Referat Remato COX-2

47
Tinjauan Pustaka Obat Anti-Inflamasi Non-steroid yang Menghambat Aktivitas Enzim Siklooksigenase-2 secara Selektif (COX-2 Selective Inhibitor) Oleh: Imam Kris Biantoro 03/1967/IV-SP/0286 Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta 2008 Disetujui tanggal: .............................................................. Pembimbing: dr. Nyoman Kertia, SpPD-KR Dipresentasikan tanggal: ................................................... Pembimbing: dr. Nyoman Kertia, SpPD-KR

Transcript of Referat Remato COX-2

Page 1: Referat Remato COX-2

Tinjauan Pustaka

Obat Anti-Inflamasi Non-steroid yang Menghambat

Aktivitas Enzim Siklooksigenase-2 secara Selektif

(COX-2 Selective Inhibitor)

Oleh:

Imam Kris Biantoro

03/1967/IV-SP/0286

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam

FK UGM/RS Dr. Sardjito

Yogyakarta

2008

Disetujui tanggal: ..............................................................

Pembimbing: dr. Nyoman Kertia, SpPD-KR

Dipresentasikan tanggal: ...................................................

Pembimbing: dr. Nyoman Kertia, SpPD-KR

Page 2: Referat Remato COX-2

ii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… ii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………… iii

DAFTAR TABEL ………………………………………………………………… iv

BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………………. 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………. 3

A. Proses Inflamasi dan Nyeri …………………………………………. 3

1. Proses Inflamasi …………………………………………………. 3

2. Proses Nyeri …………………………………………………. 6

B. Peranan Enzim COX pada Inflamasi dan Nyeri …………………………. 8

C. Mekanisme Kerja Obat Anti Inflamasi Non-steroid …………………. 13

1. Pengaruh OAINS pada Gastrointestinal …………………………. 15

2. Pembagian OAINS …………………………………………. 16

D. OAINS Penghambat Selektif COX-2 …………………………………. 20

1. Hipotesis COX-2 …………………………………………………. 21

2. The Oxford League Table …………………………………………. 23

E. Efek Lain dari Penghambat Selektif COX-2 …………………………. 27

1. Sistem Kardiovaskular …………………………………………. 27

2. Keganasan dan Tumorigenesis …………………………………. 30

3. Efek Ginjal dari Penghambatan COX-2 …………………………. 31

F. Jenis-jenis Coxib …………………………………………………………. 32

1. Celecoxib …………………………………………………………. 33

2. Valdecoxib …………………………………………………. 36

3. Rofecoxib …………………………………………………………. 37

BAB III. SIMPULAN …………………………………………………………. 39

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 41

Page 3: Referat Remato COX-2

iii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tingkatan respon inflamasi …………………………………….... 5

Gambar 2. Diagram Perbandingan Proses Nyeri Akut dan Kronik ……………… 8

Gambar 3. Produksi dan kerja prostaglandin dan tromboksan ……………… 10

Gambar 4. Peranan enzim COX pada sistem kardiovaskuler dan ginjal ……… 12

Gambar 5. Fungsi fisiologis dan patofisiologis dari COX-2 ……………………… 13

Gambar 6. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi selektivitas klinikal dan

keamanan dari penghambat COX-2 ……………………………… 22

Gambar 7. Konsentrasi dari OAINS yang diperlukan untuk menghambat aktivitas

COX-1 dan COX-2 sampai 50% (IC50) ……………………………… 23

Gambar 8. Hipotesis prostanoid untuk kejadian efek samping penghambat COX-2 28

Gambar 9. Struktur kimia celecoxib ……………………………………………… 33

Gambar 10. Struktur kimia valdecoxib ……………………………………… 36

Gambar 11. Struktur kimia rofecoxib ……………………………………………… 37

Page 4: Referat Remato COX-2

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Sejarah farmakoterapi terhadap prostaglandin ………………………. 9

Tabel 2. Lokasi predominan dan fungsi dari masing-masing prostanoid ………. 11

Tabel 3. Faktor risiko terjadinya komplikasi gastrointestinal yang berhubungan

dengan OAINS ………………………………………………………. 15

Tabel 4. Klasifikasi kimiawi dari OAINS nonselektif ………………………. 17

Tabel 5. Klasifikasi dari penghambat selektif COX-2 ………………………. 17

Tabel 6. Karakteristik OAINS ………………………………………………. 18

Tabel 7. Oxford League Table ………………………………………………. 25

Tabel 8. Data biologikal dan farmakokinetik coxib ………………………………. 32

Page 5: Referat Remato COX-2

1

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri dan inflamasi merupakan keluhan utama penderita reumatik disamping keluhan

lainnya. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan keluhan ini, antara

lain dengan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). Nyeri pada penyakit reumatik terutama

disebabkan oleh adanya inflamasi yang mengakibatkan dilepaskannya mediator-mediator

kimiawi. Prostaglandin (PG) berperan dalam meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang

disebabkan oleh suatu rangsangan (Isbagio, 1992).

Salah satu target dari terapi obat yang paling banyak digunakan dalam sejarah manusia

adalah penghambatan pada aktivitas enzim siklooksigenase (COX). Penghambat enzim ini telah

digunakan sejak lebih dari 3500 tahun yang lalu, dan saat ini kita hanya menggunakan puluhan

dari ribuan komposisi obat ini setiap tahunnya. Sejak tahun 1990-an penelitian tentang OAINS

didominasi oleh penelitian pada 2 bentuk enzim COX, yaitu COX-1 dan COX-2. Penemuan

mekanisme kerja golongan obat ini, yaitu penghambatan enzim COX yang telah mempercepat

upaya pengembangan obat ini, terutama penghambat selektif enzim COX-2 (Kartasasmita, 2002;

Warner & Mitchell, 2004).

Selama tahun 2000 OAINS telah diresepkan kepada ±20% lansia di Kanada. Di Jerman

sendiri beredar sebanyak 97 juta resep pertahun dengan prosentase terbanyak untuk obat

analgesik dan anti-reumatik. Setiap harinya manusia menggunakan lebih dari 30 juta obat ini,

dengan 40% penggunanya berumur lebih dari 60 tahun. Hanya 4,5% dari resep untuk obat

analgesik dan anti-reumatik ini yang bekerja secara sentral (centrally acting analgesics) dan

yang selebihnya untuk OAINS. Diperkirakan selama 20 tahun ke depan pengguna OAINS yang

Page 6: Referat Remato COX-2

2

berumur lebih dari 65 tahun akan meningkat 380 juta sampai dengan 600 juta orang (Steinmeyer,

2000; Targownik et al., 2006).

Aksi yang menguntungkan dari OAINS telah dihubungkan dengan kemampuannya dalam

menghambat COX-2 di tempat inflamasi, dan efek sampingnya karena menghambat COX-1

(Warner et al, 2004).

OAINS telah digunakan secara luas, antara lain untuk mengobati artritis, cedera

muskuloskeletal, nyeri, demam, inflamasi, dan digunakan untuk pencegahan sindrom

kardiovaskular. Walaupun efektif, penggunaan obat ini dibatasi oleh efek samping

gastrointestinalnya seperti dispepsia dan nyeri abdomen, serta risiko timbulnya perforasi dan

perdarahan gaster atau duodenal. Perkembangan OAINS inhibitor selektif COX-2, suatu

kelompok baru dari OAINS, merupakan wujud dari respon terhadap profil terapi OAINS yang

kurang menguntungkan tersebut (Fitzgerald et al., 2001; Sundy, 2004; Targownik et al., 2006).

Page 7: Referat Remato COX-2

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Proses Inflamasi dan Nyeri

1. Proses Inflamasi

Proses inflamasi merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang disebabkan adanya

respon jaringan terhadap pengaruh-pengaruh yang merusak yang ditimbulkan oleh berbagai

macam stimulus, seperti agen-agen infeksi, iskemia, interaksi antigen-antibodi, suhu, atau trauma

fisik lainnya. Masing-masing stimulus akan memunculkan pola respon tersendiri yang

menggambarkan berbagai variasi. Pada tingkat makroskopik respon inflamasi dapat diamati dari

gejala-gejala klinis yang tampak, seperti eritema, edema, tenderness (hiperalgesia), dan nyeri

(Boyd, 1971; Korolkovas, 1988; Mutschler, 1991; Insel, 1996).

Kerusakan sel akibat adanya stimulus akan membebaskan berbagai mediator atau

substansi inflamasi antara lain histamin, bradikinin, kalidin, serotonin, prostaglandin, leukotrien

dan sebagainya. Histamin terdapat pada semua jaringan. Di dalam jaringan, histamin disimpan

dalam sel mast dan dibebaskan sebagai hasil interaksi antigen dengan antibodi IgE pada

permukaan sel mast. Histamin berperan pada reaksi hipersensitif dan alergi. Substansi tersebut

merupakan mediator utusan pertama dari sedemikian banyak mediator lain, segera muncul dalam

beberapa detik. Reseptor-reseptor histamin adalah H1 dan H2. Stimulasi pada kedua reseptor ini

menyebabkan vasodilatasi pada arterial dan pembuluh darah koronaria, merendahkan resistensi

kapiler dan menurunkan tekanan darah sistemik. Pada reaksi inflamasi permeabilitas kapiler

meningkat karena dibebaskannya histamin (Mutschler, 1991; Garrison, 1991).

Page 8: Referat Remato COX-2

4

Respon inflamasi terjadi dalam 3 fase, masing-masing fase dimediasi oleh mekanisme

yang berbeda. Fase yang pertama adalah fase transien akut, yang ditandai dengan vasodilatasi

lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler. Fase akut berlangsung cepat dimulai 1 sampai 30

menit sejak terjadi perubahan-perubahan pada jaringan dan berakhir 15 sampai 30 menit dan

kadang-kadang sampai 60 menit kemudian. Volume darah yang membawa leukosit ke daerah

inflamasi bertambah, dengan gejala klinis di sekitar jaringan berupa rasa panas dan warna

kemerah-merahan. Aliran darah menjadi lebih lambat, leukosit beragregasi di sepanjang dinding

pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah kehilangan tekstur. Peningkatan permeabilitas

kapiler disebabkan kontraksi sel-sel endotel sehingga menimbulkan celah-celah bermembran.

