Referat Osteoporosis

52
BAB I PENDAHULUAN Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah (Setiyohadi, 2009). Indonesia pada tahun 1999-2000 memiliki rata-rata usia hidup 64-67 tahun, tahun 2000-2005 meningkat menjadi 67-68 tahun. Tahun 2008 usia harapan hidup Indonesia meningkat menjadi 70,7 tahun (Setiyohadi, 2009). Peningkatan usia harapan hidup, menyebabkan berbagai penyakit degeneratif dan metabolik termasuk osteoporosis akan menjadi masalah muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia karena kasus osteoporosis dengan berbagai akibatnya termasuk fraktur diperkirakan juga akan meningkat (Setiyohadi, 2009). Pada saat ini, diperkirakan lebih dari 200 juta orang di dunia mengalami osteoporosis dan 44 juta diantaranya di Amerika Serikat. Pengurangan massa tulang yang berkaitan dengan osteoporosis ditandai dengan meningkatnya risiko patah tulang skeletal dan nonskeletal, nyeri yang terus menerus serta menurunnya fungsi akan menimbulkan efek samping pada kualitas hidup. Sekitar 30% dari seluruh wanita pascamenopause

description

osteoporosis

Transcript of Referat Osteoporosis

BAB I

PENDAHULUAN

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan

densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang

menjadi rapuh dan mudah patah (Setiyohadi, 2009). Indonesia pada tahun 1999-

2000 memiliki rata-rata usia hidup 64-67 tahun, tahun 2000-2005 meningkat

menjadi 67-68 tahun. Tahun 2008 usia harapan hidup Indonesia meningkat

menjadi 70,7 tahun (Setiyohadi, 2009). Peningkatan usia harapan hidup,

menyebabkan berbagai penyakit degeneratif dan metabolik termasuk osteoporosis

akan menjadi masalah muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus,

terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia karena kasus osteoporosis

dengan berbagai akibatnya termasuk fraktur diperkirakan juga akan meningkat

(Setiyohadi, 2009).

Pada saat ini, diperkirakan lebih dari 200 juta orang di dunia mengalami

osteoporosis dan 44 juta diantaranya di Amerika Serikat. Pengurangan massa

tulang yang berkaitan dengan osteoporosis ditandai dengan meningkatnya risiko

patah tulang skeletal dan nonskeletal, nyeri yang terus menerus serta menurunnya

fungsi akan menimbulkan efek samping pada kualitas hidup. Sekitar 30% dari

seluruh wanita pascamenopause di Amerika Serikat dan Eropa menderita

osteoporosis, dan diperkirakan lebih dari 40% akan menderita satu atau lebih dari

satu fraktur osteoporosis selama sisa hidup mereka (Reginster et al., 2005).

Menurut World Health Organization (WHO), osteoporosis menduduki

peringkat kedua, di bawah penyakit jantung sebagai masalah kesehatan utama

dunia. Menurut data International Osteoporosis Foundation, lebih dari 30%

wanita diseluruh dunia mengalami risiko seumur hidup untuk patah tulang akibat

osteoporosis bahkan mendekati 40%, sedangkan pada pria risikonya berada pada

angka 13%. Indonesia yang memiliki sekitar 237 juta penduduk akan memiliki 71

juta penduduk berusia lebih dari 60 tahun pada tahun 2050. Berdasarkan hasil

pengujian menggunakan mesin Dual Energy X-ray Absorpsiometry (DXA),

diperkirakan sekitar sebanyak 28,8% laki-laki dan 32,3% perempuan sudah

mengalami osteoporosis. Berdasarkan laporan Perhimpunan Osteoporosis

Indonesia, sebanyak 41,8% laki-laki dan 90% perempuan sudah memiliki gejala

osteoporosis, sedangkan 28,8% laki-laki dan 32,3% perempuan sudah menderita

osteoporosis (Tandra, 2009).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan

densitas masa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang

menjadi rapuh dan mudah patah (Davis et al., 2010; Setiyohadi, 2009). Lane

(2005) mendefinisikan osteoporosis sebagai kelainan skeletal yang ditandai

dengan penurunan kekuatan tulang. Hal ini dapat mengakibatkan fraktur panggul,

tulang belakang dan tulang lainnya.

B. EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan hasil analisa data yang dilakukan Puslitbang Gizi Depkes RI

tahun 2004 pada 14 provinsi menunjukkan bahwa masalah osteoporosis di

Indonesia telah mencapai tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7%. Tingkat

kecenderungan ini 6 kali lebih besar dibandingkan di Belanda. Lima provinsi

dengan risiko osteoporosis lebih tinggi yakni Sumatera Selatan (27,7%), Jawa

Tengah (24,02%), DI Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,8%), Jawa Timur

(21,42%), dan Kalimantan Timur (10,5%) (Depkes RI, 2008).

Osteoporosis menyebabkan lebih dari 8,9 juta kasus fraktur setiap tahun di

dunia, dimana 4,5 juta kasus terjadi di Amerika dan Eropa. Saat ini diperkirakan

ada sekitar 0,3 juta fraktur panggul pertahun di Amerika Serikat dan 1,7 juta di

Eropa. Hampir semua peristiwa ini dikaitkan dengan osteoporosis, baik primer

atau sekunder. Rasio wanita dan pria pada fraktur pinggul 2:1. Insiden fraktur

pergelangan tangan di Inggris dan Amerika berkisar 400-800 per 100.000 wanita.

Fraktur kompresi tulang belakang jauh lebih sulit untuk diperkirakan karena

sering tanpa gejala. Diperkirakan lebih dari satu juta wanita pasca menopause

Amerika akan mengalami patah tulang tulang belakang dalam perjalanan satu

tahun. Diperkirakan 40% wanita dan 13% pria berusia 50 tahun dan lebih tua akan

mengalami patah tulang osteoporosis pada kehidupan mereka. Ada kecenderungan

angka kematian di masa depan akan meningkat menjadi 47% untuk wanita dan

22% untuk pria ( Kansra, 2002)

C. FAKTOR RISIKO

Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial. Umur dan

densitas tulang merupakan faktor risiko osteoporosis yang berhubungan dengan

risiko terjadinya fraktur osteoporosis. Fraktur osteoporosis akan meningkat

dengan meningkatnya umur.insiden fraktur pergelangan tangan meningkat secara

bermakna setelah umur 50-an, fraktur vertebra setelah umur 60-an, dan fraktur

panggul setelah umur 70-an. Pada perempuan, risiko fraktur 2 kali dibandingkan

laki-laki pada umur yang sama dan lokasi fraktur tertentu (Setyohadi, 2009).

Densitas massa tulang juga berhubungan dengan fraktur. Setiap penurunan

densitas massa tulang -1 SD berhubungan dengan peningkatan risiko fraktur 1,5-3

kali. Sampai saat ini telah diketahui berbagai faktor risiko fraktur osteoporotik

selain umun dan densitas massa tulang. Asupan kalsium yang rendah merupakan

faktor risiko terjadinya fraktur panggul (Setyohadi, 2009).

