Referat Kelompok 1 Alkohol
-
Upload
richard-yehezkiel -
Category
Documents
-
view
26 -
download
2
description
Transcript of Referat Kelompok 1 Alkohol
GANGGUAN TERKAIT ALKOHOL DAN
PENATALAKSANAANNYA
Disusun oleh:
Nindya Dewati Wijaya 11-2014-155
Richard Yehezkiel 11-2015-038
Nanda Tri Yulisa Putri R. 11-2015-046
Bernadina Novindra S. L. 11-2015-068
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA, JAKARTA
RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA
PERIODE 26 OKTOBER – 13 NOVEMBER 2015
BAB I
PENDAHULUAN
Alcohol adalah cairan bening yang mudah menguap dan udah bergerak, memiliki bau
khas, rasa panas, mudah terbakar, dengan memberikan nyala api berwarna biru dan tidak
berasap. Dalam minumn keras, alcohol merupakan bahan utama dengan kadar yang bermacam-
macam.
Pria empat kali lebih sering menjadi pecandu alcohol dibandingkan dengan wanita,
karena wanita yang minu alcohol lebih cepat mabuk dibanding dengan pria. Namun, semua
orang dari seluruk kelompok umur bisa menjadi pecandu alcohol. 3,4 juta orang pecandu alcohol
di Indonesia 80% adalah berusia 20-24 tahun da hamper dari 8% orang dewasa yang memiliki
masalah dalam penggunaan alcohol.
Kadar Alkohol dalam minuman keras mengandung suatu zat tertentu yang kadar
etanolnya lebih dari 1-55% yang bila dikonosumsi secara berlebihan (>100mg/dL), dapat
membuat alam perasaan seseorang menjadi berubah, orang mejadi mudah tersinggung, dan
perhatian terhadap lingkan terganggu, uga dapat berakbat dapat mengalami gangguan koodinasi
mtorik, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen pada jaringan otak. Orang yang mengalami
gangguan kendali koordinasi motoric, dapat berbuat apa saja tanpa sadar.
Meski penyalahgunaan dan ketergantungan alcohol biasanya disebut alkoholisme, DSM-
IV-TR tidak menggunakan istilah itu karena tidak menggambarkan defiini yang tepat. Adapun
diantara gangguan terkait alcohol dinyatakan sebagai intoksikasi alcohol, keadaan putus alcohol,
delirium akibat alcohol, dan beberapa ganggua terinduksi alcohol.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DefinisiSekitar 90% alkohol yang diabsorpsi dimetabolisme melalui oksidasi di hepar, 10%
sisanya diekskresi tanpa mengalami perubahan oleh ginjal dan paru. Tubuh dapat
memetabolisme sekitar 15 mg/dL per jam, dengan kisaran antara 10-34 mg/dL. Dengan kata lain,
kebanyakan orang mengoksidasi tiga perempat dari 1 ons alkohol 40% dalam 1 jam. Pada orang
dengan riwayat konsumsi alkohol berlebihan, peningkatan enzim yang diperlukan
mengakibatkan metabolisme alkohol cepat. Alkohol dimetabolisme oleh 2 enzim yaitu alkohol
dehidrogenase (ADH) dan aldehid dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol
menjadi asetaldehid yang merupakan senyawa toksik, aldehid dehidrogenase mengkatalisasi
konversi asetaldehid menjadi asam asetat. Sejumlah studi membuktikan bahwa wanita memiliki
kandungan ADH dalam darah lebih sedikit dibanding pria, dan ini mungkin menyebabkan
kecenderungan wanita untuk lebih terintoksikasi dibanding pria setelah minum alkohol dalam
jumlah yang sama. Penurunan fungsi enzim tersebut juga terjadi pada orang-orang Asia sehingga
menyebabkan mudahnya terintoksikasi.
II.2. Penyalahgunaan alcoholAda dua bentuk berat dari penyalahgunaan alkohol, yaitu alcohol dependence
(alcoholism) dan alcohol abuse (harmful use). Alkohol dependence ditandai dengan kecanduan
alkohol, ketidakmampuan untuk memberhentikan minum alkohol, terjadinya withdrawal
symptom setelah memberhentikan minum (ketergantungan secara fisik) dan toleransi.
Alcohol abuse adalah apabila alcohol dapat menyebabkan gangguan fisik dan psikologis
yang khas dalam waktu 12 bulan. Intoksikasi alcohol akut (DSM - IV) adalah apabila seseorang
meminum alcohol dalam waktu singkat, dan menimbulkan efek seperti perubahan tingkah laku,
perubahan tanda vital dan risiko untuk gangguan kesehatan dan kematian. Seseorang dikatakan menderita intoksikasi alcohol apabila jumlah dari alcohol yang
dikonsumsinya mengakibatkan abnormalitas fisik dan tingkah laku. Dengan kata lain, terjadi
gangguan pada kemampuan fisik dan mental seseorang. Tanda lain dari gangguan fisik dan
mental adalah kadar alcohol yang dapat diukur dalam darah.
