Referat Apendisitis Akut
-
Upload
william-liong -
Category
Documents
-
view
302 -
download
77
description
Transcript of Referat Apendisitis Akut
REFERAT
Apendisitis Akut
Disusun Oleh :
William
(406148118)
Pembimbing :
dr. Suryo Aji, Sp.B
dr. Adi Purnomo, Sp.B
KEPANITERAAN KLINIK STASE BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 13 April 2015 – 20 Juni 2015
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA
2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................iDAFTAR ISI............................................................................................................iiDAFTAR GAMBAR..............................................................................................iii1. PENDAHULUAN..............................................................................................12. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................22.1 Anatomi dan embriologi....................................................................................22.2 Fisiologi..............................................................................................................32.3 Epidemiologi......................................................................................................42.4 Etiologi...............................................................................................................42.5 Patologi..............................................................................................................52.6 Manifestasi klinik...............................................................................................62.7 Diagnosis............................................................................................................72.8 Diagnosis banding..............................................................................................92.8.1 Gastroenteritis.................................................................................................92.8.2 Demam dengue................................................................................................92.8.3 Gangguan alat kelamin perempuan.................................................................92.8.4 Infeksi panggul................................................................................................92.8.5 Kehamilan di luar kandungan.......................................................................102.8.6 Urolitiasis pyelum/ureter kanan....................................................................102.9 Pengelolaan......................................................................................................102.10 Komplikasi.....................................................................................................112.11. Prognosis.......................................................................................................123. KESIMPULAN.................................................................................................13DATAR PUSTAKA.............................................................................................14
i
DAFTAR GAMBARGambar 2.1.1 Posisi Apendiks.............................................................................2Gambar 2.1.2 Pendarahan Apendiks....................................................................3Gambar 2.6.1 Titik McBurney.............................................................................6
ii
1. PENDAHULUAN
Apendiks atau disebut juga umbai cacing, sering disalah artikan oleh masyarakat
awam sebagai usus buntu. Usus buntu sendiri sebenarnya adalah sekum. Penelitian
membuktikan bahwa hewan karnivora seperti anjing, harimau, dan singa tidak memiliki
apendiks, namun apendiks berkembang pada kera dan primata lainnya. Apendiks tidak
diketahui fungsinya, namun sering menimbulkan masalah kesehatan, seperti
peradangan.1
Peradangan akut pada apendiks merupakan kasus gawat darurat karena dapat
menimbulkan abses, perforasi, hingga peritonitis, sehingga perlu tindakan bedah segera,
yaitu apendektomi, untuk mencegah komplikasi yang berbahaya dan dapat mengancam
jiwa. Namun dengan berkembanganya pengobatan antibiotik dan percutaneous
drainage techniques, beberapa kasus dapat dilakukan tindakan non operatif, yang
hasilnya dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas apendisitis akut secara
drastis.2
Orang yang paling berjasa dalam penyembuhan radang pada apendiks ini adalah
Charles McBurney. Pada tahun 1889, melalui tulisannya pada New York Medical
Journal, ia menjelaskan bahwa di titik McBurney merupakan pusat tahanan atau rasa
nyeri tertinggi, yang pada orang dewasa berada pada satu setengah sampai dua inci dari
spina iliaka anterior superior kanan menuju umbilikus. Semm memanfaatkannya
dengan melakukan tindakan laparoskopik apendektomi pertama pada tahun 1982.3
1
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan embriologi
Apendiks berkembang dari penonjolan anti mesenterika terhadap sekum, dan
pertama terbentuk pada minggu kelima gestasi. Posisi apendiks di dalam tubuh sangat
bervariasi, pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Posisi tersebut
menyebabkan apendiks mungkin bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoapendiks penggantungnya. Kasus lain mengatakan apendiks terletak
retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi
lateral kolon asendens (gambar 2.1.1).4
Saat terjadi radang pada apendiks dengan posisi yang tidak umum, diagnosa
apendisitis dapat mengalami kesulitan. Tiga tenia kolon asendens bertemu pada pangkal
apendiks, dengan tenia anterior yang sebagai tanda utamanya. Dengan mengikuti alur
dari tenia kita dapat mencari letak apendiks yang tidak umum saat melakukan operasi.4
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, dengan panjang sekitar 10 cm
(beranjak 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal
dan melebar di distal. Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan
menyempit ke arah distal. Keadaan tersebut mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
apendisitis pada bayi.1
Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis, yang merupakan arteri tanpa
kolateral, cabang dari a.ileokolika (gambar 2.1.2). Jika arteri ini tersumbat, misalnya
trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren. Sistem limfatik apendiks
adalah nodus ileokolika, dan sering terjadi kasus hiperplasia pada apendisitis akut.