Indeks massa tubuh yang rendah juga merupakan faktor risiko timbulnya

fraktur osteoporotik fraktur. Risiko ini tampak nyata pada orang dengan indeks

massa tubuh <20 kg/m2. Risiko fraktur pada orang kurus tidak tergantung pada

BMD. Peminum alkohol lebih dari 2 unit/hari juga merupakan faktor risiko

terjadinya fraktur osteoporotik dan bersifat dose-dependent. Demikian juga

merokok yang merupakan faktor risiko fraktur osteoporotik yang independen

terhadap nilai BMD. Beberapa penyakit kronik berhubungan dengan densitas

tulang yang rendah, apalagi bila harus diterapi dengan glukokortikoid jangka

panjang. Pada arthritis rheumatoid risiko fraktur osteoporotik tidak tergantung

pada penggunaan glukokortikoid maupun nilai BMD (Setyohadi, 2009).

Riwayat fraktur merupakan faktor risiko timbulnya fraktur osteoporotik di

kemudian hari dengan risiko 2 kali. Risiko ini terutama tampak pada fraktur

vertebra. Penderita dengan 2 fraktur vertebra atau lebih akan memiliki risiko

untuk fraktur vertebra berikutnya sampai 12 kali lipat pada tingkat BMD manapun

(Setyohadi, 2009).

Tabel 1. Faktor Risiko Osteoprosis

Umur Setiap peningkatan umur 1 dekade berhubungan dengan

peningkatan risiko 1,4-1,8

Genetik Etnis (Kaukasus/oriental lebih dari orang hitam /polinesia

Gender (perempuan > laki-laki

Riwayat keluarga

Lingkungan Makanan, defisiensi kalsium

Aktivitas fisik dan pembebanan mekanik

Obat-obatan misalnya kortikosteroid, anti konvulsan, heparin

Merokok

Alkohol

Jatuh (trauma)

Hormon

endogen dan

penyakit

kronik

Defisiensi estrogen

Defisiensi androgen

Gastrektomi, sirosis, tirotoksikosis, hiperkortisolisme

Sifat fisik

tulang

Densitas massa tulang

Ukuran dan geometri tulang

Mikroarsitektur tulang

Komposisi tulang

Risiko fraktur yang harus diperhatikan pada orang tua adalah risiko terjatuh

yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Hal ini

berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan

stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata dan lain

sebagainya. Pada umumnya, risiko terjatuh pada orang tua tidak disebabkan oleh

penyebab tunggal (Setyohadi, 2009).

D. PATOFISIOLOGI OSTEOPOROSIS

Osteoporosis merupakan kehilangan massa tulang yang dipengaruhi oleh

perubahan tergantung usia pada remodeling tulang, yang diperparah oleh faktor

ekstrinsik dan intrinsik. Perubahan ini dapat berakibat pada rendahnya massa

tulang. Selama pertumbuhan, skeleton mengalami penambahan ukuran melalui

pertumbuhan linear dan dengan penambahan jaringan tulang baru pada permukaan

luar korteks. Proses ini disebut pembentukan tulang (modeling), suatu proses yang

menyebabkan tulang panjang beradaptasi dengan bentuk dan beban yang

diberikan. Peningkatan produksi hormon reproduksi pada masa pubertas

diperlukan untuk maturasi tulang, yang mencapai massa dan densitas maksimal

pada masa dewasa awal. Sekitar masa pubertas, terjadi dismorfisme seksual pada

ukuran skelet, walaupun densitas tulang tetap sama antara kedua jenis kelamin

(Fauci et al., 2008).

Antara usia 8 hingga 18 tahun kandungan mineral tulang menjadi lebih

dari dua kali lipat, sedangkan volume densitas tulang sebenarnya atau volumetric

Bone Mineral Density (vBMD) hampir tidak berubah. Massa tulang ini

berakumulasi untuk menginisiasi peningkatan ukuran tulang (diameter) dan

ketebalan korteks dengan penambahan periosteal (modeling) dan untuk

mengurangi luas tulang pembentukan trabekula tulang dan penebalan. Sementara

itu permukaan endosteal mengalami modeling dan remodeling untuk mencapai

massa tulang, geometri, dan mikrostruktur tulang dewasa, pada usia 20 tahun.

Pada akhirnya, puncak massa tulang adalah penentu utama kekuatan tulang dan

fragilitas semasa hidup. Peningkatan diameter dan massa tulang pada laki-laki,

yang terjadi pada waktu yang hampir bersamaan dengan perempuan, tetapi

berlangsung lebih lama menyebabkan 10-15% rata-rata massa yang lebih besar,

yang menjelaskan lebih sedikitnya fraktur karena usia pada laki-laki dibanding

wanita. Meskipun demikian, sebagai hasil kelanjutan remodeling tulang,

kehilangan korteks dan trabekula tulang akan terjadi segera setelah massa tulang

puncak tercapai pada kedua jenis kelamin, dan meningkat pada wanita setelah

menopause dan penuaan pada pria. Faktor keturunan yang merupakan efek

tambahan dari gen dan polimorfisme, menyebabkan 50-80% variasi massa dan

struktur tulang pada masing-masing individu dan berkontribusi pada beberapa

perbedaan fenotip antara tulang laki-laki dan perempuan. Ekpresi gen bergantung

pada faktor eksternal dan internal, seperti kadar hormon, steroid gonad (pubertas)

dan hormon pertumbuhan (Growth Hormone [GH]), nutrisi seperti masukan

kalsium dan protein, aktivitas fisik, gaya hidup, dll. Sehingga, kelainan yang

terjadi selama masa pertumbuhan yang dipengaruhi oleh salah satu faktor tersebut

dapat memberikan efek buruk pada modeling dan remodeling tulang,

memengaruhi pembentukan massa tulang dan distribusinya pada korteks atau

kompartemen trabekula dan dapat menyebabkan kerapuhan tulang, tidak hanya

selama massa pertumbuhan, tetapi juga pada dewasa muda (Ferrari and Bianci,

2012).

E. KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS

Terdapat beberapa jenis osteoporosis yang dijumpai di klinik, yaitu

osteoporosis primer, osteoporosis sekunder dan osteoporosis idiopatik (Rasjad,

Chairuddin, 2010).

1. Osteoporosis primer

Jenis ini menyusun 80% dari seluruh kasus osteoporosis, dan terutama terjadi

pada tulang belakang, femur, dan pergelangan tangan. Ada dua bentuk

osteoporosis primer yaitu osteoporosis tipe I dan tipe II. Keduanya memiliki

karakteristik yang dapat dibedakan seperti dijelaskan pada tabel 3. (Rasjad,

Chairuddin, 2010).

Tabel 3. Karakteristik Osteoporosis Tipe I dan II

Tipe I Tipe IIUmur (tahun) 50-75 >70Perempuan:laki-laki 6:1 2:1Tipe kerusakan tulang

Terutama trabekular Trabekular dan kortikal

Bone turnover Tinggi Rendah Lokasi fraktur terbanyak

Vertebra, radius distal Vertebra, kolum femoris

Fungsi paratiroid Menurun Meningkat Efek estrogen Terutama skeletal Terutama ekstraskeletalEtiologi utama Defisiensi estrogen Penuaan, defisiensi

estrogen

a. Osteoporosis tipe I (involusional)

Osteoporosis tipe I merupakan osteoporosis yang terjadi pada perempuan

pascamenopause, disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause.

