REFERAT SE KONVULSIF.doc
Transcript of REFERAT SE KONVULSIF.doc
TINJAUAN PUSTAKA
STATUS EPILEPTIKUS KONVULSI
Oleh:
Almira Fathin Nabila 07700148
Thuaibatul Islamia 08700053
Luluk Nurul Farihah 08700264
Pembimbing:
dr. Utoyo Sunaryo, Sp.S
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD DR. MOH SALEH / FK UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2014
1
LEMBAR PENGESAHAN
TINJAUAN PUSTAKA
JUDUL
STATUS EPILEPTIKUS KONVULSI
Disusun oleh :
Almira Fathin Nabila 07700148
Thuaibatul Islamia 08700053
Luluk Nurul Farihah 08700264
Telah disahkan Pada :
Hari :
Tanggal :
Pembimbing
dr. Utoyo Sunaryo , Sp.S
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konvulsi (kejang) adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar.
Konvulsi dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi serebri histeria
atau berbagai manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan
otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas,
yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron
kortikal secara berlebihan. Tiap neuron melepaskan muatan listriknya.
Fenomena elektrik ini adalah wajar. Manifestasi biologiknya berupa gerak
otot atau suatu modalitas sensorik, tergantung dari neuron kortikal mana
yang melepaskan muatan listriknya. Dengan kata lain, epilepsi
didefinisikan sebagai satu kondisi di mana seseorang itu mengalami
episode-episode konvulsi yang rekuren disebabkan oleh proses kronik
yang mendasari gejala tersebut. Definisi ini mengimplikasikan sesorang
yang mengalami serangan (atau serangan-serangan) konvulsi, yang
disebabkan oleh penyebab yang bisa diperbaiki atau dihindari, tidak
semestinya mengalami epilepsi. Epilepsi merujuk kepada satu fenomena
klinis dan bukan satu entiti penyakit tersendiri, kerna terdapat banyak
bentuk dan penyebab berlakunya epilepsi. Namun, diantara sekian
banyak penyebab berlakunya epilepsi, terdapat beberapa sindrome
epilepsi tertentu di mana karakteristik klinis dan patologinya bersifat
distingtif dan mengarah ke satu etiologi tertentu. Istilah kejang tonik
klonik umum primer atau grand mal ialah serangan epileptik primer yang
berupa gerakan tonik klonik involuntar segenap tubuh dengan hilang
kesadaran tanpa suatu tanda yang mendahuluinya. Karena gerakan tonik
klonik otot dari kandung kemih, maka kandung kemih yang penuh dengan
urine akan mengeluarkan isinya. 1,7
1.2 Tujuan
3
Memenuhi tugas kepanitraan klinik Ilmu Penyakit Saraf RSUD
Moh. Saleh
1.3 Manfaat
Menambah wawasan tentang status epileptikus konvulsif
Mengetahui patofisiologi , klinis , serta penanganan pada
kasus status epileptikus konvulsif
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI 1
Epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinis , ditandai
dengan bangkitan kejang berulang akibat gangguan fungsi oak secara
intermiten . Dikatakan Epilepsi jika kejang berlangsung 2x atau lebih
dalam waktu lebih dari 24 jam dan tidak ada yang memprovokasi .
Bangkitan Epilepsi adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang
secara paroksismal . Status Epilepsi adalah bangkitan yang berlangsung
terus menerus atau berulang lebih dari 30 menit atau adanya dua
bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan tersebut tidak ada pemulihan
kesadaran .
