Referat DBD Fahrianyah MP

57
REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK DEMAM BERDARAH DENGUE Disusun oleh: Fahriansyah Mega Pratama NIM. 072011101017 Dokter Pembimbing: dr. H. Ahmad Nuri, Sp. A dr. Gebyar Tri Baskoro, Sp. A dr. Ramzy Syamlan, Sp. A dr. Saraswati Dewi, Sp. A

Transcript of Referat DBD Fahrianyah MP

Page 1: Referat DBD Fahrianyah MP

REFERAT

ILMU KESEHATAN ANAK

DEMAM BERDARAH DENGUE

Disusun oleh:

Fahriansyah Mega Pratama

NIM. 072011101017

Dokter Pembimbing:

dr. H. Ahmad Nuri, Sp. A

dr. Gebyar Tri Baskoro, Sp. A

dr. Ramzy Syamlan, Sp. A

dr. Saraswati Dewi, Sp. A

SMF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK

RSD DR. SOEBANDI JEMBER

2012

Page 2: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

DAFTAR ISI

Daftar Isi......................................................................................................... 1

Pendahuluan................................................................................................... 2

Definisi........................................................................................................... 3

Epidemiologi.................................................................................................. 3

Etiologi........................................................................................................... 5

Patofisiologi.................................................................................................... 6

Patogenesis..................................................................................................... 10

Manifestasi Klinis........................................................................................... 13

Diagnosis........................................................................................................ 18

Pemeriksaan Penunjang.................................................................................. 21

Diagnosis Banding......................................................................................... 24

Komplikasi dan Penatalaksanannnya............................................................. 25

Penatalaksanaan.............................................................................................. 26

Prognosis........................................................................................................ 35

Pencegahan..................................................................................................... 35

Daftar Pustaka................................................................................................ 38

1

Page 3: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

PENDAHULUAN

Penyakit virus dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue

tipe I,II III dan IV golongan arthropod borne virus group B (arbovirus) yang

ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albocpitus. Sejak tahun 1968

penyakit ini ditemukan di Surabaya dan Jakarta, selanjutnya sering terjadi

kejadian luar biasa dan meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu

penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang awalnya banyak

menyerang anak tetapi akhir-akhir ini menunjukkan pergeseran menyerang

dewasa.

Perjalanan penyakit infeksi dengue sulit diramalkan. Pasien yang pada

waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat

memburuk dan tidak tertolong (Dengue Shock Syndrome / DSS). Sampai saat ini

masih sering dijumpai penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) yang semula

tidak tampak berat secara klinis dan laboratoris, namun mendadak syok sampai

meninggal dunia. Sebaliknya banyak pula penderita DBD yang klinis maupun

laboratoris nampak berat namun ternyata selamat dan sembuh dari penyakitnya.

Kenyataan di atas membuktikan bahwa sesungguhnya masih banyak misteri di

dalam imunopatogenesis infeksi dengue yang belum terungkap.

Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia cenderung

meningkat, mulai 0,05 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1968 menjadi

35,19 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1998, dan pada saat ini DBD di

banyak negara kawasan Asia Tenggara merupakan penyebab utama perawatan

anak di rumah sakit. Mengingat infeksi dengue termasuk dalam 10 jenis penyakit

infeksi akut endemis di Indonesia maka seharusnya tidak boleh lagi dijumpai

misdiagnosis atau kegagalan pengobatan. Menegakkan diagnosis DBD pada

stadium dini sangatlah sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostik

yang dapat memastikan diagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh sebab itu perlu

dilakukan pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris.

2

Page 4: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Definisi

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue

haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus

dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang

disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.

Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi

(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom

renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang

ditandai oleh renjatan/syok. (Sudoyo, 2006).

