Referat SN

31
BAB I PENDAHULUAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuri masif ≥ 3,5 g/dL, hiperkolesterolemia, dan lipiduri. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuri masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang, proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolism kalsium dan tulang serta hormone tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PTGA). 1 Kondisi proteinuria yang berat, hematuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, edema dan hipertensi yang tidak terdiagnosis atau tidak teratasi akan berkembang secara progresif menjadi kerusakan gromeruli yang akan menurunkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang akhirnya menjadi gagal ginjal. 2

description

referat sindrom nefrotik interna

Transcript of Referat SN

BAB IPENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuri masif 3,5 g/dL, hiperkolesterolemia, dan lipiduri. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuri masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang, proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolism kalsium dan tulang serta hormone tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PTGA).1Kondisi proteinuria yang berat, hematuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, edema dan hipertensi yang tidak terdiagnosis atau tidak teratasi akan berkembang secara progresif menjadi kerusakan gromeruli yang akan menurunkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang akhirnya menjadi gagal ginjal.2Penyakit ini terjadi tiba-tiba terutama pada anak-anak, biasanya berupa oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat. Pada dewasa yang jelas terlihat adalah edema pada kaki dan genitalia.3Di Amerika Serikat insiden sindrom nefrotik dengan nefropati diabetic adalah yang paling umum dan sejak PTGA karena nefropati tersebut mencapai rata-rata 100 kasus per juta populasi, kasus SN mencapai rata-rata 50 kasus perjuta populasi.4

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. DefinisiSindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif > 3,5 gram/24 jam/1.73 m3 disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria, dan hiperkoagulabilitas.4

2.2. Epidemiologi1Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2:1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/10.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1.000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes melitus.Berdasarkan kelainan histopatologis, SN pada anak yang paling banyak ditemukan adalah jenis kelainan minimal. International Study Kidney Disease in Children (ISKDC) melaporkan 76% SN pada anak adalah kelainan minimal. Apabila penyakit SN ini timbul sebagai bagian dari penyakit sistemik dan berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologinya, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya terhadap pengobatan. Angka mortalitas dari SNPM (Sindrom Nefrotik Perubahan Minimal) telah menurun dari 50% menjadi 5% dengan majunya terapi dan pemberian steroid.

2.3. Etiologi1,5Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis (GN) primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik seperti tercantum pada tabel 1.Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab sindrom nefrotik paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), GN membranosa (GNMN), dan GN membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan.Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada GN pasca infeksi streptokokus atau injeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organic, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes melitus.

Tabel 1. Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik

Glomerulonefritis Primer GN lesi minimal (GNLM) Glomerulosklerosis fokal (GSF) GN membranosa (GNMN) GN membranoproliferatif (GNMP) GN proliferative lainGlomerulonefritis sekunder akibat:Infeksi HIV, hepatitis virus B dan C Sifilis, malaria, skistosoma Tuberkulosis, lepraKeganasanAdenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, myeloma multiple, dan karsinoma ginjalPenyakit jaringan penghubungLupus eritematosus sistemik, arthritis rheumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease)Efek obat dan toksinNSAID, preparat emas, penisilinamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroinLain-lain:DM, amiloidosi, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah

2.4. Patofisiologi dan Manifestasi KlinisKelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerolus yang menyebabkan proteinuria masif dan kemudian terjadi hipoalbuminemia. Namun patofisiologi yang jelas mendasari terjadinya sindrom nefrotik masih belum jelas diketahui. Pada pasien dengan sindrom nefrotik, glomerolus dapat terlihat intak ataupun sedikit berubah, tanpa adanya infiltrasi sebagai manifestasi dari terjadinya peradangan. Pemeriksaan menggunakan imunofloresen pada IgG sering menunjukkan adanya deposit kompleks antigen-antibodi pada membran basal glomerolus.6a. ProteinuriaEkskresi protein pada urin orang dewasa normal adalah biasanya dibawah 150 mg/hari, namun bahkan hingga 300 mg/hari masih dapat dikatakan dalam batas normal. Saat intergritas ginjal sebagai mesin penyaring mengalami gangguan, maka sejumlah protein akan lolos ke urin yang kemudian disebut sebagai proteinuria.6Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerolus. Kerusakan glomerolus ini akan tampak melalui turunnya laju filtrasi glomerolus (GFR) sebagai akibat adanya infiltrasi sel-sel inflamasi pada bagian glomerolus yang mengalami kerusakan.6Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa mekanisme yang jelas tentang terjadinya kerusakan pada glomerolus masih sangat beragam. Namun yang paling sering disebutkan diantaranya adalah mekanisme imunologis, perubahan muatan glomerolus, pelepasan epitel glomerolus. Peristiwa yang mengawalinya seperti deposit kompleks antigen-antibodi, perubahan enzimatik maupun non-enzimatik dapat mempengaruhi komponen ekstraseluler. Proteinuria juga dapat diinisiasi oleh reaksi glomerolus terhadap growth factor, sitokin dan komponen-komponen lain yang mempegaruhi proliferasi ataupun degradasi sel-sel pada glomerolus.6Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan proteinuria pada glomerolus adalah seperti:71) Netralisasi muatan pada glomerolus2) Mekanisme imunologik Mekanisme inflamasi Mekanisme non-inflamasi Reaksi antibodi terhadap antigen glomerolus3) Faktor pada sirkulasi4) Cedera akibat toksin

Dalam keadaan normal membran basal glomerolus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul dan yang kedua berdasarkan muatan listrik. Pada sindrom nefrotik kedua mekanisme penghalang ini juga ikut terganggu. Selain itu struktur dan konfigurasi protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui membran basal glomerolus. Berikut (Gambar 1) merupakan ilustrasi mekanisme terjadinya proteinuria pada sindrom nefrotik.

Gambar 1. Mekanisme terjadinya proteinuria8

Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif adalah apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil, misalnya albumin. Sedangkan proteinuria non-selektif adalah apabila protein yang keluar terdiri dari molekul berukuran besar seperti imunoglobulin. Pada sindrom nefrotik yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi minimal sering ditemukan proteinuria selektif.9Secara klinis dikatakan proteinuria bila ditemukan 3-3,5 protein pada pemeriksaan urin 24 jam walaupun tidak semua orang dengan proteinuria demikian mengalami sindrom nefrotik. Pemeriksaan menggunakan dipstick dengan hasil 3+ juga merupakan petunjuk adanya proteinuria.10

b. HipoalbuminemiaAbnormalitas yang berkaitan langsung dengan proteinuria adalah hipoalbuminemia. Seseorang dikatakan mengalamu hipoalbuminemia jika pada pemeriksaan diperoleh hasil albumin kurang dari 2,5 mg/dL. Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin oleh hati, dan kehilangan protein melalui urin. Pada sindrom nefrotik, hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma.9 Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin tidak berhasil mengatasi hipoalbuminemia yang telah terjadi. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.9Kehilangan protein plasma lain selain albumin juga dapat terjadi pada pasien dengan sindrom nefrotik karena beberapa keadaan berikut diantaranya: (1) adanya defek akibat opsonisasi bakteri yang menginfeksi, contohnya mengakibatkan kehilangan imunoglobulin G (IgG); (2) keadaan hiperkoagulasi; (3) defisiensi vitamin D dan hiperparatiroid; (4) perubahan fungsi tiroid.6c. EdemaTerjadinya edema pada pasien dengan sindrom nefrotik dapat dijelaskan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstisial dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma, maka terjadi hipovolemia. Keadaan hipovolemia memicu sistem saraf simpatis kemudan angiotensin II yang menyebabkan peningkatan reabsorbsi tubular pada tubulus proksimal. Kemudian kompleks Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) terpicu untuk meningkatkan seksresi renin yang kemudian menurunkan sekresi ANP yang pada akhirnya menyebabkan retensi natrium. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular namun juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. Mekanisme terjadinya edema menurut teori underfill dapat dilihat pada Gambar 2.11Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium karena terdapat defek pada ginjal. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerolus (GFR) akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan menambah edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien sindrom nefrotik. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerolus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan berperan dalam menentukan mekanisme mana yang lebih berperan. Pada Gambar 3 dijelaskan mekanisme terjadinya edema menurut teori overfill.