Permeabilitas kapiler ditingkatkan oleh histamin, serotonin, bradikinin, sistim pembekuan dan

komplemen dibawah pengaruh faktor Hageman dan SRS-A. Larutan mediator dapat mencapai

jaringan karena meningkatnya permeabilitas kapiler dengan gejala klinis berupa edema (Insel,

1996).

Fase yang kedua adalah fase sub-akut, yang ditandai adanya infiltrasi leukosit dan sel

fagositik, yaitu sel polimorfonuklear dan monosit ke dalam jaringan. Fase ini berlangsung

lambat, mulai dari beberapa jam sampai beberapa hari misalnya karena pengaruh stimulus

bakteri. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler masih berlangsung. Selain itu aliran

darah lambat, pendarahan dan terjadi kerusakan jaringan yang ekstensif. Migrasi fagosit

diaktivasi oleh salah satu fragmen dari komponen-komplemen, untuk lekosit polimorfonuklir

yaitu C3 a. Selain itu LTB4 dan PAF ikut berperanan. Fagosit bergerak pada permukaan sel

endotel, pada ujung depan mengecil dan memanjang sehingga dapat memasuki antar sel endotel

kemudian melarutkan membran (diapedesis). Fagosit melepaskan diri dari antar sel, masuk ke

jaringan dan berakumulasi (Insel, 1996).

Page 9: Referat Remato COX-2

5

Fase yang ketiga adalah fase proliferatif kronik, ditandai terjadinya degenerasi dan

fibrosis jaringan. Plasma darah setelah melewati dinding pembuluh darah yang permeabel

sifatnya berubah disebut limfe inflamasi. Leukosit dan limfe inflamasi secara bersama

membentuk eksudat inflamasi yang menimbulkan pembengkakan pada jaringan. Rasa nyeri

disebabkan tertekannya serabut syaraf akibat pembengkakan jaringan. Kerusakan jaringan

disebabkan fagositosis, enzim lisosomal dan radikal oksigen (Insel, 1996).

Gambar 1. Tingkatan respon inflamasi.

(Sumber: Anonim, 2008)

Page 10: Referat Remato COX-2

6

2. Proses Nyeri

Rasa nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang dirasakan akibat adanya

stimulus oleh karena kerusakan jaringan, dapat karena sebab mekanis, termis atau kimia.

Berbagai komponen yang berperan dalam fisiologi sensasi nyeri akibat rangsangan stimulus

antara lain peran-peran mediator kimia yaitu prostaglandin. Keadaan ini menimbulkan suatu

proses yang disebut nosisepsi yang melibatkan saraf perifer dan sentral (Schaible, 1998; Putra,

2005).

Stimulus ini disamping menyebabkan sensasi nyeri juga dapat menyebabkan reaksi pada

sistem motorik atau sistem saraf otonom berupa perubahan tekanan darah dan denyut jantung.

Sensasi nyeri ini juga akan dianalisis oleh otak berdasarkan pengalaman nyeri di masa lampau

melalui neuron di hipotalamus dan proses mental ini akan menimbulkan aspek kognitif pada

keluhan nyeri (Schaible, 1998; Putra, 2005).

Prostaglandin sendiri hanya menghasilkan sedikit nyeri, tetapi akan mempotensiasi nyeri

yang disebabkan oleh mediator inflamasi lain (Insel, 1996; Neal, 2005).

Berdasarkan etiologinya nyeri dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu nyeri nosiseptif

(inflamatif), neuropatik, psikogenik, dan nyeri kronik dengan berbagai macam etiologi. Nyeri

nosiseptif muncul sebagai akibat dari stimulasi reseptor nyeri perifer yang terjadi selama proses

inflamasi kerusakan jaringan. Pada inflamasi sistemik atau pada penyakit reumatik degeneratif

nyeri nosiseptif bisa muncul sebagai nyeri muskuloskeletal regional (Kertia, 2003).

Pada nyeri sendi inflamatif maka tanda-tanda inflamasi akan didapatkan seperti bengkak

(tumor), nyeri (dolor), berwarna merah (rubor), panas (kalor), dan akan terjadi gangguan fungsi

sendi. Tanda-tanda inflamasi sistemik juga bisa didapatkan seperti demam, malaise, nyeri otot,

sakit kepala dan sebagainya. Nyeri sendi inflamatif pada umumnya bersifat akut atau kronik

Page 11: Referat Remato COX-2

7

residif. Contohnya adalah artritis septik, artritis gout, artritis reumatoid, lupus eritematosus

sistemik, spondilitis ankilosis, artritis reaktif dan lain-lain (Kertia, 2003).

Baik susunan saraf pusat maupun saraf perifer berperan dalam proses terjadinya nyeri

neuropatik yang bisa merupakan akibat dari suatu kerusakan yang mengenai susunan saraf. Nyeri

neuropatik pada penyakit reumatik bisa terjadi karena iritasi sistem saraf akibat proses penyakit

reumatik tersebut, misalnya terjadinya carpal tunnel syndrome pada artritis reumatoid dan iritasi

saraf aferen pada osteoartritis facet joint di tulang belakang. Nyeri psikogenik terjadi akibat

gangguan psikologi, misalnya pada somatoform somatization dan histeri (Kertia, 2003).

Berdasarkan awitan dan lama terjadinya, nyeri bisa dibedakan menjadi nyeri akut dan

kronik. Nyeri akut berlangsung hanya sementara, biasanya dengan intensitas yang tajam, lebih

terlokalisir, dirasakan selama kelainan patologik masih ada di jaringan, akan berkurang dengan

menurunnya stimulus nosiseptor dan bisa sembuh dengan sendirinya. Pada nyeri kronik proses

patologik berlangsung lama dan umumnya menetap setelah terjadi penyembuhan penyakit atau

trauma, intensitasnya lebih tumpul namun sensasinya terus menerus (Isbagio, 2003).

Page 12: Referat Remato COX-2

8

Gambar 2. Diagram Perbandingan Proses Nyeri Akut dan Kronik.

(Sumber: Whitten et al., 2005)

B. Peranan Enzim COX pada Inflamasi dan Nyeri

Pada tahun 1930-an Goldblatt dan von Euler berhasil mengekstraksi PG dari cairan

semen, prostat, dan vesikel seminal. Prostaglandin merupakan bioactive lipid messengers yang

diperoleh dari asam arakhidonat, yang dapat menurunkan tekanan darah dan menyebabkan

kontraksi otot halus. Kemudian pada tahun 1950-an Bergstrom berhasil memurnikan isomer PG

untuk pertama kalinya. Pada tahun 1964 van Dorp et al. dan Bergstrom et al. berhasil

Page 13: Referat Remato COX-2

9

mengidentifikasi asam arakhidonat, suatu 20-carbon tetraenoic fatty acid sebagai prekursor PG

(Simmons et al., 2004). Sejarah farmakoterapi terhadap prostaglandin dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Sejarah farmakoterapi terhadap prostaglandin

Waktu Kejadian

Jaman dulu beberapa bagian dari pohon willow digunakan untuk mengoabati nyeri dan inflamasi

1897 asam asetilsalisilat diisolasi, diidentifikasi dan disintesis

1899 Bayer memasarkan aspirin untuk pertama kali

1963 indomethacin disintesis, diikuti beberapa OAINS sintetik dan semisintetik lainnya

Pertengahan 1970-an dimulainya penelitian tentang pengembangan inhibitor aromatase

1971 OAINS seperti aspirin digunakan secara khusus pada aksinya menghambat produksi

prostaglandin

1976 enzim COX dimurnikan

1984 enzim COX menunjukkan peningkatan pada jaringan yang mengalami inflamasi

1988 enzim COX menunjukkan terstimulasi oleh IL-1

1988 enzim COX dikloning

1990 COX menunjukkan terpengaruh oleh endotoksin dan dihambat oleh glukokortikoid,

namun dexamethasone tidak mempengaruhi formasi dasar prostaglandin, sehingga

dipostulasi sebagai COX kedua

1991 gen COX kedua ditemukan dan isoformnya dikloning: COX-2

1999 peluncuran inhibitor selektif COX-2: rofecoxib dan celecoxib

2002 generasi kedua inhibitor selektif COX-2: valdecoxib, parecoxib, dan etoricoxib

(Sumber: Connoly, 2003)

Semua sel dalam tubuh mempunyai kemampuan untuk mensintesis PG. Asam

arakhidonat akan dipisahkan dari fosfolipid plasma oleh fosfolipase A2 sebagai respon adanya

stimulus inflamasi. Siklooksigenase akan memetabolisasi asam arakhidonat melalui

cycloendoperoxide prostaglandin H2 (PGH2) menjadi PGD2, PGE2, PGF2α, prostacyclin (PGI2),

atau thromboxane (TxA2) oleh enzim yang sesuai, misalnya thromboxane synthase pada platelet,

prostacyclin synthase pada sel endotelial (Fitzgerald et al., 2001; Weinblatt, 2003).

Page 14: Referat Remato COX-2

10

Gambar 3. Produksi dan kerja prostaglandin dan tromboksan.

(Sumber Fitzgerald et al., 2001)

Secara fisiologis PG berperan pada homeostasis suhu, irama bronkhus, sitoproteksi

mukosa lambung dan ginjal, mobilitas usus, irama miometrial, viabilitas semen, dan sekresi

Page 15: Referat Remato COX-2

11

renin. Disamping itu PG akan berperan juga pada keadaan patologis, misalnya demam, asma,

ulkus, diare, dismenore, inflamasi, dan nyeri (Weinblatt, 2003; Rajakariar et al., 2006).

Tabel 2. Lokasi predominan dan fungsi dari masing-masing prostanoid.

Prostanoid Lokasi predominan Fungsi

Thromboxane A2 (TxA2) Platelet dan monosit Agregasi platelet;

Bronkhokonstriksi dan

vasokonstriksi;

Proliferasi sel.

Prostacyclin (PGI2) Endotelium dan subendotelium Menghambat agregasi dan adhesi

Vaskuler dari platelet;

Bronchodilatasi dan vasodilatasi;

Efluks kolesterol dari sel arterial;

Kebocoran vaskuler.

PGD2 Sel mast dan otak Bronchospasme dan asma alergi;

Menghambat agregasi platelet;

Tidur.

PGE2 Medula ginjal, mukosa gaster, Menghambat reabsorpsi sodium;

platelet, endotelium mikrovaskuler Bronchodilatasi dan vasodilatasi;

Kontraksi uterus; Fungsi limfosit;

Modulasi adrenergik presinap.

