Referat Iskemik Penumbra
-
Upload
widya-widyarini -
Category
Documents
-
view
70 -
download
15
description
Transcript of Referat Iskemik Penumbra
BAB 1
PENDAHULUAN
Perkembangan terapi intervensi untuk iskemia serebri memerlukan pemahaman yang
tepat mengenai proses terjadinya kematian sel. Sebelumnya, terjadinya kematian sel pada
iskemia serebri dianggap sebagai proses nekrotik yang alami. Namun belakangan, telah banyak
studi yang menemukan bahwa neuron-neuron di daerah ischemic penumbra atau zona periinfark
mengalami kerusakan yang bersifat reversibel dalam beberapa jam pertama setelah serangan
stroke dan mengalami kematian dalam bentuk apoptosis dimana apoptosis merupakan suatu
proses kematian sel yang terprogram. Periode trauma sel yang bersifat reversibel ini menjadi
suatu target dalam terapi intervensi. Pada iskemia serebri dapat terjadi nekrosis dan apoptosis.
Nekrosis merupakan suatu proses kematian sel yang tidak terorganisasi dan bertujuan untuk
mengurangi konsumsi energi. Sedangkan apoptosis merupakan suatu proses kematian sel yang
direncanakan dan melibatkan konsumsi energi dan sintesis protein. Apabila dua hal tersebut
terjadi, hal ini yang disebut dengan necroptosis, yaitu suatu mekanisme kematian sel yang terjadi
pada trauma iskemik jaringan.
1
BAB 2
PEMBAHASAN
Nekrosis
Penurunan laju aliran darah otak (cerebral blod flow/CBF) secara cepat pada daerah
ischemic core akan memicu proses kematian sel yang luas dan menyeluruh. Penurunan kadar
ATP dan glukosa serta kegagalan pembentukan energy di daerah ischemic core juga akan
memicu terjadinya gangguan homeostasis osmotik pada sel di daerah tersebut. Rendahnya kadar
ATP akan mempengaruhi aktivitas enzim Na-K ATPase, yang dalam kerjanya memerlukan
sekitar 70% dari kadar ATP seluler. Berkurangnya aktivitas Na-K ATPase disertai peningkatan
kadar Na intrasel akan menyebabkan peningkatan influx Ca melalui kanal Na-Ca dan enzim Ca-
Mg ATPase. Peningkatan kadar kalsium di sitoplasma sel akan menyebabkan penimbunan kadar
kalsium mitokondria dan aktivasi dari enzim-enzim protease dan phospholipase. Keadaan ini
menimbulkan adanya pelepasan oksigen reaktif yang bersifat sebagai stresor dan menginisiasi
kerusakan pada sel-sel lemak, protein, dan DNA yang akan berujung pada disfungsi mitokondria,
gangguan keseimbangan ion, dan hilangnya integritas membran sel. Penyerapan air yang
berlebihan akan menyebabkan edema sel, dimana terjadi ruptur membran plasma dan
pengeluaran isi sel ke jaringan sekitar dan secara simultan memicu respon inflamasi. Selain itu
terjadi kondensasi kromatin inti sel melalui proses piknosis.
Bahasan Apoptosis Nekrosis Nekroptosis
Morfologi Sel Menyusut Membengkak Campuran
Fragmentasi sel Terdapat apoptotic
bodies
Tidak ada (lisis) Campuran
Nukleus Pergeseran
kromatin
Piknosis Kondensasi
Integritas membran Terjaga Kompromis Kehilangan
integritas
Mitokondria Normal Membengkak Membengkak
2
Biokimia DNA Pembelahan
internukleosomal
Degradasi acak ?
Phosphatydyl serine
(PS)
Terlipat ke
membran luar
Pengeluaran PS ?
