Referat Skleritis
-
Upload
indah-prasetya-putri -
Category
Documents
-
view
192 -
download
30
description
Transcript of Referat Skleritis
PENDAHULUAN
Skleritis merupakan gangguan granulomatosa kronik yang ditandai dengan
adanya destruksi kolagen, serbukan sel inflamasi dan kelainan vaskular yang
mengisyaratkan adanya vaskulitis. Skleritis dapat disebabkan oleh berbagai macam
penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit sistemik.1
Skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani dengan
baik berupa keratitis, uveitis, glaukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif,
proptosis, katarak, dan hipermetropia. Penatalaksanaan skleritis tergantung pada
penyakit yang mendasarinya. Oleh karena itu perlu diagnosis yang tepat sesuai
dengan etiologinya guna penatalaksanaan lebih lanjut.1
Mengingat pentingnya pengetahuan tentang skleritis ini maka inilah yang
menjadi alasan penulis dalam menyusun referat ini. Penulisan referat ini hendaknya
dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan
prognosis.
1
TINJAUAN PUSTAKA
1. Sklera
a. Anatomi Sklera
Sklera dapat juga dikatakan merupakan bagian kelanjutan dari kornea. Sklera
bewarna putih buram dan merupakan bagian yang tidak tembus cahaya, kecuali di
bagian depan yang bersifat transparan yang disebut kornea.1 Sklera merupakan
lapisan fibrous dan elastik yang merupakan 5/6 bagian dinding luar bola mata dan
membentuk bagian putih mata. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan
sejumlah pigmen yang tampak sebagai warna biru, sedangkan pada dewasa karena
terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.1 Sklera dapat dimulai
dari limbus, dimana dari limbus berlanjut ke kornea dan berakhir pada kanalis optikus
yang berlanjut pada duramater (Gambar 1).
Gambar 1. Anatomi Mata
(Dikutip dari kepustakaan Subramanian,2008)
Enam otot ekstrakuler juga melakukan perlekatan pada sklera. Sklera
merupakan organ avaskuler yang menerima ransangan sensoris dari nervus siliaris
posterior. Pada sklera memiliki dua lubang utama, yaitu foramen sklerasis anterior
yang berdekatan dengan kornea yang merupakan tempat meletaknya kornea pada
sklera sedangkan foramen sklerasis posterior merupakan pintu keluar dari nervus
optikus1(Gambar 2).
Secara histologi, sklera merupakan berkas – berkas jaringan fibrosa yang
teranyam sejajar, tebalnya mencapai 10-16µm dan lebar 100-140µm yakni terdiri dari
episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologi dari sklera sangat
mirip dengan struktur kornea.
Gambar 2. Sktuktur lapisan dinding bola mata
(Dikutip dari kepustakaan Bolumleri,2008)
b. Fisiologi Sklera
Sklera memiliki fungsi dalam menyediakan sistem perlindungan terhadap
komponen intraokuler. Sklera merupakan pembungkus okular yang bersifat
viskoelastis yang memungkinkan pergerakan bola mata tanpa menimbulkan
deformitas otot-otot perggeraknya. Komponen pendukung dari sklera berupa jaringan
3
kolagen memiliki peran hampir sama seperti cairan sinovial yang jika terganggu
dapat mengenai struktur artikuler sampai pembungkus sklera serta episklera.1
2. Skleritis
a. Defenisi
Skleritis adalah penyakit inflamasi yang mengenai sklera, inflamasi dapat
terlokalisasi, berupa nodul atau difus, Skleritis dapat mengenai segmen anterior dan
segmen posterior mata yang bermanifestasi sebagai adanya kemerahan pada mata dan
nyeri yang berat pada malam hari.4
b. Klasifikasi
Skleritis terbagi menjadi dua yaitu skleritis anterior dan posterior. Skleritis
posterior jarang terjadi, tetapi dapat terjadi secara bersamaan dengan skleritis anterior.