Epidemiologi

Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di

Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun

1970. Di Jakarta, kasus pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak

dilaporkannya kasus demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi

kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di

Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan

kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3%

pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun

1991. (Soedarmo, 2012)

Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara

bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk,

kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus

dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan

antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak

perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara,

pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari

golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya,

jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh

musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus

3

Page 5: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada

bulan Januari (Soedarmo, 2012)

Gambar 1.1 Negara dengan resiko transmisi dengue (WHO, 2011)

Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan demam dengue dan demam

berdarah dengue antara lain : demografi dan perubahan sosial, suplai air,

manejemen sampah padat, infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism,

peningkatan aliran udara dan globalisasi, serta mikroevolusi virus. Indonesia

berada di wilayah endemis untuk demam dengue dan demam berdarah dengue.

Hal tersebut berdasarkan penelitian WHO yang menyimpulkan demam dengue

dan demam berdarah dengue di Indonesia menjadi masalah kesehatan mayor,

tingginya angka kematian anak, endemis yang sangat tinggi untuk keempat

serotype, dan tersebar di seluruh area (WHO, 2011).

Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden

tertinggi pada tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 pddk, namun pada tahun 2008

menurun menjadi 59,02 per 100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah

dapat ditekan namun belum mencapai target yang diinginkan yakni <20 per

100.000 penduduk (Depkes, 2008).

4

Page 6: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Gambar 1.2 Angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di Indonesia

(Depkes, 2008)

Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus

dengue, yang termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan

sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus

merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai

tunggal dengan berat molekul 4x106 (Sudoyo, 2006; Soedarmo, 2012)

Gambar 1.3 Virus Dengue (Smith, 2002)

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang

semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.

5

Page 7: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype

terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur

hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan

terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue

dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis

serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Sudoyo,

2006; Soedarmo, 2012).

Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk

Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering

ditemukan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan

berkembang biak di dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau

tempat penampungan air sekitar rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik,

berbintik – bintik putih, biasanya menggigit pada siang hari, terutama pada pagi

dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes

albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya nyamuk ini

berada di sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat menampung air hujan yang

bersih, seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada

siang hari dan memiliki jarak terbang 50 meter (Rampengan, 2008)

Gambar 1.4 Distribusi nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus

(WHO, 2011)

Patofisiologi

6

Page 8: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

a. Volume Plasma

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit

dan membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas

dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,

trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma

pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human

albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama

perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai

puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut,

nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma

melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit

pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat

kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga

serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini

ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun

dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium

yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus,

dan terdapatnya edema (Soedarmo, 2012).

Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti

secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada

masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi

secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis.

Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh

darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan

dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya

disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.

Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut

memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka

akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang

yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia

(Soedarmo, 2012).

7

Page 9: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

b. Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan

pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada

masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah

trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal

biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang

dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum

tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya

destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi

fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan

bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa

dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui,

namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,

komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi

sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih

lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan

proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah.

Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai

penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD (Soedarmo, 2012).

c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis

Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD.

Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa

tromboplastin parsial yang teraktivasi memajang. Beberapa faktor

pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen.

Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation

Products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan

adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan

bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II, dan antitrombin III tidak

sebanyak seperti fibrinogen da faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan

bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya

diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi

8

Page 10: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan

penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen.

Seluruh penelitian di atas menunjukan bahwa (Soedarmo, 2012) :

1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan

fibrinolisis

2. Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat

terjadi juga DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC

tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi

apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis

maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan

mencolok. Syok dan DIC saling mempengaruhi sehingga penyakit

akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat,

terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan

kematian.

3. Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,

gangguan fungsi trombosit dan trombositopeni, sedangkan

perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih

komplek seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan

kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan

syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis

metabolik.

