Hubungan Enzim Cox 2 Dengan Cytokin Dalam Nyeri --dian wirdiyana

49
HUBUNGAN ENZIM COX-2 DENGAN SITOKIN DALAM NYERI PENDAHULUAN Cyclooksigenase (COX) adalah enzim yang merubah asam arakidonik menjadi prostaglandin H2 yang dapat dimetabolisme selanjutnya menjadi prostanoid, termasuk prostaglandin E2 (PGE2), prostasiklin (PGI2), dan tromboksan A2 (TXA2). Telah diketahui bahwa COX dapat terdiri dari sedikitnya dua isoform yang berbeda. COX-1 telah diketahui secara luas menghasilkan prostanoid yang bertugas untuk mempertahankan homeostasis seluler dan diketahui diekspresikan secara konstitusi di berbagai jenis sel termasuk sel endotelial. COX-2 telah ditunjukkan diekspresikan sebagai respon terhadap berbagai rangsangan proinflamasi, termasuk sitokin, dalam sel dan tempat terjadinya proses inflamasi. Lebih jauh lagi, COX-2 telah diketahui merupakan isoform yang bertanggung jawab memproduksi proinflamasi prostanoid dalam berbagai proses inflamasi. 1,2 Pada penyakit dengan inflamasi akut atau kronik, sitokin dapat dikenali oleh saraf dan 1

description

anestesi

Transcript of Hubungan Enzim Cox 2 Dengan Cytokin Dalam Nyeri --dian wirdiyana

HUBUNGAN ENZIM COX-2 DENGAN SITOKIN DALAM NYERI

PENDAHULUAN Cyclooksigenase (COX) adalah enzim yang merubah asam arakidonik menjadi prostaglandin H2 yang dapat dimetabolisme selanjutnya menjadi prostanoid, termasuk prostaglandin E2 (PGE2), prostasiklin (PGI2), dan tromboksan A2 (TXA2). Telah diketahui bahwa COX dapat terdiri dari sedikitnya dua isoform yang berbeda. COX-1 telah diketahui secara luas menghasilkan prostanoid yang bertugas untuk mempertahankan homeostasis seluler dan diketahui diekspresikan secara konstitusi di berbagai jenis sel termasuk sel endotelial. COX-2 telah ditunjukkan diekspresikan sebagai respon terhadap berbagai rangsangan proinflamasi, termasuk sitokin, dalam sel dan tempat terjadinya proses inflamasi. Lebih jauh lagi, COX-2 telah diketahui merupakan isoform yang bertanggung jawab memproduksi proinflamasi prostanoid dalam berbagai proses inflamasi. 1,2 Pada penyakit dengan inflamasi akut atau kronik, sitokin dapat dikenali oleh saraf dan berperan sebagai pencetus beberapa reaksi sel berupa aktivasi, proliferasi, dan pertahanan sel-sel imun, boleh dikatakan produksi dan aktivitas sitokin-sitokin lain. Sitokin dapat berupa proinflamasi (IL1, IL2, IL6, IL7, dan TNF-) dan antiinflamasi (IL4, IL 10, IL13, dan TNF- ). Sitokin proinflamasi berhubungan dengan patofisiologi sindrom nyeri.3,4 Kerusakan jaringan yang berhubungan dengan pembedahan mengawali reaksi sistemik bersamaan dengan meningkatnya sitokin proinflamasi. Sitokin proinflamasi ini dapat menginduksi sensitasi sistem saraf pusat dan perifer, menyebabkan hiperalgesia dengan induksi aktivasi enzim ciklooksigenase-2.5

FISIOLOGI NYERI AKUT Mengerti jalur nyeri secara anatomi dan mediator-mediator neurokimia yang terlibat dalam transmisi sumber nyeri dan persepsi nyeri adalah kunci untuk mengoptimalkan penatalaksanaan nyeri akut dan kronik. Nyeri dapat dikategorikan menurut beberapa variabel, termasuk durasinya (akut, kronik), mekanisme patofisiologinya ( fisiologi, nosisepsi, neuropati), dan secara klinis (postoperasi, keganasan, neuropati, degenerasi). Nyeri nosisepsi didefenisikan sebagai adanya persepsi nyeri yang berasal dari kerusakan jaringan akibat operasi, trauma, atau akibat proses penyakit. Nyeri neuropati disebabkan kerusakan atau lesi jaringan saraf baik perifer maupun sentral. Nyeri nosisepsi digolongkan bersifat inflamasi oleh karena inflamasi perifer dan mediator-mediator inflamasi memegang peranan penting dari awal hingga perkembangannya. Secara umum, intensitas nyeri nosisepsi proporsional dengan hebatnya kerusakan jaringan dan pelepasan mediator-mediator inflamasi. Terdapat 4 proses yang terjadi pada suatu nosisepsi yang terdiri dari transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi (mediator inflamasi) yang menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh serabut saraf nosiseptor yang bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis medulla spinalis. Sinyal kemudian diteruskan melalui traktus spinothalamikus di otak, di mana nyeri dipersepsi, dilokalisir, dan diinterpretasikan.4,6,7,8

Gambar 1. Diadaptasi dari Gottschalk A dan kawan-kawan. Am Fam Physician. 2001, 83:1981, dan Kahlet H dan kawan-kawan. Anesth Analg. 1993;77:1049.

Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan jaringan yang rusak. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus nonnoksious atau noksious ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya, individu akan mencegah adanya kontak atau gerakan pada bagian yang cedera tersebut sampai perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan meminimalisasi kerusakan jaringan lebih lanjut. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.8

Sensitisasi Sensitisasi merupakan tanda-tanda klinis yang sangat berarti terhadap aspek nyeri. Berbagai mediator kimia, neurotransmitter, dan hasil metabolik, enzim serta ion-ion secara tidak langsung mengaktivasi nosiseptor mengakibatkan penurunan ambang rangsang serta berperan dalam meningkatkan sensitivitas nyeri. Berbagai reseptor seperti metabotropik glutamat reseptor (mGluR) dapat meregulasi berbagai sinyal transduksi baik langsung ataupun tidak langsung yakni dengan mengaktivasi fosfolipase D, menggerakkan fosfatidase untuk menstimulasi pembentukan cyclic adenosin mono phosphat (cAMP), regulasi fosforilase, reseptor, dan kanal ion. Pada kondisi jaringan yang rusak atau terinflamasi akibat cedera maka serabut A ikut terstimulasi sehingga terjadi peningkatan dan perpanjangan letupan terhadap nosiseptor sebagai respon terhadap stimulus noksious seperti yang terjadi pada hiperalgesia.7,9,10 Proses sensitisasi neuron dan istilah hiperalgesia secara klinis, boleh dikatakan rasa ketidaknyamanan sebagai respon terhadap rangsangan yang secara normal tidak akan dirasakan sebagai nyeri. Allodinia menerangkan kondisi di mana stimulus yang tidak nyeri seperti tekanan dan cahaya dirasakan sebagai nyeri yang sangat hebat. Hiperalgesia diklasifikasikan menjadi bentuk primer dan sekunder. Hiperalgesia primer mencerminkan sensitasi nosiseptor perifer dengan karakteristik respon yang berlebihan dan segera terhadap stimulus panas yang terjadi pada atau di dalam lokasi yang berdekatan dengan tempat trauma. Hiperalgesia sekunder melibatkan sensitasi pada medulla spinalis dan susunan saraf pusat dan termasuk meningkatnya reaktivitas terhadap stimulus mekanik dan menyebar ke area hiperalgesia. Meningkatnya sensitivitas terhadap nyeri meluas ke daerah yang tidak mengalami trauma beberapa dermatome di atas dan di bawah lokasi utama trauma.6,10,11