1) Peran estrogen pada tulang

Estrogen manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu estron (E1), 17β-

estradiol (E2), estriol (E3). Estrogen yang terutama dihasilkna oleh ovarium

adalah estradiol. Estron juga dihasilkan oleh tubuh manusia tetapi berasal dari luar

ovarium yaitu dari konversi androstenedion pada jaringan perifer. Estriol

merupakan estrogen yang terutama didapatkan di dalam urin. Berasal dari

hidroksilasi 16 estron dan estradiol (Setyohadi, 2009).

Estrogen berperan pada pertumbuhan tanda seks sekunder pada wanita dan

menyebabkan pertumbuhan uterus, penebalan mukosa vagina, penipiisan mucus

serviks dan pertumbuhan saluran-saluran pada payudara. Estrogen juga

mempengaruhi profil lipid dan endotel pembuluh darah, hati, tulang, susunan

saraf pusat, sistem imun, sistem kardiovaskular, dan sistem gastrointestinal

(Setyohadi, 2009).

Saat ini telah ditemukan 2 macam reseptor estrogen (ER) yaitu reseptor

estrogen-α (ERα) dan reseptor estrogen-β (ERβ). Selain terdistribusi pada jaringan

otak, ovarium, uterus, dan prostat, eseptor estrogen juga diekspresikan oleh

berbagai sel tulang, termasuk osteoblas, osteosit, osteoklas, dan kondrosit.

Ekspresi ERα dan ERβ meningkat bersamaan dengan diferensiasi dan maturasi

osteoblas (lihat tabel 4.) (Setyohadi, 2009).

Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang

penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tak langsung pada tulang. Efek tak

langsung meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan dengan homeostasis

kalsium di usus, modulasi 1,25 (OH)2D, ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormon

paratiroid (PTH) (Setyohadi, 2009).

Terhadap sel-sel tulng, estrogen memiliki beberapa efek seperti tertera pada

tabel 5. Efek-efek ini akan meningkatkan formasi tulang dan menghambat resorpsi

tulang oleh osteoklas (Setyohadi, 2009).

2) Patogenesis osteoporosis tipe I

Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada

decade awal setelah menopause, sehingga insiden fraktur, terutama fraktur

vertebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada

tulang trabekular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah

dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang dan formasi tulang,

keduanya meningkat menunjukkan adanya peningkatan bone turnover. Estrogen

juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stroma

cell dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α yang berperan

meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian, menurunnya kadar estrogen

akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga

aktivitas osteoklas meningkat (Setyohadi, 2009).

Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi

kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Selain itu,

menopause juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa

1,25(OH)2D, sehingga pemberian estrogen akan meningkatkan konsentrasi

1,25(OH)2D di dalam plasma (Setyohadi, 2009).

Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka

kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan

semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar

kalsium serum dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma,

meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar

kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam

kompleks. Peningkatkan bikarbonat pada menopause terjadi akibat penurunan

rangsang respirasi sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik (Setyohadi, 2009).

b. Osteoporosis Tipe II (osteoporosis senilis)

Osteoporosis tipe II merupakan osteoporosis senil yang terjadi pada laki-laki

maupun perempuan di atas usia 75 tahun. Disebabkan oleh gangguan absorpsi

kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang

menyebabkan timbulnya osteoporosis (Setyohadi, 2009).

Pada decade ke delapan dan Sembilan kehidupan, terjadi ketidakseimbangan

remodeling tulang dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang

tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang,

perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur (Setyohadi,

2009).

Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal

ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia,

malabsorpsi, dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium,

akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin

meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang. Faktor lain yang juga

berperan dalam kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan

lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama) (Setyohadi, 2009).

Dengan bertambahnya umur, remodeling endokortikal dan intrakortikal akan

meningkat, sehingga kehilangan tulang terutama terjadi pada tulang kortikal dan

meningkatkan risiko fraktur tulang kortikal misalnya pada femur proksimal. Pada

laki-laki tua, peningkatan resorpsi endokortikal tulang panjang akan diikuti

peningkatan formasi periosteal sehingga diameter tulang panjang akan meningkat

dan menurunkan risiko fraktur pada laki-laki tua (Setyohadi, 2009).

2. Osteoporosis Sekunder

Jenis osteoporosis ini timbul akibat keadaan lain seperti akromegali,

hiperparatiroidisme primer, hipertiroidisme, DM tipe I, akibat terapi

kortikosteroid lama, dan keganasan seperti myeloma multipel lama. Penyabab

osteoporosis sekunder dapat dilihat pada tabel 6 (Rasjad, Chairuddin, 2010).

Glukokortikoid merupakan penyebab osteoporosis sekunder dan fraktur

osteoporotik yang terbanyak.glukokortikoid akan menyebabkan hipokalsemia,

hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja osteoklas. Selain itu

glukokortikoid juga akan menekan produksi gonadotropin, sehingga produksi

estrogen menurun dan akhirnya osteoklas juga akan meningkat kerjanya.

Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan menghambat kerjanya, sehingga formasi

tulang menurun. Dengan adanya peningkatan resorpsi tulang oleh osteoblas, maka

akan terjadi osteoporosis yang progresif. Berdasarkan meta-analisis didapatkan

bahwa risiko fraktur panggul pada pengguna steroid meningkat 2,1-4,4 kali

(Faucy, 2010; Firestein, 2013).

Tabel 6. Penyebab osteoporosis sekunder (Mezinskis, 2002).

Steroid menghambat sintesis kolagen tulang, dan mencegah transfomasi sel-

sel precursor menjadi osteoblast. Disamping itu steroid juga sangat mereduksi

sintesis protein. Sindroma Cushing adalah suatu keadaan gangguan hormonal

yang disebabkan kadar hormon kortisol yang tinggi dalam jaringan tubuh untuk

waktu yang lama. Dari anamnesis, pada sindroma Cushing didapatkan riwayat

pemakaian glukokortikoid atau steroid dalam jangka waktu lama, seperti pada

penderita asma, reumatoid arthritis, lupus dan penyakit inflamasi lain. Dari

pemeriksaan didapatkan obesitas, muka bulat (moon’s face), peningkatan lemak

pada lingkar leher, striae pink pada abdomen, paha, panggul, lengan dan dada.

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan kadar

free cortisol urine 24 jam (sindroma cushing bila kadar kortisol > 50-100

mg/hari), pengukuran midnight plasma cortisol dan late-night salivary cortisol

( sindroma Cushing bila kadar kortisol plasma > 50 nmol/L), dexamethasone

suppression test, dan pemeriksaan ACTH (Fuleihan et al, 2002)

3. Osteoporosis Idiopatik

Jenis osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya ini ditemukan pada usia

kanak-kanak, remaja, perempuan pramenopause, dan laki-laki usia pertengahan.

Jenis ini jauh lebih jarang dijumpai daripada jenis lainnya (Rasjad, Chairuddin,

2010). WHO telah membuat suatu klasifikasi praktis berdasarkan densitas mineral

tulang (bone mineral density/BMD) seperti pada tabel 7.

Tabel 7. Klasifikasi derajat densitas mineral (bone mineral density/BMD) menurut WHO (Rasjad, Chairuddin, 2010).