4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus

dengan kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan

berkurang (Soedarmo, 2012).

d. Sistem Komplemen

Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan

penurunan kadar C3, C3 proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang

disertai syok maupun tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum

komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan

perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui

jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radio isotop

9

Page 11: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen

disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena

produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini

menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan

stimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator

kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan

plasma dan syok hipopolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop

virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang

menimbulkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok,

dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga merangsang monosit

untuk memproduksi sitokin seperti tumor nekrosis faktor (TNF), interferon

gama, interleukin (IL-2 dan IL-1) (Soedarmo, 2012).

Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada

penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat

dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi

(circulating immune complex) baik pada DBD derajat ringan maupun

berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan

derajat berat penyakit (Soedarmo, 2012).

e. Respon Leukosit

Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat

peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan.

Pemeriksaan limfosit plasma biru secara seri dari preparat hapus darah tepi

memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada

hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat

sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB

pada DBD dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan

bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T.

(Soedarmo, 2012)

Patogenenis

10

Page 12: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan

biokimiawi demam berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena

kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan

untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini

sebagaian besar masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis

atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat

terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan

infeksi kedua dengan virus serotype lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5

tahun. (Soedarmo, 2012)

Gambar 1.5 Hipotesis secondary heterologus infections ( Soegijanto, 2006 )

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes

Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES

meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum

tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel

11

Page 13: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam

peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto,

2006).

Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam

sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya

masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk

komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural

virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses

perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto, 2006)

Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang

berfungsi menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing – antibody

dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang

dibedakan berdasarkan adanya virion determinant spesificity, yaitu (Soedarmo,

2012):

1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi

tetapi memacu replikasi virus

2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya

memacu replikasi virus.

Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan

menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat

memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi

virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menimbulkan

manifestasi berat. Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis

(the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut

(Soedarmo, 2012):

a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer

merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama

b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang

melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya

12

Page 14: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme

pertama ini disebut mekanisme aferen.

c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear

yang telah terinfeksi

d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar

ke usus, hati, lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut

mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan

tanpa syok adalah jumlah sel yang terkena infeksi

e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan

sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya

mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi

sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.

Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD.

Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat

mengeluarkan interferon α dan γ. Pada infeksi sekunder oleh virus dengue,

Limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan interferon α. Interferon α

selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan

monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus

dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang akan

menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan (Soedarmo, 2012).

Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang

menimbulkan “cross reaction” atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini

menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini

dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus

DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak

ada “cross protectif” terhadap serotip virus yang lain (Soegijanto, 2006)

Manifestasi Klinis

Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu (Pudjiadi, 2010):

1. Silent dengue atau Undifferentiated fever

13

Page 15: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Pada bayi, anak, dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk

pertama kali mungkin akan berkembang gejala yang tidak bisa dibedakan

dari infeksi virus lainnya. Bercak maculopapular biasanya mengiringi

demam. Biasanya juga muncul gejala saluran pernafasan atas dan gejala

gastrointestinal (WHO, 2011)

2. Demam dengue klasik

Demam dengue atau disebut juga dengan demam dengue klasik

lebih sering pada anak yang lebih tua, remaja, dan dewasa. Secara umum,

manifestasi berupa demam akut, terkadang demam bifasik disertai dengan

gejala nyeri kepala, mialgia, atralgia, rash, leukopenia, dan

trombositopenia. Adakalanya, secara tidak biasa muncul perdarahan

gastrointestinal, hipermenorea, dan epistaksis masif. Pada daerah yang

endemis, insidensi jarang muncul pada penduduk lokal (WHO, 2011).

3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)

Demam berdarah dengue lebih sering muncul pada anak usia kurang dari

15 tahun pada daerah yang hiperendemis. Hal ini dikaitkan dengan infeksi

virus dengue berulang. Demam berdarah dengue memiliki karakteristik

onset akut demam yang sangat tinggi, disertai dengan tanda dan gejala

yang sama dengan demam dengue. Gejala perdarahan yang muncul dapat

berupa tes torniquet yang positif, ptekie, perdarahan gastrointestinal yang

masif. Saat akhir dari fase demam, ada tendensi untuk berkembang

menjadi keadaan syok hipovolemik oleh karena adanya plasma leakage

(WHO, 2011).

