Referat - Komplikasi Anestesi

28
Referat Anastesi KOMPLIKASI ANASTESI Dokter Pembimbing : dr. Hayati Usman , Sp.An dr. Dhadi Ginanjar, Sp.An Disusun oleh : Indah Kusumo Wardani Puteri 1102010129 Nisrina Karima L. 1102010208

description

Komplikasi Anestesi

Transcript of Referat - Komplikasi Anestesi

Referat Anastesi

KOMPLIKASI ANASTESI

Dokter Pembimbing :

dr. Hayati Usman , Sp.An dr. Dhadi Ginanjar, Sp.An Disusun oleh :

Indah Kusumo Wardani Puteri 1102010129

Nisrina Karima L. 1102010208KEPANITERAAN KLINIK ANASTESI RSUD dr. SLAMET GARUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

2015

PENDAHULUAN

Pada dasarnya tidak ada prosedur medis yang tidak membawa resiko, sekecil apapun. Meskipun morbiditas dan mortalitas akibat anestesianya sudah sangat sedikit, potensi untuk timbulnya komplikasi tetap ada. Demikian pula komplikasi yang terjadi, belum dapat mencapai titik nol. Komplikasi yang berlangsung berhubungan dengan tindakan anestesia dapat mengenai semua organ secara garis besar, komplikasi ini berbentuk trauma primer (akibat tindakan anestesi), trauma sekunder sebagai akibat perubahan fisiologi karena tindakan anestesia, gangguan faal organ (kesalahan manajemen cairan, penggunaan obat-obat yang toksik bagi organ tertentu), atau kegagalan manajemen pernafasan.

Secara garis besar ada empat hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca anestesi, yaitu: masalah pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal (Abrorshodiq, 2009). Harus diperhatikan bahwa komplikasi anestesi yang tidak segera ditangani akan berdampak kematian bagi pasien. Beberapa komplikasi lain yang mungkin terjadi antara lain: pernapasan tidak adekuat, pneumotorakis, atelektasis, hipotensi, gagal jantung, embolisme pulmonal, pemanjangan efek sedatif premedikasi, trombosis jantung, cedera kepala, sianosis, konfulsi, mual muntah, embolisme lemak dan keracunan barbiturat (Ellis & Campbell, 1986).

Komplikasi anestesi jarang terjadi, namun dapat mengancam jiwa (Abrorshodiq,2009). Laporan umum mencatat kejadian kematian pada waktu atau segera setelah operasi di beberapa rumah sakit di Amerika rata-rata 0,2% - 0,6% dari operasi dan kematian yang disebabkan oleh anestesi 0,03% - 0,1% dari seluruh anestesi yang diberikan (Admin, 2007). Campbell (1960) menambahkan bahwa kematian yang terjadi pada waktu operasi atau segera setelah operasi dari laporan kejadian karena anestesi sangat bervariasi dari 5% sampai 50%.

KOMPLIKASI ANESTESIKecelakaan anestetik dapat dikelompokkan menjadi yang dapat dicegah dan yang tidak dapat dicegah. Berbagai contoh yang tidak dapat dicegah antara lain sindrom kematian mendadak, reaksi obat idiosinkratik fatal, atau setiap akibat buruk yang terjadi walaupun telah dilakukan penatalaksanaan yang sesuai. Namun demikian, penelitian pada kematian yang terkait-anestetik atau hampir meninggal menunjukkan bahwa sebagian besar kecelakaan tersebut dapat dicegah. Tabel 1. Kesalahan manusia umum yang menyebabkan kecelakaan anestetik yang dapat dicegah.

Putusnya sirkuit pernapasan yang tidak diketahui

Kesalahan pemberian obat

Kesalahan penatalaksanaan jalan napas

Penyalahgunaan mesin anestesia

Mesalahan penatalaksanaan cairan

Putusnya jalur intravena

Tabel 2. Malfungsi peralatan umum yang menyebabkan kecelakaan anestetik yang dapat dicegah

Sirkuit pernapasan

Alat pemantauan

Ventilator

Mesin anestesia

Laringoskop

Tabel 3. Berbagai faktor yang berkaitan dengan kesalahan manusia dan penyalahgunaan peralatan.

FaktorContoh

Persiapan yang tidak adekuatTidak dilakukan pemeriksaan mesin atau evaluasi praoperasi; tergesa-gesa dan tidak hati-hati

Pengalaman dan pelatihan yang tidak adekuatKetidakpahaman dengan teknik atau peralatan anestetik

Keterbatasan lingkunganKetidakmampuan untuk memvisualisasi lapangan pembedahan: komunikasi yang kurang dengan ahli bedah

Faktor fisik dan emosionalKelelahan: masalah pribadi.