2.2 KLASIFIKASI 1
1. Status Epilepsi Konvulsif ( bangkitan umum tonik klonik )
2. Status Epilepsi Non Konvulsif ( bangkitan bukan umum tonik klonik )
Status Epilepsi Lena
Status Epilepsi Parsial Kompleks
Status Epilepsi Non Konvulsif pada pasien koma
Status Epilepsi pada gangguan belajar
2.3 EPIDEMIOLOGI
4
Pengetahuan mengenai perkembangan statistik epilepsi pada suatu
populasi merupakan kunci untuk menilai keberhasilan atau kegagalan
didalam upaya program pencegahan dan pengobatan 2,3
Insidensi
Penelitian luas terhadap insidensi epilepsi menunjukkan adanya rentang
variasi yang lebar yakni 11-134/100.000 populasi. Meski terdapat
beberapa perbedaan geografi, namun tampaknya variasi angka tersebut
lebih disebabkan oleh perbedaan studi metodologi yang digunakan. Juga
adanya sistem klasifikasi yang berbeda dan identifikasi kasus yang tidak
adekuat. Penelitian mengenai insidensi epilepsi terhadap penduduk di
Rochester Minnesota AS dari tahun 1935-1984 mendapatkan angka
44/100.000 penduduk, dimana pria lebih banyak dibanding wanita secara
signifikan, juga insidensi epilepsi lebih tinggi terjadi pada usia anak anak
dan usia lanjut. Penyakit serebrovaskular didapatkan sebagai penyebab
terbanyak yang menduhului (11%), disusul defisit neurologis sejak lahir,
retardasi mental dan / atau cerebral palsy (8%). Dari penelitian tersebut
juga didapatkan bahwa insidensi serangan oleh karena traumatic brain
injury tertinggi terjadi pada 1 tahun pertama. Angka insiden tersebut
rendah pada kasus cedera ringan (0,3/1000 per tahun), namun tinggi
(10/1000 per tahun) pada cedera berat. Meski data sebelumnya
menyebutkan bahwa insidensi tertinggi epilepsi diantara pasien dibawah
usia 65 tahun terdapat pada anak-anak, namun bukti kuat terakhir
tampaknya mengkonfirmasi kecenderungan insidensi spesifik-umur pada
epilepsi dimana penurunan insidensi terjadi pada kelompok anak-anak
dan peningkatan bergeser ke usia lebih tua 8,11
Prevalensi
Seperti halnya insidensi, angka prevalensi epilepsi dari berbagai
penelitian berkisar 1,5–31/1000 penduduk. Estimasi prevalensi seumur
hidup dari epilepsi (pasien yang pernah mengalami epilepsi dalam suatu
saat sepanjang hidupnya) berbeda di berbagai negara. Di negara Polandia
sebesar 9,2/1000 penduduk, Norwegia 4,3/1000 dan di Islandia 5,2/1000
penduduk. Adapun rata-rata prevalensi epilepsi aktif (serangan dalam 2
5
tahun sebelumnya) yang dilaporkan oleh banyak studi di seluruh dunia
berkisar 4-6/1000. Dalam studi selama 10 tahun terhadap 6.000 populasi
di Inggris menunjukkan bahwa prevalensi seumur hidup seluruh pasien
dengan 1 atau lebih serangan afebril 20,3/1000 pada tahun 1983 menjadi
21/1000 pada tahun 1993, sedangkan prevalensi aktif dari 5,3/1000 pada
tahun 1983 turun menjadi 4,3 /1000 tahun 1993. Berapa banyak pasien
epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil studi
berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain
dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di
Indonesia sekitar 0,7-1,0%, yang berarti berjumlah 1,5-2 juta orang 3,4,9
2.4 ETIOLOGI
Tidak ada penyebab tunggal pada epilepsi. Banyak faktor yang
dapat mencederai sel-sel saraf otak atau lintasan komunikasi antarsel
otak yanga dapat menyebabkan epilepsi. Hampir 60% penyebab epilepsi
adalah idiopatik. Beberapa faktor penyebab terjadinya epilepsi yaitu
trauma kepala, intoksikasi obat, tumor otak, gangguan keseimbangan
elektrolit dan infeksi.11
Idiopatik
Penyebab yang tidak diketahui ini dapat terjadi pada semua usia tapi
lebih sering pada kelompok umur 5-20 tahun. Pada pemeriksaan CT scan
atau MRI, biasanya tidak ditemukan kelainan. Penderita juga sering
mempunyai riwayat keluarga yang
mengidap epilepsi.2,3,11
Kelainan metabolik
Penyebab ini dapat terjadi pada semua umur. Kebanyakan terjadi akibat
komplikasi dari diabetes mellitus, keseimbangan elektrolit, gagal ginjal,
defisiensi nutrisi dan intoksikasi alkohol atau obatan. 2,11
Trauma kepala
6
Penyebab ini dapat terjadi pada semua umur terutama pada dewasa
muda. Epilepsi lebih sering terjadi pada kontusio serebri dan biasanya
muncul bangkitkan 2 tahun
pascacedera. 4,11
Tumor