Reaksi sel Reaksi inflamasi Tidak ada Ada Autofagi
Pola Individual Multipel
Apoptosis
Tidak seperti proses nekrosis, apoptosis merupakan proses aktif dan dikontrol oleh suatu
proses deteriorasi sel yang melibatkan sintesis protein baru. Proses ini terjadi pada daerah
penumbra yang masih memiliki integritas selular yang baik dan ketersediaan energi yang
memadai. Apoptosis merupakan suatu proses yang telah terkode secara genetik, namun
kejadiannya bersifat pasif sampai adanya stimulasi sinyal-sinyal yang sesuai. Selama kejadian
iskemia serebral, terjadi produksi radikal bebas, tumor necrosis factor (TNF), berkurangnya
kadar growth factor, kerusakan DNA, induksi p53, dan pelepasan sitokrom C.
Regulasi apoptosis dimediasi oleh mitokondria, yang berfungsi sebagai reservoir protein
apoptogenik termasuk sitokrom c, aktivator capsase dan direct IAP-binding protein, AIF,
endonuklease G, dan procaspase. Sitokrom C terikat pada protein sitosol. Apaf dan procaspase-9
membentuk suatu struktur protein yang dinamakan apoptosome. Mekanisme ini memicu aktivasi
caspase, yang memiliki kemampuan eksekusi dan bertugas memecah dinding seluler,
pembelahan, dan degradasi substrat seperti endonuclease, lamin, spektrin, dan lainnya. Protein
lain termasuk Smac/DIABLO dikeluarkan dari mitokondria untuk menstimulasi caspase.
Enzim caspase (cysteine aspartate-spesific protease) merupakan molekul inti yang
terlibat dalam proses inisiasi dan eksekusi apoptosis. Caspase pertama kali ditemukan pada tahun
1980 sebagai regulator kematian sel, dan hingga saat ini sudah ditemukan 14 tipe dan
keberadaannya dalam bentuk inaktif sebagai proenzim. Pembelahan proteolitik dari proenzim ini
disebabkan oleh pembentukan heterodimer. Dua dari heterodimer-heterodimer ini akan
3
mengaktivasi caspase. Caspase dibagi manjadi dua tipe yaitu yang teraktivasi saat apoptosis dam
yang teraktivasi akibat respon inflamasi. Caspase yang teraktivasi saat apoptosis terbagi lagi
menjadi yang bertugas menginisiasi destruksi kaskade dan yang terlibat pembongkaran sel.
Aktivasi caspase terjadi melalui permukaan sel pada apoptosis. Hal ini dimediasi oleh
kelas reseptor TNF. Reseptor-reseptor ini berbagi sekuen interseluler homolog yang diketahui
sebagai daerah mati (TRADD, FADD). Ikatan pada reseptor ini memicu pengerahan protein dan
berujung pada pembentukan kompleks sinyal kematian. Molekul procaspase-8 mengikat
kompleks tersebut dan menginisiasi kaskade caspase.
Tidak seperti jalur diatas, kerusakan neuron sendiri dapat berlangsung tanpa aktivasi
caspase dan sintesis protein. Jalur ini dimediasi oleh protein efektor yang memicu apoptosis yaitu
apoptosis-inducing factor (AIF). Proses ini terletak di ruang membran dalam mitokondria. AIF
bertanggung jawab pada kondensasi kromatin dan fragmentasi DNA. Translokasi AIF dari
mitokondria ke nucleus sudah dapat dideteksi 1 jam sesudah reperfusi dan 45 menit oklusi
MCA. Pengeluaran AIF tergantung dari proses perbaikan DNA dan enzim protein-modifying
nuclear (PARP-1). Iskemik serebri akan menganggu stabilitas genetik yaitu kerusakan single
atau double strand DNA melalui rangsangan multipel dari oksigen reaktif, dan PARP-1
berfungsi sebagai sensor molekul utama untuk pemecahan DNA. Aktivasi PARP-1 berimbas
pada penurunan level ATP dan NAD, yang berakibat berkurangnya proses seluler yang
membutuhkan energi, dan berujung pada nekrosis sel. Kematian sel terjadi beberapa jam setelah
aktivasi PARP-1.