Pencegahan

Berbagai strategi untuk mengurangi insidens komplikasi anestetik yang serius meliputi pemantauan dan teknik anestetik yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik, protokol dan standar praktik yang lebih menyeluruh, dan program penatalaksanaan risiko yang aktif. Pemantauan dan teknik anestetik yang lebih baik termasuk kontak dengan pasien yang lebih dekat, peralatan pemantauan yang lebih menyeluruh, dan mesin dan ruang kerja anestesia yang dirancang dengan lebih baik. Fakta bahwa sebagian besar kecelakaan terjadi selama fase pemeliharaan anestesiadari pada selama induksi atau emergensitermasuk kegagalan dalam kewaspadaan. Inspeksi, auskultasi, dan palpasi pada pasien memberikan informasi yang penting. Peralatan sebaiknya memberikan tambahan namun jangan menggantikan indera ahli anestesiologi sendiri. Untuk meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat, syring dan ampul obat di dalam wilayah kerja sebaiknya hanya diberikan pada mereka yang membutuhkan pada kasus terbaru dan spesifik. Obat-obat ini secara konsisten harus selalu diencerkan sampai mencapai konsentrasi yang sama untuk setiap penggunaan dan diberikan lebel dengan jelas. Sistem komputer untuk pemindaian label obat yang berkode-khusus telah dikembangkan untuk membantu mengurangi kesalahan medis.Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien (Thaib, 1989). Komplikasi segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun belakangan setelah pembedahan. Komplikasi Anastesia Umum

Dalam anestesia umum ada beberapa hal yang berpotensi menyebabkan morbiditas atau mortalitas diantaranya adalah hilangnya kemampuan pasien untuk mempertahankan sendiri kehidupannya termasuk bernafas. Komplikasi pernafan merupakan kasus morbiditas dan mortalitas intra maupun pasca bedah yang sering dilaporkan. Komplikasi pada sistem pernafasan menyangkut juga komplikasi jalan nafas. Sebagian besar ini akibat kegagalan manajemen jalan nafas. Kegagalan manjemen jalan nafas bahkan dapat fatal sebelum tindakan bedah dilakukan. Diantaranya disebabkan false route intubation, atau intubasi esophageal.

Komplikasi lain adalah regurgitasi isi lambung yang menyebabkan pneumonia aspirasi. Hal ini biasanya terjadi pada pasien yang tidak puasa atau yang terganggu pengosongan lambungnya.Beberapa tindakan anestesi menyebabkan stimulus nyeri yang dapat berbahaya jika tidak diantisipasi. Peningkatan tonus simpatis akibat nyeri dapat menyebabkan hipertensi bahkan cerebrovaskuler accident, terutama pada pasien yang sudah menderita hipertensi pra bedah. Nyeri juga faktor penyebab yang signifikan untuk spasme koroner, krisis hipertensi pulmonal, atau hipercyanotic spell. Aktivitas simpatis juga dapat mencetuskan aritmia jantung, apalagi jika sebelumnya sudah ada ketidakseimbangan elektrolit.

Ketidakcermatan dalam manjemen cairan intraoperatif juga dapat fatal, seringkali tanpa disadari. Hipovolemia yang berat hingga menyebabkan hipotensi cukup mudah dideteksi akan tetapi hipovolemia yang terjadi perlahan, seringkali lolos dari perhatian, apalagi jika ahli anestesiologi hanya mengandalkan normalnya tekanan darah. Penyebab komplikasi sistem respirasi adalah multifaktorial. Resiko ini meningkat pada pasien geriatri, pasien dengan kebiasaan merokok, lamanya anestesia berlangsung, jenis operasi, keadaan umum yang buruk, dan tentu saja pasi en dengan adanya penyakit paru atau kesulitan jalan nafas sebelum operasi.