PGF2α Otak dan uterus Kontraksi bronkhus dan uterus;

Vasokonstriksi uterus; Partus.

(Sumber Rajakariar et al., 2006)

Sejak tahun 1990-an kita mengenal 2 macam enzim COX, yaitu COX-1 dan COX-2.

Kedua isoform ini berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki fungsi regulasi yang

berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang mengkatalisis pembentukan prostanoid

regulatoris pada berbagai jaringan, terutama pada selaput lendir traktus gastrointestinal, ginjal,

platelet dan epitel pembuluh darah. Bertolak belakang dengan COX-1, COX-2 tidak konstitutif

tetapi dapat diinduksi, antara lain bila ada stimulus inflamasi, mitogenesis atau onkogenesis.

Setelah stimulasi tersebut lalu terbentuk prostanoid yang merupakan mediator nyeri dan

inflamasi. Penemuan ini mengarah kepada hipotesis, bahwa COX-1 mengkatalisis pembentukan

prostaglandin “baik” yang bertanggung jawab menjalankan fungsi-fungsi regulasi fisiologis,

Page 16: Referat Remato COX-2

12

sedangkan COX-2 mengkatalisis pembentukan prostaglandin “jahat” yang menyebabkan

inflamasi. Sehubungan dengan hipotesis tersebut maka toksisitas obat antiinflamasi bukan

steroid klasik pada saluran gastrointestinal disebabkan oleh hambatan tidak selektif obat tersebut

terhadap aktifitas COX-1 dan COX-2 (Weinblatt, 2003; Brooks, 2000; Steinmeyer, 2000;

Fitzgerald et al., 2001; Rajakariar et al., 2006).

Peranan COX-1 dan COX-2 pada sistem kardiovaskuler dan ginjal dapat dilihat pada

gambar 2 di bawah ini.

Gambar 4. Peranan enzim COX pada sistem kardiovaskuler dan ginjal.

(Sumber: Grosser et al., 2006)

Page 17: Referat Remato COX-2

13

Namun demikian, pada penelitian lanjutan ditemukan bahwa COX-2 ternyata tidak hanya

indusibel melainkan juga konstitutif dan terdapat pada berbagai jaringan. Pada kondisi fisiologis

ekspresi konstitutif COX-2 ditemukan pada ginjal, pembuluh darah, paru-paru, tulang, pankreas,

sumsum tulang belakang dan selaput lendir lambung. Nampaknya COX-2 bukan hanya pada

kondisi patofisiologis melainkan juga pada kondisi fisiologis normal memiliki peranan penting.

Akhirnya COX-1 diformulasikan sebagai enzim konstitutif yang mempertahankan fungsi-fungsi

homeostatis, sedangkan COX-2 sebagai enzim regulator yang memiliki fungsi fisiologis maupun

patofisiologis (Beiche et al., 1996; Komhoff et al., 1997; Sorli et al., 1998; Zimmermann et al.,

1998; McAdam et al., 1999).

Gambar 5. Fungsi fisiologis dan patofisiologis dari COX-2 .

(Sumber: Steimeyer, 2000)

C. Mekanisme Kerja Obat Anti Inflamasi Non-steroid

Mekanisme kerja utama obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) adalah menghambat

bioseintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim COX. Kedua isoform COX ini

Page 18: Referat Remato COX-2

14

akan dihambat oleh aspirin dan OAINS. Aspirin merupakan prototip dari salisilat, mempunyai

kemampuan menghambat COX-1 dan COX-2 secara ireversibel (Sundy, 2004).

Mekanisme kerja OAINS lainnya dalam menghambat COX adalah yang pertama melalui

mediasi terhadap inhibisi time-independent dari COX yang tergantung dari konsentrasi obatnya.

Kedua, beberapa OAINS (misalnya indomethacin dan flurbiprofen) memiliki kemampuan

merangsang perubahan struktur time-dependent di tempat COX teraktivasi, yang dapat

menyebabkan penghambatan aktivitas enzim semi-ireversibel (Sundy, 2004).

Asam dari OAINS akan terkumulasi di dalam jaringan yang mengalami inflamasi,

mukosa gastrointestinal, korteks ginjal, darah, dan di dalam sumsum tulang sesuai dengan

keasaman alaminya (pKa 3-5,5) dan kapasitas terikat proteinnya yang tinggi (>90 %). Keadaan

ini merupakan faktor penentu bukan saja untuk kemampuan anti-inflamasinya namun juga efek

samping yang tidak diinginkan dari substansi OAINS ini. Pada inflamasi kronik jaringan paru,

OAINS akan meningkatkan produksi leukotrien yang akan menghambat sintesis prostaglandin.

Keadaan ini akan menyebabkan reaksi serupa asma. Pada OAINS yang non-asam, netral

(parasetamol), atau analgesik lemah (phenazone dan turunannya) substansinya tidak

terakumulasi di jaringan yang rusak, namun konsentrasinya relatif tinggi di sistem saraf pusat.

Kedua obat ini merupakan penghambat prostaglandin yang lemah di perifer, hanya menghambat

prostaglandin di sistem saraf pusat (Steinmeyer, 2000).

Selain kemampuan utamanya dalam menghambat sintesis prostaglandin, OAINS juga

memiliki kemampuan dalam menghambat faktor transkripsi, faktor pertumbuhan sel, dan

menghambat molekul yang mengatur apoptosis. Pada konsentrasi supraterapi, sodium salisilat

menghambat transkripsi gen regulator nuclear factor κB yang berperan dalam mengurangi

ekspresi dari chemokine dan nitric oxide (NO), serta mengurangi aktivitas tumor necrosis factor

Page 19: Referat Remato COX-2

15

(TNF). OAINS selektif dan nonselektif COX-2 juga mempunyai kemampuan menghambat

angiogenesis melalui hambatan terhadap mitogen-activated protein kinase (ERK2) di sel

endotelial (Sundy, 2004).

1. Pengaruh OAINS pada Gastrointestinal

Gejala-gejala dispepsia tidak sesuai digunakan sebagai tanda terjadinya komplikasi

gastrointestinal pada pasien yang mendapat OAINS. Faktor-faktor yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi kemungkinan terjadinya komplikasi gastrointestinal antara lain umur, riwayat

adanya ulkus gastroduodenal, penggunaan kortikosteroid dan antikoagulan, dosis OAINS yang

digunakan, adanya infeksi H. Pylori, serta konsumsi alkohol dan merokok. Faktor-faktor ini

seperti tampak pada tabel 7 (Wolfe et al., 1999).

Tabel 3. Faktor risiko terjadinya komplikasi gastrointestinal yang berhubungan dengan OAINS

Faktor risiko pasti

• Penambahan usia (meningkat secara linear pada risikonya)

• Riwayat adanya ulkus

• Penggunaan bersama-sama dengan kortikosteroid

• Penggunaan OAINS dosis tinggi, termasuk penggunaan >1 OAINS

• Penggunaan bersama-sama dengan antikoagulan

• Gangguan sistemik yang serius

Faktor risiko yang mungkin

• Bersamaan dengan infeksi H. pylori

• Merokok

• Konsumsi alkohol

(Sumber: Wolfe et al., 1999)

Usia lanjut diketahui sebagai faktor risiko primer untuk terjadinya komplikasi

gastrointestinal. Risiko ini akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia (Wolfe et al.

1999).

Konsep terjadinya injuri mukosa gastroduodenal oleh karena OAINS melibatkan banyak

teori, mulai dari teori sederhana tentang injuri topikal sampai dengan teori tentang mekanisme

yang komplek dengan efek lokal dan sistemik (Wolfe et al., 1999).

Page 20: Referat Remato COX-2

16

Injuri secara topikal diawali oleh pengaruh langsung keasaman OAINS pada mukosa

gastroduodenal. Asam lemah dari OAINS berbentuk lipofilik tak terionisasi berada dalam lumen

gaster yang berasam kuat. Kondisi demikian menyebabkan migrasi melalui mukus gaster

melewati membran plasma dan masuk ke permukaan sel epitel, dimana OAINS dipecah menjadi

bentuk terionisasi sehingga terjadi trapping ion hidrogen (Wolfe et al., 1999).

Obat anti inflamasi non-steroid dapat juga menyebabkan kerusakan mukosa gaster secara

topikal dengan menurunkan hidrofobisitas dari mukosa gaster, sehingga menyebabkan asam

lambung dan pepsin melukai permukaan epitel. Injuri mukosa topikal dapat juga terjadi sebagai

hasil dari mekanisme tidak langsung, diperantai oleh ekskresi bilier dan diikuti dengan refluks

duodenogastrik yang berisi metabolit aktif OAINS (Wolfe et al., 1999).

Sedangkan efek sistemik yang terjadi adalah karena terjadinya penghambatan sintesis PG

endogen. Penghambatan pada PG akan menyebabkan penurunan mukus epitel, sekresi

bikarbonat, aliran darah mukosa, proliferasi epitel, dan injuri pada ketahanan mukosa. Gangguan

pada ketahanan mukosa akan menyebabkan injuri yang bisa disebabkan oleh faktor-faktor

endogen seperti asam lambung, pepsin, dan garam empedu, serta oleh faktor eksogen seperti

OAINS, etanol, dan agen-agen lainnya (Wolfe et al., 1999).

2. Pembagian OAINS

OAINS dapat dibagi dalam 3 kelas besar, yaitu aspirin dan salisilat, nonselektif, serta

penghambat selektif COX-2. Obat anti inflamasi non-steroid nonselektif dapat dibagi lagi

menjadi beberapa subkelas berdasarkan struktur kimianya (Sundy, 2004).

Page 21: Referat Remato COX-2

17

Tabel 4. Klasifikasi kimiawi dari OAINS nonselektif

Kelas Kimia Kelompok OAINS

Acetic acids Diclofenac, indomethacin, sulindac, tolmetin

Fenamates Meclofenamate, mefenamic acid

Napthylalkalones Nabumetone

Oxicams Meloxicam, piroxicam

Propionic acids Enoprofen, flurbiprofen, ibuprofen, ketoprofen,

naproxen, oxaprozin

Pyranocarboxylic acid Etodolac

Pyrrolizine carboxylic acid Ketorolac

(Sumber: Sundy, 2004)

Penghambat selektif COX-2 dibagi dalam 3 golongan, yaitu penghambat semiselektif

atau parsial, selektif, dan superselektif COX-2. Khusus untuk meloxicam, OAINS non selektif

ini dapat dikelompokkan dalam semiselektif atau parsial penghambat COX-2 (Smith et al.,

2003).