Seperti enzim caspase, Bcl-2 merupakan salah satu famili protein yang esensial dalam
regulasi apoptosis. Terdapat 30 jenis protein telah ditemukan dan dikelompokan dalam protein
Bcl-2 antiapoptotik, dan protein Bcl-2 proapoptotik. Protein antiapoptotik telah terbukti
menghambat akumulasi sitokrom c di sitosol, aktivasi caspase-3, dan inhibisi translokasi AIF
pada daerah infark. Protein proapoptotik dibagi menjadi Bax, BH3, dan single BH domain
protein. Faktor Bax bertanggung jawab pada fungsi proapotosis dengan cara mengganggu
integritas membrane mitokondria dan interaksi dengan faktor antiapoptosis dan proapoptosis
lainnya. BH3 teraktivasi dari proses transkripsi melalui suatu mekanisme yang melibatkan
kerusakan DNA. Faktor BID telah dibuktikan memiliki peran penting dalam proses apoptosis
yang diinduksi hipoksia.
4
Nekroptosis
Nekroptosis adalah suatu mekanisme kematian sel yang disebabkan trauma iskemik yang
mengandung komponen non-apoptotik dalam jumlah besar. Nekroptosis menunjukkan
kombinasi biokimia dan karakter struktural mekanisme apoptosis dan nekrosis pada sel yang
sama. Nekroptosis teraktivasi melalui jalur alternatif yang tidak melibatkan aktivasi caspase-8.
Proses ini dipicu oleh RIP, yaitu suatu protein yang dapat menstimulasi TRADD, yang
merupakan reseptor TNF yang berfungsi menginduksi kerusakan sel sendiri. Sel- sel yang
mengalami nekroptosis akan menunjukkan keadaan morfologi seperti sel nekrotik disertai
hilangnya integritas sel dan pembersihan debris sel secara autofagia.
Iskemia serebral menyebabkan kerusakan jaringan melalui aktivasi jalur sinyal yang
kompleks yang memicu keadaan kompromis sel sampai kematian. Kematian sel sendiri
disebabkan oleh tiga hal, yaitu nekrosis, apoptosis, dan nekroptosis. Beberapa dari kompleks
yang berperan dalam mekanisme ini telah dijadikan target inhibisi seperti AIF, PARP, IAPs, dan
protein Bcl 2.
Konsep Ischemic Penumbra
Kejadian ini diinisiasi oleh reduksi CBF karena thrombosis atau emboli yang berasal dari
arteri atau jantung. Keadaan CBF yang tidak adekuat akan mengaktivasi mekanisme iskemia,
dan yang terpenting adalah menyebabkan progresifitas trauma ireversibel yang terjadi berbeda
pada tiap daerah tergantung keparahan penurunan CBF. Daerah yang mendapatkan CBF
terendah (< 10-12 ml/ 100 g/ min) akan mengalami trauma ireversibel secara cepat, dan disebut
sebagai daerah ischemic core. Pada daerah yang mendapat CBF dalam jumlah sedang (12-25 ml/
100 g/ min) akan mengalami trauma yang bersifat reversibel namun memiliki resiko untuk
menjadi daerah yang akan mengalami trauma ireversibel dan disebut daerah ischemic penumbra.
Faktor- faktor lain yang dapat mempengaruhi kecepatan perburukan daerah penumbra termasuk
suhu, konsentrasi gula darah, oksigenasi, dan factor metabolic lainnya. Elemen kunci yang
memegang peranan pada daerah infark adalah adekuatnya aliran darah kolateral. Pada pasien
dengan sirkulasi kolateral yang baik akan memiliki daerah infark minimal. Konsep dari daerah
ischemia penumbra ini menjadi penting karena dijadikan sebagai dasar penentuan waktu terapi
dan target terapi stroke akut, melalui reperfusi atau pendekatan neuroprotektif.
