh, 2003; Zhou,
2005). Protein yang pertama kali disekresi diperkirakan adalah MIC (Micronema
protein) yang berfungsi untuk pengenalan dan perlekatan dengan sel target (Nam,
2009).
Perlekatan parasit dengan sel host yang diperantarai adhesin kemudian
diikuti dengan keluarnya protein microneme dari ujung anterior parasit, setelah
perlekatan, ujung anterior parasit membentuk tight junction dengan plasma
membran sel host, kemudian organela yang berbentuk seperti tongkat pemukul
disebut rhoptries melepaskan protein yang disebut ROP pada ujung anterior
(Haekansson, 2001). Begitu parasit berada dalam vakuola, dengan eksositosis
granula padat melepaskan protein GRA yang terlibat dalam memodifikasi
intracellular compartment dari parasit, memperbanyak diri parasit dalam sel
hospes, dan untuk menghindari respon imun hospes (Haekansson, 2001; Craver
dan Knoll, 2007).
Proses masuknya takizoit ke dalam sel secara aktif dilakukan karena
adanya gerakan gliding (gliding motility) dari takizoit sehingga mampu
melakukan invaginasi ke dalam sel target lebih cepat dibandingkan dengan proses
fagositosis (Black dan Boothroyd 2000; Morrissette dan Sibley 2002). Proses
invaginasi tersebut memicu pembentukan vakuola yang kemudian akan
21
dimodifikasi dengan rhopthries protein (protein ROP) menjadi VP (Nam 2009).
ROP juga diperlukan untuk biogenesis VP serta berfungsi untuk asosiasi organelar
dari sel inang dengan VP (Black dan Boothroyd 2000; Hakansson, 2001).
Modifikasi pembentukan VP diperlukan agar vakuola tersebut tidak mengalami
asidifikasi dan fusi dengan kompartemen seluler lain yaitu lisosom (Black dan
Boothroyd 2000; Zhou, 2005). Vakuola nonfusogenik tersebut memungkinkan
takizoit dapat terus melakukan penetrasi dan terus memodifikasi vakuola sehingga
terbentuk VP tanpa dirusak oleh sel inang. Protein lainnya adalah GRA yang
secara umum berfungsi sebagai protein untuk modifikasi akhir VP serta
memungkinkan pengambilan nutrisi dari sitoplasma sel inang (Black dan
Boothroyd 2000; Nam 2009). Modifikasi oleh protein GRA diperlukan agar VP
dapat menjadi tempat yang sesuai dan mendukung perkembangan takizoit maupun
bradizoit selama kehidupan intraseluler (Nam, 2009). Nam (2009) menyatakan
bahwa GRA dibutuhkan untuk modifikasi VP sehingga dapat dipergunakan
takizoit untuk bereplikasi dan bertahan hidup. Konsekuensi dari hal ini, maka VP
akan terus dimodifikasi seiring bertambahnya jumlah takizoit yang
berkembangbiak sehingga semakin lama VP akan membesar. GRA akan terus
disekresikan seiring dengan pembesaran VP dan bertambahnya parasit. GRA1
secara konstitutif (terus menerus) disekresikan dalam VP dengan adanya Calcium-
ionophore (Kafsack, 2007) .
Pada kondisi normal, sistem imunitas mampu mengontrol infeksi, namun
beberapa takizoit dapat terhindar dari sistem imun dan berubah kembali menjadi
bradizoit dan menetap sebagai kista dijaringan otot dan otak untuk mencapai
22
kronik infeksi yang bersifat panjang hingga seumur hidup. Pada individu sehat,
infeksi biasanya asimptomatik, namun re-aktivasi infeksi pada orang dengan
sistem kekebalan menurun/ immunocompromised dapat menimbulkan
toxoplasmosis, dan infeksi akut selama kehamilan sehingga menyebabkan
kerusakan pada janin yang sedang berkembang (Han, 2012).
Kemampuan T.gondii RH menyebabkan infeksi mematikan pada mencit
tidak disebabkan kerusakan langsung oleh parasit namun disebabkan kemampuan
cepat untuk mencapai populasi parasit yang berhubungan dengan kematian yaitu
sebesar 106/g jaringan. Kunci dari virulensi strain RH adalah kemampuan
meningkatkan kadar sitokin dengan dosis rendah, karena kemampuan RH dosis
rendah untuk mencapai kadar dijaringan 106/g jaringan dalam waktu 4 hari
(Mordue, 2001).
Ambang batas jumlah parasit berkaitan dengan kematian dan waktu untuk
mencapai beban jaringan dan penting untuk survival (Filisetti, 2004; Mordue,
2001). Untuk eksplorasi perubahan patologi yang disebabkan toxoplasmosis akut,
jaringan diperiksa pada interval tertentu setelah infeksi (Mordue, 2001). Inokulasi
parasit intra peritoneal menyebabkan invasi diafragma serta kavitas paru-paru.
Infeksi Toxoplasma virulen ditandai perluasan jumlah parasit menyebar ke organ
yang jauh. Aktivitas T. gondii di otak berhubungan dengan kematian dalam 24-
48 jam (Hitziger 2005; Filisetti, 2004; Mordue, 2001). Masuknya takizoit ke
dalam sel target membutuhkan 15-30 detik sedangkan waktu yang diperlukan
untuk fagositosis yang dilakukan sel fagositik memerlukan 2-4 menit (Puspitasari,
2014).
23
Apoptosis merupakan efek sekunder patogenesis selama toxoplasmosis,
Respon kuat Th1 penting untuk mengontrol infeksi T. gondii pada mencit.
Interleukin-12 (IL-12) menstimulasi IFN-γ penting untuk mengontrol replikasi
parasit, mencegah kematian karena T.gondii pada mencit. Infeksi mematikan
berhubungan dengan induksi sistemik dengan kadar IFN-γ, IL-12 dan IL-18 yang
tinggi (Mordue, 2001).
Metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah parasit yang ada di
organ dengan jalan mengekstraksi organ limpa, testis, otak dengan menghitung
jumlah plak. Metode baru diperkenalkan Hitziger 2005 menggunakan emisi foton
akurat menggambarkan jumlah parasit viable yang ada diorgan.
Hitziger mengamati infeksi toxoplasma hingga hari ke-8, untuk
mendeteksi infeksi T.gondii secara vivo dengan Bioluminescence Imaging (BLI),
didapatkan aktifitas luciferase dijumpai pada area limpa, hepar dan peritoneum
disekitar area inokulasi i.p pada hari ke3 dan 4 post-inokulasi. Limpa, hepar
perioteneum merupakan target awal kolonisasi dan tempat tercapai beban parasit
tinggi. Sedangkan T.gondii terdeteksi di otak pada fase lanjutan hari ke5 dan 7
karena kadar parasit diotak dan mata umumnya rendah.
Pada wanita hamil yang terinfeksi T. gondii menggunakan Luminex
ditemukan sekitar 49 sitokin. Hasil Pengelompokan data terkumpul rapi
berdasarkan titik waktu termasuk nilai-nilai interpolasi menunjukkan IFN-γ,
TNF-α, VCAM1 dan IL17F berkontribusi paling besar dalam pemisahan antar
kelompok. Sitokin-sitokin tersebut mengalami up-regulasi dan down-regulasi
akibat interaksi host dan parasit, serta keseimbangan sitokin tersebut berperan
24
melawan parasit, mencegah imunopatologi dan lama waktu hidup atau survival
host (Montoya, 2014).
Toxoplasma gondii mampu menginfeksi sistem kekebalan tubuh
termasuk retina, CNS dan plasenta (Filisetti, 2004). Pada jaringan tersebut, sistem
imunitas seluler mampu mengendalikan infeksi. Luasnya peradangan jaringan
berbanding terbalik dengan keberadaan parasit, menandakan proses patologi
dimediasi oleh reaksi imun. Fase akut toxoplasmosis berlangsung kurang dari 10
hari (Filisetti, 2004). Pada kasus toxoplasmosis yang menyebar terutama yang
terjadi pada pasien immunocompromised, infeksi sistemik ditandai septic shock-
like syndrome menyebabkan kematian (Mordue, 2001).
Toxoplasma gondii adalah parasite intraseluler ditularkan secara oral, yang
infeksinya memicu serangkaian proses imunologis berantai melibatkan respon
imunitas seluler dan humoral (Kasper, 2004). Perubahan keseimbangan
homeostasis dari usus yang terinfeksi menyebabkan ileitis inflamasi akut.
Enterosit terinfeksi dan sel T-CD4 pada lamina propria menghasilkan kemokin
dan sitokin yang diperlukan untuk menghancurkan parasit, sedangkan sel T-CD8
intra epithelial menghasilkan TGF-β yang mengurangi inflamasi (Kasper, 2004).
Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler obligat, dapat menginvasi
dan memperbanyak diri pada berbagai sel berinti dalam tubuh mammalia dan
hewan lain (Suwanti, 2006; Ajioka, 2001). Toxoplasma gondii sering disebut
patogen opportunistic, karena dapat melakukan reaktivasi dalam tubuh hospes
yang immunocompromised, sedangkan pada hospes memiliki sistem imun yang
normal, T. gondii tidak akan melakukan reaktivasi dan tidak akan menimbulkan
25
gejala penyakit (Holliman, 2009). Imunitas yang berperan dalam menghadapi
infeksi Toxoplasma adalah imunitas seluler (Kelly, 2004). Komponen yang
berperan pada perlindungan terhadap infeksi T.gondii dalam tubuh host antara
lain sel inflamasi, limfosit, makrofag, sitokin (Dogruman, 2011). Peran sistem
imun seluler dapat terjadi baik secara langsung (proses sitolitik dan fagositik)
ataupun secara tidak langsung yang diperankan oleh limfosit T sitotoksik dan sel
fagositik. Peran secara tidak langsung dalam proteksi terhadap toksoplasmosis
terjadi melalui sitokin yang dihasilkan oleh sel-sel yang terlibat dalam respon
imun seluler.
Sitokin merupakan mediator larut disekresikan sel, tidak spesifik untuk
antigen tertentu, efek biologis pada konsentrasi yang rendah, bersifat lokal dan
menyebabkan perubahan perilaku sel, melalui mekanisme parakrin dan autokrin.
Sitokin diklasifikasikan menjadi dua tipe, berkaitan dengan peranannya dalam
infeksi T. gondii yaitu protektif dan regulator. Kedua peran ini terjadi dalam
keseimbangan, keseimbangan ini ditekankan sebesar besarnya melalui tipe 1
untuk imunitas penyakit dan tipe 2 untuk imunospresi tergantung pada genetik,
gangguan imunosupresi induk semang serta virulensi T. gondii (Filisetti, 2004).
Toxoplasma mempunyai komponen untuk memodulasi sistem imunitas
host, berkembang menjadi infeksi kronis, menghindari efek sistem imunitas
maupun obat- obatan anti Toxoplasma, pada saat berada dalam tubuh host.
Toxoplasma secara efektif memodulasi sistem imunitas host, sehingga mampu
menginvasi bereplikasi, menghindari sistem imunitas host (evade mechanism)
dan membentuk bradizoit (Romero, 2012).
26
Strain yang tidak virulen dikendalikan dengan baik oleh respon imun.
Toxoplasma gondii RH menyebabkan kematian cepat menunjukkan T. gondii RH
mempunyai sifat destruktif yang langsung menyebabkan patologi (Mordue,
2001).
Regulatory T cell dapat diinduksi secara langsung dari komponen berasal
dari patogen. Pada beberapa penelitian di mencit, zwitterionic capsular
polysaccharides berasal dari S. pneumonie menginduksi CD8+ CD28
- T reg yang
mensintesis IL-10 dan TGFβ dan mempunyai aktifitas mensupresi sistem
imunitas. Pada penelitian mencit lainnya, protein disekresikan H. polygyrus
menginduksi Foxp3+ T-cell melalui ligase reseptor TGFβ (Boer, 2015).
Tumor growth factor β mempunyai peran penting karena sinyal TGFβ
mengontrol perkembangan, homeostasis dan toleransi pada sel T melaui
mekanisme Treg-dependent dan Treg-independent. TGFβ memiliki efek beragam
terhadap sel sistem imunitas tergantung pada tipe sel target dan lingkungan mikro
dimana TGFβ berada (Wan 2007).
Proses pengaktifan sel T naïve, DC harus mengalami beberapa perubahan.
Dendritic cell harus mendapatkan kemampuan berinteraksi dengan sel T dengan
merubah ekspresi reseptor dan kemokinnya, serta berpindah ke jaringan limfoid,
kemudian DC harus mengubah mesin pemrosesan antigennya untuk memastikan
presentasi epitop patogen pada MHC, serta DC harus meng-upregulasi ekspresi
molekul co-stimulatory B7.1/ B7.2 atau CD80/CD86 yang diregulasi NF-kB dan
meligasi CD28 untuk menyediakan sinyal kedua yang diperlukan untuk induksi
aktivasi sel T (Yarovinsky, 2006; Hayden 2006; Brito, 2012).
27
Berbagai TLR beserta ligannya antara lain sebagai berikut: TLR2
mengenali lipoprotein, peptidoglikan, lipothecoic acid bakteri gram positif, TLR4
mengenali lipopolisakarida bakteri gram negatif, TLR5 mengenali flagella dan
malaria, TLR 11 mengenali profilin T. gondii dan bakteri uropatogen, Leishmania
dan Trypanosoma, TLR3 mengenali double-stranded RNA, TLR 7 mengenali
single-stranded RNA, sedangkan TLR 9 mengenali CpG motif DNA
(Yarovinsky, 2005; Hayden, 2006; Brito, 2012).
Terdapat tiga jalur alternatif sintesis IFN-γ sebagai respons host terhadap
infeksi T. gondii. Infeksi T. gondii pada makrofag merangsang makrofag
memproduksi IL-12, TNF-α, IL-1β, dan IL15. Sitokin IL-12, bersama-sama
dengan IL-1β, IL-15 dan TNF-α, merangsang sel NK memproduksi IFN-γ.
Sitokin IFN-γ yang dihasilkan sel NK mengaktifkan makrofag TNF-α dan IFN-γ
bekerja secara sinergis dengan TNF-α menginduksi ekspresi intracellular nitric
oxide synthase (iNOS), yang menghasilkan nitric oxide (NO) untuk membunuh
T. gondii intraseluler (Suwanti, 2006). Infeksi T. gondii pada APC atau makrofag
mendorong sel tersebut memproduksi IL-12. Antigen presenting cell
mempresentasi peptide parasit melalui MHC II sehingga dikenali oleh sel Th (sel
T CD4+). Sel Th yang berikatan dengan MHC II memproduksi IL-2. Sitokin IL-2
dari sel Th dan IL-12 dari APC mendorong diferensiasi dari Th menjadi Th1. Sel
Th1 menghasilkan IFNγ. Jalur ketiga, makrofag atau APC yang terinfeksi
mengekspresikan MHC I yang dikenali oleh sel T CTL (sel T sitotoksik atau sel T
CD8+). Ikatan sel T CTL dengan APC melalui MHC I dan keberadaan IL -2 yang
dihasilkan sel Th memicu sel T CTL menghasilkan IFN–γ (Suwanti , 2006).
28
Angka kematian selama periode infeksi kronis meningkat signifikan pada
tikus C57BL/6 tanpa IL-5 atau IL-5 knockout (KO). Produksi IL-12 sel Limpa
sebagai respon terhadap antigen T. gondii 3 kali lipat lebih rendah pada tikus,
penurunan ini disebabkan hilangnya B lymphocytes selama proses kultur. Hasil
ini menunjukkan peran perlindungan IL-5 terhadap infeksi T. gondii melalui
peranannya terhadap produksi IL-12 (Nickdel, 2001).
2.4.1. Peranan sitokin dalam infeksi T. gondii
Peran sitokin dalam infeksi toxoplasma saat ini semakin banyak diteliti para ahli.
Interleukin 10 (IL-10), transforming growth factor-β1 (TGF-β1), dan
interferon-γ (IFN-γ) berperan dalam suseptibilitas dari sel BeWo trophoblast
terhadap infeksi Toxoplasma (Barbosa, 2015).
Sel BeWo yang terinfeksi maupun kontrol diberikan IL-10, TGF-β1
(50 ng/ml), dan IFN-γ (20 atau 100 ng/ml) dengan tujuan untuk menjelaskan
transduksi sinyal fosforilasi (phosphorylation activator transkripsi 1 (STAT1),
STAT3, dan Smad2, serta proliferasi intaselular parasit serta produksi sitokin
Th1/Th2/IL-17A. Pemberian IL-10, TGF-β1 (50 ng/ml), dan IFN-γ (20 atau 100
ng/ml) dapat down-modulate TNF-α dan produksi IL-6 (Barbosa, 2015).
Interleukin-10, TGFβ-1 dan IFN-γ mengatur proliferasi yang berbeda
dari T. gondii pada sel BeWo karena menstimulasi jalur sinyal intraseluler dan
produksi sitokin terutama IL-6 dan TNF-α. IL-10, TGF-β1, dan IFN-γ berperan
penting sebagai mekanisme efektor yang berperan dalam infeksi transplasental
hubungan ibu dan janin, serta penularan secara vertikal T.gondii (Barbosa, 2015).
29
Pada sampel darah jantung dari tikus yang diinfeksi takizoit T.gondii
ditemukan konsentrasi TNF-α, IL-10, IL-12, dan IFN-γ lebih tinggi daripada
kontrol, sedangkan TGF-β1 lebih rendah. Pengetahuan mengenai sitokin yang
berperan dalam infeksi T.gondii dapat mendorong pengembangan obat baru yang
menjanjikan untuk mengendalikan infeksi T.gondii. Penelitian in vitro
menunjukkan IFN-γ meningkatkan aktivitas antimikrobial dari makrofag
peritoneal tikus, sedangkan TNF-α, IL-I α dan IL- I β sebaliknya (Dogruman,
2011).
