Referat Maxillofacial Dr.amru

35
BAB I PENDAHULUAN Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik. 1 Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang menyebabkan satu hingga banyak tulang wajah atah komplit atau tidak komplit. Organ yang terlibat pada fraktur tulang muka terdiri atas jaringan lunak (kulit, otot, dan jaringan ikat), tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yag tidak membatasi otak (tulang hidung, zigoma, maksila, septum nasi dan mandibula). 2 Penyebab terbanyak adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas dari sepeda motor tanpa menggunakan helm. Penyebab lain adalah trauma langsung misalnya akibat perkelahian atau kekerasan fisik, terjatuh, olahraga, kecelakaan industrial, dan luka tembak. 3 Penelitian/studi di RSCM Jakarta menunjukkan terdapat 203 kasus trauma tulang muka yang terjadi pada periode selama 18 bulan diantara tahun 2000-2001, dengan rerata 11-12 kasus tiap bulannya. Sebanyak 26,6% 1

description

-

Transcript of Referat Maxillofacial Dr.amru

Page 1: Referat Maxillofacial Dr.amru

BAB I

PENDAHULUAN

Tulang nasal, orbitozigomatikus, frontal, temporal, maksila dan mandibula

merupakan tulang-tulang pembentuk wajah, sehingga apabila terjadi fraktur pada

daerah tersebut dapat mengakibatkan suatu kelainan pada bentuk wajah yang

menyebabkan wajah tersebut tidak terlihat estetis serta terjadinya gangguan pada

proses pengunyahan makanan dan gangguan fonetik.1

Fraktur tulang muka disebabkan trauma pada muka yang menyebabkan

satu hingga banyak tulang wajah atah komplit atau tidak komplit. Organ yang

terlibat pada fraktur tulang muka terdiri atas jaringan lunak (kulit, otot, dan

jaringan ikat), tulang muka itu sendiri, yaitu tulang kepala yag tidak membatasi

otak (tulang hidung, zigoma, maksila, septum nasi dan mandibula).2

Penyebab terbanyak adalah jatuh atau kecelakaan lalu lintas dari sepeda

motor tanpa menggunakan helm. Penyebab lain adalah trauma langsung misalnya

akibat perkelahian atau kekerasan fisik, terjatuh, olahraga, kecelakaan industrial,

dan luka tembak.3

Penelitian/studi di RSCM Jakarta menunjukkan terdapat 203 kasus trauma

tulang muka yang terjadi pada periode selama 18 bulan diantara tahun 2000-2001,

dengan rerata 11-12 kasus tiap bulannya. Sebanyak 26,6% terjadi fraktur muka

dengan cedera lain. Kebanyakan traumda dengan cedera otak. Karakteristik 385

pasien fraktur tulang muka di RSCM Jakarta sejak April 2004-Maret 2006

mendapati 348 pasien pria (90,4%) dan 37 pasien perempuan (9,6%); 107 pasien

(27,8%) menderita cedera kepala sedang sampai berat; 278 pasien (72,2%)

menderita cedera kepala ringan; 90% menderita fraktur mandibula, 267 pasien

menderita fraktur midface (muka bagian tengah), 28 pasien merupakan

kombinasi; 232 (60,3%) menggunakan helm da 153 (39,7%) tanpa menggunakan

helm.2

1

Page 2: Referat Maxillofacial Dr.amru

BAB II

ISI

2.1 Definisi Fraktur Maksilofasial

Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.

Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah

yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan

mandibula.3

2.2 Etiologi

Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu

dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan

akibat olah raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari

tindakan kekerasan, tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu

lintas.4,5,6

Terjadinya kecelakaan lalu lintas ini biasanya sering terjadi pada

pengendara sepeda motor. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian tentang