Terdapat tanda bahaya, antara lain : muntah persisten, nyeri

abdomen, letargi, oligouria yang harus diketahui untuk mencegah syok.

Kelainan hemostasis dan adanya plasma leakage merupakan tanda utama

dari demam berdarah dengue. Trombositopenia dan peningkatan

hematokrit harus segera ditemukan sebelum muncul adanya tanda syok.

Demam berdarah dengue biasa terjadi pada anak dengan infeksi

sekunder virus dengue yang mana sudah pernah terinfeksi oleh virus

dengue DEN-1 dan DEN-3 (WHO, 2011)

14

Page 16: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

4. Dengue Shock Syndrome (DSS)

Manifestasi yang tidak lazim melibatakn berbagai organ misalnya

hepar, ginjal, otak, dan jantung yang dikaitkan dengan infeksi dengue telah

dilaporkan meningkat pada berbagai kasus yang tidak memiliki bukti

terjadinya plasma leakage. Manifestasi tersebut dikaitkan dengan syok

yang berkepanjangan (WHO, 2011).

Gambar 1.6 Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue (Trihadi, 2012)

Demam Dengue

Masa inkubasi antara 4 – 6 hari (berkisar 3 – 14 hari) disertai gejala

konstitusional dan nyeri kepala, nyeri punggung, dan malaise (WHO,2011).

Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam

tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam/rash (Soedarmo, 2012).

Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam

bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari (WHO, 2011).

Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada,

tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat

makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam

sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari

(Soedarmo, 2012).

15

Page 17: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak

nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering

ditemukan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar

limfa servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai

Castelani’s sign yang patognomonik (Soedarmo, 2012).

Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra

demam dan demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia

relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens.

Eusinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit,

hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma

meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya

trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu

(Soedarmo, 2012).

Pada daerah endemis, tes torniquet yang positif dan leukopenia ( < 5.000

cell/mm3) dapat membantu penegakan diagnosis dari infeksi dengue dengan

angka prediksi 70 – 80 %. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan (WHO,

2011):

Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian

leukopeni hingga periode demam berakhir

Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme

pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi

trombositopeni

Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar enzim hati mungkin

meningkat.

Peningkatan hematokrit ringan oleh karena akibat dari dehidrasi dikaitkan

dengan demam yang tinggi, muntah, anoreksia, dan minimnya intake oral.

Penggunaaan analgesik, antipiretik, antiemetik, dan antibiotik dapat

mengintervensi peningkatan hasil laboratorium fungsi hepar dan

pembekuan darah.

Demam Berdarah Dengue

16

Page 18: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD

terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat

pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila

sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi

jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi

dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi (Soedarmo, 2012).

Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba

2-4 cm dibawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan

dengan keparahan penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan

perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada

sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak

jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan(Soedarmo,

2012)

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia

sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Fenomena patofisiologis utama

yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah

peningkatan permeabilitas pembuluh darah, menurunnya volume plasma,

trombositopenia, dan diatesis hemoragik (Soedarmo, 2012)

Dengue Shock Syndrome

Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi

lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan

lembab dan pasien tampak gelisah.

17

Page 19: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Gambar 1.7 Gambaran Skematis Kebocoran Plasma pada DBD

Gambar 1.8 Manifestasi Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue

Diagnosis

Berdasarkan kriteria WHO 2011 untuk diagnosis Demam Berdarah Dengue:

a. Kriteria Klinis

1. Demam

18

Page 20: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe

demam bifasik (saddleback).