Gambar 2. Keterangan : stimulus noksious dapat menyebabkan sensitisasi respon sistem saraf terhadap stimulus berikutnya. Respon nyeri yang normal ditunjukkan oleh kurva sebelah kanan. Pada cedera jaringan, kurva tersebut akan bergeser ke kiri, sehingga stimulus noksious dirasakan lebih nyeri (hiperalgesia), dan stimulus nonnoksious juga dirasakan sebagai nyeri (allodinia). (Dikutip dari Dannhardt,G., Kieper, W., 2001, Cyclooxygenase inhibitors-current status and future prospects, Eur J.Med Chem, 36:109-26.)

Sensitisasi Perifer Cedera dan inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhiran nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosin trifosfat dan ion K, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokin, dan faktor pertumbuhan. Beberapa komponen tersebut di atas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsang berikutnya (nociceptor sensitizers). Produksi prostanoid pada tempat cedera merupakan komponen utama reaksi inflamasi. Prostanoid terbentuk dari asam arakidonat dari membran fosfolipid dengan bantuan fosfolipase A2. Cyclooksygenase-2 (COX-2) berperan mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin H, yang kemudian dikonversi menjadi spesies prostanoid yang spesifik, misalnya prostaglandin E2. Cyclooksygenase-2 (COX-2) dipicu oleh interleukin-1 dan tumor necrosis factor, yang keduanya terbentuk beberapa jam setelah permulaan inflamasi. Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2, akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Aktivasi adenil siklase oleh prostaglandin E akan meningkatkan kadar adenosin monofosfatsiklik, dan mengaktifkan protein kinase A. Protein kinase A dan protein kinase C akan memfosforilasi asam amino serine dan threonin. Fosforilasi akan menyebabkan perubahan aktivitas reseptor dan kanal ion yang dramatik. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitasi akan muncul secara bersamaan (prostaglandin E2, nerve growth factor, dan bradikinin), blokade hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang, dan berperan besar dalam meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi. 8,10,12Sensitisasi Sentral Di tingkat sentral , sensitasi sentral melibatkan respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first order neuron yang merupakan ujung akhir dari serabut aferen pertama dan second order neuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second order neuron berperan dalam modulasi dengan cara memfasilitasi atau menghambat stimulus noksius. Neuron kedua ini dapat menurunkan ambang respon saraf serta meningkatkan receptor field sehingga meningkatkan transmisi sinyal ke otak dan akhirnya meningkatkan derajat persepsi nyeri. Hal ini terjadi akibat perubahan pada kornu dorsalis setelah suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai sensitasi sentral atau wind up. Proses wind up menyebabkan neuron-neuron di kornu dorsalis menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain. 4

Gambar 3. Respon perifer terhadap kerusakan akut, (1) Akibat kerusakan jaringan, potassium (K), ion hidrogen (H), dan asam arakidonik (AA) yang dilepaskan dari sel-sel yang rusak dan bradikinin (BK) yang dilepaskan dari pembuluh darah yang rusak mengaktivasi ujung-ujung serabut saraf afferent sensoris (nosiseptor). Ciklooksigenase-2 (COX-2) regulasinya meningkat dan bertanggung jawab terhadap konversi AA menjadi prostaglandin (PGE). Prostaglandin terlibat dalam sensitasi nosiseptor dan selanjutnya meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan hiperalgesia primer. (2) Transmisi orthodromic dalam memberi sensitasi pada aferen menyebabkan pelepasan substansi P (sP) pada dan sekitar tempat kerusakan jaringan. Substansi P selanjutnya bertanggung jawab akan pelepasan BK. (3) Substansi P juga merangsang pelepasan histamin dari sel mast dan serotonin (5-HT) dari platelet. Substansi ini dengan faktor-faktor humoral TNF- dan IL-6 membentuk sup nyeri, yang mengaktivasi nosiseptor-nosiseptor selanjutnya dan selanjutnya akan menyebabkan eksaserbasi respon inflamasi. (4) Refleks yang ditimbulkan oleh nosiseptor yang disensitasi oleh simpatis efferen secara langsung melalui sekresi norepinefrin (NE), secara tidak langsung melalui pelepasan BK dan PGE, dan menyebabkan vasokonstriksi perifer. (Dikutip dari Sinatra RS, Bigham M : The Anatomy and Physiology of Acute Pain. Dalam : Grass JA, ed. Problem in Anesthesiology. Philadelphia,PA: Lippincot-Raven, 1997:10:8-22).

Secara umum proses sensitisasi sentral serupa dengan sensitisasi perifer. Diawali dengan aktivasi kinase intraseluler , memacu fosforilasi kanal ion dan reseptor, dan terjadi perubahan fenotip neuron. Sensitisasi sentral dan perifer merupakan bentuk plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Pada keadaan aliran sensoris yang masif akibat kerusakan hebat jaringan, dalam beberapa detik neuron di medulla spinalis akan menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya nyeri akibat stimulus nonnoksious (misalnya: nyeri akibat sentuhan ringan), dan terjadinya hiperalgesia sekunder (nyeri pada daerah sekitar jaringan yang rusak). Sensitisasi sentral merupakan urutan kejadian di kornu dorsalis yang diawali dengan pelepasan transmitter dari nosiseptor, perubahan densitas reseptor sinaptik, perubahan ambang, yang kesemuanya meningkatkan transmisi nyeri. Salah satu reseptor yang berperan utama dalam perubahan ini adalah reseptor NMDA yang selama proses sensitisasi sentral mengalami fosforilasi dan meningkatkan kepekaannya terhadap glutamat ditandai oleh hilangnya blokade ion Mg++ mengakibatkan terjadinya pembukaan saluran ion Ca++ yang lebih lama. Eksitabilitas membran dapat diaktifkan baik oleh input yang di bawah (subthreshold), dan respon berlebih pada input di atas ambang (suprathreshold). Fenomena ini menyebabkan munculnya nyeri pada rangsang yang di bawah ambang (allodinia), dan respon nyeri berlebih akibat rangsang nyeri (hiperalgesia), serta perluasan sensitivitas area yang tidak cedera (hiperalgesia sekunder).7,8,11,12

Gambar 4. Akibat kerusakan jaringan, hiperalgesia primer dan sekunder meningkatkan intensitas nyeri akut dan mungkin berkembang menjadi nyeri yang menetap. (Dikutip dari Cousins, M.J., Carr, D.B., 2010, Physiology and Phsychology of Acute Pain in Pamela EM, David AS, Stephan AS, Eric JV, Hellen MW. Editors. Acute Pain Management Scientific Evidence 3rd ed, Australian and New Zaeland College of Anesthetists, 1-6.)