Komplikasi Jalan Nafas

Hampir semua komplikasi jalan nafas berupa trauma, ketika melakukan ventilasi dengan sungkup atau bag, jika tidak cermat lidah pasien dapat tergigit. Oleh karena itu sekarang dianjurkan menggunakan sungkup muka yang bewarna transparan karena selain dapat melihat lidah yang tergigit juga dapat melihat jika pasien muntah.Trauma jalan nafas (atas) dapat terjadi jika memasukkan alat bantu, misalnya pipa orofaring (guedel) atau pipa nasofaringeal. Trauma jalan nafas yang paling sering terjadi berhubungan dengan tindakan laringoskopi dan intubasi. Mulai yang ringan (gigi tanggal, laserasi sudut mulut) hingga cedera glotis dan jaringan lunak sekitarnya. Pada tindakan laringoskopi bahkan dapat terjadi dislokasi dan subluksasi aritenoid.Laringoskopi semakin traumatis jika pasien memang memiliki anatomi yang sulit. Namun demikian, pasien dengan anatomi normalpun dapat mengalami ini. Oleh karena itu, gindakan laringoskopi barus dilakukan sehalus mungkin, sesingkat mungkin. Harus dipastikan juga analgesia (sistemik atau topikal) bekerja adekuat.Intubasi dengan pipa endotracheal (endotracheal tube atau ETT) serig menyebabkan trauma dan kerusakan struktur jalan nafas atas. Terutama jika intubasi dilakukan dalam keadaan pasien tetap bernafas spontan, ETT dapat mencederai pita suara atau menyebabkan laringospasme. Penggunaan balon (cuff) ETT juga dapat meninbulkan trauma terutama jika ukuran ETT sangat ketat di trakea atau balon dikembangkan terlalu besar. Pada kasus yang berat bahkan dapt menyebabkan kelumpuhan pita suara akibat tekanan pada saraf laringeus reccurens. Pasca bedah, setelah ekstubasi terkadang baru disadari ada pembengkakan di jalan nafas. Edema laring atau laringospasme pasca ekstubasi dapat menjadi masalah besar karena dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Edema laring dapat diatasi dengan pemberian O2 yang dilembabkan, epinefrin, posisi kepala diangkat, bila perlu dilakukan intubasi ulang dengan pipa endotracheal yang lebih kecil. Meskipun kontroversial, seringkali diberikan steroid parenteral untuk mengurangi edema ini. Laringospasme dapat diatasi dengan pemberian O2 tinggi melalui tekanan positif. Pada kasus yang berat dapat diberikan pelumpuh otot.Keberadaan ETT di trakea juga dapat merupakan iritan bagi pasien-pasien yang sensitif. Pasien dengan hiperaktivitas bronkus atau asma bronkhial mudah terpicu serangan oleh karena ETT ini. Jika ETT terlalu dalam dan masuk ke salah satu bronkus pun, serangan asma dapat terjadi. Untuk pada kasus yang berat bahkan menyebabkan atelektasis satu paru.Pembesaran lambung dapat mendorong diafragma ke sefalat, mengganggu ventilasi. Pernah terjadi kasus henti jantung akibat hiperkapnia karena kebocoran sungkup laring ini. Oleh karena itu, sangat penting menggunakan kapnografi, melakukan pemeriksaan berkala pada pasien dan sesekali membantu pernafasan secara mekanik, meski pasien bernafas spontan.CEDERA JALAN NAPAS

Pemasukan selang endotrakeal sehari-hari, jalan napas masker laring, jalan napas oral/nasal, selang gastrik, probe ekokardiogram transesofageal (transesofageal echocardiogram, TEE), dilator esofageal (boogie), dan jalan napas darurat semuanya melibatkan risiko kerusakan struktur jalan napas. Cedera jalan napas permanen yang paling umum adalah trauma gigi. Pada kebanyakan kasus, laringoskopi dan intubasi endotrakeal terlibat, dan gigi seri atas adalah yang paling sering terkena cedera.Faktor risiko utama untuk trauma gigi termasuk intubasi trakeal, gigi geligi yang kurang baik sebelumnya, dan karakteristik pasien yang berkaitan dengan penatalaksanaan jalan napas sulit (termasuk pergerakan leher yang terbatas, pembedahan kepala dan leher sebelumnya, kelainan kraniofasial, dan riwayat intubasi sulit).Secara umum, yang paling tidak serius adalah cedera sendi temporomandibular (temporomandibular joints, TMJ), yang semuanya berkaitan selain dengan intubasi yang tidak dipersulit dan terjadi sebagian besar pada wanita yang lebih muda dari 60 tahun. Cedera laringeal terutama melibatkan paralisis pita suara, granuloma, dan dislokasi aritenoid. Sebagian besar cedera trakeal berkaitan dengan trakeotomi pembedahan darurat, namun beberapa berkaitan dengan intubasi endotrakeal. Meminimalkan risiko cedera jalan napas dumulai pada penilaian praoperasiDokumentasi gigi geligi terakhir (termasuk kerja gigi) harus dimasukkanKomplikasi Sistem Pernafasan

Komplikasi yang dapat fatal dalam waktu singkat adalah hipoksemia berat. Hipoksemia berat dapat diakibatkan kegagalan menagemen jalan nafas, baik karena anatomi sulit, false route, obstruksi, atau kesalahan pengaturan ventilasi atau oksigen. Hipoksemia juga dapat terjadi karena hal-hal yang sepele seperti diskoneksi ETT dengan sumber gas, bocornya sirkuit nafas, fraksi O2 yang rendah atau pengaturan ventilasi semenit yang kurang dari seharusnya. Obstruksi jalan nafas dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya adalah tertekuknya pipa endotrakeal atau tersumbatnya pipa endotrakeal oleh mukus, darah, benda asing atau pelumas. Pipa endokrakeal non kinkin dapat mencegah terjadinya pipa yang tertekuk, oleh karena itu penggunaannya dianjurkan pada pasien yang lama, operasi mulut, atau operasi yang memerlukan posisi khusus. Balon pipa endotracheal yang dikembangkan secara berlebihan juga dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Balon ini dapat menekan ujung pipa pada dinding trakea, yang kemudian akan menyumbatnya.Komplikasi Sistem Kardiovaskular

