REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

41
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-akhir ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi pada 152.000 kasus di USA yang terjadi tiap tahunnya menghasilkan kematian. Begitu pula dalam praktek sehari-hari, Status Epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian. Status Epileptikus secara fisiologis didefinisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa adanya normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki spektrum luas dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi. Berdasarkan observasi pada pasien yang menjalani monitoring video-electroencephalography (EEG) selama episode kejang, komponen tonik-klonik terakhir satu sampai dua menit dan jarang berlangsung lebih dari lima menit. Batas ambang untuk membuat diagnosis ini oleh karenanya harus turun dari lima sampai sepuluh menit. Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi: status petitmal, status psikomotor, dan lain- 1

Transcript of REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

Page 1: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-

akhir ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi

pada 152.000 kasus di USA yang terjadi tiap tahunnya menghasilkan kematian. Begitu pula

dalam praktek sehari-hari, Status Epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara

cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian.

Status Epileptikus secara fisiologis didefinisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa

adanya normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki

spektrum luas dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi.

Berdasarkan observasi pada pasien yang menjalani monitoring video-electroencephalography

(EEG) selama episode kejang, komponen tonik-klonik terakhir satu sampai dua menit dan

jarang berlangsung lebih dari lima menit. Batas ambang untuk membuat diagnosis ini oleh

karenanya harus turun dari lima sampai sepuluh menit.

Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi: status

petitmal, status psikomotor, dan lain-lain. Biasanya bila status epileptikus tidak bisa diatasi

dalam satu jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen. Oleh karena itu,

gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-rata 15 % penderita

meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita

yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut

menjadi penderita epilepsy.

Berdasarkan kompleksitas dari penyakit ini, Status Epileptikus tidak hanya penting

untuk menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit dasar merupakan bagian

utama pada penatalaksanaan Status Epileptikus

1

Page 2: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Definisi

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status

epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang

tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung

lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang

persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus

dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

2.1.2 Epidemiologi

Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian

kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di

Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala

yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada

pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat

antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi

mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira

10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada

neonatus, anak-anak dan usia tua.

Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat

dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan

sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara

miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang

paling tinggi.

2

Page 3: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

2.1.3 Etiologi

Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal (tabel 1). Secara klinis dan

berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme

kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase

jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa

serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada

tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi

berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf

irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada

terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan

syaraf yang irreversibel.

Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika

peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti

oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan

syaraf dan kehilangan otak berlanjut.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal

pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,

hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat

efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.

Komplikasi terjadinya status epileptikus dapat dilihat dari tabel 2.

Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan

melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan

pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan

Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

3

Page 4: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

Tabel 1. Etiologi status epileptikus

Anoksia

Antikonvulsan- withdrawal

Penyakit cerebrovaskular

Epilepsy kronik

Infeksi SSP

Toksisits obat-obatan

Metabolic

Trauma

Tumor

Tabel 2. Komplikasi Status Epileptikus

Otak Peningkatan Tekanan Intra Kranial

Edema serebri

Thrombosis arteri dan vena otak

Disfungsi kognitif

Gagal ginjal Myoglobinuria

Rhabdomiolisis

Gagal nafas Apneu

Pneumonia

Hipoksia, hiperkapnia

Gagal nafas

Pelepasan katekolamin Hipertensi

Edema paru

Aritmia

Glikosuria, dilatasi pupil

Hipersekresi, dilatasi pupil

Jantung Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme

Metabolic& sistemik Dehidrasi

Asidosis

4

Page 5: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

Hiper- hipoglikemia

Hiper- hiponatremia

Kegagalan multi organ

idiopatik Tromboflebitik

Fraktur

DIC

2.1.4. Patofisiologi

Patofisiologi status epileptikus terdiri dari banyak mekanisme dan masih sangat sedikit

diketahui. Beberapa mekanisme tersebut adalah adanya kelebihan proses eksitasi atau inhibisi

yang inefektif pada neurotransmiter, dan adanya ketidak seimbangan aktivitas reseptor eksitasi

atau inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik utama yang berperan dalam kejang adalah

glutamat. Faktor – faktor apapun yang dapat meningkatkan aktivitas glutamat akan

menyebabkan terjadinya kejang.

Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah GABA. Antagonis

GABA seperti penisilin dan antibiotik dapat menyebabkan terjadinya kejang. Selain itu,

kejang yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA sehingga mudah

menyebabkan kejang.

Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan hormon dimana

terdapat glutamat yang berlebihan yang akan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel

neuron dan akhirnya menyebabkan apoptosis (eksitotoksik). Selain itu, juga dapat disebabkan

oleh GABA dikeluarkan sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang tetapi GABA itu

sendiri menyebabkan terjadinya desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah jika terdapat

hipertermi, hipoksia, atau hipotensi.

Terdapat dua fase dalam status epileptikus yaitu fase pertama ( 0 – 30 menit) dan

fase kedua (> 30 menit). Pada fase pertama, mekanisme kompensasi masih baik dan

menimbulkan pelepasan adrenalin dan noradrenalin, meningkatnya aliran darah ke otak,

meningkatnya metabolisme, hipertensi, hiperpireksia, hiperventilasi, takikardi, dan asidosis

5

Page 6: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

laktat. Pada fase kedua, mekanisme kompensasi telah gagal mempertahankan sehingga

autoregulasi cerebral gagal dan menimbulkan odem otak, depresi pernafasan, aritmia jantung,

hipotensi, hipoglikemia, hiponatremia, gagal ginjal, rhabdomiolisis, hipertermia, dan DIC.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal

pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,

hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat

efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.

Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan

penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari

glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan

kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

 

2.1.5. KLASIFIKASI ILAE (International League Against Epilepsy)

Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi :

Serangan parsial

Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).

- Motorik

- Sensorik

- Otonom

- Psikis

Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.

- Gangguan kesadaran saat awal serangan.

Serangan umum sekunder

- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.

- Parsial kompleks menjadi tonik klonik

- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.

Serangan umum.

- Absans (lena)

- Mioklonik

- Klonik

6

Page 7: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

- Tonik

- Atonik.

Tak tergolongkan.

KLASIFIKASI ILAE (International League Against Epilepsy)

Untuk sindroma epilepsi :

Berkaitan dengan letak fokus

Idiopatik (primer)

- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik

benigna)

- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

- Primary reading epilepsy“.

Simptomatik (sekunder)

- Lobus temporalis

- Lobus frontalis

- Lobus parietalis

- Lobus oksipitalis

- Kronik progesif parsialis kontinua

Kriptogenik

Umum

Idiopatik (primer)

- Kejang neonatus familial benigna

- Kejang neonatus benigna

- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

- Epilepsi absans pada anak

- Epilepsi absans pada remaja

- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.

- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.

Kriptogenik atau simptomatik.

7

Page 8: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).

- Sindroma Lennox Gastaut.

- Epilepsi mioklonik astatik

- Epilepsi absans mioklonik

Simptomatik

- Etiologi non spesifik

- Ensefalopati mioklonik neonatal

- Sindrom Ohtahara

- Etiologi / sindrom spesifik.

- Malformasi serebral.

- Gangguan Metabolisme.

Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.

Serangan umum dan fokal

- Serangan neonatal

- Epilepsi mioklonik berat pada bayi

- Sindroma Taissinare

- Sindroma Landau Kleffner

Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

Epilepsi berkaitan dengan situasi

- Kejang demam

- Berkaitan dengan alkohol

- Berkaitan dengan obat-obatan

- Eklampsi.

- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

2.1.6 Gambaran klinik

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah

keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan

8

Page 9: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44

sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.

Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan

potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik

umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status

tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa

pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang

melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien

menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi

dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia

dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan

asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam

pertama pada kasus yang tidak tertangani.

Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)

Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum

mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

9

Page 10: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan

kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan

merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

Status Epileptikus Mioklonik.

Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus

adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat

kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat

dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik,

infeksi atau kondisi degeneratif.

Status Epileptikus Absens

Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas

atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai

suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai

“slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin

ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG

terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.

Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.

10

Page 11: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

Status Epileptikus Non Konvulsif

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial

kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-

konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.

Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional,

cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi

psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan

generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status

absens.

Status Epileptikus Parsial Sederhana

a. Status Somatomotorik

Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-

jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan

berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang

mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG

sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform

discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering

berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari

status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau

gangguan berbahasa (status afasik).

b. Status Somatosensorik

Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik

unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

Status Epileptikus Parsial Kompleks

Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang

cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme,

gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG

terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan

11

Page 12: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan

EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status

epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.

2.1.7 Diagnosis dan pemeriksaan penunjang

Diagnosis Awal

A. Anamnesis

Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan

kejang atau bukan , dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan

wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata

yang mengetahui serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan

adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan kejang

itu berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut

biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada

kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami pasien

Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut :

1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia

serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan

kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada

masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang

umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70

tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan

patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb.