Sistem Imun sebagai Induksi Nyeri Keterkaitan sistem imun dengan nyeri yang berkembang terakhir ini, terbukti dengan ditemukannya mediator proinflamasi seperti TNF, IL-1, IL-6, NGF, dan PG pada eksudat inflamasi. Di daerah dimana terjadi kerusakan jaringan maka sistem imun di sekitarnya akan menjadi aktif yang bisa mengakibatkan terjadinya proses regenerasi elemen nonneuronal seperti sel Schwann, aktivasi neutrofil serta makrofag, dan sel T yang sekaligus mensekresi mediator proinflamasi (TNF-, IL-1, IL-6, histamin, PG, dan NGF). Mediator ini bisa mengakibatkan nyeri hiperalgesia.7, 12

Glia sebagai Modulasi Nyeri Neuron bukanlah satu-satunya jenis sel yang bertanggungjawab terjadinya nyeri akan tetapi sel glia (astrosit dan mikroglia) di medulla spinalis juga sangat berperan sebagai transmisi menuju sentral di mana stimulus diterjemahkan sebagai nyeri. Mikroglia berperan sebagai makrofag jika terjadi cedera pada jaringan saraf akan menyebabkan p38 sebagian dari kinase dari kelompok mitogen activated protein (MAP) akan menjadi aktif di kornu dorsalis yang menyebabkan berbagai substansi kimiawi tersekresi yang akan memperberat nyeri. Kerusakan jaringan saraf baik perifer maupun sentral mengakibatkan makrofag dalam hal ini sel glia menjadi aktif. Sel glia di samping sel pendukung neuron juga berperan sebagai sel yang yang mensekresi neurotransmitter asam amino eksitatorik misalnya glutamat. Glutamat akan berikatan dengan reseptor NMDA dan AMPA di postsinaptik yang mengakibatkan terbukanya kanal untuk masuknya ion kalsium ke dalam sel menyebabkan patologi depolarisasi sebagai tanda-tanda spesifik dari nyeri neuropatik. Inhibisi aktivitas sel glia (astrosit dan mikroglia) juga bagian terapi yang efektif terhadap nyeri neuropatik. Astrosit dan mikroglia bukan hanya berfungsi mengatur respon terhadap penyebab hiperalgesia akan tetapi berperan dalam sekresi mediator proinflamasi sitokin sebagai penyebab nyeri neuropatik.7,12

Gambar 5. Gambar reaksi sel glia terhadap patogen. (Dikutip dari Clifford J. Woolf, MD Pain : Moving from Symptom Control toward Mechanism Specific Pharmacologic Management. Ann Intern Med. 2004;140:441-51.)

ENZIM CYKLOOKSIGENASE-2 Prostaglandin endoperoxide synthase, biasanya disebut cyclooksigenase (COX), adalah enzim utama yang dibutuhkan untuk konversi asam arakidonik menjadi prostaglandin. Prostaglandin berperan penting pada berbagai proses patofisiologi dari respon inflamasi tubuh sampai regulasi aliran darah. Prostaglandin diproduksi oleh sebagian besar sel dan juga terdapat pada jaringan, yang menjelaskan spektrum luasnya pada respon biologis. Prostaglandin memfasilitasi berbagai respon tubuh terhadap trauma atau inflamasi jaringan. Efek yang luar biasa dari prostaglandin termasuk efek sitoprotektifnya pada traktus gastrointestinal dan mengatur fungsi ginjal. PGE2 adalah prostaglandin yang paling penting yang berperan dalam terjadinya tanda-tanda inflamasi: kemerahan, panas, tumor, nyeri, dan kehilangan fungsi. Dilatasi dari pembuluh darah kecil memulai terjadinya kemerahan dan rasa panas, meningkatnya permeabilitas pembuluh darah menyebabkan pembengkakan jaringan. Lebih dari itu, prostaglandin menyebabkan sensitasi ujung-ujung serabut saraf perifer dan nosiseptor untuk mentransmisikan sinyal nyeri ke otak dan medulla spinalis. 13,14,15

Gambar 6. Pembentukan prostanoid dari cell membrane lipid-derived arachidonic acid dan perannya pada inflamasi. Singkatan: Lyso-PL = lysophospholipid, PAF = platelet activating factor, PLA2 = phopspholiphase A2, 5 HPETE=5-hydroperoxy eicosatetraenoic acid, HETE=hydroxyeicosatetraenoic acid. (Dikutip dari Meliala,L., Pinzon, R., 2007, Breakthrough in Management of Acute Pain, Jurnal Kedokteran dan Farmasi, 4(20):151-2.) Tahun 1991, Xie dan OBanion, ahli Biologi Molekuler, menemukan bahwa enzim ciklooksigenase (COX) terdiri dari dua bentuk isomerik (COX-1 dan COX-2). Dua kode gen yang berbeda telah ditemukan untuk masing-masing isomer tersebut. Gen-gen ini dikloning, dirangkai, diekspresikan, dan dikelompokkan. Gene untuk COX-1 dan COX-2 berlokasi pada kromosom 9 dan 1 manusia secara berurutan. COX-1 kurang kotak TATA tapi COX-2 mengandung kotak TATA dan terikat pada beberapa faktor transkriptional termasuk faktor nuklear-kB (NF-kB), faktor nuklear untuk interleukin-6 (NF-IL6) dan cyclic AMP (cAMP) respons element binding protein (CREB). COX-1 telah ditemukan diekspresikan secara konstitusi pada sebagian besar jaringan tubuh manusia dan mensintesis prostaglandin yang menjaga integritas lambung dan mempertahankan fungsi normal ginjal. Sebagai tambahan COX-1 juga ditemukan pada platelet dan bertanggung jawab terhadap produksi thromboxane A2. Sebaliknya, COX-2 tidak terdeteksi atau sangat sedikit pada jaringan mamalia (kadar basalnya rendah pada otak, ginjal, dan sistem reproduksi wanita) tapi kemunculannya dapat diinduksi oleh rangsangan proinflamasi dan mitogen pada tempat terjadinya inflamasi atau kerusakan jaringan. COX-2 muncul setelah trauma meningkatkan proses inflamasi dan hiperalgesia. Munculnya COX-2 ditentukan oleh spektrum luas mediator-mediator yang terlibat dalam proses inflamasi; lipopolisakarida proinflamasi sitokin (IL-, TNF) dan faktor pertumbuhan dapat menginduksi COX-2, di mana glukokortikoid, IL-4, IL-13, dan IL-10, menghambat kemunculan enzim ini. 17

Tabel 1. COX-1 dan COX-2 (Dikutip dari Neeb, L., Hellen, P., Boehnke, C., Hoffman, J., Schuh-hofer, S., Dirnagi, U., dan Reuter, U., 2011, IL-1 stimulates COX-2 dependent PGE2 synthesis and CGRP release in rat trigeminal ganglia cells, pLosone, 6(3):1-10.)