Tabel 5. Klasifikasi dari penghambat selektif COX-2.

Penghambat COX-2 semiselektif atau meloxicam (Mobic®)

selektif parsial

Penghambat COX-2 selektif celecoxib (Celebrex®)

rofecoxib (Vioxx®)

valdecoxib (Bextra®)

etoricoxib

parecoxib

lumiracoxib

Penghambat COX-2 superselektif alkoxy lactone

(Sumber: Smith et al., 2003)

Walaupun masing-masing OAINS menunjukkan perbedaan yang jelas dalam struktur

biokimia dan asalnya, namun OAINS memiliki mekanisme kerja yang mirip satu sama lain,

sehingga efek sampingnya juga sama. Keadaan ini dikenal sebagai “group effect”. Perbedaannya

hanya pada waktu paruh masing-masing OAINS, yang berpengaruh pada interval pemberian dan

potensinya (Roda et al., 2007).

Page 22: Referat Remato COX-2

18

Tabel 6. Karakteristik OAINS

Obat (nama dagang) Indikasi Formulasi Dosis harian Metabolisme Waktu paruh Keterangan

Salisilat

Aspirin Artralgia, sakit bermacam bervariasi, hati dan ginjal asam asetilsa- dosis pada anak BB <

gigi, dismenorea macam sesuai indikasi; lisilat 15-30 25 kg : 60-90 mg/kg/ demam, JRA, maksimal menit; hari

migrain, nyeri (dewasa) 2,4-5,4 salisilat perlu monitor serum

ringan, mialgia g/hari dalam 4 atau 2-30 jam salisilat pada dosis OA, RA, pence- lebih dosis yang lebih tinggi

gahan dan terapi terbagi

trombosis kardio vaskuler

Choline magnesium Demam, JRA, solusio, 3 g/hari dalam hati dan ginjal dosis rendah dosis pada anak < 37

Trisalicylate OA, RA, nyeri tablet dosis terbagi 2-3 jam; kg, 50 mg/kg/hari (Trilisate) ringan-sedang dosis tinggi perlu monitor serum

15-30 jam salisilat pada dosis

yang lebih tinggi Salsalat (Disalsid) OA, RA, nyeri kapsul, 2-4 g/hari dalam hati dan ginjal 1 jam perlu monitor serum

ringan-sedang tablet dosis terbagi salisilat pada dosis

yang lebih tinggi

OAINS nonselektif Naproxen (Naprosen, Ankilosing spon tablet, 500-1000 mg hati dan ginjal 10-20 jam dosis pada anak >2 th Anaprox) dilitis, atralgia, tablet exten b.i.d. 10-15 mg/kg/hari

bursitis, sakit ded-release, dalam 2 dosis terbagi

gigi, dismenor, suspensi demam, artritiis

gout, sakit

kepala, JRA, nyeri ringan-

sedang, mialgia

OA, RA, tendi nitis

Flurbiprofen atralgia, nyeri tablet, 50-100 mg hati 3-9 jam

(Ansaid) ringan-sedang solusio b.i.d-t.i.d Inhibisi miosis oftalmik maks. 300 mg/

Mialgia, OA,RA hari

Diklofenak Keratoris aktinik, tablet, 50-100 mg b.i.d hati 1-2 jam kolesteramin dapat (Voltaren, konjungtivitis tablet (kom maks. 225 mg/ menurunkan bioava

Arthrotec) alergik, ankilo binasi miso hari bilitas, sing spondilitis prostol), kombinasi diklofenak/

atralgia, ulkus solusio misoprostol kontra

kornea, dismeno oftalmik, indikasi pada kehamil rea, sakit kepala, solusio an karena efek aborsi

keratokonjungti topikal dari misoprostol

vitis, migrain, nyeri ringan-

sedang, mialgia

OA,RA, infla masi okular

post operasi

Sulindak Ankilosing spondi tablet 150-200 mg hati 8-16 jam (Clinoril) litis, atralgia, b.i.d

bursitis, artritis

gout, OA, RA, nyeri sedang,

tendinitis

Oxaprozin nyeri sedang, tablet 600-1200 mg hati 36-92 jam (Daypro) OA, RA q.d

Diflusinal nyeri ringan- tablet 500-1000 mg hati 8-12 jam hindari penggunaan

(Dolobid) sedang, OA, RA b.i.d 68-138 jam pada anak-anak pada sakit

ginjal berat

Piroxicam atralgia, sakit ke- kapsul 20 mg q.d hati dengan 50 jam hati-hati pemberian (Feldene) pala, mialgia, resirkulasi pada individu dengan

nyeri sedang, hepatik risiko tinggi

OA, RA

Page 23: Referat Remato COX-2

19

Lanjutan . . .

Indometachin ankilosing spondi kapsul, 25-50 mg hati dengan bifasik: meningkatkan konsen

(Indocin) litis, atralgia, kapsul exten- t.i.d-q.i.d resirkulasi 1 jam inisial trasi aminoglikosida bursitis, artritis ded release, hepatik 2,6-11,2 jam serum pada neonatus

gout, mialgia, suspensi, pada fase II,

nyeri sedang- supositoria, memanjang berat, OA, RA, parenteral pada neonatus

tendinitis, dan neonatus

patent ductus prematur arterious

Ibuprofen atralgia, sakit bermacam dewasa hati 2-4 jam aman diberikan pada

(Motrin) gigi, dismenor, macam 400-800 mg anak mulai usia demam, OA, RA t.i.d-q.id 6 bulan

sakit kepala, anak-anak migren, JRA, 5-10 mg/kg

nyeri sedang,

OA,RA, mialgia Fenoprofen atralgia, sakit gigi tablet 300-600 mg hati dengan 2,5-3 jam

(Nalfon) nyeri ringan- kapsul t.i.d-q.i.d resirkulasi

sedang, OA,RA maks. 3200 hepatik mialgia mg/hari

Etodolac atralgia, nyeri tablet 600-1200 hati 6-7 jam

(Lodine) tulang, sakit tablet exten- mg/hari gigi, nyeri ded release

ringan-sedang,

mialgia, OA, RA Ketoprofen atralgia, sakit gigi tablet 75 mg t.i.d hati 1,1-4 jam pemberian bersama

(Orudis) dismenorea, kapsul atau 50 mg probenecid akan

demam, sakit kapsul exten- q.i.d meningkatkan kepala, nyeri ded release konsentrasi plasma

ringan-sedang,

mialgia, OA, RA Ketorolac atralgia, konjung- tablet 30 mg i.m/i.v hati bifasik ketorolac parenteral

(Toradol) tivitis alergi, parenteral per 6 jam maks fase terminal dapat meningkatkan

nyeri sedang, (i.m/i.v) 120 mg/hari 4-6 jam efek dari obat mialgia, nyeri solusio oftalmik selama 5 hari relaksan otot

okular, pruritus 10 mg p.o

okular, fotofobia per 4-6 jam inflamasi okular maks 40 mg/

post operatif hari selama

5 hari Meclofenamate, atralgia, nyeri kapsul 50-100 mg hati 2 jam mefenamic acid dapat

Mefenamic acid ringan-sedang t.id-q.i.d menimbulkan positif

(Ponstel) dismenorea, maks 400 mg palsu bilirubinuria OA, RA per hari

Mefenamic

acid 250 mg tiap 6 jam

selama 7 hari

maks 1250 mg per hari

Meloxicam OA tablet 7,5-15 mg q.d hati 15-30 jam

(Mobic) Nebumetone nyeri sedang, tablet 1000 mg q.d hati 24 jam

(Relafen) OA, RA maks 2000 mg

Tolmetin atralgia, JRA, tablet 400 mg t.i.d- hati bifasik dosis pada anak ≥ 2 th (Tolectin) nyeri sedang, kapsul q.i.d maks inisial 1-2 jam 5-7 mg/kg/dosis p.o

mialgia, OA 2000 mg/hari terminal 5 jam setiap 6-8 jam

RA

Page 24: Referat Remato COX-2

20

Lanjutan . . .

Selective COX-2

inhibitor

Celecoxib nyeri tulang, kapsul 100-200 mg hati 11 jam dosis diturunkan 50 %

(Celebrex) sakit gigi, b.i.d pada gangguan fungsi

dismenorea, 400 mg b.i.d hati sedang FAP, sakit untuk FAP fluconazole mengham

kepala, nyeri bat metabolismenya

sedang-berat, di hati; gunakan dosis OA, RA terendah jika diberi-

kan bersama-sama

Rofecoxib nyeri tulang, tablet 12,5-25 mg q.d hati 17 jam (Vioxx) sakit gigi, suspensi 50 mg q.d

dismenorea, selama 5 hari sakit kepala, untuk nyeri

nyeri sedang-

berat, OA, RA Valdecoxib OA, RA, tablet 10 mg q.d hati 8-11 jam

(Bextra) dismenorea 20 mg q.d jika

perlu untuk

dismenorea

Keterangan: b.i.d., dua kali sehari; FAP, familial adenomatous polyposis; i.m., intramuskular; i.v., intravena; JRA,

juvenile rheumatoid arthritis; OA, osteoartritis; p.o., peroral; q.d., perhari; RA, rheumatoid arthritis; t.i.d., tiga kali

sehari.

(Sumber: Sundy, 2004)

D. OAINS Penghambat Selektif COX-2

Selama beberapa tahun terakhir, penghambat selektif COX-2 (coxib) telah menjadi obat

yang paling cepat berkembang dalam armamentarium OAINS. Para analisis keuangan

memperkirakan bahwa coxib akan menjadi “blockbuster” dalam industri farmasi, dengan

perkiraan penggunaan >30 juta perhari (Mardini et al., 2001; Harris et al., 2006).

Kelebihan coxib atas OAINS sebelumnya sangat jelas berhubungan dengan peran dari

COX-2 dalam perbandingannya dengan COX-1. Penelitian-penelitian yang ada saat ini

membuktikan perbedaan yang terang dari kedua isoform ini. Hal ini akan berakibat bukan saja

terhadap penggunaan klinis dari coxib, namun juga pengaruhnya pada pandangan tentang

inflamasi, penyakit-penyakit kardiovaskuler, penyakit Alzheimer, kanker, dan masih banyak lagi

(Mardini et al., 2001).