Berbagai komplikasi kardiovaskular sangat mudah terjadi selama anastesi umum. selain peningkatan aktivitas simpatis, aktivitas parasimpatispun dapat terjadi. umumnya peningkatan tonus para simpatis ini berbentuk refleks vagal. Bradikardi adalah efek dari tonus vagal yang meningkat, biasanya di picu oleh stimulus nyeri pada anastesia yang kurang dalam.Perubahan irama jantung juga dapat terjadi, salah satunya adalah aritmia intraoperatif, sebagian disebabkan karena peningkatan aktivitas simpatis, kemungkinan lain karena adanya ketidakseimbangan elektrolit, semua abnormalitas kadar elektrolit berpotensi menyebabkan aritmia.Sebagian besar obat anestetik bersifat vasodilator dengan gradasi berbeda-beda, yang dapat menyebabkan hipotensi. Semakin dalam anestesia, semakin rendah pula tekanan darah. Jika pasien dalam kondisi hipovolemia tentu hipotensi lebih mudah terjadi dan dapat berat. Dalam operasi emergensi (misalnya untuk bleeding source control) dan menghadapi pasien yang dalam kondisi syok hipovolemia, selain harus diusahakan resusitasi cairan secepatnya juga harus dipilih obat anestesi yang tidak terlalu mendepresi sistem kardiovaskular. Pada pasien dengan penyakit jantung coroner (coronary artery disease, CAD), kondisi syok hipovolemia sangat mudah menyebabkan infark miokard akut yang fatal. keadaan hipotensi - hipovolemi (menurunkan suplai oksigen ke miokard) dan takikardi sebagai kompensasi hipovolemia (meningkatkan oksigen demand miokard) adalah kombinasi terburuk CAD. Iskemia dan infark miokardakut juga dapat terjadi setelah hipoksia berulang akibat intubasi yang sulit, obstruksi jalan nafas, atau manajemen ventilasi-oksigen yang adekuat.Satu komplikasi kardiovaskular yang mungkin kurang mendapat perhatian adalah hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal adalah kelainan pada tekanan darah di sirkulasi pulmonal. Dalam kondisi istirahat (termasuk dalam anestesia) tekanan arteri pulmonalis normal adalah 25 mmHg atau kira-kira seperemlat tekanan darah sistemik. Tekanan ini dapat tiba-tiba melonjak melampaui batas normal, biasanya vatal dalam hitungan menit. Tekanan arteri pulmonalis akan diteruskan dan menjadi beban jantung kanan, sedangkan jantung kanan tidak di kondisikan untuk melawan tekanan yang tinggi, akibatnya dapat menjadi sudden death.

Komplikasi Neurologi

Trauma pada medula spnalis atau saraf yang keluar dari medula spinalis dapat terjadi. cedera vetebra servikalis akibat usaha laringoskopi dan intubasi yang sulit merupakan penyebab tersering. Komplikasi lain adalah cerebrovaskuler accident akibat hipertensi yang tidak terkendali yang dipacu stimulus nyeri karena ini adalah akibat naiknya tonus simpatis, maka secara teoritis semua hal yang meningkatkan tonus simpatis juga dapat memicu komplikasi ini. Oleh karena itu, menjaga oksigenasi dan ventilasi tetap direntang normal serta menjaga kecukupan cairan ekstravaskuler tidak kalah penting dengan menjamin analgesia yang adekuat.Cedera saraf perifer yang paling umum adalah neuropati ulnar. Yang menarik, gejala-gejala awal sebagian besar seringkali terlihat lebih dari 24 jam setelah prosedur pembedahan dan mungkin telah terjadi saat pasien yang berada pada bangsal rumah sakit sedang tertidur. Berbagai faktor risiko meliputi jenis kelamin laki-laki, lama inap di rumah sakit lebih dari 14 hari, dan habitus tubuh yang sangat kurus atau obesitas.Cedera saraf perifer lainnya tampaknya lebih berhubungan dekat dengan pengaturan posisi atau prosedur pembedahan. Cedera ini mencakup saraf peroneus, pleksus brakialis, atau saraf femoralis dan skiatika. Penekanan eksternal pada saraf dapat membahayakan perfusinya, merusak integritas selularnya, dan pada akhirnya menimbulkan edema, iskemia, dan nekrosis. Komplikasi yang Berkaitan dengan Posisi

Perubahan posisi tubuh memiliki konsekuensi fisiologi yang dapat diperberat dengan adanya penyakit. Anestesia umum dan regional dapat membatasi respons kardiovaskular terhadap perubahan tersebut. Bahkan posisi yang aman untuk periode singkat ternyata dapat menyebabkan komplikasi pada orang yang tidak mampu bergerak untuk merespons terhadap nyeri. Sebagai contoh, pasien alkoholik yang pingsan pada lantai yang keras dapat terbangun dengan cedera pleksus brakialis. Begitu juga, anestesia regional dan umum menghilangkan refleks-refleks protektif dan mempredisposisikan pasien pada cedera.