Induksi kuat sitokin Th1 menunjukkan T. gondii mengandung substansi
mediator inflamasi. Mencit IL-10 knock out mengalami kerusakan hepar saat
diinfeksi T. gondii. Hal itu disebabkan over-induksi IFN-γ, TNF-α, IL-12. IL-10
bersifat pro-inflamasi. Jadi selama infeksi mematikan IL-10 berperan
menstimulasi induksi sitokin pro-inflamasi. IL-18 berkaitan dengan IL-1 dan
berbagi properti biologi dengan IL-12, serta menginduksi IFN-γ dan stimulasi
respon Th1. Sinergi IL-12 dan 18 menimbulkan peningkatan kadar IFN-γ
sehingga respon imunitas lebih efektif terhadap patogen intra seluler, namun
produksi berlebih IL-18 dapat terjadi juga pada mencit endotoxemia yang
menyebabkan kerusakan liver mematikan dan apoptosis splenosit. IL-18
mengeluarkan efek toksik melalui over produksi IFN-γ (Mordue, 2001).
Peranan IL-10 dan TGF-β tidak sebesar peran IFN-γ dalam
mengendalikan infeksi T. gondii, karena pada saat IL-10 atau TGF-β diblok pada
sel kultur, infeksi tetap terkontrol dengan adanya IFN-γ. Fungsi IL-10 menjaga
keseimbangan imunitas protektif dan perkembangan patologi yang ditimbulkan
30
infeksi T. gondii, karena IL-10 men-down regulasi IFN-γ, serta menghambat
produksi IL-12, TNF-α, IL-16. Pada mencit tidak memiliki IL-10, kadar IFN-γ,
IL-12 meningkat 4 hingga 6 kali lipat daripada mencit yang memiliki IL-10.
Keseimbangan IL-12 dan IL-10 penting untuk mengontrol infeksi T. gondii
(Dogruman, 2011).
Penelitian Dogruman sejalan dengan hasil penelitian Mordue yang
menyebutkan tingginya kadar serum sitokin inflamasi diinduksi selama infeksi
lethal karena stimulasi tidak memadai sitokin down-regulatory yaitu IL-10.
Infeksi mematikan dengan RH dosis rendah 100 dan PTG dosis tinggi 105
menginduksi IL-10 lebih besar daripada infeksi tidak mematikan sehingga terjadi
produksi berlebihan IL-18 dan IFN-γ selama toxoplasmosis disebabkan regulasi
IL-10 yang tidak memadai.
2.4.2. Peranan IFNγ dalam Infeksi T. gondii
Netrofil dan eosinophil berperan dalam infeksi T. gondii dengan
mendatangi tempat yang terinfeksi serta menghasilkan IL-12 (Fillisetti, 2004).
CCR5 merupakan regulator positif IL-12 sedangkan lipoxin adalah regulator
negatif dari IL-12 (Fillisetti, 2004). Imunopatologi saluran cerna akibat infeksi
oral T. gondii ditandai hiperinflamasi akut dan ileitis mematikan. Sitokin IL-12
dan 18 berkontribusi terhadap karakteristik kerusakan usus karena infeksi oral
(Mordue, 2001).
Sebagian besar sel yang menghasilkan IFN-γ juga menghasilkan IL-10,
sangat jarang sel yang hanya memproduksi IL-10 tanpa IFN-γ. Produksi IL-10
antagonis dan IFN-γ menyebabkan kegagalan aktivasi makrofag sebagai efektor
31
sistem kekebalan. Proses melawan sel terinfeksi T gondii, sel T pertama
menghasilkan IFN-γ yang bekerja dengan sistem parakrin tidak hanya
mengaktifkan sel efektor saja tapi juga menginduksi aktivitas kostimulator APC
untuk re-aktivasi ekspresi gen IL-10 pada populasi sel Th1 yang sama. Proses ini
memberikan umpan balik negatif untuk mengoptimasi aktivasi sel efektor dan
pembersihan patogen seakaligus mencegah produksi sitokin DC yang berlebihan
serta hipersensitivitas Th1 (Gaddy dan Yap, 2007).
Interleukin-12 (IL-12) terdiri dari subunit IL-12 p40 dan IL-12 p35
berperan penting menghasilkan IFN-γ dan diferensiasi Th1 selama terjadi respon
kekebalan terhadap T. gondii. Apabila gen IL-12 p40 atau reseptor IL-12
berikatan dengan transduksi sinyal Tyk2 dan STAT-4, maka produksi IFN-γ
sangat berkurang sehingga mudah mengalami infeksi T. gondii akut (Gaddy dan
Yap, 2007). Mencit tidak memiliki IL-12 p35/p40 menunjukkan kerusakan parah,
penurunan survival dan beban parasit meningkat, sehingga disimpulkan IL-12
penting untuk mengendalikan beban parasit dan replikasi, sedangkan IL-18
menyebabkan kerusakan. Sitokin pelengkap seperti IL-18 dan IL-23 mempunyai
peran patogenik (Gaddy dan Yap, 2007).
2.4.3. Peranan TGF-β dalam Infeksi T. gondi
Dampak infeksi T. gondii tergantung keseimbangan sitokin pro-inflamasi
(IL-12, TNF α, IFN-ƴ) dengan sitokin anti-inflamasi (IL-10, Lipoxin A4, IL-27)
(Dogruman, 2011). Sitokin pro-inflamasi yang dapat mengontrol pertumbuhan
parasit dan sitokin regulator yang dapat membatasi perubahan patologis (Troyo,
2003).
32
Pada infeksi ringan yang dapat sembuh dengan sendirinya, respon
inflamasi secara aktif di-down regulasi oleh sitokin anti-inflamasi antara lain IL-4,
IL-10 dan TGF-β. Pada strain mencit yang rentan diinfeksi P. berghei ANKA
menunjukkan penurunan ekspresi mRNA TGF-β jika dibandingkan mencit yang
resisten, hal ini menunjukkan sitokin berperan dalam mempertahankan
keseimbangan perlindungan dan kerusakan. TGF-β merupakan homodimeric 25
kDa protein (Box 1) yang multi fungsional, dihasilkan berbagai sel antara lain
makrofag, sel NK, sel T dan sel B, memiliki kemampuan pro dan anti-inflamasi
tergantung konsentrasi dan lingkungan. Kemampuan pro-inflamasi TGF-β yang
penting antara lain: merekrut monosit, sel T dan netrofil menuju lokasi
peradangan pada awal infeksi, memodulasi ekspresi molekul adhesi sel endotel.
Konsentrasi TGF-β yang tinggi akan menekan produksi TNF-α and dan NO
dari makrofag, menghambat produksi IFN-γ dan TNF-α dari sel NK dan
antagonis terhadap up-regulasi Antigen major histocompatibility complex (MHC)
class II yang distimulasi IFN-γ, antagonis IL-4, IL-2 dan IL-12. Efek ini
diperkuat oleh IL-10, sehingga membuat sistem imun yang tadinya kearah Th1
menjadi kearah Th2 (Omer, 2000).
TGF-β memiliki 3 isoform yaitu TGF-β1, 2 dan 3 disekresikan dalam
bentuk in-aktif atau laten yang harus membelah dan diaktivasi sebelum
berinteraksi dengan reseptornya. TGF-β diproduksi oleh banyak sel dan
aktivitasnya diregulasi melalui dua mekanisme yaitu dengan mengontrol level
transkripsi dan translasi dalam sel dan mengontrol level aktivasi dari TGF-β
laten pada lingkungan ekstrasel. Pada malaria TGF-β mempunyai dua peran
33
penting yaitu (1) pada awal infeksi akan menstimulasi mekanisme diperantarai
Th1 sehingga mengontrol pertumbuhan parasit (2) pada tahap infeksi selanjutnya
akan men-down regulasi respon menyerupai Th1 untuk membatasi peradangan
berkaitan dengan patologi atau kerusakan (Omer, 2000).
Konsentrasi TGF-β harus dipertahankan setepat mungkin pada stadium
infeksi yang berbeda untuk mendapatkan hasil akhir yang optimal atau infeksi
yang terkontrol. TGF-β berperan dalam transisi dari respon imun Th1 menjadi
Th2 selama fase infeksi akut dan penyembuhan malaria dengan jalan efek TGF-β
terhadap maturasi makrofag yang bergantung pada dosis. Pada makrofag imatur
memiliki banyak reseptor TGF-β yang sangat sensitif. Saat kadar TGF-β
dilingkungan lokal meningkat, produksi reseptor TGF-β di down-regulasi, sel
menjadi refrakter terhadap kadar TGF-β yang tinggi sekalipun dan proses aktivasi
dihentikan. TGF-β memberikan umpan balik langsung utuk menghambat
produksi IFN-γ dan TNF-α serta diwaktu yang bersamaan melakukan up-regulasi
IL-10 dan men-down regulasi ekspresi molekul adhesi (Omer, 2000).