Tumor adalah penyebab yang bisa terjadi pada semua umur terutama
pada umur di atas 30 tahun yang pada awalnya berupa bangkitan parsial
dan kemudian berkembang menjadi bangkitan umum tonik-klonik. 3,11
Infeksi
Infeksi juga bisa menyebabkan epilepsi yang biasanya dalam bentuk
ensefalitis, meningitis atau abses. 3,11
2.5 PATOFISIOLOGI
Tiap neuron yang aktif melepaskan muatan listriknya. Fenomena
elektrik ini adalah wajar. Manifestasi biologik merupakan gerak otot atau
sesuatu modilitas sensorik dan iyanya bergantung dari neuron kortikal
mana yang melepaskan muatan listriknya. 1,3
Secara fisiologis, neuron memiliki potensial membran. Hal ini terjadi
karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di
luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi
pada membran pada bagian interneuron yang lebih negatif. Neuron
bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu cetusan
listrik melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan
terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat dan proses
inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup
besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan
dikirim disepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron
lain. Sel glia mempunyai bagian terbesar dari sel-sel di susunan saraf
pusat dan mempunyai peranan dalam mempertahankan keseimbangan
ionisasi agar depolarisasi yang telah terjadi dapat disusul dengan
depolarisasi. Oleh karena itu, sel glia berperan dalam inhibisi. 1,7,11
7
Pada keadaan patologik, kejang biasanya memerlukan tiga kondisi : 5,8
· Neuron yang mengalami eksitasi akibat faktor patologi
· Peningkatan aktivitas eksitasi glutamat
· Penurunan aktivitas inhibasi GABA
Pada keadaan yang bersifat toksik atau mekanik, keadaan ini dapat
menurunkan potensial membran neuron, sehingga neuron melepaskan
muatan listriknya. Hal ini sama pada tumor serebri atau iskemik serebri
dimana neuron kortikal mengalami gangguan pada potensial
membrannya sehingga ia melepaskan muatan listriknya. Dalam keadaan
peningkatan aktivitas eksitasi glutamat, bangkitan epilepsi dapat terjadi
apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada proses
inhibasi.1,7
Bangkitkan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron
yang abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkaitan
dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan berulang-ulang. Cetusan
listrik abnormal ini kemudian mengaktifkan neuronneuron di sekitarnya
untuk ikut serta melepaskan cetusan potensial aksi. Faktor-faktor yang
mendukung pengembangan kejang termasuk perubahan dalam
konsentrasi elektrolit (Na +, K +, Ca2 +), rangsang asam amino (asam
glutamat), dan penghambatan asam amino (GABA), koneksi interneuron
yang tidak teratur, dan hubungan aferen yang abnormal dari struktur
subkortikal. 5,11
8
( dikutip dari kepustakaan 5 )
9
2.6 GEJALA KLINIS
Konvulsi tonik-klonik ini selalunya menyerang secara tiba-tiba, walaupun ada sebagian
pasien yang mengaku mengalami simptom pre-konvulsi beberapa waktu sebelum mengalami
konvulsi. Fase awal konvulsi tonik-klonik pada majoritas kasus dimulai dengan kontraksi otot
tonik di seluruh bagian badan. Kontraksi tonik pada otot pernapasan dan larynx akan
menyebabkan pasien kedengaran mengerang. Pernapasan bisa terganggu, sekresi air liur
meningkat di oropharynx, dan akhirnya menimbulkan gejala sianosis. Kontraksi otot rahang
kadang bisa menyebabkan pasien tergigit lidahnya sendiri. Tonus simpatetis meningkat,
menyebabkan nadi, tekanan darah, dan pelebaran diameter pupil turut meningkat. Setelah 10
hingga 20 detik, fase tonik akhirnya berubah menjadi fase klonik, ditandai dengan relaksasi
otot-otot secara menyeluruh. Periode relaksasi ini bertahan sehingga hampir 1 menit sebelum
pasien memasuki fase post-ictal, di mana pasien secara umumnya hilang kesadaran, tonus
otot melemah, dan sekresi saliva yang banyak bisa menyebabkan obstruksi saluran napas.9,10
Inkontinensia urin atau rektum bisa terjadi pada waktu ini. Pasien secara perlahan-lahan
kembali sadar dalam jangka waktu menit ke jam, dan seringkali disertai dengan kebingungan.