Hipotensi postural, suatu konsekuensi fisiologis yang paling umum dari posisi, dapat diminimalkan dengan menghindari perubahan posisi yang tiba-tiba (misal, duduk dengan cepat), mengembalikan posisi jika terdapat perubahan tanda vital, menjaga pasien sehidrasi mungin, dan memberikan obat-obat untuk melawan reaksi yang diantisipasi

Tabel 4. Berbagai efek fisiologis dari posisi umum pasien.

PosisiSistem OrganEfek

Supine

Horizontal1JantungEkualisasi tekanan di seluruh sistem arterial; meningkatnya pengisian sisi kanan dan curah jantung; menurunnya denyut jantung dan resistansi vaskular perifer.

Pernapasan Gravitasi meningkatkan perfusi pada segmen paru yang tertekan (posterior); visera abdomen menggeser diafragma ke arah sefalad. Ventilasi spontan lebih terjadi pada segmen paru yang tertekan, sementara ventilasi terkontrol lebih terjadi pada segmen yang bebas (anterior). Kapasitas residual fungsional menurun dan dapat turun di bawah volume penutupan pada pasien yang lebih tua.

TrendelenburgJantungAktivasi beroreseptor, secara umum menyebabkan penurunan curah jantung, resistansi vaskular perifer, denyut jantung, dan tekanan darah.

PernapasanPenurunan yang nyata pada kapsitas paru akibat pergeseran visera abdomen; meningkatnya ketidaksesuaian ventilasi/perfusi dan ateletaksis; meningkatnya kecenderungan regurgitasi.

LainnyaPeningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah serebral akibat kongesti vena serebral; meningkatnya tekanan intraokular pada pasien dengan glaukoma.

Trendelenburg terbalikJantungPreload, curah jantung, dan tekanan arterial menurun. Barorefleks meningkatkan tonus simpatis, denyut jantung, dan resistansi vaskular perifer.

PernapasanPernapasan spontan membutuhkan kerja yang lebih sedikit; kapasitas residual fungsional meningkat.

LainnyaTekanan perfusi serebral dan aliran darah mungkin menurun.

Litotomi JantungAutotransfusi dari pembuluh darah kaki meningkatkan volume darah yang bersirkulasi dan preload; menurunkan kaki memiliki efek yang sebaliknya. Efek pada tekanan darah dan curah jantung bergantung pada status volume.

PernapasanPenurunan kapasitas vital; peningkatan kecenderungan aspirasi.

Prone JantungPengumpulan darah pada ekstremitas dan kompresi pada otot-otot abdomen dapat menurunkan preload, curah jantung, dan tekanan darah.2

Pernapasan Kompresi pada abdomen dan toraks menurunkan kompliansi paru total dan meningkatkan kerja pernapasan.

LainnyaRotasi kepala ekstrim dapat menurunkan drainase vena serebral dan aliran darah serebral.

Dekubitus lateralJantung Curah jantung tidak berubah kecuali aliran balik vena tersumbat (misal, henti ginjal). Tekanan darah arterial dapat turun sebagai akibat penurunan resistansi vaskular (sisi kanan > sisi kiri).

Pernapasan menurunnya volume pada paru yang tertekan; meningkatnya ventilasi pada paru yang tertekan pada pasien sadar (tidak ada ketidaksesuaian V/Q); menurunnya ventilasi pada paru yang tertekan pada pasien yang teranestesi (ketidaksesuaian V/Q). Penurunan lebih lanjut pada ventilasi paru yang tertekan dengan paralisis dan suatu dada yang terbuka (lihat Bab 24).

Duduk JantungPengumpulan darah pada tubuh bagian bawah menurunkan volume darah sentral. Curah jantung dan tekanan darah arterial turun walaupun terdapat peningkatan pada denyut jantung dan resistansi vaskular sistemik.

PernapasanVolume paru dan kapasitas residual fungsional meningkat; kerja pernapasan meningkat.

LainnyaAliran darah serebral menurun.

1Efek pada posisi horizontal merupakan perbandingan dengan pasien pada posisi tegak lurus. Semua posisi lainnya dibandingkan dengan posisi horizontal.