COX-1COX-2

Ekspresi Ukuran geneTranskrip mRNA Ukuran proteinLokasi

Pola ekspresi Konstitusi22 kb2,7 kb72 kDaReticulum endoplasmic, nuclear envelopeSemua jaringan, termasuk lambung, ginjal, kolon, dan plateletsInducible8,3 kb4,5 kb 72/74 kDa doubletReticulum endoplasmic, nuclear envelopeRegio otak dan ginjal, makrofag yang aktif, synoviosit selama inflamasi, sel epitelial maligna. Ekspresinya distimulasi oleh sitokin, growth factor, onkogen, dan tumour promoters

Menurut konsep COX, COX-1 membentuk prostaglandin yang baik dalam menjaga berbagai fungsi seperti integritas mukosa lambung, homeostasis platelet, dan regulasi aliran darah ginjal, sedangkan COX-2 membentuk prostaglandin yang buruk atau proinflamasi yang terlibat dalam reaksi inflamasi (misal arthritis, nyeri, hiperalgesia), gangguan neurodegenerative, dan kanker kolorektal. Hipotesis ini menjelaskan bahwa aksi antiinflamasi NSAID berasal dari penghambatan enzim COX-2, di mana efek samping yang tidak diinginkan seperti gastrotoksik, alasan utama pembatasatasan penggunaan klinis NSAID, adalah akibat hambatannya terhadap isoenzim COX-1. Isoform baru dari keluarga COX, COX-3, telah ditemukan baru-baru ini. Akan tetapi, penemuan awal menjelaskan penghambatan COX-3 yang secara primer adalah berdasarkan mekanisme sentral yaitu dengan paracetamol dan NSAID lain dapat menurunkan demam. Keberadaan COX-3 pada manusia masih diperdebatkan. 13,17

Gambar 7. Hubungan antara berbagai jalur yang menyebabkan pembentukan eicosanoid oleh COX-1 dan COX-2. Pada kondisi fisiologis, aktivasi COX-1, misalnya pada platelet, endotelium, mukosa lambung, ginjal, menyebabkan pelepasan thromboxane A2 (TXA2), prostasiklin (PGI2), atau prostaglandin E2 (PGE2). Pelepasan eicosanoid-eicosanoid ini secara selektif dihambat oleh obat2an seperti aspirin. Stimulus inflamasi melepaskan sitokin, seperti interleukin-1, yang menginduksi sintesis COX-2 pada sel seperti makrofag, yang mengakibatkan pelepasan prostaglandin (PGs). Pelepasan PGs bersamaan dengan protease dan mediator-mediator inflamasi lainnya (seperti radikal oksigen reaktif) menyebabkan inflamasi. Jalur COX-2 dapat diputuskan pada beberapa level oleh antagonis atau antibodi sitokin dan mitogen, inhibitor induksi COX-2 (misal : glucocorticoid), atau selektif inhibitor COX-2. (Dikutip dari Ogata, S., Kubota, Y., Yamashiro, T., Takeuchi, H., Ninomiya, T., Suyama, Y., Shirasuna, K., 2007, Signaling pathways regulating IL-1 induced COX-2 Expression, J. Dent Res, 86 (2):186-191.)

Tabel 2. Proses yang diketahui dan berpotensi terlibat dengan peningkatan enzim COX-2. (Dikutip dari Khan, A.A., Ladarola, M., Yang, H.T., dan Dionne, R.A., 2007, Expression of Cox-1 and -2 in a clinical model of acute inflammation, J Pain, 8 (4) :349-54.)

InflamasiNyeriDemamOvulasi, kehamilan, dan persalinanFungsi ginjalMetabolisme tulangPerbaikan JaringanInfark miocardStrokeAtheromaDiabetesRetinopati DiabetikAllograft rejection

Penyakit urogenitalPenyakit AlzheimerKanker : Adenoma poliposis bersifat familial Kolorektal Prostat Pankreas Kulit Kepala dan leher Esofagus Payudara Paru