Gejala-gejala post-ictal seperti sakit kepala, capek, dan nyeri otot biasanya muncul dan bisa
bertahan sehingga beberapa jam. Fase kesadaran menurun bisa berlangsung selama beberapa
jam pada pasien dengan penyakit sistem saraf pusat, seperti pada pasien serebral atropi
disebabkan oleh intoksikasi alkohol. 1,11
2.7 DIAGNOSIS
Elektroensefalografi (EEG) dapat memberikan informasi yang berharga dalam
diagnostik epilepsi, oleh karena pada penderita-penderita epilepsi dapat ditemukan serangan
elektroensefalografik, di luar masa serangan klinis. Adakalanya serangan
elektroensefalografik itu muncul sebagai serangan klinis, sehingga penderita yang sedang
direkam, baik di atas kertas EEG, maupun secara klinis, dapat disaksikan memperlihatkan
gejala epilepsi. Bilamana seseorang sudah pernah mendapat serangan klinis, maka adanya
pola EEG yang bersifat khas epileptik, sudah merupakan informasi yang kuat untuk
memastikan adanya epilepsi. Menyaksikan sendiri timbulnya serangan epileptik atau
alloanamnesis yang sesuai dengan gejala serangan epileptik termaksud itu merupakan satu-
satunya syarat kokoh yang menentukan diagnosis epilepsi.11
2.8 PENGOBATAN 4,10,11
10
Status epileptikus tipe grandmal ini merupakan gawat darurat neurologic. Harus
diatasi secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen.
Biasanya dilakukan 3 tahap tindakan :
1. Stabilisasi penderita.
2. Menghentikan kejang.
3. Menegakkan diagnosis.
Stabilisasi penderita
Tahap ini meliputi usaha-usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital yang
mungkin terganggu; membersihkan udara dan jalan pernafasan, serta memberikan oksigen.
Dalam keadaan tertentu, tcrutama bila kejang sudah lama atau ada hambatan saluran
pemafasan, harus dilakukan intubasi. Tekanan darah dipertahankan, diberikan garam
fisiologis dan bila perlu diberi vasopressor. Darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap,
gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin dan bagi penderita epilepsi diperiksa kadar obat dalam
scrum darahnya. Harus diperiksa gas - gas darah arteri, untuk melacak adanya asidosis
metabolik dan kemampuan oksigenasi darah. Asidosis dikoreksi dengan bikarbonat intravena.
Segera diberi 50 ml glukosa 50% intravena, diikuti pemberian tiamin 100 milligram
intramuskuler.
Menghentikan Kejang
Tindakan awal adalah tindakan yang harus dilakukan ketika pasien kejang. Yang kedua
mencari penyebab yang menyebabkan seseorang kejang. Yang ketiga adalah pengobatan.
Manajemen sewaktu kejang :
1. Menjauhkan pasien dari api, lalu lintas, dan air
2. Hindarkan benda-benda yang dapat membahayakan pasien
3. Longgarkan pakaian yang ketat,
4. Letakkan benda yang lembut dibawah kepala pasien
5. Miringkan badannya pasien, sehingga air liur dan lender keluar dari mulut
6. Tetaplah bersama pasien sampai pasien sadar
7. Biarkan pasien istirahat atau lanjutkan aktivitas yang dilakukan oleh pasien sebelumnya.
Jangan lakukan :
11
1. Jangan masukan apapun kedalam mulut
2. Jangan memberikan minum
3. Jangan mencoba untuk menahan gerakan.
Monoterapi
Ketika pengobatan dimulai juga dengan satu obat saja. Dosis awalnya kecil, diberikan
untuk 3-4 minggu (fenobarbital atau fenitoin) atau selama satu minggu (carbamazepine atau
valproate) kemudian ditingkatkan secara bertahap sampai kejang dikendalikan, atau sampai
efek samping muncul, atau sampai dosis maksimum untuk obat tersebut telah tercapai. Jika
efek samping muncul dan kejang belum terkontrol obat kedua diperkenalkan dan obat
pertama dilanjutkan pada tingkat sebelum efek samping muncul. Ketika obat kedua telah
efektif, obat pertama secara bertahap dosis diturunkan. Jika kejang berulang, obat kedua
meningkat. Hanya ketika kedua obat telah dicoba sendiri sampai ke tingkat di mana efek
samping terjadi mungkin kombinasi dari dua obat dicoba. Dalam sejumlah kecil kasus (sering
otak anak-anak rusak) obat ketiga harus ditambahkan.