Skleritis anterior terbagi menjadi empat, yaitu:4
1. Skleritis anterior difus. Penyebaran inlamasinya pada sebagian sclera.
Umumnya bersifat benign.
2. Skleritis anterior nodular. Memiliki karakteristik satu atau lebih bentuk
eritematosa, inflamasi nodul pada sclera anterior. 20% kasus berkembang
menjadi skleritis nekrosis.
3. Skleritis anterior nekrosis dengan inflamasi. Merupakan bentuk tersering
yang bersamaan dengan kelainan kolagen pembuluh darah pada arthritis
rematoid. Pada keadaan ini biasanya didapatkan nyeri yang parah dan
kerusakan sklera dapat terlihat jelas. Skleritis anterior nekrosis dengan
inflamasi kornea disebut dengan sklerokeratitis.
4. Skleritis anterior nekrosis tanpa inflamasi. Merupakan bentuk yang terjadi
pada pasien dengan rematoid arthritis yang sudah lama. Skleritis anterior
nekrosis tanpa inflamasi disebut dengan perforansi skleromalasia.
Skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan
melihat. Pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya
perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di
retina, udem nervus optikus dan udem makular. Inflamasi skleritis posterior yang
lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra
ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah
c. Epidemiologi
Angka kejadian skleritis lebih sering terjadi pada wanita dibanding laki-laki
dengan rasio 1,6:1, usia tersering pada usia dekade 5 kehidupan, namun tidak ada
bukti terjadinya skleritis dengan ras.4
d. Patofisiologi
Sklera terdiri dari kolagen dan jaringan ikat, yang berfungsi melindungi mata.
Degradasi enzim fibril kolagen dan masuknya sel-sel inflamasi, termasuk sel T dan
makrofag, berperan dalam proses terjadinya skleritis.3 Ketebalan sklera bervariasi
antara 0,3-1,2 mm. Sklera yang sehat berwarna putih. Inflamasi, merupakan proses
terjadinya skleritis hal ini berhubungan dengan reaksi inflamasi yang berhubungan
dengan penyakit imun kolagen.4,5
Inflamasi pada sklera dapat berkembang menjadi iskemia dan nekrosis,
menyebabkan penipisan dan perforasi bola mata. Skleritis anterior nekrosis
merupakan bentuk dari kerusakan skeritis tersering.4,5
e. Diagnosis
1. Anamnesis
Skleritis dapat terjadi dalam beberapa hari. Sebagian besar skleritis merasakan
nyeri yang biasanya bersifat konstan dan tumpul serta memburuk ketika malam hari
hingga terkadang terbangun dari tidur. Rasa nyeri dapat merambat ke bagian kepala
atau wajah yang lain, terutama sisi wajah yang sama. Ketajaman penglihatan biasanya
sedikit berkurang. Penurunan penglihatan yang lebih mencolok terjadi apabila timbul
peradangan kamera anterior, skleritis anterior akibat invasi mikroba langsung, dan
pada skleritis posterior. Bola mata sering terasa nyeri. Tanda klinis kunci adalah bola
5
mata berwarna ungu gelap akibat dilatasi pleksus vascular dalam sclera dan episklera.
Pada skleritis, pembuluh darah sclera menunjukkan pola bersilangan yang menempel
pada sklera dan tidak dapat digerakkan. Sklera juga membengkak, disertai edema
episklera dan kapsul tenon diatasnya.6,1,7
Pasien dengan necrotizing anterior scleritis with inflammation akan
mengeluhkan rasa nyeri yang hebat disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan
dapat terjadi kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis
biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis. Rasa
nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk dengan pergerakan bola mata dan dapat
menyebar ke arah alis mata, dahi, dan dagu. Rasa nyeri juga dapat memburuk pada
malam hari, bahkan dapat membangunkan pasien dari tidurnya. 6
2. Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi6,1,7,11,12
Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan
tajam penglihatan.
o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.
o Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.
Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat dilakukan
apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.
Pemeriksaan Sklera
o Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa
peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan
uvea gelap.
o Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh
peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses
berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular dan
menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi
oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.
Pemeriksaan slit – lamp
o Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau
segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior
scleritis.(Gambar 3).
Gambar 3. penebalan dan edema sklera dan injeksi yang meluas pada skleritis.
(Dikutip dari Ophthalmology a Pocket Textbook Atlas Edisi ke-2)
o Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan episkleral
bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral superfisial. Sudut
posterior dan anterior dari sinar slit lamp terdorong maju karena
adanya edema pada sklera dan episklera.
o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai
jaringan episklera superficial dan konjungtiva, tidak sampai bagian
dalam dari jaringan episklera (Gambar 4).
7
Gambar 4. Pelebaran pembuluh darah sklera yang tidak mengecil dengan pemberian fenilefrin 2,5% topikal.
(Dikutip dari Ophthalmology a Pocket Textbook Atlas Edisi ke-2)
o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area
avaskular pada sklera. Adanya daerah-daerah avaskuler
mengisyaratkan terjadinya vaskulitis oklusif dan prognosis yang
buruk.
o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau
konjungtivitis juga dapat dilakukan.
Pemeriksaan skleritis posterior
o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan
proptosis.
o Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan
koroid, dan perdarahan atau ablasio retina (Gambar 5).
o Dari USG dapat ditemukan lipatan koroid serta penonjolan diskus
nervus optikus (Gambar 6).
Gambar 5. Papil edema
(Dikutip dari Ophthalmology a Pocket Textbook Atlas Edisi ke-2)
Gambar 6. Hasil USG : Terlihat lipatan koroid (Panah) dan penonjolan diskus nervus optikus (panah)
(Dikutip dari Ophthalmology a Pocket Textbook Atlas Edisi ke-2)
3. Pemeriksaan Penunjang1,7
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis.
Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:
1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
2. Faktor rheumatoid dalam serum
9
3. Antibodi antinuklear serum (ANA)
4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks
6. Serum FTA-ABS, VDRL
7. Serum asam urat
8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis
posterior (Gambar 7).5
Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya akumulasi cairan pada kapsul tenon
(Dikutip dari Ophthalmology a Pocket Textbook Atlas Edisi ke-2)
f. Diagnosa Banding
o Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera. Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi toksik,
alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik.
Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita usia pertengahan
dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak seperti skleritis
(Gambar 8). Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi
pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis
mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan dengan
skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam penglihatan.1,7
Gambar 8. Episkleritis
(Dikutip dari Ophthalmology a Pocket Textbook Atlas Edisi ke-2)
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kemerahan, nyeri, fotofobia, nyeri
tekan dan rasa mengganjal. Bentuk radang pada episkleritis mempunyai gambaran
benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu di bawah konjungtiva.
Bila benjolan ini ditekan dengan kapas atau ditekan pada kelopak di atas benjolan,
maka akan timbul rasa sakit yang dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah
satu sektor yang disebabkan melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva.
Pembuluh darah episklera ini dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal.
Sedangkan pada skleritis, melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil
bila diberi fenilefrin 2,5% topical (Gambar 9).1,7
11
Gambar 9. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian fenilefrin 2,5% topikal.
(Dikutip dari Ophthalmology a Pocket Textbook Atlas Edisi ke-2)
g. Penatalaksanaan8
Penatalaksanaan bervariasi tergantung jenis skleritis. Skleritis nodular
anterior lebih sering respon terhadap NSAID, sedangkan skleritis nekrotikan lebih
berespon terhadap immunosupresan. Obat pilihan untuk skleritis non-nekrotikan
adalah flubiprofen 100 mg tiga kali sehari dan indometasin 25-50 mg 3 kali sehari.