Enzim Cyclooksigenase-2 dan Nyeri Kerusakan jaringan lokal dan penyakit inflamasi seperti osteoarthritis berhubungan dengan peningkatan PG dan peningkatan sensitisasi reseptor nyeri terhadap PGs. Oleh karena itu, aksi COX pada tempat trauma atau inflamasi adalah hiperalgesik. Sebagai tambahan, PGs diketahui bekerja di medulla spinalis untuk memfasilitasi transmisi respon nyeri, meskipun sedikit pengetahuan mengenai mekanisme efek ini. COX-2 diinduksi baik lokal maupun sentral, dan pertanyaan mengenai apakah COX-2 memediasi penerimaan atau transmisi nyeri saat ini masih dalam penelitian, utamanya melalui penggunaan COXIBs.13,16 Fungsi fisiologis COX-2 pada susunan saraf pusat dan otak adalah COX-2 tampaknya memegang beberapa peranan pada regulasi fungsi otak. PGs telah dari dulu diketahui sebagai mediator demam, reaksi inflamasi pada jaringan saraf, dan yang terbaru, fungsi otak. Hubungan antara mediator inflamasi lokal dengan sel-sel endotel otak dimediasi oleh sitokin, seperti Il-1, yang secara langsung dapat menginduksi ekspresi COX-2 pada sel - sel ini. 13SITOKIN PROINFLAMASI DAN ANTIINFLAMASI Sitokin adalah polipeptida ekstraseluler larut dalam air atau glikoprotein berkisar 8 sampai 30 kDa. Mereka diproduksi oleh berbagai tipe sel, pada tempat kerusakan, dan sel-sel imun melalui mitogen-activated protein kinases. Mereka seringkali berbentuk kaskade, yaitu satu sitokin memberikan stimulasi terhadap sel target untuk memproduksi sitokin yang lebih banyak lagi. Substansi-substansi ini akan mengikat reseptor tertentu, mengaktifkan intrasellular messenger yang mengatur transkripsi gen. Oleh karena itu sitokin terlibat dalam aktivasi, diferensiasi, proliferasi, dan pertahanan sel-sel imun, sebagaimana mengatur produksi dan aktivitas sitokin lainnya yang dapat meningkatkan (proinflammatory) atau menurunkan (antiinflammatory) respon inflamasi. Beberapa sitokin dapat memiliki sifat pro- (Th1) atau anti-inflammatory (Th2) tergantung pada microenvironment di mana mereka berada. Beberapa sitokin proinflamasi adalah interleukin (IL) 1, 2, 6, 7, dan TNF (Tumor Necrosis Factor). Sitokin antiinflamasi termasuk IL-4, IL-10, IL-13, dan TGF (Transforming Growth Factor).3,4,16 Sitokin adalah mediator yang diperlukan untuk memulai respon inflamasi pada tempat terjadinya infeksi dan kerusakan sehingga menjamin penyembuhan luka yang lebih baik. Akan tetapi produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan pada tempat kerusakan bermanifestasi sistemik berupa hemodinamik tidak stabil atau kerusakan metabolik. Setelah suatu proses kerusakan berat atau proses infeksi, eksaserbasi dan respon sitokin Th1 yang terus menerus dapat menyebabkan kerusakan organ target sehingga terjadi kegagalan organ multipel dan kematian. Sitokin Th2 dapat meminimalkan efek yang tidak diinginkan tersebut. 3, 20,21Interleukin-1 (IL-1) Interleukin 1 diproduksi terutama oleh makrofag dan monosit, yaitu oleh sel nonimun seperti fibroblas dan sel endotelial yang aktif, selama kerusakan sel, infeksi, invasi dan inflamasi. Diketahui ada dua tipe : IL-1 dan IL-1, masing-masing 31-33 kdA. Mereka bekerja pada reseptor yang sama, IL-1RI dan IL-1RII. IL-1R1 merupakan reseptor yang aktif, sedangkan IL-1RII tidak memiliki molekul transduksi sehingga menjadi tidak aktif secara fungsional. IL-1 berhubungan dengan jelas pada membran sel dan memulai aksinya melalui kontak sel. IL-1 disintesa sebagai prekursor protein (Pro- IL-1) yang tidak disekresikan dalam bentuk aktif sampai dimetabolisme oleh enzim Caspase-1. Baru-baru ini, telah ditemukan bahwa IL-1 muncul pada neuron nosisepsi pada ganglia dorsalis. IL-1 menyebabkan inflamasi sistemik melalui aktivasi COX-2, dengan membentuk PGE2 pada anterior hipothalamus menyebabkan demam. Juga memproduksi substansi P (sP), Nitric Oxida (aktivasi enzim nitric oxida synthase) dan perlengketan molekul endotelial. Ini hal penting dalam menyebabkan berkembangnya dan menetapnya nyeri postoperasi. IL-1RA (Reseptor Antagonis) juga dilepaskan saat kerusakan jaringan dan tidak memiliki aksi agonis. Oleh karena itu, dia berkompetensi dengan reseptor yang sama dengan IL-1, menjadi autoregulator endogen. Meskipun waktu paruhnya dalam plasma hanya 6 menit, baru-baru ini telah dijelaskan bahwa IL-1 penting dalam perkembangan dan menetapnya nyeri postoperasi. 3,22Interleukin-2 (IL-2) cDNA Interleukin-2 manusia telah dikloning pada tahun 1983. IL-2 adalah glikoprotein dengan ukuran 15kDa awalnya dikenal sebagai T cell Growth Factor (TCGF). Disekresikan terutama oleh sel T helper yang teraktivasi. Bekerja sebagai growth factor/ aktivator sel T, sel NK, dan sel B dan mempermudah perkembangan sel lymphokine- activated killer (LAK). Oleh karena itu dia memegang peranan penting dalam pengaturan kedua respon inflamasi kronik seluler dan humoral. Pengikatan IL-2 pada reseptor IL-2 pada limfosit T menyebabkan proliferasi sel, meningkatnya sekresi limfokine (IFN-, lymphotoxin, IL-4, IL-3, IL-5, GM-CSF), dan memperbesar ekspresi molekul MHC kelas II. 23Interleukin-4 (IL-4) Interleukin-4 (IL-4) adalah glykoprotein 15 kDa dengan sifat antiinflamasi yang diproduksi oleh limfosit CD4T, mastosit, eosinofil, dan basofil. Dia memulai aksinya melalui limfosit T dan B, natural killer cell, mastosit, synoviocytes, dan sel endotel melalui jalur JAK/STAT. Dia menginduksi differensiasi limfosit B untuk menghasilkan IgE dan IgG, immunoglobulin yang penting dalam respon terhadap alergi dan anticacing. Dia mempengaruhi aktivasi makrofag mengurangi efek IL-1, TNF, IL-6, dan IL-8 dan menghambat produksi radikal bebas oksigen. Di samping itu, dia meningkatkan kelemahan makrofag terhadap efek glukokortikoid. Interleukin-4 memiliki efek potensi terapi pada berbagai situasi klinis, seperti psoriasis, osteoarthritis, limfoma, dan asma.3,24Interleukin-6 (IL-6) Glikoprotein 22-27 KdA yang disekresikan oleh berbagai tipe sel, seperti makrofag, monosit, eosinofil, hepatosit, dan sel-sel glia, dan TNF dan IL-1 berpotensi untuk menginduksinya. Menyebabkan demam dan mengaktivasi jalur hypothalamic-pituitary-adrenal menggunakan resptor (IL-6R) dan subunit gp130 (glikoprotein 130, anggota famili reseptor sitokin kelas I). Memiliki struktur yang berhubungan dengan IL-4, leukemia inhibitory factor, eritropoietin, dan ciliary neutrophic factor. Interleukin ini merupakan mediator yang paling awal dan penting dalam induksi dan kontrol dari sintesis protein fase akut dan dilepaskan oleh hepatosit selama terjadi rangsangan nyeri, misal saat trauma, infeksi, pembedahan, dan luka bakar. Setelah suatu kerusakan, konsentrasi plasma dari interleukin 6 terdeteksi dalam 60 menit, dengan puncak antara 4-6 jam, dan dapat menetap hingga 10 hari. Diketahui sebagai marker yang paling relevan dengan derajat kerusakan jaringan selama prosedur operasi yang hebat dan memanjang yang berhubungan dengan morbiditas yang tinggi setelah operasi. Interleukin 6 adalah sitokin proinflamasi yang meningkatkan maturasi dan aktivasi neutrofil, maturasi makrofag, differensiasi limfosit T sitotoksik, dan natural killer cell. Disamping itu, dia mengaktivasi astrosit dan mikroglia, dan mengatur munculnya neuropeptida setelah kerusakan neuronal, memperbesar proses regenerasinya. Bagaimanapun, mereka memiliki juga sifat antiinflamasi, karena mereka melepaskan reseptor TNF yang bersifat soluble (sTNFRs) dan IL-1AR.3,25Interleukin-10 (IL-10) Interleukin-10 merupakan sitokin antiinflamasi yang dapat menurunkan aksi atau produksi sitokin proinflamasi atau protein yang diproduksi oleh saraf, neuron, sel glia, sel endotel, fibroblas, sel otot, sel imun, atau sel-sel lainnya. Selama dan setelah pembedahan (cedera jaringan), kadar sitokin antiinflamasi ini juga ikut meningkat bersama-sama dengan sitokin proinflamasi untuk mempertahankan keseimbangan (homeostasis) sistem imun dan melalui beberapa reaksi yang kompleks. IL-10 dilaporkan dapat menghambat hipernosisepsi yang dipicu oleh pemberian sitokin proinflamasi (TNF , IL-1, atau IL-6) secara lokal. IL-10 juga dapat menghambat produksi PGE2 pada monosit yang distimulasi oleh endotoksin. Sitokin anti-inflamatori IL-10 memiliki kemampuan untuk mengurangi nyeri, dan telah terbukti pada neuralgia trigeminal. 4Interleukin-13 (IL-13) Interleukin-13 memiliki struktur dan karakter fungsional yang mirip dengan IL-4, yang mana membedakannya IL-13 tidak menstimulasi proliferasi mitogen induced blast atau kloning limfosit T dan tidak mencetuskan ekspresi CD8 pada klon limfosit TCD4. Merupakan sitokin antiinflamasi diproduksi terutama oleh sel T CD4. Mempengaruhi limfosit B dan monosit, menghambat produksi nitric oxida dan beberapa sitokin, seperti IL-1, IL-1, IL-6, IL-8, IL-10, dan IL-12, makrophage inflammatory protein-1 , IFN , dan TNF . Disamping itu, meningkat sintesis IL-1AR. 3,23Interleukin-17 (IL-17) cDNA IL-17 manusia telah dikloning pada tahun 1995. Diproduksi terutama oleh sel limfosit TCD4, bekerja seperti homodimer 35kDa pada limfosit T. Interleukin-17A adalah proinflammatory, menyebabkan terbentuknya IL-6 dan IL-8 (chemokine) dan perlengketan molekul intraseluler pada fibroblas manusia.3,23Tumor necrosis factor alpha (TNF ) Tumor necrosis factor alpha, diketahui sebagai salah satu mediator proinflamasi utama yang terlibat dalam nekrosis, apoptosis, dan proliferasi. Diproduksi terutama terutama oleh makrofag dan limfosit T sebagai respon terhadap stres atau kerusakan jaringan, dan dapat digunakan sebagai marker sistemik pada kerusakan jaringan. Misalnya, komplikasi yang didapatkan pada penyakit inflamasi dan autoimun seringkali dihubungkan dengan peningkatan level serum. Pada kasus di mana terjadi peningkatan level serum, reaksi inflamasi sistemik hingga terjadi syok septik mungkin terjadi. Akan tetapi, jika TNF ditemukan dalam jumlah kecil akan menyebabkan proses yang bertanggungjawab terhadap gejala-gejala inflamasi lokal, tergantung dari kerusakan struktur. Pada sistem saraf, jika terjadi trauma perifer lokal, menyebabkan aktivasi dan perubahan morfologi pada kornu dorsalis mikroglia. Tumor necrosis factor terdiri dari dua bentuk : transmembran 26-kDa dan secretory 17-kDa, dan keduanya aktif secara biologi. Secara struktural berhubungan dengan limfotoksin- (LI, juga dikenal sebagai TNF), yang memiliki reseptor yang sama, TNFR1 (55 kDa) dan TNFR2 (75 kdA). TNFR1 diekspresikan secara istimewa pada saraf dan berhubungan dengan sebagian besar dengan efek biologis TNF, termasuk respon inflamasi dan apoptosis. TNFR2 bermanifestasi terutama pada makrofag dan monosit akar ganglia dorsalia, menstimulasi proliferasi limfosit T, fibtoblas, dan natural killer cell. Setelah prosedur operasi, trauma, selama infeksi TNF adalah satu dari mediator yang paling awal dan berpotensial pada respon inflamasi. Meskipun waktu paruhnya hanya 20 menit, cukup untuk menyebabkan perubahan hemodinamik dan metabolik yang penting dan mengaktifkan sitokin yang lain pada daerah distal. TNF adalah perangsang yang kuat terhadap kejadian metabolisme otot dan kahexia dengan stimulasi liposis dan menghambat lipoprotein lipase. Aksi TNF lainnya termasuk aktivasi proses koagulasi, merangsang kemunculan atau lepasnya molekul-molekul perlengketan, PGE2, platelet activating factor, glucocorticoid, dan eicosanoids, dan mempengaruhi apoptosis. Tumor Necrosis Factor memiliki reseptor yang besar terhadap reseptor TNF yang bersifat soluble (sTNFRs), bermula dari daerah ekstracelluler TNFRs. Aktivasi sTNFRs menimbulkan aktivitas respon antagonis endogen yang melawan aktivitas sistemik TNF yang berlebihan. Akan tetapi, dengan catatan sTNFRs dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, karena mereka memiliki sifat sebagai transporter atau bioaktif menerima TNF dalam sirkulasi.3,26,27Transforming growth factor (TGF ) Transforming Growth Factor adalah keluarga sitokin yang terdiri dari tiga isoform, TGF-1, 2, dan 3. cDNA TGF-1 manusia telah dikloning pada tahun 1985. Diproduksi oleh sel T, platelet, dan monosit. TGF- menghambat proliferasi dan aktivasi sel T dan sel NK dan dapat memegang peranan penting dalam inflamasi. Pada tempat kerusakan, TGF- yang tersimpan dalam platelet dilepaskan saat terjadi degranulasi. TGF- kemudian menarik monosit dan lekosit-lekosit lain ke tempat kerusakan, selanjutnya berpartisipasi pada langkah awal inflamasi kronik. Selanjutnya TGF- mengatur produksinya sendiri dan produksi serta deposit komponen matriks ekstraseluler sebagaimana ekspresi integrins yang menyebabkan meningkatnya perlengketan sel. TGF- juga menghambat produksi kolagen dan jika ekspresinya memanjang, dia dapat menghasilkan semacam fibrosis progresif untuk menghentikan pengaturan perbaikan jaringan. 23