Gambar 1.9 Demam Bifasik pada Demam Berdarah Dengue

2. Manifestasi perdarahan, salah satu tergantung:

a. Uji torniket (+)

b. Petechie, ekhimosis ataupun purpura

c. perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis,

perdarahan gusi

d. hematemesis dan melena

3. Hepatomegali

4. Kegagalan sirkulasi (tanda-tanda syok): ekstremitas dingin, nadi cepat

dan lemah, sistolik kurang 90 mmHg, dan tekanan darah menurun

sampai tidak terukur, kulit lembab, penyempitan tekanan nadi (< 20

mmHg), capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak

gelisah.

b. Kriteria Laboratoris

1. Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul)

2. Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht 20% atau penurunan Ht 20%

setelah mendapat terapi cairan).

19

Page 21: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Penegakan diagnosis Demam Berdarah Dengue berdasarkan atas 2 kriteria

klinis ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan

hematokrit.

Pembagian derajat Demam Berdarah Dengue menurut WHO ialah :

a. Derajat I

Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi

perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.

b. Derajat II

Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan

spontan.  Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.

c. Derajat III

Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan

lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh

rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.

d. Derajat IV

Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah

tidak dapat diperiksa.

Tabel 1.1 Pembagian derajat Infeksi Virus Dengue

DD/DBD Grade Tanda dan Gejala Laboratorium

Demam

Dengue

Demam disertai 2 keadaan

berikut :

- Nyeri Kepala

- Nyeri retro-orbita

- Mialgia

- Rash

- Atralgia/Nyeri tulang

- Manifestasi perdarahan

- Tanpa disertai adanya

plasma Leakage

- Leukopenia

( < 5000 sel/mm3 )

- Trombositopenia

( < 150.000 sel/mm3 )

- Peningkatan Hematokrit

( 5 – 10 % )

- Tidak ditemukan kebocoran

plasma

DBD I Demam disertai

manifestasi perdarahan

Trombositopenia

( < 100.000 sel/mm3 )

20

Page 22: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

(torniquet tes + ) dan

adanya plasma leakage

Hematokrit Meningkat

( > 20 % )

DBD II Grade I ditambah

perdarahan spontan

Trombositopenia

( < 100.000 sel/mm3 )

Hematokrit Meningkat

( > 20 % )

DBD

(DSS)

III Grade I atau II ditambah

adanya kegagalan

sirkulasi :

- pulsasi nadi yang

lemah,

- hipotensi,

- perbedaan sistole dan

diastole yang sempit

- kondisi umum gelisah

Trombositopenia

( < 100.000 sel/mm3 )

Hematokrit Meningkat

( > 20 % )

DBD

(DSS)

IV Grade III ditambah

dengan syok berat serta

nadi dan tekanan darah

yang tidak terukur

Trombositopenia

( < 100.000 sel/mm3 )

Hematokrit Meningkat

( > 20 % )

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang

selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl

biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum

atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang

disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai

hematokrit.

Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan

peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut

biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu

diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan

atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau

21

Page 23: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan

pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran

plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi

tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII,

dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai

setengah kasus DBD.

b. Pencitraan

Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat

beberapa kelainan yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah

paru, efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikard, hepatomegali, cairan

dalam rongga peritoneum, penebalan dinding vesica felea.

c. Pemeriksaan Rumple leed test

Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan

cara mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah

menekan kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab

kurang kuat akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler

itu keluar dari kapiler dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya

sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit

(petechiae).

Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer pada

lengan atas dan pompalah sampai tekanan berada ditengah-tengah nilai

sistolik dan diastolik. Pertahankan tekanan itu selama 10 menit, setelah itu

lepaskan ikatan dan tunggulah sampai tanda-tanda stasis darah lenyap lagi.

Stasis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan yang dibendung

tadi mendapat lagi warna kulit lengan yang tidak dibendung. Lalu carilah

petechiae yang timbul dalam lingkaran berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm

distal dari vena cubiti. Test dikatakan positif jika terdapat lebih dari

dikatakan positif 10 petechiae dalam lingkaran tadi.

