Referat Observasi Nyeri-wenny
-
Upload
wenny-fonda-l -
Category
Documents
-
view
82 -
download
2
Transcript of Referat Observasi Nyeri-wenny
BAB I
PENDAHULUAN
Rasa sakit dan nyeri merupakan kondisi dan pengalaman sensoris dan emosi tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang sedang terjadi ataupun
yang berpotensi dapat terjadi. Perasaan sakit bukanlah penyakit namun merupakan suatu
perasaan subjektif yang memberi tanda bahwa ada yang salah dalam tubuh seseorang. Setiap
orang mengartikan rasa sakit dengan cara yang berbeda-beda dan ambang batas toleransinya
juga bervariasi dari satu orang ke orang lainnya. 1
DEFINISI
Definisi nyeri menurut The Internasional Association for the Study of Pain (IASP) adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual.1
Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik).
KLASIFIKASI
Nyeri diklasifikasikan berdasarkan:
1. Waktu durasi nyeria) Nyeri akut: < 3 bulan, mandadak akibat trauma atau inflamasi, tanda respon
simpatis, penderita ansietas sedangkan keluarga suportifb) Nyeri kronik: > 3 bulan , hilang timbul atau terus-menerus, tanda respon
parasimpatis, penderita depresi sedangkan keluarga lelah.
Tabel 1: Karakteristik Nyeri Akut dan Nyeri Kronik
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronik
Pereda nyeri Sangat diinginkan Sangat diinginkan
Ketergantungan terhadap obat jarang Sering
Komponen psikologis Umumnya tidak ada Sering merupakan masalah utama
Penyebab organik sering Tidak ada
Kontribusi lingkungan dan keluarga Kecil Signifikan
Insomnia Jarang Sering
Tujuan pengobatan Kesembuhan fungsionalisasi
Depresi Jarang Sering
2. Etiologia) Nyeri nosiseptik: rangsang timbul oleh mediator nyeri, seperti pada paska
trauma-operasi dan luka bakar.b) Nyeri neuropatik: rangsang oleh kerusakan saraf atau disfungsi saraf,
seperti pada DM, herpes zoster.3. Intensitas nyeri
a) Skala visual analog score: 1-10b) Skala wajah wong Baker: Tanpa nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri
berat, tak tertahankan4. Lokasi
a) Nyeri superfisial: nyeri pada kulit, subkutan, bersifat tajam dan terlokalisirb) Nyeri somatik dalam: nyeri berasal dari otot, tendo, bersifat tumpul dan
kurang terlokalisirc) Nyeri visceral: nyeri berasal dari organ internad) Nyeri alih/referred: nyeri yang dirasakan pada area yang bukan merupakan
sumber nyerinyae) Nyeri proyeksi: misalnya pada herpes zoster, kerusakan saraf
menyebabkan nyeri yang dialihkan ke sepanjang bagian tubuh yang diinervasi oleh saraf yang rusak tersebut.
f) Nyeri phantom: persepsi nyeri yang dihubungkan dengan bagian tubuh yang hilang, seperti: amputasi ektremitas.
FISIOLOGI NYERI
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor
nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang
bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian
tubuh yaitu :
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah
ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit
(kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:
Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri dihilangkan
Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan dapat
dilokalisasi.
Reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus,
ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif
terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan
inflamasi.
Respon fisiologis terhadap nyeri
Stimulasi Simpatik (nyeri ringan, moderat, dan superficial)
Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan frekuensi napas
Peningkatan denyut jantung
Vasokonstriksi perifer, peningkatan tekanan darah
Peningkatan nilai gula darah
Diaphoresis
Peningkatan kekuatan otot
Dilatasi pupil
Penurunan motilitas gastro-intestinal
Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
Muka pucat
Penurunan denyut nadi dan tekanan darah
Nafas cepat dan irreguler
Nausea dan vomitus
Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari &
tangan
Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari
kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan
nyeri)
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yang paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang
nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut.
Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap
orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan
berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya
orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan
stimulus nyeri kecil
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang
berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda
tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu
dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Pengungkapan nyeri dapat dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah,
vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan itulah untuk mengenali pola
perilaku yang menunjukkan nyeri.
Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini masih
membutuhkan kontrol, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan
mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila mengalami episode nyeri berulang, maka
respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat
berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut
akan kemungkinan nyeri berulang.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga harus mengkaji respon nyeri pada
anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan
mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami,
karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka
takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan
dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (contoh: tidak pantas
kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya berespon terhadap nyeri
misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang
harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika
ada nyeri.
Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
bagaimana mengatasinya.
Perhatian
Tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi
persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan
nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun.
Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri
yang sama timbul, maka akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya
seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi
nyeri.
Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya
pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
NYERI INFLAMASI
Proses inflamasi ialah proses unik baik secara biokimia atau selular yang disebabkan
oleh kerusakan jaringan atau adanya benda asing. Proses inflamasi tidak hanya
menghilangkan jaringan yang rusak, tetapi juga menyembuhkannya. 1,2
Tanda-tanda utama inflamasi ialah:
Rubor ( kemerahan jaringan)
Kalor ( kehangatan jaringan)
Tumor (pembengkakan jaringan)
Dolor (nyeri jaringan)
Fungsio laesa (kehilangan fungsi jaringan)
Reseptor nyeri ialah ujung-ujung saraf bebas. Nyeri dapat memicu mual, muntah,
melalui peningkatan sirkulasi katekolamin akibat stres.
MEKANISME NYERI
Mekanisme nyeri adalah sebagai berikut rangsangan diterima oleh reseptor nyeri,
diubah dalam bentuk impuls yang di hantarkan ke pusat nyeri di korteks serebri. Setelah
di proses dipusat nyeri, impuls di kembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri.
Rangsangan yang diterima oleh reseptor nyeri dapat berasal dari berbagai faktor dan
dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Rangsangan Mekanik : Nyeri yang di sebabkan karena pengaruh mekanik seperti
tekanan, tusukan jarum,irisan pisau dan lain-lain.
2. Rangsangan Termal : Nyeri yang disebabkan karena pengaruh suhu, Rata-rata
manusia akan merasakannyeri jika menerima panas diatas 45 C, dimana mulai
pada suhu tersebut jaringan akan mengalami kerusakan
3. Rangsangan Kimia : Jaringan yang mengalami kerusakan akan membebaskan zat
yang di sebut mediator yang dapat berikatan dengan reseptor nyeri antaralain:
bradikinin, serotonin, histamin, asetilkolin danprostaglandin. Bradikinin
merupakan zat yang paling berperan dalam menimbulkan nyeri karena
kerusakan jaringan. Zat kimia lain yang berperan dalam menimbulkan nyeri
adalah asam, enzim proteolitik, Zat P dan ionK+ (ion K positif ).
Nyeri dapat timbul setelah menjalani proses: Tranduksi, Transmisi, Modulasi dan
Persepsi:
Transduksi
Rangsang nyeri (noksius) dapat berasal dari bahan kimia, seperti yang terjadi pada
proses inflamasi menimbulkan sensitasi dan mengaktifkan reseptor nyeri.
Sensitasi perifer menimbulkan keadaan yang disebut allodinia (rangsang lemah
seperti rabaan normal kini terasa nyeri) dan hiperalgesia (rangsang kuat normal
menimbulkan nyeri kini rasakan amat nyeri). Proses transduksi dihambat oleh
NSAID. 2
Transmisi
Penyaluran impuls saraf sensorik dilakukan oleh serabut A delta bermielin
dan serabut C tak bermielin sebagai neuron pertama
dilanjutkan traktus spinotalamikus sebagai neuron kedua
neuron yang menghubungkan dari talamus ke korteks serebri disebut
neuron ketiga.
