Referat Preeklampsia. Doc

32
BAB I PENDAHULUAN Preeklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal di seluruh dunia. Menurut WHO, UNFPA dan UNICEF, preeklampsia-eklampsia merupakan penyebab utama masalah kesehatan di negara berkembang. Setiap tahun, diperkirakan 50.000 kematian ibu di seluruh dunia dan mempengaruhi 5% - 7% kehamilan di seluruh dunia. Asia Tenggara mengalami penurunan angka kematian ibu dan anak selama dua dekade terakhir. Akan tetapi, di Indonesia yang tergabung dalam ASEAN (Ascociation of Southeast Asian Nations) mengalami penurunan angka kematian tersebut masih lambat yang memiliki tingkat kematian 50 per 1000 kelahiran dibanding dengan negara- negara lainnya seperti Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia memiliki angka kematian di bawah 10 per 1000 kelahiran. Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dari 390 per

description

referat preeklamsia

Transcript of Referat Preeklampsia. Doc

BAB IPENDAHULUANPreeklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal di seluruh dunia. Menurut WHO, UNFPA dan UNICEF, preeklampsia-eklampsia merupakan penyebab utama masalah kesehatan di negara berkembang. Setiap tahun, diperkirakan 50.000 kematian ibu di seluruh dunia dan mempengaruhi 5% - 7% kehamilan di seluruh dunia.Asia Tenggara mengalami penurunan angka kematian ibu dan anak selama dua dekade terakhir. Akan tetapi, di Indonesia yang tergabung dalam ASEAN (Ascociation of Southeast Asian Nations) mengalami penurunan angka kematian tersebut masih lambat yang memiliki tingkat kematian 50 per 1000 kelahiran dibanding dengan negara-negara lainnya seperti Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia memiliki angka kematian di bawah 10 per 1000 kelahiran.Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Namun, untuk mencapai 102 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2015 sebagai tujuan MDGs perlu upaya keras. Penyebab utama kematian ibu disamping perdarahan adalah preeklampsia.Preeklampsia didefinisikan secara umum sebagai hipertensi dan proteinuria yang timbul setelah 20 minggu kehamilan yang sebelumnya normal yang disebabkan oleh banyak faktor. Pada kondisi berat, preeklamsia dapat menjadi eklampsia dengan penambahan gejala kejang-kejang. Preeklampsia disebut juga dengan penyakit teori. Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab preeklampsia adalah iskemia plasenta. Akan tetapi, teori ini tidak dapat menerangkan semua hal yang berhubungan dengan penyakit itu. Rupanya tidak hanya satu faktor, melainkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya preeklampsia dan eklampsia (multiple causation). Faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut diantaranya nulipara, primigravida, genetik, kehamilan ganda, usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, riwayat hipertensi, dan obesitas.Wilson et al menyatakan jika bentuk-bentuk hipertensi diketahui sejak dini dan ditangani secara tepat maka penyebab morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi dapat dikurangi. Apabila anak yang lahir dari ibu preeklampsia ketika dewasa memiliki peningkatan risiko hipertensi dan kardiovaskular serta kemungkinan peningkatan preeklampsia pada kehamilan mereka sendiri.BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi Sesuai dengan batasan dari National Institutes of Health (NIH) Working Group on Blood Pressure in Pregnancy. preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai dengan proteinuria pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera setelah persalinan. Saat ini oedema pada wanita hamil dianggap dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis preeklampsia. Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg. Tekanan darah diastolik ditetapkan pada saat hilangnya bunyi korotkoff ( korotkoff 5 ). Proteinuria didefinisikan sebagai adanya protein dalam urin dalam jumlah 300 mg/ml dalam urin tampung 24 jam atau 30 mg/dl dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kencing.

Preeklampsia sendiri dibagi menjadi 2, yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia berat. Preeklampsia ringan adalah preeklampsia, dengan tekanan darah sistolik 140 - 35 tahun mungkin disebabkan oleh karena adanya hipertensi kronik yang tidak terdiagnosa dengan superimposed PIH.

Di samping itu, preeklampsia juga dipengaruhi oleh paritas. Surjadi,dkk (1999) mendapatkan angka kejadian pasien preeklampsia di RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung paling banyak terjadi pada ibu dengan paritas 1-3 dan juga paling banyak terjadi pada usia kehamilan di atas 37 minggu. Wanita dengan kehamilan ganda memperlihatkan insiden hipertensi gestasional dan preeklampsia yang secara bermakna lebih tinggi. Selain itu, wanita dengan kehamilan ganda memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih buruk daripada wanita dengan kehamilan tunggal.2.3EtiologiPenyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan The Diseases of Theories.

Beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah :1.Faktor Trofoblast

Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkina terjadinya Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik setelah plasenta lahir.2.Faktor Imunologik

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan Blocking Antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan berikutnya, pembentukan Blocking Antibodies akan lebih banyak akibat respos imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi.

Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun pada penderita Preeklampsia-Eklampsia :

a) Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia mempunyai komplek imun dalam serum.

b)Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system komplemen pada Preeklampsia-Eklampsia diikuti dengan proteinuri.

Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada Preeklampsia-Eklampsia, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan Preeklampsia-Eklampsia.

3.Faktor Hormonal

Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron antagonis, sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan retensi air dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.4.Faktor Genetik

Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetic pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:

a)Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.

b)Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.

c)Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan bukan pada ipar mereka.

5.Faktor Gizi

Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung asam lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis Prostaglandin akan menyebabkan Loss Angiotensin Refraktoriness yang memicu terjadinya preeklampsia.

6.Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada Preeklampsia-Eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.2.4Patofisiologi Perubahan pokok yang terjadi pada preeklampsia adalah adanya spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus lumen erteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh salah satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan dapat dicukupi. Sedangkan proteinuria disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus.Wibowo&Rachimhadhi (1997), mengatakan bahwa patofisiologi preeklampsia lebih ditekankan ke arah disharmoni implantasi dan disfungsi jaringan endotel. Hasil akhir dari adanya disharmoni implantasi adalah melebarnya arteri spiralis yang tadinya tebal dan muskularis membentuk kantong yang elastis, bertahanan rendah dan aliran cepat, dan bebas dari kontrol neurovaskuler normal, sehingga memungkinkan arus darah yang adekuat untuk pemasokan okksigen dan nutrisi bagi janin. Sedangkan definisi difungsi endotel sendiri berarti berkurangnya sampai hilangnya kemampuan sel endotel dalam mengatur vasodilatasi.2.5Diagnosis A. Preeklampsia

Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan Preeklampsia Berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, yaitu:1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:

Tekanan darah 140/90 mmHg, Proteinuria kuantitatif 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter atau midstream. Edema : edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali edema pada lengan, muka dan perut, edema generalisata.2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:

Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.

Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.

Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5 cc/kgBB/jam.

Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen Terdapat edema paru dan sianosis

Hemolisis mikroangiopatik

Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)

Gangguan fungsi hati.: peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase. Pertumbuhan janin terhambat.B. Eklampsia

Yaitu kejang yang tidak disebabkan oleh hal lain pada seorang wanita dengan preeklampsia

C. Preeklmpsia Pada Hipertensi Kronik

ProteinuriTDa awitan baru > 300 mg/24 jam pada wanita pengidap hipertensi tetapi tanpa proteinuria sebelum usia gestasi 20 minggu . Terjadi peningkatan proteinuria atau tekanan darah atau hitung trombosit < 100.000/mm3 secara mendadak pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum usia gestasi 20 mingguD. Hipertensi Kronik

TD 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau didiagnosis sebelum gestasi 20 minggu atau Hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah gestasi 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu postpartumE. Hipertensi Gestasional

TD 140/90 mmHg untuk pertama kali selama kehamilan Tidak ada proteinuria TD kembali ke normal < 12 minggu postpartum Diagnosis akhir hanya dapat dibuat postpartum 2.6PenatalaksanaanTujuan dasar dari penatalaksanaan preeklampsia adalah :

1. terminasi kehamilan dengan kemungkinan setidaknya terdapat trauma pada ibu maupun janin

2. kelahiran bayi yang dapat bertahan

3. pemulihan kesehatan lengkap pada ibu

Persalinan merupakan pengobatan untuk preeklampsia. Jika diketahui atau diperkirakan janin memiliki usia gestasi preterm, kecenderungannya adalah mempertahankan sementara janin di dalam uterus selama beberapa minggu untuk menurunkan risiko kematian neonatus.

Khusus pada penatalaksanaan preeklampsia berat (PEB), penanganan terdiri dari penanganan aktif dan penanganan ekspektatif. Wanita hamil dengan PEB umumnya dilakukan persalinan tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun terakhir, sebuah pendekatan yang berbeda pada wanita dengan PEB mulai berubah. Pendekatan ini mengedepankan penatalaksanaan ekspektatif pada beberapa kelompok wanita dengan tujuan meningkatkan luaran pada bayi yang dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu.

Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB antara lain adalah:

a. tirah baring

b. oksigen

c. kateter menetap

d. cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid maupun koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan berpedoman pada diuresis, insensible water loss, dan central venous pressure (CVP). Balans cairan ini harus selalu diawasi.

e. Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc MgSO4 20% secara intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Magnesium sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:

1. refleks patella normal

2. frekuensi respirasi >16x per menit

3. produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgBB/jam

4. disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai antidotum.

Bila nantinya ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium glukonas tersebut diberikan dalam tiga menit.

f. Antihipertensi

Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 10 mg dengan interval satu jam, dua jam, atau tiga jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah pada PEB tidak boleh terlalu agresif yaitu tekanan darah diastol tidak kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%. Penggunaan nifedipin ini sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat, dan mudah mengatur dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.

g. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien dengan PEB. Preeklampsia sendiri merupakan penyebab 15% dari seluruh kelahiran prematur. Ada pendapat bahwa janin penderita preeklampsia berada dalam keadaan stres sehingga mengalami percepatan pematangan paru. Akan tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi percepatan pematangan paru pada penderita preeklampsia.

Gluck pada tahun 1979 menyatakan bahwa produksi surfaktan dirangsang oleh adanya komplikasi kehamilan antara lain hipertensi dalam kehamilan yang berlangsung lama. Hal yang sama juga dilaporkan Chiswick (1976) dan Morrison (1977) yaitu rasio L/S yang matang lebih tinggi pada penderita hipertensi dalam kehamilan yang lahir prematur. Sementara itu, Owen dkk (1990) menyimpulkan bahwa komplikasi kehamilan terutama hipertensi dalam kehamilan tidak memberikan keuntungan terhadap kelangsungan hidup janin. Banias dkk dan Bowen dkk juga melaporkan terjadi peningkatan insidens respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita hipertensi dalam kehamilan.Dalam lebih dari dua dekade, kortikosteroid telah diberikan pada masa antenatal dengan maksud mengurangi komplikasi, terutama RDS, pada bayi prematur. Apabila dilihat dari lamanya interval waktu mulai saat pemberian steroid sampai kelahiran, tampak bahwa interval 24 jam sampai tujuh hari memberi keuntungan yang lebih besar dengan rasio kemungkinan (odds ratio/OR) 0,38 terjadinya RDS. Sementara apabila interval kurang dari 24 jam OR 0,70 dan apabila lebih dari 7 hari OR 0,41. Penelitian US Collaborative tahun 1981 melaporkan perbedaan bermakna

insiden RDS dengan pemberian steroid antenatal pada kehamilan 30-34 minggu dengan interval antara 24 jam sampai dengan tujuh hari. Sementara penelitian Liggins dan Howie mendapati insidens RDS lebih rendah apabila interval waktu antara saat pemberian steroid sampai kelahiran adalah dua hari sampai kurang dari tujuh hari dan perbedaan ini bermakna. Mereka menganjurkan steroid harus diberikan paling tidak 24 jam sebelum terjadi kelahiran agar terlihat manfaatnya terhadap pematangan paru janin. Pemberian steroid setelah lahir tidak bermanfaat karena kerusakan telah terjadi sebelum steroid bekerja. National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan: 1. Semua wanita hamil dengan kehamilan antara 2434 minggu yang dalam persalinan prematur mengancam merupakan kandidat untuk pemberian kortikosteroid antenatal dosis tunggal.

2. Kortikosteroid yang dianjurkan adalah betametason 12 mg sebanyak dua dosis

dengan selang waktu 24 jam atau deksametason 6 mg sebanyak 4 dosis intramuskular dengan interval 12 jam.

3. Keuntungan optimal dicapai 24 jam setelah dosis inisial dan berlangsung selama tujuh hari. A.Penanganan Aktif

Penanganan Aktif. Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan peningkatan mortalitas perinatal dan peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu.

Sehingga beberapa ahli berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia kehamilan mencapai 34 minggu. Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu untuk mencegah progresifitas PEB.

Indikasi untuk penatalaksanaan aktif pada PEB dilihat baik indikasi pada ibu maupun janin:

1. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu:

a. kegagalan terapi medikamentosa:

setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan darah yang persisten setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan desakan darah yang persisten

b. tanda dan gejala impending eklampsia

c. gangguan fungsi hepar

d. gangguan fungsi ginjal

e. dicurigai terjadi solusio plasenta

f. timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan

g. umur kehamilan 37 minggu

h. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan USG timbulnya oligohidramnion

2. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada janin:

3. Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom HELLP (hemolytic anemia, elevated liver enzymes, and low platelet count).