22

Page 24: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

d. Pemeriksaan lainnya :

Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi infeksi

virus dengue yaitu (WHO, 2011):

- Isolasi Virus

Karakteristik serotypic/genotypic

- Deteksi Asam Nukleat Virus

Dengan RT-PCR (Reverse Transcripterase Polymerase Chain

Reaction)

- Deteksi Antigen Virus

Deteksi antigen NS1.

- Pemeriksaan serologis yang meliputi : Haemagglutination-

inhibition (HI), Complement Fixation (CF), Neutralization Test

(NT), Ig M capture enzyme-linked immunosorbent assay

(MAC-ELISA), danpemeriksaan Ig G ELISA indirect

Viremia pada pasien dengan infeksi dengue sangatlah pendek, yaitu

muncul pada 2 – 3 hari sebelum onset demam dan bertahan hingga 4 – 7 hari saat

sakit. Selama periode ini, asam nukleat virus dan antigen virus dapat terdeteksi.

Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi Ig M

dapat terdeteksi pada 3 – 5 hari setelah onset, meningkat cepat selama 2 minggu,

dan menurun hingga tidak terdeteksi pada 2 – 3 bulan. Antibodi Ig G terdeteksi

rendah pada akhir minggu pertama, meningkat kemudian, dan menetap hingga

bertahun – tahun. Pada infeksi sekunder virus dengue, titer antibodi meningkat

cepat. Antibodi Ig G terdeteksi pada level tinggi, pada saat fase inisial, dan

menetap hingga beberapa bulan. Antibodi Ig M biasanya lebih rendah pada infeksi

dengue sekunder. Oleh karena itu, perbandingan Ig M/ Ig G digunakan untuk

membedakan antara infeksi primer dan infeksi sekunder virus dengue. Disebut

infeksi primer jika perbandingan Ig M / Ig G lebih dari 1,2, dan disebut infeksi

sekunder jika perbandingan Ig M / Ig G kurang dari 1,2 (WHO, 2011).

23

Page 25: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Gambar 1.10 Deteksi jumlah Ig M dan Ig G pada Demam Berdarah Dengue

Diagnosis Banding

Diagnosis banding Demam Dengue terdiri atas ( WHO, 2011) :

a. Infeksi virus golongan Arbovirus : Chikungunya

b. Penyakit virus lainnya

Misalnya : Measles, Rubella, dan berbagai virus lainnya, seperti : Epstein

barr virus, Enterovirus, Influenza, Hepatitis A, Hantavirus

c. Penyakit bakterial

Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial

disease, Scarlet Fever

d. Penyakit parasit : Malaria

Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis banding

meliputi infeksi spektrum luas oleh virus, bakteri, dan protozoa, sama halnya

dengan diagnosis banding dari demam dengue. Adanya trombositopenia disertai

dengan hemokonsentrasi membedakan demam berdarah dengue dengan penyakit

yang lainnya. Hasil yang normal dari ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dapat

membedakan dengue dengan infeksi bakteri dan syok septik (WHO, 2011).

24

Page 26: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Gambar 1.11 Manifestasi DBD dibandingkan dengan Demam Chikungunya

Komplikasi dan Penatalaksanaan Komplikasi

a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.

Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa

syok, cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi

cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah

cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar

dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema

otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna

sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka

diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah

diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial

dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi

asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberiaan oksigen

yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin

dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder,

makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi

ampisilin 100 mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan

25

Page 27: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti

muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

b. Kelainan Ginjal

Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal

ginjal akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian

volume intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila

diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan

sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat

diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum,

dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya

syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP

(central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan

selanjutnya.

c. Edema paru

Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat

pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga

sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan

menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi.

Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila

cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan

hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan

mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan

ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran

edem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.

Penatalaksanaan

Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan

memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi

Intravaskuler Diseminata (KID).

26

Page 28: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah

Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan

permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan

hemostasis. Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan

Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu

pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada orang

tua agar anak diberikan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah,

dan lain – lain. Selain itu diberikan pula obat antipiretik golongan parasetamol.