Modulasi
Modulasi nyeri terjadi pada sistem saraf sentral ketika aktifasi nyeri dapat
dihambat oleh analgesia endogen seperti endorfin, sistem inhibisi sentral
serotonin dan noradrenalin, dan aktifitas serabut A beta.2
Persepsi
Persepsi merupakan hasil akhir proses interaksi yang kompleks, dimulai dari
tranduksi, transmisi, modulasi sepanjang aktifasi sensorik yang sampai pada area
primer sensorik korteks serebri yang menghasilkan suatu perasaan subjektif yang
disebut sebagai persepsi nyeri.2
Tabel 2: Zat-zat penghasil nyeri
Zat Sumber Menimbulkan nyeriEfek pada aferen primer
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Serotonin Trombosit ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histamin Sel-sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandin Asam arakidonat dan sel rusak± Sensitisasi
Lekotrien Asam arakidonat dan sel rusak± Sensitisasi
Substansi P Aferen primer ± Sensitisasi
RESPON SISTEMIK TERHADAP NYERI
Nyeri akut berhubungan dengan respons neuro-endokrin sesuai derajat nyerinya. Nyeri akan
menyebabkan peningkatan hormone katabolic (katekolamin, kortisol, glucagon, renin,
aldosteron, angiotensin, hormon antidiuretik) dan penurunan hormon anabolik (insulin,
testoteron).
Manifestasi nyeri dapat berupa hipertensi, takikardi, hiperventilasi (kebutuhan O2 dan
produksi CO2 meningkat), tonus sfingter saluran cerna dan saluran kemih meningkat (ileus,
retensi urin).
Beberapa cara menilai dan menganalisis nyeri:
Lokasi nyeri: Menunjukkan bagian yang paling terasa nyeri.
Durasi nyeri: Lamanya rasa nyeri
Jalannya rasa sakit: Apakah nyeri dan rasa sakitnya berjalan terus-menerus atau diselingi
penurunan rasa sakit.
Tingkat keparahan rasa sakit: skala nyeri
Radiasi (Pemancaran): Apakah rasa sakitnya diam di satu tempat atau juga berpindah
(tersebar) ke bagian tubuh yang lain.
Karakter: Seperti apakah rasa sakit dari nyerinya seperti rasa sakitnya menusuk,
membakar, perih sekali, tidak terlalu parah, mencengkram, mulas, menyentak atau
mengguncang.
Peningkatan nyeri: Apa yang menyebabkan rasa sakit dan apa yang membuatnya menjadi
lebih buruk.
Waktu timbulnya nyeri: Apakah ada waktu khusus saat timbulnya nyeri (misalnya setelah
makan atau setelah berolah raga, dll)
Pemulihan: Apa yang menyebabkan nyerinya membaik.
Asosiasi: Apakah ada gejala lain yang berhubungan dengan nyeri (misalnya muntah, mual,
demam, sakit kepala).2
BAB II
ISI
Tujuan pentalaksanaan nyeri:
Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri
Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis
yang persisten
Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri
Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri
Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien
untuk menjalankan aktivitas sehari-hari
Efek merugikan yang Nyeri Post Operasi:
RespirasiOperasi yang dilakukan pada abdomen bagian atas menyebabkan perubahan sistem paru yaitu: berkurangnya kapasitas vital, volume tidal, volume residu, FRC dan FEV1.Nyeri karena insisi bedah yang melibatkan perut bagian atas menyebabkan peningkatan tonus otot perut selama ekspirasi dan penurunan fungsi diafragma.Meningkatnya tonus otot juga berhubungan dengan meningkatnya konsumsi oksigen dan produksi asam laktat.
KardiovaskularNyeri menyebabkan stimulasi pada saraf simpatis dan kemudian terjadi takikardia, meningkatnya stroke volume, kerja jantung, dan konsumsi oksigen miokard. Resiko untuk terjadinya Iskemia miokard atau infark meningkat. DVT meningkat ketika aktivitas fisik berkurang, statis vena, dan agregasi trombosit.
Gastrointestinal dan Traktus urinariusDalam pembedahan, ileus menyebabkan mual dan muntah yang muncul karena beberapa alasan termasuk impuls nosiceptive yang berasal dari struktur viseral dan somatik. Nyeri dapat juga disebabkan hipomotilitas dari uretra dan vesica urinaria yang konsekuensinya susah BAK. Efek ini bisa sangat tidak menyenangkan bagi pasien, dan terutama dalam kasus ileus, dapat memperpanjang waktu dirawat di
RS.