Page 25: Referat Remato COX-2

21

1. Hipotesis COX-2

Dalam perbandingannya dengan OAINS konvensional, muncul suatu hipotesis yang

disebut sebagai hipotesis COX-2 (the COX-2 hypothesis). Hipotesis ini mengatakan bahwa pada

dosis efektif yang sama, coxib akan menyebabkan efek samping gastrointestinal berat yang lebih

sedikit dibandingkan dengan OAINS nonselektif konvensional. Hipotesis ini didasarkan pada

asumsi bahwa: a) penghambatan terhadap COX-2 hanya sedikit dan seperlunya untuk efek

analgesik/antiinflamasinya, dan b) penghambatan terhadap COX-1 sebagian besar akan

menimbulkan terjadinya toksisitas gastrointestinal yang serius (Mardini et al., 2001; Fitzgerald et

al., 2001).

Ada 2 persyaratan yang diperlukan untuk menguji hipotesis bahwa coxib memiliki

toleransi yang lebih baik dibandingkan dengan OAINS nonselektif konvensional. Pertama, coxib

harus tidak menghambat aktivitas COX-1 pada organ target yang relevan secara klinis (mukosa

gastrointestinal dan platelet) dalam konsentrasi plasma terapeutik. Kedua, perhitungan clinical

end points harus mencerminkan toksisitas gastrointestinal cyclooxygenase-1–dependent

(Fitzgerald et al., 2001).

Namun perlu ditekankan bahwa selektivitas biokemikal yang ada hanya merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi keluaran klinik pada pasien yang mendapat terapi coxib

(Mardini et al., 2001).

Page 26: Referat Remato COX-2

22

Gambar 6. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi selektivitas klinikal dan keamanan dari

penghambat COX-2.

(Sumber: Fitzgerald et al., 2001)

Selektivitas biokemikal masing-masing OAINS tergantung dari konsentrasinya yang

dinilai secara in vitro. Profil selektivitas OAINS dapat dilihat dari inhibition concentration by

50% (IC50). IC50 untuk COX-1 dari suatu OAINS adalah konsentrasi OAINS tersebut yang

diperlukan untuk menekan aktivitas COX-1 sampai 50%. IC50 untuk COX-2 dari suatu OAINS

adalah konsentrasi OAINS tersebut yang diperlukan untuk menekan aktivitas COX-2 sampai

50% (Fitzgerald et al., 2001; Simon 2001).

Page 27: Referat Remato COX-2

23

Keterangan: masing-masing titik merupakan rerata dari tiga atau empat nilai. OAINS yang berada di bawah garis

diagonal mengindikasikan sama atau lebih potensinya sebagai penghambat COX-2 dibanding OAINS yang berada

di atas garis; 6-MNA: 6-methoxy-2-naphthylacetic acid.

Gambar 7. Konsentrasi dari OAINS yang diperlukan untuk menghambat aktivitas COX-1 dan

COX-2 sampai 50% (IC50).

(Sumber: Fitzgerald et al., 2001)

Dengan demikian semakin tinggi angka perbandingan IC50 COX-2 dengan IC50 COX-1

dari suatu OAINS berarti semakin kecil manfaat yang didapatkan sebagai anti inflamasi

dibandingkan risiko efek samping yang terjadi (Simon, 2001).

Page 28: Referat Remato COX-2

24

2. The Oxford League Table

Bukti-bukti yang berhubungan dengan efektivitas suatu OAINS pada umumnya

menunjukkan bahwa OAINS lebih superior dibandingkan dengan plasebo dalam mengatasi

kondisi nyeri akut dan kronik. Bagaimanapun juga keadaan ini akan menjadi kontroversi ketika

efikasi relatif OAINS dibandingkan satu sama lain. Beberapa ahli berpendapat bahwa diantara

masing-masing OAINS tidak ada perbedaan yang berarti pada efikasi analgesiknya (Ong et al.,

2007).

Namun bukti yang ada sekarang menunjukkan bahwa masing-masing OAINS memilki

perbedaan efikasi analgesiknya. Sehingga banyak dokter dan pasien bingung memilih analgesik

mana yang memiliki efikasi yang paling tinggi. Atas dasar inilah diperlukan suatu alat yang

dapat digunakan untuk menilai efikasi relatif dari suatu OAINS (Ong et al., 2007).

Oxford League Table dibuat oleh oxford pain group untuk menilai efikasi analgesik

OAINS pada nyeri akut dengan cara memberi tingkatan angka pada masing-masing OAINS.

Efikasi analgesik dari OAINS digambarkan dengan number-needed-to-treat (NNT), yaitu jumlah

pasien yang mendapat 1 obat aktif untuk mencapai minimal 50% kesembuhan dibandingkan

plasebo dalam periode 4-6 jam terapi. Obat yang paling efektif adalah obat yang rendah NNT-

nya yang mendekati 2. Ini berarti bahwa setiap 2 pasien yang mendapat obat yang sama, satu

pasien akan mencapai minimal 50% kesembuhan, sedangkan pasien lainnya tidak sembuh, atau

sembuh namun tidak mencapai 50% (Ong et al., 2007).

Page 29: Referat Remato COX-2

25

Tabel 7. Oxford League Table.

(Sumber: Ong et al., 2007)

Page 30: Referat Remato COX-2

26

Sampai saat ini masih banyak pertanyaan tentang pasien manakah yang diperbolehkan

mendapat penghambat Cox-2 selektif sebagai pilihan pertama dibanding dengan OAINS non-

selektif. Konsensus yang ada menyatakan bahwa penghambat Cox-2 selektif dapat diberikan

pada pasien dengan risiko tinggi terjadi komplikasi gastrointestinal tetapi tidak pada pasien

dengan risiko rendah (Hawkey & Langman, 2003). Faktor-faktor risiko untuk terjadi kompikasi

gastrointestinal oleh karena OAINS dapat dilihat pada tabel 3.

Modifikasi telah dilakukan dalam formulasi OAINS beberapa tahun belakangan ini untuk

mengurangi toksisitasnya. Beberapa penelitian surveilan dan endoskopik menyebutkan bahwa

kejadian injuri mukosa gastroduodenal berkurang dengan penggunaan nabumetone, etodolac,

dan meloxicam (Wolfe et al., 1999).

Peningkatan keamanan meloxicam didapatkan dari kemampuannya khusus menghambat

Cox-2 dengan efek minimal pada Cox-1. Berbeda dengan nabumetone dan etodolac yang hanya

menghambat Cox-2 pada dosis rendah. Sedangkan pada dosis lebih tinggi efek hambatan pada

Cox-2 akan berkurang (Wolfe et al., 1999).

The American Pain Society (APS) merekomendasikan bahwa acetaminophen merupakan

drug of choice untuk nyeri ringan pada pasien osteoartritis. Sedangkan untuk nyeri sedang

sampai berat dan/atau inflamasi pilihan pertamanya adalah OAINS selektif COX-2, kecuali pada

pasien dengan risiko signifikan untuk hipertensi atau gangguan ginjal (Lo & Meadows, 2006).

Pasien artritis reumatoid aktif dengan nyeri sedang sampai berat dengan atau tanpa

inflamasi penggunaan OAINS selektif COX-2 harus digunakan bersama-sama dengan DMARDs

(disease-modifying antirheumatic drugs), kecuali jika ada hipertensi yang tak terkontrol dan

penyakit ginjal (Lo & Meadows, 2006).

Page 31: Referat Remato COX-2

27

The American Pain Society merekomendasikan lebih lanjut bahwa pada pasien dengan

risiko untuk kejadian kardiovakular dapat diberikan aspirin (75-160 mg/hari) bersama-sama

dengan OAINS selektif COX-2 (Lo & Meadows, 2006).

The American College of Rheumatology merekomendasikan bahwa penggunaan OAINS

selektif COX-2 diberikan pada pasien dengan osteoartritis dan nyeri yang tidak berkurang

dengan dosis adekuat acetaminophen (tidak lebih dari 4 g/hari). OAINS selektif COX-2

khususnya diberikan pada pasien yang memiliki faktor risiko lebih tinggi untuk kejadian efek

samping gastrointestinal (Lo & Meadows, 2006).

Pada pasien artritis reumatoid, OAINS (salisilat, OAINS nonselektif, atau OAINS

selektif COX-2) dapat diberikan untuk mengurangi nyeri sendi, bengkak, dan memperbaiki

fungsi sendi sebagai tambahan untuk DMARD. Namun pemberiannya harus hati-hati pada

pasien dengan risiko kejadian kardiovaskular (Lo & Meadows, 2006).

Pemberian OAINS selektif COX-2 harus mempertimbangkan adanya risiko penyakit

kardiovaskular, perdarahan gastrointestinal, penyakit ginjal, pilihan dari pasien sendiri, dan biaya

yang harus dikeluarkan (Lo & Meadows, 2006).

E. Efek Lain dari Penghambat Selektif COX-2

1. Sistem Kardiovaskular

Sampai saat ini coxib masih dihubungkan dengan peningkatan risiko kejadian

kardiovaskular (infark miokardial dan strok iskemik), karena coxib tidak mengurangi agregasi

platelet seperti OAINS tradisional. Coxib akan menurunkan produksi prostasiklin vasoprotektif

di sel endotelial (Mattia et al., 2005).

Page 32: Referat Remato COX-2

28

COX-1 terekspresi secara konstitutif di sel endotelial dan vaskuler jaringan otot lunak.

Peningkatan ekspresi COX-2 akan dipengaruhi oleh sitokin, growth factors, phorbol esters,

lipopolisakarida jaringan otot lunak, dan trauma terhadap jaringan tersebut. Hal ini

mengindikasikan bahwa COX-2 berperan penting dalam peningkatan formasi prostasiklin yang

terjadi pada sindrom klinis dari aktivasi platelet. Prostasiklin adalah modulator aktivasi platelet

dan dapat menyebabkan vasodilatasi. Prostasiklin merupakan bagian dari mekanisme pertahanan

dari akibat aktivasi platelet. Penghapusan reseptor prostasiklin pada tikus akan meningkatkan

sensitivitas terhadap stimulus trombotik, namun tidak meningkatkan risiko trombosis spontan.