Deskripsi Keterangan

BMD normalBMD rendah atau osteopeniaOsteoporosis Osteoporosis berat

BMD di bawah -1 SD rerata nilai BMD dewasa normalBMD di antara -1 SD sampai -2,5 SDBMD kurang dari -2,5 SDBMD kurang dari -2,5 SD serta adanya fraktur

F. DIAGNOSIS

Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, sebagaimana penyakit lain, perlu

dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan radiologi.

1. Anamnesis

Anamnesis memegang peranan penting pada evaluasi osteoporosis. Keluhan

utama biasanya dapat langsung mengarah kepada diagnosis misalnya fraktur

kolom femoris. Faktor lain yang harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma

minimal, imobilisasi lama, turunnya tinggi badan pada orang tua, kurangnya

paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor, vitamin D, latihan yang teratur

yang bersifat weight-bearing. Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang

juga harus diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon tiroid, antikonvulsan,

heparin, antasid yang mengandung aluminium, sodium-fluorida dan bifosfonat

etidronat. Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi alkohol dan merokok dan juga

penyakit-penyakit lain seperti penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin, dan

insufiesiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan menopause, penggunaan

obat-obat kontrasepsi, dan riwayat keluarga dengan osteoporosis juga perlu

diperhatikan (Setiyohadi, 2009).

2. Pemeriksaan Fisik

Temuan penting pada pemeriksaan fisik pada pasien dengan osteoporosis

dapat berupa kelanjutan fraktur lama (kifosis yang disebabkan fraktur veterbra

terdahulu), fraktur baru, atau abnormalitas karena penyebab sekunder osteoporosis

(tiromegali dengan tirotoksikosis). Pengukuran tinggi badan secara akurat, dapat

membantu evaluasi pasien dengan risiko patah tulang. Kehilangan tinggi badan 4

cm atau lebih dibandingkan dengan tinggi badan maksimal atau kehilangan 2 cm

atau lebih dibandingkan pengukuran sebelumnya dapat menunjukkan adanya

fraktur vertebra. Pengukuran berat badan juga merupakan bagian evaluasi

osteoporosis karena berat badan yang rendah (kurang dari 127 lbs), IMT rendah

(20 atau kurang) dan penurunan berat badan 5% atau lebih berkaitan dengan

peningkatan risiko fraktur. Kerapuhan tulang spinal, kifosis, atau berkurangnya

jarak antara tulang rusuk bagian bawah dan pelvis dapat merupakan hasil dari satu

atau lebih fraktur vertebra. Kelainan cara berjalan, postur, keseimbangan,

kekuatan otot, atau adanya hipotensi postural atau menurunnya kesadaran dapat

dikaitkan dengan risiko jatuh. Atrofi testis menunjukkan hipogonadisme. Pasien

harus diobservasi apakah terdapat gejala hipertiroidisme atau sindrom Cushing.

Sklera berwarna biru, penurunan pendengaran, gigi kuning-kecoklatan dapat

menunjukkan osteogenesis imperfecta (Lewiecky, 2010).

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium, tes rutin yang dilakukan adalah pengukuran

kalsium serum dan kadar kreatinin, fungsi hati, pengukuran kadar tirotropin, dan

hitung darah lengkap. Jika diindikasikan secara klinis, pemeriksaan elektroforesis

protein serum, dan tes protein Bence Jones urin, kortisol dan kalsium dalam urin

24 jam, dan antibodi HIV dapat dilakukan. Hipogonadisme sulit di deteksi

berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik saja, maka pengukuran kadar

testosteron direkomendasikan pada semua pria dengan osteoporosis. Kadar serum

25-hidroksivitamin D juga dapat diukur. Kadar dibawah 30 ng/ml (75 nmol/L)

harus di berikan pengobatan (Ebeling, 2008).

4. Pemeriksaan Radiologi

X-ray digunakan untuk mendiagnosis semua tipe fraktur dan dapat

menentukan penyebab sekunder osteoporosis. Pseudofraktur (zona Looser’s) yang

memberikan gambaran radiolusen tegak lurus pada korteks tulang dapat dilihat

pada pasien dengan osteomalasia. Hal ini menunjukkan fraktur yang disebabkan

oleh stress fisik yang mengalami penyembuhan dengan mineralisasi osteoid yang

buruk. Gambaran radiolusen pungtata, dapat terlihat pada X-ray tulang pasien

dengan mastositosis sistemik. Hiperparatiroidisme primer dapat menyebabkan

kista tulang, resorpsi tulang subperiosteal, brown tumor, dan demineralisasi tulang

kranial. Magnetic Resonance Imaging (MRI), Computed Tomography (CT) scan,

atau nuclear imaging dapat digunakan untuk mendeteksi fraktur karena stress fisik

yang tidak dapat dilihat dengan X-ray. MRI pada tulang spinal sering digunakan

untuk vertebroplasti atau kipoplasti untuk menentukan umur fraktur, kemungkinan

fraktur terjadi oleh sebab selain osteoporosis dan apakah terdapat retropulsi pada

fragmen tulang yang kemudian memengaruhi fungsi neuron (Lewiecky, 2010).

5. Pemeriksaan Densitas Tulang

Banyak istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan junmlah dan densitas

sebuah tulang. Massa tulang menunjukkan jumlah tulang pada skelet atau pada

suatu lokasi. Densitas mineral tulang atau Bone Mineral Density (BMD)

didefinisikan sebagai konsentrasi rata-rata mineral per unit area (untuk single-

energy Xray absorpsiometri [SXA] dan dual energy x-ray absorpsiometry), yang

juga menunjukkan ke BMD suatu area. BMD yang dilakukan dalam 2 dimensi

dipengaruhi oleh ukuran potongan tulang; apabila sebuah tulang berukuran besar

dan kecil memiliki densitas mineral yang sama, tulang yang berukuran lebih besar

akan terlihat memiliki BMD yang lebih tinggi. Densitometri dilaporkan dengan

skor T dan Z yang keduanya bergantung pada standar deviasi pengukuran.

Standar deviasi mewakili variabilitas normal pada pengukuran pada populasi

muda normal. Skor Z bernilai 0 menandakan pasien memiliki nilai rata-rata pada

umurnya. Skor Z -2,0 menandakan pasien memiliki nilai BMD yang rendah pada

daerah tersebut. Sedangkan skor T adalah angka standar deviasi dibawah rata-rata

BMD pada dewasa muda (25-45 tahun). Skor T 0 menunjukkan bahwa pasien

memiliki BMD yang berada pada rata-rata dewasa muda, Skor T -2,5

menunjukkan bahwa pasien memiliki BMD yang dibawah standar deviasi pada

daerah itu (Cummings et al., 2002).

Klasifikasi diagnosis osteoporosis berdasarkan densitas massa tulang menurut

WHO study group 1994 adalah (Setiyohadi, 2009):

Tabel 8. Klasifikasi Diagnosis Osteoporosis

Klasifikasi Skor T

Normal -1 atau lebih besar

Osteopenia Antara -1 dan -2,5

Osteoporosis -2,5 atau kurang

Osteoporosis berat -2,5 atau kurang dan fraktur

fragilitas

Indikasi pengukuran densitas mineral tulang menurut National

Osteoporosis Foundation:

1) Wanita berumur 65 tahun atau lebih dan pria berumur 70 tahun atau lebih,

tanpa melihat faktor risiko.

2) Wanita pascamenopause yang berusia lebih muda dan pria berumur 50-69

tahun yang memiliki faktor risiko.