2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada

waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang

dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana

suatu “aura” itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti

ada fokus di otak. Sebagian “ aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan

12

Page 13: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà

vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin

merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara mungkin

dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum

bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat gangguan pada

kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang

umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.

3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan

serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat

menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata

yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan

kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas

motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama

serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan

kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ? Apakah ada

sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien

mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat

menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang

yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan

atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat

menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan.

Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang

umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.

4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode sesudah

serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal period ”

Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur.

Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya

sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi

sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya

fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran

13

Page 14: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas

tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.

5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik

klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari.

Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan

kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.

6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena

kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang

tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional,

panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading &

eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan

pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.

7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk

mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti

kejang .

8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini

mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti

kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang

digunakan spesifik bermanfaat

9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan

tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan

kejang secara lengkap.

10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?

Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat

serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu

untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang

atau mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat

dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.

11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan

mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat

mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin

14

Page 15: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat,

ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.

Riwayat medik dahulu

Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang berguna

dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang dan

pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan selanjutnya.

Riwayat sosial

Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini penting

sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi

1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin

dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan

juga dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan

bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang

dialaminya itu.

2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang seragan

kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif.

Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila serangan

kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk memperoleh dan menjalankan pekerjaan

adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih

bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi

bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang

mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan

pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan dirinya.

3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang

serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak

mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun

masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien

epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.

15

Page 16: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan

kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi

penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian

juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga menggunakan

kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang

sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko

terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.

5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya

serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol. Selain

berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan

ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol .

Riwayat keluarga

Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi

yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana

manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile myoclonic epilepsy

(JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan

kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus.

Riwayat alergi

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan

apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat

semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan

eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas

Riwayat pengobatan

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana

kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama

ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya.

16

Page 17: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.

Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan penunjang

seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI.

B. Pemeriksaan Fisik Dan Neurologi.

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan

menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia

lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit

vaskular. Pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan

kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi

penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Juga perlu dilihat apakah ada

bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau

apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang,

kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat

fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh karena

pemberian fenobarbital jangka lama.

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis,

fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti

hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat

menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya

nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi

seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu

serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan

kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat

dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa

menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya

distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

17

Page 18: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

Pemeriksaan Laboratorium.

Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati

dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama

dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test

fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan

toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug

abuse”

Pemeriksaan Elektroensefalografi

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan

elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman

pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan

hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting

untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut

1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien

dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan

EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis

serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.

2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola

epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis

epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave

complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.

3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat

menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan kejang.

Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu

dilakukan dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan

keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :

1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan

epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila

18

Page 19: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %.

Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal,

sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting

sekali.

2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya

epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang

normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan

untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.

3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin

saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien

epilepsi anak.

4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan

epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform

difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk

menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau

serangan kejang umum.

Pemeriksaan Video-Eeg

Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis

epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada

pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau

juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi

pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah

serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman

dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil

rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi

Pemeriksaan Radiologi

Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance

Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural

diotak . Indikasi CT Scan kepala adalah:

19

Page 20: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan

struktural di otak.

- Perubahan serangan kejang.

- Ada defisit neurologis fokal.

- Serangan kejang parsial.

- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.

- Untuk persiapan operasi epilepsi.

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun

demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan

untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan.

Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis

kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat

mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya

meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan

coronal dan irisan saggital.

Pemeriksaan Neuropsikologi

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan

pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya

memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan

pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan

epilepsi.

2.1.8 Penatalaksanaan

Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan

anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera.

Mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status

epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of

America (EFA). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan

20

Page 21: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam

(Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed).

Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid

(GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.

Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang

mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di

bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil

menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Nama obat Dosis (mg/kg) Persentase

Lorazepam 0,1 65 %

Phenobarbitone 15 59 %

Diazepam + Fenitoin 0.15 + 18 56 %

Fenitoin 18 44 %

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan

Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut

dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah

dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi

maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10

%) dari Lorazepam adalah sama.

Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan

Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak

lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang

berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin

parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan

harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk

mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan

dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi

yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

21

Page 22: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

Status Epileptikus Refrakter

Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.

Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang

cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau

hipokalsemia persisten.

Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat

meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi

dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama. Dalam mengatasi status

epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone

secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik

seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika

tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan

dosis awal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus menurut EFA (Epilepsy Foundation of

America)

Pada : awal menit

1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)

a. Periksa tekanan darah

b. Mulai pemberian Oksigen

c. Monitoring EKG dan pernafasan

d. Periksa secara teratur suhu tubuh

e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,

hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa

AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)

22

Page 23: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat

4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg

IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty

5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)

6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena

dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika

kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan

kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika

kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg

per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat

menelan.

Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur

2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100

mg per menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena

hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam;

kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti.

Pertahankan tekanan darah stabil.

-atau-

Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg

per menit, titrasi dengan bantuan EEG.

-atau-

Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan

berdasarkan gambaran EEG.

23

Page 24: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

2.1.9 Prognosis

Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari status

epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan atau akibat

alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan

dilakukan pencegahan terjadi komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka

prognosis tergantung dari meningitis tersebut.

24

Page 25: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

BAB III

PENUTUP

Status Epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus ditangani segera

dan secepat mungkin, karena melibatkan proses fisiologis pada sistem homeostasis tubuh,

kerusakan syaraf dan otak yang dapat mengakibatkan kematian. Penanganannya tidak hanya

menghentikan kejang yang sedang berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit

dasar dari status tersebut. Umur, jenis kejang, etiologi, jenis kelamin perempuan, durasi dari

status epileptikus, dan lamanya dari onset sampai penanganan merupakan faktor prognostik

penting.

Dengan ditetapkannya atau lebih dipahaminya dasar dari patofisologi penyakit ini dan

adanya konsensus mengenai penatalaksanaan Status Epileptikus, maka diharapkan prognosa

pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih baik.

25

Page 26: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Epidemiology, Prevalence, Incidence, Mortality of Epilepsy.

2001. Fact Sheet. URL http : // www. who.in/ inf-fs/ en/ fact 165. html.

2. Lamsudin R. Prognosis Epilepsi. Dalam : Lamsudin, dkk. Simposium Penatalaksanaan

Mutakhir Epilepsi.Yogyakarta. FK UGM.1999

3. Harsono. Epilepsi. Edisi pertama. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 2001

4. Budiarto.I. Beberapa Karateristik Kejang Demam Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi.

Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf. FK UNDIP,

Semarang. 1999

5.Widiastuti. Simple Clinical symtoms and sign for Diagnosing spasmofilia. ToGraduate

program Gajah Mada University. Yogyakarta. 1995

6. Harsono. Buku Ajar Neurologis Klinis . Edisi pertama. Yogyakarta. GadjahMada University

Press. 1996

7. Mardjono. M. Diagnosis Epilepsi dalam Seminar. “Epilepsi dan UpayaPenanganannya”.

Diselenggararakan oleh PERPERI, pp 1-9 , Yogyakarta. 1991.

8. Meliala L. Epilepsi pada Pendeita Stroke. Berita Kedokteran Masyarakat, FKUGM,

Yogyakarta.1999

9. Chandra B. Patofisiologi Epilepsi dalam Epilepsi. Semarang. BP UNDIP. 1993

10. Joesoef AA. Neurotransmmiter Kaitannya Dengan Patogenesa Epilepsi. Epilepsi,Edisi Apr

1997: 23-35.

11. Arthur C Guyton M D. BukuAjarFisiologiKedokteran. Sistem Saraf. Jakarta: ECG : 2004

12. Ahmed Z, Spencer S.S. An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and

Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55. 2004

13.Duncan R. Diagnosis of Epilepsy in Adults, available from :

http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/E Duncan.pdf.

14. Hadi S. Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP Semarang : 55-

63. 1993

15. Harsono. Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta. 2001

26

Page 27: REFERAT S EPILEPTIKUS.docx

16. Kirkpatrick M. Diagnosis of Epilepsy in Children, available from :

http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/F Kirkpatrick.pdf.

17. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors). Pedoman Tatalaksana Epilepsi,

Kelompok Studi Epilepsi Perdossi. 2003

18. Mardjono M. Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam Dasar-

Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129-148.2003

19. Oguni H. Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16

20. Sirven J.I, Ozuna J. Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts, 60,10: 30-35. 2005

21. Sisodiya S.M, Duncan J. Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment, Investigation and

Natural History, Medicine International,00(4);36-41. 2005

22. Stefan H. Differential Diagnosis of Epileptic Seizures and Non Epileptic Attacks, Teaching

Course : Epilepsy 7th Conggres of the European Federation of Neurological Societies,

Helsinki. 2003

27