Sitokin dan Nosisepsi Nyeri dan sistem imun saling mempengaruhi satu sama lain, membuat sangat sulit untuk menentukan apakah blok nosisepsi berpengaruh terhadap menurunnya produksi sitokin proinflamasi atau sebaliknya, dengan menurunnya pembentukan sitokin proinflamasi mengakibatkan berkurangnya nyeri berat. Peran sitokin pada induksi dan maintanance nyeri telah dibuktikan pada beberapa percobaan pada binatang dan penelitian klinik juga membuktikan keterlibatan sitokin pada nyeri hebat dan nyeri ringan neuropati. Kerusakan pada saraf perifer mengaktivasi sel-sel imun tuan rumah yaitu migrasi sel-sel inflamasi ke daerah lesi. Adanya peningkatan ilmu pengetahuan dari kaskade intraseluler yang diaktifkan oleh nosiseptor oleh beberapa mediator, seperti tumor necrosis factor alpha (TNF-), interleukin (IL-1), IL-6, NO, prostaglandin (PG), nerve growth factor (NGF), dan ciklooksigenase-2 (COX-2), yang mengaktifkan atau sensitisasi saraf-saraf ini. Saraf yang rusak juga juga merangsang differensiasi sel-sel Schwann dan pelepasan beberapa mediator nyeri seperti sitokin proinflamasi, NGF, PGE2, dan ATP. Mediator-mediator koktail ini meningkatkan respon inflamasi pada saraf yang rusak dan menyebabkan nyeri neuropati.3,12,21 Ciri klasik post-trauma microenvironment menjelaskan bahwa migrasi leukosit akibat proses inflamasi bertanggung jawab terhadap sekresi mediator kimia yang menyebabkan nyeri. Akan tetapi bukti terbaru menjelaskan bahwa peran respon inflamasi dalam terjadinya nyeri tidak terbatas hanya akibat migrasi leukosit. Sehingga diyakini bahwa sitokin proinflamasi yang berperan pada proses noksious dapat berasal dari imun, neuronal, dan sel-sel glia (mikroglia dan astrosit), baik pada susunan saraf perifer maupun sentral, dan molekul-molekul ini dapat mencetuskan efek jangka panjang dan pendek dengan terjadinya hipereksibilitas kronik dan perubahan ekspresi fenotipe pada nosiseptor, proses abnormal dari sinyal nyeri, dan eksaserbasi proses nyeri. Efek-efek tersebut disebabkan secara langsung oleh sitokin atau pembentukan mediator-mediator yang dicetuskan oleh sitokin.3,12,23 Interleukin 1 dan TNF adalah sitokin pertama yang terbentuk setelah kerusakan jaringan atau proses infeksi, mempengaruhi secara langsung reseptor spesifik pada saraf sensorik menyebabkan kaskade sintesis efektor lainnya, seperti sitokin, kemokin, prostanoids, neurothropin, nitric oxida, kinin, lipid, adenosin triphosphat (ATP), dan anggota komplemen pathway, kemudian molekul-molekul tersebut dapat menyebabkan proliferasi sel-sel glia dan hipertrofi SSP, terjadilah pelepasan sitokin proinflamasi yang sesuai, TNF, IL 1, dan IL6 membentuk ikatan yang kompleks dan teraktivasi secara bebas. 16,21 TNF mengurangi ambang aktivasi serabut saraf perifer tipe C terhadap stimulasi mekanis melalui ekstravasasi plasma, menyebabkan timbulnya allodinia mekanis. Meningkatkan kejadian ion tetrodotoxin-resistant sodium channel pada saraf di dorsal root ganglia (DRG) dengan mengaktifkan reseptor TNFR1 dan p38 mitogen activated protein kinase (p38MAPK). Ini, pada umumnya, dapat ditemukan oleh Na1,8 sodium channel pada DRG dan fosforilasinya secara langsung dapat menyebabkan peningkatan densitasnya dan menyebabkan terjadinya nyeri inflamasi dan neuropati. Juga mempengaruhi konduksi saluran K dengan mengaktifkan PKC, yang mempengaruhi kapasitas sel-sel glia dan menyebabkan pergerakan Ca intraseluler dan menghalau glutamat yang dilepaskan akibat suatu rangsangan dan menyebabkan saraf menjadi lebih rentan terhadap serangan.16,25 Substansi P bertindak sebagai neurotransmitter, neuromodulator, atau faktor tropik dengan mengikat reseptor neurokinin 1. CGRP-Calcitonin Gen Related Protein adalah vasodilator yang kuat dan juga terlibat dalam mencetuskan nyeri. Interleukin-1 merangsang pelepasan SP dan CGRP, sedangkan interleukin 6 memudahkan sintesis SP pada neuron sensoris. Tumor Necrosis Factor merangsang SP di di ganglion simpatis. Interleukin 1 juga mengaktivasi reseptor bradikinin B1, menyebabkan hiperalgesia terhadap suhu. TNF dan Il-I mengaktivasi reseptor B2, menyebabkan hiperalgesia terhadap proses inflamasi. Bradikinin sendiri merangsang sekresi TNF dan interleukin-1 dari makrofag, menyebabkan lingkaran setan nosisepsi. Dengan catatan IL-1 yang diisolasi tidak mampu merangsang neuron DRG; akan tetapi, bersama dengan Il-6 dan TNF, memproduksi TRPV1 yang sensitivitasnya meningkat cepat dan menyebabkan pelepasan CGRP, menyebabkan sensitasi terhadap suhu. TNF, Il-1, dan Il-6 merangsang timbulnya ciklooksigenase-1 yang kuat dan sebagai akibatnya PGE2 baik pada tempat kerusakan maupun pada medulla spinalis, meningkatkan sensitivitas neuron terhadap stimulus kimia, suhu, dan nyeri. Di samping itu, beberapa aksi dari TNF dan Il-1 dalam bentuk terikat pada NGF (nerve growth factor) dan tyrosine kinase-A receptor (trkA). Pada jaringan inflamasi, NGF merangsang proliferasi makrofag, degranulasi, dan pelepasan mediator-mediator inflamasi termasuk NGF sendiri membentuk siklus yang mengaktifkan selnya sendiri. NGF memiliki aksi baik pada susunan saraf perifer maupun pada susunan saraf sentral melalui perubahan genetika dan regulasi reseptor post-translational dan kanal ion ( seperti : TRPV1, PKA, PKC, MAPK, dan tetrodotoxin resistant kanal Na), menyebabkan hiperalgesia suhu dan mekanik. Nerve growth factor juga dapat menyebabkan sensitasi perifer melalui aktivasi 5-lipooksigenase, yang merubah asam arakidonik menjadi leukotriens yang menyebabkan nosisepsi aferen menjadi lebih sensitif terhadap stimulus suhu dan mekanik.3,10,11 Pada spinal cord, TNF dan Il-1 menyebabkan peningkatan aktivitas reseptor AMPA atau NMDA, sedangkan Il-1 dan Il-6 menghambat menghambat induksi GABA dan glisin terhadap ion pada Rexed nosiseptor lamina II, menunjukkan dengan jelas bahwa sitokin proinflamasi memudahkan terjadinya eksitabilitas neuron. TNF juga mengurangi ekspresi glutamat transporter gene dan reuptake glutamat oleh glial transporter lainnya merangsang proses spinal dari stimulus noxious. Pada neuron hippocampal, TNF mempermudah ekspresi yang lebih besar dari subunit GluR1 dari reseptor AMPA pada permukaan sel. Bersamaan dengan menurunnya subunit GluR2 yang tentu saja merupakan hasil dari cepatnya kalsium yang permeabel terhadap saluran AMPA/KA muncul dan konsentrasi yang rendah dari kalsium yang impermeabel terhadap reseptor AMPA pada membran saraf. Peningkatan ekspresi reseptor AMPA dimediasi oleh TNFR1 dan membutuhkan aksi dari triphosphatkinase inositol. Perubahan pada densitas reseptor AMPA diinduksi oleh TNF glial dapat bertanggung jawab terhadap perubahan bentuk sinaps-sinaps neuron.28Hubungan Enzim Ciklooksigenase-2 dan Sitokin dalam Nyeri Ada efek yang merugikan dari pembedahan yang mungkin bukan merupakan akibat langsung dari intervensi pembedahan, tapi lebih merupakan akibat dari nyeri postoperasi dan konsekuensi biokimia respon endokrin-metabolik akibat traumatik pembedahan. Kerusakan jaringan akibat pembedahan memulai reaksi sitemik bersamaan dengan meningkatnya sitokin proinflamasi. Sitokin proinflamasi ini dapat menginduksi terjadinya sensitisasi sistem saraf perifer dan sentral, menyebabkan hiperalgesia dengan induksi Ciklooksigenase-2 (COX-2). Gambar 8. Faktor-faktor yang menginduksi COX-2 dan mekanisme kerjanya pada kesehatan dan penyakit. Panah tipis menunjukkan COX-2 inducer dan panah tebal adalah aksi utama akibat aktivitas enzimatik COX-2 di perifer dan sentral. Prostanoid primer memediasi aksi COX-2 secara lokal di perifer. (Dikutip dari Meliala,L., Pinzon, R., 2007, Breakthrough in Management of Acute Pain, Jurnal Kedokteran dan Farmasi, 4(20):151-2.)