Penggunaan antipiretik golongan salisilat tidak dianjurkan pada penanganan

demam. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39 0C dengan dosis 10 – 15 mg/KgBB/kali.

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam

tinggi, anoreksia, dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam

4 – 6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat diberikan

cairan rumatan 80 – 100 ml/KgBB/hari dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang

masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang

demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan pula antikonvulsif selama

masih demam.

Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 – 5 yang

memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam

hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital,

kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali)

perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume

replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.

Cairan intravena diperlukan apabila :

1. Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak

mungkin diberikan minum per oral

2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala

Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus

selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai

27

Page 29: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

penurunan jumlah trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien

dating, berikan cairan kristaloid 7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar

hematokrit serta trombosit tiap 6 ja,. Selanjutnya evaluasi 12 – 24 jam. Apabila

selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak tenang, tekanan

nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung turun minimal dalam 2

kali pemeriksaan berturut – turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5

ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil,

tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan dalam

24 – 48 jam. Apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, yaitu : anak

tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi meningkat, deuresis kurang, tekanan

nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV, maka tetesan dinaikkan

menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan setelah 12 jam, maka

tetesan di naikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan

klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian

dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress pernafasan menjadi lebih berat

dan ht naik maka berikan koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam, dengan jumlah maksimal

30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau Hb turun, berikan tranfusi darah segar 10

ml/KgBB/jam.

Bila terdapat asidosis, ¼ dari cairan total dikeluarkan dan diganti dengan

larutan berisi 0,167 mol/liter Natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl

0,9 % + glukosa ditambah ¼ Natrium bikarbonat). Volume dan komposisi cairan

yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai

sedang, yaitu cairan rumatan ditambah deficit 6 % (5 – 8 %) seperti tertera pada

tabel dibawah ini.

Tabel 1.2 Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang ( Defisit Cairan 5 – 8 %)

Berat Waktu Masuk (Kg) Jumlah Cairan tiap hari

< 7 Kg

7 – 11 Kg

12 – 18 Kg

> 18 Kg

220 ml/KgBB/hari

165 ml/KgBB/hari

132 ml/KgBB/hari

88 ml/KgBB/hari

28

Page 30: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat,

nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru,

tangan dan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin. Langkah yang harus

dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid 20 ml/KgBB secepatnya dalam

30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20 ml/KgBB/jam diberikan

bersama koloid 10 – 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit,

hematokrit dan trombosit tiap 4 – 6 jam, serta periksa pula elektrolit dan gula

darah.

Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid

belum dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 – 20

ml/KgBB maksimal 30 ml/KgBB. Koloid ini diberikan pada jalur infus yang sama

dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah,

keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4 – 6 jam. Lakukan pula

koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula darah.

Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20

mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan

dipertahankan hingga 24 jam atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%.

Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/KgBB sampai keadaan klinis dan Ht

stabil, kemudian secara bertahap diturunkan menjadi 5 ml/Kg/BB/jam dan

seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam

setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht menurun tapi

masih > 40%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak

perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/KgBB dan lanjutkan cairan

kristaloid 10 ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP pada syok berat kadang

diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan

Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan

resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 – 20

ml/kgBB/jam. Cairan koloid tersebut antara lain :

1. Dekstan

2. Gelatin

29

Page 31: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

3. Hydroxy Ethyl Starch (HES)

4. Fresh Frozen Plasma (FFP)

Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP

bersifat traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan

homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur

pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.

Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan

bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan

suspensi trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen

plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah

agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula

diberikan packed red cell (PRC).

Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali

dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk

mencegah terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh)

bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi

hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak

masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar

hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi.

Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

30

Page 32: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Gambar 1.12. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

31

Page 33: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Gambar 1.13. Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue.

32

Page 34: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Gambar 1.14 Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.

33

Page 35: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

Gambar 1.15. Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS.