3) Wanita pada transisi menopause jika terdapat faktor risiko spesifik yang

berkaitan dengan peningkatan risiko fraktur seperti berat badan rendah, fraktur

akibat trauma atau pengobatan risiko tinggi.

4) Orang dewasa yang mengalami fraktur setelah usia 50 tahun.

5) Orang dewasa dengan kondisi tertentu (contoh: arthritis rheumatoid), atau

dalam pengobatan (contoh: glukokortikoid dengan dosis harian ≥ 5 mg

prednison atau yang setara lebih dari 3 bulan) yang berkaitan dengan

rendahnya massa tulang atau kehilangan massa tulang.

6) Orang yang dipertimbangkan untuk melakukan terapi farmakologi untuk

osteoporosis.

7) Orang yang telah diterapi untuk osteoporosis, untuk memantau hasil terapi.

8) Orang yang tidak menerima terapi osteoporosis tetapi dibuktikan mengalami

kehilangan massa tulang sehingga harus diterapi.

9) Wanita pascamenopause yang mengalami penurunan kadar estrogen.

Densitometer tulang ini terdiri atas beberapa jenis yaitu:

1) Single- Photon Absorpsiometry (SPA)

SPA menggunakan radioisotope I yang mempunyai energi foton rendah sekitar

28 keV guna mengabaikan berkas radiasi kolimasi tinggi. Intensitas berkas radiasi

dibandingkan dengan intensitas berkas radiasi pada phantom yang telah diketahui

densitasnya sehingga densitas mineral tulang dapat ditentukan. Biasanya metode

ini hanya digunakan pada jaringan bagian tulang yang memiliki jaringan lunak

tidak tebal seperti distal radius dan kalkaneus (Cummings et al., 2002).

2) Dual Energy X-ray Absorpsiometry

DXA merupakan metode yang paling sering digunakan dalam diagnosis

osteoporosis karena mempunyai tingkat akurasi dan presisi yang tinggi

(Setiyohadi, 2009).

DXA tidak hanya dapat mengukur BMD pada panggul atau tulang belakang

tetapi juga mengukur jumlah total mineral pada rangka utuh atau lengan bawah.

BMD panggul menunjukkan BMD pada leher femur atau BMD panggul total.

BMD spinal diukur pada vertebra lumbal 1 sampai lumbal 3 atau 4. Corpus

vertebral dibuat oleh tulang trabekular yang lebih sensitif terhadap efek hormon

dan obat (Cummings et al., 2002).

3) Quantitative Ultrasound

Transmisi suara melewati tulang menunjukkan densitas tulang dan strukturnya

dan dapat memperkirakan secara kuantitatif melalui kecepatan suara atau speed of

sound (SOS), pola absorbsi oleh berbagai panjang gelombang suara yang disebut

broadband ultrasound attenuation (BUA) atau perhitungan yang diperoleh dari

parameter tersebut. BUA dipengaruhi oleh konektivitas dan separasi trabekula

dan SOS berhubungan secara langsung dengan elastisitas dan densitas tulang.

Quantitative ultrasound pada tumit menyerupai pengukuran periferal lain untuk

memprediksi adanya fraktur dan kombinasi calcaneal broadband ultrasound

attenuation dan BMD leher femur memperkirakan risiko fraktur panggul yang

lebih baik daripada jika pemeriksaan tersebut dilakukan terpisah (Lee et al., 2010;

Cummings et al., 2002).

Quantitative ultrasound dapat memprediksi fraktur fragilitas pada wanita

pascamenopause dan laki-laki usia 65 tahun ke atas (Lee et al., 2010).

Keuntungan metode ini tidak adanya radiasi, mudah dibawa, ukurannya kecil,

pengukurannya cepat dan relatif murah (Setiyohadi, 2009).

Berdasarkan penelitian Lee et al., (2010) sensitivitas QUS dibandingkan

dengan cut off point DXA adalah seperti tabel di bawah ini.

Tabel 9. Sensitivitas BUA Quantitative Ultrasound Densitometry

Tabel 10. Sensitivitas SOS Quantitative Ultrasound Densitometry

Persentil -1,0 -2,5

Laki-laki perempuan Laki-laki perempuan

5 7,3 7,0 20,6 17,9

Persentil -1,0 -2,5

Laki-laki perempuan Laki-laki perempuan

5 7,9 7,7 17,6 21,4

10 14,6 12,0 32,4 28,6

25 30,5 31,7 58,8 53,6

50 56,3 57,7 76,5 71,4

75 82,1 83,1 94,1 96,4

90 92,7 94,4 94,1 100

95 95,4 97,9 97,1 100

100 100 100 100 100

10 15,2 13,4 32,4 32,1

25 35,8 32,4 58,8 57,1

50 5683 62,7 82,4 89,3

75 80,8 84,5 91,2 100

90 94,0 94,4 97,1 100

95 96,0 97,2 97,1 100

100 100 100 100 100

G. Penatalaksanaan osteoporosis

Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja

osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan tetapi saat ini obat-

obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Yang termasuk obat

antiresorpsi misalnya: estrogen, kalsitonin, bisfosfonat. Sedangkan Kalsium

dan Vitamin D tidak mempunyai efek antiresorpsi maupun stimulator tulang,

tetapi diperlukan untuk optimalisasi meneralisasi osteoid setelah proses

pembentukan tulang oleh sel osteoblas (Setiyohadi, 2009).

A. Non farmakologi

1. Edukasi dan pencegahan

- Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur

untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi sistem

neuromuskular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah resiko

terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan

30-60 menit/ hari, bersepeda maupun berenang.

- Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/ hari, baik melalui makanan

sehari-hari maupun suplementasi

- Hindari merokok dan minum alkohol

- Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosteron

pada laki-laki pada menopause awal pada wanita.

- Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan

osteoporosis

- Hindari mengangkat barang-barang berat pada penderita yang

sudah pasti osteoporosis

- Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita jatuh

seperti lantai yang licin, obat-obat sedatif dan obat anti hipertensi

yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.

- Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang-orang yang

kurang terpajan sinar matahariatau pada penderita dengan

fotosensitifitas misalnya SLE. Bila di duga ada defisiensi vitamin

D, maka kadar 25(OH)D seerum harus diperiksa. Bila 25(OH)D

serum menurun maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800

IU/ hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita yang gagal

ginjal, suplementasi 1,25(OH)D harus dipertimbangkan.

- Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan

membatasi natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan

reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium urin

>300 mg/hari berikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT

25mg/hari).

- Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan

jangka panjang, usahakan pemberian glukokortikoid pada dosis

serendah mungkin dan sesingkat mungkin. (Setiyohadi, 2009).

2. Latihan dan program rehabilitasi

Pada penderita yang belum mengalami osteoporosis maka sifat

latihan adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada penderita

osteoporosis, maka latihan dimulai dengan latihan tanpa beban,

kemudian ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan

beban yang adekuat.

Jenis olahraga yang baik adalah dengan pembebanan dan ditambah

latihanlatihan kekuatan otot yang disesuaikan dengan usia dan

keadaan individu masing-masing.