Persarafan apendiks berasal dari sistem saraf otonom, dan seperti organ visera lainnya,
2
Gambar 2.1.1
Posisi apendiks
tidak terdapat nyeri somatik pada apendiks. Persarafan simpatis berasal dari n.torakalis
X, karena itu pada tahap awal inflamasi dapat terjadi nyeri lokal di daerah
periumbilikal, hal ini disebabkan oleh saraf otonom yang mengikuti perkembangan
embriologi dari midgut. Jika apendisitis terus berlangsung, dapat menyebabkan iritasi
pada permukaan peritoneum parietal dan terjadi nyeri somatik atau nyeri lokal pada
kuadran kanan bawah abdomen.
Pada penyayatan melintang, apendiks mempunyai lapisan yang sama dengan
kolon di dekatnya, termasuk mukosa, submukosa dengan jaringan limfoid yang
menonjol, lapisan otot sirkular dan longitudinal, dan lapisan serosa di atasnya. Sel-sel
neurosekretori terdapat di lapisan subepitel dan diduga sebagai sumber dari tumor
karsinoid, yang sering ditemukan di dalam apendiks.2
2.2. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran di
muara apendiks tampaknya berperan pada patogensis apendisitis. Apendiks
mengandung sel T dan B di dalam lamina propria apendiks, yang merupakan
diferensiasi dari lamina propria kolon di dekatnya. Imunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang
saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Beberapa hipotesis mengatakan bahwa apendiks mungkin
memiliki fungsi imun seperti timus, walaupun jumlahnya kecil sekali dan tidak ada
penelitian yang membuktikan fungsi imun dari apendiks itu sendiri.5 Mukosa apendiks
3
Gambar 2.1.2
Pendarahan apendiks
memproduksi cairan dan enzim pencernaan dalam jumlah yang sedikit, menunjukkan
bahwa apendiks tidak mempunyai fungsi eksokrin yang penting.1,2
2.3. Epidemiologi
Insidens apendisitis di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang,
namun dalam tiga-empat dasawarasa terakhir menurun secara bermakna. Hal ini diduga
disebabkan oleh meningkatnya konsumsi makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Insidens apendisits pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, namun pada
umur 20-30 tahun, insidens laki-laki lebih tinggi. Apendisitis ditemukan pada semua
umur, hanya pada anak kasusnya jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada umur 20-30
tahun, setelah itu menurun.
Angka dilakukannya apendektomi sampai saat ini sebanyak 12 persen laki-laki
dan 25 persen perempuan, sekitar 7% di antaranya melakukan apendektomi karena
apendisitis. Kasus apendektomi mengalami penurunan sejak tahun 1987 seiring dengan
menurunnya angka apendisitis, namun tetap konstan, yaitu 10-10.000 per tahun.
Walaupun penggunaan alat USG, CT-Scan, dan laparoskopi telah meningkat, tingkat
misdiagnosis kasus apendisitis tetap konstan (15.3 persen), sama dengan tingkat
terjadinya ruptur apendiks. Angka persentasi misdiagnosis apendisitis lebih tinggi pada
wanita (22.2 persen) daripada laki-laki (9.3 persen), dan paling tinggi terjadi pada
wanita di atas 80 tahun.3
2.4. Etiologi
Etiologi apendisitis sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti.
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus apendisitis. Sumbatan lumen
tersebut dapat memicu pertumbuhan bakteri dan peningkatan tekanan intra luminal,
menyebabkan obstruksi aliran vena dan mungkin juga arteri, akhirnya menimbulkan
gangren dan perforasi. Penyebab sumbatan lumen diduga sering karena hiperplasia
limfoid, kondisi tersebut umunya terjadi di kalangan remaja, dan berkorelasi dengan
tingginya insidens apendisitis pada usia ini. Dikatakan bahwa infeksi virus dan bakteri,
seperti Shigella, Salmonella, infeksi mononukleosis dapat menyebabkan apendisitis,
mungkin dengan menimbulkan hiperplasia limfoid yang selanjutnya menyumbat lumen.