Kriteria memulangkan pasien antara lain (Soedarmo, 2012) :

1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

2. Nafsu makan membaik

3. Tampak perbaikan secara klinis

34

Page 36: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

4. Hematokrit stabil

5. Tiga hari setelah syok teratasi

6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat

7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis).4

Prognosis

Bila tidak disertai renjatan dalam 24 – 36 jam, biasanya prognosis akan

menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan

sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk (Rampengan, 2008). Penyebab

kematian Demam Berdarah Dengue cukup tinggi yaitu 41,5 %. (Soegijanto,

2001). Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita

demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada anak

perempuan daripada laki – laki. Penyebab kematian tersebut antara lain

(Rampengan, 2008) :

1. Syok lama

2. Overhidrasi

3. Perdarahan masif

4. Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang

tidak syok

Pencegahan

Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vector virus

dengue. Pengendalian vektor bertujuan (Purnomo, 2010) :

1. Mengurangi populasi vektor serendah – rendahnya sehingga tidak berarti

lagi sebagai penular penyakit.

2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia.

Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan

lingkungan yang termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan

pemantauan aktivitas untuk modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu

35

Page 37: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

pandangan untuk mencegah perkembangan vektor dan kontak manusia-vektor-

patogen. Pengendalian vektor dapat berupa (Purnomo, 2010):

1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan,

dan monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu

bagi tiap keluarga,

b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3

bulan

c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%

2. Foging Focus dan Foging Masal

a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan

selang waktu 1 minggu

b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB

dalam jangka waktu 1 bulan

c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan

menggunakan Swing Fog

3. Penyelidikan Epidemiologi

a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam

setelah menerima laporan kasus

b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus

4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat.

5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.

Kewajiban pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinas Kesehatan

tingkat II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan yang sesuai

dengan Peraturan Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan

terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi

sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus pada Puskesmas/ Dinas Kesehatan

tingkat II yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan penyelidika

36

Page 38: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

epidemiologi di sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan resiko

penularan (Soedarmo, 2012).

Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko

penularan DBD, maka pihak terkait akan melakukan langkah – langkah upaya

penanggulangan berupa : foging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi

adalah membunuh larva dengan butir – butir abate sand granule (SG) 1 % pada

tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per milion) yaitu : 10 gram meter

100 liter air. Selain itu dapat dilakukan dengan menggalakkan masyarakat untuk

melakukan kerja bakti dalan pemberantasan sarang nyamuk (Soedarmo, 2012).

37

Page 39: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan. 2008. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyelamatan

Lingkungan. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Nelson waldo E. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Volume 2 Edisi 15. Jakarta : EGC

Pudjiadi, Antonius H., dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta :

Ikatan Dokter Anak Indonesia

Purnama, S. Gede. 2010. Pengendalian Vektor DBD. Denpasar : Program Studi

Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana.

Pusponegoro, Hardiono D. dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Edisi 1. Jakarta :

Ikatan Dokter Anak Indonesia

Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi 2. Jakarta : EGC

Smith, Tracy. 2002. Dengue Virus. Nature Publishing Group.

Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis

Edisi Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia

Soegijanto, Soegeng. 2001. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada

Anak. Surabaya : Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga

Surabaya

Soegijanto, Soegeng. 2006. Patogenesa dan Perubahan Patofisologi Infeki Virus

Dengue. Surabaya : Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga

Surabaya

Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue edisi 2. Surabaya :

Airlangga University Press

Sudoyo Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia

Trihadi, Djoko. 2012. Demam Berdarah Dengue. Semarang : Rumah Sakit Umum

Daerah Kota Semarang.

WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO

38

Page 40: Referat DBD Fahrianyah MP

RASCAL321

WHO. 2011. Conprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue

and Dengue Haemorraghic Fever. India : WHO

Wibowo, Krisnanto, dkk. 2011. Pengaruh Tranfusi Trombosit terhadap

Terjadinya Perdarahan Masif pada Demam Berdarah Dengue.

Yogyakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada.

39