Kadar TGF-β berbanding terbalik dengan replikasi parasit. TGF-β penting
men-down regulasi sitokin pro-inflamasi. Rekombinan TGF-β mengeluarkan efek
meng-upregulasi IL-10 dan men-down regulasi TNF-α. Antibody netralisasi TGF-
β akan meningkatkan level TNF-α dan IFN-γ di plasma. TGF-β berperan pada
retinochoroiditis, merupakan antagonis dari TNF-α, IFN-γ, TNF-β and IL-2. Efek
anti-inflamasi TGF-β mengontrol perkembangan imunopatologi berkaitan
dengan respon imunitas tipe 1 pada usus dan otak (Fillisetti, 2004). Peranan
imunopatogenik sel T CD4 diketahui melalui penelitian memberikan T. gondii
34
oral pada mencit menghasilkan inflamasi jaringan dan kerusakan usus kecil.
Limfosit yang didapat dari mencit yang rentan ini mengekspresikan IFN-γ dan
TNF-α lebih tinggi, menunjukkan gangguan produksi sitokin tersebut oleh sel T
CD4 mendasari mekanisme patogenik Toxoplasmosis. TGF-β dihasilkan IELs
mengurangi fungsi mediator pro-inflamasi dan transkripsi yaitu IFN-γ, IL-15,
iNOS dan TNF-α di usus, serta memodulasi respon pro-inflamasi limfosit lamina
propria (LPL) (Gaddy dan Yap, 2007).
TGF-β mengaktifkan EGFR (epidermal growth factor reseptor) sehingga
sel selamat, namun dengan adanya onkogen Ras, sinyal EGFR dihambat,
sehingga meningkatkan respon apoptosis TGF-β sehingga aktivasi EGFR
menghilangkan efek sitostatik TGF-β. Interferon-γ (IFN-γ), tumour necrosis
factor-α (TNF-α) dan epidermal growth factor (EGF) menghambat TGF-β atau
respon diinduksi Smad dengan menstimulasi ekspresi Smad 7. TGF-β berperan
pada fibrinogenesis. Pada proses fibrosis hepar, stress oksidatif dapat
menginduksi kerusakan hepar, hepatosit stellate cell (HSC) dan aktivasi sel
Kupffer. Aktivasi sel menyebabkan fibrosis hepar, TGF-β diperlukan untuk
fibrosis hepar, penurunan TGF-β menurunkan fibrogenesis. TGF-β pada infeksi
akut akan membantu sel regenerasi setelah terjadi kerusakan, namun pada infeksi
kronis TGF-β akan mengaktifkan sel tidak mati karena mengalami TGF-β-
induced growth arrest in hepatocytes, fibrinogenesis tumorigenesis dan
metastasis (Dooley dan Dijke, 2012).
Hepatocyte stellate cell (HSC) diberi TGF-β akan mengaktifasi Smad,
umpan balik negatif dilakukan melalui Smad 7 dihasilkan oleh IFN-γ dan TNF-α.
35
Saat ini penelitian mengarah pada penggunaan TGF-β sebagai terapi
menghentikan kerusakan hepar namun perlu selektif dan terarah, pada fase
tertentu diberikan, serta tipe sel yang dijadikan target terapi, karena banyak efek
samping antara lain TGF-β meningkatkan kerusakan sel epitel karena dapat
menginduksi apoptosis, stress oksidatif, menstimulasi aktivasi myofibroblast
(MFB) dan respon penyembuhan luka, menghambat regenerasi hepar melalui
apoptosis hepatosit dan menghambat proliferasi, mengaktivasi TReg dan
diferensiasi Th17 untuk mengurangi respon inflamasi, menyebabkan fibrogenesis
dan membentuk jaringan parut hepar pada penyakit hepar kronis, menghambat
proliferasi sel pre malignan, mengaktivasi stroma fibroblast pada sel tetangga
dari sel tumor, menghambat respon inflamasi terhadap tumor, memfasilitasi
angiogenesis tumor dan menginduksi epithelial-mesenchymal transition (EMT)
dari sel tumor (Dooley dan Dijke, 2012).
Sel yang pertama kali diserang oleh T. gondii setelah ookista atau kista
tertelan ke dalam GIT adalah enterosit. Mekanisme Transcytotic dari sIgA
mampu melawan replikasi intraseluler T. gondii. IFN-γ dapat mengaktifkan
enterosit dan menghambat replikasi melalui mekanisme tergantung Fe (Bout,
1999).
Proses perkembangan atau patogenesis T.gondii pada tikus yang
diinfeksikan bradizoit secara oral dimulai dengan satu jam setelah tikus
diinfeksikan secara oral dengan bradizoit, 1 hour after infection/ HAI, bradizoit
dijumpai pada sel permukaan epithelium dan lamina propria usus dua belas jari.
Kemudian 18 HAI terjadi pembelahan menjadi 2 takizoit, 24 HAI T. gondii
36
ditemukan di limfonodi mesenterikus. Pada hari ke- 6 setelah infeksi oral dengan
bradizoit day after Infection (DAI), T. gondii ditemukan di otak. Imunohistokimia
dengan anti serum dari BAG-5 (Bradizoite -Specific Antigen), ditemukan BAG-5
pada 18 HAI, BAG-5 hilang pada hari ke-2 hingga hari ke-5 dan muncul kembali
pada hari ke-6 (Dubey, 1997).
Feses kucing yang telah diberikan jaringan tikus yang terinfeksi diperiksa
untuk melihat penyebaran ookista untuk mengetahui jangka waktu pre-paten.
Bradizoit muncul 12 jam setelah infeksi oral, namun 18 jam setelah infeksi oral
takizoit menyebar ke jaringan dari usus karena bradizoit berubah menjadi takizoit.
Bradizoit kembali terdeteksi 6 hari setelah infeksi oral. Toxoplasma gondii
pertama kali ditemukan di darah tepi 24 jam setelah infeksi oral dengan
pemeriksaan menggunakan mouse bio-assay sedangkan melalui prosedur pepsin
digestion 48 jam setelah infeksi oral. Organisme T. gondii ditemukan di banyak
jaringan tikus 15 hingga 49 hari setelah infeksi (Dubey, 1997).
Infeksi oral dari T. gondii mengakibatkan parasit merekrut monosit
inflamasi dengan Gr1+
Ly6C+
Ly6G- yang berinteraksi dengan lapisan pelindung
penting pada villi ileum usus kecil. Tikus kurang CCR2 atau CCL2 ligan, gagal
merekrut Gr1+
monosit inflamasi sehingga DC dan makrofag jaringan tidak
terpengaruh. Kekurangan Gr1+
menyebabkan ketidakmampuan tikus untuk
mengontrol replikasi sehingga influx netrofil yang banyak, terjadi nekrosis
intestinal luas dan kematian. Transfer adoptif dari Gr1+
monosit inflamasi
menyebabkan kemampuan homing ke ileum dan mampu melindungi tikus dengan
37
CCR2-/-
yang rentan T. gondii. Penelitian tersebut menyimpulkan monosit
penting untuk mengontrol infeksi T. gondii (Dunay et al, 2008).
Tikus yang tidak memiliki receptor IL-17 atau IL-17R-/-
lebih rentan
terhadap infeksi T. gondii daripada induknya yang asli atau wild types.
Kerusakan jaringan akibat infeksi T. gondii dijumpai yang lebih berat pada tikus
IL-17R-/. Influx sel Polimorfonuklear PMN ke dalam jaringan menjadi terhambat
pada tikus IL-17R-/-. Migrasi netrofil ke dalam kavitas peritoneal menurun
signifikan pada tikus IL-17R-/- yang diinfeksikan T. gondii. Sel PMN mempunyai
peran yang penting dalam infeksi awal T. gondii. Penelitian Kelly 2004
menunjukkan pertama kalinya induksi netrofil selama periode infeksi T. gondii
tergantung pada sinyal yang dimediasi IL-17 (Kelly, 2004).
Hilangnya respon dari tikus IL-17R-/-, berkaitan dengan kegagalan untuk
menghasilkan chemokine MIP-2 pada awal infeksi. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa infeksi T. gondii menginduksi respon netrofil permulaan dan
kuat sehingga netrofil dapat menghancurkan parasit pada fase awal infeksi, pada
akhirnya respon imunitas dapatan yang terpacu kemudian tidak terbebani oleh
infeksi T. gondii. Level netrofil yang rendah, tidak mampu menurunkan kadar
parasit dalam darah sehingga sistem imunitas dapatan tidak mampu mengatasi
peningkatan beban tersebut, hal inilah yang kemudian menyebabkan kematian
(Kelly, 2004).
Infeksi oral kista T.gondii mengakibatkan perubahan imunopatologi pada
usus kecil mirip dengan inflammatory bowel disease pada manusia yaitu Crohn’s
disease. Berdasarkan meta-analysis menggunakan Pubmed search diketahui 70
38
penelitian melaporkan perubahan ini tidak hanya terjadi pada tikus C57BL/6
tetapi pada 63 spesies binatang sehingga disimpulkan terjadi secara alami di alam
(Schreiner, 2009).
Efek dari infeksi Toxoplasma gondii pada dinding usus dan plexus
mesenteric diamati pada ayam yang diinfeksikan ookista T. gondii strain M7741
genotype III. Sebagian segment usus diperiksa dengan metode histologi rutin
pengecatan Haematoxillyn-Eosin (HE), PAS histochemical technique, dan Alcian
Blue. Infeksi yang disebabkan ookista T. gondii menyebabkan atrofi dinding usus,
sekresi mucus meningkat, atrofi dan kematian neuron myenteric plexus (Bonapaz,
2010).