Gambar 2. Mekanisme terjadinya edema menurut teori underfill

Gambar 3. Mekanisme terjadinya edema menurut teori overfill

d. HiperlipidemiaTemuan yang khas lainnya pada pasien dengan sindrom nefrotik adalah hiperlipidemia. Temuan ini biasanya merupakan komplikasi dari kejadian-kejadian sebelumnya. Hiperlipidemia mengacu pada homeostasis abnormal dari lipoprotein dimana terjadi peningkatan produksi di hati dan penurunan katabolisme. Pada pasien sindrom nefrotik biasanya ditemukan peningkatan dari total kolesterol, Very Low Density Lipoprotein (VLDL), dan Low Density Lipoprotein (LDL) sedangkan High Density Lipoprotein (HDL) cenderung normal atau menurun. Keadaan dislipidemia ini meningkatkan risiko terjadinya penyakit aterosklerosis dan kardiovaskular pada pasien dengan sindrom nefrotik.12Tingginya kadar LDL pada pasien sindrom nefrotik disebabkan peningkatan sintesis di hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis di hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi. Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL. Peningkatan sintesis lipoprotein di hati terjadi akibat penurunan tekanan onkotik plasma.9Secara klinis keluhan yang sering akan dikeluhkan oleh pasien dengan sindrom nefrotik diantaranya adalah edema ekstremitas yang berkembang secara progresif, peningkatan berat badan, dan mudah kelelahan. Pada tahapan yang sudah lanjut pasien akan mengeluhkan edema pada periorbita atau pada daerah genital, adanya asites, efusi pleura atau perikardial. Pasien yang datang dengan edema tanpa adanya keluhan sesak yang mengacu pada gagal jantung kongestif atau sirosis hepatis harus dicurigai mengalami sindrom nefrotik.12

2.5. Penegakkan DiagnosisSindrom nefrotik akan ditandai dengan adanya edema anasarka, proteinuria masif (>3,5 gram/hari), hipoalbuminemia ( 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.Kambuh2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu.Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.Resisten-steroid sejak terapi awal.Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.

Penatalaksanaan sindrom nefrotik dapat dikelompkkan menjadi:151. Sindrom nefrotik serangan pertamaa. Perbaiki keadaan umum penderita : Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin konsentrat. Berantas infeksi. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.b. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.2. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)a. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan.b. Perbaiki keadaan umum penderita. Sindrom nefrotik kambuh tidak seringSindrom nefrotik kambuh tidak sering adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa 12 bulan. InduksiPrednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu. RumatanSetelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu.Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.