Selain latihan, bila dibutuhkan maka dapat diberikan alat bantu

(ortosis), misalnya korset lumbal untuk penderita yang mengalami

fraktur korpus vetebra, tongkat atau alat bantu berjalan lainnya,

terutama pada orang tua yang terganggu keseimbangannya.

(Setiyohadi, 2009).

Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah mencegah resiko

terjatuh, misalnya menghindari lantai atau alas kaki yang licin,

pemakaian tongkat atau rel pegangan tangan, terutama dikamar mandi

atau kakus, perbaikan penglihatan, misalnya memperbaiki

penerangan, menggunakan kaca mata dan lain sebagainya. Pada

umumnya fraktur pada penderita osteoporosis disebabkan oleh

terjatuh dan resiko terjatuh yang paling sering justru terjaid di dalam

rumah, oleh sebab itu tindakan pencegahan harus diperhatikan dengan

baik, dan keluarga juga harus dilibatkan dengan tindakan-tindakan

pencegahan ini. (Setiyohadi, 2009).

B. Terapi Farmakologi

Obat yang digunakan dalam terapi osteoporosis, yaitu :

1. Estrogen

Proses resorpsi oleh osteoklas dan formasi oleh osteoblas

dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor humeral (sitokin,

prostaglandin, faktor pertumbuhan dll) dan faktor sistemik (kalsitonin,

estrogen, kortikosteroid, tiroksin dll)sitokin yang meningkatkan kerja

osteoklas adalah granulocyte-macrophage colony stimulating faktors

(GM-CSF), macrophage colony-stimulating factors (M-CSF), tumour

necrosis factor α (TNF α), interleukin-1 (IL 1), interleukin 6 (IL 6).

Sedangkan faktor lokal yang meningkatkan kerja osteoblas adalah IL 4

dan transforming growth factor β (TGF β). (Setiyohadi, 2009).

Reseptor estrogen ditemukan baik pada osteoblas normal maupun

pada osteoblast-like osteosarcoma cell. Reseptor pada sel-sel tersebut

relatif dalam konsentrasi yang rendah bila dibandingkan dengan

reseptor pada sel target estrogen yang lain. (Setiyohadi, 2009).

Faktor lokal seperti prostaglandin, terutama PGE 2 yang pada kadar

rendah akan merangsang formasi tulang sedangkan pada kadar tinggi

akan merangsang reabsorpsi tulang pada osteoblas. (Setiyohadi, 2009).

Absorpsi estrogen sangat baik melalui kulit, mukosa (misalnya

vagina) dan saluran cerna. Pemberian estradiol transdermal akan

mencapai kadar yang adekuat di dalam darah pada dosis 1/20 dosis

oral. Estrogen oral akan mengalami metabolisme terutama di hati.

Estrogen yang beredar di dalam tubuh sebagian besar akan terikat

dengan sex hormon binding globulin (SHBG) dan albumin, hanya

sebagian kecil yang tidak terikat, tapi justru fraksi ini yang aktif.

Estrogen akan di eksresikan melalui saluran empedu, kemudian di

reabsorpsi kembali di usus halus (sirkulasi enterohepatik). Pada fase ini

estrogen akan dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif dan

dieskresikan melalui ginjal. Merokok ternyata dapat menurukan

aktifitas ekstrogen secara bermakna. Efek samping estrogen meliputi

nyeri payudara (mastalgia), retensi cairan, peningkatan berat badan,

tromboembolisme dan pada pemakaian jangka panajng dapat

meningkatkan resiko kanker payudara. (Setiyohadi, 2009).

Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis untuk

anti reabsorpsi nya adalah estrogen terkonjugasi 0,625 mg/hari, 17β-

ekstradiol oral 1-2 mg/hari, 17β-ekstradiol transdermal 50 mg/hari,

17β-ekstradiol subkutan 25-50 mg setiap 6 bulan. (Setiyohadi, 2009).

Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah kanker

paudara, kanker endometrium, hiperplasia endometrium, kehamilan,

perdarahan uterus disfungsional, hipertensi yang sulit di kontrol,

penyakit tromboembolik, karsinoma ovarium dan penyakit hati yang

berat, sedangkan kontraindikasi yang relatif termasuk infark miokard,

stroke, hiperlipidemia familial, riwayat kanker payudara dalam

keluarga, obesitas, perokok, endometriosis, melanoma malignum,

migrain berat, diabetes melitus yang tidak terkontrol dan penyakit

ginjal. (Setiyohadi, 2009).

2. Hormone paratiroid

Hormone para tiroid berfungsi untuk mempertahankan kadar kalsium di

dalam cairan ekstraseluler dengan cara merangsang sintesis 1,25 (OH)2D

di ginjal, sehingga absorpsi kalsium di usus meningkat. Selain itu juga

menrangsang formasi tulang. (Setiyohadi, 2009).

Kombinasi PTH dosis rendah (25-40) dengan antiresorptif lain (HRT,

bisfosfonat dan kalsitonin) ternyata memberikan hasil yang lebih baik

dibandingkan pemberian antiresorpsi saja. Selain itu kombinasi ini juga

akan menhindari kehilangan massa tulang kortikal yang berlebihan akibat

terapi PTH. (Setiyohadi, 2009).

Penelitian terhadap penggunaan PTH untuk terapi osteoporosis,

berkembang sangat lambat sejak 20 tahun yang lalu, hal ini disebabkan

oleh :

a. Kesulitan memproduksi fragmen aktif PTH ang murni dalam jumlh

yang cukup

b. Efek yang tidak baik terhadap tulang kortikal

c. Pmberian harus diberikan secara parenteral setiap hari

d. Tingginya ikatan hPTH dengan protein di dalam tubuh manusia,

sehingga akan mengurangi efek terapeutiknya

e. Harga yang mahal dibandingkan obat yang lain. (Setiyohadi, 2009).

3. Strontium ranelat

Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis dan memiliki efek

ganda, yaitu meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja

osteoklas. Akibatnya tulang endosteal terbentuk dan volume trabelar

meningkat. Mekanisme kerja strontium belum jelas benar, di duga efeknya

berhubungan dengan perangsangan calsium sensing recweptor (CaSR)

pada permukaan sel-sel tulang. Dosis strontium ranelat adalah 2 gram/hari

yang dilarutkan di dalam airdan diberikan pada malam hari sebelum tidur

atau 2 jam sebelum makan dan 2 jam setelah makan. Efek samping

strontium ranelat adalah dispepsia. (Setiyohadi, 2009).

4. Kalsium

Kalsium berfungsi sebagai integritas sistem saraf dan otot, untuk

kontraktilitas jantung normal dan koagulasi darah. Kalsium berfungsi

sebagai kofaktor enzim dan mempengaruhi aktivitas sekresi kelenjar

endokrin dan eksokrin. (Setiyohadi, 2009).

Absorpsi kalsium dari saluran pencernaan dengan difusi pasif dan

transpor aktif. Kalsium harus dalam bentuk larut dan terionisasi agar bisa

diabsorpsi. Vitamin D diperlukan untuk absorpsi lasium dan meningkatkan

mekanisme absorpsi. Absorpsi meningkat dengan adanya makanan.

Ketersediaan oral pada orang dewasa berkisar dari 25% hingga 35% jika

diberikan dengan sarapan standar. Absorpsi dari susu sekitar 29% dalam

kondisi yang sama. (Setiyohadi, 2009).