Modulasi transkripsi gen dari makrofag host yang distimulasi LPS setelah
diinfeksikan T. gondii. Makrofag yang telah diinfeksikan T. gondii kemudian
diberikan LPS dari bakteri gram negatif, maka parasit dapat memblok respon
makrofag terhadap LPS yang merupakan komponen imunostimulator dari bakteri
gram negatif, sehingga mencegah respon hiperinflamasi. Flora normal usus inang
sebagian besar merupakan bakteri gram negatif (Schulthess, 2008).
Reaktivasi bradizoit menjadi takizoit serta peningkatan kerusakan jaringan
di otak dan retina mata akibat pemberian anti CD8+ pada tikus yang mengalami
infeksi kronis, menunjukkan efek langsung dari defisiensi sel Tc/CD8+ pada tikus
menyebabkan peningkatan kepekaan terhadap infeksi T. gondii (Subekti, 2013).
Infeksi T. gondii selain menimbulkan respon imunitas seluler juga dapat
membangkitkan respons imunitas humoral (Suwanti, 2006). Respon imun
humoral juga terjadi pada permukaan mukosa seperti pada saluran usus. Pada
39
sistem sirkulasi (sistemik) yang berperanan utama adalah IgM dan IgG,
sedangkan pada permukaan mukosa yaitu sIgA. Bukti lain secara tidak langsung
kepentingan respon imun humoral diperlihatkan pada tikus BALB/c yang
mengalami defisiensi limfosit B ternyata menjadi sangat peka terhadap infeksi T.
gondii. Pada tikus dilaporkan bahwa toksoplasmosis fase akut (<21 hari setelah
infeksi) maupun kronis (>56 hari setelah infeksi), respon imun humoral yang
dominan adalah IgG2b dan IgG2a. Ini menunjukkan bahwa respon imun humoral
yang terbentuk adalah respon imun humoral di bawah kendali sitokin
proinflamatorik (Subekti, 2013).
2.5. Model Hewan coba pada Penelitian Toxoplasmosis
Masing masing spesies binatang memiliki tingkat kerentanan terhadap
infeksi T.gondii yang berbeda-beda. Tikus putih sangat resisten terhadap infeksi
Toxoplasma, tikus biasa kerentanannya terhadap infeksi tergantung pada umur
tikus tersebut, tikus baru lahir lebih sensitif terhadap infeksi T.gondii.
Kemampuan multiplikasi parasit ini dibandingkan pada beberapa jenis makrofag
dari berbagai jenis binatang secara invitro, diperoleh hasil makrofag pada tikus
putih lebih resisten daripada tikus biasa dan hamster (troyo, 2003). Penelitian
menggunakan tikus wistar umur 7, 11, 21 , 24 dan 46 hari dengan inoculum
strain RH 102 , 10
4 , 5 x I0
7 dan 10
8 takizoit intraperitoneal menunjukkan umur
tikus tidak berpengaruh terhadap infeksi Toxoplasma gondii (Champs, 1998).
Imunisasi diberikan pada tikus strain tertentu utamanya BALB/c dan
C57BL/6 atau C3H/HeN, efikasi vaksin harus diuji pada tikus yang dipelihara
40
diluar lab, karena lebih menggambarkan kondisi genetik hewan dan manusia
(Verma, 2013).
2.6. Terapi Toxoplasmosis
Pasien dewasa yang immunocompetent dengan limfadenopati karena
Toxoplasmosis tidak perlu diobati karena dapat sembuh dengan sendirinya,
apabila secara klinis terdapat gejala yang berat dan persisten diperlukan
pengobatan selama 2 hingga 4 minggu. Pengobatan untuk toxoplasmosis pada
mata harus berdasarkan pemeriksaan mata lengkap dan mengikuti beberapa
parameter antara lain: lesi akut, derajat inflamasi, tajam penglihatan, ukuran lesi,
lokasi dan persistensi. Terapi klasik untuk toxoplasmosis ocular atau mata pada
pasien dewasa: pyrimethamine 100 mg sekali sehari selama 1 hari sebagai
loading dose, diikuti 25 hingga 50 mg per hari, ditambah sulfadiazine 1 gram
empat kali sehari disertai asam folat (Leucovorin) 5-25 mg dengan dosis sesuai
dosis pyrimethamine sedangkan dosis anak anak pyrimethamine 2 mg/kghari
pertama dan 1 mg/kg hari selanjutnya, disertai sulfadiazine 50 mg/kg dua kali
sehari ditambah asam folat (Leucovorin) 7.5 mg hari selama 4 hingga 6 minggu
diikuti evaluasi ulang kondisi pasien. Leucovorin melindungi sumsung tulang dari
efek toksik pyrimethamine. Pasien yang hipersensitif terhadap obat golongan
Sulfa, pyrimethamine diberikan clindamycin digunakan sebagai pengganti.
Kombinasi trimethoprim dan sulfamethoxazole digunakan sebagai terapi
alternatif begitu juga atovaquone dan pyrimethamine disertai azithromycin (CDC,
2016).
41
Penatalaksanaan infeksi pada ibu dan janin bervariasi tergantung masing
masing pusat pelayanan kesehatan, secara umum direkomendasikan spiramycin
untuk trimester pertama dan trimester kedua awal atau pyrimethamine/
sulfadiazine dan leucovorin untuk trimester dua akhir serta trimester tiga. Wanita
yang didiagnosis terinfeksi T gondii selama kehamilan pada laboratorium rujukan,
diperlukan pemeriksaan PCR dari cairan amnion pada umur kehamilan 18 minggu
untuk mengetahui apakah janin terinfeksi atau tidak. Apabila janin terinfeksi,
pengobatan yang diberikan standar dengan pyrimethamine, sulfadiazine, dan
leucovorin. Bayi baru lahir yang terinfeksi diobati dengan pyrimethamine (CDC,
2016).
2.7. Probiotik
2.7.1. Definisi
Probiotik adalah bakteri hidup yang apabila disuplementasi ke dalam
tubuh akan memberikan manfaat bagi tubuh host (Brito, 2012; Walker, 2008).
Bakteri komensal dalam usus juga dikategorikan sebagai probiotik. Para ahli
mikrobiologi, immunologi, dan gastroenterology telah aktif meneliti bagaimana
mekanisme bakteri komensal dapat meningkatkan kemampuan pertahanan
mukosa saluran pencernaan (Walker, 2008). Probiotik bekerja dengan jalan
memperkuat barrier intestinal dan immunomodulasi. Probiotik membantu
pertumbuhan bakteri-bakteri komensal di dalam usus dan mengeluarkan atau
menghancurkan bakteri patogen dari usus. Bakteri ini juga mampu mengeluarkan
beberapa enzim yang dapat membantu pencernaan makanan (Sujaya, 2008;
Hemaiswarya, 2012 ; Brito, 2012).
42
Banyak mikroorganisme yang memiliki potensi sebagai probiotik, spesies
yang paling banyak digunakan adalah Lactobacillus, Bifidobacterium. Definisi
probiotik adalah mikroorganisme hidup yang jika diberikan dalam jumlah yang
memadai memberikan manfaat kesehatan bagi host (WHO). Efek probiotik bagi
kesehatan manusia dapat bersifat langsung maupun tidak langsung, antara lain
dengan meningkatkan fungsi barrier atau hambatan, modulasi sistem imunitas
mukosa, menghasilkan antimikroba, meningkatkan pencernaan dan absorpsi
makanan dan merubah mikroflora usus (Sujaya, 2008; Brito, 2012).
Efektifitas kerja probiotik tergantung pada kemampuan perlekatan dan
kolonisasinya pada usus manusia sehingga dapat memperbaiki dan meningkatkan
sistem imunitas manusia. Berbagai aktivitas biologi secara simultan berlangsung
saat probiotik menempel pada usus manusia, antara lain pelepasan sitokin dan
kemokin. Proses perlekatan probiotik akan mendorong terjadinya stimulasi
mucosal dan imunitas sistemik host (Sujaya, 2008).
Probiotik yang ideal adalah yang mampu bertahan melewati saluran cerna,
tahan terhadap cairan lambung dan empedu, menempel pada sel epithel usus,
mampu membentuk kolonisasi pada saluran cerna, menghasilkan bakteriosin,
tidak patogen dan aman dikonsumsi, dapat bertahan hidup selama proses
pengolahan maupun penyimpanan serta mudah diaplikasikan pada produk
makanan melalui proses psikokimia (Sujaya, 2008).
Istilah bacterial interference menunjukkan persaingan antara spesies
bakteri dalam proses kolonisasi di suatu permukaan. Bakteri mengembangkan
mekanisme spesifik untuk mempengaruhi kemampuan bakteri lain berkolonisasi
43
dan menginfeksi inangnya. Kemampuan ini merupakan sesuatu yang berguna bagi
pertahanan inangnya (Falagas, 2008).