Dalam ACOG Practice Bulletin mencatat terminasi sebagai terapi untuk PEB. Akan tetapi, keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan janinnya. Sementara Nowitz ER dkk membuat ketentuan penanganan PEB dengan terminasi kehamilan dilakukan ketika diagnosis PEB ditegakkan. Hasil penelitian juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu untuk melanjutkan kehamilan jika diagnosis PEB telah ditegakkan.

Ahmed M dkk pada sebuah review terhadap PEB melaporkan bahwa terminasi kehamilan adalah terapi efektif untuk PEB. Sebelum terminasi, pasien telah diberikan dengan antikejang, magnesium sulfat, dan pemberian antihipertensi. Wagner LK juga mencatat bahwa terminasi adalah terapi efektif untuk PEB. Pemilihan terminasi secara vaginal lebih diutamakan untuk menghindari faktor stres dari operasi sesar.

B.Penanganan Ekspektatif

Terdapat kontroversi mengenai terminasi kehamilan pada PEB yang belum cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk memperpanjang usia kehamilan sampai seaterm mungkin sampai tercapainya pematangan paru atau sampai usia kehamilan di atas 37 minggu. Adapun penatalaksanaan ekspektatif bertujuan: 31,321. mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang memenuhi syarat janin dapat dilahirkan

2. meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu

Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada pasien PEB yang timbul dengan usia kehamilan dibawah 24 minggu, terminasi kehamilan lebih diutamakan untuk menghindari komplikasi yang dapat mengancam nyawa ibu (misalnya perdarahan otak). Sedangkan pada pasien PEB dengan usia kehamilan 25 sampai 34 minggu, penanganan ekspektatif lebih disarankan.

Penelitian awal mengenai terapi ekspektatif ini dilakukan oleh Nochimson dan Petrie pada tahun 1979. Mereka menunda kelahiran pada pasien PEB dengan usia kehamilan 27-33 minggu selama 48 jam untuk memberi waktu kerja steroid mempercepat pematangan paru. Kemudian Rick dkk pada tahun 1980 juga menunda kelahiran pasien dengan PEB selama 48-72 jam bila diketahui rasio lecitin/spingomyelin (L/S) menunjukkan ketidakmatangan paru.

Banyak peneliti lain yang juga meneliti efektifitas penatalaksanaan ekspektatif ini terutama pada kehamilan preterm. Di antaranya yaitu Odendaal dkk yang melaporkan hasil perbandingan penatalaksanaan ekspektatif dan aktif pada 58 wanita dengan PEB dengan usia kehamilan 28-34 minggu. Pasien ini diterapi dengan MgSO4, hidralazine, dan kortikosteroid untuk pematangan paru. Semua pasien dipantau ketat di ruang rawat inap.

Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi karena indikasi ibu dan janin setelah 48 jam dirawat inap. Pasien dengan kelompok penanganan aktif diterminasi kehamilannya setelah 72 jam, sedangkan pasien pada kelompok ekspektatif melahirkan pada usia kehamilan rata-rata 34 minggu. Odendaal dkk juga menemukan penurunan komplikasi perinatal pada kelompok dengan penanganan ekspektatif.

Penelitian lain yang dilakukan Witlin dkk melaporkan peningkatan angka pertumbuhan janin terhambat yang sejalan dengan peningkatan usia kehamilan selama penanganan secara ekspektatif. Sedangkan Haddad B dkk yang meneliti 239 penderita PEB dengan usia kehamilan 24-33 minggu mendapatkan 13 kematian perinatal dengan rincian 12 bayi pada kelompok aktif dan 1 kematian perinatal pada kelompok ekspektatif. Sementara angka kematian ibu sama pada kedua kelompok. Penelitian ini menyimpulkan penanganan PEB secara ekspektatif pada usia kehamilan 24-33 minggu menghasilkan luaran perinatal yang lebih baik dengan risiko minimal pada ibu.

Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam dengan beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Penderita belum inpartu

a. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop 8

Dalam melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat dilakukan pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan dianggap gagal dan harus disusul dengan pembedahan sesar.

b. Pembedahan sesar Dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam atau bila induksi persalinan gagal, terjadi maternal distress, terjadi fetal distress, atau umur kehamilan