II.3. Etiologi
Peneliti telah mengidentifikasi sejumlah factor dari riwayat masa kanak-kanak seseorang
yang kemudia mengalami gangguan terkait alkhol serta pada anak yang berisiko tinggi
mengalami gangguan terkait alkhol karena salah satu atau kedua orang tuanya mengalami
gangguan tersebut. Pada studi eksperimental diterumkan kisaran defisit pada uji neurokognitih,
aplitudo gelombang P300 yang rendah pada uji evoked potential, serta berbagai abnormalitas
rekaman elektroensefalogram (EEG). Anak dengan riwayat gangguan pemusatan
perhatian/hiperaktivitas atau gangguan perilaku atau keduanya meningkatkan risiko seorang anak
mengalami gangguan terkait alcohol ketika dewasa.
Terkait dengan gangguan alcohol berpusat pada hipotesis mengenai superego yang terlalu
keras dan fiksasi pada fase oral perkembangan psikoseksual. Hal ini dinamakan sebagai teori
psikodinamik. orang dengan superego keras yang menghukum diri berpaling ke alkohol sebagai
cara mengurangi sstressdi bawah sadar. Beberapa psikiater pikodinamik menggambarkan
kepribadian umum orang dengan gangguan terkait alkhol sebagai pemalu, penyendiri, tidak
abaran, iritabel, hipersensitif, dan terepresi secara seksual. Pada tingkat yang tidak terlalu
teoritis, alcohol mungkin disalahgunakan sebagian orang untuk mengurangi ketegangan,
ansietas, dan nyeri psikis. Konsumsi alcohol juga dapat menimbulkan perasaan berkuasa dan
peningkaan harga diri.
Beberapa situasi social biasanya mengarah ke minuman berlebihan, seperti contoh
asrama peruguran tinggi dan basis militer, uamh menganggap normal dan diharapkan secara
social. Namun, perguruan tinggi dan universitas akhir-akhir ini berusaha memberi edukasi
kepada mahasiswa tentang riiko kesehata meminum alcohol dalam jumlah besar.
Adapun factor budaya dapat mempengaruhi kebiaaan minum, begitu pula kebiasaan
dalam satu keluarga, khususya kebiasaan minum orang tua. Namun, sejumlah bukri
mengindikasikan bahwa kebiasaan minum dalam keluarga yang memengaruhi kebiasaan minum
anak-anaknya tidak terlalu berkaitan langsung dengan timbulnya gangguan terkait alcohol
dibanding perkiraan sebelumnya.
Teori biologis dengan dukungan terbaik tentang alkoholisme berpusat pada genetika.
Salah satu temuan yang mendukung keimpulan geneik adalah risiko mengalami tiga sampai
empat kali lipat lebih tinggi pada kerabat dekat seorang alkoholik. Angka masalah alcohol
meningkat seiring dengan bertambah banyaknya jumlah kerabat yang alkoholik, keparahan
penyakit mereka, serta kedekatan hubungan genetic dengan orang yang diteliti. Sejumlah bukti
mengindikasi bahwa otak anak dengan orang tua yang mengalami gangguan terkait alkhol
menunjukkan sifat tak lazim dalam pengukuran elektrofisiologis, ontohnya evoked potential dan
EEG dimana terlihat dengan adanya respons terhadap infus alcohol. Hasil dari sejumlah studi
menunjukkan konsentrasi neurotransmitter dan metabolit neurotransmitter yang rendak pada
cairan serebrospinal pasien dengan gangguan terkait alcohol. Hasil berbagai studi ini
menunjukkan konsentrasi rendah serotonin, dopamine, dan GABA atau metabolitnya.
Epidemiologi
Intoksikasi methanol di Amerika Serikat jarnag dijumpai, berkisar 1000-2000 kasus
setiap tahun (kira-kira 1% dari semua keracunan). Biasanya sebagai akibat tidak sengaja termium
dari produk yang mengandung methanol atau sebagai metode untuk bunuh diri, atau sebagai
pengganti etanol yang digunakan oleh peminum alcohol.
Sekitar 10 persen anita dan 20 persen pria memeuhi kriteria diagnosis penyalahgunaan
alcohol selama masa hidupnya, dan 3 sampai 5 persen wanita serta 10 persen pria memenuhi
kriteria diagnosis ketergantungan alcohol yang lebih serius sepanjang hidup. Sekitar 200.000
kematian tiap tahun berhubungan langsung dengan penyalahgunaan alcohol. Penyalahgunaan
alcohol menurunkan angka harapan hidup sebesar kira-kria 10 tahun danalkohol mengarahkan
zat lain terhadap keatian terkait zat.