keselamatan jiwa mereka pada saat mengendarai sepeda motor di jalan raya,

seperti tidak menggunakan pelindung kepala (helm), kecepatan dan rendahnya

kesadaran tentang beretika lalu lintas. Sosin, Sak dan Holmgreen (1990),

dalam studi mortalitas Pusat Nasional Statistik Kesehatan data dari 1979-

1986, menemukan bahwa 53% dari 28.749 pengendara sepeda motor yang

tidak menggunakan helm meninggal karena cidera kepala yang mereka

alami.2,7

2.3 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial

Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa

fraktur yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus

zigomatikus, fraktur dento-alveolar, fraktur mandibula dan fraktur maksila

yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.8

2

Page 3: Referat Maxillofacial Dr.amru

2.3.1 Fraktur Komplek Nasal

Tulang hidung sendiri kemungkinan dapat mengalami fraktur , tetapi

yang lebih umum adalah bahwa fraktur – fraktur itu meluas dan melibatkan

proses frontal maksila serta bagian bawah dinding medial orbital.8,9

Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum hidung. Kadang –

kadang tulang rawan septum hampir tertarik ke luar dari alurnya pada vomer

dan plat tegak lurus serta plat kribriform etmoid mungkin juga terkena

fraktur.9

Gambar 1. Fraktur Kompleks Nasal terdiri dari sebuah pertemuan beberapa

tulang: (1) tulang frontal, (2) tulang hidung, (3) tulang rahang atas, (4)

tulang lakrimal, (5) tulang ethmoid, dan (6) tulang sphenoid

Perpindahan tempat fragmen – fragmen tergantung pada arah gaya

fraktur. Gaya yang dikenakan sebelah lateral hidung akan mengakibatkan

tulang hidung dan bagian-bagian yang ada hubungannya dengan proses

frontal maksila berpindah tempat ke satu sisi. Dalam penelitian retrospektif

Sunarto Reksoprawiro tahun 2001-2005, insidensi fraktur komplek nasal

sebesar 12,66%.7,10

2.3.2 Fraktur Komplek Zigoma

Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila,

tulang dahi serta tulang temporal, dan karena tulang – tulang tersebut

3

Page 4: Referat Maxillofacial Dr.amru

biasanya terlibat bila tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat

bila injuri semacam ini disebut “fraktur kompleks zigomatik”.11

Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma

beserta suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura

zigomakotemporal, dan sutura zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau

pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi

merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa

terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik.11

Gambar 2. Pandangan frontal dari fraktur zigomatik kompleks

Gambar 3. Pandangan submentoverteks dari fraktur zigomatik kompleks.

Meskipun fraktur kompleks zigomatik sering disebut fraktur ”tripod”,

namun fraktur kompleks zigomatik merupakan empat fraktur yang

4

Page 5: Referat Maxillofacial Dr.amru

berlainan. Keempat bagian fraktur ini adalah arkus zigomatik, tepi orbita,

penopang frontozigomatik, dan penopang zigomatiko-rahang atas.11

Arkus zigomatikus bisa merupakan fraktur yang terpisah dari fraktur

zigoma kompleks. Fraktur ini terjadi karena depresi atau takikan pada arkus,

yang hanya bisa dilihat dengan menggunakan film submentoverteks dan

secara klinis berupa gangguan kosmetik pada kasus yang tidak dirawat, atau

mendapat perawatan yang kurang baik. Insidensi fraktur komplek zigoma

sendiri berbeda pada beberapa penelitian. Pada penelitian Hamad Ebrahim

Al Ahmed dan kawan-kawan insidensi fraktur komplek zigoma sebesar

7,4%. Sedangkan hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa insidensi

fraktur komplek zigoma sebesar 42% dan 7,9%.11

2.3.3 Fraktur Dentoalveolar

Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau terlepasnya

gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan dengan fraktur yang

terjadi di alveolus, dan mungkin terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau

bergabung dengan setiap bentuk fraktur lainnya.12

Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan terjadinya

injuri wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi, yang menimbulkan

fraktur dengan atau tanpa terbukanya saluran pulpa.12

Gambar 4. A. Infraksi Mahkota, B. Fraktur mahkota terbatas pada enamel

dan dentin ( fraktur mahkota sederhana ), C.Fraktur mahkota langsung

melibatkan pulpa (fraktur mahkota terkomplikasi), D. Fraktur akar

sederhana, E. Fraktur mahkota-akar terkomplikasi, F.Fraktur akar

Horizontal

5

Page 6: Referat Maxillofacial Dr.amru

Injuri fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada gigi

insisor,sehingga menyebabkan laserasi kasar pada bagian dalam bibir atas

dan kadang-kadang terjadi luka setebal bibir. Sering kali injuri semacam ini

menghantam satu gigi atau lebih, sehingga pecahan mahkota gigi atau

bahkan seluruh gigi yang terkena injuri tersebut tertanam di dalam bibir

atas.12

Pada seorang pasien yang tidak sadarkan diri pecahan gigi yang

terkena fraktur atau gigi yang terlepas sama sekali mungkin tertelan pada

saat terjadi kecelakaan, sehingga sebaiknya jika terdapat gigi atau pecahan

gigi yang hilang setelah terjadinya injuri fasial agar selalu membuat

radiograf dada pasien, terutama jika terjadi kehilangan kesadaran pada saat

terjadinya kecelakaan.12

Fraktur pada alveolus dapat terjadi dengan atau tanpa adanya

hubungan dengan injuri pada gigi-gigi. Fraktur tuberositas maksilar dan

fraktur dasar antrum relatif merupakan komplikasi yang umum terjadi pada

ilmu eksodonti. 12

Gambar 5. Cedera tulang alveolar. A. Fraktur dinding tunggal dari alveolus,

B. Fraktur dari prosesus alveolar.

6

Page 7: Referat Maxillofacial Dr.amru

Insidensi fraktur dentoalveolar sendiri juga berbeda persentasenya,

pada beberapa penelitian, dimana masing-masing penelitian sebelumnya

menunjukkan persentase sebesar 5,4%, dan 49.0%.12,13

2.3.4 Fraktur Maksila

Klasifikasi fraktur maksilofasial yang keempat adalah fraktur

maksila, yang mana fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur

Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya,

insidensi dari fraktur maksila ini masing-masing sebesar 9,2% dan 29,85%.

2.3.4.1 Fraktur Le Fort I

Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau

bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III.

Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur

transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di

atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan

pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum

bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang

terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur

transmaksilari.13

2.3.4.2 Fraktur Le Fort II

Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis

mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan

dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura.

Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang

sering terkena.13

Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas,

bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat

gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga

gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.12,,13

7

Page 8: Referat Maxillofacial Dr.amru

2.3.4.3 Fraktur Le Fort III

Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah.

Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya

yakni basis kranii. 12,,13

Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang

mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang

bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk

mengakibatkan trauma intrakranial. 12,,13

Gambar 6. Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III

2.3.5 Fraktur Mandibula

Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma

kecepatan tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat

terjadi akibat kegiatan olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan

trauma interpersonal. Di instalasi gawat darurat yang terletak di kota-kota

besar, setiap harinya fraktur mandibula merupakan kejadian yang sering

terlihat.15

Pasien kadang-kadang datang pada pagi hari setelah cedera terjadi,

dan menyadari bahwa adanya rasa sakit dan maloklusi. Pasien dengan

fraktur mandibula sering mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala

lainnya termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal. Mobilitas

segmen mandibula merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam

menentukan apakah si pasien mengalami fraktur mandibula atau tidak.

8

Page 9: Referat Maxillofacial Dr.amru

Namun, mobilitas ini bisa bervariasi dengan lokasi fraktur. Fraktur dapat

terjadi pada bagian anterior mandibula ( simpisis dan parasimpisis ),

angulus mandibula, atau di ramus atau daerah kondilar mandibula. 15

Gambar 7. Fraktur Mandibula

Kebanyakan fraktur simfisis, badan mandibula dan angulus

mandibula merupakan fraktur terbuka yang akan menggambarkan mobilitas

sewaktu dipalpasi. 15

Namun, fraktur mandibula yang sering terjadi disini adalah fraktur

kondilus yang biasanya tidak terbuka dan hanya dapat hadir sebagai

maloklusi dengan rasa sakit.13,14 Dalam beberapa penelitian sebelumnya,

dikatakan bahwa fraktur mandibula merupakan fraktur terbanyak yang

terjadi akibat kecelakaan lalu lintas pada pengendara sepeda motor, dengan

masing-masing persentase sebesar 51% dan 72,8%.7, 15

2.4 Pemeriksaaan Klinis

Pemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maksilofasial dapat

dilakukan dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra oral dan intra

oral. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografis yang dapat membantu

dalam menegakkan diagnosa dari fraktur maksilofasial.