5
Perubahan molekular pada daerah ischemic penumbra
Peningkatan kadar NO
Induksi TNF-α
Peningkatan NF-Κb
Induksi COX-2
Peningkatan IL-1
Peningkatan TGF-β
Induksi BONF
Ekspresi protein heta-shock
Ekspresi faktor terinduksi hipoksia
Peningkatan VEGF
Definisi ischemic penumbra pertama kali diperkenalkan oleh Astrup et al, dan
dideskripsikan sebagai daerah yang mengalami penurunan CBF disertai menghilangnya potensial
listrik secara spontan. Ambang teratas penurunan CBF pada daerah ischemic penumbra, 25 ml/
100 g/min, hal ini berhubungan dengan terjadinya defisit neurologi. Hubungan dari patofisiologi
iskemik penumbra yang menghubungkan antara banyaknya aliran CBF dengan aktivitas
metabolik di daerah iskemik memang sangat penting, namun tidak mudah untuk dikaitkan
dengan manifestasi klinis pasien. Definisi yang iskemik penumbra yang lebih sederhana
dikemukakan oleh Hakim dimana daerah iskemik penumbra merupakan suatu daerah iskemik
yang mengalami trauma reversibel apabila ditangani secara tepat waktu. Ini merupakan sebuah
konsep yang telah dimodifikasi dengan melihat perbedaan gambaran radiologi daerah ischemic
core dan ischemic penumbra.
6
Karakter molekular daerah ischemic penumbra telah dipetakan sejak tahun 1980, dan
seirimg dengan kemajuan teknologi molekular identifikasi daerah ischemic penumbra dalam
tingkat seluler menjadi lebih transparan. Pada daerah ischemic penumbra terdapat suatu
gangguan sintesis protein walaupun ketersediaan ATP cukup memadai. Daerah penumbra akan
mengalami asidosis dan akan mengeluarkan neurotransmitter eksitoksik seperti glutamate.
Penggunaan glukosa pada daerah penumbra juga mengalami hambatan. Pengertian mengenai
karakteristik daerah ischemic penumbral sangatlah penting untuk mengidentifikasi terapi yang
bersifat potensial dan mencegah perubahan daerah penumbra menjadi infark.
Saat ini, tenaga medis telah diberikan kemampuan untuk mengevaluasi dan
menatalaksana pasien stroke iskemik melalui gambaran radiologinya. Penumbra dan ischemic
core awalnya dapat dideteksi melalui pemeriksaan positron emission computed tomography
(PET), namun modalitas ini dinilai tidak cukup efisien dilakukan pada pasien dengan stroke yang
akut, karena memerlukan waktu pemeriksaan yang lama untuk menentukan gambaran dan
evaluasi data. Namun secara keilmuan, PET sangatlah bermanfaat untuk menilai suatu trauma
iskemik otak fokal pada hewan dan manusia. Pada otak dengan fungsi yang normal, tampak CBF
dan rasio metabolism oksigen CMRO2 menunjukkan gambaran yang linear dan proporsional,
disertai gambaran fraksi ekstraksi oksigen (OEF) yang tersebar merata di seluruh bagian otak.
Pada daerah ischemic penumbra, pola PET menunjukkan peningkatan kadar OEF yang
berhubungan dengan penurunan CBF dan CMRO2 sebagai respon fisiologis tubuh terhadap
iskemia. Sedangkan pada daerah ischemic core, didapatkan CBF yang sangat rendah, penurunan
level CMRO2, dan reduksi OEF.
7
Diffusion-weighted MRI (DWI) dan perfusion-weighted MRI (PWI) merupakan suatu
modalitas yang dapat digunakan untuk menggambarka keadaan pasien dengan stroke akut. Pada
DWI, daerah yang mengalami iskemik sedang-berat akan menunjukkan gambaran hiperintense
dan mudah teridentifikasi. Daerah hiperintense yang tampak pada DWI menunjukkan suatu
jaringan yang mengalami trauma iskemik dimana koefisien difusi dari proton cairan tersebut
telah menurun akibat adanya edema sitotoksik. Dari tingkat seluler, daerah hiperintense pada
DWI menunjukkan adanya kegagalan metabolism sel tingkat tinggi, yang dapat memicu
pergeseran cairan dari ekstraseluler ke intraseluler secara besar-besaran dan kegagalan
homeostasis ion-ion. Daerah hiperintense yang ditunjukkan DWI menunjukkan adanya jaringan
yang kompromis akibat trauma iskemik, tetapi pemeriksaan ini tidak menilai reversibilitas
jaringan. Pada studi yang dilakukan pada hewan dan manusia, kemunculan daerah hiperintens
DWI di awal, belum tentu menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami infark.