Gambar . Gambaran Demografi Konsumsi Alkohol Global
Tabel . Kategori dan Definisi Pola Penggunaan Alkohol
Kategori DefinisiPeminum Sedang Pria, <2 minuman/hari
Wanita, <1 minuman/hariOrang >65 tahun, <1 minuman/hari
Peminum Berisiko Pria, >14 minuman/minggu atau >minuman per kesempatan
Peminum Berbahaya Berisiko mengalami konsekuensi simpang alcohol
Peminum Merugikan Alcohol menyebabkan kerugian fisik atau psikologis
Penyalahgunaan alcohol <1 peristiwa berikut dalam setahun; penggunaan beulang yang mengakibatkan kegagalan memenuhi kewajiban peran utama, penggunaan berulang dalam situasi berbahaya, masalh hokum terkait alcohol berulang, penggunaan berlanjut meski mengalami masalah social interpersonal yang disebabkan oleh eksaserbasi oleh alcohol
Ketergantungan Alkohol <3 peristiwa berikut dlam setahun: toleransi;
peningkatan jumlah untuk mencapai efek; penurunan efek dari jumlah yang samal keadaan putus zat, menghabiskan banyak waktu untuk memeperoleh alcohol, menggunakan atau pulih dari efeknya; merelakan atau mengurangi aktivitas enting karena alcohol; tetap mengguanakn mesi mengetahui adanya masalah psikologis yang disebabkan atau dieksaserbasi oleh alkohol.
Menurut pembagian ras dan etnis, dibandingkan dengan kelompok lain, orang kulit putih
memiliki angka tertinggi penggunaan alcohol, sekitar 56 persen. Enam puluh persen pria adalah
pengguna alcohol dalam sebulan terakhir dibanding 45 persen pada wanita. Pria lebih besar
kemungkinannya untuk menjadi peminum saat pesta dibanding wanita. Pada latar belakang
pendidikan, berbeda dengan pasien yang meggunakan obat illegal, pada pengguna alcohol,
semakin tinggi pencapaian pendidikan semakin besar kemungkinan penggunaan alcohol saat ini.
Sekitar 70 persen orang dewasa dengan pendidikan sarjana saat ini menjadi peminum, dibanding
dengan anya 4 persen dari mereka dengan pendidikan di bawah SMA. Namun, memang tidak
dipungkiri bahwa gangguan terkait alcohol tampak pada orang dari semua kelas sosioekonomi.
Bahkan orang yang merupakan stereotip alkoholik hanya 5 persen dari semya orang yang
mengalami gangguan terkait alcohol. Diantara siswa SMA< gngguan terkait alcohol
berhubungan dengan riwayat kesulitan di sekolah. Orag yang dropout dari SMA dan memiliki
catatan sering membolos dan kenakalan remaja tampak terutama berada pada risiki tinggi
mengalami penyalahgunaan alcohol. Data epidemiologis ini sejalan dengan tingginya
komorbditas antara gangguan terkait alcohol dan gangguan kepibadian antisosial.
Komorboditas
Diagnosis psikiatri yag paling sering dikaitkan dengan gangguan terkait alcohol adalah
gangguan kepribadian antisosial, gangguan mood, dan gangguan ansietas. Angka bunuh diri juga
dinyatakan tinggi.
Gangguan Kepribadian Antisosial
Hubungan antara gangguan kepribadian antisosial dan gangguan terkait alcohol telah sering
dilaporkan. Beberapa studi menyatakan bahwa gangguan kepribadian antisosial terutama lazim
ditemukan pada pria dengan gangguan terkait alohol dan dapat mendahului berkembangnya
gangguan terkait alcohol
Gangguan Mood
Sekitar 30 sampai 40 persen orang dengan gangguan terkait alcohol memenugi kriteria gangguan
depresi mayor pada suatu waktu dalam hidupnya.. depresi lebih sering pada wanita dibandingkan
dengan pria dengan gangguan ini. Sejumlah studi melaporkan bahwa depresi cenderung lebih
erring terjadi pada pasien dengan gangguan terkait alcohol yang memiliki tingkat konsumsi
alcohol harian yang tinggi serta riwayat keluarga dengan penyalahgunaan alcohol. Orang dengan
gangguan terkait alcohol dan gangguan depresi mayor memiliki resiko tinggi untuk melakukan
percobaan bunuh diri dan cenderung memiliki gangguan terkait zat lain.
Gangguan Ansietas
Banyak orang menggunakan alcohol untuk khasiatnya meredakan ansietas. Meski komorbiditas
atara gangguan terkait alcohol dan gangguan mood telah dikenal luas, lebih jarang diketahui
bahwa mungkin 25 sampai 50 persen orang dengan gangguan terkait alcohol juga memenuhi
kriteria gangguan ansietas. Fobia dan gangguan panic terutama sering menjadi diagnosis
komorbid pada pasien ini.
Bunuh Diri
Prevalensi bunuh diri di antara orang dengan gangguan terkait alcohol berkisar antara 10 sampai
15 persen. Factor yang dikaitkan dengan bunuh diri di atara orang dengan gangguan terkait
alcohol mencakup adanya episode depresi mayor, system pendukung psikososial yang lemah,
pengangguran dan tinggal.
Efek Alkohol
Absorpsi
Sekitar 10 % alcohol yang dikonsumsi diabsorpsi melalui lambung, sisanya melalui usus
halus. Konsentrasi puncak alcohol dalam darah tercapai dalam 30 – 90 menit dan biasanya dalam
45 – 60 menit, bergantung apakah alcohol dikonsumsi dalam keadaan perut kososng ( meningkat
absorpsi) atau dengan makanan (menunda absorpsi).