2.4.1 Fraktur Komplek Nasal

Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks nasal dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

9

Page 10: Referat Maxillofacial Dr.amru

ekstra oral, pemeriksaan dilakukan visualisasi dan palpasi. Secara

visualisasi dapat terlihat adanya deformitas pada tulang hidung, laserasi,

epistaksis, bentuk garis hidung yang tidak normal. Sedangkan secara

palpasi dapat terlihat adanya luka robek pada daerah frontal hidung, edema,

hematom, dan tulang hidung yang bergerak dan remuk. Pada pemeriksaan

intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara

visualisasi dapat terlihat adanya deformitas yang berlanjut, deviasi pada

tulang hidung, ekhimosis dan laserasi. Sedangkan secara palpasi terdapat

bunyi yang khas pada tulang hidung. Selanjutnya pemeriksaan fraktur nasal

kompleks dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi Water, CT Scan,

Helical CT dan pemeriksaan foto roentgen dengan proyeksi dari atas

hidung.10,16

2.4.2 Fraktur Komplek Zigoma

Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks zigoma dilakukan dalam

dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara

visualisasi dapat terlihat adanya kehitaman pada sekeliling mata, mata

juling, ekhimosis, proptosis, pembengkakan kelopak mata, perdarahan

subkonjungtiva, asimetris pupil, hilangnya tonjolan prominen pada daerah

zigomatikus. Sedangkan secara palpasi terdapat edema dan kelunakan pada

tulang pipi. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara

visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya ekimosis

pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik, kemungkinan

penyumbatan oklusi didaerah molar pada sisi yang terkena injuri.

Sedangkan secara palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas di

daerah penyangga zigomatik, anestesia gusi atas. Pemeriksaan fraktur

komplek zigomatikus dilakukan dengan foto rontgen submentoverteks,

proyeksi waters dan CT scan. 11,16

10

Page 11: Referat Maxillofacial Dr.amru

2.4.3 Fraktur Dentoalveolar

Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara

visualisasi dapat terlihat adanya laserasi, edema dan ekimosisi pada daerah

bibir. Sedangkan secara palpasi terdapat pecahan gigi pada jaringan bibir.

Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan

palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya laserasi pada permukaan

lidah dan sulkus labial, avulsi dan subluksasi. Sedangkan secara palpasi

terdapat deformitas tulang, krepitus. Pemeriksaan fraktur dentoalveolar

dilakukan dengan radiograf intra-oral dan panoramik.16

2.4.4 Fraktur Maksila

Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort

III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut

berbeda.

2.4.4.1 Le Fort I

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara

visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis.

Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas.

Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi

dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior.

Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan

fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah

anterolateral.13,16

11

Page 12: Referat Maxillofacial Dr.amru

2.4.4.2 Le Fort II

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara

visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan

edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung

bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang

dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral,

pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi

dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika

dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat

bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan

dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral,

foto wajah polos dan CT scan.13,16

2.4.4.3 Le Fort III

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra

oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan

visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah

kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes

mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian

atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan

dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan

CT scan.13,16

2.4.5 Fraktur Mandibula

Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua

pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan

ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara

visualisasi terlihat adanya hematoma, pembengkakan pada bagian yang

mengalami fraktur, perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara

12

Page 13: Referat Maxillofacial Dr.amru

palpasi terdapat step deformity. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan

dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya

gigi yang satu sama lain, gangguan oklusi yang ringan hingga berat,

terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang mengalami

fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa tidak enak pada

garis fraktur serta pergeseran. Pada fraktur mandibula dilakukan

pemeriksaan foto roentgen proyeksi oklusal dan periapikal, panoramik

tomografi ( panorex ) dan helical CT.14,15,16

Gambar 8. Fraktur nasal akibat kecelakaan kendaraan bermotor

Gambar 9. Pemeriksaan dengan proyeksi waters dari fraktur kompleks

zigomatik

13

Page 14: Referat Maxillofacial Dr.amru

Gambar 10. Fraktur Dentoalveolar

Gambar 11. CT koronal menunjukkan fraktur Le Fort I (kanan) dan Le

Fort II (kiri)

Gambar 12. Tampilan Waters menunjukkan fraktur Le Fort III (panah).

14

Page 15: Referat Maxillofacial Dr.amru

Gambar 13. Radiografi Panoramik menunjukkan fraktur sudut kiri yang

meluas dan mencabut gigi molar 3. Gambar ini juga menunjukkan fraktur

simphisis kanan.