Penerima Nobel Laureate Elie Metchnikoff memformulasikan konsep
Probiotik hampir 100 tahun yang lalu, mengemukakan ide tentang konsumsi
“Lactic bacilli” meningkatkan kesehatan seseorang dengan memaksimalkan
aktifitas promosi kesehatan microbiota usus dan meminimalkan potensi efek
berbahaya dari mikrobiota tersebut (Guerner, 2011).
Baru-baru ini L.reuteri diakui memiliki kemampuan efektif sebagai
probiotik. Lactobacillus reuteri merupakan satu-satunya spesies Lactobacillus
yang dilaporkan menghuni saluran cerna dari semua vertebrata, mammalia mulai
dari burung hingga manusia dan dipercaya memiliki hubungan simbiosis (Casas
dan Dobrogosz, 2000).
Mikrobiota usus mempunyai peranan penting dalam perkembangan
maturasi dan modulasi sistem imunitas selama infeksi dan penelitian di bidang ini
semakin berkembang beberapa tahun terakhir ini. Pada mencit C57BL/6,
mikrobiota usus menstimulasi sistem imunitas ke arah T helper tipe 1 (Th1)
melalui toll-like receptors, sehingga resisten terhadap infeksi T. gondii (Ribeiro,
2016).
Perkembangan terapi penunjang atau pengganti berdasarkan bacterial
replacement penting karena cepatnya perkembangan bakteri patogen resisten
antibiotik dan efek samping antibiotik terhadap bakteri pelindung usus (Collado,
2006).
44
Mikrobiota usus merupakan sumber terbesar stimulasi mikrobial yang
dapat memberikan efek baik maupun berbahaya bagi kesehatan manusia.
Mikrobiota usus berperan sebagai agen utama bagi perkembangan sistem imunitas
post natal yaitu imunitas dan toleransi oral. Mikrobiota yang didapat, segera
setelah lahir penting bagi imunitas bayi baru lahir dan imunitas mukosa serta
bertanggung jawab mengendalikan inflamasi (Delcenserie, 2016).
Usus kita dikolonisasi oleh jutaan mikroorganisme yang mendukung
fungsi fisiologis. Kolonisasi mikroba di usus terjadi melalui beberapa tahapan,
tahap pertama dimulai saat lahir berlanjut selama tahapan kehidupan selanjutnya
sehingga membentuk mikrobiota usus individual. Proses tersebut membentuk
penghalang antara lingkungan dengan kita, membantu memelihara kesehatan
usus. Komposisi mikrobiota kolon komensal dipengaruhi kombinasi pemberian
makanan dan faktor lain seperti lokasi geografis, beragam tingkat higienitas serta
iklim (Delcenserie, 2016).
Lactobacillus reuteri dapat diisolasi dari usus, ASI dan vagina manusia.
Lactobacillus reuteri dikenal sebagai Universal entero-Lactobacillus karena
dapat dijumpai di hampir semua usus organisme (Jensen, 2014). Ekosistem
lambung dan usus sangat kompleks terdiri dari 400 spesies yang berbeda dan
1×1014
CFU bakteri umumnya Escherichia coli, Clostridium spp, Bacteroides sp,
Lactobacillus sp. dan Bifidobacterium sp. paling banyak ditemukan
(Falagas, 2008). Dosis pemberian probiotik 5x109
CFU perhari selama 5 hari
direkomendasikan sehingga probiotik yang ditelan dapat mencapai kapasitas
bertahan hidup di saluran cerna dan mampu berkompetisi dengan populasi bakteri
45
patogen (Travers, 2011). Lactobacillus memiliki komponen yang memodulasi
sistem imunitas melalui pengenalan TLR antara lain lipopolisakarida, lipoprotein,
peptidoglikan dan lipothecoic acid (Chartier, 2014).
2.7.2. Manfaat Probiotik
Probiotik seperti Lactobacillus reuteri apabila diberikan secara teratur
terbukti menurunkan jumlah hari sakit yang disebabkan infeksi umum, sedangkan
penggunaan jangka pendek Lactobaillus reuteri menurunkan tingkat
Streptococcus pada remaja. Latobacillus reuteri juga menekan kepadatan H.
pylori dan pemberian secara teratur probiotik yang mengandung L. reuteri
terbukti memberikan manfaat mengurangi infeksi H. pylori pada manusia (Brito,
2012).
Pemberian Lactobacillus reuteri menurunkan kejadian kumulatif Ig E
berkaitan dengan penyakit alergi pada balita umur dua tahun, sehingga
menurunkan risiko terjadinya penyakit alergi pada saluran pernafasan
(Abrahamsson, 2007). Pemberian synbiotik yang mengandung Bifidobacterium
dan fructooligosaccharides meningkatkan survival pada tikus betina Wistar yang
diinfeksi bradizoit oral (Ribeiro, 2011).
Bakteri spesifik dengan kemampuan penghambatan terhadap patogen di
saluran pernapasan atas jika diberikan melalui spray setelah pemberian antibiotik
dapat menurunkan kejadian otitis media atau streptococcal pharyngotonsillitis
yang berulang. Corynebacterium sp (Co304) mengeradikasi patogen pada 71%
sampel melalui a non-bacteriocin-like mechanism, pemberian Lactobacillus
acidophilus secara lokal pada vagina selama 6–12 hari atau L. acidophilus atau
46
Lactobacillus rhamnosus GR-1 dan Lactobacillus fermentum secara oral selama
2 bulan menyebabkan restorasi flora normal vagina dan penurunan bacterial
vaginosis (Falagas, 2008). Lactobacillus reuteri efektif untuk mencegah diare di
populasi, diare nosokomial dan diare karena Clostridium difficile (Maragkoudaki
dan Rapadopoulou, 2013).
Beberapa pertimbangan dalam pemberian probiotik sebagai terapi atau
pencegahan patogen adalah pemberian antibiotik, vaksinasi, merokok.
pertimbangan penting dalam penggunaan bacterial interferencing adalah memilih
probiotik yang aman dengan efek samping minimal ( Falagas, 2008).
2.7.3. Mekanisme Kerja Probiotik
Mekanisme kerja probiotik yang utama antara lain: memperkuat barrier epithel,
meningkatkan perlekatan terhadap intestinal mukosa, menghambat perlekatan
bakteri patogen, pengeluaran mikroorganisme patogen secara kompetitif,
menghasilkan substansi anti mikroba dan memodulasi sistem imunitas host
(Brito, 2012; Hemaiswarya, 2013; Sujaya, 2008; Walker, 2008).
Integritas barrier usus disebabkan karena stimulasi ekspresi gen yang
terlibat pada sinyal tight junction. Lactobacillus memodulasi pengaturan
beberapa gen yang mengkode perlekatan protein penghubung misalnya
E-cadherin dan β-catenin pada model sel T 84, hal tersebut dibuktikan dengan
inkubasi sel usus dengan Lactobacillus, maka Lactobacillus akan mempengaruhi
fosforilasi perlekatan protein penghubung dan menghasilkan isoform dari protein
kinase C (PKC ϛ) sehingga akan memodulasi fungsi epithel barrier. Probiotik
akan menginisiasi perbaikan fungsi barrier selama infeksi atau kerusakan karena
47
penyebab lain dengan menstimulasi ekspresi dan distribusi ulang protein tight
junction dari zonula occludens (ZO-2) dan PKC sehingga menyebabkan
perbaikan dan rekonstruksi dari tight junction complex (Brito, 2012).
Dua isolate peptide yang disekresikan oleh Lactobacillus rhamnosus G
(LGG), yang dipurifikasikan yaitu p40 and p75, mampu mencegah apoptosis
yang diinduksi sitokin dan mengaktifkan efek anti apoptosis protein kinase B
(PKB/Akt) pada phosphepardyl inositol-3’ -kinase-dependent pathway serta
menghambat pro-apoptotic p38/ mitogen-activated protein kinase (MAPK)
(Brito, 2012).
Probiotik memiliki efek memodulasi sistem imunitas, bakteri ini dapat
berinteraksi dengan epitel dan sel dendritic (DC), monosit, makrofag serta
limfosit. Respon imunitas dapatan tergantung pada sel B dan sel T yang spesifik
terhadap antigen tertentu, sedangkan pada imunitas alamiah tergantung pada
stuktur patogen-associated molecular patterns (PAMPs) yang disebabkan oleh
patogen. Respon pertama terhadap patogen distimulasi oleh pattern recognition
receptors (PPRs), yang berikatan dengan PAMPs. Salah satu contoh PPRs yang
banyak diteliti adalah toll-like receptors (TLRs). Sel host yang paling banyak
berinteraksi dengan probiotik adalah intestinal epithelial cell atau sel epihel usus
(IECs). Probiotik dapat mempengaruhi DCs, yang sangat penting dalam respon
imunitas alamiah maupun dapatan. Sel epithel usus (IEC) dan DC berinteraksi dan
memberikan respon terhadap mikroorganisme usus melalui PRR yang dimiliki.
Gambar di bawah menjelaskan mekanisme probiotik berinteraksi serta
memodulasi sistem imunitas (Brito, 2012).