Tubuh memiliki alat pelindung terhadap pembanjiran oleh alcohol. Misalnya, jika
konsentrasi alcohol di lambung terlalu tinggi, mucus disekresi, dan katup pilorik menutup. Aksi
ini memperlambat absorpsi dan mencegah alcohol masuk ke usus halus, yang tidak memiliki
hambatan absorpsi yang signifikan. Dengan demikian, sejumlah besar alcohol dapat tetap tak
diabsorpsi dalam lambung selama berjam-jam. Lebih lanjut spasme pylorus sering menyebabkan
mual dan muntah.
Sekali diabsorpsi dalam aliran darah, alcohol akan didistribusikan ke seluruh jaringan
tubuh. Karena alcohol secara menyeluruh terlarut dalam cairan tubuh, jaringan yang
mengandung proporsi air yang tinggi mendapat alcohol dalam konsentrasi tinggi. Efek
intoksikasi lebih besar ketika konsentrasi alcohol disbanding bila sedang menurun (efek
mellanby) sehingga laju absorpsi secara langsung berhubungan dengan respons intokskasi.
Metabolisme
90% alcohol yang diabsorpsi dimetabolisme melalui oksidasi di hepar; 10% sisanya
diekskresi tanpa mengalami perubahan oleh ginjal dan paru. Tubuh dapat memetabolisasi sekitar
15mg/dL per jam, dengan kisaran antara 10-34 mg/dL per jam.
Alcohol dimetabolisme oleh dua enzim: alcohol dehydrogenase (ADH) dan aldehid
dehydrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alcohol menjadi asetaldehid, yang merupakan
senyawa toksik; aldehid dehydrogenase mengkatalisasi konversi asetaldehid menjadi asam
asetat. Aldehid dehydrogenase diinhibisi oleh disulfiram (Antabuse), yang sering digunakan
dalam penanganan gangguan terkait alcohol.
Efek Konsumsi Alkohol
Efek pada Otak
Biokimiawi
Teori efek biokimiawi alcohol memusatkan efeknya pada membrane neuron. Data
mendukung hipotesis bahwa alcohol menimbulkan efek dengan menyisipkan diri ke dalam
membran dan dengan demikian meningkatkan fluiditas membrane pada penggunaan jangka
pendek, tetapi penggunaan jangka panjang teori tersebut berhipotesis bahwa membrane menjadi
rigid atau kaku. Fluiditas membrane penting agar reseptor, kanal ion, dan protein fungsional
terikat – membran lain dapat berfungsi normal.
Sebagian besar perhatian difokuskan pada efek alcohol terhadap kanal ion. Aktivitas
kanal ionn alcohol yang dikaitkan dengan reseptor asetiklkolin nikotinik, serotonin 5-HT3 dan
GABAA ditingkatkan oleh alcohol, namun aktivitas kanal ion yang dikaitkan dengan reseptor
glutamat dank anal kalsium voltage-gated mengalami inhibisi.
Efek Perilaku
Alcohol berfungsi sebagai depresan seperti barbituran dan golongan benzodiazepine,
yang dengan kedua zat ini, alcohol memiliki beberapa toleransi dan dependensi silang. Pada
alcohol 0,05 % dalam darah, isi piker, daya nilai, dan pengendalian melonggar dan kadang-
kadang terganggu. Pada konsentrasi 0,1%, gerakan motoric volunter biasanya tampak kikuk.
Pada kadar yang lebih tinggi, pusat primitive di otak yang mengontrol pernapasan dan denyut
jantung akan terpengaruh, dan kematian menyusuk sekunder terhadap depresi napas langsung
atau aspirasi muntahan. Namun, orang dengan riwayat penyalahgunaan alcohol jangka lama
dapat menoleransi konsentrasi alcohol yang jauh lebih tinggi disbanding orang yang tidak pernah
mengonsumsi alcohol; toleransi alcohol dapat menyebabkan mereka seolah tampak tidak terlalu
terintoksikasi disbanding sebenarnya.
Efek Tidur
Penggunaan alcohol dikaitkan dengan penurunan tidur rapid eye movement (REM atau
tidur bermimpi) dan tidur dalam (stadium 4) serta lebih banyak fragmentasi tidur, dengan
episode tidur yang lebih banyak dan lebih lama.
Efek pada Hepar
Alcohol mengganggu proses gluconeogenesis pada hati, yang mengakibatkan penurunan
produksi glukosa dari glikogen, yang mengakibatkan peningkatkan produksi laktat dan
penurunan oksidasi asam lemak. Hal ini berpengaruh pada peningkatan timbunan lemak pada sel
hati, yang kadang ditemukan pada pemeriksaan fisik sebagai pembesaran hati. Pada penggunaan
alcohol dikaitkan dengan timbulnya hepatitis alkoholik dan sirosis hepatis.
Efek pada Gastrointestinal
Asupan alcohol berat dapat mengganggu proses normal pencernaan dan absorpsi
makanan; akibatnya makanan yang dikonsumsi kurang adekuat untuk dicerna. Penyalahgunaan
alcohol juga dapat menghambat kapasitas usus halus menyerap berbagai nutrient, sepertin
vitamin dan asam amino. Efek ini, bersama dengan kebiasaan makan yang sering kali buruk pada
mereka dengan gangguan terkait alcohol, dapat mengakibatkan defisiensi vitamin yang serius,
terutama vitamin B.