Lars Neeb dan kawan-kawan, pada tahun 2010, menggunakan kultur ganglion trigeminal dari tikus untuk menilai apakah IL-1 dapat menginduksi ekspresi COX-2 dan sel mana yang mengekspresikan COX-2. Stimulasi dengan IL-1 menyebabkan induksi COX-2 yang tergantung dosis dan waktu, dengan hasil bahwa peningkatan dosis IL-1 menghasilkan peningkatan level COX-2 mRNA. Melalui pemeriksaan immunohistochemistry menunjukkan ekspresi COX-2 pada sel-sel neuron dan glia. Prostaglandin E2 (PGE2) dilepaskan 4 jam setelah stimulasi dengan IL-1, yang dapat diputuskan oleh COX-2 selective dan COX-nonselective inhibitor. Induksi pelepasan CGRP, menunjukkan aktivasi fungsi saraf, terlihat 1 jam setelah stimulasi PGE2 dan 24 jam setelah stimulasi IL-1. CGRP digolongkan sebagai neuromediator terpenting pada patofisiologi migrain dan penyakit sakit kepala lainnya. Diyakini bahwa CGRP tidak hanya terlibat dalam dilatasi pembuluh darah serebral dan dural tapi juga pada pelepasan mediator-mediator inflamasi dari sel mast dan transmisi informasi nosisepsi. 30