Pemeriksaan PWI dilakukan dengan menginjeksi agen kontras paramagnetic seperti
gadolinium yang dapat terlihat dengan sinyal T2. Gambaran multipel scan dapat diperoleh dalam
waktu kurang lebih 30 detik dan dapat memberikan gambaran semikuantitatif mengenai perfusi
mikrovaskular di otak. Hal ini tentu dapat mengidentifikasi daerah yang mengalami hipoperfusi.
Meskipun perlu diketahui bahwa pendekatan yang lebih akurat mengenai identifikasi daerah
hipoperfusi dengan membedakan jaringan iskemik hipoperfusi dengan jaringan infark tanpa
reperfusi.
8
Walaupun pemeriksaan-pemeriksaan ini memiliki presisi yang terbatas, namun
penggunaan DWI dan PWI dapat memberikan gambaran yang cukup baik mengenai ischemic
penumbra. Hasil PWI dan DWI pun kadang tidak cocok satu sama lain, seperti pada gambaran
daerah iskemik pada PWI sering kali tampak normal pada DWI. Lesi yang tampak pada DWI
lebih akurat dalam penghitungan luas dan voumenya karena area yang hiperintensitas selalu
tampak lebih jelas meskipun kadang batasnya tidak selalu tegas. Sedangkan lesi PWI bergantung
pada ambang dan modalitas yang digunakan untuk mengukur abnormalitas perfusi jaringan.
Saat ini, pendekatan terbaik untuk mengetahui daerah iskemik adalah dengan
menggunakan nilai T max dibandingkan dengan nilai masukan arteri hemisfer serebri sisi yang
sama. Hingga saat ini belum ada nilai Tmax yang sesuai yang dapat digunakan untuk
membedakan daerah infark dan daerah oligemik yang tidak mengalami infark, namun
pendekatan yang terbaik didapatkan dari nilai Tmax 5-6. Ketidakcocokan PWI dengan DWI
dalam mengidentifikasi daerah penumbra belum mendekati sempurna, namun sampai saat ini
pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan yang berguna bagi klinisi untuk mendeteksi
bagian iskemik yang masih bisa diselamatkan dan sebagai petunjuk untuk memutuskan terapi.
Perfusion CT (PCT) adalah salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi daerah ischemic penumbra pada pasien dengan stroke akut. PCT dilakukan
dengan menggunakan teknik first-pass tracer dengan menggunakan injeksi kontras iodin dan
9
akan didapatkan gambaran dalam 40-45 detik. Dalam periode transit, CBF dan pemetaan CBV
akan didapatkan dalam bentuk 2 potongan tebal berukuran 1cm melalui injeksi kontras secara
bolus. Kontras yang digunakan untuk PCT dapat menyebabkan kenaikan kadar pemeriksaan faal
ginjal terutama pada pasien dengan renal insufisien, jadi diperlukan pemeriksaan yang
menyeluruh pada beberapa pasien.
Bila tujuan terapi dari stroke akut adalah untuk menyelamatkan daerah iskemik yang
potensial, maka identifikasi dari daerah penumbra merupakan suatu hal yang menguntungkan.
Kegunaan pencitraan untuk menidentifikasi daerah iskemik pada beberapa pasien yang diberikan
terapi t-Pa intravena lebih dari 3 jam setelah serangan telah diteliti. Terdapat dua kasus pada
pasien Eropa yang mendapat t-Pa IV dalam 3-6 jam setelah onset stroke dan terdapat ketidak
cocokan gambaran DWI dan PWI. Dalam dua kasus ini, dilakukan perbandingan persentasi
pasien yang mendapat terapi t-Pa terlambat dan yang mendapat terapi t-Pa sebagaimana mestinya
yaitu dalam waktu < 3 jam setelah onset. Kesimpulan dari observasi ini adalah identifikasi
penumbra memberikan keuntungan yang cukup bermakna bahkan bagi pasien yang terlambat
mendapat terapi t-Pa. Pada studi DEFUSE, seluruh sampel pasien diberikan terapi t-Pa IV dalam
waktu 3-6 jam dan mereka sudah diberikan pemeriksaan awal MRI. Pemeriksaan PWI/DWI
tidak dimasukkan dalam studi tetapi tetap digunakan hipotesis bahwa pasien yang mendapat
terapi reperfusi akan memberikan tampilan klinis yang lebih baik.