Fekalit juga dapat menyebabkan terjadinya sumbatan lumen, lalu apendisitis. Diduga
4
sekitar 30% kasus apendisitis pada dewasa terkait dengan adanya fekalit. Fekalit
diperkirakan menyebabkan terjebaknya substansi sayuran dan berikutnya deposisi
mukus, yang akhirnya kalsifikasi. Teori obstruksi ini tidak menjelaskan etiologi
apendisitis sepenuhnya, karena beberapa kasus apendisitis menunjukkan lumen yang
paten secara radiologi, makroskopik, dan pemeriksaan mikroskopik.2
2.5. Patologi
Sumbatan pada lumen apendiks memicu terjadinya sekresi terus-menerus oleh
mukosa apendiks hingga terjadi distensi. Distensi apendiks ini menstimulasi ujung saraf
aferen viseral, menimbulkan nyeri difus di sekitar umbilikus. Hal ini juga menstimulasi
gerakan peristalsis sehingga bisa terjadi kram pada otot perut. Distensi tersebut semakin
besar karena sekresi yang terus-menerus dan multiplikasi bakteri pada apendiks.1,2
Distensi sebesar ini menyebabkan rasa mual dan muntah, serta nyeri viseral difus yang
semakin hebat. Peningkatan tekanan intra luminal mengakibatkan oklusi kapiler dan
venula, sehingga terjadi kongesti vaskular. Proses inflamasi terjadi sampai lapisan
serosa apendiks, hingga peritoneum parietal, menimbulkan nyeri yang khas di kuadran
kanan bawah. Karena adanya distensi, invasi bakteri, aliran darah yang terhambat, dan
proses infark, perforasi dapat terjadi. Walaupun, dalam beberapa kasus, gejala
apendisitis dapat mereda.3
Patologi yang didapat pada apendisitis dapat mulai dari mukosa dan kemudian
melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Tubuh
melakukan usaha pertahanan yaitu dengan membatasi proses radang dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang disalah artikan sebagai infiltrat apendiks.5 Di dalam massa
apendikuler dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Namun jika tidak terbentuk abses, massa periapendikuler akan menjadi
tenang dan akan mengurai diri perlahan.
Apendiks yang pernah mengalami peradangan tidak akan sembuh sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut yang nantinya dapat menyebabkan perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang dan
dapat meradang akut lagi, sehingga dinyatakan sebagai eksaserbasi akut.3
5
2.6. Manifestasi klinik
Gejala utama dari apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Gejala nyeri klasik
yang terjadi adalah nyeri tumpul di daerah epigastrium dan sekitar umbilikus, sedang
sampai berat, dan terus-menerus. Disusul nyeri lokal pada kuadran kanan, tepatnya
dititik McBurney bawah 1-12 jam kemudian (gambar 2.6.1). Di sini nyeri dirasakan
lebih tajam dan lebih jelas. Namun pada beberapa pasien, nyeri berawal dari kuadran
kanan bawah dan persisten di daerah tersebut.1 Banyaknya variasi letak
apendiks pada tiap orang menyebabkan beberapa kasus apendisitis memiliki gejala
nyeri di lokasi yang berbeda-beda pula. Anoreksia sering terdapat pada kasus
apendisitis ini, sehingga perlu ditanyakan saat anamnesa. Mual muntah terjadi pada
75% pasien. Banyak pasien yang mengalami obstipasi terlebih dahulu sebagai onset
awal dari nyeri abdomen, dan banyak dari mereka yang merasa bahwa defekasi akan
menghilangkan nyeri tersebut. Selain itu, diare didapatkan juga pada beberapa pasien,
khususnya anak-anak. Maka dari itu, pola defekasi juga dapat membantu menegakkan
diagnosis.2
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, tanda nyeri di titik McBurney
tidak begitu jelas karena apendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut
sisi kanan, atau bisa juga dirasakan saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor
yang menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang
dapat menimbulkan tanda dan gejala dari rangsangan sigmoid atau rektum,
menyebabkan peningkatan peristaltis, dan pengosongan rektum juga akan menjadi lebih
cepat. Apabila apendiks menempel pada kandung kemih makan frekuensi berkemih
akan meningkat, karena terjadi rangsangan pada dindingnya. Lebih dari 95% pasien
6
Gambar 2.6.1
Titik McBurney
dengan apendisitis akut mengalami anoreksia sebagai gejala awal, diikuti dengan nyeri
abdomen, lalu mual muntah.1
Tanda vital umumnya tidak banyak berubah pada apendisitis akut yang tidak
mengalami komplikasi. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37.5-38.5oC dan
pulsasi nadi normal atau meningkat sedikit. Bila suhu naik lebih tinggi dari 1oC
mungkin sudah terjadi perforasi. Kembung sering terlihat pada penderita yang sudah
mengalami perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
apendikuler.3
Pasien dengan apendisitis berbaring dengan posisi supinasi dengan tungkai
ditekuk, karena pergerakkannya dapat meningkatkan rasa nyeri. Pada palpasi
didapatkan nyeri terbatas pada regio iliaka kanan, tepatnya pada titik McBurney, bisa
disertai nyeri lepas. Tanda Rovsing adalah adanya nyeri di perut kanan bawah pada
penekanan perut kiri bawah, mengindikasikan juga adanya iritasi pada peritoneum.
Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal akibat semakin
parahnya proses inflamasi yang terjadi. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji
psoas dilakukan dengan rangsangan m.psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Jika
apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan
nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak
dengan m.obutaror internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan
fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika
menimbulkan nyeri.5
Pemeriksaan colok dubur dapat menyebabkan nyeri bila daerah radang tercapai
dengan jari telunjuk. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka
colok dubur lebih menjanjikan untuk menegakkan diagnosis. Namun pemeriksaan
colok dubur tidak dianjurkan pada anak-anak.
Pada auskultasi, peristalsis usus sering normal. Peristalsis dapat hilang karena
ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisits perforata.1
2.7. Diagnosis
Walaupun pemeriksaan fisik telah dilakukan dengan cermat, kesalahan diagnosis
klinik apendisitis akut masih terjadi sekitar 15-20%. Kesalahan diagnosis ini lebih
sering terjadi pada perempuan, karena kelainan pada genitalia interna perempuan
7
memberikan keluhan yang mirip dengan keluhan apendisitis akut. Beberapa keluhan
tersebut dapat berasal dari ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, dan penyakit
ginekologik lainnya.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis sedang, antara 10.000-
18.000/mm3 pada penderita apendisitis akut, dan sel radang yang dominan adalah sel
PMN. Walaupun angka leukosit ini bervariasi, namun jika ditemukan lebih dari
18.000/mm3, hal ini merupakan kasus apendisitis akut yang mengalami perforasi.
Pemeriksaan urinalisis juga dapat membantu menyingkirkan kemungkinan penyakit
lain, seperti pyelonefritis dan nefrolitiasis.3
Pemeriksaan radiologi dapat menggunakan foto polos abdomen. Walau tidak
begitu membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut, pemeriksaan ini
membantu untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Yang sering terlihat pada
apendisitis akut adalah pola udara bebas di usus besar yang abnormal, walau gambaran
inipun tidak spesifik. Jarang terlihat fekalit dalam foto polos, tetapi jika terlihat,
diagnosis apendisitis akut dapat ditegakkan. Penggunaan ultrasonografi dikatakan