2Perubahan yang berkaitan dengan posisi prone diperberat oleh kerangka pelana konveks yang digunakan pada pembedahan spinal posterior dan diminimalisasi oleh posisi prone jackknife.Tabel 5. Berbagai komplikasi yang berkaitan dengan posisi pasien.

KomplikasiPosisiPencegahan

Embolisme udaraDuduk, prone, Trendelenburg terbalikMempertahankan tekanan vena di atas 0 pada luka (lihat Bab 26).

alopesiaSupine, litotomi, TrendelenburgNormotensi, pemakaian alas, dan pemutaran kepala yang jarang.

Sakit punggungSemua Penunjang lumbar, pemakaian alas, dan sedikit fleksi pinggul.

Sindrom kompartemenKhususnya litotomiMempertahankan tekanan perfusi dan menghindari kompresi eksternal.

Abrasi kornealKhususnya proneMenutup dan/atau melubrikasikan mata

Amputasi jariSemua Periksa jari yang menonjol sebelum mengubah konfigurasi meja.

Kelumpuhan saraf

Pleksus brakialis

Peroneal komunis

Radialis

Ulnaris

Iskemia retinal

Nekrosis kulitSemua

Litotomi, dekubitus lateral

Semua

Semua

Prone, duduk

Semua Hindari penarikan atau kompresi langsung pada leher atau aksila

Alas pada aspek lateral dari fibula atas.

Hindari kompresi pada humerus lateral.

Pemakaian alas pada siku, supinasi lengan atas.

Hindari penekanan pada bola mata.

Pemakaian alas pada penonjolan tulang

Komplikasi Organ Sistem Lain

Anestesia umum juga dapat mengganggu fungsi beberapa organ vital seperti hati dan ginjal. Hal ini terutama jika digunakan obat-obatan yang bersifat hepato/nefrotoksik atau terjadi gangguan perfusi selama anestesia. Salah satu obat anestesia yang terkenal dengan sifat hepatotoksiknya adalah gas volatil halotan.

Manajemen cairan intraoperatif yang tidak tepat juga dapat menyebabkan masal. Selain hipovolemi, hipervolemi dapat membawa komplikasi edema interstisial, terutama jika digunakan terlalu banyak cairan kristaloid. Pada pasien dengan keterbatasan fungsi pompa jantung, hipervolemia mudah mengakibatkan gagal jantung kongestif. Edema pulmonum intraoperatif hanya salah satu gejalanya.

Komplikasi terbanyak pasca-anetesia, terutama jika menggunakan anastetika inhalasi adalah mual muntah pasca bedah (post operative nausea and vomitus, PONV).

Selain itu, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah:

Awareness

Saat intraoperatif secara tidak diinginkan pasien menjadi sadar, pasien dapat menunjukkan gejala mulai dari kecemasan ringan sampai gangguan stres pasca trauma (misalnya, gangguan tidur, mimpi buruk, dan kesulitan bersosialisasi).Kembalinya kesadaran secara tiba-tiba bisa disebabkan karena berkurangnya kedalaman anestesi karena pasien dapat mentoleransinya, anestesi inhalasi yang inadekuat, dan medication errors. Untuk mencegah hal tersebut pasien dapat diberikan volatile anestesi dengan level yang konsisten sehingga menyebabkan efek amnesia atau berikan benzodiazepine.

Eye Injury

Dapat terjadi mulai dari simple cornea abrasion sampai dengan kebutaan. Namun, yang paling sering terjadi adalah simple cornea abrasion. Penyebabnya masih sulit diidentifikasi, tapi jarang bersifat permanen. Untuk mencegah hal ini terjadi pada saat pasien tidak sadar tutup kelopak matanya dengan tape (terutama pada pasien yang diintubasi), serta mencegah adanya kontak langsung antara oxygen mask dengan mata.

Akhir-akhir ini, cedera mata yang membahayakan disebut neuropati optik iskemik (ischemic optic neuropathy, ION) telah diketahui. Sindrom ini berasal dari infark saraf optik akibat menurunnya penyaluran oksigen melalui satu atau lebih arteriol kecil yang memasok kepala saraf. Banyak dari laporan, kasus ini melibatkan hipertensi yang telah ada sebelumnya, diabetes, penyakit arteri koroner, dan merokok, menunjukkan bahwa kelainan vaskular praoperasi mungkin memiliki peran.

Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi (1) meningkatkan aliran keluar vena dengan memposisikan pasien dengan kepala di atas dan meminialkan konstriksi abdomen, (2) memantau tekanan darah secara hati-hati dengan jalur arterial, (3) membatasi derajat dan durasi hipotensi selama hipotensi terkontrol (disengaja), (4) memberikan transfusi pada pasien anemik yang tampaknya memiliki risiko ION dengan cukup dini untuk menghindari anemia berat, dan (5) mendiskusikan dengan ahli bedah mengenai kemungkinan operasi bertahap pada pasien risiko tinggi untuk membatasi prosedur yang terlalu lama.Reaksi Alergi

Reaksi hipersensitivitas (alergi) merupakan respons imunologis yang berlebihan terhadap stimulasi antigenik pada orang yang telah tersensitisasi sebelumnya. Pasien dapat terpapar terhadap antigen melalui hidung, paru, mata, kulit, dan saluran gastrointestinal, dan juga secara parenteral (intravena atau intramuskular) dan secara transperitoneal. Kelas-kelas tertentu dari monosit/makrofag memproses antigen dan memaparkannya pada protein permukaan membran sel mereka terhadap limfosit T helper CD4+. Hal ini dapat menginduksi suatu hipersensitivitas TH1 yang tertunda, hipersensitivitas segera TH2, atau respons anergik (tidak ada) TH0.

Bergantung pada antigen dan komponen sistem imun yang terlibat, reaksi hipersensitivitas secara klasik dibagi menjadi empat tipe (Tabel 6). Reaksi tipe I melibatkan antigen yang mengikat antibodi imunoglobulin (Ig) E yang memicu pelepasan mediator inflamasi dari sel-sel mast. Pada reaksi tipe I, antibodi IgG terikat komplemen (ikatan C1) berikatan dengan antigen pada permukaan sel, mengaktifkan jalur komplemen klasik dan melisiskan sel. Contoh-contoh reaksi tipe II meliputi reaksi transfusi hemolitik dan trombositopenia yang diinduksi-heparin. Reaksi tipe III terjadi ketika kompleks imun antigen-antibodi (IgG atau IgM) tersimpan di dalam jaringan, mengaktivasi komplemen dan membangun faktor-faktor kemotaktik yang menangkap neutrofil ke area tersebut. Neutrofil yang teraktivasi menyebabkan cedera jaringan dengan melepaskan enzim liposomal dan produk-produk toksik. Reaksi tipe III melibatkan reaksi kesakitan serum (serum sickness) dan pneumonitis hipersensitivitas akut. Reaksi tipe IV, sering disebut sebagai hipersensitivitas yang tertunda, dimediasi oleh limfosit T CD4+ yang telah tersensitisasi terhadap antigen spesifik oleh paparan sebelumnya. Respons TH1 sebelumnya menyebabkan ekspresi protein reseptor sel T yang spesifik untuk antigen. Paparan ulang terhadap antigen menyebabkan limfosit-limfosit ini menghasilkan limfokin-limfokininterleukin (IL), interferon (IFN), dan faktor nekrosis tumor- (TNF- )yang menangkap dan mengaktifkan sel-sel mononuklear inflamasi selama 48-72 jam. Produksi IL-1 dan IL-6 oleh sel-sel pemproses antigen memperkuat ekspresi klonal dari sel-sel T yang tersensitisasi yang spesifik dan menangkap tipe sel T lainnya. Sekresi IL-2 mengubah sel T sitotoksik CD8+ menjadi sel-sel pembunuh (killer); IL-4 dan IFN- menyebabkan makrofag menjalani transformasi epiteloid, seringkali menyebabkan granuloma. Berbagai contoh reaksi tipe IV adalah yang berkaitan dengan tuberkulosis, histoplasmosis, skistosomiasis, dan pneumonitis hipersensitivitas dan juga beberapa gangguan autoimun seperti artritis reumatoid dan granulomatosis Wagener.

Tabel 6. Reaksi hipersensitivitas.

Tipe I (segera)

Atopi

Urtikariaangioedema

Anafilaksis

Tipe II (sitotoksik)

Reaksi transfusi hemolitik

Anemia hemolitik otoimun

Trombositopenia diinduksi-heparin

Tipe III (kompleks imun)

Reaksi Arthus

Serum sickness

Pneumonitis hipersensitivitas akut

Tipe IV (tertunda, dimediasi-sel)

Dermatitis kontak

Hipersensitivitas tipe-tuberkulin

Pneumonitis hipersensitivitas kronik

Reaksi Anafilaksis merupakan respons berlebihan terhadap alergen (misal, antibiotik) yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Sindrom ini tampak dalam beberapa menit setelah paparan terhadap antigen tertentu pada orang yang telah tersensitisasi dan secara khas timbul sebagai distres pernapasan akut, syok sirkulasi, atau keduanya. Kematian biasanya terjadi akibat asfiksia atau syok sirkulasi yang ireversibel. Insidens reaksi anafilaksis selama anestesia diperkirakan sebesar 1:5000 sampai 1:25.000 anestetik. Antibiotik merupakan penyebab reaksi anafilaktik yang paling umum, namun lateks juga menjadi penyebab yang semakin penting.