Efek pada Sistem Tubuh lain
Konsumsi alcohol yang signifikan telah dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah,
disregulasi metabolism lipoprotein dan trigliserida, serta peningkatan risiko infark miokardium
dan penyakit serebrovaskuler. Bukti mengindikasi bahwa konsumsi alcohol dapat memengaruhi
hematopoietik serta meningkatkan insiden kanker, terutama kanker kepala, leher, esophagus,
lambung, hepar, kolon dan paru. Pada intoksi akut dapat menyebabkan hipoglikemia yang bila
tak dapat terdeteksi dapat menyebabkan kematian mendadak pada orang yang mengalami
intoksikasi.
Uji Laboratorium
Efek samping alcohol pada uji laboratorium biasa, dapat digunakan sebagai alat bantu
diagnostic dalam mengidentifikasi orang dengan gangguan terkait alcohol. Kadar gamma
glutamil dan transpeptidase tinggi pada hamper 80% orang dengan gangguan terkait alcohol, dan
volume korpuskuler ratarata (CMV) tinggi pada sekitar 60% lebih tinggi pada wanita disbanding
pria. Asam urat, trigliserida, aspartate aminotransferase, dan aminotransferase merupakan nilai
uji laboratorium lain yang tinggi yang terkait penyalahgunaan alcohol.
Interaksi Obat
Zat tertentu seperti alcohol dan fenobarbital (luminal) dimetabolisme oleh hepar dan
penggunaan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan akselerasi metabolism. Bila orang
dengan gangguan terkait alcohol sedang tidak mabuk, metabolism yang dipercepat ini membuat
mereka luar biasa toleran terhadap banyak obat seperti sedative dan hipnotik; namun ketika
mereka terinoksikasi, obat ini bersaing dengan alcohol untuk mekanisme detoksifikasi yang sama
dan konsentrasi semua zat yang tterlibat yang potensial toksik apat terakumulasi dalam darah.
Efek alcohol dan depresan sistem saraf pusat (SSP) lain biasanya sinergistik. Narkotika
mendepresi area sensorik korteks serebri dan dapat menyebabkan nyeri mereda, sedasi, apati,
mengantuk, dan tidur; dosis tinggi dapat mengakibatkan gagal napas dan kematian. Peningkatan
dosis obat hipnotik-sedatif seperti kloral hidrat (Noctec) dan golongan benzodiazepin, terutama
bila dikombinasikan dengan alcohol, menimbulkan efek dari sedasi hingga hendaya motoric dan
intelektual sampai stupor, koma, dan kematian.
Gangguan Terkait Alkohol menurut DSM-IV-TR
Intoksikasi alcohol
DSM-IV-TR menetpkan kriteria formal untuk mendiagnosis intoksikasi alcohol yaitu
konsumsi alcohol yang mencukup, perubahan perilaku maladaptive yang spesifik, tanda hendaya
neurologis, dan tidak adanya diagnosis atau kondisi penyerta lain. Namun pada intoksikasi
alcohol dapat mengakibatkan koma, depresi napas, dan kematian akibat henti napas atau karena
aspirasi muntahan.
Keparahan gejala intoksikasi alcohol secara kasar berhubungan dengan konsentrasi
alcohol dalam darah, yang mencerminkan konsentrasi alcohol di otak. Pada awitan intoksikasi,
beberapa orang menjadi menarik diri dan merajuk; sebagian lagi menjadi banyak omong dan
suka berkumpul. Sejumlah pasien menunjukan labilitas mood dengan episode intermiten tertawa
dan menangis. Penyulit medis intoksikasi mencakup hal-hal yang timbul akibat terjatuh seperti
hematoma subdural dan fraktur. Mitos tanda seringnya intoksikasi adalah hematoma fasial,
akibat berkelahi atau jatuh saat mabuk.
Keadaan Puutus Alkohol
Keadaan putus alcohol, bahkan tanpa delirium, dapat menjadi serius dan mencakup
kejang serta hiperaktivitas otonom. Kondisi yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat
gejala putus zat meliputi kelalahan, malnutrisi, penyakit fisik, dan depresi. Kriteria DSM-IV-TR
untuk keadaan putus lkohol mengharuskan adanya penghentian atau pengurangan penggunaan
alcohol yang berat dan berkepanjangan serta adanya gejala fisik atau neuropsikiatri spesifik.
Diagnosis juga memperbolehkan spesifikasi dengan gangguan persepsi. Satu studi tomografi
emisi positron (PET) terhadap aliran darah selama keadaan putus alcohol pada orang yang
sebenarnya sehat dengan ketergantunga alcohol melaporkan aktivitas metabolic yang rendah
secara global, bahwa aktivitas terutama rendah di area parietal kiri dan frontal kanan.
Tanda klasik keadaan putus alcohol adalah gemetar, walaupun spectrum gejala dapat
meluas hingga mencakup gejala psikotik dan persepsi (contohnya waham dan halusinasi),
kejang, dan gejala delirium tremens yang disebut delirium pada putus alcohol pada DSM-IV-TR.