Metabolik dan Neuroendokrin Meningkatnya tonus simpatis Stimulasi hipotalamus Meningkatnya katekolamin Terjadi seksresi hormon katabolik (cortisol, ADH, ACTH, ADH, GH,
glukagon, aldosteron, renin, angiotensin II) Menurunkan sekresi hormon anabolik (insulin, testosteron)
MANAJEMEN NYERI AKUT PADA DEWASA
Nyeri akut adalah nyeri yang mendadak dan bersifat sementara yang biasanya dapat
berlangsung beberapa hari (kurang dari 2 minggu). Biasanya nyeri akut dapat merupakan
respon awal dari adanya kerusakan jaringan tubuh. Bentuk dari nyeri akut dapat berupa
nyeri somatik luar (nyeri tajam di kulit, subkutis, mukosa), nyeri somatik dalam (nyeri
tumpul di otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat) dan nyeri viseral (nyeri karena penyakit
atau disfungsi organ dalam). Konsekuensi dari adanya kerusakan jaringan adalah
disekresikannnya zat- zat kimia bersifat analgesik (menimbulkan nyeri) yang berkumpul di
sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. zat mediator inflamasi tersebut diantaranya:
bradikinin, histamin, katekolamin, sitokinin, serotonin, proton, lekotrien, prostaglandin
substansi-p dan 5-hidroksitriptamin 3
PENILAIAN SKALA NYERI
Derajat nyeri dapat diukur dengan macam-macam cara:
Skala Pendeskripsi Verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang
terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di
sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang
tidak tertahankan”.
Skala Analog Visual (VAS, visual analoque scales).
VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi kebebasan penuh
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan
nyeri yang lebih sensitif karena dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari
pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka
Keterangan:
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan
secara obyektif dapat berkomunikasi dengan baik
4-6 : Nyeri sedang
Secara obyektif mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat
Secara obyektif terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon
terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi
10 : Nyeri sangat berat :
tidak mampu lagi
METODA PENGHILANG NYERI
Biasanya digunakan analgetik golongan opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti
inflamasi non steroid untuk nyeri sedang dan ringan. Cara yang sering digunakan untuk
menghilangkan nyeri ialah intramuscular opioid.
Metoda regional misalnya dengan epidural opioid (untuk dewasa morfin 1-6 mg,
petidin 20-60 mg, fentanil 25-100 µg) atau intraspinal opioid (untuk dewasa morfin 0,1-0,3
mg, petidin 10-30 mg, fentanil 5-25 µg).
Kadang-kadang digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi sebelum pembedahan
selesai misalnya pada sirkumsisi atau pada luka apendektomi. 1,2
Tabel 3: Obat yang dipakai untuk mengontrol rasa nyeri
Analgesic Reaksi merugikan
Nyeri ringan
Parasetamol 0,5 mg-1 g setiap 6-8 jam
Aspirin 300-900 mg setiap 4-6 jam
Bahaya bila dosis berlebihan
Erosi lambung, brokospasme (hindari pada
penderita asma)
Nyeri sedang
Dihidrokodein 30-60 mg setiap 4-6 jam
Koproksamol (dekstropropoksifen hidroklorida +
paracetamol)1-2 tablet setiap 6-8 jam
Konstipasi
Depresi SSP dan pernapasan, berbahaya bila
Kokodamol (kodein fosfat + parasetamol) 1-2
tablet setiap 6-8 jam
NSAID (misalnya ibuprofen 1,2-1,8 mg per hari
dibagi 3-4 dosis, setelah makan.
kelebihan dosis kontipasi.