Sindrom nefrotik kambuh seringSindrom nefrotik kambuh sering adalah sindrom nefrotik yang kambuh>2 kali dalam masa 6 bulan atau>4 kali dalam masa 12 bulan. InduksiPrednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu. RumatanSetelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.15Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari. Sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgBB/hari. Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuria. Hasilnya proteinuria berkurang, kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun.16Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic(spironolakton). Pada pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200 mg spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat multifaktorial. Diduga hipoalbuminemia menyebabkan berkurangnya transportasi obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien demikian dapat diberikan infussalt-poor human albumin. Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian infus albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema paru pada pasien hipervolemia.16Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambathidroxymethyl glutaryl co-enzyme A(HMG Co-A)reductaseyang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol. Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin D pada sindrom nefrotik.16Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/hari) sebagai antiagregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus. Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan fungsi ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami proteinuria nefrotik, albumin < 2 g/dl atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan heparin intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3 bulan atau setelah terjadi kesembuhan SN. Pemberian heparin dengan pantauanactivated partial thromboplastin time(APTT) 1,5-2,5 kali kontrol, sedangkan efek warfarin dievaluasi denganprothrombin time (PT) yang biasa dinyatakan denganInternational Normalized Ratio(INR) 2-3 kali normal.16Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus seperti campak, herpes.16Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik yang dapat terjadi 5-15 tahun setelah terkena sindrom nefrotik. Penanganannya sama dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal. Dantal dkk. menemukan pada pasien glomerulosklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi ginjal, 15%-55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin disebabkan oleh adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A menurunkan ekskresi protein urin pada pasien SN karena glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun SN sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus.16

2.8. PrognosisPrognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut:11. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas enam tahun.2. Disertai oleh hipertensi.3. Disertai hematuria.4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

Sebagian besar (+80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.1

BAB IIIKESIMPULAN

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit gromerular yang ditandai dengan proteinuri masif >3.5 gram/ 24 jam/ 1.73 m2 disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas.Penatalaksanaannya meliputi, pemberian kortikosteroid, penatalaksanaan edema, diuretik ringan, seperti tiazid dan furosemid dosis rendah, pemberian albumin intravena, antibiotik profilaksis, obat anti koagulasi (asetosal), obat antihiperlipidemia, nutrisi tinggi kalori dan rendah garam,berhenti merokok. Prognosis umumnya baik, kecuali ada faktor-faktor tertentu yang memperberat keadaan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prodjosudjadi W., 2006. Sindrom Nefrotik dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal. 1174 - 812. Cohen E.P., 2009. Nephrotic Syndrome. www.emidicine.com. 3. Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001. Sindrom nefrotic dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal. 525-274. A. Aziz Rani, Soegondo S, Mansjoer A, et al. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik PAPDI. Edisi ketiga. Jakarta: PB. PAPDI. 2009.5. Behram, dkk. 2002. Ilmu Keehatan Anak Nelson Edisi II. Jakarta: EGC.6. McPhee, S. J., Hammer, G. D. 2010. Pathophysiology of Disease. An Introduction to Clinical Medicine. Sixth Edition. USA. McGraw-Hill Companies, Inc.7. Haltia, Anni. 2002. Accademic Disertation: Pathogenesis Features of Proteinuria. Studies on Congenital Nephrotic Syndrome of the Finnish Type. University of Helsinky, Finland8. Tojo, A., Kinugasa, S. 2012. Mechanism of Glomerular Albumin Filtration and Tubular Reabsorption. Intenational Journal of Nephrology.9. Sudoyo A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiadi, S. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. Interna Publishing. 10. Kodner, C. 2009. Nephrotic Syndrome in Adult: Diagnosis and Management. American Academy of Physicians. Volume 80 (10): 1129-1134.11. Forneas, M. A. 2010. Article: Nephrotic Syndrome and Oedema Formation: A New Understanding. The Biomedical Scientist: 351-353.12. Keddis, M. T., Karnath, B. M. 2007. Review of Clinical Sign: The Nephrotic Syndrome. Hospital Physicians.Galvestone: Turner-White Communication Inc.13. Longo, D. L., Kasper, D. L., Jameson, J. L., Fauci, A. S., Hauser, S. L., Loscalzo, J. 2012. Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th Edition. USA. McGraw-Hill Companies, Inc.14. Seignuex, S. D., Martin P. Y. 2009. Managements of Patients with Nephrotic Syndrome. Swiss Medical Weekly. 139 (29-30): 416-42215. Noer, Muhammad Sjaifullah, Ninik Soemyarso. 2006. Sindrom Nefrotik. Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya, Indonesia.16. Gunawan, A. Carta. 2006. Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran. 150 (50-54).