Obat anti-epilepsi yang utama:
1. Fenobarbital
Obat ini tidak lagi dianjurkan dalam perkembangan dunia, tapi obat ini merupakan
antikonvulsan yang berguna, efektif dan murah. Tetapi jika tidak ada perbaikan, atau bahkan
kondisinya memburuk dosis tidak harus ditingkatkan di luar 120 mg setiap hari, dan pasien
dirujuk ke klinik atau rumah sakit yang menyediakan antikonvulsan selain fenobarbital. Efek
samping utama dari fenobarbital adalah mengantuk, terutama selama minggu pertama
pengobatan, perlahan-lahan menghilang, dan hanya berulang ketika dosis terlalu tinggi. Pada
beberapa anak mungkin ada pengurangan skolastik kinerja atau perubahan perilaku, seperti
hiperaktif dan kadang-kadang agresivitas. Fenobarbital memiliki waktu paruh yang panjang.
Oleh karena itu, akan memakan waktu beberapa minggu sebelum mencapai efek . Ini juga
berarti bahwa hal itu dapat diberikan hanya sekali sehari, sebaiknya setelah makan malam
sebelum pasien tidur. Indikasi utama adalah epilepsi idiopatik umum. Tetapi juga cukup
efektif dalam kejang umum lainnya dan kejang parsial.
2. Fenitoin
12
Fenitoin juga merupakan antikonvulsan sangat efektif untuk kejang parsial, GTCS
( Generallized Tonic Clonic Seizure ) dan kejang saat tidur. Masalah utama adalah margin
kecil antara tingkat terapeutikk dan tingkat di mana enzim metabolisme jenuh dan tingkat
serum meningkat secara bertahap untuk mencapai nilai-nilai beracun. Peningkatan dosis tidak
lebih besar dari 50 mg untuk mencegah efek samping. Efek samping adalah rasa kantuk,
permen hipertrofi dan hirsutisme, dan ketika dosis adalah ataksia terlalu tinggi dan
nystagmus. Selain tanda-tanda cerebellar reversibel pada dosis tinggi, telah disarankan bahwa
sindrom cerebellar permanen mungkin terjadi akibat dari terapi kronis. Sebuah sub-klinis
neuropati ringan sering terjadi setelah terapi fenitoin berkepanjangan, tetapi dapat terjadi
dengan obat lain juga. Jika toksisitas telah muncul, dosis harus dihilangkan untuk satu hari
dan kemudian dimulai kembali pada tingkat yang lebih rendah. Jika memungkinkan,
perubahan-over untuk antikonvulsan lain dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan lebih
lanjut. Fenitoin juga memiliki waktu paruh yang panjang tergantung dosis, waktu paruh lebih
lama pada dosis yang lebih tinggi, dan mungkin diperlukan waktu hingga dua minggu
sebelum menjadi efektif. Hal ini dapat diberikan dalam dosis sekali sehari. Karena sedikit
mengiritasi lambung, harus selalu diberikan setelah makan, dan ketika dosis tinggi, mungkin
lebih baik untuk membaginya menjadi dua dosis.
3. Karbamazepin
Karbamazepin merupakan obat yang dipasarkan setelah 1960. Indikasi utama adalah
untuk kejang parsial kompleks. Tetapi juga efektif untuk sebagian lainnya kejang dan untuk
semua GTCS. Hal ini tidak efektif untuk absen umum dan mioklonik kejang. Pada awal
pengobatan mengantuk, pusing dan terjadi lagi ketika dosis terlalu tinggi. Kemudian mungkin
ada juga penglihatan ganda dan ataksia. Tidak memiliki waktu paruh yang panjang dan
karena itu tidak dapat diberikan sekali sehari. Perlu diberikan dua kali sehari dan bila
dikombinasikan dengan obat lain harus diberikan tiga kali sehari.
4. Valproate
Valproate telah dipasarkan sejak tahun 1966. Ketika fenobarbital tidak dapat digunakan
sebagai pencegahan kejang demam, valproate dapat digunakan sebagai pengganti. Ia
memiliki waktu paruh pendek. Meskipun tindakan farmakodinamik dalam sistem saraf pusat
melebihi kehadirannya dalam serum, harus diberikan tiga kali sehari untuk menghindari
konsentrasi tingkat tinggi. Efek samping yang spesifik adalah peningkatan berat badan,
13
kehilangan rambut, dan iritasi lambung. Efek pada janin lebih serius, seperti spina bifida
mungkin terjadi. Risiko spina bifida dikurangi dengan menambah folat pada semua wanita
berisiko hamil.