Gemetar (biasanya disebut goncang atau gugup( muncul 6 sampai 8 jam setelah penghentian
minum, DT setelah 72 jam, meski dokter sebaiknya tetap berjaga-jaga terhadap timbulnya DT
selama seminggu pertama putus zat. Sindrom putus zat terkadang melompati urutan yang biasa.
Tremor pada putus alkhol dapat serupa tremor fisiologis, yaitu tremor kontinu yang
beramplitudo besar atau tremor familial. Geala putus zar lain meliptui iritabilitas umum, gejala
gastrointestinal (contohnya, mual dan muntah) dan hperaktivitas otonom simpatis, termasuk
ansietas, arousal, berkeringan, muka memerah, midirasi, takikardia, dan hpertensi ringan. Pasien
yang mengalami putus alcohol biasanya secara umum waspada tapi dapat dengan mudah
dikagetkan.
Kejang Putus Zat
Kejang yang disebabkan oleh putus alcohol sifatnya stereotip, umum, dan tonik-klonik.
Pasien sering mengalami lebih dari satu kejang dalam 3 sampai 6 jam setelah kejang ertama.
Status epilepticus relative jarang dan terjadi pada kurang dari 3 persen pasien. Meski pengoatan
antikonvulsan tidak diperlukan dalam penatalaksaan kjang putus alcohol, kausa kejang sulit
ditegakkan bila pasien pertama kali diperiksa di ruang gawat darurat; oleh karena itu banyak
pasien kejang putus zat mendapat obat antikonvulsan, yang kemudian dihentikan setelah kausa
kejang dikenali. Aktivitas kejang pada pasien yang diketahui memiliki riwayat penyalahgunaan
alcohol seyogyana tetap mendorong klinis untuk mempertibangkan factor kausatif lain, seperti
cedera kepala, infeksi, SSP, neoplasma SSP, dan penyakit serebrovaskular lainnya.
Delirium
Pada DSM-IV-TR dicantumkan kriteria delirium akibat intoksikasi alcohol dalam
kategori intoksikasi zat. Pasien yang di kethaui mengalami gejala putus alcohol sbaiknya di
moitor secara cermat untuk mencegah progresi ke delirium pada putus alcohol, bentuk sindrom
putus zat yang paling parah di sebut juga DT. Delirium pada putus alcohol adalah suatu
kedaruratan medis yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Pasien
delirium membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena perilakunya sangat tidak
dapat diramalkan, pasien delirium dapat menyerang atau bunuh diri atau bertindak menurut
halusinasi atau pikiran wahamnya seolah-olah benar-benar ada bahaya. Bila tidak ditangani, DT
memiliki angka mortalitas sebesar 20 persen. Meski kejang putus zat biasanya mendahului
timbulnya delirium pada putus alcohol, delirium juga dapat timbul tanpa tanda awal. Gambaran
esensial sindrom ini adalah delirium terjadi dalam 1 minggu setelah seseorang berhenti minum
atau mengurangi asupan alcohol.
Sekitar 5 persen orang dengan gangguan terkit alcohol yang dirawat inap mengalami DT.
Episode DT biasanya mulai pada usia 30-an sampai 40-an tahun setelah 5 sampai 15 tahun
menjadi peminum berat, biasanya tipe peminum saat pesta.
Gangguan Psikotik Terinduksi Alkohol
Kriteria diagnosis gangguan psikotik terinduksi alkohol, seperti waham dan halusinasi,
terdapat pada kategori gangguan psikotik terinduksi zat di DSM-IV-TR. Lebih lanjut, DSM-IV-
TR memungkinkan spesifikasi awitan (saat intoksikasi atau putus zat) serta apakah terdapat
halusinasi atau waham. Halusinasi yang paling sering adalah audiotorik, biasanya suara, tapi
seringkali tak terstruktur. Suara-saura biasanya memfitnah, mencela, atau mengancam meski
beberapa pasien melaporkan bahwa suara tersebut bersifat menyenangkan dan tidak menganggu.
Halusinasi biasanya berlangsung kurang dari seminggu namun dalam seminggu lazim dijumpai
hendaya menilai realitas. Setelah episode ini, sebagian besar pasien menyadari sifat halusinatorik
gejalanya.
Halusinasi setelah putus alkohol dianggap jarang dan sindrom ini berbeda dengan
delirium pada putus alkohol. Halusinasi dapat terjadi pada semua umur tapi biasanya tampak
pada orang yang menyalahgunakan alkohol dalam jangka waktu lama. Meski halusinasi biasanya
menghilang dalam satu minggu, beberapa mungkin bertahan; pada kasus-kasus ini, klinisi harus
memertimbangkan gangguan psikotik lain dalam diagnosis banding. Halusinasi terkait putus
alkohol dibedakan dengan halusinasi pada skizofrenia berdasarkan asosiasi waktu dengan
keadaan putus alkohol, tidak adanya riwayat klasik skizofrenia, serta durasi yang biasanya
singkat. Halusinasi terkait putus alkohol dibedakan dengan DT dengan adanya sensorium yang
jernih pada pasien.