Kalsium secara cepat didistribusikan ke jaringan skelet. Kalsium

menembus plasenta dan mencapai kosentrasi yang lebih tinggi pada darah

fetah dibanding darah ibu. Kalsium juga didistribusikan dalam susu.

Kalsium dieksresikan melalui feses, urin dan keringat. (Setiyohadi, 2009).

Asupan kalsium pada penduduk Asia pada umumnya lebih rendah dari

kebutuhan kalsium yang direkomendasikan oleh institute of medicine,

national academy of science yaitu sebesar 1200 mg. Kalsium sebagai

monoterapi ternyata tidak cukup untuk mencegah fraktur pada penderita

osteoporosis. Preparat kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat

karena mengandung kalsium elemen 400ug/gram, disusul kalsium fosfat

yang mengandung kalsium elemen 230 ug/gram kalsium sitrat yang

mengandung kalsium elemen 211ug/gram, kalsium laktat yang

mengandung kalsium elemen 130ug/gram dan kalsium glukonat yang

mengandung kalsium elemen 90ug/gram.

Kalsium dikontraindikasikan pada pasien dengan hiperkalsemia dan

fibrilasi ventrikuler. Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi

kalsium yaitu gangguan gastrointestinal ringan, bradikardia, aritmia, dan

iritasi pada injeksi intravena . (Setiyohadi, 2009).

5. Vitamin D

Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang diperoleh dari sumber

alami (minyak hati ikan) atau dari konversi provitamin D (7-

dehidrokolesterol dan ergosterol). Pada manusia, suplai alami vitamin D

tergantung pada sinar ultraviolet untuk konversi 7-dehidrokolesterol

menjadi vitamin D3 atau ergosterol menjadi vitamin D2. Setelah

pemaparan terhadap sinar uv , vitamin D3 kemudian diubah menjadi

bentuk aktif vitamin D (Kalsitriol) oleh hati dan ginjal. Vitamin D

dihidroksilasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi 25-hidroksi-vitamin D3

(25-[OH]- D3 atau kalsifediol). Kalsifediol dihidroksilasi terutama di ginjal

menjadi 1,25-dihidroksi-vitamin D (1,25-[OH]2-D3 atau kalsitriol) dan

24,25-dihidroksikolekalsiferol. Kalsitriol dipercaya merupakanbentuk

vitamin D3 yang paling aktif dalam menstimulasi transport kalsium usus

dan fosfat. Dosis kalsitriol untuk pengobatan osteoporosis adaalh 0,25ug,

1-2 kali perhari. (Setiyohadi, 2009).

Vitamin D diindikasikan pada orang-orang tua yang tinggal di panti

werda yang kurang terpapar sinar matahari. Vitamin D

dikontraindikasikan dengan hiperkalsemia, bukti adanya toksistas vitamin

D, sindrom malabsorpsi, hipervitaminosis D, sensitivitas abnormal

terhadap efek vitamin D, penurunan fungsi ginjal.

efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi vitamin D ini yaitu

sakit kepala, mual, muntah, mulut kering dan konstipasi. (Setiyohadi,

2009).

6. Bisfosfonat

Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan

osteoporosis. Bifosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2

asam fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom karbon. Bisfosfonat

dapat mengurangi resorpsi tulang oleh sel osteoklas dengan cara berikatan

dengan permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas dengan cara

mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal di bawah osteoklas.

(Setiyohadi, 2009).

Pemberian bisfosfonat secara oral akan diabsorpsi di usus halus dan

absorpsinya sangat buruk (kurang dari 55 dari dosis yang diminum).

Absorpsi juga akan terhambat bila diberikan bersama-sama dengan

kalsium, kation divalen lainnya, dan berbagai minuman lain kecuali air.

Idealnya diminum pada pagi hari dalam keadaan perut kosong. Setelah itu

penderita tidak diperkenankan makan apapun minimal selama 30 menit,

dan selama itu penderita harus dalam posisi tegak, tidak boleh berbaring.

Sekitar 20 Ð 50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada

permukaan tulang setelah 12 Ð 24 jam. Setelah berikatan dengan tulang

dan beraksi terhadap osteoklas, bisfosfonat akan tetap berada di dalam

tulang selama berbulan-bulan bahkan bertahuntahun, tetapi tidak aktif lagi.

Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak akan mengalami

metabolisme di dalam tubuh dan akan diekresikan dalam bentuk utuh

melalui ginjal, sehingga harus hati-hati pemberiannya pada penderita gagal

ginjal. (Setiyohadi, 2009).

Generasi Bisfosfonat adalah sebagai berikut:

Generasi I: - Etidrona (400mg/hari)

- Klodronat (400 mg/hari)

Generasi II: - Pamidronat (60-90 mg/kali selama 4-6

jam drip intra vena

- Alendronat (10 mg/hari)

Generasi III: - Risedronat (30mg/hari)

- Zoledronat (5 mg setahun sekali)

7. Teriparatide

Terapi anabolik ini hanya untuk terapi menjaga dan memelihara bentuk

tulang. Teriparatide merupakan produk rekombinan yang mewakili 34

asam amino pertama dalam PTH manusia. Teriparatide meningkatkan

formasi tulang, perubahan bentuk tulang dan jumlah osteoblast beserta

aktivitasnya sehingga massa tulang akan meningkat. Teriparatide

disarankan oleh FDA kepada wanita postmenopouse dan laki-laki yang

memiliki resiko tinggi terjadi fraktur. Efikasi dari teriparatide ini dapat

meningkatkan BMD. PTH analog sangat penting dalam pengelolaan

pasien osteoporosis yang memiliki risiko tinggi patah tulang karena PTH

merangsang pembentukan tulang baru. Kontraindikasi teriparatide ini yaitu

pada pasien hiperkalsemia, penyakit metabolik tulang lainnya dan kanker

otot. Dosis yang direkomendasikan untuk osteoporosis adalah 20 ug/hari

(Dipiro, 2006).

8. Raloksifen

Raloksifen merupakan anti estrogen yang mempunyai efek seperti

estrogen di tulang dan llipid, tetapi tidak menyebabkan perangsangan

endometrium dan payudara. Golongan preparat ini disebut juga selektive

estrogen reseptor modulator (SERM). Obat ini dibuat untuk pengobatan

osteoporosis dan FDA juga telah menyetujui penggunaannya untuk

pencegahan osteoporosis, (Setiyohadi, 2009).

Aksi raloksifen diperantai oleh ikaran raloksifen pada reseptor estrogen,

tetapi mengakibatkan ekspresi gen yang di atur estrogen yang berbeda

pada jaringan yang berbeda. Dosis yang direkomendasikan untuk

pencegahan osteoporosis adalah 60 mg/hari. Pemberian raloksifen peroral

akan di reabsorpsi dengan baik dan akan dimetabolisme di hari. Raloksifen

akan menyebabkan kecacatan pada janin, sehingga tidak boleh diberikan

pada wanita yang hamil atau ebrencana untuk hamil. (Setiyohadi, 2009).

9. Kalsitonin (Setiyohadi, 2009).

Kalsitonin (CT) adalah suatu peptide yang terdiri dari 32 asam amino,

yang dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan berfungsi menghambat

resorpsi tulang oleh osteoklas. Aksi biologic ini digunakan di dalam klinik

untuk megatasi peningkatan resorpsi tulang, misalnya pada penderita

osteoporosis, penyakit paget dan hiperkalsemia akibat keganasan.