48
Gambar 2.3 Mekanisme biologi molekuler dari Probiotik
Setelah aktivasi oleh bakteri komensal dan mikroorganisme probiotik, sel
dendritic (DC) memulai respon yang tepat berupa diferensiasi, Th0 menjadi T
reg, yang memiliki efek penghambatan terhadap respon inflamasi dari Th1, Th 2
dan Th 17. Saat ini telah banyak diketahui bahwa probiotik dapat menekan
inflamasi intestinal dengan jalan men-down regulasi ekspresi TLR serta metabolit
sekresi yang dapat menghambat TNF-α untuk memasuki sel mononuclear darah
dan menghambat sinyal NFκB pada enterosit (Brito, 2012). Pemberian
probiotik pada tikus sehat meningkatkan ekspresi TLR2, TLR4 and TLR9, dan
meningkatkan sekresi TNF-α, IFNγ dan IL-10 pada Peyer’s Patches (Brito,
2012).
Probiotik terutama yang tergolong bakteri gram positif seperti
Lactobacillus dan Bifidobacteria, membuat keseimbangan sistem imunitas pada
saat mengkolonisasi saluran pencernaan. Kolonisasi probiotik ini akan
49
mengirimkan sinyal yang dapat mempengaruhi sistem imunitas lokal maupun
sistemik. Probiotik yang berada di saluran cerna yang jauh dari sistemik, namun
aktif berkomunikasi dengan sistem imunitas sistemik. Penelitian terkini
menunjukkan pengawasan sel sistim imunitas reguler saluran cerna menentukan
mikroflora usus. Komponen dinding sel bakteri gram positif dapat menghantarkan
sinyal yang diperantarai nuclear factor κβ dan STAT melalui leucocyte pattern-
recognition receptors. Sel host akan merespon rangsangan tersebut dengan
melepaskan pro-Cell Mediated immunity (CMI) atau sitokin pro inflamasi seperti
TNF-α, IL-12, IFN-γ dan sitokin anti-inflamasi atau sitokin regulasi seperti TGF-
β dan IL-10, tergantung strain dari bakteri tersebut (Cross, 2012).
Lactobacillus juga terbukti secara langsung menstimulasi sistem imunitas
pada permukaan mukosa usus melalui sel limfoid fokal saluran cerna yang
terlokalisir, serta dapat meningkatkan populasi limfosit dan ekspresi reseptor
permukaan sel pada lingkungan Gut Associated Limfoid Tissue (GALT), dapat
juga menstimulasi peningkatan luaran immunoglobulin ke dalam lumen
intestinal (Cross, 2012).
50
Gambar 2.4. Fungsi dan mekanisme kerja Probiotik ( Brito, 2012).
Sebagian besar spesies Lactobacillus merupakan flora normal pada usus
manusia dan aman untuk dikonsumsi sebagai probiotik. Mengapa Lactobacillus
aman dikonsumsi, karena sel dendritic (DC) secara alamiah dapat mengatasi
Lactobacillus. Efek dari tiga strain Lactobacillus yang umum digunakan telah
diteliti mampu memodulasi fenotip dan fungsi sel dendritic (DC) myeloid
manusia atau human myeloid DCs (MDCs). Sel MDCs yang telah terpapar
Lactobacillus akan meningkatkan ekspresi HLA-DR, CD83, CD40, CD80, dan
CD86 dan mensekresikan IL-12 dan IL-18 yang tinggi, namun tidak
meningkatkan IL-10. Kadar IL-12 stabil pada MDCs terpapar lipopolisakarida
Escherichia coli, sedangkan kadar IL-10 rendah. Sel MDCs yang diaktifkan
oleh Lactobacilli mengarahkan sel T CD4+
dan CD8+menjadi sel Th1 dan Tc1
ditandai dengan sekresi IFN-γ, namun tidak IL-4 atau IL-13. Penelitian
51
tersebut menunjukkan bahwa Lactobacillus dapat dimanfaatkan sebagai adjuvant
pada vaksin dengan menstimulasi DCs untuk meregulasi respon sel T melalui
jalur Th1 dan Tc1 (Mohamadzadeh, 2005).
Bukti ilmiah beberapa penelitian menunjukkan probiotik berkomunikasi
dengan sel host melalui reseptor pengenalan terpola misalnya toll-like receptors
dan domain dari nucleotide binding oligomerization mengandung protein-like
receptors, yang memodulasi jalur sinyal utama yaitu nuclear faktor-κB dan
mitogen-activated protein kinase (MAPK) untuk menstimulasi atau menekan
aktivasi dan pengaruh jalur hilir selanjutnya. Proses pengenalan ini penting
untuk menimbulkan respon antimikroba dengan efek samping inflamasi minimal
terhadap jaringan (Brito, 2012).
Probiotik dapat menekan inflamasi intestinal dengan jalan men-down-
regulasi ekspresi TLR serta metabolit sekresi yang dapat menghambat TNF-α
untuk memasuki sel mononuklear darah dan menghambat sinyal NFκB pada
enterosit. Pemberian probiotik pada tikus sehat meningkatkan ekspresi TLR2,
TLR4 and TLR9, dan meningkatkan sekresi TNF-α, IFN-γ dan IL-10 pada
Peyer’s Patches (Brito, 2012).
Probiotik menghasilkan substansi yang disebut bakteriosin. Bakteriosin
merupakan komponen anti bakteri, saat ini telah banyak digunakan sebagai
pengganti antibiotika berperan dalam proses pencegahan pembusukan atau
pengawetan pada makanan. Berdasarkan komponennya bakteriosin
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: Lantibiotics, Non-Lantibiotics dengan bobot
molekul (BM) rendah dan BM tinggi. Salah satu bakteriosin yang telah banyak
52
digunakan di bidang kedokteran hewan dan sebagai promoter pertumbuhan hewan
adalah Nisin (Prada, 2007).
Lactobacillus rhamnosus GG (LGG) merupakan salah satu probiotik yang
penting untuk terapi diare yang disebabkan virus dan antibiotika. Nitric oxide
(NO) berperan dalam mekanisme protektif Lactobacillus rhamnosus GG di
saluran cerna. Protein dan mRNA intracellular nitric oxyde synthetase (iNOS)
dideteksi dengan Western Blot dan real time polymerase chain reaction (rt-PCR)
(Oelschlaeger, 2010).
Probiotik Lactobacillus fermentum (L. fermentum) dan Lactobacillus
plantarum (L. plantarum) berpengaruh terhadap profil kandungan IgA usus halus
tikus yang diinfeksi enteropatogenic E. coli (EPEC) (Wresdiyanti, 2013).
Pada sel line makrofag J774, LGG menginduksi produksi NO yang
rendah dengan adanya IFN-γ, karena produksi NO dihambat oleh iNOS inhibitor,
cycloheximide dan nFκβ inhibitor, pyrrolidine dithiocarbamate. Lactobacillus
rhamnosus GG (LGG) dan IFN-γ menstimulasi peningkatan m RNA dan level
protein iNOS. Sel line T84 menghasilkan NO sebagai respon thd LGG pada saat
pertama kali berinteraksi dengan kombinasi dari IL-1β, TNF-α dan IFN-γ.
Lipothecoic acid (LA) struktur antigenik pada bakteri gram positif juga
menginduksi pembentukan NO pada sel J774 dengan keberadaan IFN-γ, sehingga
disimpulkan LA merupakan komponen aktif dalam LGG yang menginduksi
pembentukan NO (Oelschlaeger, 2010).
Lactococcin MMF II dihasilkan Lactococcus lactis MMFII yang diisolasi
dari produk sapi Tunisia menghasilkan bakteriosin tahan panas, tahan asam dan
53
sensitif terhadap protease. Sekuens asam amino yang didapat dengan metode
degradasi Edman menunjukkan 37 asam amino peptide dengan 2 cysteine residu
pada posisi 9 dan 14 memiliki massa 4144,6 Dalton dan memiliki N terminal yang
NGV merupakan motif konsensus serta mampu aktif melawan bakteri Listeria
(Ferchichi, 2001).
Penemuan terkini menunjukkan derajat infeksi parasit mempengaruhi
komposisi mikroflora intestinal, sehingga pendekatan alternatif yang aman untuk
mengontrol infeksi Giardia lamblia, parasit yang menghuni usus, didapatkan
melalui penggunaan lactic acid bacteria (LAB) non-patogen adherent yang
menghalangi perlekatan dan proliferasi trophozoit. Strategi nutrisi dipercaya dapat
meningkatkan komponen mikroflora intestinal yang berhubungan dengan aktifitas
proteksi tersebut diatas (Perez, 2001).
Menurut Travers 2011, terdapat 3 mekanisme kerja utama probiotik yang
dilaporkan antara lain modulasi lingkungan intestinal, probiotik mampu
mengontrol proliferasi mikroorganisme sekelilingnya dengan berkompetisi untuk
mendapatkan biotope umum misalnya upaya mendapatkan komponen nutrisi
seperti zat besi merupakan komponen nutrisi yang sangat terbatas, sehingga
sangat penting bagi bakteri dan probiotik dapat berkompetisi untuk mendapatkan
zat besi (Travers, 2011).