merupakan pemeriksaan yang akurat dalam mendiagnosa apendisitis akut. Teknik ini
tidak mahal, dapat dilakukan berulang, tidak memerlukan kontras, dan dapat digunakan
pada pasien hamil. Pada pemeriksaan ini, apendiks terlihat seperti penonjolan dari
sekum dengan ujung buntu yang tidak mempunyai gerakan peristaltik. Diameter
apendiks dapat diukur jika dilihat dari dimensi anteroposterior. Adanya apendikolit
menegakkan diagnosis dari apendisitis akut. Diagnosis ini juga dikuatkan jika
ditemukannya penebalan dinding apendiks dan adanya cairan periapendikuler. Jika
tidak terlihat adanya tanda-tanda apendisitis akut, maka dilakukan pencarian ke rongga
abdomen untuk melihat adanya kelainan lain. Pada wanita usia produktif dilakukan
pemeriksaan ke rongga pelvis, untuk melihat apakah ada kelainan pada tuba, atau pada
ovarium. Diagnosis dengan ultrasonografi dalam menegakkan apendisitis akut
mempunyai sensitivitas sebesar 55-96% dan spesifitas 85-98%. Adanya ultrasonografi
ini menurunkan angka terjadinya kesalahan diagnosa apendisitis akut dari 37% menjadi
13%.2
Rao mengatakan bahwa pemeriksaan CT scan memberikan hasil lebih akurat
daripada ultrasonografi. Pada CT scan apendiks yang meradang terlihat mengalami
dilatasi dengan dinding yang menebal, serta menebalnya mesoapendiks. Yang penting
8
adalah ditemukannya gambaran seperti anak panah. Hal ini disebabkan oleh penebalan
dinding sekum, berbentuk corong yang menuju lumen apendiks yang meradang
tersebut. Pada penelitian yang dilakukan Rao dan rekan di Massachusetts General
Hospital, pemeriksaan CT scan dapat menurunkan angka terjadinya kesalahan
diagnosis dari 20% menjadi 7%, dan mencegah terjadinya perforasi dari 22% menjadi
14%, serta dapat menemukan adanya penyakit lain pada 50% pasien.3 Penggunaan
barium enema juga dapat membantu penegakkan diagnosis apendisitis akut. Kegagalan
dalam pengisian apendiks berhubungan dengan terjadinya apendisitis, namun pada 20%
apendiks normal juga tidak terisi oleh kontras, maka dari itu pemeriksaan ini tidak
akurat. Barium enema dapat digunakan untuk mengetahui adanya kelainan lain, seperti
adanya lesi di mukosa kolon, abnormalitas ujung ileum terkait Chron’s Disease.2
2.8. Diagnosis banding
2.8.1.Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual muntah, dan diare dirasakan lebih dulu dari rasa
sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak ada batas yang tegas. Pada auskultasi
ditemukan hiperperistaltik. Demam dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan apendisitis akut.
2.8.2.Demam dengue
Demam dengue dapat diawali dengan sakit perut mirip peritonitis. Cara
membedakannya adalah dengan adanya hasil tes positif pada Rumpel Leede,
trombositopeni, dan hematokrit yang meningkat.
2.8.3.Gangguan alat kelamin perempuan
Ovulasi mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan
siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri serupa pernah timbul terlebih
dahulu. Tidak disertai dengan tanda radang, dan nyeri dapat hilang dalam
waktu 24-48 jam.
2.8.4. Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi dari apendisitis dan nyeri perut kuadran kanan bawah
dirasakan lebih difus. Juga ditemukan adanya keputihan dan infeksi urin.
Rasa nyeri sekali di panggul pada colok vaginal jika uterus diayunkan. Pada
gadis, dapat dilakukan colok dubur untuk menentukan diagnosis banding.
9
2.8.5.Kehamilan di luar kandungan
Keluhan yang sering adalah adanya terlambat haid. Jika ada ruptur tuba atau
abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang
mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.
Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas
dan pada kuldosentesis didapatkan darah.