Gangguan saluran cerna/perdarahan, retensi
cairan
Nyeri berat
Diamorfin 5-10 mg setiap 4-6 jam
Morfin 10-20 mg setiap 4-6 jam
Petidin 50-150 mg setiap 4-6 jam
Mual, konstipasi, depresi pernapasan, depresi
batuk, hipotensi, ketergantungan
OPIOID
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin. Opioid disebut analgetika narkotika yang digunakan pada anestesi untuk
mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Kadang-kadang
digunakan untuk anesthesia narkotik lokal pada pembedahan jantung.
MEKANISME KERJA OPIOID
Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin)
berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.
Reseptor opioid diidentifikasikan menjadi 5 golongan:
Reseptor µ:µ1, analgesia supraspinal, sedasi
µ2, analgesia spinal, depresi napas, eforia, ketergantungan fisik,
kekakuan otot
Reseptor δ (delta): analgesia spinal, epileptogen
Reseptor κ (kappa): κ-1 analgesia spinal
κ-2 tidak diketahui
κ-3 analgesia supraspinal
Reseptor σ (sigma): disforia, halusinasi, stimulasi jantung
Reseptor ε (epsilon): respon hormonal.
Opioid digolongkan menjadi :
Agonis
Mengaktifkan reseptor
Contoh: morfin, papaveretum, petidin (meperidin, Demerol), fentanil, alfentanil,
sulfentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.
Antagonis
Tidak mengaktifkan reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis
merangsang reseptor.
Contoh: nalokson, naltrekson
Agonis-antagonis
Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis
pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor
lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.
KLASIFIKASI OPIOID
Morfin
Pada premedikasi sering dikombinasikan dengan atropin dan fenotiasin. Pada
pemeliharaan anesthesia umum di kamar bedah sering digunakan sebagai tambahan
analgesia dan diberikan secara intravena.
Untuk digunakan sebagai obat utama anesthesia harus ditambahkan
benzodiazepin atau fenotiasin atau anestesi inhalasi volatile dosis rendah. Dosis
anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang 0,1-0.2 mg/kgBB.
Subkutan, intramuscular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa 1-2
mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan.
Untuk mengurangi nyeri dewasa pasca bedah atau nyeri persalinan digunakan
dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2 mg intratekal. Dan dapat diulang antara 6-12 jam.
Efek samping
Jarang dijumpai alergi morfin. Gejala seperti alergi kadang ditemukan di tempat
suntikan berupa bentol kecil dan gatal. Mual dan muntah sering dijumpai. Pruritus
sering dijumpai pada pemberian mofin secara epidural atau intratekal, tetapi pruritus
ini dapat segera dihilangkan dengan nalokson, tanpa menghilangkan efek analgesinya.
Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor
mu dan kelemahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol (tramal) dapat
diberikan secara oral, i.m atau i.v dengn dosis 50-100 mg dan dapat diulang setiap 4-6
jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari.
Petidin
Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap
3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena
iritasi. Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia
spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kgBB.
Fentanil
Dosis 1-3 µg/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu
hanya dipergunakan untuk anesthesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-150 µg/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan
anesthesia dengan kombinasi benzodiazepine dan anestetik inhalasi dosis rendah,
pada bedah jantung.
Sufentanil
Efek pulihnya lebih cepat dari fentanil. Kekuatan analgesia kira-kira 5-10 kali
fentanil. Dosisnya 0,1-0,3 mg/kgBB
Alfentanil
Mula kerjanya cepat. Dosis analgesia 10-20 µg/kgBB
ANALGETIK NON OPIOID
Acetaminophen
Acetaminophen tak punya sifat anti-inflamasi dan sifat inhibitor terhadap sintesis
prostaglandin sangat lemah, karena itu tak digolongkan sebagai NSAID. Biasanya untuk
nyeri ringan dan dikombinasikan dengan analgetik lain. Dosis oral 500-1000 mg/4-6 jam
Dosis maksimal 4000 mg/hari
Dosis toksis dapat menyebabkan nekrosis hati, karena ia dirusak oleh enzim
mikrosomal hati. Acetaminophen lebih disukai dibanding aspirin, karena efek samping
terhadap lambung dan gangguan pembekuan darah minimal. 1
ketorolac
Ketorolac menghambat sintesa prostaglandin dengan cara menghambat kerja enzym
cyclooxygenase (COX), COX-1 & COX-2 pada jalur arachidonat tidak melalui jalur opiat.