2.5 Perawatan

Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu

sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada

masing-masing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan defenitif

dilakukan, maka hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan

kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar)

yang dikenal dengan singkatan ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada

pasien, maka hal yang harus dilakukan adalah hentikanlah dulu

perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk

membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah penanganan kegawatdaruratan

tersebut dilaksanakan, maka perawatan defenitif dapat dilakukan.17,18,19

2.5.1 Fraktur Komplek Nasal

Pada fraktur komplek nasal, ada 2 cara perawatan yang dilakukan

yakni reduksi dan fiksasi. Fraktur kompleks hidung dapat direduksi

dibawah analgesia lokal, tetapi anestesia umum dengan pipa endotrakeal

lewat mulut yang memadai lebih diminati karena mungkin terjadi

perdarahan banyak. Kadang – kadang bila fraktur tidak begitu parah maka

pemasangan splin setelah reduksi tidak perlu. Pada beberapa kasus,

15

Page 16: Referat Maxillofacial Dr.amru

pendawaian langsung antar tulang pada pertemuan dahi-hidung akan

bermanfaat.20,21

2.5.2 Fraktur Komplek Zigoma

Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif.

Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies

klasik. Adapun langkah-langkah teknik Gillies yang meliputi :

a. Membuat sayatan dibelakang garis rambut temporal,

b. Mengidentifikasi fasia temporalis,

c. Menempatkan elevator di bawah fasia mendekati lengkungan dari

aspek dalam yakni dengan menggeser elevator di bidang dalam

untuk fasia, cedera pada cabang frontal dari syaraf wajah harus

dihindari. Sehingga arkus dapat kembali ke posisi anatomis yang

lebih normal.

Bila hanya arkus zigoma saja yang terkena fraktur, fragmen –

fragmen harus direduksi melalui suatu pendekatan memnurut Gillies.

Fiksasi tidak perlu dilakukan karena fasia temporalis yang melekat

sepanjang bagian atas lengkung akan melakukan imobilisasi fragmen-

fragmen secara efektif.22,23

Gambar 14. Pendekatan Gillies untuk mengurangi fraktur arkus

zigomatikus, A. Insisi temporal melalui fasia subkutan dan fasia superfisial

dibawah fasia temporal bagian dalam, B. Reduksi fraktur dengan elevator

16

Page 17: Referat Maxillofacial Dr.amru

Ketika fragmen tulang dan gigi yang bergeser masih memiliki

mukosa yang baik di sisi lingual, maka fragmen tulang dan gigi tersebut

masih dapat dilestarikan.23,24

Pergeseran dikurangi dan mukosa yang terjadi laserasi tersebut

diperbaiki jika itu diperlukan. Pengurangan dari pergeseran tersebut

bertujuan untuk menstabilkan, yakni dilakukan dengan cara mengetsa pilar

ke mahkota, baik pada gigi yang terlibat maupun pada gigi yang berdekatan

dengan batang akrilik atau bar yang cekat ,splint komposit atau splin

ortodonsi selama 4 - 6 minggu.24

Tetapi jika terdapat kominusi yang kotor, sebaiknya gigi dan tulang

yang hancur tersebut dibuang dan dilakukan penjahitan pada mukosa yang

berada diatas daerah tulang yang telah rata.24

2.5.4 Fraktur Maksila

Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi

maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari

pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi,

maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau

secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.

Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le Fort

I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan

dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan

molding digital dan splinting. Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat

dengan menggunakan arch bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan

langsung bilateral, atau pemasangan pelat pada sutura zigomatikofrontalis

dan suspensi kraniomandibular pada prosessus zigomatikus ossis

frontalis.25,26,27,28

2.5.5 Fraktur Mandibula

Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yakni cara

tertutup / konservatif dan terbuka / pembedahan. Pada teknik tertutup,

17

Page 18: Referat Maxillofacial Dr.amru

reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan jalan

menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular.39,30,31,32

Pada prosedur terbuka, bagian yang fraktur dibuka dengan

pembedahan dan segmen direduksi dan difiksasi secara langsung dengan

menggunakan kawat atau plat. Terkadang teknik terbuka dan tertutup ini

tidaklah selalu dilakukan tersendiri, tetapi juga dapat dikombinasikan. 39,30,31,32

2.6 Prognosis

Jika terapi dan operasi perbaikan utuk memulihkan bentuk dilakukan

dalam waktu 1 minggu setelah cedera/trauma maka prognosis baik. Jika

penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka penyembuhan

menjadi masalah.2

Trauma kendaraa sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh, dapat

menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga membutuhkan prosedur

bedah multiple dan membutuhkan perawatan lama. Laserasi jaringan lunak

karena bekas luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli

bedah plastik.2

2.7 Pencegahan

Perlengkapan keselamatan dengan helm (pengaman kepala) yang

melindungi sampai rahang bawah dapat untuk mencegah trauma

maxillofacial.2

18

Page 19: Referat Maxillofacial Dr.amru

BAB III

PENUTUP

Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah

yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula.