(Setiyohadi, 2009).

Sekresi CT, secara akut diatur oleh kadar kalsium didalam darah dan

secara kronik dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Kadar CT pada

bayi, akan tinggi, sedangkan pada orang tua rendah kadarnya. Pada wanita,

kadar CT ternyata juga lebih rendah daripada laki-laki. (Setiyohadi, 2009).

Efek biologik utama kalsitonin adalah sebagai penghambat osteoklas.

Dalam beberapa menit setelah aktifitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu,

kalsitonin juga mempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang

osteoblas, tetpi efek ini masih controversial. Efek lain yang penting adalah

analgesic yang kuat. Banyak hipoteis yang menerangkan mekanisme efek

analgesic kalsitonin, misalnya meningkatkan kadar βendorfin, penghamba

sintesis PGE2, merupakan fluks kalsium pada membrane neuronal,

terutama diotak memperngaruhi sstem katekolaminergik, efek anti

depresan maupun efek lokal sendiri. Kalitonin juga akan meningkatkan

ekskresi kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan menimbulkan

hipokasemia dan hipofosfatmia. Efek lain adalah efek anti inflamsi,

merangsang pnyembuhan luk dan fraktur, dan mengganggu toleransi gula.

(Setiyohadi, 2009).

Kalsitonin merupakan obat yang telah di rekomendasikan oleh FDA

untuk pengobatan penyakit-penyakit yang mengkatkan resorpsi tulng dan

hiperkalsmia yang di akibatkannya, seperti penyakit pagt, osteoporosis dan

hiperkalsemia pada keganasan. Pemberiannya secara intranasal,

nampaknya akan mempermudah penggunaan dari ada preparat injeksi

yang pertama kali di produksi. Dan di anjurkan untuk pemberian intranasal

adalah 200 U perhari. Kadar puncak didalam plasma akan terapai dalam

waktu 20-30 menit dan akan dimetaolisme dengan cepat di ginjal. Pada

sekita separuh pasien mendapatkan kalsitonin lebih dari 6 bulan, ternyata

terbentuk antibiotic yang akan mengurangi efektifitas kalsitonin.

(Setiyohadi, 2009).

10. Daftar obat osteoporosis yang ada di Indonesia

- Bisfosfonat : Risedronat, Alendronat, Ibandronat,

Zoledronat,Pamidronat, Klodronat

- Selective estrogen receptor modulators : Raloksifen

- Kalsitonin : kalsitonin

- Hormon seks : estrogen terkonjugasi alamiah,

medroksiprogresteron asetat, testosteron undecanoate, kombinasi

testosteron propiat, testosteron fenilpropionat, testosteron dekanoat.

- Strontium ranelat

- Vitamin D : kalsitrol, alfakalsidol

- Kalsium : kalsium karbonat, kalsium hidrogen fosfat

BAB III

KESIMPULAN

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan

densitas masa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang

menjadi rapuh dan mudah patah. Faktor resiko osteoporosis adalah umur, genetik,

lingkungan, hormon endogen dan penyakit kronik, dan sifat fisik tulang. Terdapat

beberapa jenis osteoporosis yang dijumpai di klinik, yaitu osteoporosis primer,

osteoporosis sekunder dan osteoporosis idiopatik .

Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, sebagaimana penyakit lain, perlu

dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan radiologi. Secara

teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas dan

atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan tetapi saat ini obat-obat yang beredar

pada umumnya bersifat anti resorpsi. Terapi non farmakologi pada osteoporosis :

edukasi dan pencegahan, latihan fisik dan nutrisi sedangkan terapi farmakologi :

bisfosfonat, selective estrogen receptor modulators, kalsitonin, hormon seks,

strontium ranelat, vitamin D, dan kalsium.

DAFTAR PUSTAKA

Cummings, SR; Bates, David; Black, DM; 2002, In JAMA Vol 288 No. 15,

Clinical Use of Bone Densitometry, American Medical Association, USA, p:

1890-2.

Davis, S; Sacdheva, A; Goeckeritz, B; Oliver, A; 2010 All About Osteoporosis:

Comprehensive Analysis, Medical College of Georgia, Georgia, p: 3.

Depkes. 2008. Kecendrungan Osteoporosis di Indonesia 6 kali lebih Tinggi

Dibanding Negeri Belanda. http://www.depkes.go.id

Dipiro, J. T., Robert L. T., Gary C. Y., Gary R. M., Barbara G. W., and L. Michael Posey. 2006. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Seventh edition. New York. Mc Graw Hill Medical.

Ebeling, PR, 2008, Osteoporosis in Men, In: New England Journal of Medicine.

Massachussets Medical Society, United Kingdom, p: 1476-79.

Faucy, Anthony S. 2010. Harrison’s Rheumatology, Second Edition. New York:

Mc Grawhill Medical. Hal. 89.

Fauci, AS; Kasper, DL; Longo, Dl; Braunwald, E; Hauser, SL; Jameson, JL;

et.al., 2008, Osteoporosis, In: Harrison’s Internal Medicine 17th Edition, The

Mcgraw-Hill Company, USA, Chapter 348.

Ferrari, S and Bianci M. Osteoporosis in Young Adult: Pathophysiology,

Diagnosis and Management. International Osteoporosis Foundation and

national Osteoporosis Foundation 2012: 2-3.

Firestein, Gary S., Budd, Ralph C., Gabriel, Sherine E., Mcinnes, Iain B., O’dell,

James R. 2013. Kelley’s Textbook of Rheumatology, Ninth Edition.

Philadelpia: Elsevier Saunder. Hal. 62-65.

Fuleihan GE, Baddoura R, Awada H, et al. Lebanese guidelines for osteoporosis

assessment and treatment. Beirut, Lebanon. 2002.

Kansra U. Osteoporosis, medical management. Journal Indian Academy of

Clinical Medicine 2002; 3(2): 128-40

Lane, Nancy E, 2005, Epidemiology, Etiology, and Diagnosis of Osteoporosis,

American Journal of Obstetric and Gynecologic, Elsevier, USA, 194: 3.

Lee, HD; Hwag, HF, Lin, MR; 2010, Quantitative Ultrasound for Identifying Low

Bone Density in Older People, American Institute of Ultrasound in Medicine,

USA, 29: 1083-1092.

Lewiecki, EM, 2010, Osteoporosis: Clinical Evaluation, Endotext, Mexico, p: 2-

14

Mezinskis, Patricia. 2002. Osteoporosis, dalam Care of Arthritis in the Older

Adult. New York: Springer Publishing Company. Hal. 87-106.

Rasjad, Chairuddin. 2010. Sistem muskuloskeletal dalam Buku Ajar Ilmu Bedah

Edisi 3. Jakarta: EGC. Hal: 1002-1003.

Reginster, JY and Nansa B, 2005, Osteoporosis: A Still Increasing Prevalence,

In: Bone Journal 38th Edition, Elsevier, USA, p: 4.

Setiyohadi, B, 2009, Osteoporosis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi

V Jilid III, Interna Publishing, Jakarta, h: 2650-2675.

Tandra, Hans, 2009, Osteoporosis Mengenal, Mengatasi, dan Mencegah Tulang

Keropos, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.