Efek pada darah menghambat proses agregasi platelet & dapat memperpanjang waktu
pendarahan. Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuscular atau intravena. Tidak
dianjurkan untuk intratekal atau epidural. Setelah suntikan intramuscular atau intravena
efek analgesinya dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja
sekitar 4-6 jam dan penggunaannya dibatasi untuk 5 hari.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. Untuk pasien
normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg dan untuk berat <50 kg, manula atau
gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60 mg.
Sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolak=12 mg morfin=
100 mg petidin, sedangkan sifat antipiretik dan anti inflamasinya rendah. Ketorolak dapat
digunakan secara bersamaan dengan opioid. 1
Asam asetil salisilat
Asam asetil salisilat (aspirin) digunakan untuk mengurangi nyeri ringan atau sedang
dan biasanya dikombinasi dengan analgetik lain untuk 3-4 hari. Aspirin lebih bersifat anti
piretik. Dosis oral tablet 250-500 mg/8-12 jam.
Ketoprofen
Ketoprofen dapat diberikan secara oral kapsul atau tablet 100-200 mg setiap hari, per
rectal 1-2 suppositoria setiap hari, suntikan intramuscular 100-300 mg per hari atau intra
vena per infus dihabiskan dalam 20 menit.
Piroksikam
Piroksikam dapat diberikan secara oral kapsul, tablet, flash, suppositoria atau ampul
10-20 mg
Tenoksikam
Tenoksikam biasanya diberikan secara suntikan intramuscular, intravena ampul 20 mg,
setiap hari yang dilanjutkan dengan oral. Hasil metabolisme dibuang lewat ginjal dan
sebagian lewat empedu.
Meloksikam
Meloksikam adalah inhibitor selektif Cox-2 dengan efektivitas sebanding diklofenak
atau piroksikam dalam mengurangi nyeri, tetapi dengan efek samping minimal. Dosis
perhari satu tablet 7,5 mg atau 15 mg.
EFEK SAMPING NSAID
Gangguan sistem saluran cerna
Lambung merasa nyeri, panas, kembung, mual-muntah, konstipasi, diare, dyspepsia,
perdarahan tukak lambung, ulserasi mukosa lambung dan perforasi.
Hipersensitivitas kulit
Ringan: gatal, pruritus, erupsi, urtikaria
Berat: sindroma Steven-Johnson, sindroma Lyell (jarang)
Gangguan fungsi ginjal
Terjadi penurunan aliran darah ginjal, penurunan laju filtrasi glomerulus, retensi
natrium, hiperkalemia, peningkatan ureum, kreatinin, prerenal azotemia, nekrosis
papil ginjal, nefritis, sindroma nefrotik.
Gangguan fungsi hepar
Peningkatan kadar SGOT, SGPT, gamma-globulin, bilirubin, ikterus hepatoseluler.
Gangguan sistem darah
Terjadi tombositopenia, leukemia, anemia aplastik
Gangguan kardiovaskular
Akibat retensi air dapat menyebabkan edema, hipertensi dan gagal jantung.
Gangguan respirasi berupa tonus otot bronkus meningkat, asma
Keamanannya belum terbukti pada wanita hamil, wanita menyusui, proses persalinan,
anak kecil dan manula. 2
A. MANAJEMEN NYERI AKUT PADA ANAK-ANAK
Bayi tidak dapat berkomunikasi melalui verbal secara menyeluruh, walaupun tingkah
laku mereka menampilkan ekspresi wajah nyeri seperti: menangis, wajah meringis, mata
menyipit, dagu bergetar. Bayi secara sempurna bergantung kepada tenaga medis untuk
mengkaji nyeri dan menginterpretasikan nyeri mereka.
Todler dan pra sekolah kurang dalam kemampuan kognitif untuk menggunakan alat
skor nyeri standard orang dewasa. Anak todler biasanya dapat mengatakan hanya pada
adanya nyeri atau tidak walaupun beberapa diantaranya mampu melokalisasikan nyeri
tersebut.