Studi DEFUSE memasukkan 74 pasien dengan ketidakcocokan > 20%, dimana PWI >
DWI ditemukan pada 54% pasien. Pasien dengan ketidakcocokan PWI/DWI yang mendapat
terapi reperfusi di awal akan menunjukkan hasil akhir yang lebih baik. Ketidakcocokan
pemeriksaan yang terlalu besar, dengan patokan lesi DWI yang luas dan atau abnormalitas PWI
yang parah didapatkan pada 6 orang pasien, dan pada pasien didapatkan kecenderungan
mengalami stroke hemoragik.
Studi lain, EPITHET, menggunakan 100 pasien yang diberikan t-Pa IV atau plasebo
dalam 3-6 jam. Dalam studi ini juga digunakan definisi yang sama dengan DEFUSE untuk
menyatakan daerah iskemik abnormal untuk PWI, yaitu daerah dengan Tmax >2 detik, dan 86%
pasiennya mengalami ketidakcocokan 20%. Dari studi ini didapatan bahwa perkembangan infark
lebih kecil pada kelompok dengan terapi t-Pa disertai kekambuhan deficit neurolgik yang kecil
atau menghilang sama sekali 90 hari setelah kejadian stroke pertama.
10
Dua studi trial kecil menggunakan obat trombolitik lain yaitu desmoteplase, yang
membutuhkan ketidakcocokan PWI/DWI >20% juga sudah dilakukan. Studi ini menunjukkan
bahwa pemberian desmoteplase IV yang dibandingkan dengan placebo secara khusus
memberikan efek reperfusi pada daerah iskemik dalam tendensi menurunkan luas daerah infark
dan memperbaiki gejala klinis.
Studi lainnya, DIAS II menggunakan 60 sampel membagi sampelnya dalam 2 kelompok
yaitu dengan terapi desmoteplase dan plasebo, didapatkan tidak memberikan keuntungan dalam
perbaikan manifestasi klinis setelah observasi hari ke 90. Terapi reperfusi tidak dikaji dan tidak
ada perbaikan dalam luasnya infark. Analisa kedua pada kasus ini menunjukkan bahwa pasien
dengan ketidakcocokan DWI/PWI yang semakin tinggi akan menunjukkan hasil yang lebih baik
pada pemberian terapi dibandingkan dengan yang ketidakcocokannya bernilai kecil.
11
BAB 3
KESIMPULAN
Patofisiologi dari trauma otak iskemik yang berlangsung akut dan konsep mengenai
ischemic penumbra sangatlah penting, terutama berhubungan dengan manajemen terapi yang
diharapkan mampu memperbaiki hasil akhir dari manifestasi klinis yang ditunjukkan pasien.
Meningkatnya pengetahuan para klinisi mengenai dua hal diatas akan mengarahkan mereka kea
rah yang rasional mengenai pemberian terapi dan kombinasi dengan pemberian trombolitik. Saat
ini merupakan suatu zaman perbaikan yang dapat digunakan untuk membenahi kombinasi terapi
pada stroke akut. Terapi stroke akut dengan reperfusi juga sebaiknya dibarengi dengan
pemberian obat-obatan neuroprotektor baik pada pasien dengan terapi reperfusi yang terlambat,
karena diharapkan mampu mencegah perluasan infark dan mencegah penurunan fungsi saraf
pada daerah yang direperfusi.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Fisher M, Kumar R. Implications of stroke patophysiology and the ischemic penumbra.
2009.p.24-34.
2. Misbach J. Stroke: aspek diagnostic, patofisiologi, dan manajemen. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2011.
13