Ekspresi kedua enzim ini akan meningkat pada sel foam dan sel jaringan otot lunak dari plak

aterosklerosis (Fitzgerald et al., 2001; Mardini et al., 2001; Mattia et al., 2005).

Coxib akan menghambat produksi prostasiklin tanpa mensupresi sintesis tromboksan,

yang berfungsi merangsang agregasi platelet dan vasokonstriksi. Perubahan keseimbangan antara

prostasiklin dan tromboksan dapat menyebabkan keadaan protrombosis (Mattia et al., 2005).

Gambar 8. Hipotesis prostanoid untuk kejadian efek samping penghambat COX-2.

(Sumber: Ong et al., 2007)

Page 33: Referat Remato COX-2

29

Pada dosis terapi, OAINS penghambat COX-2 dianggap hanya menghambat enzim

COX-2, bukan pada enzim COX-1. Masalah yang timbul ketika hanya menghambat COX-2

adalah terjadinya ketimpangan metabolisme (Ong et al., 2007).

Dari data penelitian-penelitian yang ada hal ini masih timbul kontroversi. Penelitian

CLASS (Celecoxib Long-term Arthritis Safety Study) tidak menemukan adanya perbedaan

antara celecoxib dan OAINS dalam kejadian cerebrovaskuler, infark miokardial, dan angina.

Sementara itu, penelitian VIGOR (Vioxx Gastrointestinal Outcomes Research) yang

membandingkan antara rofecoxib 50 mg dan naproxen 1000 mg pada pasien artritis reumatoid

(AR) menunjukkan bahwa kejadian infark miokard lebih tinggi 4 kali pada kelompok rofecoxib

(Fitzgerald et al., 2001; Mardini et al., 2001; Mattia et al., 2005).

Ada 2 alasan yang dapat menjelaskan keadaan ini. Pertama, pada VIGOR harus

dipertimbangkan bahwa penelitian ini hanya mengikutkan pasien AR yang merupakan populasi

dengan risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskuler. Kedua, pada VIGOR salah satu kriteria

inklusinya adalah pasien tidak sedang menggunakan aspirin, sedangkan pada CLASS 22%

pasiennya mengkonsumsi aspirin dosis rendah sebagai agen kardioprotektif (Mattia et al., 2005).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Mamdani et al. (2004), yaitu membandingkan antara

pengguna rofecoxib, celecoxib, dan OAINS tradisional dalam hal rerata perawatan di rumah

sakit oleh karena gagal jantung kongesti (GJK). Penelitian ini mengikutkan serta 150.000 orang

yang berusia ≥ 65 tahun. Secara umum penelitian ini menghasilkan bahwa pengguna rofecoxib

dan OAINS tradisional memiliki angka kejadian yang lebih tinggi untuk perawatan di rumah

sakit oleh karena GJK dibandingkan baik dengan bukan pengguna OAINS maupun dengan

celecoxib. Jika dibandingkan antara rofecoxib dan OAINS, maka pengguna rofecoxib rerata

kejadian perawatan di rumah sakitnya secara signifikan lebih tinggi. Hasil-hasil penelitian ini

Page 34: Referat Remato COX-2

30

menunjukkan bahwa penggunaan rofecoxib dan OAINS lainnya meningkatkan risiko untuk

kejadian GJK (Mamdani et al., 2004).

Solomon et al. (2004) melakukan penelitian untuk memperjelas potensi risiko kejadian

kardiovaskuler dari rofecoxib. Penelitian ini membandingkan kejadian acute myocardial

infarction (AMI) pada penggunaan rofecoxib dan celecoxib, dilakukan pada 54575 pasien usia

>65 tahun. Hasilnya adalah rofecoxib berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian AMI

dibandingkan dengan celecoxib (P = 0,01) dan dengan yang tidak menggunakan OAINS (P =

0,05). Dosis rofecoxib >25 mg berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya

AMI dibandingkan dengan dosis <25 mg. Karena hasil penelitian inilah maka rofecoxib

kemudian ditarik dari pasaran dunia (Solomon et al., 2004).

Bukti-bukti yang ada mengindikasikan bahwa kelompok penghambat selektif COX-2

memiliki risiko kecil tapi absolut untuk efek samping kejadian kardiovaskular. Secara umum

kelompok ini dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemik, strok,

gagal jantung kongestif, dan pasien yang baru saja menjalani coronary artery bypass graft

(CABG). Risiko kardiovaskular muncul sesuai dose related dan bervariasi dengan durasi terapi.

Sehingga prinsip dosis efektif terkecil untuk durasi terpendek harus dipikirkan pada pemberian

penghambat selektif COX-2 (Ong et al., 2007).

2. Keganasan dan Tumorigenesis

Coxib, aspirin, dan OAINS lain dengan aktifitas penghambatan COX-2 mendapat

perhatian yang lebih karena efek protektif terhadap berbagai keganasan pada manusia.

Keganasan-keganasan yang ada pada manusia memproduksi lebih banyak PG dibanding pada

jaringan normal. Hal ini memberikan bukti bahwa COX-2 memiliki peran penting pada

karsinogenesis (Sanghi et al., 2006).

Page 35: Referat Remato COX-2

31

Peningkatan ekspresi COX-2 menunjukkan adanya korelasi dengan perubahan keganasan

pada berbagai kanker manusia, termasuk otak, payudara, kolorektal, oesofagus, gaster, paru,

pankreas, prostat, dan kulit. Penelitian secara laboratorium menunjukkan bahwa pemberian

aspirin, piroxicam, sulindac, atau ibuprofen akan menghambat karsinogenesis kolon. Coxib telah

dibuktikan dapat menekan pertumbuhan tumor pada model binatang dan menurunkan risiko

pembentukan polip dan kanker kolon pada pasien dengan familial adenomatous polyposis (FAP).

Pada model murin dari FAP, inaktivasi genetik dari COX-2 akan menurunkan jumlah dan ukuran

polip intestinal (Sanghi et al., 2006).

Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa over-ekspresi COX-2 akan menimbulkan

angiogenesis dan tumorigenesis. Mekanisme dimana COX-2 merangsang angiogenesis masih

dalam penelitian yang intesif. Pada model tikus dari angiogenesis korneal, celecoxib akan

menekan formasi pembuluh darah konea (Sanghi et al., 2006).

Pengobatan dengan coxib dihubungkan dengan penurunan produksi PG, peningkatan

dalam apoptosis, dan penurunan proliferasi dari angiogenik, namun tidak pada sel endotelialnya

(sanghi et al., 2006).

3. Efek Ginjal dari Penghambatan COX-2

Ginjal merupakan organ target kedua yang sering mendapat efek samping serius dari

OAINS. Jaringan ginjal merupakan tempat terbanyak terjadinya sistesis prostanoid dengan

konsentrasi urin dari PGE2 mencapai 1000 kali dibanding kadar yang bersirkulasi. COX-2-

synthesized PG memiliki peran penting dalam modulasi fisiologi ginjal (Sanghi et al., 2006).

Prostaglandin merupakan modulator fisiologis penting pada tonus vaskular dan

homeostasis garam dan air pada ginjal mamalia. Fungsinya termasuk modulasi pada

Page 36: Referat Remato COX-2

32

hemodinamik glomerulus, reabsorbsi garam dan air di tubulus, dan mengatur sekresi renin

(Sanghi et al., 2006).

F. Jenis-jenis Coxib

Sampai saat ini ada beberapa macam coxib, yaitu celecoxib, rofecoxib, valdecoxib,

lumiracoxib, dan etoricoxib (Mardini et al., 2001; Solomon et al, 2004; Mattia et al., 2005).

Tabel 8. Data biologikal dan farmakokinetik coxib COX-1/ Vd (L) AUC (%) Tmax (h) T1/2 (h) Protein

COX-2 ratio binding %

Naproxen 0,6

Diclofenac 7

Selective COX-2 inhibitors

Sulphonamides

- Celecoxib 30 400 20-60 2-4 6-12 97

- Valdecoxib 61 90 83 2-4 6-10 98

Methylsulphons

- Rofecoxib 272 90 93 2-4 15-18 87

- Etoricoxib 344 120 100 1 20-26 92

Arylacetic acid 700 13 74 1-3 2-6 99

(Sumber: Mattia et al., 2005)

Senyawa coxib dibagi dalam 2 kelas, yaitu sulphonamide (celecoxib dan valdecoxib) dan

methylsulphone (rofecoxib dan etoricoxib). Sedangkan senyawa terbaru, lumiracoxib, merupakan

derivat dari phenilacetic acid yang mempunyai kemiripan dengan diklofenak. Saat ini ada kelas

baru yang masih dalam penelitian in vitro, yaitu derivat 5-Aryl-2,2-dialkyl-4-phenyl-

3(2H)furanone, yang mungkin akan menjadi generasi selanjutnya dari coxib (Mattia et al., 2005).

Konsep penghambatan dari coxib adalah didasarkan pada perbedaan rangkaian asam

aminonya. COX merupakan enzim yang terikat membran dengan lokasi di retikulum endoplasma

dan sampul nuklear Senyawa coxib relatif lipofilik, dimana sodium parecoxib merupakan

prodrug dari valdecoxib yang sangat larut dalam air, dan akan melepaskan valdecoxib dalam 15

menit (Mattia et al., 2005).

Page 37: Referat Remato COX-2

33

Sebagian besar coxib bekerja di sistem saraf pusat dengan memblokade COX-2 dalam 1

jam sejak pemberiannya, dimana etoricoxib memiliki onset yang paling cepat sejurus dengan

kecepatan absorbsinya (Fitzgerald et al., 2001; Mattia et al., 2005).

1. Celecoxib

Celecoxib (kapsul Celebrex®) adalah penghambat selektif COX-2 dengan desain kimiawi

4-[5-(4-methylphenyl)-3-(trifluoromethyl)-1H-pyrazol-1-yl] benzenesulfonamide dan struktur

kimianya seperti tampak pada gambar 6. Rumus kimia celecoxib adalah C17H14F3N3O2S dan

berat molekulnya 381,38 (Pfizer, 2007).

Gambar 9. Struktur kimia celecoxib.