5. Klonazepam
Klonazepam jarang digunakan sendiri. Hal ini biasanya ditambahkan ketika tidak ada
kontrol yang cukup dari kejang, sering pada anak dengan serangan penurunan dan kejang
mioklonik.
6. Diazepam
Diazepam digunakan untuk status epileptikus atau status kejang demam. Hal ini juga
digunakan untuk membatalkan kejang demam untuk mencegah kejang demam
berkepanjangan. Harus diberikan secara intravena, tetapi jika vena tidak dapat ditemukan,
solusi yang sama dapat diberikan melalui dubur.
Menegakkan diagnosis
Dalam tahap ini bukan diagnosis epilepsi yang dicari, melainkan upaya untuk mencari
apa yang menjadi latar belakang timbulnya status epileptikus. Tahap ini sedikit banyak
tumpang tindih dengan tahap stabilisasi penderita. Selama dilakukan usaha untuk
mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital, alloanamnesis dilakukan untuk memperoleh
keterangan mengenai riwayat penyakit sebelumnya. Adanya kemungkinan riwayat epilepsi,
penggunaan alkohol, obat penenang, trauma, radang otak dan penyakit lain yang ada
kaitannya dengan status epileptikus. Tahap ini sangat penting untuk menentukan prognosis di
samping keberhasilan tahap sebelumnya.
2.9 KOMPLIKASI 5,11
Asidosis
Hipoglikemia
Hiperkarbia
Hipertensi pulmonal
Edema paru
14
Hipertermia
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Gagal ginjal akut
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Edema otak
Aspirasi Pneumonia
2.10 PROGNOSIS 8,10
Tergantung pada:
Penyakit dasar
Kecepatan penanganan kejang
Komplikasi
15
BAB III
KESIMPULAN
Epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinis ,
ditandai dengan bangkitan kejang berulang akibat gangguan fungsi
oak secara intermiten . Dikatakan Epilepsi jika kejang berlangsung
2x atau lebih dalam waktu lebih dari 24 jam dan tidak ada yang
memprovokasi . Bangkitan Epilepsi adalah manifestasi klinis yang
serupa dan berulang secara paroksismal . Status Epilepsi adalah
bangkitan yang berlangsung terus menerus atau berulang lebih dari
30 menit atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara
bangkitan tersebut tidak ada pemulihan kesadaran . Angka
prevalensi epilepsi dari berbagai penelitian berkisar 1,5–31/1000
penduduk. Konvulsi tonik-klonik ini selalunya menyerang secara tiba-tiba,
walaupun ada sebagian pasien yang mengaku mengalami simptom pre-konvulsi
beberapa waktu sebelum mengalami konvulsi .Status epileptikus tipe grandmal ini
merupakan gawat darurat neurologi. Harus diatasi secepat mungkin untuk
menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono M, Sidharta P, editors. Neurologi Klinis Dasar. Edisi 9. Jakarta: DIAN
RAKYAT;2003.p.439-48
2. Simon RP, Aminoff MJ, Greenberg DA, editors. Clinical Neurology, 7th Edition, 2009,
McGraw Hill Lange
3. Rohkamm R,editor. Color Atlas of Neurology, 2004.p.198-199
4. Shorvon SD, Fish DR, Perucca E, Dodson WE, editors. The Treatment of Epilepsy, 2nd
edition.p.74-82
5. Greenstein B, Greenstein A, editors. Color Atlas of Neuroscience. Thieme Sturrgart;
2000,p362-63
6. David,YK Urticaria- A Review (Online) 2009 August [cited 05/09/2012], (screens 1).
Available from URL: http://www.medscape.com/viewarticle/588551VB
7. Tjahjadi P, Dikot Y, Gunawan D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Tjahjadi P,
Dikot Y, Gunawan D, editors. Kapitas Selekta Neurologi. Edisi 5. Jakarta;2010. p.119-33
8. Ropper AH, Brown HR, editors. Adams & Victors’ Principles of Neurology. 8th
Edition,2005, McGraw Hill,p.272-96
9. Dekker PA,editor. Epilepsy: A Manual for Medical and Clinical Officers in Africa. WHO
Geneva, 2002.p.57-65
10. Fisher SR, Saul M. How is Epilepsy Diagnosed (Online) 2009 August [cited 05/09/2012],
(screens 1). Available from URL: http://epilepsy.com
11. Royal College of Physicians. Diagnose Epilepsy (Online) 2003 August [cited
03/11/2012], (screens 1). Available from URL: http://sign.ac.uk
17