Penanganan dan rehabilitasi
Intervensi
Tujuan pada tahap ini, di sebut juga konfrontasi, adalah memutus rasa penyangkalan dan
membantu pasien mengenali konsekuensi simpang yang akan terjadi jika gangguan ini tidak
diobati. Intervensi merupakan suati proses, bertujuan meaksimalkan motivasi terapi dan
abstinensi berkelanjutan. Keluarga akan sangat membantu dalam tahap intervensi, dengan tidak
melindungi pasien dari masalah yang di sebabkan oleh alcohol. Keluarga pasien bisa
menyarankan pasien agar menemui orang yang telah sembuh dari alkoholisme dan mereka juga
dapat bertemu dengan kelompok yang dapat membantu menyelesaikan masalah alcohol. Para
naggota di kelompok ini akan berbagi strategi penyelesaian masalah dan membantu satu sama
lain untuk membangun kembali hidup mereka.
Detoksifikasi
Sebagian besar orang dengan ketergantungan alcohol memiliki gejala yang relative
ringan bila mereka berhenti meminum alcohol. Jika pasien memiliki kesehatan baik, nutrisi yang
baik, dan dukungan sosial yang baik, gejala yang di dapat biasanya hanya memnyerupai flu
ringan. Langkah pertama yang penting pada detoksifikasi adalah pemeriksaan fisik menyeluruh.
Bila tidak ada gangguan medis yang serius atau penyalahgunaan obat, keadaan putus alcohol
yang berat biasanya jarang terjadi. Langkah kedua adalah memberi istirahat, asupan nutrisi yang
baik, dan vitamin yang multiple, yang terutama mengandung tiamin.
Keadaan Putus Zat Ringan atau Sedang
Keadaan putus zat ringan terjadi karena ptak secara fisiologis telah beradaptasi dengan
depresan otak dan tidak dapat berfungsi secara adekuat tanpa zat tersebut. Pada hari pertama
dapat diberikan cukup depressan otak untuk mengurangi gejala, dan tidak memberikan depresan
otak tersebut selama 5 hari berikutnya untuk memberi pelepasan yang optimal dan
meminimalkan keadaan putus zat berat. Untuk keadaan putus zat biasanya klinisi memberikan
benzodiazepine karena relative aman, seperti contoh lorazepam untuk jangka pendek, dan
diazepam atau klordiazepoksid untuk jangka panjang.
Sebagai contoh, pemberian klordiazepoksid 25mg peroral 3-4 kali sehari pada hari
pertama, dengan catatan untuk melewatkan dosis bila pasien tertidur atau mengantuk.
Tambahans atu atau dua dosis 25mg dapat diberikaN 24 jam bila pasien gelisah dan menunjukan
peningkatan tremor atau disfungsi otonom. Dosis yang di berikan di hari berikutnya di turunkan
20 persen dari hari pertama sampai 4 atau 5 hari, setelah itu tidak lagi butuh obat. Beberapa
klinisi juga merekomendasikan untuk menggunakan antagonis reseptor beta adrenergic, meski
obat ini tidak lebih baik dari benzodiazepine. Obat ini di gunakan untuk menurunkan delirium
dan juga resiko kejang.
Keadaan putus zat berat
Bagi kurang lebih 1-3% pasien dengan keadaan delirium pada putus lakohol atau DT,
tidak ada penanganan optimal yang dikembangankan sampai sekarang. Langkah pertama yang
ditanyakan kenapa sindrom putus zat yang relative jarang ini terjadi; jawabannya sering kali
berhubungan dengan, masalah medis berat yang terjadi secara bersamaan dan butuh penanganan
segera. Gejala putus zat yang berat dapat diminimalkan dengan penggunaan benzodiazepin
maupun obat antipsikotik. Seperti pada keadaan putus zat ringan, pada hari pertama atau kedua,
dosis biasanya digunakan untuk mengendalikan perilaku, dan diturunkan pada hari berikut.
Pasien mungkin mengalami kejang gran mal tunggal; sedikit yang mengalami kejang multiple,
dengan insiden puncak pada hari kedua putus zat. Pasien yang seperti ini membutuhkan
pemeriksaan fisik neurologis.
Rehabilitasi
Pada rehab terdapat 3 komponen utama:
1. Upaya berkelanjutan untuk meningkatkan dan mempertahankan abstinensi yang
tinggi
2. Bekerja membantu pasien menyesuaikan kembali ke gaya hidup yang bebas
alcohol
3. Pencegahan relaps
Alkoholisme pada seseorang berkembang karena kebiasaan yang terus dilakukan. Banyak
alasan yang menjadi dasar penggunaan alcohol seperti depresi, ansietas, stress kehidupanm atau
sindrom nyeri. Riset menunjukan bahwa alcohol berkontribusi pada gangguan mood, kecelakaan,
atau stress kehidupan, bukan sebaliknya. Pendekatan penanganan umum yang sama digunakan
pada situasi rawat inap dan rawat jalan. Pemilihan metode rawat inap yang intensif dan lenih
mahal sering kali bergantung pada bukti adanya sindrom psikiatri atau medis yang berat, tidak
adanya kelompok dan fasilitas rawat jalan yang dekat dan sesuai, serta riwayat pasien gagal pada
perawatan rawat jalan. Proses penanganan pada situasi mana pun mencangkup intervensi,
optimalisasi fungsi fisik dan psikologis, meningkatkan motivasi, menjangkau keluarga, dan
menggunakan 2 sampai 4 minggu pertama perawatan sebagai intensif pertolongan.