Ada banyak faktor etiologi yang menyebabkan fraktur maksilofasial itu dapat

terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah

raga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat dari tindakan

kekerasan, tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas.

Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa fraktur

yakni fraktur kompleks nasal, fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus,

fraktur dento-alveolar, fraktur mandibula dan fraktur maksila yang terdiri atas

fraktur le fort I, II, dan III.

Pemeriksaan klinis dari masing-masing fraktur maksilofasial dapat

dilakukan dalam dua pemeriksaan, yakni pemeriksaan ekstra oral dan intra oral.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiografis yang dapat membantu dalam

menegakkan diagnosa dari fraktur maksilofasial.

Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu sama

lain. Sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka hal yang pertama sekali

dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni berupa pertolongan

pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan ABC. Jika terapi

dan operasi perbaikan utuk memulihkan bentuk dilakukan dalam waktu 1 minggu

setelah cedera/trauma maka prognosis baik. Perlengkapan keselamatan dengan

helm (pengaman kepala) yang melindungi sampai rahang bawah dapat untuk

mencegah trauma maxillofacial.

19

Page 20: Referat Maxillofacial Dr.amru

DAFTAR PUSTAKA

1. Ceallaigh P O, Ekanaykaee K, Beirne C J, Patton DW. 2006. Diagnosis And Management Of Common Maxillofacial Injuries In The Emergency Department. Part 1: Advanced Trauma Life Support. Swansea. UK: Maxillofacial Department, Morriston Hospital

2. Sudjatmiko G. 2011. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. Yayasan Khasanah Kebajikan.

3. Jeet K S,Lateef M, Khan M A, Khan T. 2005. Clinical Study Of Maxillofacial Trauma In Kashmir. Department Of ENT & Head And Neck Surgery, India

4. Yadav Sk, Mandal Sk, Karn A, Sah Ak. 2012. Maxillofacial Trauma With Head Injuries At A Tertiary Care Hospital In Chitwan. Nepal: Clinical, Medico-Legal, And Critical Care Concerns. Turk J Med Sci

5. IŞIK D Et.Al. 2012. Presence Of Accompanying Head Injury In Patients WithMaxillofacial Trauma. Turkish. Turkish Journal Of Trauma & Emergency Surgery

6. Chalya PL, Mchembe M, Mabula JB, Kanumba ES, Gilyoma JS. 2011. Etiological Spectrum, Injury Characteristics And Treatment Outcome Of Maxillofacial Injuries In A Tanzanian Teaching Hospital. Tanzania: Department Of Surgery, Weill-Bugando University College Of Health Sciences

7. Kamadjaja DB , Soesanto R. 2012. Jaw Locking After Maxillofacial Trauma. Surabaya:Department Of Oral And Maxillofacial Surgery, Faculty Of Dentistry Airlangga University

8. Madrid JRP, Montealegre G, Gomez V. 2010. A new classification based on the kaban’s modification for surgical management of craniofacial microsomia.

9. Sang Hun Kim, Soo Hyang Lee, Pil Dong Cho. 2012. Analysis Of 809 Facial Bone Fractures In A Pediatric And Adolescent Population. Department Of Plastic And Reconstructive Surgery, Ilsan Paik Hospital, Inje University College Of Medicine, Goyang, Korea

10. Carvalho TBO. 2010. Six Years Of Facial Trauma Care: An Epidemiological Analysis Of 355 Cases. Braz J Otorhinolaryngol.

11. Gandi LN, Kattimani VS, Gupta VS, Chakravarthi VS, Meka SS. 2012. Prospective Blind Comparative Clinical Study Of Two Point Fixation Of

20

Page 21: Referat Maxillofacial Dr.amru

Zygomatic Complex Fracture Using Wire And Mini Plates. India. Head & Face Medicine

12. Kraft A, Et Al., 2012. Craniomaxillofacial Trauma: Synopsis Of 14,654 Cases With 35,129 Injuries In 15 Years. Austria: Department Of Cranio-Maxillofacial And Oral Surgery, Med University Innsbruck Maximilianstrasse

13. Kamulegeya A, Lakor F, Kabenge K. 2009. Oral Maxillofacial Fractures Seen At A Ugandan Tertiary Hospital: A Six-Month Prospective Study. Oral Maxillofacial Unit Of The Department Of Dentistry, Mulago Hospital, Complex Mulago Hill - Kampala, Uganda.