2.8.6.Urolitiasis pielum/ureter kanan
Gejala yang khas adalah adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut
menjalar ke inguinal kanan. Eritrosituria sering ditemukan. Untuk
memastikan diagnosa ini dapat digunakan foto polos perut dan urografi
intravena.1
2.9. Pengelolaan
Jika diagnosis apendisitis akut sudah dapat dipastikan maka tindakan paling tepat
adalah dengan dilakukannya apendektomi. Apendektomi yang biasa dilakukan adalah
dengan melakukan insisi di kuadran kanan bawah, tepatnya di titik McBurney.1 Insisi
pada tiga otot dinding abdomen, dan dilakukan mengikuti arah serat dari otot-otot
tersebut untuk alasan kosmetik. Aponeurosis yang terdapat di atas m.oblikus eksternus
diinsisi tajam, sisa otot lainnya dilakukan retraksi. Lalu membuka lapisan peritoneum,
dan mencari apendiks. Pencarian apendiks dapat dilakukan dengan menelusuri
persatuan dari 3 tenia, persatuan 3 tenia itu merupakan pangkal apendiks. Setelah
menemukan apendiks, dilakukan ligasi pada pembuluh darah. Setelah apendiks
dipotong, dijahit dengan benang yang dapat diserap, lalu disisipkan ke dalam melalui
dinding sekum. Sesudah apendektomi dilakukan, irigasi pada kavitas abdomen, lalu
peritoneum dan lapisan-lapisan otot dijahit lapis demi lapis, biasanya dengan
menggunakan benang yang dapat diserap.2
Peran laparoskopi dan apendektomi laparoskopik telah banyak memberikan
manfaat. Banyak ahli bedah menggunakan teknik laparoskopi untuk menentukan
diagnosa, terutama pada wanita muda. Laparoskopi menampilkan gambaran yang lebih
jelas pada organ pelvis dan juga pada apendiks, sehingga dapat langsung menentukan
diagnosa apendisitis akut selama proses laparoskopi. Secara umum, laparoskopi
dimasukkan melalui insisi periumbilikus, kemudian memasukkan 3 trokar, 1 di kuadran
kanan bawah untuk menjepit apendiks, dan sisanya di sisi kiri untuk disesksi, ligasi,
10
dan akhirnya membuang apendiks tersebut. Waktu yang diperlukan dalam laparoskopi
lebih cepat dibanding apendektomi terbuka. Angka komplikasi yang terjadi pada
laparoskopi lebih rendah atau mungkin sama dengan apendektomi, namun infeksi pasca
operasi lebih rendah. Bagaimanapun juga, pasien dengan laparoskopi mengurangi
waktu tinggal di rumah sakit dan penyembuhannya yang lebih cepat.2
Pasien dengan apendisitis akut harus diobati dengan antibiotik spektrum luas
untuk flora di kolon, termasuk gram-positif, gram-negatif, organisme anaerob.
Lamanya pemakaian antibiotik untuk mendapat hasil yang optimal sampai sekarang
masih belum diketahui. Dalam kasus apendisitis akut pada umumnya, diperlukan
antibiotik dalam 24 jam atau kurang. Namun, jika sudah terjadi perforasi, pemberian
antibiotik jangka panjang diperlukan, sekitar 5-7 hari.2
2.10. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Adanya fekalit di
dalam lumen, umur, dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor predisposisi
terjadinya perforasi apendiks. Insidens perforasi 60% pada penderita di atas usia 60
tahun. Pada orang tua sering terjadi perforasi karena gejala radang yang samar,
keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan
lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak karena dinding apendiks masih
tipis, dan anak kurang komunikatif sehingga diagnosis terlambat. Gejala dari perforasi
apendiks adalah demam tinggi, nyeri makin hebat di seluruh perut, perut tegang dan
juga kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristalsis usus
menurun hingga menghilang.3
Perbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik spektrum luas, dan pipa
nasogastrik perlu dilakukan selama pembedahan. Dilakukan juga laparotomi dengan
insisi panjang agar dapat mencuci rongga peritoneum.
Perforasi dapat terjadi secara bebas, bisa juga terjadi pada apendiks yang telah
mengalami pendindingan, sehingga berupa massa yang terdiri dari apendiks, sekum,
dan usus.Pada kebanyakan kasus apendisitis akut akan mengalami perforasi dan
peritonitis difus dalam beberapa hari, sehingga pasien tampak sakit berat, namun
terkadang perforasi apendiks dapat diselubungi oleh struktur yang terdiri dari omentum
dan lekukan usus.1 Pasien ini tidak mengalami peritonitis difus, melainkan terbentuk
massa inflamasi lokal yang menutupi tempat perforasi tersebut, dengan atau tanpa
abses. Rasa nyeri dan tanda sistemik lainnya bisa terhalang oleh proses ini, sehingga
11
manifestasi klinik diketahui terlambat. Pasien ini umumnya merasakan nyeri di kuadran
kanan bawah, adanya tahanan saat palpasi di titik McBurney, dan teraba adanya massa.