Konseling
Upaya konseling dalam beberapa bulan pertama sebaiknya berfokus pada isu kehidupan
hari ke hari untuk membantu pasien mempertahankan kadar motivasi abstinensi yang tinggi serta
meningkatkan fungsi mereka. Teknik psikoterapi yang memprovokasi ansietas atau mebutuhkan
tilikan mendalam tidak terbukti menguntungkan pada bulan bulan pertama pemulihan dan,
setidaknya secara teoritis, justru dapat mengganggu upaya mempertahankan abstinensi. Oleh
karena itu, diskusi ini memfokuskan upaya yang mungkin untuk karakterisasi 3 sampai 6 bulan
pertama perawatan.
Pada konseling dilaksanakan pada individu maupun kelompok. Teknik yang digunakan
tidak terlalu di permasalahkan dan biasanya menjadi konseling sederhana sehari hari. Untuk
mengoptimalkan motivasi, sesi terapi sebaiknya menggali konsekuensi minum alcohol,
kemungkinan perjalanan masalah kehidupan terkait alcohol, dan perbaikan yang nyata yang
diharapkan dengan abstinensi. Konseling individu atau konseling kelompok biasanya diberikan
minimal tiga kali seminggu selama 2 sampai 4 minggu pertama.
Pada pencegahan relaps, pertama mengidentifikasi situasi dengan risiko relaps tinggi.
Konselor harus membantu pasien mengembangkan metode penyelesaian masalah yang dapat
digunakan bila rasa ketgaihan alcohol meningkat atau bila ada peristiwa atau keadaan emosional
yang membuat kecenderungan untuk kembali minum minum.
Pengobatan
Jika detoksifikasi telah diselesaikan dan pasien tidak memiliki gangguan mood,
skizofrensia, atau gangguan ansietas indeoenden, hanya sedikit bukti yang mendukung
pemberian obat psikotropika untuk penanganan alkoholisme. Kadar ansietas dan insomnia yang
masih menetap sebagai reaksi terhadap stress kehidupan dan abstinensi memanjang sebaiknya di
tangani dengan pendekatan modifikasi perilaku dan pententraman. Satu kemungkinan
pengecualian terhadap pelarangan penggunaan obat adalah agen pensensitisasi alcohol
disulfiram. Disulfiram diberikan dosis harian 250mg sebelum pasien di pulangkan dari fase
intensif pertama rehabilitasi rawat jalan atau perawatan rawat inap. Tujuannya adalah
menempatkan pasien dalam kondisi dimana jika pasien minum alcohol akan mempresipitasi
reaksi fisik yang tidak menyenangkan, termasuk mual, muntah, serta rasa terbakar diwajar dan
lambung. Sayangnya penggunaan placebo menunjukan efektivitas yang lebih dibandingkan
dengan disulfiram, mungkin karena mereka berhenti minum disulfiram ketika mereka kembali
minum.
Dua intervensi farmakologi tambahan yang menjanjikan telah diteliti. Yang pertama
melibatkan antagonis opioid naltrekson, yang setidaknya secara teoritis di anggap mungkin
menurunkan ketagihan alcohol atau mrnumpulkan efek menyenangkan dari minuman alcohol.
Obat kedua yang menarik minat adalah akamprosat, telah diuji lebuh dari 5000 pasien di Eropa.
Di gunakan pada dosis 2000 mg per hari, obat ini dikaitkan dengan sekitar 10 sampai 20 persen
hasil yang lebih baik di bandingkan placebo. Mekanisme kerjanya belum diketahui, tapi mungkin
bekerja secara langsung atau tidak langsung pada reseptor GABA atau N-metil-D-aspartat,
dengan efek yang mengganggu terjadinya toleransi atau dependensi fisik terhadap alcohol
Kelompok Swa-bantu
Klinisi harus mengakui pentingnya kelompok swa-bantu seperti AA. Anggota AA
menyediakan bantuan 24 jam sehari, terhubung dengan kelompok sebaya yang tidak minum,
belajar bahwa ia mungkin berpartisipasi dalam fungsi sosial tanpa minum, serta diberikan model
pemulihan dengan mengamati pencapaian anggota kelompok yang tidak mabuk. Pembelajaran
tentang AA biasanya dimulai saat rehabilitasi rawat inap atau rawat jalan.
Al-Anon merupakan organisasi bagi pasangan orang dengan ganggan terkait alcohol; lini
strukturnya sama dengan AA. Tujuan Al-Anon adalah melalui dukungan kelompok, membantu
upaya pasangan untuk memperoleh kembali harga diri, menahan diri dari merasa bertanggung
jawab atas kebiasaan minum pasangannya, serta membangun hidup yang bermanfaat bagi dirinya
sendiri dan keluarga.