14. Natu SS, et al. 2012. An Epidemiological Study On Pattern And Incidence OfMandibular Fractures. Hindawi Publishing Corporation Plastic Surgery International

15. Parez R, Oeltjen JC, Thaller SR. 2011. A Review of Mandibular Angle Fractures. Craniomaxillafacial Trauma & Reconstruction

16. Lee SJ. Lee HP, Tse KM, Cheong EC, Lim SP. 2012. Computer-aided design and rapid prototyping-assisted contouring of costal cartilage graft for facial reconstructive surgery. Craniomaxillafacial Trauma Reconstruction.

17. Perry M, Dancey A, Mireskandari K, Oakley P, Davies S, Cameron M. 2004. Emergency care in facial trauma-a maxillofacial and ophthalmic perspective. J. Care Injured.

18. Tsui KL, Yau HH, Kam CW. 2002. Case Report: Life Threatening Bleeding Following Maxillofacial Injury. Hong Kong :J. Emerg. Med.

19. Krausz AA, Abu El-Naaj, Barak M. 2009. Maxillofacial Trauma Patient: Coping With The Difficult Airway. 1Department Of Oral And Maxillofacial Surgery, Rambam Health Care Campus, Haifa, Israel A

20. Peled M, Leisser Y, Ernodu, Krausz A. 2012. Treatment protocol fir high velocity/high energy gunshot injuries to the face. Craniomaxillafacial Trauma Reconstruction.

21. Anastassov GE, Payami A, Manji Z. 2011. External fixation of unstable, “flail” nasal fractures. Craniomaxillafacial Trauma Reconstruction.

22. Ogundipe OK1*, Afolabi AO1 And Adebayo O2. 2012. Maxillofacial Fractures In Owo, South Western Nigeria. A 4 Year Retrospective Review Of Pattern And Treatment Outcome. Nigeria: Dental Services Department, Federal Medical Centre

21

Page 22: Referat Maxillofacial Dr.amru

23. EHAB F. ZAYED, M.D. 2012. Five Years Experience Of Early Aesthetic Repair Of Facial Trauma. The Department Of Plastic And Reconstructive Surgery, Faculty Of Medicine, Tanta University, Egypt

24. Madsen M, Tiwana PS, Alpert B. 2011. The Use of Risdon Cables in Pediatric Maxillofacial TraumaL A Technique Revisited. Craniomaxillafacial Trauma & Reconstruction

25. Kurnar YR, Chaudhary ZC, Sharma P. 2012. Spiral intermaxillary fixation. Craniomaxillafacial Trauma Reconstruction

26. Lim TC, Rasheed ZM, Sunder G. 2012. A safe and accurate method of assessing the size of implants required in orbital floor reconstruction. Craniomaxillafacial Trauma Reconstruction

27. Dufresne C, Manson PN. 2011. Pediatric craniofacial trauma: challenging pediatric cases-craniofacial trauma. Craniomaxillafacial Trauma & Reconstruction.

28. Badran HA, Ali HM, Elbarby AS. 2012. Personal technique for primary repair of alveolar clefts. Craniomaxillafacial Trauma Reconstruction.

29. Knotts C, Workman M, Sawan K, Amm CE. 2012. A Novel Technique for Attaining Maxillomandibular Fixation in the Edentulous Mandible Fracture. Craniomaxillafacial Trauma Reconstruction.

30. Perumal C, Mohamed A, Singh A. 2012. New bone formation after ligation of the external carotid artery and resection of a large aneurismal bone cyst of the mandible with reconstruction: a case report. Craniomaxillafacial Trauma Reconstruction.

31. Sencimen M, Gulses A, Altug HA. 2012. Vertical fractures of the mandibular posterior ramus border secondary to the stress of the rigid internal fixation material. Craniomaxillafacial Trauma Reconstruction.

32. Yeo MS, Goh TLH, Nallathamby V, Cheong EC, Lim TC. 2012. Maxillary artery injury associated with subcondylar mandible fractures: a novel treatment algorithm. Craniomaxillafacial Trauma Reconstruction.

22