Lactobacillus dapat menahan zat besi yang tersedia untuk bakteri patogen
dengan mengikat ferric hydroxide pada permukaannya, bahkan beberapa probiotik
juga dapat mempengaruhi komposisi dan keseimbangan mikroflora usus. Terapi
probiotik terdiri dari campuran beberapa probiotik meningkatkan jumlah total
54
bakteri intestinal dan mengembalikan keanekaragaman mikrobiota bakteri di
tubuh pasien. Probiotik juga dapat mengontrol lingkungan biotik melalui
pengaturan motilitas dan sekresi mukus. Sekresi molekul aktif seperti bakteriosin,
antibiotik, asam lemak bebas dan hydrogen peroksida yang dapat mengontrol
lingkungan biotik (Travers, 2011).
Probiotik dapat menghalangi infeksi G. lamblia melalui berbagai
mekanisme antara lain berkompetisi terhadap tempat perlekatan probiotik yang
terbatas, memodulasi imunitas dengan menstimulasi respon imunitas host
terhadap berbagai patogen, berinteraksi dengan sel epithel, Peyer’s patches M
cells, dan sel imun di dalam usus (Hawrelak, 2003).
Interaksi tersebut menyebabkan peningkatan jumlah sel yang
menghasilkan IgA disertai dengan produksi IgM dan sIgA yang penting dalam
imunitas mukosa yang berperan sebagai pertahanan terhadap bakteri patogen.
Probiotik juga dapat mempengaruhi DC yang berperan dalam mendeteksi
antigen-antigen dalam usus dan mempresentasikannya kepada na¨ıve T cells,
sehingga akan menentukan diferensiasi sel tersebut menjadi sel T-helper (Th1,
Th2) (Hawrelak, 2003).
Lipothecoic acid 1 (La1) Lactobacillus johnsonii telah terbukti mampu
menghasilkan substansi yang dapat menghambat pertumbuhan G.intestinalis in
vitro. Substansi yang ditemukan pada supernatant La1 L johnsonii menghambat
kemampuan Giardia bereplikasi dan enkistasi. Produk ekstraseluler La1
menyebabkan perubahan dramatis pada morfologi trophozoit Giardia. Pemberian
55
La1 L. johnsonii dapat menghambat proliferasi Giardia, mencegah enkistasi dan
memutuskan rantai siklus hidup parasit (Perez 2001).
Transduksi sinyal melalui TLR penting bagi efek proteksi terhadap alergi.
Pemberian L. reuteri selama umur kehamilan 36 minggu dan bayi hingga umur 1
tahun menurunkan prevalensi IgE berkaitan dengan eczema. Lactobacillus reuteri
dapat meningkatkan kapasitas regulator imunitas selama bayi melalui mekanisme
sistem imunitas alamiah yang dimediasi CCL4 dan CXCL8. Toll like receptor
merupakan reseptor pada permukaan sel host yang dapat mengidentifikasikan
protein atau ligand tertentu dari suatu organisme. Dalam penelitian yang
melibatkan probiotik menunjukkan TLR yang berperanan adalah TLR 2, 4, dan 9.
Adapun ligand dari TLR2 adalah lipothecoic acid dari Lactobacillus, TLR 4
adalah lipopolisakarisa (LPS) dari bakteri gram negatif sedangkan TLR 9 adalah
CpG. Pemberian Probiotik mempengaruhi ekspresi mRNA dari TLR2, 4 dan 9.
Ekspresi mRNA TLR4 lebih rendah pada kelompok probiotik dari pada Placebo
(Forsberg 2014).
Komposisi mikrobiota kolon komensal dipengaruhi kombinasi pemberian
makanan dan faktor lain seperti lokasi geografis, beragam tingkat higienitas serta
iklim. Interaksi antara host dan mikroba penting selama periode neonatal.
Komposisi mikrobiota normal menjadi tantangan antigenik mempengaruhi sistem
imunitas, sehingga membantu kematangan GALT. Mikrobiota usus
mempengaruhi karakter anti-inflamasi sistem imunitas usus. Beberapa penyakit
inflamasi berkaitan dengan gangguan pada proses kematangan GALT
(Delcenserie, 2016).
56
Proses setelah mengkonsumsi probiotik terjadi interaksi bakteri ini
dengan enterosit yang mengawali respon host karena sel usus menghasilkan
berbagai molekul imunomodulator saat distimulasi bakteri. Secara in vitro telah
terbukti probiotik mampu memodulasi ekspresi molekul anti-inflamasi melalui
mekanisme tergantung strain. Probiotik atau produknya dapat mengakses sistem
imunitas usus, bertahan selama waktu tertentu dan mengawali respon imunitas
spesifik (Delcenserie, 2016).
Komponen La dari L. casei dan L.acidophilus mempunyai efek
imunostimulan sistemik dengan meningkatkan kapasitas fagositosis makrofag
peritoneal mencit serta meningkatkan kapasitas fagositosis leukosit yang diisolasi
dari darah manusia yang diberi probiotik. Probiotik juga meningkatkan
kemampuan sel NK sehingga dapat digunakan untuk mencegah pertumbuhan
tumor ganas melalui peran immunosurveillance sel NK. Pemberian oral L.
fermentum CECT5716 meningkatkan respon imun vaksin anti-influenza dengan
meningkatkan jumlah sel NK (Delcenserie, 2016).
Penelitian lain menunjukkan beberapa Lactobacillus memodulasi
ekspresi HLA-DR, CD45 dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang
diinduksi IFN-γ pada sel HT-29. Pemberian L. rhamnosus GG menghambat
sitokin menginduksi apoptosis yaitu TNF-α IL-1β atau IFN-γ dari sel epithel
usus dengan mengaktivasi molekul anti apoptosis AKT/ protein kinase B dan
menghambat pro-apoptotic p38/ mitogen-activated protein kinase signalling
pathway (Delcenserie, 2016).
57
IFN-γ dihasilkan Th1 menghambat proliferasi sel Th2 dan konsentrasi IL-
4 yang tinggi menghambat perubahan sel T naïve menjadi Th1. Antigen
presenting cell (APC) terutama DC mempunyai peranan penting untuk menjaga
keseimbangan Th1/Th2 serta toleransi imun. Sel DC dapat mempengaruhi respon
imun tergantung aktivasi lingkungan, subset DC spesifik dan aktivasi kinetiknya.
Probiotik memodulasi respon imunitas dengan mempengaruhi maturitas DC. Sel
DC menentukan sel T naïve untuk diferensiasi menjadi Th1 atau Th2 atau Th3.
Sel DC dari monosit manusia yang diberi probiotik menjadi matur sehingga
menurunkan proliferasi sel T naïve maupun memori serta menurunkan sekresi IL-
2, IL-4, IL-10 (Delcenserie, 2016).
Mikrobiota usus dapat dimanipulasi secara terapiutik melalui pemberian
beberapa spesies mikroorganisme sehingga melindungi host dari patogen.
Mekanisme kerja probiotik telah diteliti pada beberapa infeksi protozoa antara
lain: Giardia duodenalis, Cryptosporidium parvum dan Eimeria tenella, dan
infeksi nematode seperti Toxocara canis dan Strongyloides venezuelensis
memberikan hasil yang menjanjikan (Ribeiro,2016).
Pada infeksi T.gondii hanya dua penelitian yang menunjukkan efek
probiotik. Mencit yang divaksinasikan protein sitoskeleton T. gondii dengan
adjuvant Lactobacillus casei, menunjukkan respon imunitas protektif dan
produksi anti-T. gondii IgG yang lebih besar. Pada penelitian lainnya tikus Wistar
betina immunosuppressed diberi Bifidobacterium animalis subsp. lactis mampu
mensintesis IFN-γ dan selamat setelah diinokulasi dengan T. gondii RH,
sedangkan tikus yang tidak diberi probiotik mati setalah 5 hari post-infeksi. Hasil
58
ini membuktikan aktifitas imunomodulasi B. animalis subsp. lactis bermanfaat
bagi individu yang terinfeksi T. gondii (Ribeiro,2016).
Penelitian Ribeiro 2016 menguji aktifitas imunomodulasi B. animalis
subsp. lactis pada mencit yang terinfeksi T. gondii dengan menghitung populasi
limfosit CD4+, CD8+ dan CD19+ di Peyer’s patches melalui fluocytometri dan
menentukan level serum antibodi, dan menghubungkannya dengan profil
imunologis hewan coba serta perlindungan terhadap infeksi T. gondii .
Mikrobiota usus yang sehat mendukung keseimbangan Th1 dan diduga
berkaitan dengan komponen struktural bakteri PAMPS yaitu LPS dan CpG motif
yaitu 6 basa DNA motif yang terdiri dari sebuah dinucleotide yang tidak
termetilasi. Bagian LPS dari bakteri gram negatif endotoksin berikatan dengan
TLR pada permukaan sel, sedangkan CpG harus dimasukkan ke dalam sel dengan
endositosis. Mikrobiota non-patogen mempunyai efek anti-inflamasi langsung
melalui penghambatan faktor transkripsi NFκβ (Delcenserie, 2016).