Kunci diagnostik kasus ini adalah dari lamanya perjalanan penyakit, karena untuk
terbentuknya massa periapendikuler ini membutuhkan waktu minimal 5 hari. CT scan
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa, lalu dilakukan percutaneous abscess
drainage.5 Pada kasus akut, lebih baik tidak dilakukan tindakan bedah, karena
walaupun apendiks dapat dibuang, tindakan bedah akan menimbulkan resiko cidera
struktur massa, seperti omentum dan usus. Antibiotik IV dapat diberikan, dan akan
memberikan respon dalam 24-48 jam dengan menurunnya rasa nyeri dan demam.
Selanjutnya pasien dapat diberikan antibiotik secara oral dan diet normal. Inflamasi
apendiks ini akan mereda dalam 1-2 minggu. Antibiotik harus tetap diberikan sampai
sekitar 2 minggu.
Apendektomi dilakukan pada massa periapendikuler tanpa pus yang telah stabil,
yaitu sekitar 6-8 minggu. Bila terlanjur terjadi abses, maka dapat dilakukan drainase
terlebih dahulu, apendektomi dilakukan 6-8 minggu setelahnya. Jika ternyata tidak ada
keluhan atau gejala, pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan randa
radang atau abses, tindakan bedah dapat dibatalkan.2
2.11. Prognosis
Angka mortalitas akibat apendisitis di Amerika Serikat menurun dari 9.9 per
100.000 di tahun 1939, menjadi 0.2 per 100.000 pada tahun 1986. Penyebab utama
kematian adalah terjadinya ruptur apendiks sebelum dilakukan pembedahan.
Komplikasi terjadi pada 3% pasien apendisitis non perforasi, dan 47% pada pasien
dengan perforasi. Komplikasi awal yang membahayakan adalah sepsis, terbentuk abses,
dan infeksi pada luka. Insidens abses intraabdominal sampai kontaminasi peritoneal
karena gangren dan perforasi mengalami penurunan karena telah ditemukannya
antibiotik spektrum luas yang poten.3
12
3. KESIMPULAN
Apendiks atau umbai cacing tidak diketahui secara pasti fungsinya bagi manusia,
namun sering menimbulkan masalah kesehatan, yang tidak jarang menyebabkan kasus
kegawatan. Peradangan pada apendiks ini terutama terjadi pada usia 20-30 tahun.
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, dengan panjang sekitar 10 cm (beranjak
3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Diduga apendisitis berawal dari adanya sumbatan
pada lumen apendiks, yang menyebabkan pertumbuhan bakteri dan peningkatan
tekanan intraluminal. Obstruksi tersebut dapat menekan pembuluh darah sehingga
menimbulkan gangren dan perforasi. Gejala yang sering muncul adalah adanya nyeri di
epigastrium yang nantinya berpindah ke kuadran kanan bawah. Nyeri dapat disertai
dengan mual, muntah, konstipasi, dan juga anoreksia. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan hasil leukositosis sedang. Adapun pemeriksaan radiologi, seperti USG,
CT scan, dan barium enema yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.
Pengelolaan apendisitis akut adalah dengan tindakan bedah segera, untuk
mencegah terjadinya komplikasi seperti perforasi dan peritonitis. Tindakan bedah
seperti apendektomi umum dilakukan, dan memberikan hasil yang memuaskan, namun
seiring dengan berkembangnya teknologi, laparoskopi mulai populer. Teknik
laparoskopi ini digunakan karena minimal invasif, waktu sembuh yang lebih cepat, dan
untuk kepentingan kosmetik.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, de Jong Wim. Usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum. In:
Sjamsuhidajat R, de Jong Wim, editors. Buku-ajar ilmu bedah. 1st ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997. p. 865-76.
2. Matthew JB, Hodin RA. Acute Abdomen and Appendix. In: Mulholland, Michael
W, Lillemoe, Keith D, editors. Greenfield’s Surgery: Scientific Principles and
Practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 1214-9.
3. Berger DH, Jaffe BM. The Appendix. In: F. Charles Brunicardi, editor. Schwartz’s
Manual of Surgery. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2006. p. 784-96.
4. Ellis H. The Appendix. In: Martin Sugden, editor. Clinical Anatomy. 11 th ed.
Oxford: Blackwell Publishing Ltd; 2006. p. 79-80.
5. Ferguson CM. Acute appendicitis. In: Irene Butcher, editor. Oxford Textbook of
Surgery. 2nd ed. Oxford: Oxford University Press; 2002. p. 626-30.
14