(Sumber: Pfizer, 2007)

• Mekanisme kerja

Celecoxib merupakan OAINS yang menunjukkan aktivitas anti inflamasi, analgesik, dan

antipiretik pada model binatang. Mekanisme kerja dari obat ini adalah melalui penghambatan

terhadap sintesis prostaglandin, utamanya melalui hambatan pada COX-2. Pada kadar terapeutik

tidak akan menghambat COX-1 (Pfizer, 2007; Mattia et al., 2005).

Page 38: Referat Remato COX-2

34

Retensi cairan

Penghambatan terhadap sintesis PGE2 dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan

melalui peningkatan reabsorbsi pada medula ginjal dan segmen distal nefron. Di duktus

koledukus, PGE2 akan menghambat reabsorbsi dengan cara kerja berlawanan aksi hormon anti

diuretik (Pfizer, 2007).

Platelet

Celecoxib pada dosis tunggal sampai dengan 800 mg dan dosis multipel 600 mg 2 kali

perhari selama 7 hari (lebih tinggi dari dosis terapi yang dianjurkan) tidak memiliki efek pada

reduksi agregasi platelet atau peningkatan pada waktu perdarahan. Karena lemahnya efek ini,

maka celecoxib tidak dapat digunakan sebagai pengganti aspirin untuk pencegahan

kardiovaskular (Pfizer, 2007).

• Farmakokinetik

Absorbsi

Kadar puncak plasma (Cmax) celecoxib ± 3 jam setelah pemberian peroral. Kadar puncak

ini akan memanjang 1-2 jam ketika diberikan bersama dengan makanan tinggi lemak, dan

absorbsi totalnya akan meningkat 10-20%. Pemberian bersama-sama dengan antasid yang

mengandung alumunium dan magnesium akan menyebabkan penurunan konsentrasi plasma

celecoxib sebanyak 37%. Konsumsi celecoxib sampai dengan dosis 200 mg 2 kali perhari dapat

diberikan tanpa mempertimbangkan waktu makan. Pada dosis yang lebih ringgi (400 mg 2 kali

perhari) harus diberikan bersama makan untuk meningkatkan absorbsi (Pfizer, 2007).

Page 39: Referat Remato COX-2

35

Distribusi

Pada subyek normal, celecoxib berikatan sangat kuat dengan protein (~97%). Dalam

penelitian in vitro berikatan primer pada albumin, dan sangat sedikit dengan α1-acid

glycoprotein. Celecoxib tidak berikatan dengan sel darah merah (Pfizer, 2007).

Metabolisme

Metabolisme celecoxib dimediasi melalui sitokrom P450 2C9. Ada 3 macam metabolit

yang telah diketahui pada plasma manusia, yaitu alkohol, asam karboksilik, dan glukorinid.

Ketiga metabolit ini akan menjadi inaktif oleh penghambat COX-1 atau COX-2 (Pfizer, 2007).

Ekskresi

Eliminasi utama celecoxib predominan oleh metabolisme hepatik. Setelah pemberian

oral, ± 57% dari dosisnya akan diekskresi di feses dan 27% nya di urin. Metabolit utama yang

diekskresikan di feses dan urin adalah asam karboksilik (73% dosis). Waktu paruh efektif

celecoxib ± 11 jam (Pfizer, 2007).

• Indikasi dan penggunaan

Mengingat keuntungan dan risikonya maka harus dipertimbangkan secara hati-hati

sebelum penggunaan celecoxib. Gunakan dosis efektif terkecil dalam jangka pendek dengan

tujuan secara individu pada tiap pasien (Pfizer, 2007).

Celecoxib diindikasi untuk: 1) mengurangi tanda dan gejala osteoartritis [dosis oral 200

mg/hari sebagai dosis tunggal atau terbagi 100 mg/12 jam]; 2) mengurangi tanda dan gejala

artritis reumatoid pada dewasa [dosis oral 100-200 mg/12 jam]; 3) mengurangi tanda dan gejala

artritis reumatoid juvenil pada pasien usia ≥2 tahun [dosis oral dengan berat badan ≥10 kg

sampai ≤25 kg adalah 50 mg/12 jam, berat badan >25 kg adalah 100 mg/12 jam]; 4) mengurangi

tanda dan gejala spondilitis ankilosing [dosis 200-400 mg/hari tunggal atau terbagi dan

Page 40: Referat Remato COX-2

36

diobservasi selama 6 minggu, jika tidak membaik gunakan pilihan terapi lain]; 5) manajemen

nyeri akut pada dewasa [dosis inisial 400 mg, dapat diikuti 200 mg pada hari yang sama, hari

selanjutnya 200 mg/12 jam jika dibutuhkan]; 6) mengobati dismenore primer [dosis sama seperti

pada nyeri akut]; dan 7) mengurangi jumlah adenomatous colorectal polyp pada familial

adenomatous polyposis, sebagai tambahan pada perawatan sebelumnya (misalnya surveilan

endoskopik, pembedahan) [dosis oral 400 mg/12 jam diberikan bersama makanan] (Pfizer,

2007).

2. Valdecoxib

Desain kimia valdecoxib (tablet Bextra®) adalah 4-(5-methyl-3-phenyl-4-isoxazolyl)

benzenesulfonamide dengan struktur kimianya tampak pada gambar 7. Rumus empiriknya

C16H14N2O3S dengan berat molekul 314,36. Sediaan valdecoxib adalah tablet 10 dan 20 mg

(Pfizer, 2004).

Gambar 10. Struktur kimia valdecoxib.

(Pfizer, 2004)

• Mekanisme kerja

Valdecoxib merupakan OAINS yang memiliki kemampuan anti inflamasi, analgesik, dan

antipiretik pada model binatang. Mekanisme kerjanya menghambat sintesis PG khususnya

Page 41: Referat Remato COX-2

37

melalui hambatan pada COX-2. Pada konsentrasi plasma terapeutik valdecoxib tidak

menghambat COX-1.

• Farmakokinetik

Valdecoxib mencapai konsentrasi plasma maksimal dalam ± 3 jam. Valdecoxib dapat

diberikan dengan atau tanpa makanan. Valdecoxib berikatan 98% dengan protein plasma. Obat

ini dieliminasi melalui metabolisme hepatik (Pfizer, 2004).

• Indikasi dan penggunaan

Valdecoxib diindikasikan untuk: 1) meringankan tanda dan gejala osteoartritis dan artritis

reumatoid dewasa [dosis 10 mg/hari]; 2) terapi utama pada dismenore primer [dosis 20 mg/12

jam jika diperlukan] (Pfizer, 2004).

3. Rofecoxib

Desain kimia rofecoxib (Vioxx®) adalah 4-[4-(methylsulfonyl)phenyl]-3-phenyl-2(5H)-

furanone, dengan struktur kimia seperti pada gambar 8. Rumus empiriknya adalah C17H14O4S

dengan berat molekul 314,36 (Merck, 1999).

Gambar 11. Struktur kimia rofecoxib.

(Sumber: Merck, 1999)

Page 42: Referat Remato COX-2

38

Tiap tablet rofecoxib berisi 12,5 mg atau 25 mg, sedangkan suspensi oral tiap 5 mL

mengandung 12,5 mg atau 25 mg. Median waktu konsentrasi maksimalnya adalah 2-9 jam.

Rofecoxib berikatan 87% dengan protein plasma, dieliminasi melalui metabolisme hepatik

(Merck, 1999).

Rofecoxib diindikasikan untuk: 1) meringankan tanda dan gejala osteoartritis [dosis awal 12,5

mg/hari dan maksimal 25 mg/hari]; 2) manajemen nyeri akut pada dewasa [dosis 50 mg/hari

selama 5 hari jika diperlukan]; 3) terapi utama pada dismenore primer [dosis sama seperti pada

nyeri akut] (Merck, 1999).

Page 43: Referat Remato COX-2

39

BAB III

SIMPULAN

Nyeri dan inflamasi merupakan keluhan utama penderita reumatik disamping keluhan

lainnya. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan keluhan ini, antara

lain dengan OAINS. Setiap tahun penggunaan obat golongan ini semakin meningkat.

Sejak tahun 1990-an kita mengenal 2 macam enzim COX, yaitu COX-1 dan COX-2.

Kedua isoform ini berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki fungsi regulasi yang

berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang mengkatalisis pembentukan prostanoid

regulatoris pada berbagai jaringan, terutama pada selaput lendir traktus gastrointestinal, ginjal,

platelet dan epitel pembuluh darah. Bertolak belakang dengan COX-1, COX-2 tidak konstitutif

tetapi dapat diinduksi, antara lain bila ada stimulus inflamasi, mitogenesis atau onkogenesis.

Dengan adanya penghambatan pada kedua enzim ini maka selain efek terapi yang

diperoleh terdapat juga efek samping yang luas. Salah satu efek samping OAINS tradisional

yang hanya menghambat COX-2 adalah pada sistem gastrointestinal. Walaupun masing-masing

OAINS menunjukkan perbedaan yang jelas dalam struktur biokimia dan asalnya, namun OAINS

memiliki mekanisme kerja yang mirip satu sama lain, sehingga efek sampingnya juga sama.

Keadaan ini dikenal sebagai “group effect”. Perbedaannya hanya pada waktu paruh masing-

masing OAINS, yang berpengaruh pada interval pemberian dan potensinya.

Faktor-faktor yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemungkinan terjadinya

komplikasi gastrointestinal antara lain umur, riwayat adanya ulkus gastroduodenal, penggunaan

kortikosteroid dan antikoagulan, dosis OAINS yang digunakan, adanya infeksi H. Pylori, serta

konsumsi alkohol dan merokok.

Page 44: Referat Remato COX-2

40

Oleh karena adanya efek samping gastrointestinal maka sekarang ini dikembangkan

OAINS yang diharapkan hanya menghambat khusus enzim COX-2.

Selama beberapa tahun terakhir, penghambat selektif COX-2 (coxib) telah menjadi obat

yang paling cepat berkembang dalam armamentarium OAINS. Dalam perbandingannya dengan

OAINS konvensional, muncul suatu hipotesis yang disebut sebagai hipotesis COX-2 (the COX-2

hypothesis). Hipotesis ini mengatakan bahwa pada dosis efektif yang sama, coxib akan

menyebabkan efek samping gastrointestinal berat yang lebih sedikit dibandingkan dengan

OAINS nonselektif konvensional.