Jika penggunaan satu NSAID tidak mengurangi nyeri, maka yang lain bisa dicoba.8
Penggunaan tumor necrosis factor (TNF) seperti remicade pada penderita skleritis
yang berhubungan dengan rheumatoid arthritis memberikan hasil yang menjanjikan
dalam pengobatan penyakit ini.14
Glukokortikoid sistemik digunakan pada tiga keadaan yaitu ketika
penggunaan NSAID tidak efektif, pada kasus skleritis nekrotikan anterior dan pada
kasus skleritis posterior. Dosis prednisone dimulai sebanyak 1 mg/kgBB perhari
( maksimal 60 mg/hari) dan kemudian di tapering off sesuai dengan respon klinis.
Pada pasien dengan gejala yang progresif, bisa dilakukan terapi kejut secara intravena
sebanyak 1 gram perhari selama 3 hari diikuti pemberian prednisone 60mg/hari.
Namun, Metode ini masih kontroversi, karena metode ini berisiko menyebabkan
perforasi sclera.
Obat imunosupresi diberikan pada keadaan; skleritis nekrotikan yang mendapat terapi
siklofosfamid dan glukokortikoid; tipe skleritis yang lain yang tidak terkontrol
dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 1 bulan; penggunaan
prednisone lebih dari 10mg/hari sebagai dosis maintenance untuk mengontrol
skleritis; dan isu hubungan glukokortikoid dengan efek samping yang mungkin
terjadi.
Penggunaan siklofosfamid (sampai 2 mg/kgBB/hari) menjadi terapi pilihan
untuk pasien dengan skleritis nekrotikan dan pada pasien dengan penyakit vaskulitis
sistemik seperti granulomatosis Wegener. Pembenaran penggunaan alkylating agent
dalam kasus tersebut adalah tingginya risiko kerusakan okuli yang progresif, lesi
vaskulitis ekstraokuli, dan kematian.
Pasien dengan skleritis non-nekrotikan yang membutuhkan agen
glukokortikoid-sparing, pengobatan baris pertama terdiri dari methotrexate (sampai
25 mg / minggu), azathioprine (sampai 200 mg / hari), atau mycophenolate mofetil (1
gram dua kali sehari). Dalam sebuah penelitian retrospektif yang diperiksa hasil klinis
dari 50 pasien yang diobati dengan agen ini, 46% mencapai ketenangan dan mampu
menurunkan penggunaan prednison ≤ 10 mg / hari. Tergantung pada beratnya
penyakit, pengobatan biasanya dilanjutkan selama satu sampai dua tahun setelah
peradangan terkontrol. Agen lini kedua untuk skleritis termasuk kalsineurin inhibitor
(siklosporin atau tacrolimus), infliximab, atau rituximab.
Beberapa kasus skleritis anterior nekrotikan atau scleromalacia perforans,
diperlukan Terapi bedah untuk mengatasi perluasan penipisan sclera dan mencegah
pecahnya bola mata. Operasi pencangkokan sklera dapat dilakukan dengan donor
sklera, periostium, atau fasia lata. Upaya simultan untuk mengontrol peradangan yang
mendasari dengan terapi medis sangat penting ketika operasi diperlukan.
h. Komplikasi8
Skleritis berhubungan dengan berbagai kelainan mata diantaranya kehilangan
peglihatan, uveitis, katarak, glaucoma dan penyakit segment osterior. Komplikasi
spesifik scleritis posterior dapat berupa edema diskus optikus,, edema makula
13
exudative retinal detachment. Komplikasi yang kurang umum lainnya adalah
penipisan sclera dan pecahnya bola mata dengan trauma ringan Dalam sebuah
penelitian retrospektif dari 172 pasien, uveitis anterior ditemukan pada 42% pasien
dengan scleritis, katarak terdeteksi di 17%, glaukoma pada 13%, dan penyakit
segmen posterior pada 6%. Dalam penelitian yang sama, 37% pasien mengalami
penurunan penglihatan karena scleritis, Kehilangan penglihatan yang lebih sering
terlihat pada pasien dengan necrotizing scleritis (82%).
i. Prognosis
Skleritis nekrotikans merupakan jenis skleritis yang paling merusak. Skleritis
dengan penipisan sclera yang luas atau perforasi memiliki prognosis yang kurang baik
dibandingkan jenis skleritis yang lain.9 Prognosis skleritis yang didasari penyakit
autoimun bervariasi, tergantung pada penyakit autoimun tertentu.