Mediator yang paling penting dari anafilaksis adalah histamin, leukotrien, BK-A, dan faktor pengaktivasi platelet. Mediator-mediator ini meningkatkan permeabilitas vaskular dan mengontraksi otot polos. Aktivasi reseptor-H1 mengontraksi otot polos bronkial, sementara aktivasi reseptor H2 menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan sekresi mukus, takikardia, dan meningkatkan kontraktilitas miokardial. BK-A memecah bradikinin dari kininogen; bradikinin meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi dan mengontraksi otot polos. Aktivasi faktor Hageman dapat menginisiasi koagulasi intravaskular pada beberapa pasien. ECF-A, NCF, dan leukotrien B4 menangkap sel-sel inflamasi yang memediasi cedera jaringan tambahan. Angioedema pada faring, laring, dan trakea, menghasilkan obstruksi jalan napas bagian bawah. Histamin lebih cenderung mengonstriksi jalan napas yang lebih besar, sementara leukotrien terutama mempengaruhi jalan napas perifer yang lebih kecil. Transudasi cairan ke dalam kulit (angioedema) dan visera menghasilkan hipovolemia dan syok, sementara vasodilatasi arteriolar menurunkan resistansi vaskular sistemik. Hipoperfusi koroner dan hipoksemia mencetuskan aritmia dan iskemia miokardial. Mediator leukotrien dan prostaglandin juga dapat menyebabkan vasospasme koroner. Syor sirkulasi yang memanjang menghasilkan asidosis laktat dan kerusakan iskemik terhadap organ vital lainnya. Tabel 7 merangkum manifestasi yang penting dari reaksi anafilaktik. Penting untuk mencatat bahwa manifestasi kardiovaskular dan kutaneus merupakan gambaran yang lebih umum dari anafilaksis dibandingkan bronkospasme selama anestesia.

Reaksi anafilaktoid menyerupai anafilaksis namun tidak bergantung pada interaksi antibodi IgE dengan antigen. Suatu obat dapat secara langsung melepaskan histamin dari sel mast (misal, urtikaria setelah dosis tinggi morfin sulfat) atau mengaktivasi komplemen. Walaupun mekanismenya berbeda, reaksi anafilaktik dan anafilaktoid secara klinis tidak dapar dibedakan dan sma-sama mengancam nyawa. Tabel 8 menyebutkan penyebab umum dari reaksi anafilaktik dan anafilaktoid. Insidens reaksi anafilaksis dan anafilaktoid di bawah anestesia diperkirakan antara 1 dalam 3500 sampai 1 dalam 13.000.

Berbagai faktor yang dapat mempredisposisikan pasien terhadap reaksi-reaksi ini adalah usia muda, kehamilan, atopi yang telah diketahui, dan paparan obat sebelumnya. Tabel 7. Manifestasi klinis dari anafilaksis.

Sistem organTanda dan Gejala

Kardiovaskular Hipotensi,1 takikardia, aritmia

Pulmonar Bronkospasme,1 batuk, dispnea, edema pulmonar, edema laringeal, hipoksia

dermatologisUrtikaria,1 edema wajah, pruritus

1Tanda-tanda kunci selama anestesia umum.

Reaksi Alergi terhadap Obat AnestetikAnafilaksis akibat obat anestetik sebenarnya jarang terjadi; reaksi anafilaktoid jauh lebih umum. Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan hipersensitivitas terhadap anestetik meliputi jenis kelamin wanita, riwayat atopik, alergi yang telah ada sebelumnya, dan paparan anestetik sebelumnya. Relaksan otot merupakan penyebab anafilaksis yang paling umum selama anestesia dengan perkiraan insidens 1 dalam 6500 pasien. Relaksan otot merupakan hampir 70% reaksi anafilaktik selama periode perioperasi. Walaupun lebih jarang, obat-obat hipnotik juga dapat bertanggung jawab untuk beberapa reaksi alergi. Insidens anafilaksis untuk tiopental dan propofol berturut-turut adalah 1 dalam 30.000 dan 1 dalam 60.000. Reaksi alergi terhadap ketomidat, ketamin, dan benzodiazepin sangatlah jarang. Reaksi anafilaktik sebenarnya akibat opioid jauh lebih jarang dibandingkan pelepasan histamin nonimun. Begitu juga, reaksi anafilaktik terhadap anestetik lokal jauh lebih jarang dibandingkan reaksi vasovagal, reaksi toksik, dan efek samping dari epinefrin. Tidak terdapat laporan mengenai anafilaksis terhadap anestetik volatil.DAFTAR PUSTAKA

Ratna F. Soenarto dan Susilo Chandra. Komplikasi Anestesiologi dalam Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI. 2012: 207-218.

John F. Butterworth, dkk. Anesthetic Complication In Morghan and Mikhails Clinical Anesthesiology 5th Edition. United States: McGra-Hill Education. 2013: 1219-1228.