Anak usia sekolah mampu mendeskripsikan nyeri mereka. Metode pelaporan sendiri
dengan menggunakan skala tingkatan intensitas nyeri secara numerik telah terbukti
bermanfaat untuk anak usia sekolah.
PENGUKURAN SKALA NYERI
Face Pain Rating Scale
Menurut Wong dan Baker (1998) pengukuran skala nyeri untuk anak usia pra
sekolah dan sekolah, pengukuran skala nyeri menggunakan Face Pain Rating Scale
yaitu terdiri dari 6 wajah kartun mulai dari wajah yang tersenyum untuk “tidak ada
nyeri” hingga wajah yang menangis untuk “nyeri berat”.
Word Grapic Rating Scale
Menggunakan deskripsi kata untuk menggambarkan intensitas nyeri, biasanya
dipakai untuk anak 4-17 tahun.
0 1 2 3 4 5
Tidak nyeri ringan sedang cukup sangat nyeri nyeri hebat
Skala intensitas nyeri numerik
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri sedang nyeri
Nyeri hebat
Skala nyeri menurut bourbanis
PENANGANAN NYERI AKUT
Penatalaksanaan nyeri secara teoritis merupakan multidisiplin. Strategi
penatalaksanaan nyeri harus mencakup
Farmakologis
Nyeri akut dapat ditangani dengan obat opioid dan non opioid. Karena injeksi
intramuscular menyakitkan dan menakutkan bagi anak-anak. Pemberian ini harus
dicadangkan untuk keadaan tertentu saja.
Tabel 4: Obat-obat tertentu yang digunakan untuk mengendalikan nyeri akut pada
populasi pediatrik
Obat Dosis (mg/kgBB)Rute Frekuensi Alasan
Opioid
Morfin 0,3
0,1
PO
IV
Setiap 3-4 jam
Setiap 3-4 jam
Standar untuk terapi opioid,
opioid yang paling sering
digunakan pada neonatus. Tidak
direkomendasikan untuk
penggunaan parenteral, terjadi
penurunan efek analgesic dosis
yang lebih 65 mg.
Kodein 1 PO Setiap 3-4 jam
Hidromorfon 0,06 PO
IV
Setiap 3-4 jam
Setiap 3-4 jam
Dosis aspirin dan dan
asetominofen dalam produk
kombinasi harus disesuaikan
dengan berat badan.
Dicadangkan untuk penggunaan
opioid dengan reaksi cepat pada
yang menunjukkan alergi
terhadap morfin atau
hidromorfon, akumulasi
metabolit normoperidin dapat
mengakibatkan kejang.
Hidrokodon 0,015 PO Setiap 3-4 jam
Meperidin (Demerol)0,2 IV Setiap 3-4 jam
Metadon 0,75 PO Setiap 6-8 jam Dosis aspirin dan asetaminofen
dalam produk kombinasi harus
IV Setiap 3-4 jam disesuaikan dengan berat badan.
Oksikodon 0,2 PO Setiap 3-4 jam
Codein
Digunakan per oral untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang. Di metabolisme di
hepar dan sebagian di demetilasi menjadi morfin. Dosis standar 0,5 mg- 1 mg/kg setiap
4 jam. Dosis yang berlebih menyebabkan mual dan muntah.
Oxycodone
Digunakan untuk nyeri sedang dengan dosis 0,05-0,1 mg/kg setiap 4 jam dan untuk
nyeri sedang sampai berat dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg setiap 4 jam. Walaupun sering
diresepkan dalam dosis kecil, dosis oxycodon bisa dinaikkkan seperti”opioid kuat”
lainnya, karena bisa ditoleransi oleh anak-anak baik diberikan sendiri maupun bersama
dengan asetaminofen. Oxycodon dimetabolisme di hepar menjadi oxymorphone yang
aktif secara metabolic. Karena diekskresi di ginjal, oxymorphone biasa terakumulasi
pada pasien gagal ginjal. Umumnya digunakan pada pasien anak post operatif yang
akan ditransisi dari opioid parenteral ke opioid oral.