Skleritis di spondyloarthropathies atau lupus eritematosus sistemik, biasanya
kondisi yang relatif jinak dan self-limiting, adalah skleritis difus atau skleritis
nodular tanpa komplikasi okular.
skleritis pada penyakit granulomatosis Wegener adalah penyakit parah yang
dapat menyebabkan kebutaan permanen yang biasanya berupa skleritis
nekrotikan dengan komplikasi okular.
Skleritis pada rheumatoid arthritis atau polychondritis relaps adalah penyakit
dengan keparahan sedang, yang mungkin menyebar, nodular, atau berupa
skleritis nekrotikan dengan atau tanpa komplikasi okular.10
Prognosis Skleritis tanpa berhubungan dengan penyakit sistemik seringkali lebih
baik dibandingkan skleritis disertai infeksi atau penyakit autoimun. Kasus-kasus dari
skleritis idiopatik mungkin ringan, lebih pendek dan memberikan respon terhadap
penggunaan tetes mata steroid.10
DAFTAR PUSTAKA
1. Eva PR. Sklera. Dalam: Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editors. Oftalmologi Umum Edisi 14.Jakarta: EGC,2000.169-73.
2. Subramanian M. Eye. Medlineplus [serial online].2008.Tersedia pada http://www.medlineplus.com [dikutip tanggal 5 Mei 2013]
3. Bolumleri. Sclera. Eyestar [serial online].2008.Tersedia pada htttp://www.eyestar.com.tr/htm/sklera.htm [dikutip tanggal 5 Mei 2013]
4. Theodore JG. Scleritis in Emergency Medicine. Emedicine [serial online].2010. Tersedia pada http://emedicine.medscape.com [dikutip tanggal 5 Mei 2013]
5. Kanski JJ. Disorders of The Cornea and Sclera. Clinical Ophthalmology.Third Edition. Wallingston, Surrey: Great Britain by Butler and Tanner Ltd, Frome and London.1994.146-49.
6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2010.119-20.
7. Suhardjo. Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta : Balai Penerbit FK UGM; 2007.52-3.
8. Galor A, Thorne JE. Scleritis and Peripheral Ulcerative Keratitis. Rheum Dis Clin North Am. 2007 ;33(4):835–54.
9. Gaeta TJ. Scleritis in emergency medicine follow-up. Emedicine [serial online]. 2010. Tersedia pada http://emedicine.medscape.com/article/809166-followup. [dikutip tanggal 4 Mei 2013]
10. Maza MS. Scleritis follow-up. Emedicine [serial online]. 2010. Tersedia pada http://emedicine.medscape.com/article/followup. [Dikutip tanggal 4 Mei 2013]
11. C.Chern, Keneth. MD. Scleritis in Emergency Opthalmology. Dalam : A Rapid Treatment Guide.USA.McGraw-Hill.2002;122.
12. Yanoff M, Duker Jay.S. Scleral and Episcleral Disease. Dalam : Yanoff and Dunker Ophthalmology. 3th Edition. Mosby Elsevier.USA. 2008.
13. Gerhard K, Lang. MD. Ophthalmology a Pocket Textbook Atlas. 2 th Edition. Thieme Stuttgart.London.2006;161-68.
14. American academy of ophthalmology. External disease and cornea. Dalam : Basic and Cinical Science Course.Singapore.2009;236-41
15