Gambar 9. Ekspresi COX-2 mRNA pada kultur sel ganglion trigeminal setelah inkubasi IL-1. Induksi COX-2 mRNA berdasarkan waktu (A) dan dose dependent (pada puncak jam ketiga); B). Ekspresi COX-2 mRNA maksimal setelah 3 jam (A) dan pada dosis 10 ng/ml IL-1 (B) (n=4-5/grup). Ko-inkubasi dengan IL-1ra menyebabkan penurunan yang signifikan dari induksi COX-2 mRNA setelah 3 jam mengindikasikan efek yang spesifik (C). Penambahan IL-1ra+vehicle menghasilkan induksi COX-2 mRNA minor dibandingkan penambahan vehicle (n=3)(Dikutip dari Uceyler, N., Topuzoglu, T., Shiefer P., Hahnenkamp, S.,Sommer, C., 2011, IL-4 Deficiency is Associated with mechanical hipersensitivity in mice, pLos one, 6 : 12.)

Alessandro Capuano dan kawan-kawan, pada tahun 2009, melakukan kultur sel-sel satelit trigeminal tikus dan menilai efek stimulus proinflamasi terhadap ekspresi COX . Pada keadaan istirahat, sel-sel imun inflamasi terutama memproduksi prostaglandin melalui aktivitas COX-1 konstitusi, sedangkan pada keadaan inflamasi mencetuskan induksi COX-2 pada sel-sel satelit trigeminal. IL-1 secara signifikan meningkatkan ekspresi COX-2 pada sel-sel satelit trigeminal. Salah satu jalur yang terpenting dalam perkembangan sensitisasi saraf adalah aktivasi enzim COX yang menyebabkan peningkatan produksi prostaglandin. Mediator-mediator ini tidak mempengaruhi secara langsung pelepasan neurotransmitter, seperti CGRP, tapi dapat mengurangi ambang saraf sensoris terhadap respon agen depolarisasi.31

Gambar 10. Il-1 menginduksi ekspresi cox-1 dan cox-2 pada sel satelit trigeminal tikus. Sel satelit diinkubasikan dengan 10 ng/ml Il-1 selama waktu tertentu, kemudian total RNA diekstraksikan. Ekspresi cox-2 dan cox-1 dinilai berdasarkan waktu nyata (Q) RT-PCR menggunakan perbandingan analisa kuantitatif. (Dikutip dari : Wiesseler, J., Maier, S.F., Watkins, L.R., 2005,Central proinflammatory cytokines and pain enhancement, Neurosignals, 14:166-74.)

Asokumar Buvanendran dan kawan-kawan, pada tahun 2005, melakukan penelitian terhadap 30 pasien osteoarthritis yang akan menjalani total hip arthroplasty dengan anestesi spinal dengan hasil pada cairan serebrospinal terlihat peningkatan konsentrasi interleukin 6 dahulu, kemudian diikuti peningkatan prostaglandin E2 setelah pembedahan, interleukin-1 dan tumor nekrosis factor tidak terdeteksi. Cairan pada lokasi operasi terbukti terlihat peningkatan prostaglandin E2, interleukin 6, interleukin 8, dan interleukin 1- ; tumor necrosis factor menurun pada jam ke-24 dan 30. Inflamasi perifer pada percobaan binatang, telah diperlihatkan adanya upregulasi COX-2 pada medulla spinalis, dan selanjutnya peningkatan level prostaglandin sentral. Insisi operasi juga dapat meningkatkan level COX-2 protein pada medulla spinalis tikus. Upregulasi COX-2 dan prostaglandin pada tempat operasi telah diamati pada studi baru-baru ini, dan pertanyaan terjawab dengan penurunan level COX-2 dan prostaglandin dengan COX inhibitor. Rofecoxib, COX-2 inhbitor yang digunakan pada penelitian ini, mempunyai panetrasi yang baik pada SSP setelah pemberian oral, dan hasilnya pada pemberian preoperative menurunkan level prostaglandin baik pada cairan serebrospinal maupun pada tempat operasi begitupun level interleukin-6.5Gambar 11. Grafik memperlihatkan waktu konsentrasi Il-6 pada cairan serebrospinal pada tiga kelompok pasien : plasebo (kontrol), cox-2 inhibitor selama 1 hari preoperasi, cox-2 inhibitor selama 5 hari preoperasi. Nilai dasar tidak berbeda antarkelompok. Bintang menunjukkan perbedaan yang signifikan (p