Morfin
Durasi dari morfin berhubungan dengan distribusi dari dan ke system saraf pusat,
metabolism oleh hepar, dan ekskresi metabolit aktifnya, termasuk morphine-6-
glucuronide. Morfin terutama mengalami glukuronidase di hepar menjadi morfin-3-
glukuronide yang memiliki kerja eksitatorik, dan morfin-6-glukuronide yang memiliki
kerja analgesic, sedative, dan depresi pernafasan yang mirip morfin. Karena
dieksresikan melalui ginjal, morfin bisa terakumulasi pada pasien gagal ginjal dan
memperpanjang efek sedasi dan hipoventilasi. Akumulasi dari morfin-3-glukuronide
bisa menyebabkan delirium, agitasi, dan kejang. Waktu paruh eliminasi morfin pada
anak-anak yang lebih tua dan dewasa kurang lebih 3-4 jam. Sedangkan pada neonates
kira-kira 7 jam dan pada bayi yang premature bisa lebih lama lagi. Dosis morfin dan
opioid lainnya pada anak-anak perlu dititrasi per individu tergantung pada derajat
nyeri, kondisi mental, umur, efek samping, dan berat badan.
Hidromorfon
Opioid yang digunakan untuk penanganan nyeri akut secara parenteral dan oral, infus
yang berlanjut, bolus intravena, dana analgesia epidural. Mempunyai efek positif pada
anak-anak dengan nyeri kanker dan mukositis.
Metadon
Opioid kerja panjang dengan eliminasi yang lambat dan durasi analgesia yang lama.
Waktu paruh eliminasinya bervariasi, antara 6-30 jam, mempunyai bioavailabilitas oral
yang tinggi antara 70-100%. Dosis intravena dengan interval tertentu (setiap 4, 6, atau
8 jam) mempunyai efek analgesia yang mirip infus yang terus-menerus atau bolus
intravena yang sering opioid lainnya. Dosis penanganan nyeri pasien post operatif
diberikan sliding scale tiap 4 jam, dimana setelah dosis awal, dosis untuk nyeri
ringan/tidak nyeri 0,025 mg/kg, dosis untuk nyeri sedang 0,05 mg/kg, dan dosis untuk
nyeri berat 0,075 mg/kg.
PENANGANAN EFEK SAMPING OPIOID
Nalokson
Nalokson digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir pembedahan
dengan dosis dicicil 1-2 µg/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit, sampai
ventilasi dianggap baik. Pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan per-infus
dosis 3-10 µg/kgBB.
Untuk depresi napas neonatus yang ibunya mendapat opioid berikan nalokson 10
µg/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg
diencerkan sampai 10 ml, sehingga tiap 1 ml mengandung 0,04 mg.
Naltrekson
Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat mengurangi pruritus, mual, muntah pada
analgesia epidural saat persalinan, tanpa menghilangkan efek analgesiknya.2
BAB III
KESIMPULAN
Penanganan nyeri akut memerlukan kombinasi dari terapi farmakologis dan non
farmakologis. Dimana pada terapi nonfarmakologis harus memperbaiki atau mengobati juga
kerusakan jaringan yang menimbulkan nyeri atau mengatasi juga kondisi sistemik yang dapat
menimbulkan nyeri disamping tetap memberikan terapi farmakologis untuk mengatasi rasa
nyerinya. Untuk mengatasi nyeri ringan digunakan obat anti inflamasi non steroid
(parasetamol, asam mefenamat, ibuprofen, natrium diclofenak), untuk mengatasi nyeri
sedang digunakan obat anti inflamasi non steroid dikombinasi dengan golongan opioid
(narkotika) lemah seperti kodein dan untuk mengatasi nyeri berat digunakan obat anti
inflamasi non steroid dikombinasi dengan golongan opioid kuat (morfin). Sedangkan untuk
antagonis opioid dapat digunakan naltrekson dan nalokson.