Secara umum pemberian coxib diindikasikan untuk meringankan tanda dan gejala

osteoartritis, artritis reumatoid dewasa, artritis reumatoid juvenil, spondilitis ankilosing,

manajemen nyeri akut dan dismenore primer.

Page 45: Referat Remato COX-2

41

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008 [cited: February 5, 2008]. Inflammation. [4 screens]. Available from

http://adkpathcourse.blogspot.com.

Beiche, F., Scheuerer, S., Brune, K., Geisslinger, G., Goppelt-Streube, M. 1996. Up-regulation

of cyclooxygenase-2 mRNA in the rat spinal cord following peripheral inflammation.

FEBS Lett; 390(2):165-169.

Boyd, W. 1971. An Introduction to the Study of Disease. Ed 6. Philadelphia: Lea & Febiger: 96-

101.

Brooks, P.M. 2000. COX-2 inhibitors. Aus Prescrib, 23(2):30-32.

Connolly, T.P. 2003. Cyclooxygenase-2 Inhibitors in Gynecologic Practice. Clin Med Res, 1(2):

105-110.

Dannhardt, G., Laufer, S. 2000. Structural Approach to Explain the Selectivity of COX-2

Inhibitors: Is There a Common Pharmacophore? Curr Med Chem, 7:1101–1112.

Ehsanullah, R.S., Page, M.C., Tildesley. G., Wood, J.R. 1988. Prevention of gastroduodenal

damage induced by non-steroidal anti-inflammatory drugs: controlled trial of ranitidine.

BMJ, 297:1017–1021.

Fitzgerald, G.A., Patrono, C. 2001. The Coxibs, Selective Inhibitors of Cyclooxygenase-2. N

Eng J Med; 345 (6): 433-442.

Garrison, I.C. 1991. Histamine, bradykinin, 5-hydroxy-tryptamine, and their antagonist. In A.G.

Gilman (ed) Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics. 8th

edition. New York: Pergamon Press. Vol. I:579-580,588,593.

Graham, D.Y., Smith J.L. 1983. Gastroduodenal complications of chronic NSAID therapy. Am J

Gastroenterol, 83:1081–1084.

Grosser, T., Fries, S., FitzGerald, G.A. 2006. Biological basis for the cardiovascular

consequences of COX-2 inhibition: therapeutic challenges and opportunities. J Clin

Investig, 116(1):4-15.

Hawkey, C.J., Langman, M.J.S. 2003. Non-steroidal anti-inflammatory drugs: overall risks and

management. Complementary roles for COX-2 inhibitors and proton pump inhibitors.

Gut; 52:600-608.

Insel, P.A. 1996. Analgetic-antipyretic and antiinflammatory agents and drugs employed in the

treatment of gout. In A.G. Gilman (ed.). Goodman & Gilman’s The Pharmacological

Basis of Theurapeutics. 9th Edition. New York: Pergamon Press.

Isbagio, H. 1992. Peranan Obat Anti Inflamasi Non Steroid terhadap Nyeri dan Inflamasi pada

Penyakit Reumatik. Cermin Dunia Kedokteran, No. 78.

Isbagio, H. 2003. Penatalaksanaan Nyeri sebagai Model Pendekatan Interdisiplin pada Pasien

Geriatri. Dalam Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional I PB PAPDI, Yogyakarta.

Kartasasmita, R.E. 2002. Perkembangan Obat Antiradang Bukan Steroid. Acta Pharmaceutica

Indonesia. Vol. XXVII, No. 4, Desember 2002.

Kertia, N. 2003. Nyeri dan Inflamasi dalam Bidang Reumatologi dalam Asdie, A.H., Sja’bani,

M., Suseno, P., Widayati, K., Budiarto, L (eds), Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah

Tahunan V Ilmu Penyakit Dalam, hal.108-117. MEDIKA Fakultas Kedokteran UGM,

Yogyakarta.

Page 46: Referat Remato COX-2

42

Komhoff, M., Grone, H.J., Klein, T., Seyberth, H.W., Nusing, R.M. 1997. Localization of

Cyclooxygenase-1 and – 2 in Adult and Fetal Human Kidney: Implication for Renal

Function. Am J Physiol, 272:F460-F468.

Korolkovas, A. 1988. Essentials of Medicinal Chemistry. 2nd

edtion. New York: A Wiley

lnterscience Publ. 1052-1053.

Lichtenstein, D.R., Syngal, S, Wolfe, M.M. 1995. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs and the

gastro-intestinal tract. The double-edged sword. Arthritis Rheum, (38):5–18.

Lo, V., Meadows, S. 2006. When should COX-2 selective NSAIDs be used for osteoarthritis and

rheumatoid arthritis? J Fam Prac, 55(3):260-262.

Mamdani, M., Juurlink, D.N., Lee, D.S., Rochon, P.A., Kopp, A., Naglie, G., Austin, P.C. 2004.

Cyclo-oxygenase-2 inhibitors versus non-selective non-steroidal anti-inflammatory drugs

and congestive heart failure outcomes in elderly patients: a population-based cohort

study. Lancet, 363:1751-1756.

Mattia, C., Colluzi, F. 2005. COX-2 Inhibitors: Pharmacological Data and Adverse Effects. Min

Anest,71:461-70.

McAdam, B.F., Lawson, F.C., Mardini, I.A., Kapoor, S., Lawson, J.A., Fitzgerald, G.A. 1999.

Systemic Biosynthesis of Prostacyclin by Cyclooxygenase (COX-2): The Human

Pharmacology of Selective Inhibitor of COX-2. Proc Natl Acad Sci, 96(1):272-277.

Merck. 1999 [cited: July 20, 2007]. VIOXX® (rofecoxib tablets and oral suspension). [21

screens]. Available from www.fda.gov/cder/foi/label/1999/21042lbl.pdf.

Ong, C.K.S., Lirk, P., Tan, C.H., Seymour, R.A. 2007. An Evidence-Based Update on

Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs. Clin Med Res, 5(1):19-34.

Pfizer. 2004 [cited: July 20, 2007]. BEXTRA® valdecoxib tablets. [17 screens]. Available from

http://www.fda.gov/medwatch/SAFETY/2004/Bextra_PI.pdf.

Pfizer. 2007 [cited: July 20, 2007]. CELEBREX® celecoxib capsules. [30 screens]. Available

from http://pfizer.com/pfizer/download/uspi_celebrex.pdf.

Rajakariar, R., Yaqoob, M.M., Gilroy, D.W. 2006. COX-2 in Inflammation and Resolution. Mol

interv, 6(4):199-207.

Roda, R.P., Bagán, J.V., Soriano,Y.J., Romero, L.G. 2007. Use of nonsteroidal antiinflammatory

drugs in dental practice. Med Oral Patol Oral Cir Bucal, 12:E10-8.

Sanghi, S., MacLaughlin, E.J., Jewell, C.W., Chaffer, S., Naus, P.J., Watson, L.E., Dostal, D.E.

2006. Cyclooxygenase-2 Inhibitors: A Painful Lesson. Cardiovas & Haemato Disord-

Drug Targ, 6(2):83-98.

Simmons, D.L., Botting, R.M., Timothy, H.L.A. 2004. Cyclooxygenase Isozymes: The Biology

of Prostaglandin Synthesis and Inhibition. Pharmacol Rev, 56:387–437.

Singh, G., Ramey, D.R., Morfeld, D., Hatoum, H.T., Fries, J.F. 1996. Gastrointestinal tract

complications of nonsteroidal anti-inflammatory drug treatment in rheumatoid arthritis. A

prospective observational cohort study. Arch Intern Med, 156:1530–1536.

Smith, H.S., Whitney Baird, W. 2003. Meloxicam and selective COX-2 inhibitors in the

management of pain in the palliative care population. Am J Hosp Pal Care, 20(4):297-

306.

Solomon, D.H., Schneeweiss, S., Glynn, R.J., Kiyota, Y., Levin, R., Mogun, H. 2004.

Relationship between Selevtive Cyclooxygenase-2 Inhibitors and Acute Myocardial

Infarction in Older adults. Circulation, 109:2068-2073.

Sorli, C.H., H.J. Zhang, M.B. Amstrong, R.V. Rajotte, J. Maclouf, R.P. Robetson. 1998. Basal

expression of cyclooxygenase-2 and nuclear factor-interleukin 6 are dominant and

Page 47: Referat Remato COX-2

43

coordinately regulated by interleukin 1 in the pancreatic islet. Proc Natl Acad Sci, 95(4):

1788-1793

Steinmeyer, J. 2000. Pharmacological basis for the therapy of pain and inflammation with

nonsteroidal anti-inflammatory drugs. Arthritis Res, 2:379–385.

Sundy, J.S. 2004. In W.J., Koopman, L.W., Moreland (Eds.). Nonsteroidal anti-inflammatory

drugs. Therapeutic Approaches in the Rheumatic Diseases, in Arthritis and Allied

Condition, A Textbooks of Rheumatology. 15th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins. 1:679-704.

Targownik, L.E., Thomson, P.A. 2006. Gastroprotective Strategies among NSAID Users,

Guidelines for appropriate use in chronic illness. Can Fam Physician, 52:1100-1105.

Warner, T.D, Mitchell, J.A. 2004. Cyclooxygenase: new forms, new inhibitors, and lessons from

the clinic. FASEB, 18:790-804.

Weinblatt, M.E. 2003. Anti-Inflammatory Drugs: NSAIDs, COX-2 Selective Inhibitors,

Glucocorticoids and Anti-Cytokine Agents. Harvard-MIT Division of Health Sciences

and Technology.

Whitten, C. E., Donovan, M., Cristobal, K. 2005. Treating Chronic Pain: New Knowledge, More

Choices. The Permanente Journal, 9(4).

Winfield. 2001. Pain management. In J.H., Klippel, I.J.,Crofford, J.H.,Stone, C.M.,Weynand

(eds.). Primer on The Rheumatic Diseases. 12th edition:573-578. Arthritis Foundation.

Georgia.

Wolfe, M.M., Lichtentstein, D.R., Singh, G. 1999. Gastrointestinal Toxicity of Nonsteroidal

Antiinflammatory Drugs. N Engl J Med, 340(24):1888-1900.

Zimmermann, K.C., M. Sarbia, K. Schror, A.A. Weber. 1998. Constitutive cyclooxygenase-2

expression in healthy human and rabbit gastric mucosa. Mol Pharmacol, 54(3):536-540.